Anda di halaman 1dari 7

Anak Berbakti

Setelah 5 tahun berlalu akhirnya saya kembali ke kota kelahiran saya, Mataram. Setelah
menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama di Bandung, saya kembali ke Mataram untuk belajar
sambil menemani Ibu setelah Bapak berpulang. Setelah menginjakan kaki di sini saya kembali
teringat masa kecil di saat saya masih sering berbuat nakal. Tuaq Yan, kakak laki-laki dari Bapak
menyambut saya di Pelabuhan Lembar dengan hangat.

“Lama tidak berjumpa, bagaimana kabar Naq Rin di sana?”

“Alhamdulillah baik. Ibu dan Uni bagaimana?”

“Mereka baik-baik saja, bagaimana kalau kita langsung berangkat?”

“Silaq. (Silahkan.)”

Akhirnya saya dan Tuaq Yan berangkat menuju rumah Ibu menggunakan motor
bebek milik paman. Motor itu ternyata masih berfungsi, padahal motor itu sudah ada
sejak aku masih kecil. Kota ini banyak berubah selama saya menimba ilmu di Bandung
sampai-sampai saya tidak ingin meninggalkan sedetik pun untuk melewatkan
pemandangan luar yang mempesona. Terpaan angin pagi yang segar membuat saya
kembali bernostalgia, ketika Bapak mengajak saya pergi membantunya di sawah Pak
Kaling saat itu. Kenangan yang menyenangkan apabila di ingat kembali.

Sesampainya di kontrakan, saya tidak menemui Ibu di dalam. Saya menelusuri seisi
rumah, namun hasilnya nihil. Saya memutuskan untuk berberes dan membersihkan diri.

“Assalamualaikum.”

Tidak lama setelah saya selesai membersihkan diri, terdengar suara pintu terbuka yang
bersamaan dengan ucapan salam. Saya bergegas keluar kamar dan mengejutkan Ibu dan adik
saya.

“Wa’alaikumussalam, akhirnya pulang juga. Apakah Ibu dan Uni sudah makan?”

Mereka terkejut, mata Ibu berkaca-kaca sedangkan Uni berlari memeluk saya.
“Siapa yang mengantarkan kamu ke sini? Kapan sampai di sini? Astagfirullah ibu belum
memasak apapun untukmu. Tunggu sebentar ya, Ibu siapkan makanan dulu. Kamu pasti lapar. ”

“Tuaq Yan, Bu. tidak usah repot-repot, Ibu duduk saja biar saya yang masak.”

Ibu terus memaksa membuatkan makan siang untuk kami. Aku mengalah dan
membiarkan ibu melakukannya. Sambil menunggu Ibu memasak saya dan Uni berbicara santai
di teras rumah. Tidak lama setelah itu, Ibu datang membawakan nasi dan bayam.

“ Maaf ya, nak. Ibu hanya bisa menyiapkan makanan ini saja dulu. Lain kali kita makan
yang lebih enak.”

“ Mengapa Ibu harus meminta maaf? Saya sangat bersyukur masih bisa menikmati
makanan bersama keluarga.”

Ibu tersenyum, “ Kamu ternyata tumbuh dengan baik di sana, ya.”

Keesokan harinya, saya memilih untuk berjalan-jalan menelusuri jalanan sekitaran


rumah. Di saat hendak memasuki gang saya menemui beberapa orang sedang berkumpul sambil
merokok, saya rasa mereka adalam preman. Saya berbalik dan berusaha menghindari mereka.

” Kamu yang di sana, cepat kemari!”

Sayangnya mereka menyadari kehadiran saya, menoleh ke belakang. Jantung saya terasa
berdebar dengan kencang, sampai-sampai kaki saya terasa berat untuk melangkah.

“ Kamu sepertinya orang baru di sini, tinggal di mana?”

Ucap salah satu preman tersebut sambil menghembuskan asap rokoknya. Mulut saya
terasa sulit untuk berbicara.

“ Sa-saya dari dulu merantau ke Bandung bang, tapi saya baru kembali kemarin.”

“ Hah? Besarkan suaramu! Dimana kamu tinggal?” Gretak salah satu preman lainnya.

“Gang Tratai putih no.5, bang.”

Mereka terkejut dan saling melirik satu sama lain.


“ Anaknya si munafik ternyata hahahaha. HEH!”

Preman tersebut membantingkan botol kaca yang ada di tangannya, sepertinya itu
alcohol.

“ Bilang ke Ibu mu untuk melunasi hutang bapakmu! 5 juta lunasi dengan bunganya 5%
dalam waktu 3 minggu.”

Saya terkejut dan para preman tersebut membiarkan saya pergi. Selama perjalanan saya
terus berpikir apa yang harus saya lakukan untuk saat ini. Bapak hanya meninggalkan sebuah
motor yang sudah rusak. Apa saya harus cari kerja? Di tengah-tengah kegelisahan ini, saya
melihat toko sembako yang membutuhkan pegawai.

“Apa saya perlu mencoba di sana? Sepertinya saya tidak mungkin di terima. Seandainya
saya bisa sedikit lebih tua dari umur saya, pasti saya bisa berkerja di sana.”

Pikirku saat itu. Setelah berdiam sambil menatap cukup lama toko tersebut. Seorang pria
paruh baya menghampiri saya. Saya sedikit terkejut, takut apabila bapak ini menawari
dagangannya.

“ Ada yang bisa saya bantu?”

Terik matahari mulai terasa, membuat tubuh saya berkeringat. Saya bingung apa yang
harus saya lakukan.

“ Bagaimana kalau kamu masuk dulu? Di sini panas.”

Saya hanya mengangguk dan mengikuti Pria tersebut. Saya di suguhkan segelas air
minum. Aku mulai meminum minuman tersebut.

“Apa maksudmu datang kemari, nak?”\

Beliau memulai pembincaraan. Saya berusaha sebaik mungkin agar di terima berkerja di
sini.
“Maksud saya datang kemari karena ingin melamar perkerjaan, pak. Umur saya
memang belum cukup untuk berkerja. Namun, saya punya tekat untuk membantu Ibu melunasi
hutang Bapak.”

“Hmm… baiklah, asalkan kau memberikan surat izin dari orang tuamu.”

Saya terkejut, bingung apa yang harus saya lakukan apabila Ibu tahu kalau saya akan
berkerja. Beliau pasti tidak akan merestuinya. Aku berusaha bernegosiasi untuk ini.

“Ma-maaf pak, tapi apakah saya bisa berkerja tanpa surat tersebut? Saya rasa… Ibu
saya tidak akan merestui pilihan saya ini.”

“Lalu mengapa kamu tetap melakukannya? Padahal kau tahu Ibu mu tidak merestui
keputusanmu saat ini.”

“I-iibu saya ingin saya fokus pada sekolah. Sedangkan 3 minggu waktu yang di berikan
oleh mereka untuk ibu melunasi hutangnya. Kami tidak tau harus membayarnya dengan apa.
Saya serius ingin berkerja, berapa pun saya di bayar, saya tidak masalah.”

“Baiklah terserah padamu saja, tapi dengan syarat kau jujur dan serius. Oh ya, apabila
Ibumu datang marah-marah karena kau ketahuan berkerja di sini itu bukan urusanku. Kau
harus bertanggung jawab atas perbuatanmu ini.”

Saya tidak bisa berhenti tersenyum. Hari ini saya sungguh beruntung. Tuhan telah
menunjukan jalannya.

“Apakah saya sedang bermimpi? Terima kasih banyak pak…”

“Panggil saja saya Pak Biyan. Datang besok jam 9 pagi.”

Sesampainya di rumah, saya memperhatikan motor Bapak. Motor lama bapak yang
sangat usang, saya mencoba memperbaikinya. Syukurlah setelah beberapa lama akhirnya motor
tersebut bisa menyala. Saya membawa motor sambil jalan-jalan pada sore hari.

Setelah puas berkeliling saya memutuskan untuk pulang. Tidak jauh dari rumah, saya
bertemu Bibi Oci, warung makannya ternyata berkembang pesat. Raut wajahnya terlihat gelisah,
saya memutuskan menghampirnya.
“Bi Oci, sepertinya Bibi sedang gelisah. Apa ada yang bisa saya bantu?”

“Ohh… Iya, Bibi lagi cari ojek tapi gak ada yang lewat sama sekali.”

“Kalau bibi mau saya mungkin bisa bantu.”

“Tolong antarkan nasi kotak ini ke rumahnya Nyonya Sri. Ini alamat beliau.”

Mengikuti petunjuk di kertas yang di berikan, akhirnya aku sampai di rumah Nyonya Sri.
Di saat pintu telah terbuka, seorang wanita membuka pintu.

“Permisi, saya ingin mengantarkan nasi kotak.”

“Pesanan Nyonya, ya? Baiklah ayo masuk dulu, mas. Ayo duduk tunggu di sini sebentar,
ya.”

Tidak lama setelah itu, pembantu tersebut datang membawakan uang. Saya menerima
uang tersebut dan segera berpamitan. Tidak lama setelah itu saya kembali ke rumah Bi Oci dan
memberikannya uang yang diberikan. Beliau memberikan saya upah, syukurlah saya bisa
membantu Ibu meskipun tidak banyak.

Pagi-pagi saya sudah tidak menemui Ibu di kamarnya, kata Uni Ibu sudah pergi sedari
tadi untuk berkerja. Saya mengantarkan Uni ke sekolah. Beberapa jam sebelum pergi berkerja di
toko Pak Biyan, Bi Oci datang.

“Nak, bisakah kamu membantu saya sekali lagi? Antarkan beberapa makanan ini ke
beberapa rumah, saya akan berikan upah yang lebih besar dari kemarin.”

Saya menyetujuinya dan segera mengantarkan pesanan tersebut. Mau bagaimana lagi,
saya tidak bisa hanya mengandalkan perkerjaan dari Pak Biyan saja. Seiring berjalannya waktu,
tidak terasa sudah lebih dari 2 minggu aku di sini. Bi Oci kini lebih sering memintaku untuk
membantunya mengantarkan pesanan orang.

Suatu hari ketika kami semua sedang berada di rumah, preman yang saya temui waktu itu
datang ke rumah. Menggedor pintu rumah dan berteriak dengan suara yang lantang. Uni
menangis di dekapan Ibu. Tubuh saya bergetar, saya panik dan bingung apa yang harus saya
lakukan sekarang.
“CEPAT BUKA PINTUNYA!”

Ibu meminta saya untuk menjaga Uni, pada akhirnya Ibu memutuskan menemui mereka.
Saya mendengarkan percakapan mereka dengan Ibu waktu itu.

“KAPAN KAU AKAN MEMBAYAR HUTANGMU?!”

“Sa-saya akan membayarnya, berikan saya wa-“

“KAMU INGIN PERPANJANG WAKTU LAGI? KAMU SEDANG MEREMEHKAN


SAYA?”

“To-tolong kecilkan suara anda, anak-anak saya akan mendengarkannya.”

“Peduli apa saya pada anakmu? Sekarang cepat bayar hutang suamimu!”

Saya meminta Uni untuk menunggu di dalam kamar. Saya memutuskan melerai mereka.

“Bukankah kemarin side (kamu- formal) bilang waktunya 3 minggu? Ini baru 2 minggu,
bersabarlah kami pasti akan membayarnya.”

Pada akhirnya mereka pergi dengan raut wajah masam. Ibu sepertinya terkejut, apa yang
harus saya katakan?

“Apakah kamu pernah bertemu dengan mereka, nak? Kenapa tidak member tahu Ibu
dulu? Hahh… sudahlah jangan berhubungan dengan mereka lagi.”

“Nggih, bu.”

Saat toko Pak Biyan sedang sepi pelanggan, saya sedang istirahat dan memikirkan
bagaimana cara untuk mendapatkan uang secara instan. Pak Biyan sepertinya melihat saya yang
sedaritadi melamun. Beliau duduk di sebelah saya.

“Apa yang terjadi? Kenapa kamu bermuka masam?”

“Ohh… tidak apa-apa, pak. Saya hanya teringat pada Ibu di rumah.”

“Wahh… saya salut padamu, jarang sekali ada anak yang mau membantu orang tuanya.
Apakah masalah uang?”
Saya tidak bisa mengelak lagi pada fakta bahwa sangat membutuhkan uang secepatnya.
Uang yang selama ini saya kumpulkan untuk membantu Bi Oci tidak sampai setelah hutang
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai