Mekanisme Regulasi ACTH Dan Kaitannya Dengan Manifestasi Klinis Cushing Syndrome
Mekanisme Regulasi ACTH Dan Kaitannya Dengan Manifestasi Klinis Cushing Syndrome
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Gejala klinis yang timbul pada pasien disertai dengan hasil pemeriksaan fisik serta
laboratorium dapat mengarah ke suatu kesimpulan diagnosis penyakit. Hal ini harus
didasarkan pada mekanisme patogenesis dan patofisiologi penyakit tersebut, sehingga
selanjutnya dapat ditentukan penatalaksanaan yang paling tepat untuk pasien dalam
kasus.
Seorang wanita umur 32 tahun, dirawat di ruang rawat inap penyakit dalam rumah sakit
Dr Moewardi Surakarta dengan keluhan sering pusing.
Penderita sudah tidak menstruasi sejak 4 bulan (amenorhoe) dan tidak hamil.
Pemeriksaan fisik :
Keadaan umum lemah, gizi obeis, kesadaran compos mentis. Tekanan darah Hipotensi
(90 / 60 mm Hg). Muka moon face, tumbuh rambut banyak di dada, striae di abdomen
dan kulit seluruh badan hiperpigmentasi.
Pemeriksaan penunjang :
Kadar natrium serum 130 mg/dl, kadar gula darah puasa 70 mg/dl. Two-day low-dose
dexamethason test masih menunggu hasil. Penderita telah dilakukan pemeriksaan CT
scan doubel kontras kepala ditemukan tumor di hipofise.
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN PENULISAN
D. MANFAAT PENULISAN
F. HIPOTESIS
Pasien dalam kasus memderita Cushing Syndrome akibat konsekuensi berlebihnya sekresi
glukokortikoid yang mempengaruhi sebagian besar proses metabolisme, sehingga laporan
ini akan lebih fokus membahas fisiologi kortisol sebagai glukokortikoid utama.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hormon Adrenokortikal
Kelenjar adrenal terletak di kutub superior kedua ginjal. Setiap kelenjar terdiri dari dua
bagian yang berbeda, yaitu korteks dan medula, dengan korteks sebagai bagian terbesar.
Medula adrenal mensekresikan hormon epinefrin dan norepinefrin yang berkaitan dengan
sistem saraf simpatis, sedangkan korteks adrenal mensekresikan hormon kortikosteroid.
Korteks adrenal mempunyai 3 zona:
Dari korteks adrenal dikenali lebih dari 30 jenis hormon steroid, namun hanya dua jenis yang
jelas fungsional, yaitu aldosteron sebagai mineralokortikoid utama dan kortisol sebagai
glukokortikoid utama. Aktivitas mineralokortikoid mempengaruhi elektrolit (“mineral”)
cairan ekstrasel, terutama natrium dan kalium. Sedangkan glukokortikoid meningkatkan
glukosa darah, serta efek tambahan pada metabolisme protein dan lemak seperti pada
metabolisme karbohidrat (Guyton and Hall, 2007).
B. Hormon Glukokortikoid
Sedikitnya 95% aktivitas glukokortikoid dari sekresi adrenokortikal merupakan hasil dari
sekresi kortisol, yang dikenal juga sebagai hidrokortisol. Namun, sejumlah kecil aktivitas
glukokortikoid yang cukup penting diatur oleh kortikosteron.
Efek kortisol terhadap metabolisme karbohidrat adalah sebagai berikut: 1) perangsangan
glukoneogenesis dengan cara meningkatkan enzim terkait dan pengangkutan asam amino
dari jaringan ekstrahepatik, terutama dari otot; 2) penurunan pemakaian glukosa oleh sel
dengan menekan proses oksidasi NADH untuk membentuk NAD +; dan 3) peningkatan
kadar glukosa darah dan “Diabetes Adrenal” dengan menurunkan sensitivitas jaringan
terhadap insulin.
Efek kortisol terhadap metabolisme protein adalah sebagai berikut: 1) pengurangan protein
sel; 2) kortisol meningkatkan protein hati dan protein plasma; dan 3) peningkatan kadar
asam amino darah, berkurangnya pengangkutan asam amino ke sel-sel ekstrahepatik, dan
peningkatan pengangkutan asam amino ke sel-sel hati. Jadi, mungkin sebagian besar efek
kortisol terhadap metabolisme tubuh terutama berasal dari kemampuan kortisol untuk
memobilisasi asam amino dari jaringan perifer, sementara pada waktu yang sama
meningkatkan enzim-enzim hati yang dibutuhkan untuk menimbulkan efek hepatik.
Efek kortisol terhadap metabolisme lemak adalah sebagai berikut: 1) mobilisasi asam lemak
akibat berkurangnya pengangkutan glukosa ke dalam sel-sel lemak sehingga
menyebabkan asam-asam lemak dilepaskan; dan 2) obesitas akibat kortisol berlebihan
karena penumpukan lemak yang berlebihan di daerah dada dan kepala, sehingga badan
bulat dan wajah “moon face”, disebabkan oleh perangsangan asupan bahan makanan
secara berlebihan disertai pembentukan lemak di beberapa jaringan tubuh yang
berlangsung lebih cepat daripada mobilisasi dan oksidasinya.
Selain efek dan fungsi yang terkait metabolisme, kortisol penting dalam mengatasi stres dan
peradangan karena dapat menekan proses inflamasi bila diberikan dalam kadar tinggi,
dengan mekanisme menstabilkan membran lisosom, menurunkan permeabilitas kapiler,
menurunkan migrasi leukosit ke daerah inflamasi dan fagositosis sel yang rusak, menekan
sistem imun sehingga menekan produksi limfosit, serta menurunkan demam terutama
karena kortisol mengurangi pelepasan interleukin-1 dari sel darah putih. Kortisol juga
dapat mengurangi dan mempercepat proses inflamasi, menghambat respons inflamasi
pada reaksi alergi, mengurangi jumlah eosinofil dan limfosit darah, serta meningkatkan
produksi eritrosit, walaupun mekanismenya yang belum jelas.
Regulasi kortisol dipengaruhi oleh hormon ACTH yang disekresi oleh hipofisis. ACTH ini
merangsang sekresi kortisol. Sedangkan sekresi ACTH sendiri diatur oleh CRF/CRH
(Corticotropin Releasing Factor/Hormone) dari hipotalamus. ACTH ini mengaktifkan sel
adrenokortikal untuk memproduksi steroid melalui peningkatan siklik adenosin
monofosfat (cAMP). Kortisol ini apabila berlebih mempunyai umpan balik negatif
terhadap sekresi ACTH dan CRF yang masing-masing mengarah pada hipofisis dan
hipotalamus agar sekresi CRF, ACTH, dan kortisol kembali menjadi normal (Guyton and
Hall, 2007).
Berlawanan dengan aldosteron, kortisol pada keadaan tertentu dapat menyebabkan retensi
Na+ dan meningkatkan ekskresi K+, tetapi efek ini jauh lebih kecil daripada aldosteron.
Hal ini disebabkan karena kortisol dapat menambah kecepatan filtrasi glomeruli; selain
itu kortisol juga dapat meningkatkan sekresi tubuli ginjal (Gunawan et.al, 2007).
C. Adenoma Hipofisis
D. Cushing Syndrome
Gejala khusus penyakit Cushing adalah adanya mobilisasi lemak dari bagian bawah
tubuh, wajah membengkak, dan potensi androgenik dapat menimbulkan timbulnya
jerawat dan hirsutisme (penumbuhan bulu wajah yang berlebihan). Gambaran wajah
tersebut sering digambarkan seperti “moon face”. Kira-kira 80% pasien juga mengalami
hipertensi ringan akibat efek mineralokortikoid ringan dari kortisol. Selain itu juga terjadi
kenaikan kadar gula darah, lemahnya otot, dan timbulnya striae. Mungkin pasien juga
mengalami osteoporosis akibat berkurangnya endapan protein pada tulang (Guyton and
Hall, 2007).
BAB III
PEMBAHASAN
Dari gejala-gejala yang telah dialami pasien, hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat efek
yang berlebih dari kortisol. Selain gejala klinis, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang
seperti CT scan. Sedangkan pemeriksaan dexamethason berfungsi untuk membedakan antara
Cushing Syndrome-ACTH dependent dan ACTH independent.
Berdasarkan hasil CT scan, didapatkan adanya tumor hipofisis. Efek massa tumor pada sella
tursika terhadap struktur sekitarnya inilah yang dapat menyebabkan penderita merasa sering
sakit kepala atau pusing. Tubuh penderita bertambah besar diakibatkan adanya penumpukan
lemak pada dada dan kepala khas gejala klinis Cushing Syndrome, yang disertai wajah
“moon face”. Mobilisasi protein terutama dari otot sebagai bahan glukoneogenesis
selanjutnya menjadi penyebab pasien lemah karena protein yang di“ambil” berasal dari
jaringan ekstrahepatik terutama otot dan jaringan limfoid, sehingga fungsi imunitas juga akan
menurun pada keadaan kortisol sangat berlebih. Sedangkan amenore dan rambut yang
tumbuh di dada terjadi akibat efek androgen adrenal yang berlebih. Preprohormon ACTH dan
MSH (Melanocyte Stimulating Hormone) sama, yaitu POMC (proopiomelanokortin),
sehingga apabila sekresi ACTH meningkat, maka sekresi MSH juga ikut meningkat. ACTH
yang mengandung rangkaian MSH mempunyai efek perangsang melanosit kira-kira 1/30 dari
MSH, namun karena sekresi MSH murni sangat sedikit sedangkan ACTH sangat besar, maka
ACTH jauh lebih penting daripada MSH dalam menentukan jumlah melanin kulit. Karena
itulah terjadi keadaan hiperpigmentasi. Sedangkan hilangnya sintesis protein dalam jaringan
seperti kulit, otot, pembuluh darah, dan tulang menyebabkan ruptur serabut-serabut elastis
berupa tanda regang berwarna ungu pada abdomen yang disebut striae. Pada kasus
hiperkortisisme, seharusnya pasien mengalami hipertensi, akibat sifat retensi Na dari
mineralokortikoid, yang walaupun efeknya sedikit tetapi juga dimiliki oleh kortisol. Efek
kortisol terhadap metabolisme karbohidrat berupa peningkatan glukoneogenesis
menyebabkan kenaikan kadar glukosa darah juga karena kortisol menurunkan sensitivitas
jaringan terhadap insulin.
Penatalaksanaan primer untuk kasus adalah operasi tumor hipofisis. Jika gagal, maka kelenjar
adrenal diangkat. Kedua, dengan obat-obatan seperti ketokonazol yang menghambat sintesis
kortisol, metyrapon, mifepriston, dan aminoglutemid yang menghambat perubahan kolesterol
menjadi ∆-5-pregnenolon dalam sintesis hormon.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Hipotalamus mensekresi CRF, yang mengatur sekresi ACTH oleh hipofisis anterior.
ACTH kemudian akan merangsang korteks adrenal menghasilkan hormon
adrenokortikal.
2. Adanya desakan massa tumor di hipofisis dalam sella tursika mengakibatkan pasien
merasa pusing. Wajah “moon face” diakibatkan adanya penumpukan lemak khas
gejala Cushing syndrome. Striae dan lemah yang dirasakan pasien terjadi akibat
mobilisasi protein dari jaringan otot. Amenore dan rambut yang tumbuh berlebih
adalah konsekuensi dari berlebihnya sekresi adrenal. Hiperpigmentasi terjadi karena
meningkatnya sekresi ACTH yang juga menentukan pembentukan melanin. Sifat
retensi Na yang juga dimiliki oleh kortisol menyebabkan terjadinya hipertensi pada
kasus hiperkostisisme.
3. Diagnosis Cushing Syndrome didasarkan pada gejala-gejala klinis, hasil pemeriksaan
CT scan, dan dexamethason-test.
4. Penatalaksanaan primer Cushing Syndrome adalah dengan tindakan operasi tumor
hipofisis atau pengangkatan kelenjar adrenal. Sedangkan pilihan kedua adalah dengan
obat-obatan.
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W.A Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC.
Gunawan, Sulistia Gan. Setiabudy, Rianto. Nafrialdi. Elysabeth. 2007. Farmakologi dan
Terapi Edisi 5. Jakarta: FKUI.
Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta:
EGC.
Soedoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti.
2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI.