Anda di halaman 1dari 2

Kepemimpinan Perempuan Dalam Kacamata Islam

Oleh: Halimah Sa’diyah

Mahasiswi UIN Walisongo Semarang

Menyoal tentang sebuah kepemimpinan, sudah tidak menjadi hal yang tabu lagi bagi
kalangan manusia. Isu-isu kepemimpinan perempuan saat ini menjadi topik yang hangat untuk
diperbincangkan. Sejak 14 abad yang silam, al-Qur’an telah menghapuskan berbagai macam
diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Al-Qur’an memberikan pula hak-hak kepada
kaum perempuan sebagaimana hak-hak yang diberikan kepada kaum laki-laki.Diantaranya dalam
masalah kepemimpinan. Islam telah memberikan hak dan kewajiban kepada perempuan seperti
yang diberikan Islam kepada laki-laki, kecuali hak atau kewajiban yang dikhususkan Islam untuk
laki-laki saja berdasarkan dalil-dalil yang ada.

Dalam dunia kepemimpinan menurut pandangan islam, terjadi kontroversi mengenai


boleh tidaknya seorang perempuan menjadi seorang pemimpin. Selama ini seolah-olah ada
dilema dalam hal kepemimpinan perempuan dalam Islam. Di satu sisi adanya anggapan bahwa
aktivitas perempuan paling baik adalah di rumah, mengurus suami dan anak, memasak dan
aktivitas lain yang sifatnya domestik. Di sisi lain perempuan masa kini dituntut untuk aktif
berkiprah di luar rumah. Entah itu untuk bekerja, belajar, ataupun melakukan kegiatan-kegiatan
sosial.

Hadits abi Bakrah yang diriwayatkan oleh Bukhari yang artinya “tidak akan sukses
(beruntung) suatu kaum yang menyerahkan (kepemimpinan) urusan mereka kepada seorang
perempuan”. Hadits ini todak boleh kita konsumsi secara mentah. Latar belakang turunnya hadits
tersebut karena dahulu ditujukan kepada masyarakar Persia yang menyerahkan urusan kekuasaan
kepada seorang perempuan. Dan saat itu memang negara Persia dilanda perang romawi yang
menyebabkan kehancuran dalam negara tersebut.

Di dalam al-Qur’an surah saba’ ayat 15 yang menceritakan seorang ratu perempuan yang
mempunyai pikiran lincah, bersikap hati-hati dan teliti dalam memutuskan sesuatu. Ia tidak
gegabah dan buru-buru dalam memutuskan suatu perkara, sehingga ketika ditanya tentang
singgasananya yang telah dipindahkan, ia menjawab dengan ungkapan diplomatis. Bahkan ia
mempunyai kecerdasan berlogika dan bertauhid, Ratu Balqis namanya. Pengangkatan  tema Ratu
Balqis di dalam al-Qur’an mengandung   makna implicit bahwa perempuan boleh menjadi
pemimpin sebagaimana halnya seorang laki-laki.

Faktor-faktor penyebab munculnya persepsi masyarakat bahwa seorang perempuan tidak


layak dijadikan seorang pemimpin adalah adanya tabiat atau pembawaan mereka, seperti
menstruasi setiap bulan beserta keluhan-keluhannya, mengandung dengan segala penderitaanya,
melahirkan dengan segla resikonya, menyusui dengan segala bebannya, dan sebagai ibu dengan
segala tugasnya. Semua itu menjadikan mereka secara psikis, fisik, dan pemikiran tidak mampu
mengemban tugas sebagai pemimpin.

Esensial dalam sebuah kepemimpinan adalah kemampuan dan intelektualitas. Dua hal
tersebut saat ini dapat dimiliki oleh siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Jadi, baik laki-
laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi seorang pemimpin
berdasarkan pertimbangan kapabilitas dan intelektualitas yang dimilikinya. Pandangan yang
menyatakan bahwa perbedaan jenis kelamin menjadi halangan untuk memimpin tidak sebaiknya
dipertahankan karena kepemimpinan adalah tentang kemaslahatan. Maka, siapa saja yang
memiliki kemampuan tersebut, lia llayak dijadikan seorang pemimpin tanpa memandang jenis
kelamin.

Anda mungkin juga menyukai