terdapat garis hukum bahwa hanya keturunan laki-laki saja yang dapat
menjadi ahli waris, tetapi perasaan keadilan masyarakat mengalami
perobahan-perobahan sehingga banyak keluarga tidak terlalu
mempersoalkan jenis kelamin ahli warisnya. Perobahan yang tidak
Aek Sarulla tudia ho lao
Tapanuli Utara - Petani - Adat
66
dikehendaki tersebut diakui oleh pengadilan yang dapat dilihat dari
keputusan-keputusan mengenai hukum waris adat. Keadaan ini kemudian
disahkan oleh Ketetapan MPRS No.2 tahun 1960 yang menegaskan semua
warisan adalah untuk anak-anak (tanpa membeda-bedakan lelaki atau
perempuan) dan janda, apalagi sipeninggal warisan meninggalkan anakanak
dan janda.
vii. berbagai bentuk jambar. Dalam berbagai peristiwa ceremonial mulai
terbentuk konsep “demi praktis”, misalnya : mahar yang semula berwujud
kerbau atau benda-benda sudah diganti dengan uang, demikian pula upapamarai,
upa-pariban dan upa tulang.
Hubungan ibu-anak.
Menurut konsep patrilineal dan hasil wawancara dengan para tetua, bahwa
dalam adat istiadat Batak hak pihak marga lelaki adalah mutlak, misalnya
apabila suami meninggal, maka keturunannya berada dibawah kekuasaan
keluarga almarhum. Tetapi dengan terjadinya proces individualisasi, terutama
pada orang Batak diperantauan, kemudian terjadi penyimpangan, yaitu bahwa
anak-anak tetap tinggal pada ibunya , walaupun hubungan antara siibu dan
keluarga almarhum suaminya telah putus, karena meninggalnya suami.