PENDAHULUAN
Seperti yang kita ketahui, bahwa dalam menjalankan fungsi sebuah negara dikenal
dengan istilah “pemisahan kekuasaan” yang berdasarkan konsep trias politica atau tiga
fungsi kekuasaan, yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan
yudikatif, yang dalam pandangan Montesquieu kekuasaan tersebut harus dibedakan dan
dipisahkan secara struktural dalam organ-organ yang tidak saling mencampuri urusan
masing-masing organ tersebut.
Dalam rangka menjamin bahwa masing- masing kekuasaan tidak melampaui batas
kekuasaannya maka diperlukan suatu sistem checks and balances system (sistem
pengawasan dan keseimbangan). Dalam checks and balances system, masing- masing
kekuasaan saling mengawasi dan mengontrol. Checks and balances system merupakan
suatu mekanisme yang menjadi tolok ukur kemapanan konsep negara hukum dalam rangka
mewujudkan demokrasi.
PEMBAHASAN
Dalam doktrin Trias Politica, khusus untuk cabang kekuasaan yudikatif, prinsip
yang tetap dipegang ialah bahwa dalam tiap negara hukum, badan yudikatif haruslah bebas
dari campur tangan badan eksekutif. Hal ini dimaksudkan agar badan yudikatif dapat
berfungsi secara wajar demi penegakkan hukum dan keadilan serta menjamin hak-hak asasi
manusia. Sebab hanya dengan asas kebebasan badan yudikatif itulah dapat diharapkan
bahwa keputusan yang diambil oleh badan yudikatif dalam suatu perkara tidak akan
memihak, dan semata-mata berpedoman pada norma-norma hukum dan keadilan serta hati
nurani hakim itu sendiri dengan tanpa rasa takut bahwa kedudukannya terancam.
Sesuai dengan asas kebebasan badan yudikatif seperti yang tercantum dalam
Undang-Undang No.14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman pada pasal 4 ayat 3 yang menyebutkan bahwa “Segala campur tangan dalam
urusan peradilan oleh pihak-pihak lain diluar Kekekuasaan Kehakiman dilarang, kecuali
dalam hal-hal yang tersebut dalam Undang-Undang Dasar.”
Hal ini tentu menimbulkan permasalahan baru, dimana satu orang menduduki lebih
dari satu kekuasaan, yang dalam hal ini yaitu yudikatif dan eksekutif dan dapat
menimbulkan suatu kekuasaan yang absolut. Jabatan ketua Mahkamah Agung yang
sebenarnya merupakan jabatan yang terpisah dari jabatan eksekutif, menjadi bagian dari
badan eksektif pula, di samping merupakan bagian dari badan yudikatif. Hal ini tentu tidak
sesuai dengan teori pemisahan kekuasaan yang dicetuskan oleh Montesquieu yang mana
dalam teori ini menghendaki agar kekuasaan-kekuasaan tersebut tidak saling mencampuri
urusan masing-masing, namun pada prakteknya justru hal ini dilanggar. Tentu
permasalahan ini dapat menimbulkan kerancuan antar kekuasaan negara dan dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum.
Dalam sistem Check and Balances, agar terjadi suatu keseimbangan (balances)
tidak hanya satu cabang pemerintahan dapat mengawasi cabang pemerintahan lainnya,
tetapi harus saling melakukan pengawasan satu sama lain. Jadi, penerapan teori pemisahan
kekuasaan (separation of power) dan teori check and balances merupakan suatu sarana agar
sistem demokrasi dan negara hukum dapat berjalan. Kedua teori tersebut juga dijalankan
dengan mensyaratkan adanya pengaturan yang tegas dalam konstitusi, sehingga sesuai
dengan prinsip negara hukum yang menjalankan kekuasaan sesuai dengan hukum.
Dengan demikian, teori Trias Politica dan sistem Check and Balances dijadikan
sebagai doktrin inti dalam suatu negara hukum. Check and Blances tidak akan pernah
tercapai selama masih ada salah satu kekuasaan yang terlalu dominan dalam hal kebijakan.
Apalagi dengan seorang ketua Mahkamah Agung berbarengan menjalani status jabatan
sebagai seorang menteri yang notabene adalah salah satu instrumen kekuasaan eksekutif.
REFERENSI
BUKU
Asshiddiqie, Jimly. 2013. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Raja Grafindo
Persada
Budiardjo, Miriam. 2015. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
JURNAL
Dedi Putra, Marsudi. 2016. Independensi Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara Dalam
Mewujudkan Check and Balances System di Negara Indonesia. Malang: Vidya.
Vol. 24, No. 2: 21.