Anda di halaman 1dari 8

Nama : Yusti Navi Wandarhaesta

NIM : 210731610941
Offering :A
Prodi : Pendidikan Sejarah
Mata Kuliah : Sejarah dan Kearifan Lokal

1. Analisislah buku referensi di bawah ini berdasarkan konsep etnobotani, etnoscine,


entopenanganan bencana sesusi dengan konsep sejarah dan kearifan local Indonesia
Jawab :
Sebelum melakukan analisis tiap-tiap kearifan yang ada pada buku “Kearifan
Lokal dalam Mitigasi Bencana” tentu harus mengerti tentang pengertian apa itu
etnobotani, etnosains, serta etnopenanganan bencana.
a. Etnobotani dapat diartikan sebagai suatu disiplin ilmu yang mempelajari
tentang pemanfaatan, pengelolaan tumbuhan secara tradisional oleh suatu
etnis atau juga kelompok masyarakat atas lingkungan sekitarnya. Ford (dalam
Batoro 2015) memberi batasan bahwa etnobotani sebagai ilmu yang
mempelajari tumbuhan keseluruhan di dalam budaya manusia secara
langsung.
b. Etnosains merupakan kegiatan mentransformasikan antara sains asli yang
terdiri atas seluruh pengetahuan tentang fakta masyarakat yang berasal dari
kepercayaan turun-temurun serta masih mengandung mitos (Linda Novitasari
et al. 2017).
c. Etnomitigasi atau etnopenanganan bencana adalah Langkah awal
penanggulangan bencana guna mengurangi atau memperkecil dampak
bencana yang didasarkan pada kearifan local yang ada dan hidup di
masyarakat.
Berbagai bentuk kearifan local dalam buku “Kearifan Lokal dalam Mitigasi
Bencana” serta analisisisnya sebagai konsep etnobotani, etnosains, serta
etnopenanganan bencana, antara lain sebagai berikut :
 Smong : Tergolong dalam konsep etnosains, asumsi saya tersebut didasarkan pada
pengertian yang ada, yang mana smong sendiri merupakan sebuah pengetahuan
tradisional dan dilestarikan secara turun-temurun.
 Sabulungan : Tergolong pada konsep etnobotani. Mengacu pada penjelasan
sebelumnya, yang mana pada tradisi sabulungan tersebut merupakan upaya dari
suku Mentawai untuk melestarikan alamnya. Hal itu diwujudkan oleh sebuah
kepercayaan daerah setempat bahwa dalam memperlakukan alam, manusia harus
membayangkan bahwa ia sedang memperlakukan dirinya sendiri. Selain itu, saya
juga berasumsi bahwa sabulungan tersebut juga termasuk pada etnomitigasi atau
etnopenanganan bencana, yang mana implikasi dari tradisi yang hidup di suku
Mentawai ini dapat meminimalisir bencana alam.
 Leuweung Kolot Atau Leuweung Titipan : Tergolong pada konsep etnobotani.
Mengacu pada penjelasan etnobotani, yang mana pada tradisi Leuweung Kolot
Atau Leuweung Titipan tersebut merupakan upaya dari suku Baduy untuk
melestarikan alamnya. Hal itu diwujudkan dengan membagi wilayah bukit, habitat
suku baduy, kedalam 3 zona dan tiap tia[ zona ada peruntukan dan larangannya
masing-masing.
 Ngahuru Atau Ngaduruk : Tergolong etnosains, asumsi saya tersebut didasarkan
pada pengertian yang ada, yang mana Ngahuru Atau Ngaduruk sendiri merupakan
sebuah pengetahuan tradisional dan dilestarikan secara turun-temurun dengan
sebuah mitos, yaitu kegiatan tradisi tersebut berpatokan pada pertanggalan bintang.
Selain itu, saya juga berasumsi bahwa sabulungan tersebut juga termasuk pada
etnomitigasi atau etnopenanganan bencana, yang mana implikasi dari tradisi yang
hidup di suku Baduy ini, pada tahapannya, dapat meminimalisir bencana alam,
yaitu kebakaran hutan.
 Tane‘ Olen : Tergolong pada etnobotani. Mengacu pada penjelasan sebelumnya,
yang mana pada tradisi Tane‘ Olen tersebut merupakan upaya dari suku Dayak
Kenyah untuk melestarikan alamnya yang mana itu ditegaskan dalam bentuk
hukum adat. Selain itu, saya juga berasumsi bahwa sabulungan tersebut juga
termasuk pada etnomitigasi atau etnopenanganan bencana, yang mana implikasi
dari tradisi yang hidup di suku Dayak Kenyah ini dapat meminimalisir bencana
alam, terutama mencegah bencana banjir dan kekeringan.
 Puar Cama : Tergolong pada etnobotani. Mengacu pada penjelasan tentang
etnobotani, yang mana pada tradisi masyarakat Manggarai Barat tersebut
merupakan upaya dari masyarakat Manggarai Barat untuk melestarikan alamnya
dan hal tersebut dipertegas dengan hukum adat masyarakat Manggarai Barat. Selain
itu, saya juga berasumsi bahwa sabulungan tersebut juga termasuk pada
etnomitigasi atau etnopenanganan bencana, yang mana implikasi dari tradisi yang
hidup di masyarakat Manggarai Barat ini dapat meminimalisir bencana alam,
terutama bencana kekeringan dan longsor.
 Matilesang Raga : Tergolong etnosains, asumsi saya tersebut didasarkan pada
pengertian yang ada, yang mana Matilesang Raga sendiri merupakan sebuah
pengetahuan tradisional yang didasarkan pada filosofi yang dikandung oleh
masyrakat bali. Selain itu, saya juga berasumsi bahwa Matilesang Raga tersebut
juga termasuk pada etnomitigasi atau etnopenanganan bencana, yang mana
implikasi dari tradisi yang hidup di masyarakat bali ini dapat meminimalisir
bencana sosial, seperti intoleransi.
 Nawang Lek : Tergolong etnosains, asumsi saya tersebut didasarkan pada
pengertian etnosains, yang mana Nawang Lek sendiri merupakan sebuah
pengetahuan tradisional yang didasari oleh filosofi yang menjadi pegangan oleh
masyarakat bali. Selain itu, saya juga berasumsi bahwa Nawang Lek tersebut juga
termasuk pada etnomitigasi atau etnopenanganan bencana, yang mana implikasi
dari tradisi yang hidup di masyarakat bali ini dapat meminimalisir bencana sosial.
 Menyama Braya : Tergolong etnosains, asumsi saya tersebut didasarkan pada
pengertian yang ada, yang mana Menyama Braya sendiri merupakan sebuah
pengetahuan tradisional dan filosofi yang bersumber dari sistem nilai budaya dan
adat istiadat masyarakat bali. Selain itu, saya juga berasumsi bahwa Menyama
Brayatersebut juga termasuk pada etnomitigasi atau etnopenanganan bencana, yang
mana implikasi dari tradisi yang hidup di masyarakat bali ini dapat meminimalisir
bencana alam, seperti kerusuhan dan konflik sosial.
 Sintuwu Maroso : Tergolong etnosains, asumsi saya tersebut didasarkan pada
pengertian yang ada, yang mana Sintuwu Maroso sendiri merupakan sebuah
pengetahuan tradisional dan kearifan lokal yang bersumber sebuah filosofi yang
dipegang oleh adat istiadat masyarakat poso. Selain itu, saya juga berasumsi bahwa
Sintuwu Maroso tersebut juga termasuk pada etnomitigasi atau etnopenanganan
bencana, yang mana implikasi dari tradisi yang hidup di masyarakat poso ini dapat
meminimalisir bencana sosial, seperti adanya kerusuhan dan konflik sosial.
 Sambatan : Tergolong etnosains, asumsi saya tersebut didasarkan pada pengertian
yang ada, yang mana tradisi Sambatan sendiri merupakan sebuah pengetahuan
tradisional yang bersumber dari sebuah filosofi yang dipegang oleh adat istiadat
masyarakat jawa. Selain itu, saya juga berasumsi bahwa Sambatan tersebut juga
termasuk pada etnomitigasi atau etnopenanganan bencana, yang mana implikasi
dari tradisi yang hidup di masyarakat jawa ini dapat meminimalisir bencana alam.
 Mapalus : Tergolong etnosains, asumsi saya tersebut didasarkan pada pengertian
yang ada, yang mana tradisi Mapalus sendiri merupakan sebuah pengetahuan
filosofis tradisional yang bersumber dari adat istiadat masyarakat minahasa. Selain
itu, saya juga berasumsi bahwa Mapalus tersebut juga termasuk pada etnomitigasi
atau etnopenanganan bencana, yang mana implikasi dari tradisi yang hidup di
masyarakat minahasa ini dapat meminimalisir bencana social, seperti konflik sosial.
 Rumah Adat Baduy : Tergolong etnosains, asumsi saya tersebut didasarkan pada
pengertian yang ada, Rumah Adat Baduy sendiri merupakan perwujudan akan
pengetahuan filosofis tradisional yang bersumber dari adat istiadat masyarakat suku
Baduy. Selain itu, saya juga berasumsi bahwa sabulungan tersebut juga termasuk
pada etnomitigasi atau etnopenanganan bencana, yang mana implikasi dari tradisi
yang hidup di masyarakat Nias ini dapat meminimalisir dampak bencana alam,
seperti tanah longsor.
 Omo Hada : Tergolong etnosains, asumsi saya tersebut didasarkan pada pengertian
yang ada, Omo Hada sendiri merupakan perwujudan akan pengetahuan filosofis
tradisional yang bersumber dari adat istiadat masyarakat Nias. Selain itu, saya juga
berasumsi bahwa sabulungan tersebut juga termasuk pada etnomitigasi atau
etnopenanganan bencana, yang mana implikasi dari tradisi yang hidup di
masyarakat Nias ini dapat meminimalisir dampak bencana alam, seperti gempa.
 Rumoh Krong Bade : Tergolong etnosains, asumsi saya tersebut didasarkan pada
pengertian yang ada, yang mana Rumoh Krong Bade sendiri merupakan
perwujudan nyata pengetahuan filosofis tradisional yang dimiliki oleh masyarakat
adat aceh. Selain itu, saya juga berasumsi bahwa Rumoh Krong Bade tersebut juga
termasuk pada etnomitigasi atau etnopenanganan bencana, yang mana implikasi
dari tradisi yang hidup di masyarakat adat aceh ini dapat meminimalisir dampak
bencana alam yang mengancam mereka sewaktu waktu, misalnya tsunami dan
banjir.
 Rumah Gadang : Tergolong etnosains, asumsi saya tersebut didasarkan pada
pengertian yang ada, yang mana Rumah Gadang sendiri merupakan wujud nyata
dari sebuah pengetahuan filosofis tradisional yang bersumber dari adat istiadat
masyarakat Minangkabau. Selain itu, saya juga berasumsi bahwa sabulungan
tersebut juga termasuk pada etnomitigasi atau etnopenanganan bencana, yang mana
implikasi dari tradisi yang hidup di masyarakat adat Minangkabau ini dapat
meminimalisir dampak bencana alam, seperti gempa.
 Rumah Baghi : Tergolong etnosains, asumsi saya tersebut didasarkan pada
pengertian yang ada, yang mana Rumah Baghi sendiri merupakan aplikasi atas
pengetahuan filosofis tradisional yang bersumber dari adat istiadat masyarakat
Besemah. Selain itu, saya juga berasumsi bahwa Rumah Baghi tersebut juga
termasuk pada etnomitigasi atau etnopenanganan bencana, yang mana implikasi
dari tradisi yang hidup di Masyarakat Besemah ini dapat meminimalisir bencana
alam, seperti gempa, dan meminimalisir bencana sosial.

2. Pilih tiga dari sajian peristiwa di dalam buku referensi ini ( tata ututan kajian
deskripsi kearifan local, konsep theory dan analisis)
Jawab :

 NAWANG LEK
Nawang Lek, secara etimologi diambil dari Bahasa lokal masyarakat Bali,
yang artinya adalah merasa malu. Nilai 'nawang lek' membuat orang Bali cenderung
tidak berperilaku aneh atau mengambil risiko (Juhadi et al. 2018: 64). Rasa malu
yang mereka miliki meruju pada malu berkenaan dengan moral dan sosial. Misalnya
Mereka semua merasa malu untuk membuat masalah, malu menerima apa yang bukan
hak mereka,malu Ketika tidak bisa menolong sesama warga, dan lainnya (Juhadi et
al. 2018: 64). Rasa malu yang mengakar dalam bentuk trasisi Nawang Lek ini berlaku
bagi seluruh masyarakat bali tanpa memandang status, kasta, dan juga agama.
Dari penjelasan singkat mengenai tradisi Nawang Lek tersebut, tradisi tersebut
dapat dikategorikan sebagai etnosains dan etnomitigasi. Etnosains sendiri merupakan
kegiatan mentransformasikan antara sains asli yang terdiri atas seluruh pengetahuan
tentang fakta masyarakat yang berasal dari kepercayaan turun-temurun dan masih
mengandung mitos (Linda Novitasari et al. 2017). Etnomitigasi atau etnopenanganan
bencana adalah Langkah awal penanggulangan bencana guna menurangi atau
memperkecil dampak bencana yang didasarkan pada kearifan lokal yang ada dan
hidup di masyarakat.
Saya mengkategorikan tradisi tersebut dalam etnosains didasarkan pada
contoh yang juga saya lihat di media sosial, serupa dengan yang dicontohkan di buku,
ada masyarakat muslim bali yang meninggal disaat malam nyepi, atas dasar rasa
“Nawang Lek” tersebut masyarakat hindu bali yang sedang melakukan pawai turut
membantu prosesi pemakaman masyarakat islam yang sedang mengalami kesusahan
tadi. Gambaran konkret etnosains masyarakat bali itu menunjukkan adanya sebuah
kecerdasan tradisi tanpa membutuhkan penelitian empiris. Juga saya kategorikan
dengan etnopenanggulangan bencana atau etnomitigasi, dengan contoh yang sama,
perilaku “Nawang lek” itu telah menghindarkan dari sebuah bencana sosial, yakni
konflik agama dan sosial.

 RUMOH KRONG BADE


Rumoh Krong Bade juga disebut Rumoh Aceh adalah rumah adat Aceh. Pada
umumnya Rumoh Aceh merupakan rumah panggung dengan tiang setinggi 2,50 – 3
meter dan terdiri dari tiga atau lima ruangan, salah satu ruangan utamanya disebut
sulur. Rumoh Aceh berbentuk bujur sangkar dengan 16 sampai 44 tiang tergantung
ukuran rumah (Juhadi et al. 2018: 79).
Hemat saya Rumoh Krong Bade adalah salah satu ide brilian dari masyarakat
adat Aceh, karena Rumoh Aceh memuat banyak sekali kelebihan. Selain tahan
bencana, karena letaknya yang tinggi, rumoh Aceh didesain dengan memperhatikan
aspek aspek esensial lainnya, seperti kesehatan, lingkungan, sosial dan filosofi
keagamaan (Juhadi et al. 2018:80). Hal itu mendorong saya untuk mengkategorikan
Rumoh Krong Bade sebagai etnosains dan etnomitigasi.

 SMONG
Smong secara etimologi diambil dari bahasa lokal Simeulue yang artinya
adalah tsunami. Smong sendiri merupaka kearifan lokal masyarakat pantai simeulue
sebagai respon terhadap bencana alam yang akan terjadi, yaitu tsunami. Teriakan
Smong merupakan peringatan dini yang diartikan adanya situasi dimana air laut surut
dan masyarakat harus lari ke bukit (Juhadi et al. 2018: 45)
Smong sendiri merupakan pengetahuan yang diwariskan secara turun temurun
oleh leluhur masyarakat Simeulue sebagai respon terhadap surutnya air laut secara
tiba-tiba, yang mana setelah diteliti secara sains hal tersebut merupakan tanda
bencana tsunami. Kearifan lokal smong sendiri merupakan hal yang unik, menurut
saya, karena zaman dulu para leluhur masyarakat simeulue sudah memiliki
pengetahuan yang saya saja baru bahwa diantara mengetahui tanda-tanda tsunami,
yaitu surutnya laut secara mendadak, ketika saya duduk dibangku sekolah dan hal itu
sudah dibuktikan secara sains. Maka dari itu, saya mengkategorikan hal kearifan lokal
smong ini kedalam etnosains.
DAFTAR RUJUKAN

Batoro, J. (2015). Pengelolaan Lingkungan dengan Pendekatan Etnobiologi-Etnobotani.


Malang: UB Press.
Brata, I. (2016). Kearifan Budaya Lokal perekat Identitas Bangsa. Jurnal Bakto saraswato ,
(JBS), 5(1), 9-16.
Juhadi, A. M. (2018). Kearifan Lokal dalam Mitigasi Bencana. Semarang: Penerbit Fastindo.
Niman, E. M. (2019). Kearifan Lokal dan Upaya Pelestarian Limngkungan Alam. Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan Missio, 11(1), 91-106.
Novitasari, L. P. (2017). Fisika, Etnosains, dan Kearifan Lokal dalam Pembelajaran Sains.
Seminar Nasional Pendidikan Fisika iii 2017, 172-179.

Anda mungkin juga menyukai