Anda di halaman 1dari 5

G-20 DAN PRESIDENSI G20 2022: BEBERAPA CATATAN KRITIS UNTUK INDONESIA

Salman Faris

1. Pendahuluan

G20 adalah forum kerja sama multilateral yang terdiri dari 19 negara utama dan Uni Eropa (EU). G20
merepresentasikan lebih dari 60% populasi bumi, 75% perdagangan global, dan 80% PDB dunia. Anggota
G20 terdiri dari Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, India, Indonesia,
Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Republik Korea, Rusia, Perancis, Tiongkok, Turki, dan
Uni Eropa. Berbeda dari kebanyakan forum multilateral, G20 tidak memiliki sekretariat tetap. Fungsi
presidensi dipegang oleh salah satu negara anggota, yang berganti setiap tahun. 

G20 dianggap berjasa dalam Penanganan Krisis Keuangan Global 2008 dengan menginisiasi paket
stimulus fiskal dan moneter yang terkoordinasi, dalam skala sangat besar. G20 juga mendorong
peningkatan kapasitas pinjaman IMF, serta berbagai development banks utama. G20 juga disebut telah
memacu OECD untuk mendorong pertukaran informasi terkait pajak. Pada 2012, G20 menghasilkan cikal
bakal Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) keluaran OECD, yang kemudian difinalisasikan pada 2015.
Melalui BEPS, saat ini 139 negara dan jurisdiksi bekerja sama untuk mengakhiri penghindaran pajak.

G20 secara umum memiliki tiga jesi pertemuan. Pertama, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)/Summit yang
Merupakan klimaks dari proses pertemuan G20, yaitu rapat tingkat kepala negara/pemerintahan.
Kedua, Ministerial & Deputies Meetings/Pertemuan Tingkat Menteri dan Deputi yang diadakan di
masing-masing area fokus utama forum. Ketiga, Kelompok Kerja/Working Groups yang beranggotakan
para ahli dari negara G20, Working Groups menangani isu-isu spesifik yang terkait dengan agenda G20
yang lebih luas, yang kemudian dimasukkan ke dalam segmen kementerian dan akhirnya KTT.

Sebagaimana ditetapkan pada Riyadh Summit 2020, Indonesia memegang presidensi G20 pada 2022,
dengan serah terima yang dilakukan pada akhir KTT Roma (30-31 Oktober 2021). Tema Presidensi G20
Indonesia 2022 "Recover Together, Recover Stronger". Melalui tema tersebut, dikatakan Indonesia ingin
mengajak seluruh dunia untuk bahu-membahu, saling mendukung untuk pulih bersama serta tumbuh
lebih kuat dan berkelanjutan.

Dalam lingkup Indonesia G20 disebut memberikan manfaat bagi indonesia Presidensi G20 di tengah
pandemi membuktikan persepsi yang baik atas resiliensi ekonomi Indonesia terhadap krisis. G20 disebut
sebagai bentuk pengakuan atas status Indonesia sebagai salah satu negara dengan perekonomian
terbesar di dunia, yang juga dapat merepresentasikan negara berkembang lainnya. Momentum
presidensi ini hanya terjadi satu kali setiap generasi (+ 20 tahun sekali) Indonesia dapat mengorkestrasi
agenda pembahasan pada G20 agar mendukung dan berdampak positif dalam pemulihan aktivitas
perekonomian Indonesia.

G20 dikatakan menjadi kesempatan menunjukkan kepemimpinan Indonesia di kancah internasional,


khususnya dalam pemulihan ekonomi global. Juga disebut Membuat Indonesia menjadi salah satu fokus
perhatian dunia, khususnya bagi para pelaku ekonomi dan keuangan. Pertemuan-pertemuan G20 di
Indonesia juga menjadi sarana untuk memperkenalkan pariwisata dan produk unggulan Indonesia
kepada dunia internasional, sehingga diharapkan dapat turut menggerakkan ekonomi Indonesia.

2. Catatan Kritis

Melalui kesempatan ini penulis menyampaikan beberapa catatan kritis terhadap G20. Kritik tersebut
dapat dibagi menjadi beberapa tiga poin utama yakni kritik terhadap G20 secara umum, kritik terhadap
presidensi G20 2022 dan kritik ideologis. Penjabaran ketiganya tertuang dalam poin kritik representasi
pertumbuhan ekonmi, kritik terhadap bargaining position Indoneisa, kritik atas gerbong kosong isu
dalam presidensi G20 dan paradaoks peran Negara dalam G20.

2.1. Catatan Kritis G20 Secara Umum

2.1.1. G20 Bukan Representasi Riil Keadaan Ekonomi

Pertanyaan kritisnya adalah: Apa sih parameter Negara ekonomi maju itu? tentu pertumbuhan
ekonomi. Indonesia masuk menjadi G20 pun dinilai dari pertumbuhan ekonmi yang direpresentasikan
oleh PDB, pendapatan perkapita dll. Hakikat pertumbuhan ekonomi yang semaca itu sejatinya bukan
wajah asli Indonesia dalam arti rakyat Indonesia secara umum. Hal itu hanyalah gambaran pendapatan
dan produksi perusahaan-perusahaan yang melakukan produksi dalam negeri Inilah sesungguhnya yang
mewakiki istilah G20. Jadi jika G20 berkumpul sejatinya mewakili perusahaan bukan Negara apalagi
wakil dari kondisi riil rakyat.

2.1.2. Posisi Indonesia di G20, Bukan Penggambaran Leader Melainkan Follower

Pertanyaan kritisnya adalah: Dalam konteks yang bagaimana kita melihat Indonesia dan G20?

Konteks pertama, posisi Negara Negara yang ada dalam G20 tidak sejajar, tidaklah simetris. di dalamnya
ada Negara adidaya atau pernah menajdi adidaya seperti Amerika serikat, Inggris, Jerman, Rusia dan
Prancis. Ada pula Negara maju seperti Australia, Jepang, Italia dan sebagainya. Negara lainya adalah
Negara yang berkembang kearah Negara maju seperti Turki, India. Dari fakta tersebut tentu bisa dibaca
adanya intevensi dari engara kelas atas kepada negar akelas bawah. dengan kata lains egala cita-cita
yang tertuang dalam G20 apsti mengandung kepentingan Negara adidaya atau negar maju.

Konteks kedua adalah konteks Indonesia dilihat diri potensinya untuk menjadi engara maju, lalu terlibat
dlaam G20 yang diintervensi oleh Negara adidaya. Jika kita meletakkan G20 dalam konteks Indoensia
sebagai negara pengekor dan tidak memiliki arah pembangun sendiri, maka mengikuti G20 dengan pola
yang tersusun oleh Negara adidaya dan Negara maju adalah sebuah kewajaran. Namun jika kita ingin
menempatkan G20 ini pada konteks eksistensi Indonesia sebagai Negara besar dengan arah kebijakan
yang jelas, maka G20 menjadi forum yang terlalu remeh.

Meskipun disebut sebagai leader, setidaknya pada presidensi tahun 2022 namun posisi Indonesia belum
bergeser sedikitpun dari posisi semula. Sejak awal dibentuknya G20, narasi yang disampaikan oleh
Indonesia masih seputar cita-cita ingin menjadi Negara yang dikenal dunia, mengundang tamu priwisata
dll selalu diulang ulang Narasi tersebut seperti menimbulkan rasa iba.
Kita bisa melihat hal tersebut dalam dokumen resmi presidensi G20 2022. Diantaranya menyebutkan
bahwa G20 ini Membuat Indonesia menjadi salah satu fokus perhatian dunia, khususnya bagi para
pelaku ekonomi dan keuangan. Pertemuan-pertemuan G20 di Indonesia juga menjadi sarana untuk
memperkenalkan pariwisata dan produk unggulan Indonesia kepada dunia internasional, sehingga
diharapkan dapat turut menggerakkan ekonomi Indonesia

Narasi tersebut menurut penulis hanya layak dikeluarka oleh Negara kecil yang tidak memiliki potensi
sumber daya alam. Narasi tersebut juga hanya layaknya diusung oleh Negara tanpa potensi sumber daya
manusia yang besar selain Indonesia.

2.2. Kritik Presidensi G20 Tahun 2022

2.2.1. Tiga Isu Utama Presidensi G20 2022, Hanyalah Gerbong Kosong

Tiga isu utama presidensi G20 2022 adalah arsitektur kesehatan global, transformasi digital dan transisi
energy berkelanjutan. Ketiganya menurut penulis hanyalah ceremonial dan gerbong kosong yang tidak
mampu menggerakan Indonesia kearah kemajuan berarti.

Isu arsitektur kesehatan global kesehatan merupakan hal yang cukup pelik bagi indoensia. Sistem
kesehatan nasional kita terutama dengan UU BPJS membuat potret kesehatn Indonesia menjadi sangat
buram. Alih alih ingin menginisiasi seistem kesehatan yang baik bagi golobal, mewujudkan Indonesia
sehat tahun 2010 pun gagal total. Permaslaahan kesehatan paska pandemic covid-19 masih banyak yang
belum dibenahi bahkan ada beberapa klaim bpjs yang belum terbayarkan.

Pemerintah bisa saja percaya diri dengan menyebut pemulihan pandemic covid 19 Indonesia yang dinilai
termasuk yang paling cepat. Namun menurut penulis hal itu terjadi bukan by design. Melainkan karna
daya tahan dan exit poin masing-masing rakyat yang bervariasi. Sehingga tanpa campur tangan
peerintah pun mereka bisa pulih dan mencari jalan keluar masing masing. Hal tersebut mirip dengan
klaim keberhasilan Indonesia mampu merih pertumbuhan ekonomi 5%. Padahal menurut anekdok ahli
ekonomi, pertumbuhan ekonomi 5% bisa dicapai dengan atau tanpa ada predsiden sekalipun. Alias
bukan sebuah prestasi.

Isu transfrormasi digital adalah contoh disorientasi. Rakyat Indoneisia masih berpijak pada sektor riil
yang tertatih tatih, ketimpagan daerah dan pusat masih ada. wilayah yang infrastruktur tertinggal masih
banyak. dengan kata lain, utuk ukuran Indoneisa transfirmasi diginalisasi bukanlah prioritas dan bisa
ditnda. Poin digitalisasi bisa dilihat dari gambaran pembelian pertalaite dengan aplikasi adalah sebuah
kebodohan. Tidak memudahkan malah menyulitkan dan hanya berujung pada pengambilan keuntungan
diatas kebingungan rakyat.

Isu transfrmasi energy berkelanjutan juga menurut penulis adalah bentuk dari ikut ikutan saja.
transformasi energy merupakan domain Negara yang sudah selesai PR utamanya yakni industralisasi dan
berubah menajdi Negara industry. Juga Negara yang politiknya sudah menjadi adidaya atau setidaknya
bukan negara berkembang. Jika memaksakan diri, Indoensai menganut falsafah biar tekor asal kesohor
2.2.2. Kritik Poin Jalur Keuangan

Selanjutnya bisa kita cermati pada agenda prioritas jalur keuangan dalam Presidensi G20 2022. dari 6
poin yang ada, terdapat poin Financial Inclusion: Digital Financial Inclusion & SME Finance yang
menyebutkan:

“Memanfaatkan open banking untuk mendorong produktivitas dan mendukung ekonomi


dan keuangan inklusif  bagi underserved community yaitu wanita, pemuda, dan UMKM”

Secara kasatmata poin tersebut memberi indikasi bahwa Indonesia “dipaksa” untuk mengalihkan
perhatian dari tumbuh sewajarnya menajdi negera besar (karena memang memeiliki potensi untuk hal
tersebut) kepada tumbuh slow motion dengan focus remeh berkaitan dengan UMKM dan poin usang
feminisme.

Fakta lainnya bisa kita cermati pada poin yang lain yakni Exit Strategy to Support Recovery. Poin
tersebut menyebutkan:

“Membahas bagaimana G20 melindungi negara-negara yang masih menuju pemulihan


ekonomi (terutama negara berkembang) dari efek limpahan (spillover) exit policy yang
diterapkan oleh negara yang lebih dahulu pulih ekonominya (umumnya negara maju)”

Jika kita menyaksikan poin tersebut paradok dengan nasib Indonesia. Indonesia yang menjadi leader
presidensi 2022 justu berada pada kondisi penanggung utang yang besar, kurs rupiah yang anjlok dan
lain sebagainya.

Selanjutnya kita bisa pungkasi bagian ini dengan mencermati poin yang tertuang dalm 5 Pilar Presidensi
G20 Indonesia 2022 yaitu Memperkuat lingkungan kemitraan, Mendorong produktivitas, Meningkatkan
ketahanan dan stabilitas, Memastikan pertumbuhan berkelanjutan dan inklusif, dan Kepemimpinan
kolektif global yang lebih kuat.

Kelima poin tersebut sepertinya tidak sedang berbicara tentang cita cita Negara-negara berkembang
terutama yang menjadi bagian dari G20 melainkan sedang berbicara mengenai bagaiman suksesnya
hegemoni Negara barat terhadap Negara lain termasuk G20.

- Memperkuat lingkungan kemitraan, misalnya kita akan bertemu fakta sebaliknya yakni tentang
lilitan Utang dari Negara adidaya, negera maju, IMF dan bank dunia yang tiada solusiny sampai
sekarang. Mereka dalah mitra Negara kecil sekaligus musuh dalam selimut.
- Mendorong produktivitas juga poin menamparkita dengan fakta paradok. Hasil produksi apa
yang mampu dipriduksi oleh Indonesia saat ini? indoensia bukanlah Negara industry yang sejati.
Indoneisa hanya berkutat seputar promosi pariwisat dan UMKM seperti yang telah dijelaskan.
- Meningkatkan ketahan dan stabillitas. Ini juga poin yang menyedihkan ketika kita menyaksikan
bagaimana ekonomi Indonesia masih terpengaruh impor dan tidak memliki skema ketahanan
ekonomi yang memadai apalagi mau menuju kemandirian ekonomi.
- Memastikan pertumbuhan berkelanjutan. Telah dijelaskan bagaimana palsu dan bidingnya
eortumbuhan ekonomi ala kapitalsime yang dianut oleh G20.
- Yang terakhir Kepemimpinan Global Yang Lebih Kuat. Poin ini justru merupakan poin paling
sarkastis. Dimana fakta menuukan neagra manapun di dunia ini baik yang terlibat dalam G20
ataupun tidak semuanya tunduk patuh terpenjara dibawah kepemimpinan global Negara
kapitalis. Tidak adayang bisa membantah hal tersbut.

2.3. Kritik Ideologis: Keberadaan G20 dan Paradoks Peran Negara dalam Kapitalisme

Peratanyaan kritisnya adalah apa sih peran Negara dalam sistem kapitalisme.

Jika kita berangkat dari asumsi bahwa pemain utama dalam ekonomi adalah perusahaan atau
corporation (C) maka relevankah pembahasan pertumbuhan ekonomi dibahas oleh Negara? Bukankah
ekonomi dunia ini berikut kekayaan dunia ini ada di tangan korporasi bukan negara?

Faktanya pemegang kendali ekonomi dunia bukanlah Government melainkan corporation. Oleh sebab
itu keberadaan G20 atau G berapapun sejatinya tidaklah berpengaruh signifikan. Arah pertumbuhan
ekonomi bukalnlah domain asili G20 melain C20 C 10 aataupun C5 dan seterusnya.

3. Paradigma Islam, Pemutus Mimpi Kosong G20

Paradigma ekonomi Islam satu satuny gong yang bisa membangunkan indoensia dan Negara di dunia
dari buaian mimpi ceremonial ekonomi seperti yang ditawarkand alam G20. Paradigma Islam bisa
mengembalikan Indonesia juga Negara lain dari halusinasi kemajuan semua keapda kemajuan enagara
secara riil Bukan Digitalisasi, bukan pertumbuhan ekonomi yang menjadi titiberat melainkan produksi riil
Negara sebgaai pemegang amanah yang menguasai seluruh asset umum dan Negara. Juga
mengembalikan kitakeapda pembahasan penghasilan Negara dan pendapatan riil masyarakat sebagai
tulang punggung ekonomi, bukan pajak dan sektro finasial.

Dengan demikian paradigm islamlah yang bisa menjadikan Indoensia memeiliki kebanggan atas potensi
nya secara riil bukan sebagai corong ide Negara lain ataupun hanya menjadi pasar bagi barang produksi
Negara lain. Dengan demikian Indonesia akan tumbuh secara wajar sebagai Negara maju, bukan sebagai
pelaksana metode kontrol Negara adidaya dalam G20

wallahu alam bishshawab

#BimaBumiDakwah

Anda mungkin juga menyukai