Bab 6
Bab 6
PEMBAHASAN
ini terjadi karena selama ini informasi tentang pengetahuan ini memang
tinggi sekalipun. Ini dapat dilahiat dari sebagian besar responden tidak
76 responden (63.7%).
keluarga.
87
Pengetahuan merupakan salah satu faktor penentu perilaku dan
daya pikir dan penguasaan ilmu serta luas sempitnya wawasan yang dimiliki
proses pendidikan baik yang diperoleh secara formal maupun non formal
dapat mempengaruhi sikap dan kepedulian keluarga untuk siap dan siaga
pengetahuan bencana.
88
tinggi maka semakin luas pula pengetahuannya. Baker (2013),
juga menemukan bahwa individu yang lulus dari perguruan tinggi jauh lebih
sadar, siap, dan percaya diri dalam manfaat kesiapsiagaan bencana, studi ini
89
di Kota Ternate (Rp. 3.000.000 – 5.000.000) menurut survei BPS Kota
semakin baik. Menurut Dantzler (2013), bahwa individu antara usia 18-54
Perbedaan tingkat pengetahuan pada tiap tingkatan usia dapat ditinjau dari
yang masih kurang, ini terlihat dari masih ada keluarga yang menganggap
karena ini merupakan tanggung jawab pemerintah pemerintah dalam hal ini,
dalam hal ini BPBD. Keluarga juga merasa tidak perlu ada pembagian
90
perencanaan pembagian tugas (siapa melakukan apa) dalam kondisi darurat
bencana adalah suatu bentuk dari teguran dari Tuhan atas kesalahan yang
benar terjadi (Asnayanti et al., 2013). Hal ini sesuai dengan pendapat
bahwa bencana itu merupakan suatu takdir. Pada umumnya mereka percaya
bahwa bencana itu adalah suatu kutukan atas dosa dan kesalahan yang
didukung oleh teori dan teknologi canggih yang dapat menjelaskan bencana
Hasil riset dari Dentzler (2013) yang meneliti tentang berbagai faktor
keluarga. Sikap adalah kesediaan individu untuk bertindak, selain itu sikap
juga merupakan suatu tindakan atau perilaku Dalam penentuan sikap yang
penting (Azwar, 2010). Menurut Dentzler (2013), ada dua komponen dari
perubahan alam.
91
Terbentuknya sikap yang baik sangat dipengaruhi oleh pengetahuan,
responsif terhadap bencana sehingga risiko yang fatal bisa dihindari dan
tetapi yang lebih penting dan utama adalah bagaimana mereka bisa
mampu meminimalkan dampak yang lebih parah. Hal ini terlihat dari hasil
bahwa pria memiliki kesiapsiagaan bencana yang lebih tinggi daripada wanita
(Kano, 2011). Dalam hal ini, mungkin dikarenakan perbedaan peran dan
tanggung jawab sosial di antara pria dan wanita. Ini juga bisa terjadi karena
92
Gregory (2015), menggambarkan sikap seseorang tentang bahaya
umumnya karena optimisme (hal tersebut tidak akan terjadi atau ini tidak
akan terjadi pada saya), kepercayaan diri dan kontrol ilusi (saya bisa
bahwa seseorang akan bertindak apabila mereka terpapar oleh bahaya. Hal
diri dari bencana. Semakin baik sikap tentang bencana, maka akan lebih siap
Modal sosial dalam kesiapsiagaan ini dapat dilihat dari tiga aspek
93
bencana sehingga mengurangi risiko. Studi Nakagawa dan Shaw (2014)
dan jaringan yang tinggi dapat pulih dari bencana dengan lebih cepat.
Utara “marimoi ngone futuru” (marilah kita bersatu), bukan hanya untuk
berbuat sesuai nilai-nilai agama dan nilai-nilai dalam adat untuk membantu
tangguh bencana.
94
bencana alam, hasilnya ditemukan modal sosial pada jejaring masyarakat
yang lebih baik. Kim dan Kang (2010) menyatakan bahwa keterikatan
jaringan untuk saling menguatkan dari ancaman dalam kondisi siaga darurat
besar yaitu sebesar 2.725. Hal ini menujukan bahwa variabel modal sosial
95
dengan kualitas hubungan antara individu seperti jaringan sosial dan ikatan
penting dan kurang memanfaatkan kohesi sosial dan jaringan sosial dalam
pemulihan awal (Hawkins & Maurer, 2010). Dalam bencana, ikatan keluarga
2013). Tse et al., (2013), menemukan bahwa keluarga dengan jejaring yang
kembali rumah mereka setelah bencana. Tingkat ikatan modal sosial yang
besar dan norma-norma bersama yang lebih luas di antara penduduk. Studi
96
norma, partisipasi, dan jaringan yang tinggi dapat meningkatkan
daya dan kesulitan akses terhadap modal sosial, akan memperburuk kondisi
individu dalam menghadapi bencana. Ini berarti individu dengan modal sosial
dan tetap dilaksanakan sampai saat ini. Ada beberapa tradisi di Kota Ternate
yang saat ini tetap dilaksanakan namun menyesuaikan dengan konteks saat
ini, misalnya Hapolas dan Babari yang keduanya dapat diartikan gotong
royong.
bersama dalam bentuk tenaga untuk orang lain yang mempunyai hajatan
dimana pemilik hajatan memberi makan siang maupun malam hari kepada
dimiliki dan yang diterima dari jaringan sosial itu. Hapolas dan Babari
97
jawab akan kemajuan bersama. Kebersamaan, solidaritas, toleransi,
kesiapsiagaan bencana.
98
6.5.2 Implikasi Praktis
99
6.6 Keterbatasan
referensi dari luar negeri yang tentunya berbeda dari aspek sosial budaya.
100