Anda di halaman 1dari 2

ANALISIS PIDANA MATI YANG BERSIFAT KHUSUS, DIRUMUSKAN MULAI DARI

PASAL 64 RUU KUHP

Muladi dalam bukunya yang berjudul Proyeksi Hukum Pidana Materil di Masa Datang
mengatakan bahwa pidana diartikan sebagai derita, deraan dan nestapa yang merupakan masalah
yang sangat sensitif karena hal ini demikian mengingat bahwa masalah tersebut sangat berkaitan
erat dan bersinggungan langsung dengan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang
mulia.1 Pada hakikatnya tujuan pemindanaan dalam RUU KUHP yang nantinya menjadi
pendoman dalam pemberian pidana supaya pertama-pertama harus dipahami dengan
menggunakan sebuah pendekatan multi-demensional yang bersifat mendasar terhadap dampak
tindak pidana. Supaya dapat memperbaiki kerusakan yang bersifat individual maupun yang
bersifat sosial serta memelihara solidaritas masyarakat yang tercantum dalam tujuan pemindaan
itu sendiri.2 Isu pembaharuan hukum nasional pada KUHP sudah beredar sejak lama, hal ini
dikarenakan KUHP yang digunakan sekarang ini sudah tidak sesuai dengan apa yang menjadi
tuntuttan perkembangan masyarakat. Pembahasan RUU KUHP ini sudah hampir selesai namun
masih ada beberapa kendala yang terjadi terutama di beberapa substansi pada pasal yang belum
berhasil diputuskan. Salah satunya substansi yang belum berhasil diputuskan yaitu pada Pasal
pidana mati yang bersifat khusus. Di Indonesia, pengaturan pidana mati sebagai pidana pokok
sudah menjadi dilemma yang tersendiri apabila mengingat bahwa KUHP yang digunakan di
Indonesia saat ini ialah peninggalan dari WvS Belanda. Sedangkan untuk pelaksanaan pidana
mati itu sendiri di Belanda sudah dihapuskan sejak tahun 1810, oleh karena itus sistem hukum di
Indonesia harus dilakukan pembaharuan terutama pada hukum pidana melalui pembaharuan
KUHP yang tidak terlepas atas bagaiama pidana mati tersebut harus diatur pada konsep RUU
KUHP. Namun dalam pembahasan RUU KUHP sejak awal telah dirumuskan bahwa pengaturan
sanksi pidana mati ini sudah mengalami beberapa kali perubahan, dimana awalnya ditetapkan
sebagai pidana pokok lalu berubah menjadi pidana pengecualian lalu berubah menjadi pidana
pokok yang bersifat khusus dan yang terakhir berubah menjadi pidana mati yang diatur sebagai
pidana khusus untuk tindak pidana tertentu.3

Menurut saya pengaturan dalam pidana mati seharusnya menjadi jalan dalam
mengharmonisasikan antara kelompok yang pro ataupun kontro terhadap pidana mati, sehinga
yang menjadi titik tolak dari pengaturan pidana ini nantinya ialah ide-ide akan keseimbangan
antara kepentingan golongan yang mendukung pidana mati ataupun menolaknya. Oleh karena itu
berdasarkan ide keseimbangan tersebut, maka pada Pasal 64 RUU KUHP menyatakan pada poin
(c ) bahwa pidana yang bersifat khusus untuk tindak pidana tertentu yang ditentukan dalam
Undang-Undang. Ketentuan dalam pasal ini adalah sebuah jalan yang diambil oleh para
pembentuk Undang-Undang supaya pidana mati ini dijadikan sebuah pidana mati yang bersifat
1
Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil di Masa Datang (Semarang: Badan Penerbit Undip, 1994), hlm. 13.
2
Soponyono Kebijakan Perumusan Sistem Pemidanaan yang Berorientasi Pada Korban. Masalah – Masalah Hukum,
Vol.41, (No.1), p. 30. 2012.
3
Lidya Suryani Widayanti, Pidana Mati dalam RUU KUHP: Perlukah Diatur Sebagai Pidana Yang Bersifat
Khusus?, Negara Hukum : Vol. 7, No. 2, November 2016, Hlm. 169.
khusus dan diancamkan secara alternatif saja. Saya setuju dengan adanya hukuman mati sebagai
pidana yang bersifat khusus pada pembaharuan KUHP, karena dengan dikeluarkannya pidana
mati dari jenis pidana yang awalnya pokok menjadi khusus ini memiliki fungsi sebagai
pengaman untuk menghindari adanya penggunaan pidana mati ini secara semena-mena dan
pidana mati ini digunakan sebagai upaya terakhir yang harus dilakukan.

Di Indonesia pembahasan pidana mati masih terus menjadi perdebatan, namun pada
akhirnya meski masih ada pihak pro ataupun kontra telah ditetapkan bahwa pidana ini
dipertahankan dalam RUU KUHP dan bersifat alternatif. Hingga sampai saaat ini sudah hampir 2
pertiga negara-negara di daratan Asia mempertahankan pidana mati dalam sistem hukum
mereka, pidana mati ini paling banyak digunakan untuk perdagangan narkoba di negara yang ada
di Asia Tenggara. Dimana lebih dari 80 persen eksekusi di Singapura pada tahun 2000 ditujukan
terhadap perdagangan narkoba dan proposi. Dilakukannya eksekusi pidana mati terhadap pelaku
pedagangan narkoba dan lain lain, di Indonesia ataupun Thailand serta Vietnam sitem
eksuskinya dilakukan dengan cara melalui regu penembak. Sedangkan Malaysia dan Singapura
dilakukan dengan cara penggantungan, sedangan di Pilipina dan Thailand eksesusi pidana mati
digunakan dengan cara injeksi mematikan. Sedangkan di negara negara seperti Denmark,
Finlandia, Norwegia dan Swedia pidana mati itu dilarang termasuk pada saat masa perang.
Sehingga disana untuk pidana yang paling berat yakni pidana seumur hidup. Sedangkan di
negara Perancis pidana mati ini dilakukan dengan alternatif seperti dilakukannya kurungan
seumur hidup yang dimaksudkan untuk menggantikan pidana mati yang telah dihapus sejak
tahun 1981. Sehingga sebagaimana pengaturan pidana mati dalam RUU KUHP ini, beberapa
negara yang masih mempertahankan pidana ini juga memberlakukan pidana mati hanya untuk
tindak pidana tertentu dan diancakan secara alternatif.4

4
Ibid., hlm. 188-190.

Anda mungkin juga menyukai