Anda di halaman 1dari 6

PENGARUH KEKUASAAN PEMERINTAH TERHADAP ASAS

KEBEBASAN BADAN YUDIKATIF DI INDONESIA

PENDAHULUAN

Seperti yang kita ketahui, bahwa dalam menjalankan fungsi sebuah negara dikenal
dengan istilah “pemisahan kekuasaan” yang berdasarkan konsep trias politica atau tiga
fungsi kekuasaan, yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan
yudikatif, yang dalam pandangan Montesquieu kekuasaan tersebut harus dibedakan dan
dipisahkan secara struktural dalam organ-organ yang tidak saling mencampuri urusan
masing-masing organ tersebut.

Dalam sistem pemerintahan Indonesia, kekuasaan-kekuasaan tersebut dijalankan


oleh organ yang berbeda-beda dan memiliki tanggung jawab masing-masing terhadap
fungsi kekuasaan yang dijalankannya. Adapun lembaga yang menjalankan fungsi diatas
yaitu pertama, kekuasaan legislatif dijalankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Kedua,
kekuasaan eksekutif dijalankan oleh presiden dan wakil presiden serta jajaran menteri. Dan
yang ketiga, kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, dan Komisi Yudisial.

Dalam rangka menjamin bahwa masing- masing kekuasaan tidak melampaui batas
kekuasaannya maka diperlukan suatu sistem checks and balances system (sistem
pengawasan dan keseimbangan). Dalam checks and balances system, masing- masing
kekuasaan saling mengawasi dan mengontrol. Checks and balances system merupakan
suatu mekanisme yang menjadi tolok ukur kemapanan konsep negara hukum dalam rangka
mewujudkan demokrasi.
PEMBAHASAN

Dalam doktrin Trias Politica, khusus untuk cabang kekuasaan yudikatif, prinsip
yang tetap dipegang ialah bahwa dalam tiap negara hukum, badan yudikatif haruslah bebas
dari campur tangan badan eksekutif. Hal ini dimaksudkan agar badan yudikatif dapat
berfungsi secara wajar demi penegakkan hukum dan keadilan serta menjamin hak-hak asasi
manusia. Sebab hanya dengan asas kebebasan badan yudikatif itulah dapat diharapkan
bahwa keputusan yang diambil oleh badan yudikatif dalam suatu perkara tidak akan
memihak, dan semata-mata berpedoman pada norma-norma hukum dan keadilan serta hati
nurani hakim itu sendiri dengan tanpa rasa takut bahwa kedudukannya terancam.

Kemudian timbul pertanyaan, bagaimanakah caranya untuk menjamin pelaksanaan


asas kebebasan badan yudikatif? Pertama, kita lihat bahwa di beberapa negara jabatan
hakim bersifat permanen, seumur hidup atau setidak-tidaknya sampai pensiun (usia pensiun
diberikan lebih tinggi dibandingkan pegawai lain), selama ia berkelakuan baik dan tidak
tersangkut kejahatan. Selain itu di kebanyakan negara, hakim biasanya diangkat oleh badan
eksekutif yang dalam hal ini dapat kita tarik contoh di Indonesia yang merupakan atas
rekomendasi badan legislatif. Hal ini ditujukan agar kekuasaan yudikatif tidak
dipengaruhioleh fluktuasi politik suatu masa, sehingga dengan demikian diharapkan tugas
yudikatifnya bisa dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Asas kebebasan badan yudikatif (independent judiciary) ini terdapat dalam


penjelasan pasal 24 dan 25 Undang-Undang Dasar Negara Repubik Indonesia 1945
mengenai kekuasaan kehakiman yang menyatakan: “Kekuasaan Kehakiman ialah
kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.
Berhubungan dengan hal itu harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang
kedudukan para hakim”. Adapun di samping prinsip ini, dalam forum International Judicial
Conference di Bangalore, India, 2001, telah berhasil disepakati draft kode etik dan perilaku
hakim se-dunia yang kemudian disebut The Bangalore Draft.
Setelah mengalami revisi dan penyempurnaan berkali-kali,draft ini akhirnya
diterima luas oleh berbagai kalangan hakim di dunia sebagai pedoman bersama dengan
sebutan resmi The Bangalore Principles of Judicial Conduct. Dalam draft ini tercantum
enam prinsip penting yang harus dijadikan pegangan bagi para hakim di dunia, yaitu prinsip
independence (independensi), impartiality (ketidakberpihakan), integrity (integritas),
propriety (kepantasan dan kesopanan), equality (kesetaraan), competence and diligence
(kecakapan dan kesaksamaan).

Sesuai dengan asas kebebasan badan yudikatif seperti yang tercantum dalam
Undang-Undang No.14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman pada pasal 4 ayat 3 yang menyebutkan bahwa “Segala campur tangan dalam
urusan peradilan oleh pihak-pihak lain diluar Kekekuasaan Kehakiman dilarang, kecuali
dalam hal-hal yang tersebut dalam Undang-Undang Dasar.”

Mahkamah Agung seperti yang kita ketahui, kewenangannya adalah


menyelenggarakan kekuasaan peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum,
militer, agama, dan tata usaha negara. Mahkamah Agung berwenang mengadili pada
tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang
(pasal 24A). Pada masa Demokrasi Terpimpin, telah terjadi penyelewengan yang
bertentangan dengan asas kebebasan badan yudikatif, yaitu memberi status menteri kepada
ketua Mahkamah Agung yakni Wirjono Prodjodikoro sebagai Menteri Koordinator untuk
Kompartimen Hukum dan Dalam Negeri.

Hal ini tentu menimbulkan permasalahan baru, dimana satu orang menduduki lebih
dari satu kekuasaan, yang dalam hal ini yaitu yudikatif dan eksekutif dan dapat
menimbulkan suatu kekuasaan yang absolut. Jabatan ketua Mahkamah Agung yang
sebenarnya merupakan jabatan yang terpisah dari jabatan eksekutif, menjadi bagian dari
badan eksektif pula, di samping merupakan bagian dari badan yudikatif. Hal ini tentu tidak
sesuai dengan teori pemisahan kekuasaan yang dicetuskan oleh Montesquieu yang mana
dalam teori ini menghendaki agar kekuasaan-kekuasaan tersebut tidak saling mencampuri
urusan masing-masing, namun pada prakteknya justru hal ini dilanggar. Tentu
permasalahan ini dapat menimbulkan kerancuan antar kekuasaan negara dan dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum.

Untuk menjamin bahwa masing-masing kekuasaan tidak melampaui batas


kekuasaan maka diperlukan sistem pengawasan dan keseimbangan (check and balances
system) . Dalam sistem inimasing-masing kekuasaan saling mengawasi. Check and
Balances system yaitu sistem yang saling mengimbangi antara lembaga-lembaga kekuasaan
negara. Sistem ini memberikan batasan kekuasaan setiap lembaga negara sesuai Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada
yang rendah, semuanya sama diatur berdasarkan fungsi masing-masing. Dengan demikian
dapat dihindari penyalahgunaankekuasaan oleh cabang-cabang kekuasaan negara.
KESIMPULAN

Dalam sistem Check and Balances, agar terjadi suatu keseimbangan (balances)
tidak hanya satu cabang pemerintahan dapat mengawasi cabang pemerintahan lainnya,
tetapi harus saling melakukan pengawasan satu sama lain. Jadi, penerapan teori pemisahan
kekuasaan (separation of power) dan teori check and balances merupakan suatu sarana agar
sistem demokrasi dan negara hukum dapat berjalan. Kedua teori tersebut juga dijalankan
dengan mensyaratkan adanya pengaturan yang tegas dalam konstitusi, sehingga sesuai
dengan prinsip negara hukum yang menjalankan kekuasaan sesuai dengan hukum.

Dengan demikian, teori Trias Politica dan sistem Check and Balances dijadikan
sebagai doktrin inti dalam suatu negara hukum. Check and Blances tidak akan pernah
tercapai selama masih ada salah satu kekuasaan yang terlalu dominan dalam hal kebijakan.
Apalagi dengan seorang ketua Mahkamah Agung berbarengan menjalani status jabatan
sebagai seorang menteri yang notabene adalah salah satu instrumen kekuasaan eksekutif.

REFERENSI

BUKU

Asshiddiqie, Jimly. 2013. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Raja Grafindo
Persada

Budiardjo, Miriam. 2015. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

JURNAL

Dedi Putra, Marsudi. 2016. Independensi Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara Dalam
Mewujudkan Check and Balances System di Negara Indonesia. Malang: Vidya.
Vol. 24, No. 2: 21.

Anda mungkin juga menyukai