Anda di halaman 1dari 14

Sutasoma 9 (1) (2022)

Sutasoma:
Jurnal Sastra Jawa

http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/sutasoma

Reformulasi Sastra Piwulang Sebagai Alternatif Baru Model Pendidikan


Karakter Di Indonesia
Yusro Edy Nugroho1, Pardi Suratmo2
1
Jurusan Bahasan dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang
1
Corresponding Author: ditulis dengan huruf kecil Calisto MT-10
DOI:
Accepted: Approved: Published:

Abstrak
Pendidikan karakter merupakan basis utama pembangunan manusia seutuhnya. Bagi bangsa Indonesia,
pendidikan karakter merupakan manifestasi dari hati nurani bangsa yang harus dipahami melalui keberadaan
pengalaman kehidupan sehari-hari. Dalam sastra Jawa terdapat sebuah sastra piwulang yang lahir karena
kebutuhan praktis pendidikan karakter di lingkungan kraton Jawa pada abad ke-19. Nilai-nilai pendidikan karakter
yang dibangun pada waktu itu terus melekat dalam kehidupan masyarakat Jawa hingga saat ini. Kenyataan inilah
yang menjadi alasan kuat dilakukannya usaha mereformulasikan kembali sastra piwulang sebagai alternatif baru
model pendidikan karakter di Indonesia. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
struktural-semiotika karya sastra. Dari hasil kajian terhadap teks-teks sastra piwulang diperoleh simpulan bahwa
esensi filsafat teks didaktis bermuara pada penguatan kepekaan rasa yang dalam istilah Jawa disebutkan sebagai
“rasa sejati”. Esensi nilai rasa meliputi: bekti (hormat), tresna (kasih sayang), dan andhap asor (santun).
Formulasi pengajarannya ada pada pengetahuan hal-hal yang terkait dengan ala-becik, adat-waton, dan tata krama.
Kontribusi dari penelitian ini terutama pada bidang studi pendidikan karakter, akan memberikan landasan
pemikiran dan cara pandang yang autentik tentang manusia Jawa dari kacamata orang Jawa. Dasar filosofi
pendidikan karakter Jawa selanjutnya akan diimplementasikan dalam model pendidikan karakter masa kini yang
lebih membumi.
Kata kunci: Pendidikan karakter; Serat Wulangreh; semiotika

Abstract
Character education is the main basis for complete human development. For the Indonesian people, character
education is a manifestation of the nation's conscience that must be understood through the existence of daily life
experiences. In the repertoire of Javanese literature there is a genre of piwulang literature that was born because
of the practical need for character education in the Javanese court environment in the 19th century. The values of
character education that were built at that time continue to be embedded in the life of the Javanese people to this
day. This fact would be a strong reason for the effort to reformulate piwulang literature as a new alternative
model of character education in Indonesia. The approach used in this research is structural and semiotics. From
the results of a study of piwulang literary texts, it is concluded that the main structure of didactic texts leads to

1
2

Yusro Edy Nugroho/ Sutasoma Volume (issue) (2022)

strengthening the sense of taste which in Javanese terms is referred to as "rasa sejati". The essence of taste values
include: bekti (respect), tresna (love), and andhap asor (polite). The teaching formulation is in the knowledge of
things related to ala-becik, adat-waton, and manners. These three are the essence of character education that is
very relevant to be applied today.
Keywords: Character education; Serat Wulangreh; semiotics

© 2022 Universitas Negeri Semarang


p-ISSN 2252-6307
e-ISSN 2686-5408

sebagai upaya untuk mendapatkan kematangan


budi sehingga membawa pembacanya menuju
PENDAHULUAN tata kelakuan yang lebih baik. Tugas ini
menjadi bagian kaum pujangga yang dianggap
memiliki pengetahuan bahasa dan kemampuan
Karya sastra dan pendidikan karakter tidak bisa
batiniah yang dianggap sempurna (Karomi,
dipisahkan dari keberadaan nilai yang
2013). Para pujangga Kraton Surakarta saat itu
melingkupinya. Teeuw (1984) menyebutkan
memiliki relasi spiritual dengan para ulama
bahwa keindahan menjadi obyek utama dari nilai
sejak masa Yasadipura I hingga masa
sastra itu sendiri. Dalam kerangka sastra Barat,
Ranggawarsita.
keindahan—dalam paradigma klasik—adalah
Sebagai seorang raja dan kedudukannya
manifestasi dari nilai keindahan ciptaan Tuhan.
sebagai khalifatullah, tidak bisa dipungkiri
Melalui wahyu, manusia diberikan kemampuan
kedudukan para penguasa Kasunanan
untuk memahami keindahan dan kebenaran. Jika
Surakarta memiliki andil besar dalam
dikomparasikan dengan sastra Timur, paradigma
mengembangkan pesantren di kawasan
ini sama dengan etimologi ‘sastra’ dalam
Surakarta Raya. Relasi yang dibangun semakin
pandangan Bahasa Sansekerta. Fungsi sastra ialah
kuat saat pada masa abad ke-20 juga dirintis
sebagai media pengajaran yang dibentuk melalui
Madrasah Mambaul Ulum yang dipimpin oleh
keindahan bahasa. Lebih dari itu, seseorang
Kiai Pengulu Tapsir Anom V dari Surakarta
pengarang sastra sebelum menuliskan sastra harus
(Alam, 2018). Pada masa-masa sebelumnya,
melakukan lelaku untuk mendapatkan kemantapan
keberadaan Pondok Pesantren Tegalsari juga
dan kematangan isi dari apa yang ditulisnya.
menjadi bagian penting dimana Sunan Paku
Keberadaan lelaku dan muatan filosofis ini
Buwana II mendapatkan legitimasinya dari
kemudian menjadi dasar adanya pendidikan
Kiai Ageng Muhammad Besari.
karakter.
Pada masa kepemimpinan Paku Buwana
Pendidikan karakter menjadi orientasi utama
IV, hubungan antara raja dan para ulama
dalam penulisan sastra piwulang. Keberadaan
sangat kuat, utamanya dari daerah Tembayat
sastra piwulang pada masa itu perlu dimaknai
dan Kajoran. Tidak hanya itu, raja juga
3

Yusro Edy Nugroho/ Sutasoma Volume (issue) (2022)

mengangkat penasihat dari kalangan ulama masa mendatang. Dalam edisi Pahargyan
meskipun di kemudian hari menemui konflik Surakarta: 200 Taun di Majalah Kajawen (18
politik dengan Belanda serta gesekan kultural April 1939) disebutkan bahwa secara eksplisit
dengan Mangkunegara I maupun Hamengku teks ini berisi akumulasi wulang prasaja
Buwana I (Joebagio, 2009). Konsep pemerintahan seperti tata cara bersikap, mengabdi,
yang sarat dengan nilai-nilai Islami serta adanya bersosialisasi, dan sebagainya. Namun
penyatuan istana-pesantren menandakan adanya demikian, jika dipahami lebih lanjut, secara
kesatuan tujuan menyatukan kembali empat daerah implisit akan muncul aspek batiniah teks
swapraja menjadi satu kerajaan sebagaimana masa sebagai manifestasi spiritual Jawa.
Sultan Agung Hanyakrakusuma (Zulaihah, 2011). Dari uraian di atas, Serat Wulangreh
Serat Wulangreh merupakan salah satu memegang peranan penting sebagai sarana
karya Sri Susuhunan Paku Buwana IV (1788 – pendidikan karakter. Mengacu pada resepsi
1820) yang digolongkan menjadi sastra piwulang. dua kolom rubrik tersebut dapat dipahami
Menurut Poerbatjaraka (1964), teks ini ditulis pada bahwa ketika seseorang mengamalkan ajaran
masa awal Surakarta dimana pada masanya cukup tekstual Wulangreh secara benar, akan
masyhur dan berfungsi sebagai pedoman perilaku mendorong pemahamannya dalam
para priyayi. Hal ini bisa dibuktikan dengan membangun pendidikan moral lahir maupun
beberapa koleksi di perpustakaan vorstenlanden batin. Melalui ikatan teks-konteks inilah,
pasti terdapat teks Wulangreh meskipun ada yang konsep dasar pendidikan perlu digali dan
mengutip beberapa bagian teksnya saja (Behrend, dirumuskan kembali. Pendidikan karakter
1990; Lindsay et.al, 1994; Behrend et.al,1997; berbasis konsep teks sastra piwulang
Saktimulya, 2005). Teks tersebut tidak hanya memberikan konsep tumbuh kembang manusia
dikembangkan dalam bentuk manuskrip tertulis, secara seimbang lahir dan batin. Dengan kata
tetapi juga dicetak dan disebarluaskan dalam lain, hal ini sesuai dengan intisari pendidikan
bentuk buku oleh Vogel van der Heijde (1899) yang bertujuan untuk mencetak individu-
maupun penerbit Kulawarga Bratakesawa (1960). individu yang cerdas maupun baik (Sudrajat,
Serat Wulangreh memiliki kelebihan 2011).
terutama pada bahasanya yang sederhana serta Sebagai dasar sebuah penelitian, ada
memiliki kandungan makna yang dalam. Pada beberapa penelitian terkait yang mengkaji
sebuah rubrik di Majalah Kajawen edisi 24 keberadaan Serat Wulangreh dan pendidikan
November 1928 disebutkan bahwa dalam teks ini karakter. Penelitian yang dilakukan oleh
sangat adaptif terhadap siapapun pembacanya, baik Sulistyo et al. (2015) membahas tentang
itu orang tua hingga anak-anak maupun lintas penggunaan bahasa dalam tembang Pangkur
golongan sosial. Nilai-nilai yang disajikan bisa Wulangreh. Menurutnya, muatan tembang
menjangkau bagaimana idealnya orang tua Pangkur tentang lelabuhan memberikan
bersikap di masa lalu maupun seorang pemuda di pengaruh dalam memaknai dua sisi baik-buruk
4

Yusro Edy Nugroho/ Sutasoma Volume (issue) (2022)

serta sikap gotong royong di masyarakat. Prinsip Pemanfaatan sastra piwulang sebagai
itu harus dipahami dan diamalkan secara bijak konsep sumber pendidikan karakter belum
sehingga mampu hidup dengan harmonis. sepenuhnya dioptimalkan secara maksimal.
Dalam tinjauan intertekstualitas, pada pupuh Praktiknya, kajian sastra klasik secara literer
Pangkur memberikan gambaran tentang kesadaran masih mendominasi eksplorasi sastra piwulang
sebagai manusia. Penelitian tersebut dilakukan sebagai sumber pendidikan karakter. Oleh
oleh Pratiwi (2021) mengenai jalinan teks-konteks karena itu, perlu adanya telaah yang lebih
pupuh Pangkur Wulangreh dan perilaku manusia. sistematis tentang peta konsep pendidikan
Ia mejelaskan bahwa manusia yang dikaruniai akal karakter melalui pemaknaan sastra piwulang
hendaknya mampu mempertimbangkan sisi baik Serat Wulangreh.
dan buruk. Menjauhi tindakan-tindakan tercela
merupakan usaha bijak dalam bersikap di METODE PENELITIAN
masyarakat. Data yang dikaji adalah teks Serat Wulangreh
Penelitian yang dilakukan oleh Zuhri (2017) yang ditulis oleh Sri Susuhunan Paku Buwana
membahas etika kewarganegaraan dalam IV di Surakarta. Sumber data ini diambil dari
Wulangreh. Dalam hasil analisisnya disebutkan hasil telaah filologis dari serangkaian koleksi
bahwa etika yang muncul adalah penghormatan naskah di beberapa perpustakaan melalui
kepada orang yang lebih tua maupun hormat kajian studi kodikologi. Pendekatan yang
kepada pemimpin. Rakyat tetap diberikan hak diusung dalam penelitian ini melalui
untuk menyampaikan pendapatnya melalui forum strukturalisme-semiotik teks. Menurut Pradopo
paseban kepada raja selaku pemimpin tertinggi (2020), pendekatan ini menempatkan karya
dalam kerajaan. sastra—dalam hal ini puisi tradisional—
Dalam segi pembelajaran praktis, sebagai peristiwa bahasa yang memiliki
pengembangan konten dari isi Serat Wulangreh makna. Jalinan struktur kebahasaan
berpeluang untuk dikembangkan lebih lanjut. membentuk sebuah pemahaman interpretatif
Penelitian yang dilakukan oleh Cahyono (2021) yang kemudian dikaji secara semiotika. Secara
menjelaskan metode CIRC dalam pengajaran sistematis, kajian semiotika yang dilakukan
pupuh Gambuh Serat Wulangreh. Hasil yang melalui tahapan heuristik dan hermeneutik
didapatkan cukup maksimal yakni 78% pada dalam menentukan makna-makna inti
tahapan I dan 100% pada tahapan II. Selain itu, pendidikan karakter.
penelitian yang dilakukan oleh Ardiyana (2020) Teknik penelusuran data dilakukan
tentang buku cerita bergambar cukup efektif dalam dengan model studi pustaka teks Serat
mengajarkan pupuh Pangkur, terutama dalam Wulangreh serta sumber-sumber sekunder lain
pengajaran moralitas baik-buruk bagi siswa SMP yang relevan dengan kajian Serat Wulangreh.
di Semarang. Dalam analisis data, dilakukan melalui tahapan
klasifikasi data menurut intisari pupuh. Dari
5

Yusro Edy Nugroho/ Sutasoma Volume (issue) (2022)

hasil analisis tersebut, kemudian dilakukan reduksi sebelumnya. Hal ini menandakan kehadiran
data guna mendapatkan generalisasi makna raja sebagai sosok pimpinan yang bertanggung
sehingga bisa dipahami adanya model pendidikan jawab atas pendidikan dan perilaku rakyat di
karakter yang diinginkan menurut sastra piwulang. kerajaannya. Dalam pupuh pertama disebutkan
Pada tahapan uji validitas, digunakan model sebagai berikut.
diskusi sejawat dan tahapan triangulasi data. Pamedhare wasitaning ati, cumanthaka
Penyajian hasil analisis dilakukan dengan model aniru pujangga, dahat mudha ing
deskriptif kualitatif. batine, nanging kedah ginunggung,
datan wruh yen akeh ngesemi, ameksa
HASIL DAN PEMBAHASAN angrumpaka, basa kang kalantur,
Pendidik dan Peserta Didik tutur kang katula-tula, tinalaten
Konsep-konsep pendidikan karakter yang rinuruh kalawan ririh, mrih
dituliskan dalam karya masa Sultan Agung sampai padhanging sasmita.
sebelum Paku Buwana IV belum mengalami
Uraian nasihat ini bermula dari
perkembangan yang berarti. Meskipun pada masa
kelancangan hati, berniat meniru para
Paku Buwana I muncul beberapa sastra Islam,
pujangga. (Aku) sangatlah bodoh
potret tentang pengaplikasian sastra belum
(dalam sastra), tetapi ingin (karyaku)
sepenuhnya tampak. Terlebih di masa pasca
diperhitungkan. Aku tidak peduli
pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma
seberapa banyak sindiran orang, aku
hingga Amangkurat IV, sering terjadi perang
tetap menulis meskipun bahasaku
suksesi takhta kerajaan yang berimbas pada
tidaklah indah. (Kutulis) tentang pitutur
ketidakstabilan negara. Dengan adanya palihan
yang terlantarkan, aku tulis kembali
nagari atau Perjanjian Giyanti pada masa Paku
dengan penuh ketelitian, dengan
Buwana III, kehidupan dianggap aman karena
harapan pencerahan sebuah tanda.
peperangan atas takhta sudah berakhir sehingga
kemunculan sastra piwulang maupun pendidikan
Hal pertama yang perlu dipahami dari
karakter bisa digelorakan kembali oleh masing-
pendidikan karakter adalah sosok guru atau
masing kerajaan dinasti Mataram.
pendidik. Pengarang menyadari sekalipun
Berkaca dari kondisi tersebut, bisa
dalam konteks praktis pendidikan karakter
dikatakan bahwa salah satu indikasi lahirnya
ditekankan adanya laku oleh murid, peran guru
Wulangreh yang direformulasi oleh Susuhunan
sebagai patron berperilaku masih dibutuhkan
Paku Buwana IV adalah menegaskan kembali
oleh siswa. Kualifikas seorang guru sangat
panduan etika negara. Sisi moral dan etika yang
berpengaruh dalam pendidikan karakter
dituliskan dalam serat piwulang terdahulu,
maupun nilai norma budaya. Semakin tua
ditegaskan kembali dalam bentuk baru yang
usianya dan kompeten pada bidangnya,
merangkum nilai-nilai karakter karya sastra
6

Yusro Edy Nugroho/ Sutasoma Volume (issue) (2022)

mereka menjadi seorang guru yang menyemangati Pemilihan lima kualifikasi ini
orang lain (Suharti et al., 2015). berimplikasi praktis pada pelajaran moral yang
Kompetensi pendidik dalam pendidikan ditekankan. Pemahaman agama yang benar
karakter sebenarnya tidak mengharuskan seseorang menjadi titik penting dari penata moral dan
pada usia lanjut. Hal yang terpenting adalah sejauh keberadaannya selalu diyakini manusia.
mana mereka konsekuen mengamalkan dan Keberadaan usia tidak menjamin seseorang
mampu mencontohkan ajaran yang disampaikan. matang secara spiritual maupun teladan.
Ada beberapa prasyarat yang sebenarnya lebih Dengan demikian, senioritas dan juga strata
penting dari sekadar usia seseorang, semua usia tidak menjamin kematangan karakter
prasyarat itu digabung menjadi istilah: 1) seseorang. Bahkan, dalam pupuh
manungsa kang nyata becik martabate (baik budi Maskumambang disebutkan untuk menjauhi
pekertinya), 2) wruh ing ukum (mengetahui ilmu orang tua yang tidak bisa dijadikan teladan.
yang diajarkan), 3) ngibadah lan wirangi (taat Apan kaya mangkono watekan iki,
beragama), 4) wong tapa kang wus amungkur sanadyan wong tuwa, yen duwe
(orang ahli prihatin dan mencukupkan dirinya), watek tan becik, miwah tindak tan
serta 5) tan mikir paweweh liyan (tidak ada prayoga.
pamrih). Aja sira niru tindak kang tan becik,
Lamun sira angguguru kaki, amiliha nadyan ta wong liya, lamun
manungsa kang nyata, ingkang becik pamuruke becik, miwah tindake
martabate, sarta kang wruh ing ukum, prayoga.
kang ngibadah lan kang wirangi, sokur oleh Iku pantes sira tirua ta kaki, miwah
wong tapa, ingkang wus amungkur, tan bapa biyang, kang muruk watek kang
mikir paweweh liyan, iku pantes sira becik, iku kaki estokena.
guronana kaki, sartane kawruhana.
Seperti itulah gambaran perwatakan
Jika engkau berguru anakku, pilihlah ini, sekalipun orang tua, jika
manusia yang nyata, yang baik budi mempunyai perilaku tidak baik, dan
pekertinya, serta yang memahami hukum, tidakan yang tidak bijaksana.
ahli ibadah yang wira’i, syukur Jangan sekali-kali engkau menyontoh
mendapatkan orang ahli prihatin, yang kekeliruannya, jika orang lain
sudah mengurangi keduniawian, tidak sekalipun, mempunyai pelajaran baik,
memikirkan pemberian orang lain, itu dan tidakannya bijaksana.
pantas engkau berguru padanya, serta wajib Itu pantas engkau tiru anakku, serta
engkau mengetahui pelajarannya. kepada ayah ibumu, yang
(Serat Wulangreh, I/4) mengajarkan perilaku yang baik, itu
jua harus diamalkan.
7

Yusro Edy Nugroho/ Sutasoma Volume (issue) (2022)

(Wulangreh/V: 2-4) Banyak orang yang banyak bicara,


tetapi ketika tersinggung, hanya
Perlu dipahami bahwa diksi mungkur harus memikirkan dirinya sendiri, apa yang
dimaknai sebagai mencukupkan diri dari ambisi dimaksimalkan, adalah iri hati yang
dan egoisme. Secara psikologis, kematangan ilmu diumbar, tidak mampu bersikap
seseorang berbanding sederajat dengan sewajarnya.
pengalaman dan usianya. Dalam pupuh lain, (Wulangreh/II: 11-13)
disebutkan bahwa seseorang yang ingin menuntut
ilmu hendaknya sering-sering bertanya kepada Dari relasi teks diatas, dapat dikatakan
orang tua yang banyak cerita. Yang dimaksud pendidikan karakter bisa berhasil manakala
cerita, bukan hanya sebatas penyampaian kisah pendidik dan peserta didik mampu
saja. Ada pengalaman maupun pengetahuan yang berkembang secara simultan. Selain itu, perlu
bisa diambil sebagai teladan. adanya kualifikasi pendidik yang mampu
Mulane wong anom iku, abecik ingkang menjadi contoh dalam kependidikan karakter.
taberi, jejagongan lan wong tuwa, ingkang Pendidikan karakter dalam Wulangreh
sugih kojah ugi, kojah iku warna-warna, tidak hanya diarahkan kepada anak-anak saja,
ana ala ana becik. tetapi kepada orang tua juga memiliki nilai
Ingkang becik kojahipun, sira anggoa kang penting sebagai ajaran long-life education.
pasthi, ingkang ala singgahana, aja sira Menurut Yusri (2017), pembelajaran
anglakoni, lan den awas wong akojah, iya berkelanjutan ini melanjutkan pedagogi dan
ing mangsa puniki. andragogi secara secara seiras. Ia mengutip
Akeh wong kang sugih wuwus, nanging den pendapat J. D. Ingals bahwa pembelajaran
sampar pakolih, amung badane priyangga, yang berkelanjutan menitikberatkan ranah
kang den pakolehaken ugi, panastene kang praksis daripada teoritis. Hubungan pendidik
den umbar, nora nganggo sawatawis. dan peserta didik merupakan tukar kawruh,
pengalaman dan citra diri dibangun
Oleh karena seorang pemuda itu, harus
sedemikiran rupa sebagai cerminan dan
menjadi anak yang rajin, mau belajar duduk
persiapan menjalani kehidupan di masyarakat.
bersama orang tua, yang kaya pengalaman
Konsep bekti, tresna, dan andhap asor
dan pengetahuan, hal itu sangat banyak, ada
Sebagai sarana menciptakan harmoni
baik ada buruk.
kehidupan, manusia diajarkan untuk senantiasa
Yang baik pengetahuannya, pakailah yang
mengupayakan sikap keterwujudannya
engkau mesti mampu, yang buruk
keselarasan. Puncak dari sikap keselarasan
singkirkanlah, jangan engkau melakukan
dikiaskan dalam empat peribahasa, “Memayu
hal itu, dan sudah seharusnya engkau
hayuning dhiri, memayu hayuning kulawarga,
berhati-hati, di waktu-waktu ini.
memayu hayuning sasama, memayu hayuning
8

Yusro Edy Nugroho/ Sutasoma Volume (issue) (2022)

buwana,” membangun kebaikan diri sendiri, Karna yang menepati janji kepada Duryudana
membangun kebaikan keluarga, membangun (Nugroho, 2020; Wardhani & Muhadjir, 2018;
kebaikan kepada sesama, dan membangun Wuryantoro, 2021). Dengan demikian, antara
kebaikan kepada alam semesta. Terminologi pendidik atau peserta didik dalam menjalankan
Memayu tidak bisa dimaknai sebagai bentuk kewajibannya perlu dilandasi sikap bekti,
representasi individualis, tetapi bagaimana tresna, dan andhap asor. Untuk menuju tiga
mewujudkan sebuah harmoni atau kemaslahatan. sikap tersebut, dalam Serat Wulangreh
Semua itu dilakukan secara bertahap dimulai diibaratkan seperti watak ksatria yang ruruh
dengan membangun kualitas moral individu, (halus bicaranya), anteng jatmika (tidak terlalu
keluarga, sesama, dan dunia. Keempatnya banyak tingkah), dan wasis (cerdas). Selain itu,
merupakan ajaran seorang ksatria yang berbudi seorang ksatria memiliki sikap arif dan penuh
luhur yang ditekankan di banyak serat piwulang. kehati-hatian sebelum bertindak (wiweka).
Ada tiga titik penting dalam membangun Poma kaki padha dipun-eling, ing
nilai karakter seorang ksatria menurut sastra pitutur ingong, sira uga satriya arane,
piwulang: bekti (berbakti), tresna (cinta), dan kudu anteng jatmika ing budi, ruruh
andhap asor (rendah hati). Konsep-konsep tersebut sarta wasis, samubarang tanduk.
merupakan aktualisasi sikap yang setidaknya harus Dipunnedya prawira ing batin, nanging
dimiliki oleh anak. Konsep bekti diaplikasikan aja katon, asasona yen durung
kepada orang tua, guru, bahkan puncaknya pada mangsane, kekendelan ja wani
konsep kenegaraan atau memasuki sisi keyakinan amingkis, wiweka ing batin, den samar
(ketuhanan). Ajaran tresna merupakan wujud rasa ing semu.
kasih sayang kepada sesama. Hal ini diwujudkan
Wahai anakku ingat-ingatlah, pesan-
dalam bentuk empati, simpati, solidaritas, dan
pesan dariku ini, kalian itu seorang
sebagainya. Ajaran tentang andhap asor
ksatria, seharusnya tidak banyak
menitikberatkan pada sikap pengendalian diri.
tingkah, halus dalam berbicara dan
Pada aspek inilah, nilai-nilai kejujuran, rendah
cerdas, serta terampil menjalani segala
hati, kesabaran, dan sebagainya dilatih. Artinya,
kegiatan.
tiga konsep ini merupakan model pendidikan
Camkan dalam batinmu bahwa engkau
karakter yang menyinggung segala lini sikap
seorang perwira, akan tetapi jangan kau
kehidupan.
tampakkan (kelebihanmu),
Jika kita amati dalam Serat Tripama,
sembunyikanlah sebelum kelak tiba
didalamnya disebutkan tentang jiwa-jiwa ksatria
waktunya, janganlah kamu mengumbar
atau patriotisme Patih Suwanda, Kumbakarna,
keberanianmu, tetaplah bersikap hati-
maupun Adipati Karna. Kumbakarna yang berbakti
hati, bersikap sewajarnya saja.
kepada negerinya, Patih Suwanda dengan sebutan
(Serat Wulangreh, X/1-2)
guna, kaya, purun yang menghormati rajanya, atau
9

Yusro Edy Nugroho/ Sutasoma Volume (issue) (2022)

Poerwadarminta (1939) mendefinisikan Itulah perumpamaannya (bahwa)


seorang ksatria sebagai orang yang berbudi pekerti jangan engkau menyombongkan,
luhur, putra raja, memiliki keberanian, seorang (sebagai) anak raja siapa yang berani
bangsawan, dan sebagainya. Konsep ini padaku, hal itu watak orang yang
sebenarnya merupakan ajakan untuk menjadi adigung, di akhir hidupnya jadi
seorang manusia seutuhnya yang memiliki tata terendah (bukanlah watak satriya).
krama. Kompleksitas nilai satriya tidak hanya Adiguna itu menyombongkan
pandai di peperangan, melainkan ia pandai dalam kepandaiannya, semua keilmuan bisa
memahami ilmu apapun yang diajarkan oleh dipahami sendiri, siapa yang bisa
brahmana. Peperangan yang dihadapi bukan hanya sepertiku, (nyata) dalam hatinya tidak
masalah fisik, melainkan mengalahkan konflik ada yang tertancap.
batin sehingga mengarah pada pengendalian diri Watak adigang itu, menyombongkan
ksatria tersebut (Mulyono, 1980). Dengan keberaniannya, siapa saja ditantang
demikian, nilai-nilai moral satriya tidak hanya dengan remehnya, apabila tantangan itu
masalah patriotisme atau nasionalisme saja, bisa diterima, nyatanya menjadi pengecut
lebih kompleks dan mengarah pada aspek lain: dan jelas konyol.
sportivitas, apresiatif, religius, penuh semangat, Sebaiknya manusia itu, jangan
dan sebagainya. Mereka juga diajarkan untuk mencontoh watak ketiganya, maka
menerima hasil (nrima ing pandum) serta tidak pakailah sikap rereh ririh hati-hati,
bersifat sombong (adigang, adigung, adiguna). setiap pekerjaan harus
Iku umpamanipun aja ngendelaken sira dipertimbangkan, tetap berhati-hati
iku, suteng nata iya sapa ingkang wani, iku karena gerak-gerikmu jadi teladan
ambege wong digung, ing wasana dadi orang.
asor. (Serat Wulangreh, III/6-9)
Adiguna puniku ngandelaken
Realita pendidikan karakter pada sikap
kapinteranipun, samubarang kabisan
kepemimpinan, dititikberatkan pada satu nilai
dipundheweki, sapa bisa kaya ingsun,
saja. Konsep pendidikan ksatria ini justru
tuging prana nora enjoh.
menempatkan lingkungan sosial sebagai ruang
Ambeg adigang iku ngandelaken ing
pendidikan, aktualisasi, dan ekspresi sikap
kasuranipun, mara tantang candhala
bekti, tresna, dan andhap asor yang utama.
anyenyampahi, tinemenan nora pecus,
Keluaran pendidikan karakter dari sikap
satemah dadi geguyon.
tersebut lebih banyak diaplikasikan sebagai
Ing wong urip iku, aja nganggo ambek
sarana aktualisasi dan ekspresi atas karakter
kang tetelu, anggoa rereh ririh ngati-ati,
yang diajarkan.
den kawangwang barang laku, kang
Ala-Becik, Adat-Waton, dan Tata Krama
waskitha solahing wong.
10

Yusro Edy Nugroho/ Sutasoma Volume (issue) (2022)

Masalah utama yang sebenarnya menjadi titik serta tentang tata krama, harus
pertanyaan adalah bagaimana dipegang teguh siang malam.
(Serat Wulangreh, IV/1)
mengimplementasikan tata nilai tersebut dalam
kehidupan yang lebih mudah, terlebih ada banyak Menjadi seorang ksatria pada
sastra piwulang yang menyajikan banyak nilai prinsipnya harus mengetahui sikap baik-buruk,
akan tetapi secara praktis tidak begitu diperhatikan. tata adat dan norma, serta bersikap sopan.
Terlebih dalam sastra piwulang lebih berkonotasi Ketiga sikap tersebut merupakan lelabuhan
spiritual dengan muatan-muatan ajaran religius- atau sarana kontribusi dasar manusia.
filosofis yang kental. Kognisi sosial dalam teks Keberadaan unsur ala becik, adat waton, dan
piwulang menghendaki adanya penyatuan tata krama merupakan sebuah roadmap
idealisme umum tentang bagaimana cara pendidikan karakter berbasis budaya.
membentuk pemahaman menjadi seorang ksatria Pertama, makna ala lan becik prayoga
itu. kawruhana merupakan kiasan hukum pasti
Dari serangkaian kajian atas terhadap bahwa perilaku manusia ada baik dan buruk.
paradigma pendidikan karakter, keberadaan penata Ketika seseorang mengetahui itu baik, maka
moral berbasis budaya tidak bisa ditinggalkan. timbul konsekuensi untuk menjalankannya.
Nilai budaya sebagai consensus komunitas sosial Apabila perilaku yang diketahui ternyata
perlu dipahami juga karena nilai tersebut lebih buruk, sudah seharusnya ia meninggalkan atau
banyak digunakan daripada nilai hasil akademik di menjauhi perilaku tersebut. Hukum mutlak ini
sekolah. Jika merujuk pada teks Wulangreh, adalah penerapan ajaran agama yang mengatur
jalannya pendidikan karakter ditopang oleh tiga tentang prasyarat awal seseorang dikatakan
unsur: ala-becik (baik dan buruk), adat waton berkarakter. Jalannya pendidikan karakter
(norma dan kesepakatan), dan tata krama (sopan tidak akan maksimal manakala dalam mindset
santun). Ketiganya berlaku secara universal tidak belum mampu membedakan baik-buruk.
hanya terbatas pada konsep budaya Jawa saja. Kedua, makna adat waton ingkang
Sekar pangkur kang winarna, lelabuhan kadulu menjelaskan adanya sikap horizontal
kang kanggo wong ngaurip, ala lan becik atas norma kebiasaan yang berlaku di
puniku, prayoga kawruhana, adat waton masyarakat. Sekalipun tindakan yang
punika dipunkadulu, miwah ingkang tata dilakukan itu baik, tetapi tidak lazim di
krama, denkaesthi siyang ratri. masyarakat, maka penerimaannya juga tidak
akan efektif. Hal ini berdampak pada sumbatan
Tembang pangkur sebagai sarana tulis,
mengenai tindakan apa yang dijalani sosialisasi yang tidak efektif dalam lingkungan
manusia semasa hidupnya, tentang baik dan sosialnya. Pendek kata, konsep adat waton ini
buruk itu, sebaik-baiknya untuk diketahui, menjadi pertimbangan kedua setelah
adat waton itu harus diperhatikan saksama,
mengetahui baik-buruk.
11

Yusro Edy Nugroho/ Sutasoma Volume (issue) (2022)

Ketiga, tata krama merupakan prinsip utama Kutipan diatas menjelaskan tentang
sosialisasi yang lebih luas cakupannya. Artinya, bagaimana mengaplikasikan kesatuan nilai tata
konsep tata krama tidak hanya dibatasi di sekolah, krama di masyarakat. Sikap deduga atau penuh
rumah, atau lingkungan domisili saja, tetapi pertimbangan merupakan modal pertama
mengarah kepada hubungan sesama manusia seseorang dalam bertindak. Sekalipun dalam
(interpersonal). Pada aspek ini, seorang dianggap menurutnya baik dan diakui oleh hukum, tetapi
sudah mampu mereduksi semua temuan-temuan bisa menjadi keliru apabila dilakukan pada
mereka, mulai pelajaran baik-buruk hingga norma kondisi yang tidak tepat. Pada aspek ini,
sosial. Dari hasil pemikiran dan pengalaman, peserta didik diajarkan untuk mengandaikan
muncul sebuah pola yang akhirnya menjadi output sebab-akibat jika sesuatu perbuatan
tindakan yang seharusnya dijalankan. dilaksanakan. Ketika pemahaman ini sudah
Keberadaan hasil output dari tata krama benar, seseorang mampu berpikir kritis untuk
menandai bahwa seseorang sudah mapan dalam memutuskan sebuah hal atau tindakan
memaknai karakter keutamaan. Dalam pendekatan (decision making).
lain, tata krama merupakan bagian dari adab yang Sikap prayoga menjelaskan bahwa
harus dimiliki oleh manusia. Keberadaan tata dalam bersosialisasi sebisa mungkin
krama ditopang oleh beberapa aspek penyerta yang mengurangi dampak buruk atau kemudharatan.
saling terkait: deduga, prayoga, watara, dan Sikap mencari yang terbaik dilandasi oleh
reringa. perhitungan dan pertimbangan yang mapan.
Deduga lawan prayoga, myang watara Pada tataran ini, implementasi pendidikan
reringa aywa lali, iku parabot satuhu, tan karakter mengarahkan seseorang untuk aktif
kena tininggala, tangi lungguh angadeg dalam problem solving. Realita kehidupan
tuwin lumaku, angucap meneng anendra, sosial tidak hanya masalah kualitas individu
duga-duga nora kari. secara pribadi, tetapi ia harus berkompromi
dengan sesamanya, tak jarang terjadi
Mempertimbangkan dan memilih
perbedaan pendapat maupun visi. Menurut
kemaslahatan, kemudian moderat dan hati-
konsep hidup masyarakat Jawa, terdapat idiom
hati jangan lupa, semuanya adalah
bener lan pener. Dua indikator tersebut
perangkat kehidupan, yang tidak bisa
menjelaskan bahwa dalam bersosialisasi di
ditinggalkan, sejak bangun tidur duduk
kehidupan sehari-hari harus berdasarkan
berdiri dan berjalan, berbicara diam sampai
ungkapan yang benar dan tepat pada
kembali tidur, perilaku hati-hati (yang
waktunya.
empat) tidak bisa ditinggalkan.
Selanjutnya adalah watara atau
(Serat Wulangreh, IV: 2)
moderat. Turunan sikap ini mengarah dua etika
yaitu tepa slira dan samadya. Pada tataran
tepa salira, sikap moderat menjadi penting
12

Yusro Edy Nugroho/ Sutasoma Volume (issue) (2022)

karena kehidupan ini penuh dengan perbedaan. didapatkan saat seseorang hidup di dunia.
Jika dicermati dalam pupuh Gambuh, adanya Seseorang dicap baik karena kebaikannya,
metafora hewan dan ekosistemnya merupakan dicap buruk karena keburukannya, dan
wacana mengenai keberagaman itu sendiri. Sikap sebagainya. Kesalahan dalam bertindak
moderat ini dititikberatkan untuk tidak sombong, menghasilkan hukuman sosial, berupa rasa
menghindari superioritas, dan sikap berlebih- malu bersalah yang akhirnya merusak mental
lebihan (kumalungkung). dan psikologi seseorang.
Dalam konteks samadya, sikap moderat ‘ala Bener luput ala becik lawan beja,
Jawa’ ini diaplikasikan untuk mengarahkan diri cilaka mapan saking, ing badan
sendiri agar bertindak secara terukur (Jatman, priyangga, dudu saking wong liya,
2008). Kehidupan ini haruslah dilandasi sikap mulane denngati-ati, sakeh dirgama
sederhana dan tidak berlebih-lebihan. Artinya, singgahana deneling.
dalam menetapkan target, cita-cita, maupun cara
Benar-salah, baik-buruk, maupun
perilaku juga tidak muluk-luluh atau tengah-tengah
bahagia-celaka berasal dari
(samadyane). Hilangnya sikap moderat dalam
perbuatanmu sendiri dan bukan dari
kehidupan individu maupun skala komunitas,
orang lain. Maka dari itu, berhat-
berdampak pada goncangan sosial yang sangat
hatilah. Setiap aibmu, harus kau ingat
krusial. Munculnya sikap iri, dengki, dahwen,
dan simpan dalam-dalam.
panasten, aji mumpung, dan sebagainya
(Serat Wulangreh, VII/3)
merupakan tanda kurangnya sikap moderat
sehingga memancing orang lain untuk bertindak
Keberadaan teks piwulang, khususnya
salah.
Wulangreh sebagai pengajaran merupakan
Sikap keempat adalah reringa adalah hati-
sebuah konsensus pada masanya tentang
hati. Dalam Serat Wulangreh, kata hati-hati
tindakan normatif yang sangat universal dan
(wiweka, ngati-ati, waspada, dan sebagainya)
mudah dipahami. Dengan menjalani sikap-
sering disinggung berulang kali. Sikap ini adalah
sikap ksatria sedini mungkin, seseorang akan
benteng terakhir seseorang dalam bersikap di
lebih luwes dalam bertindak karena sikap yang
masyarakat. Ketika seseorang berinteraksi dengan
diajarkan tidak hanya pada satu atau dua titik
orang lain, perlu adanya sikap kewaspadaan
perilaku saja. Nilai-nilai karakter ksatria
sehingga ada batas-batas privasi yang terjaga dan
sangat kompleks, integrative, dan terkait
tidak menimbulkan konflik di kemudian hari.
secara holistic. Anak, pemuda, peserta didik,
Manifestasi dari sikap duga, prayoga,
atau siswa pada dasarnya adalah seorang
watara dan reringa adalah menghasilkan
ksatria. Tidak hanya sekadar berani
kesadaran individu bahwa apa yang ia lakukan
berkompetisi, tetapi perlu dididik secara
sebenarnya hasil apa yang ia tanam. Ngundhuh
kehalusan budi. Sikap keheningan inilah yang
wohing pakarti, dalam sastra piwulang, juga
13

Yusro Edy Nugroho/ Sutasoma Volume (issue) (2022)

menjadi sarana untuk menggali kembali segi-segi Kebaharuan penelitian ini terutama
kehidupan yang hilang, dan bisa dikembangkan di lahirnya cara pandang original Jawa tentang
generasi yang akan datang. pendidikan karakter untuk menjadi landasan
Ismawati (2016) meneliti salah satu karya penyusunan pola pendidikan karakter masa
Mangkunegara IV sebagai sebuah model kini.
pendidikan budaya Jawa. Dalam kajiannya
Ismawati mengungkapkan bahwa Serat SIMPULAN
Wedhatama merupakan konsep manunggaling Sastra piwulang merupakan pengajaran
kawula gusti antara jagad gedhe dan jagad cilik karakter yang diciptakan pada zaman dahulu
yang bersumber dari konsep agama Islam. Dalam sebagai wacana pengajaran etika dan moral.
teks Wedhatama pupuh Pangkur, Sinom, Pucung, Saat ini, interpretasi struktur bahasa dan kajian
dan Gambuh diggambarkan bagaimana manusia semiotika sastra piwulang Wulangreh
bergantung kepada Tuhan sebagai sumber merupakan jalan tengah atas kurangnya
keselamatan. Manusia adalah makhluk yang harus implementasi menemukan pendidikan karakter
dekat atau berserah diri kepada Tuhan. Menurut yang praktis dan ideal. Dengan dibuatnya
Ismawati, teks ini adalah model pendidikan Wulangreh, pengajaran moral dikelompokkan
karakter ala budaya Jawa yang masih relevan secara terpadu sehingga lebih mudah dipahami
untuk dilakukan oleh seluruh masyarakat. oleh pembaca, pengajar, maupun pelajar untuk
Penelitian ini menjadi salah satu dasar kajian diamalkan.
terhadap pandangan pengarang atas pemikiran Esensi sastra piwulang mencakup
budaya religius masyarakat Jawa. Penelitian ini pengajaran tentang bagaimana karakter ideal
dijadikan rujukan untuk menggali nilai-nilai yang dimiliki guru dan murid. Masing-masing
religius dalam masyarakat Jawa yang terungkap memiliki koridor nilai bekti, tresna, dan
dalam teks Serat Wulangreh. andhap asor. Ketiga konsep tersebut memiliki
Pada penelitian lain yang dilakukan oleh percabangan yang fleksibel. Istilah satriya
Susiyanto (2018) meneliti tentang sastra piwulang merupakan paradigma yang efektif sebagai
sebagai sumber pengajaran akhlak. Susiyanto role model pendidikan karakter. Seorang
melakukan penelitian terhadap naskah sastra satriya tidak hanya diasah keterampilan
wulang pada abad ke-19. Penelitian ini lahiriahnya, tetapi batiniah juga harus
mengemukakan bahwa naskah-naskah piwulang diperhatikan utamanya sikap bekti, tresna, dan
Jawa merupakan sumber informasi tentang nilai- andhap asor. Untuk mewujudkannya, perlu
nilai pendidikan karakter yang memiliki adanya pembelajaran tentang apa itu ala-becik,
kemanfaatan untuk masa kini. Penelitian ini adat waton, dan tata krama. Sebagai perangkat
merupakan penelitian selayang pandang tentang praktisnya adalah sikap deduga
sastra Jawa klasik khususnya serat piwulang. (mempertimbangkan), prayoga (mencari
14

Yusro Edy Nugroho/ Sutasoma Volume (issue) (2022)

kemaslahatan), watara (moderat), dan reringa Sudrajat, A. (2011). Mengapa Pendidikan Karakter.
Jurnal Pendidikan Karakter, I(1), 47–58.
(hati-hati). https://doi.org/10.21831/jpk.v1i1.1316
Sulistyo, E. T., Haryono, B., & Sunarmi, S. (2015).
Language Use in Pangkur Song in Serat
REFERENSI Wulangreh and Its Implication for The
Younger Generation as An Effort to
Preserve Javanese Culture and Enhance
Ardiyana, V. P. (2020). Pengembangan Buku Cerita Character Building. PROSIDING
Bergambar Berbasis Serat Wulangreh Pupuh PRASASTI, 0(0), 488–496.
Pangkur untuk Pembelajaran Bahasa Jawa SMP https://jurnal.uns.ac.id/prosidingprasasti/arti
di Kota Semarang. Piwulang : Jurnal Pendidikan cle/view/228/210
Bahasa Jawa, 7(2). Susiyanto, S. (2018). Pengajaran Akhlak Berbasis
https://doi.org/10.15294/piwulang.v7i2.29601 Naskah Sastra Wulang. Al-Fikri: Jurnal
Behrend. (1990). Katalog Induk Naskah-Naskah Studi Dan Penelitian Pendidikan Islam.
Nusantara Koleksi Museum Sonobudoyo. Vol. 1 (1), 72.
Yogyakarta Jilid 1. Jakarta: Djambatan https://doi.org/10.30659/jspi.v1i1.2423
Behrend, T. E., Pudjiastuti, T. (1997). Katalog Induk Teeuw, A. (1984). Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar
Naskah-naskah Nusantara Jilid 3A Fakultas Teori Sastra. Bandung: Pustaka Jaya
Sastra Universitas Indonesia. Jakarta: Yayasan Wardhani, N. W., & Muhadjir, N. (2018).
Obor Indonesia Pendidikan karakter dalam Serat Tripama
Cahyono, B. (2021). Circ Method for Improving Text karya Mangkunegara IV. Jurnal
Activities and Abilities Piwulangan Serat Pembangunan Pendidikan: Fondasi Dan
Wulangreh Pupuh Gambuh. Bahasa: Jurnal Aplikasi, 5(2).
Keilmuan Pendidikan Bahasa Dan Sastra https://doi.org/10.21831/jppfa.v5i2.15696
Indonesia, 2(1). Wuryantoro, A. (2021). Politeness Strategy and
https://doi.org/10.26499/bahasa.v2i1.39 Pragmatic Competence of Javanese
Ismawati, Esti. (2016). Religiosity in Wedhatama by Traditional Song in Serat Tripama.
KGPAA Mangkunagara IV: An Education Proceedings of the International Conference
Model A La Javanese Culture. International on Language Politeness (ICLP 2020), 553.
Journal of Active Learning. Vol. 1 (2) 38-48. https://doi.org/10.2991/assehr.k.210514.020
Lindsay, J., Soetanto., Feinstein, A. (1994). Katalog Yusri, Y. (2017). Strategi Pembelajaran Andragogi.
Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 2: Kraton Al-Fikra : Jurnal Ilmiah Keislaman, 12(1).
Yogyakarta. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. https://doi.org/10.24014/af.v12i1.3861
Mulyono, S. (1980). Wayang dan Filsafat Nusantara. Zuhri, A. (2017). Etika Kewarganegaraan Dalam
Jakarta: CV Haji Masagung Serat Wulangreh. Sabda : Jurnal Kajian
Nugroho, S. (2020). Nilai-nilai Nasionalisme dalam Kebudayaan, 10(1).
Serat Tripama karya Mangkunegara IV sebagai https://doi.org/10.14710/sabda.v10i1.13285
Sarana Pendidikan Karakter. Jurnal Penelitian Zulaihah, S. (2011). Analisis Islamisasi di Kraton
Humaniora, 24(1). Surakarta Tahun 1788-1820. Skripsi.
https://doi.org/10.21831/hum.v24i1.27022 Surakarta: Fakultas Keguruan Ilmu
Poerbatjaraka, R. M. Ng. (1964). Kapustakan Jawi. Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Jakarta: Penerbit Djambatan
Poerwadarminta, W. J. S. (1939). Baoesastra Djawa.
Batavia: J. B. Wolters' Uitgevers-Maatschappij
N. V. Groningen
Pradopo, R. (2020). Stilistika. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
Pratiwi, V. U. (2021). Intertextuality of Pupuh pangkur
in Serat Wulangreh and the Implications for the
Javanese Character Education. Budapest
International Research and Critics Institute
(BIRCI-Journal): Humanities and Social
Sciences, 4(2).
https://doi.org/10.33258/birci.v4i2.1907
Saktimulya. S. R. (2005). Katalog Naskah-naskah
Perpustakaan Pura Pakualaman. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai