Anda di halaman 1dari 3

PKN

Demokrasi Indonesia Pada Masa Liberal

Disusun oleh :
Muhammad Farhan Apprilianto
Muhammad Fathra Ramadhan
M. Fikri M. H.
Muhammad Iqbal Akbar
Muhammad Rizky Zeraldi

SMA NEGERI 1 BANJARBARU


TAHUN AJARAN 2020/2021
Demokrasi Indonesia Pada Masa Demokrasi Liberal

(1950-1959)

Masa demokrasi parlementer adalah masa kejayaan demokrasi di Indonesia. Karena hampir
perwujudan semua elemen demokrasi dapat ditemukan dalam kehidupan politik di Indonesia.

Berikut ini enam indikator ukuran kesuksesan pelaksanaan demokrasi pada masa pemerintahan
parlementer:

Pertama, lembaga perwakilan rakyat atau parlemen berperan tinggi dalam proses politik.
Perwujudan kekuasaan parlemen terlihat dari sejumlah mosi tidak percaya pada pihak pemerintah.
Akibatnya kabinet harus meletakkan jabatan meski pemerintahan baru berjalan beberapa bulan.
Seperti Djuanda Kartawidjaja diberhentikan dengan mosi tidak percaya dari parlemen.

Kedua, akuntabilitas (pertanggungjawaban) pemegang jabatan dan politisi pada umumnya sangat
tinggi. Hal ini dapat terjadi karena berfungsinya parlemen dan juga sejumlah media massa sebagai alat
kontrol sosial. Sejumlah kasus jatuhnya kabinet dalam periode ini merupakan contoh konkret
tingginya akuntabilitas.

Ketiga, kehidupan kepartaian memperolah peluang sebesar-besarnya untuk berkembang secara


maksimal. Dalam periode ini, Indonesia menganut sistem multipartai. Pada periode ini 40 partai
politik terbentuk dengan tingkat otonomi yang sangat tinggi dalam proses rekrutmen, baik pengurus
atau pimpinan partai maupun para pendukungnya. Campur tangan pemerintah dalam hal rekrutmen
tidak ada. Sehingga setiap partai bebas memilih ketua dan segenap anggota pengurusnya.

Keempat, sekalipun Pemilihan Umum hanya dilaksanakan satu kali pada 1955, tetapi Pemilihan
Umum tersebut benar-benar dilaksanakan dengan prinsip demokrasi. Kompetisi antar partai politik
berjalan sangat intensif dan fair. Setiap pemilih dapat menggunakan hak pilih dengan bebas tanpa ada
tekanan atau rasa takut.

Kelima, masyarakat umumnya dapat merasakan hak-hak dasar dan tidak dikurangi sama sekali.
Meski tidak semua warga negara dapat memanfaatkan hak-hak dasar dengan maksimal. Tetapi hak
untuk berserikat dan bekumpul dapat diwujudkan, dengan terbentuknya sejumlah partai politik dan
organisasi peserta Pemilihan Umum. Kebebasan pers dan kebebasan berpendapat dirasakan dengan
baik. Masyarakat bisa melakukan tanpa rasa takut menghadapi risiko, meski mengkritik pemerintah
dengan keras. Contoh Dr. Halim, mantan Perdana Menteri, menyampaikan surat terbuka dengan
kritikan sangat tajam terhadap sejumlah langkah yang dilakukan Presiden Soekarno. Surat tersebut
tertanggal 27 Mei 1955.

Keenam, dalam masa pemerintahan parlementer, daerah-daerah yang memperoleh otonomi yang
cukup. Daerah-daerah bahkan memperoleh otonomi seluas-luasnya dengan asas desentralisasi sebagai
landasan untuk berpijak, dalam mengatur hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah.
Kegagalan Demokrasi Liberal
Konsep liberalisme yang berkembang saat itu diadopsi demi dijalankannya demokrasi yang
bebas di Indonesia. Sayangnya, model demokrasi itu mengalami beberapa kemunduran karena sangat
beragamnya pandangan dan aspirasi masyarakat Indonesia saat itu.

Dalam hal politik, tidak ada batasan bagi tiap individu atau golongan untuk berserikat.
Demokrasi kala ini ditandai dengan banyaknya partai politik. Pada Pemilu 1955, ada 172 partai politik
yang bertanding. Tidak ada partai yang paling unggul. Namun empat partai dengan perolehan suara
terbesar yakni:

1. Partai Nasional Indonesia (PNI) (22,3 persen)


2. Masyumi (20,9 persen) Nahdlatul Ulama (NU) (18,4 persen)
3. Partai Komunis Indonesia (PKI) (15,4 persen)

Kondisi ini menyebabkan partai-partai dengan ideologi yang berbeda saling bersaing untuk
menguasai pemerintahan dan menjalankan programnnya. Kabinet terpaksa didukung oleh sejumlah
partai berdasarkan hasil usaha pembentukan partai (kabinet formatur).

Bila salah satu partai mundur, maka akan terjadi krisis kabinet. Presiden hanya menunjuk
seseorang, umumnya ketua partai, untuk membentuk kabinet. Setelah kabinet terbentuk, maka kabinet
dilantik oleh presiden. Demokrasi Liberal kerap disebut sebagai sebagai Demokrasi Parlementer. Ini
karena kabinet bertanggung jawab pada parlemen.

Sehingga jatuh bangun kabinet tergantung dari parlemen. Akibatnya, kabinet sering berganti.
Usia kabinet yang pendek menyebabkan program tidak bisa berjalan optimal. Kekacauan politik
terjadi karena parlemen memiliki kekuasaan yang sangat besar. Padahal, parlemen sendiri terdiri dari
berbagai golongan dengan ideologi dan aspirasi yang berbeda.

Kondisi politik, ekonomi, sosial, dan keamanan tidak stabil. Pemberontakan terjadi di berbagai
daerah. Keadaan ekonomi memburuk. Demokrasi Liberal berakhir pada 1959 ketika Presiden
Soekarno membubarkan Dewan Konstituante lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dewan Konstituante
dibubarkan karena tarik ulur antargolongan dalam menetapkan dasar negara tak juga diselesaikan.

Anda mungkin juga menyukai