Anda di halaman 1dari 4

Bersikap di Zaman Yang Serba Goyang

Oleh: A. Shoviyul Himami, M.Pd.

Apakah petuah dan hikmah isa mati oleh waktu? Jawabnya, barangkali hanya petuah
yang akan mati tergilas waktu. Akan tetapi untuk hikmah, mungkin saja tidak. Ia bisa hidup pada
sepanjang rel sejarah manusia. Sebab hikmah tampil dengan perwajahan simbol – simbol, tamsil
– tamsil peristiwa, penggambaran sikap – sikap, komparasi perwatakan sikap manusia, filsafat
kehidupan, mozaik – mozaik sifat kemanusiaan dan solusi kebersajaan. Yang pasti, ia
bertaburkan panoramayang membekas pada setiap batin yang masih tengadah.
Maka penguatan nasihat Sayyidina Ali Karramallahu wajha : ”undzur maa qoola walaa
tandzur man qoola“; lihatlah apa yang dibicarakan dan jangan sama sekali menengok siapa yang
melontarkan ucapan. Kiranya, nasehat itu bukan tak lekang oleh panas dan tak lapuk ole hujan.
Sebab dalam situasi politik yang berubah – ubah pada setiap jengkal waktu, dapatkah kiranya
kita Cuma termangu menatap isi pembicaraan tanpa mengiraukan siapa yang berbicara?
Apalagi setiap ucapan telah bercampur aduk dengan busa. Kata – kata tak lagi steril dari
warna – warni kepentingan, kalimat – kalimat telah menjelama menjadi anak panah yang telah
lepas dari sangkar busurnya. Lalu, mungkinkah kita menggenggam nasihat itu dengan sepenuh
hati, sementara ucapan, kata – kata dan kalimat, serta lontaran ide – ide sudah menjadi semacam
ruang buat berkelit.
Saat ini kita hidup di era sebuah zaman, dimana mendengar jauh libih sulit ketimbang
berbicara. Sebab kata – kata telah tercemari oleh polusi tipu – tipu sehingga makna nasehatpun
sudah menjadi ajang pamrih.
Tetapi benarkah petuah dan hikmah bisa mati oleh waktu? Jawabnya, mungkin saja
kedua-duanya tak akan pernah mati tergilas oleh waktu. Simaklah nasihat Lukmanul Hakim
kepada putranya: Wahai Anakku, kerjakanlah apa saja yang dapat menggiring dirimu menuju
kesalehan; baik saleh secara individual maupun saleh secara sosial. Maka teruslah bergerak
bersama keyakinanamu demi sampainya garis tujuan. Dan tak usahlah kau hiraukan celotehan
orang lain. Tak perlulah kau dengarkan tanggapan – tanggapan mereka, namun senantiasalah
memaafakannya. Karena memang tak terbentang seutaspun jalan, yang dapat memuaskan semua
orang. Bahkan tak tersedia satu carapun buat menjinakkan mereka.
Namun Lukmanul Hakim pun tak hanya berhenti pada sebatas nasehat. Karena
kemudian dia – sebagaimana yang diceritakan pada kitab Luqman al-Hakim Wa Hukmuhu
tulisan Ali bin Husain bin Abdullah bin Husain in Umar al-Athas – lantas merentangkan sebuah
hikmah. Diserunya putranya agar mengambil seekor keledai. Lalu Luqman menaikinya dan
memerintahkan anaknya agar menuntunya. Dan orang – orangpun segera mencemoohnya:
“Betapa teganya sang ayah yang duduk bersantai diatas keledai, sementara ptranya dengan susah
payah menuntun keledainya.“
Kemudian posisipun diubah, sang anak yang menaiki keledai sementara Luqman yang
menuntunnya. Maka orang – orangpun tetap mencemoohnya: “Betapa kurang ajarnya sang anak
yang membiarkan ayahnya berjalan kaki, sedangkan dirinya justru bernikmat – nikmat ria diatas
keledai. Maka keduanya lantas menaiki keledai bersama – sama. Dan ternyata orang – oarngpun
tetap mencemoohnya: “Betapa sama – sama kejamnya sang ayah dan putranya, bagaimana
mungkin keduanya menaiki punggung keledai, sementara dirinya tak sakit juga tak lemah.
Akhirnya, Luqman dan putranya pun turun untuk menuntun keledai itu berdua. Tatapi
orang – orangpun masih tetap mencemoohnya: “Alangkah bodohnya sang ayah dan putranya
yang sama – sama berjalan menuntun seekor keledai. Alangkah lebih jika jika salah satunya
menaikinya.“ Lantas Luqman pun berkata kepada putranya: “Bukankan aku telah mengatakan
kepadamu, kerjakanlah sesuatu yang bisa membuat dirimu menuju kepada kesalehan. Dan tak
usah menghiraukan orang lain, dengan peristiwa ini aku hanya menghendaki untuk memberimu
pelajaran wahai anakku.“
Betapa eloknya hikmah itu, jika pun ditarik garis lurus hingga pada era kekinian. Sebab
pada zaman ini, terlalu banyak jalan jalan persimpanganakibat tawaran dari banyak pihak yang
merasa meiliki jalan kebenarannya sendiri. Maka tak ada jawaban lain, bahwa salah satu bekal
yang wajib dimiliki orang perorang adalah kteguhan sikap. Tanpa bekal tersebut, maka kita bak
buih yang melayang – layang diatas deru gelombang. Laiknya seutas kapas yang trbang diatas
mengikuti kemana aliran angin; yakni manusia yang senatiasa terombang ambing oleh arus
kehidupan yang tak jelas muaranya.
Dari kejauhan hari sang Rasulullah SAW pun telah menitipkan secarik fatwa yang
diriwayatkan oleh Hudzaifah r.a. “Janganlah sekali – kali dirimu berada pada posisi yang serba
goyang. Sehinnga jika ada tawaran kebaikan, kalianpun segera mengikutinya. Begitupun
apabila disodorkan sebuah tawaran kenistaan, kalian pun turut mengikutinya pula. Maka
jadilah diri kalian semua sebagai orang yang teguh dalam berpendirian. Sehingga jika datang
tawaran kebaikan, maka dirinya akan segera mengikutinya. Akan tetapi jika disodori tawaran
keburukan, maka dengan bergegas pula dirinya akan menolaknya.“(HR. Tirmidzi)
Sungguh sebuah sabda yang perlu direnungkan dengan segenap hati. Sebab ini teramat
pas buat zaman yang penuh irama keterombang – ambingan ini. Maka sungguh benar kiranya
bahwa semestinya zaman yang harus ikut agama bukannya malah agama yang harus mengikuti
zaman.

Kemasan Tiga Formula Yang Saling Mengikat


Sering dalam al-Qur’an kita mendengar ayat – ayat yang dimulai dengan kata – kata
“Hai orang – orang yang beriman, Hai para manusia” dsb. “Hai orang orang yang beriman
diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan atas umat sebelum kamu supaya
kamu bertawqwa” (QS. Al baqarah:183). Ternyata dari ayat tersebut jika kita mau jeli
memilahnya terdapat tiga rangkaian kata yang mendorong rasa keagamaan kita menjadi kaffah;
panggilan bagi yang beriman, perintah kewajiban berpuasa dan target ketaqwaan.
Dari ayat tersebut dapat kita tarik garis lurus mata ajaran:aqidah-syariah-akhlaq. Pada
tataran keilamuan, aqidah melahirkan ilmu – ilmu tauhid, Syariah memunculkan ilmu – ilmu
figih dan akhlaq menelorkan ilmu tasawuf. Ketiga hal inilah yang seharusnya terwujud pada
tataran praktek kehidupan. Perilaku syar’iyah yang dihampari dengan landasan tauhid, yang
kemudian diperhalus pula dengan paying akhlak. Ada individu yang terlalu menekankan sisi
ketauhidannya saja, atau segi syariahnya semata. Padahal keimanan, sebagimana sabda Nabi
SAW, masih telanjang. Ia perlu kain untuk membungkusnya “Iman itu adalah (masih) telanjang
dan pakaiannya adalah ketaqwaan”
Alhasil kita tidak bisa semena – mena dengan mengandalkan sisi ketauhidan dengan
melandaskan pada permadanai fiqhiyah semata, tanpa menyertakan keniscayaan tasawuf. Orang
yang demikian ini seperti orang yang sholat tanpa mengenakan baju. Secara keimanan dirinya
telah melakukan langkah demi keyakinannya. Dan secara fiqhiyah, shalat yang demikian ini tetap
dianggap syah – lantaran memang tidak melakukan hal – hal yang dapat membatalkan shalat.
Namun secara etika kultural sosial – kemasyarakatan. Maka tak bisa menjalankan agama dengan
sepenggal – sepenggal. Antara fiqh-syar’iyah, aqidah-tauhid dan akhlaq-tasawuf haruslah
menjadi satu untaian mata rantai yang saling mengikat. Orang – orang semacam inilah yang
harus pandai – pandai merawat berbagai kelompok keagamaan dan individu.
Metodenya bisa dengan menggunakan kemasan tiga formula; tawazun
(penyeimbangan), tawasuth (moderat/penengah), tasammuh (toleransi). Dengan bersikap
tawazun, kita bisa mempertimbangkan berbagai pendapat yang menjadi landasan berfikir serta
bertindak dari masing – masig kelompok dalam masyarakat. Dengan tawasuth kita bisa menjadi
wasit yang adil, yang tidak melakukan sesuatu atas nama keberpihakan. Dan dengan sikap
tasammuh, meskipun tak memilki kesepahaman, namun kita masih bisa tetap memberikan
penghargaan dengan menghormati orang lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam
surat Ali imron:103 “Dan ingatlah akan nikmat Allah. Tatkala kamu sekalian bermusuhan, maka
Allah melunakkan hati – hati kamu sehingga dengan karuniaNya itu kamu menjadi bersaudara“
Dengan kemasan tiga formula tersebut, setidaknya kita telah mengawali untuk dapat
berdiri pada posisi keseimbangan dan keberimbangan. Tanpa meletakkan diri pada posisi yang
demikian, kiranya untuk mewujudkan sebuah Ummatan wasathan hanyalah merupakan mimpi
kosong – yang terdengar indah ketika diceritakan di ruang – ruang pertemuan.
Wallahu a’lam bish-shawab

*Penulis adalah Pengasuh PP Tarbiyatul Qur’an Al-Faqihiyah Nganjuk

Anda mungkin juga menyukai