Anda di halaman 1dari 8

REVIEW ARTIKEL

disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Teori Kritis

Dosen pengampu :

Vina Adriany, M.Ed., Ph.D.

Disusun oleh :

Yayah Supriati (2002446)

Pendidikan Anak Usia Dini

DEPARTEMEN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI (S2)

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG

2021
Judul Artikel Neuroscience And The Construction of a New Child in Early
Childhood Education in Indonesia: A Neoliberal Legacy
Penulis Vina Adriany dan Jan Newberry
Tahun Terbit 2021
DOI 10.1177 / 0011392120985875

Pendahuluan

Ilmu saraf dianggap sebagai sistem kebenaran, dan karena itu dapat memengaruhi
cara berpikir guru dan orang tua. Kaitannya dengan modal capital, ini mungkin investasi
di masa yang akan datang, misalnya keberhasilan masa kanak-kanak akan berdampak
pada masa dewasa, seperti yang dijelaskan oleh teori ilmu saraf, pada usia 0-4 tahun
kapasitas perkembangan otak anak adalah 50%. usia 4-8, otaknya telah berkembang
menjadi 80%; pada usia 8-18, otaknya telah berkembang menjadi 100%, meskipun
teorinya belum tentu 100% benar. Warisan ilmu saraf dan neoliberalisme membentuk
kebenaran baru di masa kecil Indonesia. Kerangka konseptual ilmu otak yang didasarkan
pada kepastian biologis menunjukkan bahwa otak tidak hanya akan berpengaruh besar
pada perkembangan anak saat ini tetapi dapat mempengaruhi di masa yang akan datang.

Wacana neoliberal global memperkuat metode teknologi dan ilmiah melalui


gagasannya bahwa konsepnya mendorong perkembangan anak dan dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi di suatu negara. Neuroscience adalah studi yang melihat
bagaimana otak dapat mempengaruhi sikap, perilaku, dan fungsi kognitif manusia
(Rushton, 2011; Rushton et al., 2010). Dengan menyalinnya sebagai bentuk otoritatif
kebijakan dan penerapan dalam praktik pendidik anak usia dini, dan melalui penyebaran
program PAUD swasta dan publik, ilmu saraf telah menjadi kebenaran baru di ECE.
Misalnya, studi yang dilakukan oleh Pangastuti (2020) tentang masyarakat Indonesia
yang berpenghasilan rendah menunjukkan bagaimana guru PAUD tidak menyadari
dampak kemiskinan pada perkembangan anak, tetapi mereka sangat tertarik pada
pemahaman ilmu saraf tentang stimulasi otak anak. Menurutnya, menstimulasi
perkembangan otak merupakan intervensi penting untuk pembelajaran anak-anak, dan
anak-anak yang berhasil belajar akan memenuhi kebutuhannya. Tujuan pendidikan adalah
sebagai investasi dalam perekonomian nasional. Sebagai negara berkembang, Indonesia
sangat dipengaruhi oleh organisasi antar pemerintah dan paradigma kebijakan saat ini.

Bank Dunia dan lembaga donor lainnya sering menggunakan ilmu saraf sebagai
dasar yang masuk akal untuk intervensi dalam keluarga dengan latar belakang sosial
ekonomi yang lebih lemah (Mahon, 2010). Misalnya, kebijakan program PAUD untuk
masyarakat berpenghasilan rendah di Indonesia saat ini tidak hanya memperhatikan
kesehatan otak di dalam kandungan, tetapi juga kegiatan untuk perkembangan otak yang
optimal pada bayi dan balita (Newberry, 2017).

Selain secara langsung mengikat perkembangan otak dan perkembangan ekonomi nasional,
pendekatan Neuroscience cenderung menganggap orang tua sebagai tanggung
jawabperkembangan otak anak-anak mereka. Allen (2011), misalnya, menegaskan bahwa
kelalaian. Praktik pengasuhan anak dapat merusak perkembangan otak anak. Wacana ilmu
saraf dipromosikan sebagai obat yang paling ampuh untuk gaya pengasuhan yang lalai dari
anak-anak yang memiliki latar belakang kurang beruntung.

Teoritical framework

Wacana kebenaran ini dapat dipahami sebagai bentuk modifikasi dari latihan dan
pemikiran. Di mata Foucaul, kekuasaan tidak terpusat, tetapi disalurkan. (Fenech &
Sumsion, 2007). Neuroscience telah menjadi kebenaran baru dalam PAUD melalui
reproduksinya sebagai wujud otoritas dalam kebijakan dan praktik pendidik anak usia dini
serta tumbuhnya program PAUD swasta dan publik, khususnya di Indonesia.

Dengan menghubungkan ilmu saraf dengan "kebenaran" perkembangan anak secara


keseluruhan, ketidakseimbangan dalam hubungan kekuasaan antara Utara dan Selatan
diselesaikan, dan anak-anak di Utara didefinisikan ulang sebagai patokan untuk memahami
perkembangan anak. Kekuatan wacana global ini, yang menitikberatkan pada
perkembangan otak anak di seluruh dunia (Berman, 2008a, 2008b).

Kekuatan wacana global tentang perkembangan anak ini adalah kekuatan kemiskinan dan
ketidaksetaraan untuk dimasukkan ke dalam cerita-cerita lokal tentang perkembangan anak.
Tapi jangan fokus pada tingkat kemiskinan masyarakat. Sebagai sebuah negara, Indonesia
merupakan negara yang sangat kompleks. Sebagai contoh, studi Pangastuti (2020) pada
masyarakat miskin di Indonesia menemukan bahwa guru tidak menyadari dampaknya. Ini
adalah efek kemiskinan pada perkembangan anak, tetapi sangat terkait erat dengan konsep
ilmu saraf dalam merangsang otak anak-anak.Sejarah ilmu saraf Indonesia yang meragukan
wacana ilmu saraf di ECE dimulai pada tahun 2001 ketika Bank Dunia terlibat dalam
pengembangan PAUD Indonesia (Adriany dan Saefullah, 2015).

Terkait wacana ilmu saraf menurut Pen, 2011, bahwa merangsang perkembangan otak
merupakan intervensi penting bagi anak usia dini untuk belajar dan menyatakan bahwa
anak yang berhasil akan mencapai tujuan pendidikannya sebagai investasi dalam
perekonomian nasional. Tujuan pengembangan khusus yang menekankan pentingnya
pendidikan dini dan fokus yang jelas pada perkembangan otak telah muncul dalam SDGs
berikutnya (Dreyer, 2016; Sachs, 2012). Ini mencakup tidak hanya kesehatan otak
endometrium, tetapi juga aktivitas untuk perkembangan otak yang optimal pada bayi dan
balita (Newberry, 2017).

Pendekatan ilmu saraf cenderung menghubungkan perkembangan otak anak-anak


mereka dengan orang tua, juga menghubungkan perkembangan otak anak dengan
perkembangan ekonomi nasional. (Allen (2011). Wacana ilmu saraf dipandang sebagai obat
multi guna dari gaya pengasuhan yang terabaikan pada anak. Anak-anak kurang mampu
juga menjadi dasar tanggung jawab neoliberal. Teori ilmu saraf menganggap bahwa
masalah individu seperti gaya pengasuhan anak merupakan faktor yang paling mendasar
dalam perkembangan anak, daripada faktor sosiologis seperti kemiskinan.

Body of article / result dr review article

Neuroscience adalah studi yang berfokus pada bagaimana otak memengaruhi


perilaku dan fungsi kognitif manusia (Rushton, 2011; Rushton et al., 2010) Neuroscience
telah menjadi kebenaran baru di ECE melalui reproduksinya sebagai bentuk otoritas dalam
kebijakan dan penerapan di praktik pendidik anak usia dini dan melalui proliferasi swasta
dan publik Program ECE, tidak terkecuali di Indonesia.

Penelitian yang dilakukan oleh Pangastuti (2020) dengan masyarakat miskin di


Indonesia misalnya,menunjukkan bagaimana guru PAUD tidak menyadari pengaruh
kemiskinan terhadap perkembangan anak,melainkan mereka semua sangat antusias tentang
pengertian neuroscientific tentang stimulasiotak anak-anak. Klaimnya adalah bahwa
stimulasi perkembangan otak merupakan intervensi penting bagi seorang anak kecil untuk
belajar, dan bahwa seorang anak yang berhasil dalam belajar akan memenuhi
kebutuhannya. tujuan pendidikan sebagai investasi bagi perekonomian nasional. Sebagai
negara 'berkembang',Indonesia sangat dipengaruhi oleh organisasi antar pemerintah dan
arus merekaparadigma kebijakan

Neuroscience sering digunakan oleh Bank Dunia dan lembaga donor lainnya
sebagai basis untuk membenarkan intervensi bagi keluarga dari latar belakang sosial
ekonomi rendah (Mahon, 2010). Misalnya, kebijakan program ECE untuk masyarakat
berpenghasilan rendah di Indonesia sekarang memperhitungkan tidak hanya kesehatan otak
dalam rahim tetapi juga mencakup kegiatan untukperkembangan optimal otak untuk bayi
dan anak kecil (Newberry, 2017).
Selain secara langsung mengikat perkembangan otak dan perkembangan ekonomi
nasional, pendekatan Neuroscience cenderung menganggap orang tua sebagai tanggung
jawabperkembangan otak anak-anak mereka. Allen (2011), misalnya, menegaskan bahwa
kelalaian. Praktik pengasuhan anak dapat merusak perkembangan otak anak. Wacana ilmu
saraf dipromosikan sebagai obat yang paling ampuh untuk gaya pengasuhan yang lalai dari
anak-anak yang memiliki latar belakang kurang beruntung.

Tidak hanya anak dan orang tua yang diatur, tetapi guru juga tunduk bentuk disiplin
ini. Di Indonesia, Wacana Neuroscience dipromosikan tidak hanya dalam dokumen
pemerintah,tetapi juga disebarluaskan di berbagai program PAUD formal dan informal,
taman kanak-kanak juga seperti dalam inisiatif POSYANDU. Kami dibuat untuk percaya
itu masalah di masyarakat bisa dihilangkan dengan memperbaiki otak anak, yang bisa kita
lihat dan ukur secara transparan, dan kondisi anak bisa diperbaiki dengan stimulasi otak
mereka. Neuroscience telah membuat pendidik dan pembuat kebijakan mengabaikan lebih
signifikan masalah seperti kemiskinan dan ketidaksetaraan global.

Dalam wacana yang disajikan di sini, kita melihat bagaimana anak itu dianggap
pasif dan rapuh,bahkan orang tua dan guru harus melindungi kerapuhan itu. Ide-ide ini
langsung kontradiksi wacana hak anak yang menekankan pada anak kecil sebagai memiliki
agensi (Tesar et al., 2016), dan mereka bahkan tidak konsisten dengan wacana yang
berpusat pada anak tentang ECE yang diklaim oleh Indonesia untuk dipromosikan
(Adriany, 2015).

TRANSPARANSI YANG DISEMBUNYIKAN

Namun di semua taman kanak-kanak dalam penelitian ini tidak ada alat teknologi
yang bisa mengukur aktivitas otak anak-anak. Sebaliknya, pengukurannya dialih kan ke
perilaku. Sekolah lain yang kami kunjungi mengadopsi konsep disiplin positif, sebuah
istilah yang berakar pada sekolah behaviourisme yang percaya bahwa perilaku anak dapat
dilatih. Di sini, sudah lama sekali pendekatan behaviourisme terkait dengan 'kebenaran'
ilmu saraf tanpa dukungan bukti hubungan antara keduanya. Sebagai Weisberg et al. (2008:
470) menyatakan, 'ilmu saraf bahkan tidak relevan informasi dalam penjelasan tentang
fenomena psikologis dapat mengganggu manusia kemampuan untuk secara kritis
mempertimbangkan logika yang mendasari penjelasan ini. Peran guru hanya sekedar
merayakan tanpa di dukung oleh ilmu pengetahuan yang lengkap.

Penggunaan kekuatan tekno-ilmiah untuk mendukung pembangunan bukanlah hal


baru. Di Indonesia, Penggunaan pendekatan tekno-saintifik diperkenalkan oleh Habibie
pada masa Orde Baru rezim, di mana perkembangan tekno-ilmiah digunakan sebagai
wahana untuk melayani kepentingan negara otoriter (Amir, 2012). Yang mungkin baru di
sini adalah promosi kekuatan tekno-ilmiah dalam pengaturan ECE. Ini juga terbukti dalam
kurikulum ECE 2013, yang secara jelas menekankan pada pendekatan ilmiah untuk
mengajar (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2014). Ini
menyatakan bahwa pendekatan ilmiah di ECE mendorong anak-anak kecil untuk
mengembangkan keterampilan observasi yang dianggap terkait dengan perkembangan
optimal otak anak: 'Saat indra anak terlibat dalam proses observasi, mereka akan menerima
informasi dalam jumlah yang tidak terbatas. Jumlah informasi yang diamati oleh anak kecil
akan meningkatkan perkembangan otak mereka ' (PAUD, 2015a; terjemahan Adriany).

Anak di tuntut untuk berkontribusi untuk negara di masa depan. Perkembagan anak
dapat diukur di Indonesia sendiri ada yang namnya rezim STPPA ( dasar transparansi).
Perkembangan anak dapat terlihat oleh orang dewasa. Sosial emosional anak mudah
dideteksi. Ilmu otak ini dihubungkan dengan prilaku intrapersonal/ interpersonal anak, dan
ditransparansikan dalam bentuk kerusakan atau perkembangan. Dengan kata lain, hubungan
anak kepada dunia dalam konteks lokal dan historisnya tidak boleh diabaikan.

Anak transparan yang dicitrakan dan dibayangkan melalui ilmu saraf memperkuat
jangka panjang standarisasi tujuan pembangunan yang memiliki hubungan paradoks
terhadap wacana yang menekankan perlunya pendekatan yang berpusat pada anak dan
fleksibilitas dalam mendidik seluruh anak sebagai pelajar yang aktif dan terlibat.
Ketergantungan pada standar global pembangunan menyembunyikan efek neo-kolonial dari
demokratisasi neoliberal di tempat-tempat seperti Indonesia dengan penekanan pada
investasi pada sumber daya manusia. Mungkin sebagian besar penting, fokus sempit pada
pengoptimalan otak mengabaikan rangkaian hubungan yang lebih luas di mana anak itu
hidup, belajar dan tumbuh serta bukti yang semakin banyak tentang caranya otak hanyalah
bagian dari sistem ekologi kompleks yang meluas ke seluruh dunia dan seterusnya tubuh
(Slaby dan Gallagher, 2015). Kekuatan gambar transparan otak sebenarnya bisa
menyembunyikan peran kemiskinan, gender dan bentuk perbedaan sosial lainnya itu
memengaruhi perkembangan anak dengan mengabaikan sistem hubungan yang lebih besar
ini.

Ilmu saraf telah menjadi "kebenaran" baru dalam pendidikan dasar di seluruh dunia,
bahkan di Indonesia. Artikel ini bertujuan untuk menunjukkan caranya keselarasan wacana
ilmu saraf dan warisan neoliberalisme membangun bentuk baru masa kanak-kanak di
Indonesia. Kerangka Konseptual Ilmu Otak Berdasarkan determinisme biologis
menunjukkan bahwa perkembangan otak tidak hanya akan mempengaruhi secara signifikan
dalam perkembangan anak-anak saat ini, tetapi juga itu akan berdampak pada
perkembangan masa depan Anda. Ilmu saraf juga didasarkan pada gagasan itu transparansi.
Kerangka konseptual itu mencakup gagasan bahwa pikiran seorang anak itu dapat dibuat
terlihat dengan sarana teknologi dan langkah-langkah pembangunan standar. Wacana
neoliberal global memperkuat pendekatan tekno-ilmiah ini dengan gagasan itu merangsang
perkembangan anak memfasilitasi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Penggunaan ini
instrumental perkembangan anak kontras dengan wacana yang difokuskan pada otonomi
dari anak itu. Dokumen ini didasarkan pada hasil pekerjaan lapangan yang telah
diselesaikan dan berkelanjutan. Mulai dari konsep Foucauldian tentang kekuatan disiplin,
saya akan membantah bahwa ilmu saraf telah menjadi bentuk pengawasan yang
membangun anak sebagai subjek yang terbuka untuk tatapan dan kewaspadaan orang
dewasa. Hasil yang diekspos mereka juga menggambarkan ketegangan dan negosiasi antara
nilai-nilai lokal dan nilai-nilai global di konstruksi sebagai bentuk baru masa kanak-kanak
di Indonesia.

Conclusion

Artikel ini menggambarkaan mengenai konstruksi anak pada anak usia dini melalui
penyebaran wacana ilmu saraf dalam program PAUD di Indonesia. Transparansi otak anak
dan perkembangannya melalui ilmu saraf telah menjadi sistem kebenaran dan sistem
pemerintahan yang mengontrol cara berpikir guru. Keterbatasan penggunaan sederhana dari
wacana ilmu saraf lebih diakui. Misalnya, penyesuaian sederhana ilmu saraf. Pendidikan
prasekolah, baik secara implisit maupun eksplisit, mengasumsikan bahwa perdebatan
ekonomi pendidikan prasekolah merupakan suatu integrasi, bukan tahap prasekolah. Ini
sangat penting untuk diperhatikan, karena sebagai aspek tumbuh kembang anak yang sering
terabaikan, terutama di Indonesia dan di tempat lain. Dengan kata lain, jiwa yang
berkembang melalui otak, tubuh dan lingkunganlah yang patut kita perhatikan, perhatian
untuk mewujudkan, mengatur dan mengembangkan ini. Dengan kata lain, bukan hanya
otak yang perlu kita perhatikan, tetapi juga sekolah dan siswa. Fleksibilitas perkembangan
sosial global dalam ketegangan dengan akuntansi transparan berdasarkan penyalahgunaan
penelitian ilmu saraf untuk membuat kebijakan monopolistik jenis transparansi tertentu dan
kebangkitan ilmu otak, mengejar standar dan kemudahan. menyerukan kepada negara dan
donor untuk berusaha menunjukkan bahwa tujuan pembangunan dapat dicapai di bidang
anak usia dini, termasuk investasi dalam pendekatan sumber daya manusia, ilmu saraf anak
usia dini Tindakan pengembangan yang bertanggung jawab yang diambil untuk
memasukkan intervensi anak usia dini iptek adalah keadaan kemiskinan anak dan situasi
yang bisa mencegahnya.

Asosiasi ilmu saraf yang dangkal mengabaikan pekerjaan disiplin yang


menekankan fleksibilitas dan pikiran yang luas secara sosial, menggunakan ekosistem
relasional di mana manusia mengembangkan hubungan di mana anak-anak berada. Dengan
kata lain, ini bukan hanya otak, tetapi konteks sosial dan ekonomi sekolah, kota dan
lingkungannya, keluarga, dan hubungan penting ini. Seorang anak yang transparan
dibayangkan dan dibayangkan melalui ilmu saraf yang memperkuat standarisasi kuno dari
tujuan perkembangan. Sebagai pembelajar yang aktif dan antusias, ia memiliki hubungan
paradoks dengan berbicara, yang menggarisbawahi perlunya pendekatan yang berpusat
pada anak dan fleksibilitas untuk mendidik anak-anak secara umum. Fokus Indonesia pada
investasi sumber daya manusia, dengan fokus pada optimalisasi otak, merupakan bagian
dari rangkaian wadah tempat anak-anak hidup, belajar dan tumbuh, dan dari ekosistem otak
yang kompleks. Buktinya diabaikan begitu saja.

Kekuatan pencitraan otak transparan dikembangkan dengan mengabaikan sistem


relasional yang lebih besar pada anak-anak. Wacana neurosains muncul dan diciptakan
kembali bersamaan dengan munculnya bentuk pemerintahan baru di Indonesia. Wacana
tentang ilmu saraf mempromosikan pemikiran anak-anak yang mandiri dan aktif. Ini adalah
ide yang selaras dengan reformasi politik neoliberal Indonesia yang terdesentralisasi. Hasil
ini menunjukkan bahwa VOC tidak terekspresi karena kurangnya wacana sosial politik
yang lebih luas. Ternyata hasilnya menunjukkan apa yang dilakukan oleh anak-anak
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai