Anda di halaman 1dari 1

“Sakola Nu Aing”

(Kapitalisme Pendidikan)

- Part One -

Pendidikan kritis bukan sekedar persoalan metodologi pembelajaran di kelas,


tetapi menjadi bagian dari pembebasan masyarakat, yang selanjutnya
menggantikan ketimpangan sistemik dengan komunitas dan anak didik yang
lebih berdaya. Oleh karena itu, fokusnya yang terpenting adalah bagaimana
mewujudkan kesetaraan, demokrasi, politik kebudayaan, pendidikan kritis
bagi masyarakat dan anak didik. Pendidikan harus meretas batas-batas ego
sentris, masuk dalam wilayah publik, dan bersifat politis. Tugas tersebut
berarti membuat pedagogi menjadi lebih bersifat politis, dan membuat politis
lebih bersifat pedagogis (Giroux, 1983: 242).

Pengertian pendidikan menurut UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem


Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat (1), adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
Negara. Oleh karena iu, sejarah pendirian sekolah di tengah-tengah
masyarakat selalu dilandasi oleh kesadaran bersama masyarakat, bukan
keinginan pribadi orang per orang atau kelompok yang berpotensi menjadikan
sekolah sebagai ladang bisnis (kapitalisme).

Satu hal yang menyedihkan adalah pendidikan yang lebih dititikberatkan pada
pertumbuhun kuantitatif telah menimbulkan perkembangan aspek-aspek
kualitatif terabaikan. Rendahnya mutu pendidikan sering menjadi ”musibah
nasional” yang telah menjadi kultur sekolah. Dan, diperparah dengan mental
‘salah urus’ serta korup pemangku kepentingan di lingkungan pendidikan.

Krisis pendidikan ibarat ‘A Country in Despair’, suatu negeri dan suatu bangsa
bukan saja dilabrak oleh akan, tetapi tetapi sudah tenggelam dalam ketiadaan
harapan yang mendalam. Dalam despair tidak ada lagi pembicaraan tentang
krisis, akan tetapi tentang kedangkalan akal, keruntuhan moral, dan
kehancuran semangat dari suatu negara dan bangsa yang rusak, a failed
state.

Hal ini terbukti berdasarkan berbagai penelitian bahwa kemampuan


mengembangkan budaya berfikir kritis dan kreatif anak didik kita  masih jauh
ketinggalan jika dibanding bangsa-bangsa lain sekalipun lebih muda usianya.
Para guru dan anak didik kita lebih terbiasa dengan pola-pola pembelajaran
yang mengembangkan pola berfikir convergence, dan sebaliknya mereka
miskin berpikir divergence.  Apalagi hawa kekuasaan korup yang anti kritik
semakin memperparah kondisi pendidikan yang sedang diperjuangkan. Tentu
saja keadaan ini merupakan tantangan bagi kita sekarang!

Anda mungkin juga menyukai