Anda di halaman 1dari 31

SHALAT QASHAR JAMA’

(MAKALAH)

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Fiqh I

Dosen Pengampu: H. Ubaidillah, S. HI

Disusun Oleh:

Kelas 1A Pendidikan Agama Islam


Kelompok 6
Fitriyaningrum 22.1.2331
Lia Syukriyah Sa'roni 22.1.2360
Sucipto 22.1.2363
Mochamad Rustandi 22.1.2366

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL KARIMIYAH
SAWANGAN – DEPOK
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirrabbil ‘alaamiin, puji syukur marilah kita panjatkan


kehadirat Allah Azza Wajalla. Karena berkat izin dan karunianya kelompok kami
diberi kekuatan dan kesanggupan sehingga dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Shalat Qashar Jama’” dengan sebaik-baiknya. Tujuan dibuatnya
makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh I.

Pemakalah menyadari bahwa tanpa bimbingan dan bantuan dari berbagai


pihak, penyusunan makalah ini mungkin tidak dapat terselesaikan dengan baik
dan tepat waktu. Oleh karena itu, pemakalah mengucapkan terima kasih banyak
kepada kedua orang tua yang telah mendukung serta mendoakan, dan juga
pemakalah mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah memberi
kritik dan masukan saran. Tidak lupa, pemakalah juga mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada Bapak H. Ubaidillah, S. HI selaku dosen
pembimbing mata kuliah ini.

Penyusunan makalah ini jauh dari kesempurnaan dan masih butuh


masukan untuk penulisan yang lebih baik lagi. Dan semoga makalah ini
bermanfaat bagi teman-teman lainnya untuk menambah referensi.

Depok, 23 Mei 2022

Kelompok 6

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................

DAFTAR ISI........................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................

A. Latar Belakang.................................................................................................
B. Rumusan Masalah...........................................................................................
C. Tujuan..............................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................

A. Pengertian dan Dalil Pelaksanaan Shalat Qashar Jama’..................................


B. Syarat dan Ketentuan Pelaksanaan Shalat Qashar Jama’................................
C. Tata Cara Pelaksanaan Shalat Qashar Jama’...................................................
D. Shalat Qashar Jama’ dalam 4 Madzhab...........................................................
E. Shalat Qashar Jama’ di Masa Kontemporer....................................................

BAB III PENUTUP.............................................................................................

A. Kesimpulan......................................................................................................
B. Saran................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
..............................................................Dengan teknologi yang semakin mutakhir, fasilitas transp
darat, laut dan udara yang ada mempermudah dan mempercepat mobilitas
pergerakan manusia. Salah satu bukti nyata majunya transportasi terlihat nyata
pada perjalanan haji dari masa ke masa. Perjalanan haji pada tahun 1960,
waktu yang di habiskan jamaah haji dengan jalur darat dan laut untuk
perjalanan pergi dan pulang adalah 9 bulan. Sedangkan saat ini, waktu
perjalanan lebih efisien hanya sekitar 8 jam perjalanan.

Walau masa telah berubah, tapi keringanan (rukhsoh) yang Allah berikan
untuk orang-orang yang dalam perjalanan (musafir) tetaplah ada. Baik itu
dalam hal puasa maupun shalat. Berbeda dengan puasa yang banyak muslim
mengetahui rukhsoh-nya, yakni diperbolehkan tidak berpuasa di bulan
Ramadhan saat dalam perjalanan dan diwajibkan mengganti di lain hari di luar
Ramadhan. Rukhsoh pelaksanaan shalat bagi musafir banyak yang tidak
mengetahui, bahkan ada saja yang meninggalkan shalat 5 waktu saat dalam
perjalanan. Oleh karena itu makalah ini akan membahas:
“Shalat Qashar dan Jama’”

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan dalil pelaksanaan shalat qashar jama’?
2. Bagaimana syarat dan ketentuan pelaksanaan shalat qashar jama’?
3. Bagaimana tata cara pelaksanaan shalat qashar jama’?
4. Bagaimana pandangan shalat qashar jama’ dalam 4 madzhab?
5. Bagaimana shalat qashar jama’ di masa kontemporer?

3
C. Tujuan
1. Untuk memahami pengertian shalat qashar jama’ dan mengetahui dalil
pelaksanaan shalat qashar jama’.
2. Untuk mengetahui syarat dan ketentuan pelaksanaan shalat qashar jama’.
3. Untuk mengetahui tata cara pelaksanaan shalat qashar jama’.
4. Untuk mengetahui pandangan shalat qashar jama’ dalam 4 madzhab.
5. Untuk mengetahui shalat qashar jama’ di masa kontemporer.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Dalil Shalat Qashar Jama’

Secara bahasa, makna kata qashr (‫ )قصر‬adalah mengurangi atau meringkas.

Sedangkan secara istilah, qashar shalat merupakan mengurangi bilangan


rakaat pada shalat fardhu, dari empat rakaat menjadi dua rakaat.1
Shalat yang bisa dipendekkan menurut kesepakatan ulama, yaitu shalat
yang berjumlah empat rakaat saja, seperti shalat zuhur, ashar, dan isya, bukan
shalat subuh dan maghrib. Karena jika shalat subuh dipendekkan maka rakaat
yang tersisa hanya satu rakaat saja dan itu tidak ada dalam shalat fardhu.
Sedangkan jika shalat maghrib dipendekkan yang merupakan shalat ganjil di
sore hari, maka hilang ganjilnya.
Dasar hukum atau dalil tentang membolehkannya shalat qashar terdapat
pada QS. An-Nisa ayat 101 yang berbunyi:

‫ت اِ ْن ِخ ْفتُ ْم َأ ْن َي ْفتِنَ ُك ُم‬


ِ ‫ض َفلَيس علَي ُكم جنَاح َأ ْن َت ْقصروا ِمن الصَّاَل‬
َ ُُ ٌ ُ ْ ْ َ َ ْ ِ ‫اَألر‬ ْ ْ ‫ضَر ْبتُ ْم يِف‬
ِ
َ ‫َواذَا‬
‫ين َك َفُروا اِ َّن ال َكافِ ِريْ َن َكانُوا لَ ُك ْم َع ُد ًّوا ُمبِينًا‬ ِ َّ
َ ‫الذ‬

“Dan apabila kamu berpergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu
men-qashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.
Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.”

Menurut Ash-Shabuni, bahwa makna ayat tersebut menjelaskan tentang


kebolehan men-qashar shalat fardhu yang mulanya empat rakaat menjadi dua
rakaat bagi orang yang dalam perjalanan. Perjalanan yang dimaksud disini
bisa perjalanan dalam rangka perniagaan, berburu, dan lain sebagainya.
Kebolehan men-qashar shalat ini menunjukkan bahwa agama Islam adalah

1
Ahmad Sarwat, Shalat Qashar Jama’, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2018), hlm. 7-8.

5
agama yang mudah, Allah SWT juga menginginkan kemudahan bagi setiap
manusia dan tidak menginginkan kesulitan.2

Selain dalil Al-Qur’an, terdapat pula dalil hadits yang membolehkan shalat
qashar sebagai berikut:

َ‫ َع ْن َعاِئ َشة‬،َ‫ َع ْن عُْر َوة‬،‫ي‬


ِّ ‫الز ْه ِر‬ ُ ‫ َح َّدثَنَا يَِز‬،‫َّد‬
ُّ ‫ َع ِن‬،‫ َح َّد َثنَا َم ْع َمٌر‬،‫يد بْ ُن ُز َريْ ِع‬ ٌ ‫َح َّدثَنَا ُم َسد‬

‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ َ ‫ فُِر‬:‫ت‬


َ ‫ مُثَّ َه‬، ِ ‫ضت الصَّاَل ةُ َر ْك َعَتنْي‬
َ ُّ ‫اجَر النَّيِب‬ ْ َ‫َر ِض َي اهللُ َعْن َهاو قَال‬
)‫ (رواه البخاري‬. ‫الس َف ِر َعلَى اُألوىَل‬
َّ ُ‫صاَل ة‬ ْ ‫ َوتُِر َك‬،‫ت َْأر َب ًعا‬
َ ‫ت‬ ْ‫ض‬َ ‫َف ُف ِر‬

“Memberitakan Musaddad kepada kami, memberitakan Yazid ibn Zarai’


kepada kami, memberitakan Ma’mar kepada kami, (diterima) dari Zuhri,
(diterima) dari ‘Urwah, (diterima) dari Aisyah r.a., ia berkata: shalat itu
diwajibkan (pada awalnya) dua rakaat, kemudian setelah Nabi hijrah maka
diwajibkan shalat empat rakaat. Sedangkan shalat dalam perjalanan tetap
dibiarkan seperti semula (dua rakaat).” (HR. Bukhari)

ِ ِ ‫ح َّد َثنَا اِمْس‬


ْ َ‫ َع ْن َأيِب ن‬،‫ َع ْن َعلِ ِّي بْ ِن َزيْ ٍد‬،‫اعْي ُل‬
ُ ‫ َش ِه ْد‬:‫صنْي ٍ قَ َال‬
‫ت َم َع‬ َ ‫ َع ْن ع ْمَرا َن بْ ِن ُح‬،‫ضَر َة‬ َ َ
َّ‫ مُث‬، ِ ‫صلِّي اِاَّل َر ْك َعَتنْي‬ ِ ‫مِب‬ ِ
َ ُ‫ فََأقَ َام َ َّكةَ مَثَان َع ْشَر َة لَْيلَةً اَل ي‬،‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم الْ َفْت َح‬
ِ ِ
َ ‫َر ُس ْول اهلل‬
)‫ (رواه امحد‬.‫صلُّوا َْأر َب ًعا ؛ فَاِنَّا َس ْفر‬ ِ
َ :‫َأِله ِل الَْبلَد‬
ْ ‫ول‬ ُ ‫َي ُق‬

“Isma’il menceritakan kepada kami, (diterima) dari Ali ibn Zaid, (diterima)
dari Abi Nadhrah, (diterima) dari ‘Imran ibn Hushain, ia berkata: aku
mengikuti penaklukan Mekah bersama Nabi SAW, lalu beliau tinggal di
Mekah selama delapan belas hari, beliau tidak pernah shalat kecuali dua
rakaat, kemudian beliau bersabda: ‘Hai penduduk Mekah, shalatlah empat
rakaat, karena kami adalah musafir’.” (HR. Ahmad)

2
Beni Firdaus, “Kemacetan dan Kesibukan Sebagai Alasan Qashar dan Jama’ Shalat”,
Jurnal Hukum Islam Al-Hurriyah, Vol. 2 No. 2 (Juli-Desember, 2017), hlm. 171.

6
Dari penjelasan ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang telah disebutkan
diatas, dapat disimpulkan bahwa meringkas shalat merupakan rukhsah yang
diberikan oleh Allah kepada orang yang dalam perjalanan musafir.

Secara bahasa, kata jama’ (‫ )مجع‬berarti menggabungkan, menyatukan,

ataupun mengumpulkan. Sedangkan secara istilah, shalat jama’ adalah


melakukan dua shalat fardhu, yaitu zuhur dan ashar, atau maghrib dan isya
secara berurutan pada salah satu waktunya.3 Bila dilakukan pada waktu yang
pertama disebut jama’ taqdim dan bila dilakukan pada waktu yang kedua
disebut jama’ ta’khir.

Shalat zuhur tidak bisa dijama’ kecuali hanya dengan shalat ashar dan
begitu juga sebaliknya. Shalat maghrib tidak boleh dijama’ kecuali hanya
dengan shalat isya.

Para ulama semuanya sepakat bahwa menjama’ dua shalat itu disyariatkan
dalam agama Islam. Dalil dibolehkannya menjama’ shalat fardhu memang
tidak disebutkan secara khusus di dalam Al-Qur’an. Namun, di dalam hadits-
hadits Nabi ditemukan banyak sekali keterangan tentang shalat jama’,
diantaranya:

‫يِن‬ ِ َّ ‫ب‬ ِ ‫ح َّدثَنَا ي ِزي ُد بن خالِ ِد ب ِن ي ِزي َد ب ِن عب ِد‬


ٍ ‫اهلل بْ ِن َم ْو َه‬
ُ ‫ َح َّدثَنَا الْ ُم َفض‬،ُّ ‫الر ْمل ُّي اهلَْم َدا‬
‫َّل بْ ُن‬ َْ ْ ْ َ ْ َ ُ ْ ْ َ َ

ُّ ‫ َع ْن ِه َش ِام بْ ِن َس ْع ٍدو َع ْن َأيِب‬،‫ث بْ ُن َس ْع ٍد‬


‫ َع ْن ُم َع ِاذ بْ ِن‬،‫ َع ْن َأيِب الطَُّفْي ِل‬، ِ‫الز َبرْي‬ ُ ‫ َواللَّْي‬،َ‫ضالَة‬
َ َ‫ف‬

‫س َقْب َل َأ ْن‬ ‫َّم‬


‫الش‬ ِ ‫اهلل صلَّى اهلل علَي ِه وسلَّم َكا َن يِف َغزو ِة َتبو َك اِذَا َزا َغ‬
‫ت‬ ِ ‫ول‬ َّ ،‫َجبَ ٍل‬
َ ‫َأن َر ُس‬
ُ ْ ُْ َ ْ َ َ َ َْ ُ َ
‫ َحىَّت َيْن ِز َل‬،‫َأخَر الظُّ ْهَر‬
َّ ،‫س‬ ‫َّم‬
ْ ‫الش‬ ‫غ‬
َ ‫ي‬
ْ ِ َ‫ َواِ ْن َي ْرحَتِل َقْبل َأ ْن ت‬،‫ص ِر‬
‫ز‬ ِ
ْ ‫ مَجَ َع َبنْي َ الظُّ ْه ِر َوالْ َع‬،‫َي ْرحَت َل‬
ُ َ ْ
ِ ‫ اِ ْن َغاب‬،‫ك‬
ِ ‫ مَجَع بنْي َ الْم ْغ ِر‬،‫ت الشَّمس َقْبل َأ ْن يرحَتِ ل‬
‫ب‬ ِ
َ ‫ب ِمثْ ُل ذَل‬
ِ ‫ ويِف الْم ْغ ِر‬،‫ص ِر‬ ِ
َ َ َ َ َْ َ ُ ْ َ َ َ ْ ‫ل ْل َع‬

3
Ahmad Sarwat, Shalat Qashar Jama’, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2018), hlm. 30.

7
.‫ب َحىَّت َيْن ِز َل لِْلعِ َش ِاء مُثَّ مَجَ َع َبْيَن ُه َما‬ ِ ِ ِ ِ ِ
َ ‫َأخَر الْ َم ْغ ِر‬
َّ ،‫س‬
ُ ‫َّم‬ َ ‫ َوا ْن َيْرحَت ُل َقْب َل َأ ْن تَغْي‬،‫َوالْع َشاء‬
ْ ‫ب الش‬
)‫(رواه ابو داود‬

“Yazid ibn Khalid ibn Yazid ibn Abdillah ibn Mauhab al-Ramliy al-Hamdaniy
menceritakan kepada kami, Al-Mufadhal ibn Fadhalah dan Laits ibn Jabal
menceritakan kepada kami, (diterima) dari Hisyam ibn Sa’ad, (diterima) dari
Abi al-Zubair, (diterima) Abi al-Thufail, (diterima) dari Muadz ibn Jabal,
bahwa Rasulullah SAW pada waktu perang Tabuk menjama’ antara shalat
zuhur dan ashar (jama’ taqdim) apabila berangkat setelah matahari tergelincir.
Dan apabila berangkat sebelum matahari tergelincir beliau mengakhirkan
shalat zuhur di waktu ashar. Begitu pula dengan shalat maghrib, apabila
matahari telah terbenam sebelum beliau berangkat maka beliau menjama’
maghrib dan isya (dengan jama’ taqdim), dan bila beliau berangkat sebelum
matahari terbenam, beliau mengakhirkan maghrib di waktu isya dan menjama’
keduanya (jama’ ta’khir).” (HR. Abu Dawud)

ٍ َّ‫ َع ِن ابْ ِن َعب‬، ٍ‫ َع ْن َسعِْي ِد بْ ِن ُجَبرْي‬، ِ‫الز َبرْي‬


،‫اس‬ ٍ ِ‫ت َعلَى مال‬
ُّ ‫ َع ْن َأيِب‬،‫ك‬ َ ُ ‫ َقَرْأ‬:‫ قَ َال‬، ‫َح َّدثَنَا حَيْىَي‬
،‫ب َوالْعِ َشاءَ مَجِ ْي ًعا‬ ِ ‫اهلل صلَّى اهلل علَي ِه وسلَّم الظُّهر والْع‬
َ ‫ َوالْ َم ْغ ِر‬،‫صَر مَج ْي ًعا‬
ْ َ َ َْ َ َ َ ْ َ ُ َ
ِ ‫ول‬ ُ ‫صلَّى َر ُس‬
َ :‫قَ َال‬
ِ ‫مِل‬ ٍ ‫يِف َغ ِ خو‬
‫ت ابْ َن‬ َ ‫ َ َف َع َل ذَل‬،‫ت َسعِْي ًدا‬
ُ ْ‫ َسَأل‬:‫ك؟ َف َق َال‬ ُ ْ‫ فَ َسَأل‬: ِ‫الز َبرْي‬
ُّ ‫ قَ َال َأبُو‬.‫ َواَل َس َفر‬،‫ف‬ ْ َ ‫رْي‬
)‫ (رواه مسلم‬.‫َأح ًدا ِم ْن َُّأمتِ ِه‬
َ ‫ِج‬ ٍ َّ‫َعب‬
َ ‫ ََأر َاد َأ ْن اَل حُيْر‬:‫ َف َق َال‬، ‫اس َك َما َسَألْتَيِن‬

“Yahya ibn Yahya menceritakan kepada kami, ia berkata: Aku membacakan


(hadits) kepada Malik, (diterima) dari Abi Al-Zubair, (diterima) dari Sa’id ibn
Al-Jubair, (diterima) dari Ibn Abbas, ia berkata: Rasulullah SAW shalat zuhur
dan ashar dengan jama’, serta maghrib dan isya dengan jama’, padahal tidak
dalam keadaan ketakutan dan tidak pula dalam perjalanan. Abu Zubair
berkata: aku bertanya kepada Sa’id mengapa demikian? Sa’id berkata: aku

8
bertanya kepada Ibn Abbas sebagaimana yang kamu tanyakan, maka Ibn
Abbas berkata: supaya tidak memberatkan bagi umatnya.” (HR. Muslim)

Dari hadits-hadits yang dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa


Rasulullah SAW menjama’ shalat tidak hanya pada waktu perjalanan, tetapi
juga karena alasan lainnya seperti hujan lebat dan ketakutan. Bahkan Nabi
SAW pernah menjama’ shalat pada saat tidak ada ada alasan-alasan seperti
diatas.

Menjama’ shalat lebih umum dari mengqashar shalat. Menjama’ shalat


boleh dilakukan karena alasan perjalanan, ketakutan, hujan lebat, dan lain-lain.
Sehingga menjama’ shalat ketika ada kesibukan dapat dilakukan bila uzur
tersebut tidak dapat lagi dihindarkan, dengan syarat bahwa hal tersebut tidak
dijadikan kebiasaan.

B. Syarat dan Ketentuan Pelaksanaan Shalat Qashar Jama’


Syarat shalat qashar adalah sebagai berikut:4
1. Sekurang-kurangnya perjalanan yang ditempuh sejauh perjalanan dua hari.
2. Berniat mengqashar shalat dalam takbiratul ihram.
3. Perjalanan itu tidak maksiat.
4. Perjalanan itu menuju tempat tertentu. Orang yang tidak tertentu tujuan
perjalanannya, tidak boleh mengqashar shalat.
5. Tidak berimam kepada orang yang tidak mengqashar shalatnya.
6. Senantiasa dalam perjalanan hingga selesai shalat.

Shalat jama’ itu ada dua macam, yaitu:5

1. Jama’ taqdim, yaitu mengumpulkan ke muka. Artinya, mengerjakan shalat


maghrib dan isya dalam waktu maghrib. Dan mengerjakan shalat zuhur
dan ashar dalam waktu zuhur. Dalam waktu isya dan ashar tidak
melakukan shalat lagi. Syarat jama’ taqdim adalah sebagai berikut:
4
Faiz Fayadi, dkk, Materi Bimbingan Agama Pada Masyarakat Transmigrasi “Seri
Tuntunan Ibadah Shalat”, (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2012), hlm. 39.
5
Ibid., hlm. 40-41.

9
a. Shalat zuhur lebih dahulu dikerjakan dari shalat ashar. Dan shalat
maghrib lebih dahulu shalat isya.
b. Berniat jama’ dalam shalat yang pertama, yaitu berniat dalam shalat
zuhur atau shalat maghrib. Niat jama’ boleh dilakukan selama belum
selesai memberi salam dari shalat pertama.
c. Shalat yang dijama’kan dikerjakan beriring-iringan, tidak boleh lama
perpisahan antara keduanya.
d. Senantiasa dalam perjalanan hingga dimulai takbiratul ihram shalat
yang kedua.
e. Perjalanan itu tidak maksiat.
2. Jama’ ta’khir, yaitu mengumpulkan ke belakang. Artinya, mengerjakan
shalat zuhur dan ashar dalam waktu ashar. Dan mengerjakan shalat shalat
maghrib dan isya dalam waktu isya. Dalam waktu zuhur dan maghrib tidak
mengerjakan shalat lagi. Syarat jama’ ta’khir adalah sebagai berikut:
a. Berniat mengumpulkan shalat dalam waktu shalat yang pertama, yaitu
berniat dalam waktu zuhur atau maghrib akan mengumpulkan shalat
zuhur dengan shalat ashar atau akan mengumpulkan shalat maghrib
dengan shalat isya.
b. Senantiasa dalam perjalanan hingga selesai shalat itu keduanya.
c. Sekurang-kurangnya perjalanan sejauh dua hari.
d. Perjalanan yang tentu tujuannya.
e. Perjalanan itu tidak maksiat.

C. Tata Cara Pelaksanaan Shalat Qashar Jama’


1. Tata Cara Shalat Qashar
Agama memperbolehkan seorang musafir melakukan peringkasan (qashar)
dalam shalat berjumlah empat rakaat menjadi dua rakaat, yakni shalat
zhuhur, ashar dan isya'. Konsensus (ijma') ulama tidak memperbolehkan
qashar untuk shalat maghrib dan subuh. Allah SWT berfirman di dalam
Surat An-Nisa’ ayat 101 yang berbunyi:

10
‫وة ۖ اِ ْن ِخ ْفتُ ْم‬
ِ ‫الص ٰل‬
َّ ‫صُر ْوا ِم َن‬
ُ ‫اح اَ ْن َت ْق‬
ٌ َ‫س َعلَْي ُك ْم ُجن‬
َ ‫ي‬
ْ ‫ل‬
َ ‫ف‬
َ ِ ‫ضَر ْبتُ ْم ىِف ااْل َْر‬
‫ض‬ َ ‫ا‬‫ذ‬
َ ِ‫وا‬
َ
‫اَ ْن يَّ ْفتِنَ ُك ُم الَّ ِذيْ َن َك َفُر ْو ۗا اِ َّن الْ ٰك ِف ِريْ َن َكانُ ْوا لَ ُك ْم َع ُد ًّوا ُّمبِْينًا‬
“Apabila kamu bepergian di bumi, maka tidak dosa bagimu untuk mengqasar
shalat jika kamu takut diserang orang-orang yang kufur. Sesungguhnya orang-
orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu”. (Q.S. An Nisa : 101)

Perincian hukum melaksanakan qashar dibedakan sebagai berikut:


a. Jawaz (boleh). Seseorang boleh melakukan qashar bila perjalanan sudah
mencapai 84 mil/16 Farsakh atau 2 Marhalah/80,640 km (8 kilometer
lebih 640 m), tetapi belum mencapai 3 Marhalah/120, 960 km (120
kilometer lebih 960 meter). Qashar boleh dilakukan oleh mereka yang
selalu bepergian di darat maupun laut, baik mempunyai tempat tinggal
ataupun tidak. Dalam jarak sekian ini mereka semua sunah/lebih baik
tidak melakukan qashar.
b. Lebih baik (Afdhal) melakukan qashar. Orang lebih baik melakukan
qashar bila jarak tempuh mencapai 3 marhalah atau lebih.
c. Wajib. Apabila waktu shalat tidak cukup untuk digunakan kecuali
dengan cara meringkas
Berikut ini syarat-syarat qashar shalat:
a. Bepergian tidak untuk bertujuan maksiat, yaitu yang mencakup bepergian
wajib seperti untuk membayar hutang, bepergian sunah seperti untuk
menyambung persaudaraan, atau bepergian yang mubah seperti dalam
rangka berdagang.
b. Jarak yang akan ditempuh minimal 2 marhalah/16 farsakh (48 mil)/4
barid/perjalanan 2 hari. Sedangkan dalam menentukan standar jarak
menurut ukuran sekarang terdapat beberapa pendapat:
1) Jarak 80,64 km (8 km lebih 640 m) (Lihat Al-Kurdi, Tanwirul
Quluub, Thoha Putra, juz I hal 172).
2) Jarak 88, 704 km (Lihat Al-Fiqhul Islami, juz I, halaman 75)

11
3) Jarak 88, 704 km (Lihat Al-Fiqhul Islami, juz I, halaman 75).
4) Jarak 96 km bagi kalangan Hanafiyah.
5) Jarak 119, 9 km bagi mayoritas ulama.
6) Jarak 94, 5 km menurut Ahmad Husain Al-Mishry.

Kemudian, seorang musafir diperkenankan melaksanakan qashar setelah


melewati batas desa (pada desa yang ada batasnya) atau melewati
bangunan atau perumahan penduduk. Begitu pula batas akhir dia boleh
menggunakan hak qashar adalah ketika dia pulang dan sampai pada
batas-batas di atas atau sampai pada tempat tujuan yang telah ia niati
untuk dijadikan tempat mukim

c. Shalat yang di-qashar adalah shalat ada' (shalat yang dikerjakan pada
waktunya/ bukan qadha') atau shalat qadha' yang terjadi dalam
perjalanan. Sedangkan shalat qadha' dari rumah tidak boleh di-qashar.
d. Niat qashar shalat saat takbiratul ihram. Sedangkan niatnya sebagai
berikut:
ِ ‫ُأصلِّي َفرض الظُّه ِر م ْقصور ًة‬
‫ِهلل َت َعاىَل‬ َ ُْ َ ْ َ ْ ْ َ
Artinya, “Saya niat shalat fardhu zhuhur dengan qashar karena Allah
ta’ala”. Atau bisa dengan niat sebagai berikut:
ِ ِ ‫ُأصلِّي َفرض الظُّه ِر ر ْكعَت‬
‫ِهلل َت َعاىَل‬ ‫َ ْ ْ َ ْ َ َ نْي‬
Artinya, “Saya niat shalat dhuhur dua rakaat karena Allah ta’ala.”

Niat di atas diharuskan terjaga selama shalat berlangsung, dan


seandainya terjadi keraguan pada seseorang ketika shalat (semisal ragu-
ragu qashar ataukah menyempurnakan, sudah melakukan niat qashar
ataukah belum dan sebagainya), maka baginya diwajibkan untuk
menyempurnakan shalat (itmam), namun tidak harus membatalkan
shalatnya akan tetapi langsung diteruskan tanpa meng-qashar.

12
e. Tidak dilakukan dengan cara mengikuti (bermakmum) kepada imam
yang melaksanakan shalat itmam (tidak meng-qashar), baik imam
tersebut berstatus musafir ataukah muqim (tidak bepergian) atau pada
imam yang masih diragukan keadaan bepergiannya.
f. Mengetahui tentang diperbolehkannya melakukan shalat dengan cara
qashar. Bukan hanya sekadar ikut tanpa mengetahui boleh dan tidaknya
qashar.
g. Dilaksanakan ketika masih yakin dirinya (Al-Qashir) masih dalam
keadaan bepergian sehingga ketika di tengah-tengah shalat muncul
keraguan atau bahkan yakin dirinya telah sampai di daerah muqimnya
(desanya) kembali, maka ia berkeharusan menyempurnakan shalatnya.
h. Bepergian dengan tujuan yang jelas (daerah/tempat tertentu) sehingga
tidak seperti orang yang kebingungan mencari tempat tujuan (Al-Haim),
orang yang pergi mencari sesuatu yang tidak jelas tempatnya, dan
sebagainya tidak diperkenankan untuk meng-qashar shalat.6

2. Tata Cara Shalat Jama’

Dalil mengerjakan shalat jama’ yakni, hadis yang diriwayatkan oleh Anas
bin Malik yang berkata: “Bahwa Rasulullah SAW jika berangkat dalam
bepergiannya sebelum tergelincir matahari, beliau mengakhirkan shalat
Dzuhur ke waktu shalat Ashar; kemudian beliau turun dari kendaraan
kemudian beliau menjama’ dua shalat tersebut. Apabila sudah tergelincir
matahari sebelum beliau berangkat, beliau shalat dzuhur terlebih dahulu
kemudian naik kendaraan” (Muttafaq ‘Alaih).

Untuk hukum shalat Jama’ asalnya adalah dikerjakan sesuai dengan waktu
yang ditetapkan. Namun, jika ada sebab lain yang mengakibatkan
seseorang harus melaksanakan shalat Jama’, maka hal tersebut
diperbolehkan.
6
Mohammad Sibromulisi. Tata Cara dan Ketentuan Qashar Shalat. NU Online pada
Selasa, 12 Desember 2017. Sumber: https://islam.nu.or.id/shalat/tata-cara-dan-ketentuan-
qashar-shalat-ecxrA

13
Batasannya adalah selama ada sebab yang mengakibat seseorang kesulitan
untuk melaksanakan shalat sesuai waktunya, maka dia diperbolehkan
untuk menjama’ shalatnya. Di antara penyebabnya adalah safar. Dengan
demikian, orang yang safar diperbolehkan melaksanakan shalat Jama’
Qashar. Namun, tidak semua orang diperbolehkan untuk melakukan shalat
Jama’. Hanya orang-orang tertentu saja yang mendapatkan keringanan ini,
di antaranya:

a. Melakukan perjalanan (safar).


b. Orang yang sakit parah sehingga tidak memungkinkan berdiri atau
duduk. Bahkan kondisinya sangat lemah untuk digerakkan.
c. Ada udzur yang mendesak. Misalnya saja hendak melakukan operasi
atau pemeriksaan yang tidak mungkin ditinggalkan.
d. Jamaah haji yang hendak ke Muzdalifah. Dalam hadist dari Abi Ayyub
al-Anshari Ra yang berkata: “Bahwa Rasulullah SAW menjama`
Maghrib dan Isya` di Muzdalifah pada haji wada`,” (HR Bukhari).
e. Saat Hujan. Dari Nafi` maula Ibnu Umar berkata: ”Abdullah bin Umar
bila para umaro menjama` antara maghrib dan isya` karena hujan,
beliau ikut menjama` bersama mereka,” (HR Ibnu Abi Syaibah).

Ada dua jenis shalat Jama’ yaitu:

a. Shalat Jama’ Taqdim yaitu meringkas atau mengerjakan 2 shalat fardhu


sekaligus di waktu shalat yang pertama. Yakni shalat dzuhur dan ashar,
dikerjakan saat waktu dzuhur. Shalat maghrib dan isya’, dikerjakan saat
waktu maghrib.
b. Shalat Jama’ Takhir yaitu meringkas atau mengerjakan 2 shalat fardhu
sekaligus di waktu shalat yang terakhir. Yakni shalat dzuhur dan ashar,
dikerjakan saat waktu ashar. Shalat maghrib dan isya’, dikerjakan saat
waktu isya’.

Tata Cara Shalat Jama’

14
a. Saat melaksanakannya, kedua shalat dilakukan secara berurutan tanpa
diselingin aktivitas apapun. Jadi setelah salam, langsung berdiri lagi
untuk melakukan shalat kedua. Tidak perlu dzikir, mengobrol, makan
atau lainnya.
b. Untuk niat shalat Jama’ Taqdim Dzuhur dan ashar yang dilakukan saat

waktu Dzuhur adalah ‫ات ُم ْس َت ْقبِ َل الْ ِقْبلَ ِة‬


ٍ ‫ُأص لِّي َف رض الظُّه ِر َأرب ع ر َكع‬
َ َ ََْ ْ َ ْ ْ َ
ِ ٍ‫جَمْموعا بِالْعص ِر مَجْع َت ْق ِدمْي‬. Artinya: “Aku sengaja shalat fardu
‫هلل َت َعاىَل‬ َ ْ َ ً ُْ
dzuhur 4 rakaat yang dijama’ dengan Ashar, fardu karena Allah
Ta’aala.”
c. Setelah selesai shalat Dzuhur, langsung dilanjutkan dengan shalat Ashar

dengan bacaan niat:

‫ات ُم ْس َت ْقبِ َل الْ ِقْبلَ ِة جَمْ ُم ْو ًع ا بِ الظُّ ْه ِر مَجْ َع‬


ٍ ‫ُأص لِّي َف رض الْعص ِر َأرب ع ر َكع‬
َ َ ََْ ْ َ َ ْ ْ َ
ِ ٍ‫ َت ْق ِدمْي‬Artinya:
‫هلل َت َع اىَل‬ “Aku berniat shalat ashar 4 rakaat dijama’

dengan dhuhur, fardhu karena Allah Ta’aala.”

d. Niat shalat Jama’ Taqdim Maghrib dan Isya’ yang dilakukan saat waktu

Maghrib yakni:

‫ات ُم ْس َت ْقبِ َل الْ ِقْبلَ ِة جَمْ ُم ْو ًع ا بِالْعِ َش ِاء‬


ٍ ‫ث ر َكع‬ ِ
َ َ َ َ‫ض الْ َم ْغ ِرب ثَال‬
َ ‫ُأص لِّ ْي َف ْر‬
َ
ِ ٍ‫ مَجْع َت ْق ِدمْي‬Artinya: “Aku sengaja solat fardu maghrib 3 rakaat
‫هلل َت َعاىَل‬ َ
yang dijama’ dengan Isya, dengan jama’ taqdim, fardu karena Allah
Ta’aala.”

e. Setelah selesai shalat Maghrib, langsung dilanjut dengan melaksanakan


ٍ ‫ث ر َكع‬
‫ات‬ ِ ِ ‫ُأص لِّي َف ر‬
shalat Isya’ dengan bacaan niat:
َ َ َ َ‫ض الْع َش اء ثَال‬
َ ْ ْ َ

15
ِ ٍ‫ب مَجْ ع َت ْق ِدمْي‬
‫هلل َت َع اىَل‬ ِ ‫ مس َت ْقبِل الْ ِقْبلَ ِة جَمْمو ًع ا بِ الْم ْغ ِر‬Artinya:
َ َ ُْ َ ُْ “Aku

berniat shalat Isya empat rakaat dijama’ dengan Magrib, dengan jama’
taqdim, fardhu karena Allah Ta’aala.”

f. Niat solat Jama’ Takhir Dzuhur dan Ashar yakni : ‫ض الظُّ ْه ِر‬
َ ‫صلِّ ْي َف ْر‬
َ
ِ ٍ ‫ات مسَت ْقبِل الْ ِقبلَ ِة جَمْموعا بِالْعص ِر مَجْع تَْأ ِخ‬
‫هلل َت َعاىَل‬ ٍ
‫َْأربَ َع َر َك َع ُ ْ َ ْ ُ ْ ً َ ْ َ رْي‬
Artinya: “Aku sengaja shalat fardu dhuhur 4 rakaat yang dijama’
dengan Ashar, fardu karena Allah Ta’aala.”
g. Setelah selesai shalat dzuhur, langsung dilanjut shalat ashar dengan

bacaan niat: ‫ات ُم ْسَت ْقبِ َل الْ ِقْبلَ ِة جَمْ ُم ْو ًعا‬


ٍ ‫صلِّي َفرض الْعص ِر َأربع ر َكع‬
َ َ ََ ْ ْ َ َ ْ ْ َ
ِ ٍ ‫ بِالظُّه ِر مَجْع تَْأ ِخ‬Artinya: “Aku sengaja shalat fardu Ashar 4
‫هلل َت َعاىَل‬ ‫ْ َ رْي‬
rakaat yang dijama’ dengan Dzuhur, fardu karena Allah Ta’aala.”
h. Niat shalat Jama’ takhir Maghrib dan Isya’ yakni:

‫ات ُم ْسَت ْقبِ َل الْ ِقْبلَ ِة جَمْ ُم ْو ًعا بِالْعِ َش ِاء‬


ٍ ‫ث ر َكع‬ ِ
َ َ َ َ‫ض الْ َم ْغ ِرب ثَال‬
َ ‫ُأصلِّ ْي َف ْر‬
َ
ِ ٍ ‫مَجْع تَْأ ِخ‬
‫هلل َت َعاىَل‬ ‫َ رْي‬
Artinya: “Aku sengaja shalat fardu maghrib 3 rakaat yang dijama’
dengan isya, dengan jama’ takhir, fardu karena Allah Ta’aala.”

i. Setelah selesai shalat Maghrib, langsung dilanjut shalat Isya’ dengan


bacaan niat:

‫ات ُم ْس َت ْقبِ َل الْ ِقْبلَ ِة جَمْ ُم ْو ًع ا بِ الْ َم ْغ ِر ِب مَج ْ َع‬


ٍ ‫ث ر َكع‬ ِ ِ ‫ُأص لِّي َف ر‬
َ َ َ َ‫ض الْع َش اء ثَال‬
َ ْ ْ َ
ِ ٍ ‫ تَ ْأ ِخ‬Artinya:
‫هلل َت َع اىَل‬ ‫رْي‬ “Aku berniat shalat isya’ empat rakaat yang

16
dijama’ dengan magrib, dengan jama’ takhir, fardhu karena Allah
Ta’aala.”

Bila seseorang dalam perjalanan jauh ingin menjama’ taqdim shalat zuhur
dengan ‘ashar, maka yang harus ia lakukan adalah:

a. Kerjakan shalat zhuhur terlebih dahulu sebagaimana mestinya dengan


lafazh niat yang telah disampaikan di atas.
b. Setelah selesai shalat zhuhur kerjakan shalat ‘ashar secara langsung tanpa
harus diselingi oleh kegiatan lainnya, seperti dzikir maupun shalat sunat.

Bila seseorang dalam perjalanan jauh ingin menjama’ akhir shalat zhuhur
dengan ‘ashar, maka yang harus ia lakukan adalah:

a. Ketika datang waktu shalat pertama, yaitu zhuhur, lakukan niat dalam hati
bahwa ia akan mengakhirkan shalat zhuhur ke waktu shalat ‘ashar.
b. Ketika datang waktu shalat kedua, yaitu shalat ‘ashar, kerjakan shalat
mana saja yang ingin didahulukan (‘ashar atau zhuhur). Misalnya, yang
didahulukan ‘ashar.
c. Setelah selesai shalat yang paling pertama selesai (‘ashar), lanjutkan
dengan shalat zhuhur tanpa diselingi oleh kegiatan lain.7

3. Tata Cara Shalat Jama’ Qashar

Shalat jama’ qashar adalah shalat fardlu yang dijama’ dan sekaligus diqashar.
Artinya, dua raka’at shalat fardlu yang diqashar dikerjakan dalam waktu
sekaligus. Orang yang diperbolehkan mengqashar shalat adalah orang-orang
yang sedang dalam perjalanan jauh. Sedangkan halangan lain, seperti sakit,
hujan lebih ketika berjama’ah di mesjid tetap diperbolehkan mengerjakan
shalat jama’ qashar. Niat dalam shalat jama’ qashar adalah :

a. Jama’ taqdim qashar zhuhur dengan ‘ashar


1) Niat shalat zhuhur

7
Yudi Yansyah. Mimbar Dakwah Sesi 144 : “Sholat Jama dan Qashar”. Kantor Wilayah
Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat. 18 Februari 2021.
https://jabar.kemenag.go.id/portal/read/mimbar-dakwah-sesi-144-sholat-jama-dan-qashar

17
ٍ‫ص ِر مَجْ َع َت ْق ِدمْي‬ ِ ِ
ْ ‫ض الظُّ ْه ِر َر َك َعَتنْي ِ ُم ْسَت ْقبِ َل الْقْبلَة جَمْ ُم ْو ًعا بِالْ َع‬
َ ‫ُأصلِّ ْي َف ْر‬
َ
ِ ‫قَصرا‬
‫هلل َت َعاىَل‬ َْ
“Sengaja aku shalat zhuhur empat raka’at menghadap kiblat, dijama’
taqdim qashar dengan ‘ashar karena Allah Ta’ala.”
2) Niat shalat ’ashar

ٍ‫ص ِر ر َك َعَتنْي ِ ُم ْسَت ْقبِل الْ ِقْبلَ ِة جَمْ ُم ْو ًعا بِالظُّ ْه ِر مَجْ َع َت ْق ِدمْي‬ َ ‫ُأصلِّ ْي َف ْر‬
َ َ ْ ‫ض الْ َع‬ َ
ِ ‫قَصرا‬
‫هلل َت َعاىَل‬ َْ
“Sengaja aku shalat ‘ashar empat raka’at menghadap kiblat, dijama’
taqdim qashar dengan zhuhur karena Allah Ta’ala.”

b. Jama’ taqdim qashar maghrib dengan ‘isya.


Yang boleh diqashar hanya ‘Isya saja. Niatnya sebagai berikut:

ِ ‫ض الْعِ َش ِاء ر َكعَتنْي ِ مسَت ْقبِل الْ ِقْبلَ ِة جَمْمو ًعا بِالْم ْغ ِر‬
ٍ‫ب مَجْ َع َت ْق ِدمْي‬ َ ‫ُأصلِّ ْي َف ْر‬
َ ُْ َ ُْ َ َ َ
ِ ‫قَصرا‬
‫هلل َت َعاىَل‬ َْ
“Sengaja aku shalat ‘isya empat raka’at menghadap kiblat, dijama’
taqdim qashar dengan maghrib karena Allah Ta’ala.”

c. Jama’ takhir qashar zhuhur dengan ‘ashar


1) Niat shalat zhuhur

ٍ‫ص ِر مَجْ َع تَْأ ِخرْي‬ ِ ِ


ْ ‫ض الظُّ ْه ِر َر َك َعَتنْي ِ ُم ْسَت ْقبِ َل الْقْبلَة جَمْ ُم ْو ًعا بِالْ َع‬
َ ‫ُأصلِّ ْي َف ْر‬
َ

18
ِ ‫قَصرا‬
‫هلل َت َعاىَل‬ َْ
"Sengaja aku shalat zhuhur empat raka’at menghadap kiblat,
dijama’ takhir qashar dengan ‘ashar karena Allah Ta’ala.”
2) Niat shalat ’Ashar

‫ص ِر َر َك َعَتنْي ِ ُم ْسَت ْقبِ َل الْ ِقْبلَ ِة جَمْ ُم ْو ًعا بِالظُّ ْه ِر مَجْ َع‬ َ ‫ُأصلِّ ْي َف ْر‬
ْ ‫ض الْ َع‬ َ
ِ ‫تَْأ ِخ ٍ قَصرا‬
‫هلل َت َعاىَل‬ َ ْ ‫رْي‬
“Sengaja aku shalat ‘ashar empat raka’at menghadap kiblat,
dijama’ takhir qashar dengan zhuhur karena Allah Ta’ala.”

d. Jama’ takhir qashar maghrib dengan ‘isya


Yang boleh diqashar hanya ‘isya saja. Niatnya sebagai berikut:

ِ ‫ض الْعِ َش ِاء ر َكعَتنْي ِ مسَت ْقبِل الْ ِقْبلَ ِة جَمْمو ًعا بِالْم ْغ ِر‬
ٍ‫ب مَجْ َع تَْأ ِخرْي‬ َ ‫ُأصلِّ ْي َف ْر‬
َ ُْ َ ُْ َ َ َ
ِ ‫قَصرا‬
‫هلل َت َعاىَل‬ َْ
“Sengaja aku shalat ‘isya empat raka’at menghadap kiblat, dijama’
takhir qashar dengan maghrib karena Allah Ta’ala.”

D. Shalat Qashar Jama’ dalam 4 Madzhab


Jumhur ulama diantaranya madzhab Al-Malikiyah, Asy-Safi’i, dan Al-
Hanbali sepakat bahwa yang merupakan asal shalat qashar adalah empat
rakaat, lalu Allah SWT memberikan keringanan pada shalat yang empat rakaat
untuk diqashar menjadi dua rakaat. Sedangkan madzhab Hanafiyah sepakat
menyebutkan bahwa yang merupakan justru shalat qashar yang dua rakaat,
sedangkan yang empat rakaat merupakan tambahan.

19
Dikalangan ulama terdapat perbedaan pendapat mengqashar shalat dalam
safar itu wajib, sunnah, atau pilihan. Madzhab Hanafi mewajibkan qashar
shalat bagi yang melakukan perjalanan yang telah terpenuhi syaratnya. Dalil
yang mereka gunakan adalah hadits Nabi sebagai berikut:

‫ي َع ْن عُْر َوةَ َعاِئ َشةَ َر ِض َي اهللُ َعْن َها‬ ُّ ‫اهلل بْ ِن حُمَ َّم ٍد قَ َال َح َّدثَنَا ُس ْفيَا ُن َع ْن‬
ِّ ‫الز ْه ِر‬ ِ ‫ح َّدثَنَا عب ُد‬
َْ َ
‫مِت‬
)‫ (رواه البخاري‬.‫ض ِر‬
َ َ‫صاَل ةُ احْل‬ ْ َّ ‫الس َف ِر َوُأ‬
َ ‫ت‬ َ ِ ‫ت َر ْك َعَتنْي‬
َّ ُ‫صاَل ة‬ ْ‫ض‬َ ‫ الصَّاَل ةُ ََّأو ُل َما فُِر‬:‫ت‬
ْ َ‫قَال‬
“Telah menceritakan kepada kami Abdullah ibn Muhammad, ia berkata: telah
menceritakan kepada kami Sufyan, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari ‘Aisyah
r.a, ia berkata: Shalat pada awal mulanya diwajibkan dua rakaat, kemudian
(ketentuan ini) ditetapkan sebagai shalat safar (dua rakaat) dan disempurnakan
(menjadi empat rakaat) bagi shalat di tempat tinggal (mukim).” (HR. Bukhari)
Madzhab Maliki berpendapat bahwa mengqashar shalat hukumnya
sunnah. Dasarnya adalah tindakan Rasulullah SAW yang secara umum selalu
mengqashar shalat dalam hampir semua perjalanan beliau, sebagaimana hadits
yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar sebagai berikut:

‫ َح َّدثَيِن َأيِب َأنَّهُ مَسِ َع‬:‫اص ٍم قَ َال‬


ِ ‫ص ب ِن ع‬ ِ
َ ْ ِ ‫ َح َّد َثنَا حَيْىَي َع ْن عْي َسى بْ ِن َح ْف‬:‫َّد قَ َال‬
ُ ‫َح َّدثَنَا ُم َسد‬

َّ ‫صلَّى اهلل َعلَْي ِه َو َسلَّ َم فَ َكا َن اَل يَِزيْ ُد يِف‬


‫لس َف ِر َعلَى‬ َ ‫ول اهلل‬
َ ‫ت َر ُس‬ ِ :‫ول‬
ُ ‫صحْب‬
َ ُ ‫ابْ َن عُ َمَر َي ُق‬
)‫ (رواه البخاري‬.‫ك َر ِض َي اهلل َعْن ُه ْم‬ ِ
َ ‫َر ْك َعَتنْي ِ َوَأبَا بَ ْك ٍر َوعُ َمَر َوعُثْ َما َن َك َذل‬
“Telah menceritakan kepada kami Musaddad, ia berkata: telah menceritakan
kepada kami Yahya ibn ‘Ashim, ia berkata: telah menceritakan kepadaku
Ayahku, bahwa ia pernah mendengar Ibnu Umar berkata: Aku menemani
Rasulullah SAW, beliau tidak pernah menambah shalat lebih dari dua rakaat
dalam safar (perjalanan), demikian pula Abu Bakar, Umar, dan Utsman r.a.”
(HR. Bukhari)
Sedangkan Madzhab Syafi’i dan madzhab Hanbali berpendapat bahwa
mengqashar shalat atau tidak itu merupakan pilihan, atau hukumnya adalah
jaiz yaitu boleh memilih. Namun, bagi mereka mengqashar shalat itu tetap

20
lebih afdhal, karena merupakan sedekah dari Allah SWT. Mereka juga berdalil
dari tindakan sahabat Nabi SAW dalam banyak perjalanan, kadang mereka
mengqashar tetapi kadang juga tidak. Sehingga mengqashar shalat atau tidak
merupakan suatu pilihan.

E. Shalat Qashar Jama’ di Masa Kontemporer


1. Shalat Jama’ Bagi Pengantin
Pada era modern nilai materialisme (madiyyah) lebih dominan
dibandingkan spiritualisme (ruhiyyah), sehingga orang berpegang teguh
pada agama seperti memegang bara api. Praktek nilai-nilai agama selalu
ingin mengambil jalan termudah dan terlalu cepat. Kasus pada saat
resepsi pernikahan (walimah al-`urs) menjadi bukti nyata bahwa setengah
orang-orang besar yang terlibat didalamnya, termasuk pengantin, sering
mengabaikan shalat bahkan meninggalkannya dengan alasan sibuk
dengan tamu dan sayang akan make up yang mahal.
Dalil yang menjadi alasan mereka tentang jama’ shalat karena
kesibukan ialah hadits riwayat Ibn Abbas ra:“Dari Ibn Abbas ra, ia
berkata: sesungguhnya Nabi SAW menjama’ shalat zuhur dan ashar,
shalat maghrib dan isya ketika tiba di Madinah tidak dalam kondisi takut
juga tidak hujan.”
Hadits di atas tidak memberikan penjelasan rincinya, para ulama’
banyak memberikan penafsiran tentang hadits ini. Ada yang mengatakan
hadits ini dipakai dalam kondisi hujan, ada lagi yang menjelaskan bahwa
hadits ini teruntuk bagi mereka yang sedang melaksanakan hal-hal yang
sangat penting sekali, sehingga jika ditinggalkan maka akan terjadi
perkara yang besar, misalnya kondisi dokter yang sedang mengoperasi
pasiennya, namun ada juga yang memaknainya secara umum yaitu
kondisi dimana tidak memungkinkan untuk mengerjakan sholat pada
waktunya, akan tetapi dengan syarat:
a. Kejadiannya harus bersifat di luar perhitungan dan terjadi tiba-tiba
begitu saja. Seperti yang terjadi pada diri Rasulullah SAW tatkala

21
terlewat dari shalat Zuhur, Ashar, Maghrib dan Isya sekaligus, gara-
gara ada serangan atau kepungan musuh dalam perang Azhab (perang
Khandaq). Beliau saat itu menjama’ shalat yang tertinggal setelah lewat
tengah malam, bukan ketika perjalanan, sebab beliau SAW dan para
shahabat bertahan di dalam kota Madinah Al-Manuwwarah.
b. Syarat kedua adalah bersifat sangat memaksa, yang tidak ada alternatif
lain kecuali harus menjama’. Sifat memaksa disini bukan disebabkan
karena kepentingan biasa, misalnya sekedar karena ada rapat, atau pesta
pernikahan. Kejadian yang memaksa itu semisal Tsunami yang
menimpa Aceh dan Mentawai, dokter yang sedang mengoperasi, gempa
bumi yang berkepanjangan, kerusuhan massa.
Berdasarkan kaidah fiqh, “jika ada ‘ilat maka ada hukum dan jika
tidak ada maka tidak ada hukum”. Oleh karena itu, seorang pengantin
(pasangan suami misteri yang sah) ketika merayakan resepsi pernikahan
(walimah al-`ursy) yang di sibukkan dalam menyambut tamu serta
mengikuti acara tersebut hingga sore hari, juga karena hiasan dandanan
yang mahal, tidak dapat dijadikan alasan (‘ilat) dan uzur secara syar`i
untuk mengerjakan shalat dengan jama’, qadha, apalagi qashar.8
Kondisi aktual pengantin sibuk di walimah al`urs tidak dapat
dikategorikan sebagai alasan yang mengarah kepada masyaqqah
(kesulitan yang melampaui batas) sehingga tidak bisa dihilangkan dengan
rukhshah.9

2. Shalat Jama’ dan Qadha Pada Shalat Jum’at


Persoalan muncul ketika seseorang bepergian saat hari Jumat, sementara
ia berangkat safar setelah terbit fajar, maka ia berkewajiban

8
Arisman. Jamak Dan Qadha Shalat Bagi Pengantin Kajian Fiqh Kontemporer. Hukum
Islam, Vol. XIV No. 1 Juni 2014.
9
Abdul `Aziz Muhammad `Azam, Qawa`id al-Fiqh al-Islamy, Maktabah al-Risalah
alDauliyah, 1998-1999, h. 133

22
melaksanakan Jumat di tengah perjalanannya. Atau misalkan ia sudah
berada di perjalanan sebelum hari Jumat, kemudian saat hari Jumat, ia
masih berada di perjalanan dan melaksanakan Jumat di desa setempat.
Pertanyaannya adalah, apakah shalat Jumat boleh dijama’ dengan shalat
Ashar?
Para ulama menegaskan bahwa secara umum, Jumat memiliki
kedudukan yang sama dengan shalat Zuhur. Ada banyak hukum-hukum
yang berlaku di dalam shalat Zuhur, juga berlaku untuk shalat Jumat,
termasuk di antaranya kebolehan mengumpulkannya dengan shalat Ashar
dengan teori jama’ taqdim.
Dalam praktik pelaksanaan menjamak taqdim Jumat dan Ashar,
saat niat shalat Jumat, diniati pula mengumpulkannya dengan shalat
Ashar dengan niat jamak taqdim. Berikut ini contoh niatnya:

‫ص ِر ُم ْسَت ْقبِ َل الْ ِقْبلَ ِة ََأد ُاء‬ ِ


ْ ‫ض اجْلُ ُم َعة َر ْك َعَتنْي ِ جَمْ ُم ْو ًعا بِالْ َع‬
َ ‫ُأصلِّ ْي َف ْر‬
َ

‫َمْأ ُم ْو ًما لِ ِله َت َعاىَل‬


Setelah selesai salam, disyaratkan untuk bergegas melanjutkan
shalat Ashar, sebab dalam jamak taqdim wajib sambung menyambung
antara shalat pertama dan kedua, tanpa ada pemisah yang lama. Dalam
konteks ini, shalat ba’diyyah Jumat dilakukan setelah shalat Ashar.
Untuk contoh niat shalat Ashar yang dijamak taqdim dengan Jumat
adalah sebagai berikut:

‫ات جَمْ ُم ْو ًعا ِإلَْي ِه اجْلُ ُم َعةُ ُم ْسَت ْقبِ َل الْ ِقْبلَ ِة‬
ٍ ‫ُأصلِّي َفرض الْعص ِر َأربع ر َكع‬
َ َ ََ ْ ْ َ َ ْ ْ َ

‫ََأداءً لِ ِله َت َعاىَل‬


Bila shalat Asharnya diqashar, maka redaksi “arba’a raka’atin”
diganti dengan “maqshuratan”. Bila shalat Ashar dilakukan berjamaah,
maka ditambahkan kata “jama’atan/ ma’muman” sebelum redaksi
“Lillahi Ta’ala”. Sedangkan untuk jamak ta’khir, tidak diperbolehkan

23
dilakukan dalam permasalahan ini. Teori jamak ta’khir tidak berlaku
dalam kasus mengumpulkan shalat Jumat dan Ashar, sebab Jumat wajib
dikerjakan di waktu Zuhur.
Berkaitan dengan kebolehan menjama’ taqdim shalat Jumat dan
Ashar, Syekh Khathib al-Syarbini mengatakan: “Boleh bagi musafir
dalam jarak tempuh yang memperbolehkan qashar shalat, mengumpulkan
di antara Shalat Zuhur dan Ashar di waktu yang ia kehendaki, baik jamak
taqdim atau ta’khir. Dan diperbolehkan mengumpulkan di antara shalat
Maghrib dan Isya’, di waktu yang ia kehendaki, baik jamak taqdim atau
ta’khir. Shalat Jumat hukumnya sama dengan shalat Zuhur dalam
masalah jamak taqdim.”10
Mengomentari referensi di atas, Syekh Sulaiman Al-Bujairimi
mengatakan: “Ucapan Syekh Khathib, Shalat Jumat hukumnya sama
dengan shalat Zuhur dalam masalah jamak taqdim, seperti musafir
memasuki desa di tengah perjalanannya saat hari Jumat, maka yang lebih
utama baginya adalah melakukan Zuhur. Namun, bila ia shalat Jumat
bersama penduduk setempat, boleh baginya dalam kondisi demikian
untuk menjamak taqdim shalat Jumat dengan shalat Ashar.”11
Berdasarkan referensi tersebut, bagi musafir yang sebelum hari
Jumat sudah bepergian, saat hari Jumat tiba, yang lebih lebih utama
baginya adalah shalat Zuhur, bukan shalat Jumat. Namun bila ia
menghendaki shalat Jumat, maka ia tetap diperbolehkan menjamak
taqdim dengan shalat Ashar.12

3. Shalat Jama’ Karena Kondisi Macet


Berdasarkan hasil mudzakarah Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI
Jakarta disimpulkan bahwa menjama’ shalat dalam kondisi macet
10
Syekh Khathib As-Syarbini, Al-Iqna’ ‘ala Matni Abi Syuja’, juz I, halaman 174-175
11
Syekh Sulaiman Al-Bujairimi, Tuhfatul Habib ‘ala Syarhil Khatib, juz I, halaman 174-175
12
M Mubasysyarum Bih. Hukum Menjamak Shalat Jumat dan Shalat Ashar Rabu, 19
Desember 2018. https://islam.nu.or.id/jumat/hukum-menjamak-shalat-jumat-dan-shalat-ashar-
l7e64

24
hukumnya diperbolehkan, dengan syarat tidak disengaja dan tidak
dijadikan sebagai kebiasaan. Hasil mudzakarah ini berdasarkan dalil
Qur’an, hadits, dan qa’idah fiqhiyah.
a. Dalil Qur’an
ِ
ٍ ۗ ‫َو َما َج َع َل َعلَْي ُك ْم ىِف الدِّيْ ِن م ْن َحَر‬
‫ج‬
“..Dia telah memilih kamu, dan Dia tidak menjadikan kesukaran
(kesempitan) untukmu dalam agama ..” (Q.S. Al Hajj:78)
MUI DKI Jakarta menggunakan ayat ini sebagai dalil, karena
seseorang yang sedang terjebak kemacetan di jalan dianggap sedang
mengalami kesempitan. Kesempitan dalam kemacetan yang dimaksud di
sini adalah keadaan ketika seseorang terjebak di tengah kemacetan parah
dan tidak memiliki kesempatan untuk keluar dari keadaan tersebut hingga
waktu salat pada saat itu habis.
b. Dalil Hadis
Ada beberapa hadis yang digunakan oleh MUI DKI Jakarta dalam
membolehkan menjamaʹ salat karena macet. Pertama, hadis dari Ibnu
Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sebagai berikut:
“Diceritakan dari Ahmad bin Yunus dan ‘Aun bin Salam, keduanya dari
Zuhair. Berkata Ibn Yunus diceritakan dari Zuhair diceritakan dari Abu
Zubayr dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas ia berkata: Rasulullah SAW.
menjamaʹ salat Zuhur dan Asar, tidak dalam keadaan takut (khawf) dan
(alasan) perjalanan. Abu al-Zubayr RA berkata: Aku menanyakan kepada
Sa’id mengapa Rasulullah melaksanakan hal tersebut? Ia Said
menjawab, aku telah bertanya kepada Ibnu ‘Abbas sebagaimana
pertanyaanmu, dan ia menjawab Rasulullah tidak ingin menyulitkan
seorangpun dari umatnya”(HR. Muslim).
Hadits ini bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abi
Daud ketika bepergian. Dari Mu’adz berkata: ”Bahwa Nabi Sallallāhu
‘Alaihi Wasallam sewaktu perang tabuk, selalu menjamaʹ salat Zuhur
dengan Asar bila berangkatnya itu sebelum matahari tergelincir, maka

25
salat Zuhur diundurkan beliau, dan dirangkapnya sekali dengan Asar.
Begitu pula dengan salat Maghrib, yaitu kalau beliau berangkat
sesudah matahari terbenam dijamaʹ nya Maghrib dengan Isya. Tetapi
kalau berangkatnya itu sebelum matahari terbenam diundurkannyalah
Magrib itu sampai Isya dan Jama’nya dengan Isya.” (Diriwayatkan oleh
Abu Daud serta al Tirmidzi yang menyatakan bahwa hadits ini adalah
hadits hasan)
Dari pemaparan kedua hadis di atas terungkap bahwa secara
tekstual matan hadis yang diriwayatkan Imam Muslim bertentangan
dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud danal-Tirmidzi, akan
tetapi secara kontekstual hadis ini tidak bertentangan. Hadis yang
membolehkan menjamaʹ salat hanya saat bepergian saja merupakan
sebuah kemudahan yang diberikan kepada umatnya agar umatnya tidak
merasa kesulitan dalam menjalankan salat ketika bepergian. Sedangkan
hadis yang mengisyaratkan bahwa Rasulullah SAW menjamaʹ salat tidak
sedang dalam safar dan tidak dalam keadaan takut merupakan sebuah
isyarat bahwa suatu saat hambanya dapat merasakan kesulitan untuk
melaksanakan salat dengan alasan lain, yaitu alasan selain dalam
keadaan safar dan ketakutan. Keadaan tersebut sudah terjadi dimasa
sekarang, contohnya seseorang yang terjebak dalam kemacetan. Ia tidak
memenuhi syarat-syarat safar dan juga tidak dalam keadaan takut, akan
tetapi ia tidak dapat menjalankan salat karena tidak dapat keluar dari
kemacetan kesulitan untuk menjalankan shalat.13
F.

13
Muaz, “Mudzakarah Ulama MUI DKI Jakarta” Artikel diakses pada 08 Maret
2016 dari: http://www.muidkijakarta.or.id/2015/04/mudzakarah-ulama-di-
jakarta.html.

26
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Shalat qashar merupakan shalat dengan mengurangi bilangan rakaat pada
shalat fardhu, dari empat rakaat menjadi dua rakaat. Dalil yang
membolehkan shalat qashar terdapat pada QS. An-Nisa ayat 101.
Sedangkan shalat jama’ adalah melakukan dua shalat fardhu, yaitu zuhur
dan ashar, atau maghrib dan isya secara berurutan pada salah satu
waktunya. Dalil yang membolehkan shalat jama’ adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Daud dan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad.

2. Syarat shalat qashar adalah sebagai berikut: (a) Sekurang-kurangnya


perjalanan yang ditempuh sejauh perjalanan dua hari. (b) Berniat
mengqashar shalat dalam takbiratul ihram. (c) Perjalanan itu tidak maksiat.
(d) Tidak berimam kepada orang yang tidak mengqashar shalatnya. (e)
Senantiasa dalam perjalanan hingga selesai shalat.

Shalat jama’ itu ada dua macam, yaitu: Jama’ taqdim, yaitu
mengumpulkan ke muka. Artinya, mengerjakan shalat maghrib dan isya
dalam waktu maghrib. Dan mengerjakan shalat zuhur dan ashar dalam
waktu zuhur. Dalam waktu isya dan ashar tidak melakukan shalat lagi.
Syarat jama’ taqdim adalah sebagai berikut: (a) Shalat zuhur lebih dahulu
dikerjakan dari shalat ashar. Dan shalat maghrib lebih dahulu shalat isya.
(b) Berniat jama’ dalam shalat yang pertama, yaitu berniat dalam shalat
zuhur atau shalat maghrib. Niat jama’ boleh dilakukan selama belum
selesai memberi salam dari shalat pertama. (c) Shalat yang dijama’kan
dikerjakan beriring-iringan, tidak boleh lama perpisahan antara keduanya.
(d) Senantiasa dalam perjalanan hingga dimulai takbiratul ihram shalat
yang kedua. (e) Perjalanan itu tidak maksiat.

27
Jama’ ta’khir, yaitu mengumpulkan ke belakang. Artinya, mengerjakan
shalat zuhur dan ashar dalam waktu ashar. Dan mengerjakan shalat shalat
maghrib dan isya dalam waktu isya. Dalam waktu zuhur dan maghrib tidak
mengerjakan shalat lagi. Syarat jama’ ta’khir adalah sebagai berikut: (a)
Berniat mengumpulkan shalat dalam waktu shalat yang pertama, yaitu
berniat dalam waktu zuhur atau maghrib akan mengumpulkan shalat zuhur
dengan shalat ashar atau akan mengumpulkan shalat maghrib dengan
shalat isya. (b) Senantiasa dalam perjalanan hingga selesai shalat itu
keduanya.
Sekurang-kurangnya perjalanan sejauh dua hari. (c) Perjalanan yang tentu
tujuannya. (e) Perjalanan itu tidak maksiat.

3. Tata cara shalat qashar yaitu, niat qashar shalat saat takbiratul ihram. Niat
di atas diharuskan terjaga selama shalat berlangsung, dan seandainya
terjadi keraguan pada seseorang ketika shalat, maka baginya diwajibkan
untuk menyempurnakan shalat (itmam), namun tidak harus membatalkan
shalatnya akan tetapi langsung diteruskan tanpa meng-qashar.

Tata cara shalat jama’ yaitu, (a) Kedua shalat dilakukan secara berurutan
tanpa diselingin aktivitas apapun. (b) Niat sesuai dengan waktu shalatnya
(jama’ taqdim atau jama’ akhir). (c) Setelah shalat yang pertama
melanjutkan shalat selanjutnya, tanpa harus diselingi oleh kegiatan
lainnya.

4. Jumhur ulama diantaranya madzhab Al-Malikiyah, Asy-Safi’i, dan Al-


Hanbali sepakat bahwa yang merupakan asal shalat qashar adalah empat
rakaat, lalu Allah SWT memberikan keringanan pada shalat yang empat
rakaat untuk diqashar menjadi dua rakaat. Sedangkan madzhab Hanafiyah
sepakat menyebutkan bahwa yang merupakan justru shalat qashar yang
dua rakaat, sedangkan yang empat rakaat merupakan tambahan.

28
5. Fenomena kontemporer shalat jama’ untuk pengantin itu tidak dibolehkan.
Sedangkan shalat jama’ untuk yang terjebak macet diperbolehkan, selagi
tidak disengaja dan jadi kebiasaan. Lalu, untuk shalat jum’at yang dijama’
dengan sholat ashar diperbolehkan.

B. Saran
Demikianlah makalah yang kami berisikan tentang Shalat Qashar dan Jama’.
Makalah ini pun tak luput dari kesalahan dan kekurangan maupun target yang
ingin dicapai. Adapun kiranya terdapat kritik, saran maupun teguran
digunakan sebagai penunjang pada makalah ini. Sebelum dan sesudahnya
kami ucapkan terima kasih.

29
DAFTAR PUSTAKA

Abdul `Aziz Muhammad `Azam, Qawa`id al-Fiqh al-Islamy, Maktabah al-


Risalah alDauliyah, 1998-1999
Arisman. Jamak Dan Qadha Shalat Bagi Pengantin Kajian Fiqh Kontemporer.
Hukum Islam, Vol. XIV No. 1 Juni 2014.
Fayadi, Faiz, dkk. 2012. Materi Bimbingan Agama Pada Masyarakat
Transmigrasi “Seri Tuntunan Ibadah Shalat”. Jakarta: Kementerian
Agama RI.
Firdaus, Beni. 2017. Kemacetan dan Kesibukan Sebagai alasan Qashar dan
Jama’ Shalat. Jurnal Hukum Islam Al-Hurriyah, 2(2).
M Mubasysyarum Bih. Hukum Menjamak Shalat Jumat dan Shalat Ashar. Rabu,
19 Desember 2018. https://islam.nu.or.id/jumat/hukum-menjamak-shalat-
jumat-dan-shalat-ashar-l7e64
Mohammad Sibromulisi. Tata Cara dan Ketentuan Qashar Shalat. NU Online
pada Selasa, 12 Desember 2017. Sumber: https://islam.nu.or.id/shalat/tata-
cara-dan-ketentuan-qashar-shalat-ecxrA
Muaz. “Mudzakarah Ulama MUI DKI Jakarta” Artikel diakses pada 08 Maret
2016 dari: http://www.muidkijakarta.or.id/2015/04/mudzakarah-ulama-di-
jakarta.html.
Sarwat, Ahmad. 2018. Shalat Qashar dan Jama’. Jakarta: Rumah Fiqih
Publishing.
Syekh Khathib As-Syarbini, Al-Iqna’ ‘ala Matni Abi Syuja’, juz I, halaman 174-
175
Syekh Sulaiman Al-Bujairimi, Tuhfatul Habib ‘ala Syarhil Khatib, juz I,
halaman 174-175
Yudi Yansyah. Mimbar Dakwah Sesi 144 : “Sholat Jama dan Qashar”. Kantor
Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat. 18 Februari 2021.
https://jabar.kemenag.go.id/portal/read/mimbar-dakwah-sesi-144-sholat-
jama-dan-qashar

30

Anda mungkin juga menyukai