“The dogs, pigs and monkeys eating stupid Bataks” drs. M.D. Mansoer1 Bangsa yang Membuka Diri Indonesia adalah negara yang berketuhanan yang Maha Esa, yaitu setiap penduduknya diwajibkan untuk mengimani adanya suatu Kuasa Mutlak yang jauh berada di atasnya yang kita sebut sebagai ‘Tuhan’. Kepercayaan ini bukanlah kepercayaan yang ‘diimport’ dari negara-negara asing karena memang nenek moyang Bangsa Indonesia, termasuk Bangsa Batak adalah orang-orang yang beragama atau berke-Tuhan-an. Ketut Wiradnyana seorang arekolog yang meneliti situs Bukit Kerang yang terletak 120 kilo barat laut kota Medan menemukan kerangka-kerangka manusia yang berasal dari 5000 – 7000 tahun yang lalu. Situs ini tersebar antara wilayah Deli Serdang, Langkat di Sumatera Utara hingga mencapai Aceh Tamiang. Dari cara penguburan kerangka ini diketahui mereka tinggal di lingkungan yang beragama, karena beserta kerangka ditemukan juga bekal kubur, hematite (batuan lembek berwarna kemerahan) dan letak kerangka membujur utara – selatan. Kerangka ini adalah campuran ras Mongoloid dan Austromelanesaid yang juga mirip dengan temuan manusia purba di Hoa Binh, Vietnam.2 Pada masa kuno pun telah terjadi persebaran dan percampuran antar ras manusia yang melahirkan peradaban-peradaban baru. Hornell seorang peneliti khusus Indonesia menemukan data bahwa nenek moyang bangsa Indonesia bahkan telah merantau sampai ke Sailon (Srilanka), India Selatan dan Madagaskar. Hal ini diketahui dari digunakannya perahu cadik yang merupakan khas Indonesia di daerah-daerah itu, adanya suku bangsa Parawar dan Shanan yang perawakannya mirip orang Indonesia, diketahuinya pohon kelapa di India berasal dari Indonesia dan bahasa Malagasi di Madagaskar termasuk ke dalam rumpun bahasa-bahasa di Indonesia.3 Maka tidak usahlah kita merasa heran jika sejak awalnya Bangsa Indonesia adalah bangsa yang mulit-etnis, mulit-bahasa dan multi agama serta selalu terbuka untuk saling mempengaruhi dalam interaksinya dengan bangsa-bangsa lain. Itulah juga yang menjadi sifat orang Batak sebagai bagian dari Bangsa Indonesia. Suku Bangsa Batak yang juga sering disebut sebagai Bangsa Batak berdasarkan pembagian menurut bahasa (linguistic) dapat dibagi menjadi : 1. Batak Toba 2. Batak Karo 3. Batak Simalungun 4. Batak Pakpak 5. Batak Angkola – Mandailing Sebenarnya suku bangsa Batak sama seperti sebagian besar suku-suku bangsa lainnya di Indonesia adalah kaum pendatang. Tidaklah heran jika Bangsa Batak masih satu rumpun dengan suku-suku bangsa lainnya adalah kaum pendatang. Tidaklah heran jika bangsa Batak masih satu rumpun dengan suku Toraja di Sulewesi Selatan dan dengan Suku Karen di Mnyamar (Burma).4 Hubungan antara suku di Birma dan suku Batak juga ditegaskan oleh pakar musik etnis Bung Irwansyah Harahap yang mengatakan alat musik Taganing (sejenis gendang) dalam Gondang Batak Toba hanya ditemukan juga di Uganda dan Birma.5 Walaupun kepercayaan tradisional Bangsa Batak mengatakan orang Batak berasal dari Pusuk Bukit, keturunan si Raja Batak namun menurut penelitian ilmiah orang Batak berasal dari beberapa kelompok yang beremigrasi ke tanah Batak secara terpisah dalam kurun waktu yang berbeda.6 Dengan keanekaragaman daerah yang ditempati oleh gelombang migrasi ini maka kebudayaan yang pada mulanya satu bertumbuh dengan sendiri-sendiri karena terpisah oleh geografis, namun tetap sebagai orang Batak, hal ini misalnya dibuktikan dengan abjad Batak yang hampir sama dalam kelima sub-etnis Batak di atas.7 Kehidupan Bangsa Batak pun berlangsung secara alami tanpa ada peninggalan tertulis. Walaupun sampai kini belum ditemukan peninggalan tertulis sejarah Batak seperti prasasti namun keberadaan daerah yang kita kenal sebagai Sumatera Utara saat ini sudah dikenal sejak masa-masa awal Masehi. Ptolomeus yang hidup pada pertengahan abad kedua Masehi di Kota Iskandariyah, Mesir menulis buku Geographia yang tetap jadi buku pegangan hingga abad ke- 15 M menyinggung tentang Pulau Sumatera dan pelabuhan Barus (Fansur) yang ia sebut dengan nama Barousai yang kira-kira terletak di Desa Lobu Tua ( Labadiou).8 Dalam literature Hindu India, Pulau Sumatera disebut Karpuradwipa yang berarti ‘Pulau Kapur (Barus)’ dengan pelabuhannya yang terkenal Baraukacha (Barus).9 Barus dikenal terutama karena perdagangan kapur barus yang sangat popular masa itu. Bagi sebagian orang hal ini dijadikan sebagai dasar bahwa agama Islam telah masuk ke Tanah Bata melalui Barus sejak masa Nabi Muhammad masih hidup atau tidak lama setelah beliau mangkat.10 Pendapat ini dianut oleh Haji Mohammad Said, Djasmun Qoharuddin Nasution, Dada Mueraxa. HAMKA juga menganut teori bahwa agama Islam telah masuk ke Indonesia sejak abad I Hijriyah ( 600-an Masehi) langsung dari Tanah Arab.11 Dugaan ini diambil dari catatan-catatan perjalanan Bangsa Arab maupun Tiongkok. Thomas W Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam mengatakan sejak abad ke-2 sebelum Masehi para pedagang Arab telah menguasai perdagangan di Timur, dan walaupun tak ada bukti arkeologis dan tertulis diyakini Bangsa Arab ini tentu juga telah membangun pos perdagangan di Indonesia. Tetapi barulah pada abad ke-9 Masehi para ahli ilmu bumi Arab menyebut kepulauan Indonesia dalam tulisan mereka, tetapi dalam Tarikh Tionkgok pada tahun 674 M terdapat catatan mengenai seorang pemimpin Arab (Amir – Red.) dan rombongannya menetap di Pantai Barat Sumatera.12 HAMKA menjelaskan sebuah catatan Tiongkok kuno lainnya secara lebih rinci. Dalam catatan Tiongkok ini disebut mengenai Kerajaan Holing ( Kalingga ) yang diperintah oleh Sima ( Ratu Sima ) yang memeluk Agama Buddha. Karena kemamuran dan keamanannya negeri ini terkenal sampai ke berbagai penjuru dunia hingga Bangsa Ta-Cheh (Arab) datang ke Kerajaan Holing sekitar tahun 674 – 675 M (sekitar 12 tahun setelah Nabi Muhammad wafat). Dengan jelas HAMKA menyamakan orang Arab ini sebagai orang Islam, “Orang Arab atau orang Islam itu, masuk tetap meramaikan pelayaran dan perniagaan…” tulisnya.13 Pengaruh Arab Bangsa Arab dalam sejarah kuno sudah diakui sebagai salah satu bangsa yang mengenal perdagangan dan saling berinteraksi dengan kebudayaan bangsa-bangsa lain melalui jalur perdagangan ini, kota dagang Petra da Mekah adalah contohnya. Jadi tidaklah heran bila baik sejarah Yahudi, Kristen maupun Islam misalnya telah mencatat keberadaan orang-orang Yahudi dan berbagai penganut agama lain di tanah Arab. Dalam Kitab Kisah Para Rasul dikatakan sejak hari Pentakosta dimana Roh Kudus dicurahkan bagi umat manusia Injil telah diberitakan dalam bahasa dan budaya Arab (Kisah Para Rasul 2:12), bahkan Rasul Paulus sempat memperdalam ilmu agama Kristen di tanah Arab (Galatia 1:17-18). Salah satu suku Arab yang menjadi Kristen berhasil mendirikan sebuah kerajaan Kristen yang disegani yang dikenal sebagai Kerajaan Ghasanid yang terdiri dari Bani Ghasanid yang menganut Kristen Orthodox Syria.14 Pada umumnya orang-orang Arab yang beragama Kristen adalah orang-orang terdidik baik sebagai pemimpin agama, ilmuan, negarawan dan pedagang serta kedokteran. Pengaruh Byzantium (Romawi Timur) waktu itu sangat terasa di sebagian wilayah Arab. Kemudian muncullah Agama Islam. Walaupun banyak orang berusaha membentuk opini bahwa agama Islam disiarkan secara damai namun fakta sejarah membeberkan Agama Islam baru bisa berkembang di Asia termasuk Arab, Afrika dan Eropa setelah didahului oleh penaklukan-penaklukan ( baca : penjajahan ) pasukan Arab Islam. Sejarawan Muslim klasik, Ibnu Khaldun ( 1332 – 1406 M ) melukiskan keadaan sejarah awal berhasilnya Bangsa Arab Islam menaklukkan musuh-musuh kafirnya, “Apabila Bangsa Arab menaklukkan suatu negeri, maka kehancuran segera menimpa negeri itu… sebab tujuan mereka yang pokok ialah mendapatkan uang dengan perampokan atau penarikan denda (jizyah). Sekali tujuan ini sudah tercapai maka mereka sedikitpun tidak menaruh perhatian untuk mencegah kejahatan, atau untuk memperbaiki keadaan rakyat atau meninggikan kesejahteraan mereka.”15 Ibnu Khaldun dengan jeli telah melihat bahwa politik Byzantium beda dengan politik Islam. Dalam tradisi Byzantium motivasi melakukan penyerbuan ke tempat lain semata-mata karena dasar politis dan ekonomis, agama tidak begitu menonjol. Maka Ibnu Khaldun menulis, “… ajaran agama lain… tidak memaksakan kekuasaannya kepada mereka, karena agama itu tidak menuntut dari mereka supaya menguasai orang lain, sebagaimana halnya dengan Islam melainkan hanya menegakkan kepercayaan mereka diantara mereka sendiri.” Tetapi Islam adalah sebuah agama kaffah (holistic) sehingga “… berusaha mengislamkan seluruh umat manusia dengan ajakan atau kekerasan, maka jihad terhadap orang-orang kafir adalah wajib.”16 Karena Islam adalah agama kaffah (holistic) yang meliputi din wa daulah ( agama dan politik) maka intrik-intrik politik juga tidak dapat dilepaskan dari sejarah Islam, termasuk masalah seks, uang dan kekuasaan atau yang sering disebut juga sebagai harta, takhta, wanita. Kepada umat non-Muslim hanya diberikan tiga pilihan yaitu : 1. Masuk Islam 2. Bayar pajak sebagai warga negara kelas dua yang dikenal sebagai dhimi/ dzimi 3. Diperangi atau dimusnahkan17 Ternyata banyak yang mengambil pilihan pertama dan kedua, sedangkan Byzantium yang memilih untuk mempertahankan kemerdekaannya tidak mampu menghempang serangan pasukan Islam.18 Meskipun begitu tidak serta merta bangsa-bangsa Arab dan lainnya yang telah takluk di bawah kekuasaan Islam menjadi murtad dari agama mereka dan masuk Islam. Karena kurangnya tenaga ahli dari Bangsa Arab maka mau tidak mau para penguasa Arab Muslim tetap memakai orang-orang kafir sebagai pegawai-pegawai mereka, karena orang-orang Arab yang baru berkuasa ini masih awam dalam ilmu kedokteran, tata negara, pembukuan dan lainnya. Sejarah mencatat Khalifah Umar II ( 717 – 720 ) memiliki seorang dokter (tabib) terbaik di zamannya yang adalah seorang Kristen bernama Tayadzuq.19 Pada masa Khalifah al-Mu’tasim (834 – 842), Saimujah seorang Kristen menjadi pejabat penting negara yang berhak mensahkan dokumendokumen negara, Ibrahim seorang Kristen yang lain adalah Bendahara Negara. Pada masa al-Mu’tadil ( 892-902M) Umar bin Yusuf, Gubernur Anbar adalah seorang Kristen. Adud al-Dawlah (949-952) dari Dinasti Buwaihid memiliki Perdana Menteri yang beragama Kristen yaitu Nasr bin Harun. Sebelumnya pada masa Kahlifah Mua’awiah (661-680 M) banyak juga orang Kristen memegang posisi kunci dalam pemerintahan.20 Bahkan sewaktu pemerintahan Islam masih menjajah Spanyol (Cordova) pernah muncul Subh, seorang wanita Kristen yang sangat berpengaruh untuk menentukan jalannya pemerintahan.21 Secara perlahan namun pasti posisi orang-orang Kristen ini digeser begitu umat Islam sudah menguasai ilmu-ilmu dari pemilik kebudayaan yang mereka taklukkan, dan ini terjadi sebelum masa Perang Salib yang dilancarkan Barat sebagai reaksi atas aksi jihad fisabilillah umat Muslim.22 Bahkan nasib orang-orang taklukan sering tidak mendapatkan perlindungan hukum. Banyak anggota keluarga yang dipisahkan paksa dan dijadikan budak, termasuk para gadis yang mengalami kawin paksa dan pelecehan seksual lainnya. Wanita-wanita budak ini tetap boleh menganut agama mereka tapi anak-anaknya yang lahir harus dididik secara Islam. Bahkan ssalah seorang istri Nabi Muhammad yang bernama Shofiyah adalah hasil rampasan perang.23 Sumber lain mengatakan Mariyah al-Qibtibiyah (Maria orang Kristen Koptik Mesir) yang dihadiahkan Gubernur Mesir, Mawqaqis (yang adalah seorang Orthodox Yunani) juga adalah seorang budak (sahaya) Nabi.24 Baik Kitab Suci umat Muslim yaitu Al-Qur’an maupun Nabi Muhammad tidak melarang praktek perbudakan terhadap umat non- Muslim ini, mudah terkesan memberi legalitas. Qur’an maupun hadits, yang adalah sumber riwayat Nabi Muhammad dan sumber teladan bagi seluruh umat Muslim mencatat : “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Bolah jadi kamu membenci sesuatu padahal sesuatu itu amat baik bagimu.” (Al Baqarah 2:216) “Perangilah orang-orang… yang diberikan Alkitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah (= pajak ketundukan kepada tuan Arab Muslim) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk (hina).” (QS At Taubah 9:29).25 “dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki…” (QS An Nisa’a 4:24). “Nabi Muhammad bersabda, “Berperang kalian, kalian akan dapat ghanimah (harta rampasan perang) gadis-gadis Romawi.”26 Nabi Muhammad bersabda, “Setiap ummat itu mempunyai waktu rekreasi dan rekreasi ummatku adalah jihad fisabilillah (berperang)”27 Nabi Muhammad bersabda, “Aku diperintahkan memerangi manusia sampai mereka bersaksi tidak ada Tuhan kecuali Allah, dan aku (Nabi Muhammad) utusan Allah, menegakkan sholat, membayar zakat” (HR Bukhari dan Muslim).28 Selain itu penggunaan materi untuk mengajak orang masuk Islam dilegalkan dalam sistem zakat, “Sesungguhnya zakat-zakat itujhanyalah untuk orang-orang fakir, orangorang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya…” (QS at- Tabah 9: 60). Selain mendapatkan kekuasaan politik bagi agama Islam dan budak-budak wanita yang bisa digunakan untuk kawin paksa maka kekayaan materi juga merupakan salah satu alasan bagi para da’I (pendakwah/misionaris) Muslim untuk menyebarkan agama Islam. Dalam QS Al Fath (48): 18-21 dapat diketahui bahwa, “… Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberikan balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat serta harta rampasan yang banyak yang dapat mereka ambil… Allah menjanjikan kepada kamu harta rampasan yang banyak, yang dapat kamu ambil, maka disegerakan-Nya harta rampasan ini untukmu… Dan (telah menjanjikan pula kemenangan-kemenangan) yang lain (atas negeri-negeri) yang belum dapat menguasainya…”. Perhatikanlah bahwa ternyata para mujahidin (pejuang Muslim) sangat terpikat oleh motivasi duniawi hingga Allah membujuk mereka dengan berbagai jenis harta hasil rompakan/jarahan. Para penerus Nabi mewarisi semangat yang sama. Khalifah Abu Bakr menulis surat kepada orangorang Mekah, Taif, Yaman dan semua orang Arab29 di Nejed dan Hijaz, yang berisi seruan untuk ikut dalam jihad fisabilillah (perang suci/perang di jalan Allah) dan memperoleh rampasan perang dari orang-orang Yunani.” Terdesaknya orang-orang non Muslim akibat serangan pasukan Arab Muslim mengakibatkan orang-orang non Muslim terutama Kristen mencari alternative di luar daerah-daerah jajahan Islam. Sejak lama orang-orang Kristen dan orang-orang Arab non Muslim (termasuk Arab Kristen) dan orang-orang Timur Tengah lainnya telah memiliki keahlian berlayar dan berdagang. Keahlian berlayar belum dimiliki oleh penduduk Mekah dan Madinah tempat dimana agama Islam lahir dan tumbuh karena daerah itu bukan daerah maritim.30 Selain itu dalam daerah yang telah ditaklukkan Islam ada larangan bagi umat non-Muslim untuk berdakwah pada umat Muslim, tapi umat Muslim sebagai penakluk bebas berdakwah pada umat non Muslim. Hal ini mengakibatkan mau tidak mau para misionaris Kristen yang masih terisisa di Timur Tengah bergerak keluar dari Darul Islam (daerah yang dikuasai Islam dengan berlakunya Syari’at Islam) dan bermisi di luar Darul Islam. Penduduk non Muslim dalam Darul Islam dalam berbagai cara mendapatkan tekanan bahan terkadang paksaan untuk murtad dan masuk Islam.31 Tekanan berupa pajak yang tinggi tapi mendapat status yang rendah dalam hukum, penghalangan dari partisipasi politik dan ekonomi membuat banyak orang lebih memilih untuk masuk Islam dan murtad dari agama lamanya. Di Bukhara misalnya, kekuasaan agama Buddha dihancurkan dengan memberi kemudahan financial (keuangan) bagi yang mau masuk Islam dan menghancurkan rumah-rumah ibdah non Muslim.32 Namun bahkan sebelum agama Islam menekan agama Kristen, misi Kristen telah dijalankan sampai ke Asia bahkan ke Indonesia. Seorang penulis sejarah yaitu Syekh Abu Salih al-Armini menulis mengenai gereja-gereja di benua Asia dan Afrikamengatakan bahwa agama Kristen telah masuk ke pulau Sumatera, khususnya di pantai barat Sumatera Utara sejak abad ke-7 Masehi. Pada masa itu para pedagang Arab, Persia dan India yang Kristen sering juga membawa para rahib dalam pelayaran dagang mereka. Al-Armini menulis, “Fanshur (Barus) adalah kota yang terkenal karena kapur barus yang berasal dari sana… Di sana terdapat banyak gereja, salah satunya adalah Gereja Saidat al-Adhara al Thaharat Martamiryam ( Santa Maria Perawan yang Murni).33 Jadi HAMKA memang terlalu buru-buru dalam menyimpulkan bahwa agama Islam pasti telah masuk sejak abad pertama Hijriah di Indonesia karena sudah ada orang Arab yang hadir di Indonesia. Pertama Arab waktu itu masih banyak dihuni oleh orang Kristen Arab, kedua : umat Muslim pada abad pertama belumlah menjadi pedagang tangguh yang melintasi lautan menuju ke luar negeri. Armada laut Muslim baru ada sejak pemerintahan Yazid – 1 dari Dinasti Muawiyah.34 Namun harus diingat bahwa orang-orang Kristen Arab waktu itu masih sangat berpengaruh dalam politik, ekonomi Arab Muslim. Umat Muslim lahir dari daerah non Maritim, justru pedagang-pedagang Arab Kristenlah yang lebih banyak bergerak waktu itu. Jadi sebelum mesjid berdiri di Sumatera Utara, Gerejalah yang yang sudah ada lebih dahulu. Batak di Barus Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Ptolomeus adalah orang pertama yang kita ketahui mencatat tentang penduduk di Sumatera Utara pada pertengahan abad ke dua Masehi. Dalam catatannya itu Ptolomeus mencatat adanya praktek kanibalisme di Barus. Sumber-sumber Arab, India dan Eropa juga menegaskan adanya praktek kanibalisme di Sumatera, juga Marco Polo membenarkannya. Pada tahun 1430, Nicola de Conti menjadi orang Eropa pertama yang menggunakan kata “Batak” (Batech) untuk menyebut suku kanibal di Sumatera. Dalam catatan-catatan Tiongkok kuno seperti catatan Chau Ju-Kua (1226 M) ditemukan kata Bo-ta yang dihubungkan dengan Kerajaan Sriwijaya. Sedang dalam catatan Dinasti Yuan (Mongol) dikatakan bahwa Kerajaan Samudra Pasai dan Ma-da (Ba-ta) memberikan upeti pada Kaisar Tiongkok pada tahun 285-1286 Masehi. Tome Pires seorang penjelajah menulis di tahun 1515, “Kerajaan Bata berbatasan dengan Kerajaan Pase dan Kerajaan Aru (Daruu). Raja negeri ini bergelar Raja Tomjano (Timor Raja?). Dia seorang prajurit Muslim. Ia sering berlayar untuk merampas (ghonimah). Dia adalah menantu Raja Aru.” Raja Tomjano ini juga mungkin merupakan orang yang sama atau keturunannya yang ditemui oleh seorang penjelajah Eropa lain yang bernama Mandes Pinto di tahun 1540 M. Pinto Tome Pire menyatakan Kerajaan Batak ini menguasai daerah Tamiang – Perlak yang memiliki sumber bahan bakar minyak. Di daerah ini dari Langkat sampai Ramiang terdapat situs-situs bukti kerang yang menjadi salah satu bukti asal leluhur penduduk di Sumatera, mungkin termasuk orang Batak dan Aceh saat ini. Mungkin ini juga berhubungan dengan kepercayaan orang Batak Toba bahwa leluhur orang Batak punya tiga orang keturunan. Yang satu pergi ke Aceh, yang satu pergi ke Padang (Minangkabau) dan yang satu lagi tetap tinggal di Tanah Batak. Namun bagi penjelajah Mendes Pinto, Kerajaan Bata yang mungkin merupakan campuran Batak Karo dengan etnis lain ini bukanlah kerajaan kanibal. “Kehormatan” kanibal ini diberikan Pinto pada penduduk pantai barat (west coast) di atas Singkil, yang sekarang merupakan bagian dari Aceh. Pada masa penulisan Pinto ditahun 1639-1640 ini Kerajaan Aceh yang Muslim memang telah melakukan jihad fisabilillah dan menguasai kerajaan-kerajaan kecil lainnya di Sumatera Utara, sebagaimana yang dicatat dalam sumber-sumber sejarah Aceh dan Turki. Pada masa Pinto ini Kerajaan Batak yang non Muslim dipertentangkan dengan Kerajaan Aceh yang Muslim yang terus berusaha menguasai kerajaan-kerajaan lain di Sumatera. Pinto menggambarkan Kerajaan Batak yang bertahan dari invasi Islam ini beribukotadi Panaju, pada pantai barat (west coast) sekitar 50 km dari Guatemgin (Pinto tidak menulis nama lokal kota ini). Namun mungkin ini adalah salah satu sungai di pantai barat di selbelah selatan Singkil sebagai jalur memperoleh kapur (barus) dan kemenyan (camphor and benzoin) dari daerah sekitar Danau Toba. Ibu kota Panaju dari Kerajaan Batak ini adalah sisa dari Kerajaan Pano (Pao – Barus) yang pada masa itu telah takluk kepada Islam. Pada akhirnya Raja Batak ini terpaksa mengikat janji dengan Sultan Aceh setelah tidak mampu bertahan dari invasi yang terus menerus. Namun Sultan Aceh mengkhianati Raja Batak dan membunuh keluarganya. Raja Batak dengan bantuan pemimpin lokal berjuang melawan penjajahan Aceh, tetapi rezim Aceh yang dibeking imperium ( kekhalifahan ) Turki yang adalah negara super power (adi daya) waktu itu jelas terlalu kuat bagi Bangsa Batak. Bangsa Batak mengungsi ke pedalaman dan pelabuhan-pelabuhan internasionalnya dikuasai pasukan pendudukan Aceh dengan dukungan Turki, mirip seperti rezim Irak yang dilindungi AS saat ini. Sejak saat itu orang Aceh dengan memandang hina menyebut semua orang-orang yang tidak mau dipaksa masuk Islam dan tunduk pada penjajahan Aceh sebagai ‘Batak’. Teks Aceh yang ditulis pada abad ke-17 yang berjudul “Hikayat Aceh” menyebut etnis Batak sebagai orang-orang non Muslim. Arona Diego Barros (1824-1907) professor geografi dari Amerika Latin menggambarkan kondisi pulau Sumatera yang dihuni oleh dua golongan, Muslim dan non Muslim. Orang Muslim adalah kaum pendatang yang berkembang melebihi penduduk asli yang dulunya tidak mengenal hubungan internasional seperti pendatang Muslim ini. Akibatnya penduduk asli tersingkir dan para pendatang menjadi tuan-tuan dan penguasa-penguasa baru. Penduduk yang tersingkir ini dipandang tidak berbudaya dan kenibal yang disebut sebagai Batak. Belakangan ketika orang-orang Tionghoa dan Minahasa masuk ke Sumatera mereka disebut sebagai ‘Batak’ karena tidak memeluk Islam.35 Kampak Belah Kayu Karena posisinya yang stragegis, Barus mengalami berbagai serangan dari luar untuk dikuasai. Salah satu serangan itu berasal dari Kerajaan Chola di tahun 1025 M dari India yang berhasil menaklukan Barus dan Aceh yang waktu itu merupakan kerajaan bawahan Sriwijaya.36 Koloni pedagang India di Lobu sekitar satu kilo dari Barus muncul sebagai hasil dari serangan kerajaan dari Raja Chola itu. Pada tahun 1872 ditemukan prasasti di Lobu yang isinya, “Pada tahun 1088 ada 1500 orang Tamil dari India Selatan bertempat tinggal di Barus. Mereka mendirikan kongsi dagang bagi para pedagang kapur barus dan kemenyaan.”37 Menarik untuk kita ketahui bahwa India Selatan berisi bukan saja penduduk yang beragama Hindu, namun juga beragama Kristen yang dikenal sebagai Kristen Mar Thoma, mereka disebut juga sebagai Kristen Malabar.38 Meskipun begitu candi-candi Buddha Tantrayana – lah yang justru masuk jauh sampai ke dalam Sumatera Utara, yakni di Padang Lawas dimana Kerajaan Portibi, Tapanuli Selatan yang berasal dari bahasa sansekerta pertiwi berdiri dan meninggalkan kompleks candi Bahal. Candi-candi ini berasal dari tahun 1042 Masehi.39 Jadi sezaman juga dengan masa serangan Kerajaan Chola dari India. Para peneliti seperti Harry Parkins menemukan adanya pengaruh India setidaknya dalam budaya Batak Karo dan Toba, namun dalam budaya Batak Toba pengaruh Hindu itu tidak sampai meresap. Sedangkan situasi dunia waktu itu Islam sedang mengalami masa-masa kejayaannya sebagai kekuatan super power dunia yang dapat bertindak sewenang-wenang demi kepentingannya, mirip seperti Amerika Serikat saat ini. Sebagian benua Eropa, khususnya Eropa Timur termasuk Spanyol dan Portugis masih berada dalam penjajahan Islam. Misalnya Spanyol dijajah selama 781 tahun (711-1491 M), Portugis dijajah Islam selama 533 tahun (716-1249M).40 Di India pasukan Arab telah menginvasi daerah yang kini kita kenal sebagai Afghanistan sejak abad ke-10 Masehi dan menghilangkan Agama Buddha di sana dan terus masuk secara perlahan namun pasti ke India dan memunculkan dinasti-dinasti Muslim di India.41 Kesultanan Delhi (1206-1526) pada umumnya bersikap ekslusif dan menolak keterlibatan non-Muslim (kafir).42 Kekhalifahan Turki Seljuk dan Usmaniyah yang dasarnya sudah dimulais ejak 1071 M dan berkembang menjadi ‘polisi dunia’ waktu itu memberikan hadiah bagi orang-orang Kristen yang mau murtad ke Islam dengan menggunakan jizyah dari orang-orang yang tetap setia pada iman Kristen. Bahkan pada abad ke-13 rezim Turki menindas orang Kristen dan menutup gereja-gereja, rumah sakit- rumah sakit Kristen, sekolah, pasnti asuhan bagi anak-anak Kristen dan menyitanya. Anak-anak Kristen dirampas paksa dan dijadikan sebagai budak militer. Tetapi karena di Balkan kekuasaan Turki tidak sekuat di Asia Kecil maka terpaksa diberikan toleransi bagi umat Kristen.43 Dalam masa dan kondisi seperti inilah Aceh membuka hubungan politik dengan Turki. Sama seperti rezim-rezim yang berkuasa saat ini membutuhkan dukungan dari negara super power untuk mempertahankan rezimnya, pada zaman dulu juga situasinya sama. Misalnya Sultan Agung setelah menerima gelar Sultan dari Mekah yang merupakan bagian dari kekhalifahan Turki di tahun 1641 M maka ia segera melakukan ekspansi-ekspansi. Ekspansi ini dilakukan baik terhadap kerajaan-kerajaan Islam lainnya maupun kerajaan-kerajaan Hindu. Para tawanan non Muslim atau penduduk taklukkan dipaksa masuk Islam, sesuai dengan syariat Islam dan adab jihad fisabilillah.44 Di sisi lain pada masa ini juga sebagian daerah jajahan Islam seperti Portugis berhasil merdeka dan kini mereka harus berjuang untuk melemahkan kekhalifahan Turki agar mereka tidak diancam oleh penjajahan Turki lagi. Salah satu cara adalah dengan mencari sumber rempah-rempah yang waktu itu sangat dibutuhkan bangsa-bangsa Eropa. Selama ini para pedagang Muslim mendapatkan keuntungan yang besar dengan menjadi pedangan perantara. Dan keuntungan itu secara tidak langsung juga memperkuat kekhalifahan Turki yang adalah ancaman bagi kemerdekaan dunia waktu itu.45 Para pedagang perantara ini memang mengambil keuntungan yang berlipat ganda dan jauh lebih tinggi daripada para petani Indonesia yang menghasilkan rempah-rempah itu. Misalnya 112 pound cengkeh dijual seharga dua dukkat oleh pedagang Indonesia pribumi pada para pedagang Muslim dari Jawa dan lainnya, tiba di Malaka harganya telah menjadi 10 dukkat oleh pedagang Muslim, dan diteruskan ke pedagang Arab Muslim sehingga kita bisa bayangkan berapa kali lipat harganya ketika tiba di Eropa.46 Aneh kalau hanya dikatakan orang Eropa Kristen yang menindas Bangsa Indonesia ketika orang yang menyebut diri sebagai ‘saudara-saudara Muslim’ (ikhwan) juga tidak kalah serakahnya. Inilah kapitalisme zaman klasik, dimana pedagang Muslim dari Gujarat, Jawa dan mungkin Tiongkok menindas atau menipu orang-orang Muslim baru di Tarnate dan Tidore. Maka kedatangan Bangsa Portugis disambut baik oleh Sultan Tarnate dan Tidore yang berebut mengundang Portugis untuk mendirikan kongsi dagang mereka agar penghasilan Sultan bertambah. Keserakahan Portugis dan penindasan Sultan Hairun dari Tarnate terhadap ummat Kristen akhirnya merusak hubungan ini.47 Dengan menyadari dan mengetahui kondisi ini tidaklah mudah bagi kita untuk melihat sejarah secara ‘hitam-putih’. Kita tahu tidaklah benar bahwa bangsa-bangsa Barat adalah para penjahat sedangkan kerajaan-kerajaan di Indonesia yang dibantu oleh orangorang Muslim adalah orang baik-baik yang dijadikan korban oleh bangsa Barat. Sebelum bangsa Barat datang Kerajaan-Kerajaan di Indonesia sudah berperang satu sama lainnya, kedatangan Islam tidak meredakan hal ini malah menambah jumlah dan intensitas konflik, bahkan terhadap sesama kerajaan Islam seperti Aceh, Johor dan Demak.48 Bahkan Kerajaan Aceh ini juga yang menghancurkan Kerajaan Islam pendahulunya yaitu Samudra Pasai. Kerajaan Samudra Pasai dengan raja yang berpangkat Al Malikush Shalih (Seorang Raja Yang Taat Beragama/Saleh) mendapat pengaruh dari raja Damasukus yang bernama Al-Malikush Shaleh Ismail (memerintah 1237-1238) atau Al Malikush Nadjmuddin Ayubi yang merebut Yerusalem dari Tentara Perang Salib.49 Kesultanan Aceh dengan bantuan pasukan dan persenjataan Turki dan Muslim Ethiopia (Abbysina) berjihad dan berhasil menguasai kota-kota pelabuhan penting di Sumatera, bahkan pada pertengahan abad ke enam belas berhasil menyerbu dan mengislamkan Minangkabau yang masih Hindu waktu itu.50 Dan penguasaan ekonomi melalui peperangan (jihad fisabilillah) adalah sesuatu yang dibenarkan dalam agama Islam dan tidak asing untuk dilakukan.51 Sedangkan bangsa Barat yang datang lebih mementingkan dagang (untung) daripada agama. Persatuan Dagang Inggris bahkan memiliki rencana untuk memberikan seorang wanita terpelajar Inggris untuk menjadi salah satu isteri Sultan Aceh dengan berkata, “Agama tidak menjadi soal.”52 Jadi pendapat Profesor Ahmad Mansur Suryanegara yang meneruskan opini bahwa penjajah Kristen datang ke Indonesia dengan motivasi gold, glory, Gospel (eman – kekayaan, kemuliaan dan penginjilan), serta memaksa pribumi Islam melepaskan agamanya untuk masuk agama penjajah dapat ditinjau kembali.53 Para penulis dan sejarawan Muslim berusaha merevisi jalannya dakwah Islam di Indonesia, “… sejarah negeri Aru (Haru/Karo)… sebagai masa peralihan antara sistem ke Hinduan kepada sistem Islam…, jelaslah bagi kita bahwa penyiaran Agama Islam itu berlangsung di kerajaan yang bersifat Hindu dengan aman dan damai.”54 Memang Indonesia pada dasarnya memiliki penduduk yang bersikap terbuka terhadap pendatang asing, maka dalam masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya yang beragama Buddha dengan sekolah Buddha yang terkenal di Sumatera kita melihat, “di Bandar Kalah ditemui berbagai penduduk: Muslim, Hindu dan Parsia” menurut laporan Abu’l-Fida. Sedang di dekat Bandar Kalah ada juga Zobog dimana seorang pedagang Arab menjual burung kakaktua yang mampu berbicara Arab, Persia, Hindu dan Yunani.55 Kerajaan-kerajaan Hindu Melayu menjadikan orang-orang Muslim sebagai penasehat Raja Hindu.56 Patutlah diingat pada masa Kerajaan Sriwijaya ini, kekuasaan Byzantium yang Kristen masih kuat sehingga adanya pedagang Arab yang menjual burung kakaktua yang bisa berbahasa Yunani menandakan adanya juga kehadiran orang-orang Yunani atau Byzantium yang beragama Kristen di Indonesia. Namun begitu pengaruh Islam kuat maka hilanglah semangat toleransi dan pluralisme ini. Misalnya pelabuhan Barus yang dulu dikuasai bangsa India Hindu akhirnya dikuasai oleh kekuasaan kaum Muslim dan mendesak para pendahulu mereka ke pedalaman Pakpak, Karo dan lainnya. Terbentuklah marga-marga Karo dari India seperti Sembiring dan Lingga.57 Sayang sekali keterbukaan Hindu – Buddha tidak begitu dilanjutkan oleh para penguasa Muslim yang baru. Berbeda dengan pengakuan penulis Muslim bahwa Islam masuk secara damai di kerajaan Hindu, sejarawan lain mencatat Haru (Karo) diislamkan dengan paksa oleh Aceh melalui jihad fisabilillah. Alas, Gayo, Singkil yang dulunya termasuk wilayah Haru (Batak Karo) semuanya mengalami islamisasi paksa antara 1539 – 1564. Dalam pertempuran ini kesultanan Aceh dibantu oleh mujahiddin (tentara) asing Muslim dari Turki dan Gujarat. Dengan menggunakan meriam-meriam yang sebelumnya digunakan untuk membantai orang-orang Kristen di Konstantinopel yang menamatkan riwayat Byzantium maka penduduk dan pejuang-pejuang Hindu Karo pun mengalami pembantaian yang sama. Mendez Pinto adalah seorang saksi mata pertentangan antara orang-orang Batak Karo Hindu melawan agresi militer Aceh Muslim. Orang-orang Karo memintabantuan Portugis dan berhasil membantai tentara Aceh termasuk tentara asing (koalisi internasional Islam) Muslim dari Turki, Arab, Malabar dan Ethiopia. Kemenangan ini tidak lama dinikmati karena kelak Sultan Iskandar Muda berhasil menembus Kerajaan Hindu dan masuk ke Minangkabau yang juga masih Hindu waktu itu dan memaksa semua penduduk untuk murtad dan masuk Islam.58 Agama Islam dijadikan alat politi untuk seragamkan dan tundukkan penduduk. Para pendongeng Muslim awal mencoba menghapus ingatan ini dengan menjadikan Bangsa Portugis sebagai kambing hitam. Dalam versi mereka Putri Hijau beru Sembiring diperkosa beramai-ramai oleh tentara Portugis dan tubuhnya diledakkan dengan meriam.59 Sedangkan sejarah justru mencatat bahwa orang-orang Muslim dari Acehlah yang membantai Putri Hijau bre Sembiring Meliala dalam jihad fisabilillah mereka. Putri Hijau sebenarnya justru mendapat bantuan dari Portugis untuk melawan agresi militer Aceh.60 Setelah masuk Islam maka orang-orang Batak Karo dilepaskan dari budaya aslinya dan dijadikan sebagai orang Melayu.61 Dengan kemenangan Sultan Aceh ini maka ia secara sepihak menyebut dirinya sendiri sebagai ; Sultan Alauddin Riayisah al Kahhar Raja Barus, Raja Negeri Pedir dan Pasai, Maharaja Batak, Pangeran Lumbung Emas Minangkabau dan Penakluk Haru.62 Sejak itu juga kesultanan Aceh makin memonopoli perdagangan yang melintasi Pulau Sumatera. Aceh menguasai sumber-sumber merica yang sangat tinggi harganya waktu itu. Motivasi agama, dan dagang (ekonomi) menjadi satu dalam invasi Aceh ini.63 Diakui bahwa Sultan Iskandar Muda memerangi orang Batak dalam rangka jihad fisabilillah demi : 1. Mengikis habis pengaruh Portugis 2. Menyebarkan agama Islam pada orang Batak (Karo) 3. Menguasai perdagangan merica yang sangat strategis dan menggiurkan waktu itu Berkali-kali para pejuang Batak melawan penindasan Aceh namun berhasil ditumpas.64 Proses de-Batakisasi ini bukan dialami oleh orang Batak Karo saja tetapi juga orang Batak lainnya. Sejarawan dan budayawan Melayu Muslim, Tengku Luckman Sinar mengakui, “di kalangan suku-suku Karo, Simalungun dan Perdambanan, Islamisasi itu sekaligus dilaksanakan dengan proses’melayunisasi’. Sekali sudah masuk Melayu ( masuk Islam ) maka marga-marga tidak dipakai lagi, bahasa Melayu dipakai sehari-hari, begitu juga cara berpakaian dan adat Melayu.”65 Ia melanjutkan, “orang-orang Mandailing, Sipirok bahkan orang-orang Toba yang Islam, telah mencatatkan diri sebagai ‘Melayu’ ketika akan berangkat menunaikan ibadah haji ke Mekah masa itu.”66 Hasilnya sangat efektif. Orang Batak melupakan identitas sendiri, Batak Pardembanan malah punah dan jadi Melau sehingga muncul istilah Kampak belah kayu, Batak jadi Melayu.67 Sewaktu Belanda masuk maka sultan-sultan Melayu asal Btak ini merampas tanah penduduk yang tidak mau murtad dan masuk Islam dan menyerahkan tanah itu untuk perkebunan-perkebunan asing. Orang-orang Batak terutama suku Batak Karo didesak untuk mendiami lahan lahan yang tidak baik.68. Islamisasi Tanah Batak Islamisasi yang dilakukan oleh Kesultanan Aceh mengakibatkan orang Batak kehilangan jati dirinya sebagai Batak dan menjadi Melayu, mirip dengan dampak kuatnya pengaruh Barat saat ini yang membuat orang menjadi kebarat-baratan. Hilangnya jati diri seseorang atau suatu masyarakat dapat dikarenakan : 1. Dominasi budaya lain yang lebih kuat dan lebih berpengaruh dari budaya lokal 2. Rasa malu denagn jati diri sendiri, dan 3. Dengan mengambil budaya dominan diharapkan dapat ikut ambil bagian dalam kekuasaannya juga Selain itu juga didorong oleh adanya pengaruh dari luar seperti manipulasi data dan pemutarbalikan fakta. Lance Castle mencatat marga Hasibuan pada abad ke-19 Masehi sempat mengira diri mereka adalah keturunan Raja Iskandar Zulkarnaen (Iskandar Agung).69 Besar kemungkinan keyakinan tidak berdasar ini muncul akibat serangan dan Islamisasi kaum Padri dari Minangkabau ke Tanah Batak. Sebelumnya Minangkabau sendiri mengalami serbuan Aceh yang mengislamkan mereka. Kesultanan Aceh memang meyakini bahwa Sultan Aceh adalah keturunan dari Iskandar Zulkarnaen (Iskandar Agung).70 Dan Aceh sendiri didukung oleh kekhalifahan Turi dengan memberi gelar “Serambi Mekah” pada Aceh. Maka Aceh berperang dengan orang Kristen dan Hindu yang ada di Indonesia demi menyebarkan dakwah Islam ini. 71 Tidaklah heran jika kedatangan nilai-nilai baru mengancam kedudukan nilai-nilai lama dalam masyarakat terutama jika masyarakat melihat nilai-nilai baru itu dibawa oleh suatu bangsa yang lebih kuat. Dewasa ini sering pula para alim ulama mengeluhkan apa yang disebut sebagai sikap kebarat-baratan. Pada zaman dahulu penjajahan budaa itu adalah sifat kearabaraban atau kemelayuan. Misalnya Bangsa Pakistan saat ini tidak bangga akan nenek moyang mereka yang meninggalkan peradaban agung di Mohenjo-Daro, melainkan lebih membanggakan budaya Arab yang sangat dominan dalam masyarakat mereka.72 Penyelewengan tafsir histories ini juga dilakukan di Indonesia. Kaum revisionis (orang yang merubah penulisan sejarah) membuat opini bahwa di Minangkabau perselisihan antara kaum adat dan kaum Muslim terjadi karena adu domba Belanda, walau faktanya Belanda baru turun tangan kerena diundang oleh kaum Adat Minangkabau. Belanda sendiri enggan perang waktu itu karena masih harus menghadapi Perang Diponegoro.73 Para penulis Muslim saat ini suka mengutip pendapat yang mengatakan : 1. Ada hubungan baik antara para saudagar (pedagang) Islam dengan penduduk lokal 2. Orang-orang Islam menampakkan perilaku yang bersih dan sehat (dari Pribumi) 3. Orang-orang Islam itu memberi teladan untuk menyelamatkan diri sendiri, keluarga dan masyarakat 4. Persamaan derajad manusia yang tertanam dalam pandangan hidup mereka.74 Menurut HAMKA para pedagang yang berpengaruh menyebarkan agama Islam di Indonesia adalah para pedagang Arab.75 Sayangnya para pedagang Muslim dari Arab ini tidak sebaik yang dceritakan oleh para penulis Muslim masa kini, termasuk HAMKA. Ibnu Khaldun, sejarawan besar Muslim mengakui mental para pedagang Muslim Arab sebagai berikut, “Tingkah laku pedangan lebih rendah dibandingkan dengan tingkah laku orang-orang yang memegang pemerintahan, dan jauh lebih rendah daripada keprawiraan dan kejujuran.”76 Dengan kata lain hubungan antara para pedagang dan penduduk setempat memang dilandasi oleh cinta akan uang, maka para pedagang akan menikahi putri-putri orang yang berpengaruh, bukan putrid dari rakyat jelata.77 Bagi orang yang mau masuk Islam akan diberi kemudahan dan fasilitas untuk berdagang demi mencari keuntungan.78 Perintah untuk menjadikan seks, terutama melalui perkawinan sebagai alat dakwah Islam berasal dari Nabi Muhammad sendiri, “Aku memerintahkan berperang dengan asma (nama) Allah di jalan Allah ( jihad fisabilillah ). Bunuhlah siapa yang kafir kepada Alllah… kalau mereka menyambut seruanmu maka kawinilah putri raja (Arab = Amir – pemimpin)nya.” 79 Karena Islam mengizinkan poligami maka para pedagang Arab dapat memiliki istri di beberapa tempat. Namun tetap saja bangsa-bangsa bukan Arab walaupun telah memeluk agama Islam dipandang rendah oleh Arab Muslim.80 Orang-orang Arab Muslim sangat tidak senang ketika orang-orang Muslim dari bangsabangsa lain mendapat posisi yang setara dengan orang Arab, dan orang Arab Muslim ini menghina dan meremehkan Muslim non Arab.81 Di Indonesia sampai saat ini sifat kesombongan ini masih terus dilakukan oleh banyak orang Arab yang merasa menikah dengan orang Indonesia pribumi berarti menikah dengan orang yang tidak sederajad.82 Pendapat kedua yang mengatakan umat Muslim lebih bersih dari kaum pribumi juga tidak diminati oleh drs. Mansoer. Beliau mempertanyakan pendapat yang mengatakan bahwa penduduk pribumi jorok terutama orang Batak yang membiarkan jenazah sampai bertahun-tahun sebelum dikuburkan. Secara salah drs. Mansoer menerjemahkan ke dalam bahasa Inggris, the dogs, pigs and monkeys eating stupid Bataks padahal yang dimaksudnya adalah orang Batak makan daging anjing, babi dan monyet/kera. Namun bangsa-bangsa lain dengan peradaban yang sangat maju juga makan daging babi dan itu tidak membuat mereka kotor secara lahiriah atau bodoh secara lahiriah.83 Jelaslah sekedar kebersihan secara relijius tidak kuat untuk menjadikan orang berduyun-duyun masuk Islam. Alasan ketiga bahwa orang Islam menjadi teladan karena membela kepentingan diri sendiri, keluarga dan masyarakat juga terasa aneh, karena hal ini juga dilakukan oleh orang-orang non-Muslim. Jadi alasan ketiga bukanlah alasan yang baik. Dan alasan keempat bahwa agama Islam menjanjikan persamaan derajad juga tidaklah sepenuhnya benar. Kita telah mengetahui bahwa orang-orang Muslim Arab memandang rendah terhadap orang Muslim non Arab. Maka ada kemungkinan lain Islam dapat berkembang, dan ini diakui oleh para penulis Muslim awal walau disangkal oleh penulis-penulis Muslim masa kini. Cara itu adalah jihad fisabilillah. Fakta bahwa Islam masuk ke tanah Batak khsusunya Batak Mandailing, Angkola dan Toba mula-mula dengan kekerasan berusaha disangkal oleh para apologet Muslim, sama sepeti sejarawan Muslim di Pakistan menyangkal bahwa orang Arablah yang mulamula menyerbu Sind (India). Kedatangan kaum Padri, menurut revisionis (orang yang menulis ulang sejarah) adalah semata-mata untuk berdagang, tapi rombongan pedagang padri ini diserang oleh orang Batak hingga timbullah peperangan.84 Mengingat wialah kekuasaan suku-suku Batak waktu itu tidak dipersatukan dalam bentuk kerajaan seperti Kerajaan Aceh melainkan merupakan suku-suku dan negeri-negeri yang independent maka dari argumen di atas dapat kita ambil kesimpulan : 1. sungguh jahat orang-orang Batak ini karena tanpa ada komando dari pusat maka setiap rombongan padri yang masuk ke tanah Batak diserang – mulai dari Tapanuli Selatan sampai ke Bakkara (Bakti Raja) 2. sungguh gigih para pedagang padri ini yang walau ditolak tapi memaksa terus untuk berdagang bahkan dengan cara membantai Raja Sisingamangaraja X Tapi kita semua tahu Pasukan Padri masuk ke tanah Batak bukan untuk berdagang secara baik-baik. Adapun kedatangan pasukan penjajah Padri Muslim ke Tanah Batak adalah untuk membawa misi 3 G yaitu Gold, Glory dan Glorious Qur’an atau dengan kata lain untuk mencari harta (ghanimah – rampasan perang), kekuasaan politik atas darul harbi (daerah perang karena belum diislamkan) dan membawa Al-Qur’anul karim (kitab suci Al-Qur’an yang mulia) agar orang Batak masuk Islam.85 Diperkirakan setidkanya 200.000 (dua ratus ribu) orang Batak menjadi korban jihad fisabilillah Mujahiddin Padri ini, sebuah jumlah yang sangat luar biasa mengingat populasi waktu itu tidak sebesar saat ini.86 Di daerah Silindung – Pahae – Hutagalung diambil kanak-kanak yang setelah diislamkan bernama Tuan Syekh Basyir Simorangkir oleh Pasukan Padri. Setelah kembali dari Minang, ia berusaha mengislamkan orang-orang Batak. Dari Hutagalung muncul Abid Hutagalung yang juga dididik dan dibesarkan di Minangkabau. Abid membuang marganya dan menjadi Melayu yang bernama Tuan Syekh Arsyad gelar Tuan Faqih.87 Sementara itu kelak di Kerajaan Serdang, para sultan juga melakukan politik yang sama dengan Mujahidin Padri, yakni mengambil putra-putra tokoh Batak untuk dimurtadkan ke Islam.88 Praktek keji seperti ini bukanlah hal yang asing dalam sejarah Islam Internasional. Thomas W Arnold dalam The Preaching of Islam sudah menyinggung praktek ini dan Daniel Pipes dalam Slave Soldiers and Islam membahas dengan lebih dalam lagi.89 Anak-anak diculik, diasingkan dari budayanya, dibesarkan dalam budaya dan agama si penjajah dan penculik kemudian dijadikan sebagai alat untuk menindas bangsa sendiri. Kalau kita menyangka ini adalah praktek masa lampau maka kita salah. Saat ini misalnya praktek ini masih dilakukan di Sudan yang dijajah Arab dan yang berhasil memecah penduduk Sudan ke dalam dua bagian yaitu Muslim dan non- Muslim.90 Anak-anak Kristen Katolik di Timor Leste juga banyak diculik dan dimurtadkan di pesantren-pesantren Indonesia untuk kelak dikirim kembali ke Timor Leste demi merusak budaya Timor Leste. Alangkah biadabnya perbuatan ini.91 Dengan cuci otak seperti ini maka tidaklah heran Parlindungan dalam “Tuanku Rao” mengakui bahwa diantara kaum penjajah Padri yang menyerbu Tanah Batak dan membantai orangorang Batak banyak terdapat mujahid Batak (orang Batak yang telah dimurtadkan menjadi Islam). Orang-orang ini telah dididik untuk membenci kekafiran yaitu agama apapun di luar Islam. Dalam QS Al – Baqarah 2:23, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu (menjadi) pemimpinpemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan (Islam) dan siapa diantara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpin, maka mereka itulah orang-orang yang dholim (zalim).” Dalam riwayat lain diceritakan mengenai Abi ‘Ubaidah bin al-Jarrah yang membunuh bapak kandungnya sendiri dalam Perang Badar. Anak ini bukanlah anak durhaka tapi malah menjadi sahabat Nabi Muhammad karena dipandang lebih setia pada agama daripada pada darah dagingnya sendiri.92 Begitulah sejarah juga mencatat orang Batak yang masuk Islam menjadi malu dengan kebatakannya dan menolak mengakui diri mereka sebagai Batak. Bagi orang Melayu waktu itu kata ‘Batak’ jarang diartikan sebagai suku atau etnis melainkan “ petualang, pengembara, gelandangan, perampok, penyamun, merampas” seperti yang masih dapat kita lihat pada Kamus Poerwadarminta maupun Kamus Besar Bahasa Indonesia. Namun revisionis Muslim saat ini menulis, “Aibat dari propaganda Belanda, timbul anggapan umum bahwa setiap yang bermarga Batak dianggap beragama Kristen. Sehingga bila ada suku Batak yang memasuki agama Islam, tidak mau membubuhi marganya lagi.”93 Alangkah menyesatkannya dusta-dusta mereka. Malim dan Muslim Haji Mohammad Said di tahun 1960-an membuat sebuah teori baru yang mengatakan Raja Sisingamangaraja XII telah memeluk Islam. Opini ini kini dijadikan sebagai fakta oleh Profesor Ahmad Mansur Suryanegara seorang sejarawan Muslim. Pada masa itu Adniel Lumbantobing, seorang Kristen dan teman-temannya yang mengakui Raja Sisingamangaraja XII sebagai penganut agama tradisional Batak sedang gencar-gencarnya memperjuangkan pengakuan nasional terhadap kepahlawanan Sisingamangaraja XII. Perjuangan ini berhasil dengan diakuinya Raja Sisingamangaraja XII menjadi Pahlawan Nasional pertama di luar Pulau Jawa. Adniel Lumbantobing juga merancang dan membangun tugu Sisingamangaraja. Meskipun begitu memang ada kepercayaan yang muncul belakangan diantara orang Melayu di Barus Hilir sebagaimana yang diangkat oleh Jane Drakard bahwa Sultan Ibrahim, Sultan pertama Barus Hilir mengajak orang Batak masuk Islam taip orang Batak menolak. Sultan Ibrahim kemudian pergi setelah mendapatkan anak dari seorang putri Batak yang kelak menjadi Raja Sisingamangaraja I. Karena Barus berhubungan dengan Aceh, maka memori tentang Aceh juga masuk ke tengah orang Batak Toba yang akhirnya membuat bendera Sisingamangaraja XII dan stempel pribadinya mendapat pengaruh Aceh.94 Sebenarnya ada kemungkinan lain, yaitu pada mulanya orang-orang Batak saling berhubungan. Namun sejak sebagian Kerajaan Batak dikuasai Aceh dan Gayo, Alas, Singkel, Tamiang bahkan sampai ke Barus berhasil ditaklukkan dan diislamkan Aceh melalui jihad fisabilillah sehingga terjadilah pemutusan hubungan antara orang Batak yang dimelayukan atau diacehkan dengan orang Batak yang masih setia dengan budayanya. Namun orang-orang Batak yang masih memegang teguh adat istiadatnya ini, khususnya Batak Toba memiliki memori tersamar akan hubungan mereka dengan saudarasaudaranya di Barus atau dareah lainnya yang telah diislamkan. Islam tidak berhasil masuk ke Tanah Batak jika tidak didahului oleh serangan jihad fisabilillah, baik dari Aceh maupun Minangkabau. Setelah Tanah Batak diduduki baru bisa dilakukan proses Islamisasi. Maka orang Batak di Bakara yang berasal dari kelompok (keturunan) Sumba maupun orang Batak yang berasal (keturunan) dari Borbor sama sekali tidak memiliki memori seperti di Barus Hilir, bahwa Sisingamangaraja I berasal dari keturunan Sultan Ibrahim. Berarti kemungkinan besar cerita Barus Hilir itu hanyalah dongeng untuk melegalkan kekuasaan Barus Hilir yang telah memeluk Islam atas Tanah Batak yang masih merdeka.95 Kerjasama antara Raja Sisingamangaraja XII dengan Aceh tidak membuktikan bahwa ia telah beragama Islam karena Sisingamangaraja XII adalah Raja yang menghargai semua raja-raja lain sebagai sederajad, bukan dalam relasi raja taklukan dengan sultan penakluknya. Penggunaan huruf Arab melayu dalam stempel Raja Sisingamangaraja XII juga merupakan bukti dari pendapat diatas. Pengguna bahasa Inggris tidak membuktikan bahwa ia warga negara Inggris dan beragama Kristen, begitu juga huruf Arab Melayu waktu itu adalah semacam bahasa internasional di Nusantara. Maka penggunaan huruf itu menunjukkan adanya kesadaran yang luas untuk saling berinteraksi antar bangsa dengan asas kesetaraan. Maka hal stempel ini juga tidak dapat dijadikan bukti mengatakan Sisingamangaraja XII telah masuk Islam. Sedangkan argumen lain mengatakan bahwa Sisingamangaraja XII berwarna hijau – warna Islam dan bukannya warna Batak : merah – putih – hitam, pendapat ini tidak mendapat bukti histories apapun. Alasannya karena tidak pernah ada yang bisa memperlihatkan benderah hijau itu, yang kedua adalah dengan logika berpikir ini kita juga bisa mengatakan Adolf Hitler itu pasti orang Batak, ‘bukti’nya bendera Nazi berwarana : merah – putih – hitam.96 Para misionaris yang menduga Sisingamangaraja XII masuk Islam juga tidak pernah bisa memberikan bukti selain dari ‘katanya’ (kabar angin). Bukannya memerintahkan rakyatnya untuk masuk Islam dan melawan Belanda, Raja Sisingamangaraja XII malah akhirnya minta agar Zending Kristen jangan diganggu. Pendekatan penginjilan Nommensen yang lemah lembut memang jauh beda dengan metode dakwah yang disampaikan oleh Pasukan Padri.97 Menurut Bapak Naipospos wakil dari Agama Permalim dalam Seminar Gugurnya Sisingamangaraja XII Juni 2007 lalu di Hotel Danau Toba Internasional, Raja Sisingamangaraja XII malah menegur Guru Somalaing Pardede, yang juga seorang yang dipercayakan melanjutkan agama Permalim, karena membawa-bawa nama Raja Rum ( Kekhalifahan Turki yang menguasai dan berpusat di Romawi Timur) dalam doanya.98 Raja Sisingamangaraja XII menegaskan keindependennya dengan memberikan surat pengangkatan raja (Parbaringin) Bius Laguboti yaitu Raja Mulia Naipospos.99 Dengan adanya kebanggaan ini maka Agama Permalim ini masih kuat hingga saat ini karena mereka tahu Raja Sisingamangaraja sebagai Malim (pemimpin agama) mereka tidak pernah menjadi Muslim, maka dengan bangga mereka tetap menyebut diri mereka sebagai Permalim dan melakukan ibadah yang sama sekali tidak mirip dengan ibadah umat Muslim. Belakangan muncul cerita bahwa Guru Patimpus, pendiri desa (kini kota) Medan adalah keturunan Raja Sisingamangaraja juga, namun hal ini engan tegas dibantah oleh Keturunan Raja Sisingamangaraja yang mengatakan dalam silisilah marga mereka, yaitu Sinambela tidak dikenal keberadaaan Guru Patimpus yang bermarga Sembiring Pelawi, walau saat ini ada juga penulis Muslim yang memaksakan marga ‘Sinambela’ pada pendiri kota Medan ini.100 Al-Ghazwul Fikri “Misi Kristiani Pisahkan Budaya Tapanuli” begitu artikel dalam majalah Islami Sabili No.12 Tahun XIV 28 Desember 2006/ Dzulhijjah 1407, halaman 56. Sub judul selanjutnya menambahkan, “Identitas ini terbentuk karena proses Kristenisasi, pemisahan budaya dan politik dari saudaranya di Selatan” yakni Mandailing. Jelaslah ini berita bohong karena kita tahu justru Islamisasilah yang pertama-tama menghancurkan budaya Batak yang disebut Sabili sebagai ‘Budaya Tapanuli’. Jihad fisabilillah Aceh telah membuat Batak mengalami statelessness (ketiadaan akan negara) tulis Antony Reid. Selanjutnya serangan jihad fisabilillah Padri membuat orang Batak Mandailing kehilangan jatidirinya sebagai Batak menurut Lance Castles. Lantas mengapa para juru dakwah Muslim ini menjadikan umat Kriten sebagai terdakwa perusak kebersamaan orang Batak? Hal ini tidak dapat dilepaskan dari al-ghazwu’l fikri atau “serangan pemikiran”. Istilah ini dipopulerkan oleh penulis-penulis Muslim. Al-ghazwu’l fikri mempunyai unsure kekerasan atau pemaksaan kehendak kepada pihak lain yang hendak ditaklukkan. Sebagai serangan non fisik, ia mempunyai pemahaman yang dekat dengan cuci otak atau dengan istilah-istilah lain: kontrol pemikiran, reformasi ideologi.101 Adian Husaini menyebutnya dengan “penyesatan opini”.102 Melalui penyesatan opini di mass media misalnya, orang digiring untuk meyakini opini (pendapat yang belum terbukti) yang ditulis oleh penulis sebagai fakta (peristiwa yang benar-benar terjadi), maka hilanglah kesempatan untuk melihat satu peristiwa dari berbagai sudut pandang yang berbeda dan menganalisanya secara kritis. Artikel ringkas “Dakwah Islam di Tanah Batak” atau yang bisa disebut juga dengan “Islamisasi Tanah Batak” ini hadir untuk menjadi pembanding dan penyeimbang atas berbagai opini yang beredar luas di media massa. Tampaknya ada pihak-pihak yang berusaha merevisi sejarah dengan menonjolkan kekurangan pihak lain sambil menyembunyikan kesalahan sama atau yang lebih parah yang telah dilakukan oleh pihaknya sendiri. Inilah yang kita kenal sebagai “standar ganda”. Ahmad Arief Rangkuti, ketua Majelis Ulama dearah Pematang Siantar menulis, “colonial Belanda memaksakan Kristen kepada penduduk… Jadi colonial Belanda di Indonesia, selain menjajah negeri ini adalah menjajah keyakinan dan agama Bangsa Indonesia.” Tentu Rangkuty melupakan penjajahan Aceh dengan dukungan Kekhalifahan Turki dan pasukan-pasukan Muslim asing atas Tanah Batak dan memaksakan Islam pada penduduk, langkah yang sama dilakukan juga oleh Pasukan Padri ratusan tahun kemudian pada orang Batak. Selanjutnya Rangkuty menulis mengenai Raja Siantar, Sang Nualuh Damanik yang dicopot karena masuk Islam. Konon Belanda takut karena agama Islam mengajarkan “anti penjajahan sesaman manusia”.103 Rangkuty juga abaikan fakta bahwa sewaktu pasukan Aceh menyerbu Kerajaan (Batak) Haru maka, “Raja Mbelin-Raja Mbelin Karo yang tetap mempertahankan agama nenek moyangnya Perbegu, seperti Sibayak Namo Surou, dicopto kekuasaannya… Sibayak Lau Cih/Kabanjahe tetap taat menjalankan agama nenek moyangnya, maka wilayahnya yang di Karo Jahe dicopot , dan didudukkan Guru Mbelin Pa Timpus Sembiring Pelawi…”104 Lance Castles yang sama sekali tidak bersimpati pada Zending Kristen dengan berusaha menunjukkan kerjasama antara Zending dan Belanda justru melihat adanya fakta bahwa di Tapanulis Selatan, “agama tradisional dihancur leburkan kaum Padri… Di Mandailing, penduduk kelihatan tidak bangga dengan kebatakannya, bahkan sebagaimana akan kita lihat, menyangkalnya sekeras-kerasnya… Bahkan orang Batak Toba yang merantau ke Medan boleh jadi terpaksa masuk Islam dan berasimilasi dengan budaya Melayu yang dominan secepat mungkin.”105 Bahkan dengan dukungan kekuatan ekonomi yang mereka miliki orang Mandailing berusaha menghancurkan identitas kebatakan pada orang-orang Batak Muslim.106 Lucu sekali fakta-fakta ini tidak mau diperhatikan oleh Sabili yang hanya mengutip pendapat Castle mengenai Belanda yang peralat agama Kristen sebagai penyebab terpecahnya orang Batak, tapi mengabaikan bahwa Islamlah yang pertama kali secara besar-besaran dan vulgar berusaha hancurkan kebatakan (habatahon). Justru Gereja Methodist dan bukan yang lain yang pertma-tama memberikan harga diri bagi orang Batak perantauan untuk menunjukkan kebatakannya dengan mengadakan kebaktian dalam Bahasa Batak di Batavia (Jakarta).107 Bahkan sampai masa modern adapt Batak (terutama Batak Toba) dipandang sebagai penghambat laju agama Islam diantara orang Batak.108 Siasat yang dipakaipun adalah strategi yang sama dengan yang digunakan oleh para juru dakwah (da’i) Islam di masa Kolonial Belanda. Pada masa Kolonial Belanda, para pegawai pemerintah yang beragama Islam masuk sebagai kaki tangan kolonialisme Belanda di Tanah Batak. Tapi mereka juga sekaligus memanfaatkan dukungan Belanda berupa fasilitas, gaji, transportasi dan lainnya untuk melakukan Islamisasi diantara orang Batak.109 Sampai saat ini siasat itu masih dilakukan, Seminar Dakwah Islam yang diadakan di Medan tahun 1983 merekomendasikan agar pemerintah mengirim pegawai-pegawai negeri yang Muslim ke Tanah Batak Toba untuk melakukan Islamisasi.110 Di Humbahas yang 90% penduduknya beragama Kristen tetap saja dipaksakan pengangkatan pejabat Departemen Agama yang beragama Islam tanpa perduli dengan lingkungan dan perasaan masyarakat daerah setempat.111 Di Tapanuli Utara, pejabat Kejasaan Negeri Tarutung yang Muslim mulai mengadakan kegiatan Islami di kantor pemerintahan.112 Di Desa Buntu Pane Asahan, camatnya drs Romihi Hasbi menghentikan pembangunan Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) yang didirikan di tengah kebun coklat milik orang Kristen.113 Sebelumnya camat Labuhan Deli, drs Azwan Supradi menyuruh bulldozer untuk menggusur Gereja Pentakosta di Indonesia (GPdI) di Jl. Veteran Pasar V Desa Manunggal.114 Dalam wacana pembentukan Propinasi Tapanuli (Protap), Yusnan Pasaribu dari DPRD Sibolga mengatakan Tim Pemrakarsa Protap mengingini sebuah propinsi Kristen. Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Sibolga, Nadzar juga mengkhawatirkan umat Islam jadi minoritas di propinsi Kristen.115 Juga ada nama-nama lain seperti Syukran Tanjung dari Fraksi Golkar, Haji Raden M. Syafei dari Partai Bintang Reformasi, Haji Banuaran Ritonga dari DPRD-SU yang mengaitkan Protap dengan SARA (Suku, Agama, Ras, Antar golongan), misalnya Haji Syafei mengatakan umat Muslim Tapanuli tidak mendukung Protap.116 Statement (pernyataan) yang tidak bijak ini menimbulkan reasi dari umat Muslim di Tapanuli yang mendukung Protap sehingga mereka tampil di barisan depan. Tapi hal ini ditafsir berbeda oleh Komandan Banser GP Ansor, Raidir Sigalingging. Raidir yang juga merupakan ketua umum DPP Persatuan Pemuda Pelajar Mahasiswa Batak Islam (P3MBI) menyatakan agar : khusus umat Islam dihimbau menguatkan barisan menghadapi kemungkinan terburuk, terutama kecendrungan kelompok Protap menjadikan oknum beragama Islam sebagai tameng.”117 Anehnya mereka lupa atau mungkin sengaja mengabaikan sejarah mencatat justru umat Kristen yang sangat toleran pada umat Muslim. Waktu Bupati Nias yang 90% pendudukanya Kristen dijabat oleh Haji Zakaria Lafau tak ada orang Kristen yang protes atau menuduh islamisasi. Waktu daerah-daerah dimekarkan dan perda (peraturan daerah) berbau Syariat Islam seperti di Bulukumba diterapkan umat Kristen dan non Muslim lainnya bisa menghargainya. Saat ini saja menurut laporan yang diterbitkan oleh group Jawa Pos, sudah ada 22 daerah yang menetapkan Perda bernuansa Syari’at Islam.118 Lantas mengapa jika ada keinginan dari orang Batak Toba yang sebenarnya pluralis ini untuk membentuk Protap dicegat karena motif kebencian terhadap agama Kristen? Umat Kristen di Tanah Batak dipaksa untuk terbuka pada umat Islam tapi umat Islam menolak untuk terbuka, hidup sederajad dan saling menghargai dengan orang lain. HAMKA misalnya memuji orang-orang Muslim yang merantau ke daerah Kristen, kawin dan mengislamkan gadis-gadis Kristen dan membuka mesjid, tapi mencela orang Batak yang menikahi gadis Minang di Gereja.119 Sungguh suatu standar ganda! Hal ini tetap meracuni pemikiran ‘intelektual’ Muslim, seperti yang dapat kita baca dalam buku karangan Ronidin, dosen Universitas Andalas Padang dan diterbitkan oleh Andalas University Press. “Intelektual” ini menulis, “para misionaris berupaya meracuni mental generasi muda Islam melalui narkoba, miras, trend, mode, pergaulan bebas, serta penyusupan pemikir-pemikir Kristen ke tengah-tengah masyarakat dengan berbagai cara.”120 Lupalah ‘intelektual’ kita ini bahwa budaya free sex dalam Islam dihalalkan melalui kawin cerai dan bahkan perbudakan; juga penghasil opium terbesar di dunia adalah Afghanistan yang merupakan negara Islam dengan penduduk Muslim yang sangat fanatic. Mengapa umat Muslim kalau mayoritas tak mau terbuka pada umat lain, tapi jika umat Islam minoritas maka dengan berbagai cara minta agar orang lain harus menghargai dan menuruti keinginan mereka? Penulis ingat peristiwa yang dicatat dalam Kitab Hakim-Hakim pasal 9 mengenai Abimelekh seorang tiran yang haus darah, penuh nafsu untuk membunuh dan dikuasai angkara murka. Mula-mula ia masuk dan mempengaruhi orang-orang untuk mendukung dia dengan alasan persaudaraan (hubungan darah dan kekerabatan). Setelah ia berkuasa maka orang-orang menyesal tapi tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Maka kita juga dituntut untuk bersikap arif agar dapat saling menghargai dalam kehidupan beragama dan melakukan syiar agama. Medan, 25 Juni 2007 1 Risalah Seminar Sedjarah Masuknja Islam ke Indonesia. Panita Seminar Sedjarah Masuknja Islam ke Indonesia, Medan, 1963, h.69 (selanjutnya disingkat SMI) 2 Andi Riza Hidayat, “Ketut dan Misteri Bukit Kerang” Kompas 30 Mei 2007 3 R. Soemono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia-1. Kanisius, Yogyakarta, 1994, h.79-82 4 Bisuk Siahaan, Kehidupan di Balik Tembok Bambu. Kempala Foundation, Jakarta, 2005, h. 4-11. Namun Siiahaan meragukan bahwa suku Batak berhubungan dengan suku Karen. 5 Irwansya Harahap,dalam Seminar 100 Tahun Gugurnya Raja Sisingamangaraja XII. 27 Mei 2007 ( selanjutnya disebut Seminar SMR XII) di Deli Room, Hotel Danau Toba Internasional, Medan. 6 M.A. Marbun & I.M.T. Hutapea, Kamus Budaya Batak Toba. Balai Pustaka, Jakarta, 1987, h.27-28 7 Robert Sibarani, “Pelegalitas Surat Sisingamangaraja XII dan Aksara Batak”. Seminar SMR XII, h.5 8 Marbun – Hutapea, 1987, h.27; SMI, 1963,h. 128 9 SMI, 193, h.62 10 SMI, 1963, h.221,228,241-242.272; Sejarah Da’wah Islamiyah dan Perkembangannya di Sumatera Utara. Manjelis Ulama Daerah Tingkat I Propinsi Sumatera Utara, Medan, 1981 (dibukukan 1983), h. 72 (selanjutnya disingkat: DIPSU). 11 DIPSU, 1983, h.109 12 Thomas W. Arnold, Sejarah Da’wah Islam. Widjaya, Jakarta, 1985, h.317-318. Para penulis dalam SMI maupun DIPSU sering mengacu pada karya Arnold ini; HAMKA, Dari Perbendaharaan Lama. Pustaka, Kuala Lumpur, 1981, h.3 13 HAMKA, 1981, h. 1-3 14 Massadul Hasan, History of Islam – 1. Adam Publisher, Delhi, 1998, 39 15 Ibnu Khaldun, Filsafat Islam Tentang Sejarah. Tintamas, Jakarta, 1976, h. 75-76 16 Khaldun, 1976, h. 187-188 17 HAMKA, Tafsir Al-Azhar –Juzu III. Pustaka Panjimas, Jakarta, 1983, h.25; Adil Muhyid din al Allusi, Arab Islam di Indonesia dan India. GIP, Jakarta, 1992, h.18; Ibnu Taimiyah, Siyasah Syari’ah. Risalah Gusti, Surabaya, 1999, h.112,119 18 Phillip K. Hitti, History of the Arabs. Serambi, Jakarta, 2005, h. 174-179, 186 19 Hitti, 2005, h. 16, 274-275 20 Arnold, 1985, h. 44, 46, 50-51, 58-63 21 Fatima Mernissi, Ratu-Ratu Islam yang Terlupakan. Mizan, Bandung, (halaman tahun penerbitan sobek), h.80-81 22 bnd. Hitti, 2005, h. 271, 318-320; Ahmad Amir, Fajar Islam. CV Forum, tanpa tempat, tanpa tahun penerbitan, h. 174-177 23 bnd. Hitti, 2005, h. 426-428; Mernissi, h. 80-81; Khalil Abdul Karim, Historisitas Syariat Islam. Pustaka Alif, Yogyakarta, 2003, h.53, 102-105, 126, 148-149; Amir, h. 121 24 Cholil Uman, Asbabun Nuzul. Citra Umbara, Bandung, 1995, h. 597-598 25 menurut tafsir (terjemah) Mahmud Yunus 26 Uman, 1995,h. 302 27 Taimiyah, 1999, h. 116 28 “Berdakwah dengan Kekuasan” Sabili 19 Juni2003,h. 12-13 29 Hitti, 2005, h. 180 30 bnd. Hitti, 2005, h.428 31 Samuel H Moffat, A History of Christianity in Asia-1. Harper San Francisco, Ny, 1992, pp.337-340, 357-361; Karim, 2003, h. 142-143 32 Hitti, 2005, h.274, 262-263, 277. Thomas W Arnold dalam The Preaching of Islam juga memberi banyak contoh-contoh lainnya. 33 Kursus Kader Katolik, Sedjarah Geredja Katolik di Indonesia. CLC, Djakarta, 1971, h.19; A. Heuken, Ensiklopedi Gereja V. CLC, Jakarta, 1995, h.169 34 SMI, 1963, h. 77-78 35 seluruh bagian ini berasal dari Anthony Reid, Is there a Batak History? Asia Research Institute – Working Paper Series no. 78, November 2006 36 DIPSU, 1983, h.71 37 Marbun – Hutapea,1987, h.70-71 38 E.A. Livingstone, The Concise Oxford Dictionary of the Christian Church. Oxford Universtity Press, NY, 1992, p.317 39 R. Soetarno, Aneka Candi Kuno di Indonesia. Dahara Prize, Semarang, 1993, h. 161 40 Hasbullah Bakry, “Pandangan Islam tentang Kristen di Indonesia” dalam Peninjau Thn XI, 1&2, 1984, h.197 41 Ira M Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam 1&2. Rajawali Press, Jakarta, 2000,h. 673; SMI, 1963, h. 222-223 42 Lapidus, 2000, h. 677 43 Lapidus, 2000, h. 470-471, 476-477 44 H.J. De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram. Grafiti Press, Jakarta, 1986, h. 105-107 45 B. Schrieve, Indonesian Sociological Studies. W.van Hoeve, Ltd – The Hague, Bandung, 1955, pp.42- 44; B.H.M Vlekke, Nusantara A History of Indonesia. P.T. Soeroengan, Djakarta, 1961, p.91 46 Vlekke, 1961, p. 90 47 Vlekke, 1961, pp.87, 95-96 48 Schrieve, 1955, p.42’ Brian Harrison, Asia Tenggara Suatu Sejarah Ringkas. Kementrian Pelajaran Malaysia, K.L.,1966, h.115 49 SMI, 1963, h.79; Brahma Putro, Karo dari Zaman ke Zaman. Ulih Saber, Medan,1979, h.170 50 Schrieve, 1955, p. 44; Vlekke, 1961, p.93 51 Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Rajawali Press, Jakarta, 2004, h. 30,- 38-39,41 52 Harrison, 1966, h.114-115 53 Ahmad Mansur Suryanegara, “Gereja Mendukung Penjajahan” Sabili 7 Mei 2004, h.96 54 DIPSU, 1983, h. 117 55 SMI, 1963, h. 216-215 56 Lapidus, 2000, h.721 57 Putro, 1979, h. 164-165 58 Putro, 1979, h. 13, 101, 136-137, 139, 170 59 Putro, 1979, h. 224 60 Putro, 1979, h. 224, 138, 143 61 Putro, 1979, h. 43, 142-145; DIPSU, 1983, h.92-95 62 Putro, 1979, h. 141 63 Vlekke, 1961, p.93 64 DIPSU, 1983, h.93; Schieve, 1955, p.43 65 DIPSU, 1983, h.95 66 DIPSU, 1983, h.98 67 DIPSU, 1983, h. 177 68 Brahma Putro, Sejarah Karo dari Zaman ke Zaman-3. Ulih Saber, Medan, 1995, h.90 69 Lance Castle. Tapanuli 1915-1940. KPG, Jakarta, 2001, h.139 70 Dada Meuraxa, Sejarah Kebudayaan Sumatera. Firma Hasma, Medan, 1974, h. 134-135; Vlekke, 1961, h. 93 71 HAMKA, Sedjarah Umat Islam-4. NV Nusantara, Bukittinggi, 1961, h. 114; Vlekke, 1961, h.93 72 V.S. Naipaul, Among The Believers. Penguin Books, London, 1988, p.106, 125-126.133 73 bnd. “Bercermin Pada Ulama Salaf”. Panji Masyarakat No.25 Thn III Oktober 1999, h. 96 74 DIPSU, 1983, h. 112-113 75 SMI, 1963, h. 77dst 76 Ibnu Khaldun, 1976, h.95 77 DIPSU, 1983, h. 96 78 DIPSU, 1983, h. 97 79 Abdul Aziz Ghonim, Perang dan Damai Rasulullah. GIP, Jakarta, tanpa tahun penerbitan, h 83. Juga Islamisasi melalui perbudakan dan kawin paksa: Amir, ttp, h. 124-125, 129 80 Amir, ttp.h. 122-123; Pilihan bagi bangsa Arab non Muslim hanya masuk Islam atau dimusnahkan sedang bagi bangsa non Arab masih diperkenankan jizyah, h. 120 81 Karim, 2003, h. 62-64 82 Eko Prasetyo, Pembela Agama Tuhan. Insist Press, 2002, h. 106-107 83 SMI, 1963, h. 68-69 84 DIPSU, 1983, h. 156 85 Umat Muslim berusaha menghilangkan fakta ini. Dalam bahasa Indonesia hanya ada satu buku yang menceritakan penjajahan Padri di tanah Batak yaitu karangan : Mangaradja Onggang Parlindungan, Tuanku Rao : Teror Agama Islam Mahzab Hambali di Tanah Batak 1816 – 1833. Tanjdung Pengharapan, Djakarta, 196(4) atau 1965 86 Bungaran Antonius Simanjutak, Struktrur Kekuasaan dan Sistem Politik Batak Toba Hingga Tahun 1945. Obor, Jakarta, 2006, h.44-45 87 DIPSU, 1983, h. 158 88 DIPSU, 1983, h. 98 89 Daniel Pipes, Tentara Budak dan Islam. Pustaka Firdaus, Jakarta, 1986 90 “Anak-Anak Sudan Diculik, Digunakan dalam Perang dan Seks” Analisa 10 Juni 2007 91 “Timor’s Lost Boys” Time, December 23, 2002, pp. 22-24 92 Uman, 1995, h. 568-569 93 DIPSU, 1983, h. 177 bnd. H. 96-97 yang mencatat penolakan orang-orang Batak yang menjadi Muslim terhadap budayanya sendiri telah terjadi sebelum atau pada masa awal Perang Sisingamangaraja XII. 94 Reid, 2006 95 bnd. Sitor Situmorang, Toba Na Sae. Sinar Harapan, Jakarta, 1993, h.182-183 96 bnd. Subanindyo Hadiluwih, “Ahu Sisingamangaraja” Analisa 17 Juni 2007 97 Marusaha Lumban Toruan, “Memaknai Perjuangan Sisingamangaraja XII”, Sib 16 Juli 2007 98 bnd. Juga Castle, 2001, h.61 99 Gens G Malau, Dolok Pusuk Buhit. Balai Pustaka, Jakarta, 1994, h. 77-78 100 Putro, 1995, h.21 101 Rifayal Ka’bah, Islam dan Serangan Pemikiran. Granada Nadia, Jakarta, 1994, h.11 102 lihat. Adian Husaini, Penyesatan Opini. GIP, Jakarta, 2002 103 DIPSU, 1983, h. 129-130 104 Putro, 1979, h. 143 105 Castle, 2001, h. 81, 136-137 106 Castle, 2001, h. 140-141 107 Castle, 2001, h.137 108 DIPSU, 1983, h. 182 109 DIPSU, 1983, h.162; Castle, 2001, h.18 110 DIPSU, 1983, h.183 111 “Masyarakat Humbahas Datangi Kanwil Depag Sumut” Sib 18 September 2006 112 “MUI dan Masyarakat Taput Salut atas Inisiatif Kajari Tarutung” Sib 31 November 2006 113 “Camat Stop Pembangunan Gereja GKPS Desa Buntu Pane Asahan” Sib 22 Mei 2007 114 “GAMKI dan Tokoh Umat Kristen Tebing Tinggi Sesalkan Sikap Arogansi Camat Labuhan Deli Ingin Bongkar Gereja GPDI” Sib 1 Februari 2006 115 “Kristen Tapanuli Rancang Propinsi Baru” Sabili No. 11, 14 Desember 2006, h. 52-55 116 “Pansus Propinsi Tapanuli Konsultasi ke Depdagri” dan “Jangan Bentur-Benturkan Agama Dengan Pembentukan Propinsi Tapanuli” Sib 12 April 2007 117 Isvan Wahyudi, “Aksi Pendukung Protap Pemaksaan Kehendak” Global 27 April 2007 118 “Diskriminasi Membuncah di Tanah Rencong” Gloria Minggu III Juni 2007, h. 29 119 HAMKA, Umat Islam Menghadapi Tantangan Kristenisasi dan Sekulerisasi. Pustaka Panjimas, Jakart, 2003, h. 37-37 120 Ronidin, Minangkabau di Mata Anak Muda. Andalas University Press, Yogyakarta,2006, h.126