Anda di halaman 1dari 11

C.

Berbagai Pendekatan Dalam Memahami Agama


Dalam ruang lingkup sederhana, “pendekatan” dapat diartikan sebagai titik tolak atau
sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran. Secara etimologi pendekatan terbentuk dari
kata dasar dekat, yang artinya tidak jauh (jaraknya atau antaranya). Setelah mendapat awalan pe-
dan akhiran –an maka artinya :

 Proses, perbuatan, cara mendekati


 Usaha dalam rangka aktivitas penelitian untuk mengadakan hubungan dengan
orang yang diteliti atau metodemetode untuk mencapai pengertian tentang
masalah penelitian.1

Adapun pengertian pendekatan secara terminologi adalah pola pikir (al-Ittijah al-fikriy)
yang dipergunakan untuk membahas suatau masalah. Dalam konteks memahami agama,
Abuddin Nata dalam “Metodologi Studi Islam” memberikan pengertian bahwa pendekatan
adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya
digunakan dalam memahami agama.2

Dalam bukunya yang berjudul Metodologi Studi Islam, Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A,
mengklasifikasikan pendekatan dalam memahami agama menjadi tujuh poin penting sebagai
berikut :

1. Pendekatan Teologis Normatif

Pendekatan teologis dalam memahami agama bisa dimaknai dengan menggunakan


teologi atau Ilmu Ketuhanan sebagai paradigma dalam memahami suatu agama. Pendekatan
teologis, menggunakan cara berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan
yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran berasal dari Tuhan, sudah pasti benar,
sehingga tidak perlu dipertanyakan lebih dahulu melainkan dimulai dari keyakinan yang
selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.

Dengan keyakinan kebenaran mutlak dan berangkat dari keyakinan tersebut sehingga
pendekatan teologis ini menunjukkan adanya kekurangan antara lain bersifat eksklusif, dogmatis,
tidak mau mengakui kebenaran agama lain dan sebagainya. Kekurangan ini dapat diatasi dengan
1
Syarifuddin Ondeng, Teori Pedekatan Metodologi Studi Islam (Makassar: Alauddin University Press, 2013), h. 151.
2
Muhammad Dirman Rasyid, Metodologi Penelitian Sosial Agama (Makasar, 2011) hal.3
cara melengkapinya dengan pendekatan sosiologis. Sedangkan kelebihannya, melalui pendekatan
teologis ini seseorang akan memiliki sikap militansi dalam beragama, yakni berpegang teguh
kepada agama yang diyakininya sebagai yang benar, tanpa memandang dan meremehkan agama
lainnya. Dengan pendekatan yang demikian seseorang akan memiliki sikap fanatis terhadap
agama yang dianutnya.3

Dalam pendekatan teologis ini agama dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak dari Tuhan,
tidak ada kekurangan sedikitpun dan tampak bersikap ideal. Dalam kaitan ini agama tampil
sangat prima dengan seperangkat cirinya yang khas. Islam misalnya, secara normatif pasti benar
serta menjunjung nilai-nilai yang luhur. Dalam bidang sosial kemasyarakatan, Islam
menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, saling menghormati, tolong-menolong, kebersamaan,
toleransi umat beragama. Dalam bidang ekonomi, Islam menawarkan keadilan, kejujuran,
kebersamaan dan saling menguntungkan. Dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, Islam
mendorong agar manusia memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi setinggi-tingginya.
Demikian pula dalam bidang-bidang lainnya, bahkan Islam hadir dengan sangat ideal dan
mantap dalam segala aspek dan bidang kehidupan manusia.4

2. Pendekatan Antropologis

Antropologi berasal dari kata antropos (manusia) dan logos (ilmu), secara harfiah
antropologi berarti ilmu tentang manusia. Secara istilah, antropologi atau “ilmu tentang manusia”
pada awalnya mempunyai makna lain, yaitu “ilmu tentang ciri-ciri tubuh manusia. Dalam fase
ketiga perkembangan antropologi, istilah ini terutama mulai dipakai di Inggris dan Amerika
dengan arti yang sama seperti ethnology pada awalnya. Di Inggris, istilah antropologi kemudian
malahan mendesak istilah ethnology, sementara di Amerika antropologi mendapat pengertian
yang sangat luas karena meliputi bagian-bagian fisik maupun sosial dari “ilmu tentang manusia”.
Di Eropa Barat dan Eropa Timur istilah antropologi hanya diartikan sebagai “ilmu tentang rasras
manusia dipandang dari ciri-ciri fisiknya”.5

Pendekatan antropologis dalam memahami agama menurut Abuddin Nata, dapat


diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik
keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dengan demikian, pendekatan
3
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta, Rajawali Press) h. 34
4
Muhammad Dirman Rasyid, Metodologi Penelitian Sosial Agama (Makasar, 2011) hal.6
5
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), h. 8.
antropologis dalam memahami agama juga berarti menggunakan cara-cara yang digunakan
disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah dalam memahami agama.6

Melalui pendekatan antropologis sebagaimana telah dipaparkan, kita dapat melihat


hubungan agama dalam hubungannya dengan mekanisme pengorganisasian (social
organization). Klasifikasi sosial dalam masyarakat Muslim di Jawa oleh Clifford Geertz, adalah
salah satu contoh yang menarik dalam bidang ini, sebagaimana telah tertuang karyanya “The
Religion of Java”. Geertz dalam penelitiannya memandang masyarakat Jawa di Mojokuto
sebagai suatu sistem sosial, dengan kebudayaan Jawanya yang akulturatif dan agama yang
sinkretik, yang terdiri atas sub

Jawa yang masing-masing merupakan struktur sosial yang berlaianan, yakni : Abangan
(yang intinya berpusat di pedesaan), santri (yang intinya berpusat di tempat perdagangan atau
pasar) dan priyayi (yang intinya berpusat di kota, kantor pemerintahan). Pada Masyarakat
Mujokuto yang penduduknya sembilan puluh persen beragama Islam, sesungguhnya memiliki
variasi dalam kepercayaan, nilai dan upacara yang berkaitan dengan struktur sosial tersebut.20
Dalam ritual keagamaan abangan menunjukkan pentingnya aspek-aspek animistik, santri
menekankan pentingnya ajaran Islam dan priyayi yang menekankan aspek-aspek Hindu.7

Selain itu, melalui pendekatan antropologis kita juga dapat melihat adanya korelasi
agama dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Demikian juga
hubungan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Golongan masyarakat yang kurang
mampu dan golongan miskin pada umumnya tertarik dengan gerakan-gerakan keagamaan yang
bersifat mesianis, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan
golongan orang kaya (para pemilik modal) lebih untuk mempertahankan tatanan masyarakat
yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan itu menguntungkan pihaknya.

Karl Marx (1818-1883), sebagai contoh, melihat agama sebagai candu masyarakat
tertentu sehingga mendorongnya memperkenalkan teori konflik atau yang biasa disebut teori
pertentangan kelas. menurutnya, agama disalah fungsikan oleh kalangan tertentu untuk
mendukung sistem kapitalisme di Eropa yang beragama Kristen. Sementara Max Webber,
6
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta, Rajawali Press) h. 35

7
Faisal Ananda Arfa, dkk., Metode Studi Islam: Jalan Tengah Memahami Islam, h. 173
melihat adanyanya korelasi positif antara ajaran Protestan dengan munculnya semagat
kapitalisme modern.8

Melalui pendekatan antropologis sebagaimana tersebut di atas terlihat jelas hubungan


agama dengan berbagai masalah kehidupan manusia, dan dengan itu pula agama terlihat akrab
dan fungsional dengan berbagai fenomena kehidupan manusia.9

3. Pendekatan Sosiologis

Secara sederhana, sosiologi dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang
masyarakat, keadaannya, strukturnya, lapisannya dan segala dinamika serta gejala sosial yang
terjadi di dalamnya.

Yang dimaksud dengan pendekaran sosiologis adalah peneliti menggunakan logika-


logika dan teori sosiologi baik klasik maupun modern untuk mengambarkan fenomena sosial
keagamaan serta pengaruh suatu fenomena dengan fenomena yang lainnya. Pendekatan
sosiologis dalam suatu penelitian tidak hanya melihat perilaku manusia dari yang tampak saja,
tetapi secara eksplisit dan implisit.10

Pentingnya pendekatan sosiologis dalam memahami agama dapat dipahami lantaran


banyak sekali ajaran agama yang berkaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian agama
terhadap masalah sosial ini selanjutnya mendorong kaum beragama memahami ilmu – ilmu
sosial sebagai alat untuk memahami agamanya. Melalui pendekatan sosiologis, agama akan
mudah dipahami karena agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial.11

4. Pendekatan Filosofis

Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philo (pecinta, pencari) dan sophia (hikmah,
kebijaksanaan atau pengetahuan). Selain itu, filsafat dapat juga diartikan mencari hakikat
seseatu, berusaha menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-
pengalaman manusia. Pengertian filsafat yang umumnya digunakan adalah pendapat yang
dikemukakan Sidi Gazalba. Menurutnya, filsafat adalah berpikir secara mendalam, sistematik,

8
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta, Rajawali Press) h. 36
9
Muhammad Dirman Rasyid, Metodologi Penelitian Sosial Agama (Makasar, 2011) hal.10
10. Faisal Ananda Arfa, dkk., Metode Studi Islam: Jalan Tengah Memahami Islam, h. 159
10

11
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta, Rajawali Press) h. 41
radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai
segala seseatu yang ada.12

Pada umumnya pendekatan filosofis ini memiliki empat cabang aktivitas filosopis.
Pertama adalah logika, yang merupakan seni argumen rasional dan koheren. Kedua metafisika,
terkait hal-hal yang paling dasar, pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang kehidupan,
eksistensi dan watak ada (being). Ketiga yang tergabung dengan logika dan metafisika adalah
epistomologi. Epistomologi menitiberatkan paa apa yang dapat kita ketahui dan bagaiman kita
mengetahui. Keempat adalah etika, yang secara harfiah berarti studi tentag “perilaku”. Etika
menitiberatkan perhatian pada pertanyaan-pertanyaan tentang kewajiban, keadilan, cinta dan
kebaikan.13

Cara berpikir secara filososfis ini kemudian dapat digunakan dalam memahami agama.
Sehingga diketahui hikmah, inti atau hakikat dari suatu ajaran agama itu. Pada dasarnya
pendekatan ini sudah banyak dilakukan para ahli, khususnya kaum sufi. Para kaum sufi selalu
berusaha mencari tahu apa arti dan hikmah dari ajaran-ajaran agama. Karena pentignya
pendekatan folosofis ini, maka kita menjumpai bahwa filsafat telah digunakan untuk memahami
berbagai bidang ilmu pengetahuan.14

5. Pendekatan Historis

Sejarah atau histori secara leksikal merupakan pengetahuan atau uraian tentang peristiwa-
peristiwa dan kejadian-kejadian yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Sedangkan secara
terminologi, sejarah adalah kisah dan peristiwa masa lampau umat manusia, baik yang
berhubungan dengan peristiwa politik, sosial, ekonomi maupun gejala alam. Menurut Ibnu
Khaldun, sejarah tidak hanya dipahami sebagai suatu rekaman peristiwa masa lalu, tetapi juga
penalaran kritis untuk menemukan kebenaran suatu peristiwa pada masa lampau. Dengan
demikian, unsur penting sejarah merupakan adanya peristiwa, tempat, waktu, objek, latar
belakang dan pelaku (manusia) dari peristiwa tersebut, serta daya kritis dari peniliti sejarah.15

12
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta, Rajawali Press) h. 42
13
Lihat, Peter Connolly, ed. Aneka Pendekatan Studi Agama, h. 170-176
14
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta, Rajawali Press) h. 45

15
Faisal Ananda Arfa, dkk., Metode Studi Islam: Jalan Tengah Memahami Islam, h. 133.
Pendekatan historis dalam memahami agama merupakan upaya dalam memahami agama
dari perspektif yang dikenal dalam ilmu-ilmu sejarah, dalam hal ini sebuah sejarah dipengaruhi
oleh banyak faktor, sejarah dipengaruhi oleh masa dan cara berpikir pada masa itu, dan
sebagainya. Pendekatan historis ini tentu sangat dibutuhkan dalam memahami agama, sebab
agama turun pada suatu situasi yang kongkrit bahkan berkaitan dengan kondisi sosial
kemasyarakatan.16

Melalui pendekatan sejarah, seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang
bersifat lebih empiris dan mendunia. Pendekatan kesejaran ini amat dibutuhkan dalam meahami
agama. Hal ini disebabkan agama itu sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan
dengan kondisi sosial kemasyarakatan.17

Dalam Al - Qur’an, ada beberapa ayat atau surat yang turun sebagai respon terhadap
problematika masyarakat pada waktu itu. Agar dapat memahami ayat tersebut secara tepat dan
komprehensif, diperlukan pengetahuan tentang kondisi sosio-historis masyarakat ketika ayat
tersebut turun. Pengetahuan itulah kemudian merupakan bagian dari ilmu asbabun nuzul, yang
intinya berisi sejarah yang melatar belakangi turunnya suatu ayat.18

6. Pendekatan Kebudayaan
Seorang antropolog, E.B. Tylor (1871) memberikan defenisi bahwa kebudayaan adalah
kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan
kemampuan-kemampuan lain serta kebiasaankebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai
anggota masyarakat. Dengan kata lain, definisi ini menyatakan bahwa kebudayaan segala seseatu
yang didapatkan dan dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat. Sementara itu, Sutan
Takdir Alisyahbana lebih luas lagi mendefenisikan kebudayaan. Ia menyatakan “kebudayaan
adalah manifestasi dari cara berpikir”, dari defenisi ini budaya mencakup semua laku dan
perbuatan, dan dapat diungkapkan pada basis dan cara berpikir, perasaan serta maksud pikiran.19

Dengan demikian, kebudayaan tampil sebagai pranata yang secara terus menerus
dipelihara oleh para pembentuknya dan generasi selanjutnya yang diwarisi kebudayaan tersebut.
16
Faisal Ananda Arfa, dkk., Metode Studi Islam: Jalan Tengah Memahami Islam, h. 134
17
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta, Rajawali Press) h. 45

18
Muhammad Dirman Rasyid, Metodologi Penelitian Sosial Agama (Makasar, 2011) hal.16
19
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta, Rajawali Press) h. 49
Kebudayaan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama dapat dipahami sebagai
cara memahami agama dengan melihat wujud agama pada tataran empiris atau wujud praktek
keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat.

Praktek agama yang terdapat dalam masyarakat tersebut diproses penganutnya dari
sumber agama, yaitu wahyu melalui penalaran. Kita misalnya membaca kitab fiqih, yang
merupakan manifestasi dari teks al- Qur’an maupun hadis sudah melibatkan unsur penalaran dan
kemapuan manusia. Dengan demikian, agama menjadi membudaya di tengah-tengah masyarakat.
Melalui ajaran agama yang telah membudaya serta pemahaman terhadap kebudyaan tersebut
seseorang dapat mengamalkan ajaran agama.20

Dalam kehidupan sehari-hari kita menjumpai budaya-budaya yang berintegrasi dengan


unsur-unsur agama, seperti budaya berpaiakan, bergaul dan sebagainya. Sebaliknya pun
demikian, tanpa unsur budaya maka sulit melihat sosok agama secara jelas. Sebagai contoh,
masjid, sajadah, peci, sarung adalah produk budaya.21

7. Pendekatan Psikologis
Psikologi berarti ilmu yang mempelajari tentang jiwa45 atau biasa disebut dengan ilmu
jiwa. Para pengkaji psikologi tidak terlalu berbeda dalam mendefenisikan ilmu psikologi. Lahey,
seorang psikolog memberikan defenisi “psychology is the scientific study of behavior and mental
processes” (psikologi merupakan kajian ilmiah tentang tingkah laku dan proses mental). Tingkah
laku merupakan segala seseatu/kegiatan yang dapat diamati, sedangkan proses mental di
dalamnya mencakup pikiran, perasaan juga motivasi.22

Selanjutnya, ilmu psikologi juga dapat digunakan sebagai salah satu metode
pendekatan dalam memahami agama. Pendekatan psikologis merupakan pendekatan yang
menggunakan cara pandang ilmu psikologi. Karena ilmu psikologi merupakan ilmu yang
mempelajari jiwa manusia, maka pendekatan psikologi membatasi diri pada kajian tentang jiwa
manusia. Jika agama didekati oleh pendekatan psikologis, maka objek kajiannya adalah jiwa
manusia yang dilihat dalam hubungannya dengan agama.23
20
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta, Rajawali Press) h. 50

21
Muhammad Dirman Rasyid, Metodologi Penelitian Sosial Agama (Makasar, 2011) hal.19
22
Faisal Ananda Arfa, dkk., Metode Studi Islam: Jalan Tengah Memahami Islam, h. 177.
23
Muhammad Dirman Rasyid, Metodologi Penelitian Sosial Agama (Makasar, 2011) hal.21
Melalui pendekatan psikologis, kita dapat mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati,
dipahami, dan diamalkan seseorang. Selain itu, dapat juga digunakan sebagai alat untuk
memasukkan nilai-nilai dan ajaran agama ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkat usinya.
Dengan menggunakan ilmu ini, agama akan menemukan cara yang tepat dan cocok menanankan
nilai dan ajarannya. Misalnya, kita dapat mengetahui pengaruh dari salat, puasa, zakat, haji dan
ibadah lainnya melalui ilmu psikologi. Dengan pengetahuan tersebut, maka dapat disusun
langkah-langkah baru yang lebih efesien lagi dalam menanamkan ajaran agama.24

D. Fungsi Agama Dalam Kehidupan Manusia


Secara sederhana, agama dapat dipandang sebagai ajaran yang berasal dari Tuhan atau
hasil renungan manusia yang terkandung dalam kitab suci yang turun temurun diwariskan oleh
suatu generasi ke generasi dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi
manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat yang di dalamnya mencakup unsur
kepercayaan kepada kekuatan gaib yang selanjutnya menimbulkan respon emosional dan
keyakinan bahwa kebahagiaan hidup tersebut tergantung pada adanya hubungan yang baik
dengan kekuatan gaib tersebut.25

Pada dasarnya manusia memiliki keterbatasan pengetahuan dalam banyak hal, baik
mengenai sesuatu yang tampak maupun yang gaib, dan juga keterbatasan dalam memprediksi
apa yang akan terjadi pada diri nya dan orang lain, dan sebagainya. Oleh karena keterbatasan
itulah maka manusia perlu memerlukan agama untuk membantu dan memberikan pencerahan
spiritual kepada dirinya. Manusia membutuhkan agama tidak sekedar untuk kebaikan diri nya di
hadapan Tuhan saja, melainkan juga untuk membantu dirinya dalam menghadapi bermacam-
macam problema yang kadang-kadang tidak dapat dipaham nya.

Di sinilah manusia diisyaratkan oleh diri dan alamnya bahwa Zat yang lebih unggul dari
dirinya, Yang Maha Segala-galanya, seperti yang dijelaskan oleh para antropolog bahwa agama
merupakan respons terhadap kebutuhan untuk mengatasi kegagalan yang timbul akibat
ketidakmampuan manusia untuk memahami kejadiankejadian atau peristiwwa-peristiwa yang
rupa-rupanya tidak dapat diketahui dengan tepat.26

24
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta, Rajawali Press) h. 51

25
Ahmad Yasir, Agama dan fungsinya, (Madura, UIM press) hal.5
26
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. (Bandung, PT Mizan Pustaka: 2008.),45.
Dikutip dari Ahmad Miftah Fathoni dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Studi
Islam”, berikut merupakan penjabaran mengenai seberapa pentingnya unsur keagamaan dalam
kehidupan manusia :

 Sebagai Pembimbing Dalam Hidup


Pengendali utama kehidupan manusia adalah kepribadiannya yang
mencakup segala unsur pengalaman pendidikan dan keyakinan yang didapatnya
sejak kecil. Apabila dalam pertumbuhan seseorang terbentuk suatu kepribadian
yang harmonis, di mana segala unsur pokoknya terdiri dari pengalaman yang
menentramkan jiwa maka dalam menghadapi dorongan baik yang bersifat
biologis ataupun rohani dan sosial akan mampu menghadapi dengan tenang.

 Penolong Dalam Kesukaran


Orang yang kurang yakin akan agamanya (lemah imannya) akan
menghadapi cobaan/kesulitan dalam hidup dengan pesimis, bahkan cenderung
menyesali hidup dengan berlebihan dan menyalahkan semua orang. Beda halnya
dengan orang yang beragama dan teguh imannya, orang yang seperti ini akan
menerima setiap cobaan dengan lapang dada. Dengan keyakinan bahwa setiap
cobaan yang menimpa dirinya merupakan ujian dari tuhan (Allah) yang harus
dihadapi dengan kesabaran karena Allah memberikan cobaan kepada hambanya
sesuai dengan kemampuannya. Selain itu, barang siapa yang mampu menghadapi
ujian dengan sabar akan ditingkatkan kualitas manusia itu.

 Penentram Batin
Jika orang yang tidak percaya akan kebesaran tuhan tak peduli orang itu
kaya apalagi miskin pasti akan selalu merasa gelisah. Orang yang kaya takut akan
kehilangan harta kekayaannya yang akan habis atau dicuri oleh orang lain, orang
yang miskin apalagi, selalu merasa kurang bahkan cenderung tidak mensyukuri
hidup. Lain halnya dengan orang yang beriman, orang kaya yang beriman tebal
tidak akan gelisah memikirkan harta kekayaannya. Dalam ajaran Islam harta
kekayaan itu merupakan titipan Allah yang didalamnya terdapat hak orang-orang
miskin dan anak yatim piatu. Bahkan sewaktu-waktu bisa diambil oleh yang
maha berkehendak, tidak mungkin gelisah. Begitu juga dengan orang yang
miskin yang beriman, batinnya akan selalu tentram karena setiap yang terjadi
dalam hidupnya merupakan ketetapan Allah dan yang membedakan derajat
manusia dimata Allah bukanlah hartanya melainkan keimanan dan
ketakwaannya.

 Pengendali Moral
Setiap manusia yang beragama yang beriman akan menjalankan setiap
ajaran agamanya. Terlebih dalam ajaran Islam, akhlak amat sangat diperhatikan
dan di junjung tinggi dalam Islam. Pelajaran moral dalam Islam sangatlah tinggi,
dalam Islam diajarkan untuk menghormati orang lain, akan tetapi sama sekali
tidak diperintah untuk meminta dihormati. Islam mengatur hubungan orang tua
dan anak dengan begitu indah. Dalam Al-Qur’an ada ayat yang melarang kita
tidak menghormati orang tua. Tidak ada ayat yang memerintahkan kepada
manusia (orang tua) untuk minta dihormati kepada anak. Selain itu Islam juga
mengatur semua hal yang berkaitan dengan moral, mulai dari berpakaian,
berperilaku, bertutur kata hubungan manusia dengan manusia lain (hablum
minannas atau hubungan sosial). Termasuk di dalamnya harus jujur, jika seorang
berkata bohong maka dia akan disiksa oleh api neraka. Ini hanya contoh kecil
peraturan Islam yang berkaitan dengan moral.27

Kesimpulan
Agama merupakan suatu kebutuhan yang teramat sangat penting bagi manusia, disadari
atau tidak, setiap manusia pasti membutuhkan agama. Manusia merupakan manusia yang lemah,
ini terbukti dengan akal manusia yang terbatas. Sehingga setiap manusia membutuhkan dzat
yang maha segala-galanya untuk dijadikan sebagai tempat untuk mengadu segala
kegelisahannya. Agama islam adalah agama penyempurna agama-agama terdahulu.

27
Ahmad Miftah Fathoni, Pengantar Studi Islam, (Semarang, Gunung Jati:2001), hal.29
sumbersumber hukum islam adalah Al quran, al hadits, dan al ijtihad. Pada zaman globalisasi
sekarang ini, terutama dengan adanya kemajuan teknologi informatika, moral manusia semakin
hari semakin memprihatinkan.

Pada kondisi zaman seperti ini manusia akan meninggalkan para ulama sebagai tempat
untuk memetik ilmu. Hal ini dikarenakan hal-hal yang menjadi permasalahan dapat ditemukan
jalan keluar dengan secara tepat. Namun yang perlu disadari adalah tidak selamanya bahan yang
diakses itu adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan, karena tidak menutup kemungkinan
para pembuat situssitus adalah orang-orang yang hendak menyesatkan umat Islam. Untuk itu,
membaca dan menuntut ilmu sangatlah diperlukan. Ada berbagai macam pendekatan dalam
memahami agama, serta penjabaran tentang mengapa agama sungguh tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia. Kewajiban sebagai manusia adalah senantiasa bersyukur atas segala mikmat
yang telah diberikan Tuhan Yang Maha Esa, serta menjalankan seluruh kewajiban agama agar
kita memperoleh keselamatan hidup baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Anda mungkin juga menyukai