Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH KEGAWATDARURATAN

“PENATALAKSANAAN JALAN NAPAS”

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 2

AGNES CRISTIANTY MALAN (PO714241181002)


CAROLINE DWI VIOLETTA MALIAMA (PO714241181011)
HIJRANA PUTRI (PO714241181018)
NURUL KAIDA (PO714241181036)
MEYKE SARI (PO714241181026)

D.IV FISIOTERAPI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MAKASSAR
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
karunia-Nya, kelompok kami mampu menyelesaikan makalah dengan judul
“PENATALAKSANAAN AWAL JALAN NAPAS” dengan tepat waktu.

Pembuatan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas dari dosen


pembimbing pada mata kuliah Kegawatdaruratan. Sesuai dengan judulnya, makalah
ini berisikan tentang segala hal yang berkaitan dengan Penatalaksanaan awal jalan
napas. Harapan kami, makalah ini dapat memberikan manfaat kepada siapa saja
yang membacanya, baik dosen maupun teman-teman mahasiswa.

Namun kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari tahap
kesempurnaan. Oleh karena itu, kami membuka diri untuk menerima kritik dan saran
dari teman-teman maupun dari dosen pembimbing mengenai segala kekurangan dari
makalah ini.

Tidak lupa pula ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
berpartisipasi dalam proses pembuatan makalah ini.

Makassar, 10 Maret 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………....i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………….ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………………………........................................................1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………….........2
C. Tujuan Penulisan……………………………………………………………...2
BAB II PEMBAHASAN
A. Anatomi Jalan Napas………………………………………………………….3
B. Pengertian Airway Management……………………………………………...4
C. Macam-Macam Gangguan Jalan Napas………………………………………5
D. Pengkajian Jalan Napas……………………………………………………….7
E. Teknik Pengelolaan Jalan Napas……………………………………………...8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan…..………………………………………………………………24
B. Saran…………………………………………………………………………25
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………..26
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keberhasilan pertolongan terhadap penderita gawat darurat sangat
tergantung dari kecepatan dan ketepatan dalam memberikan pertolongan.
Semakin cepat pasien ditemukan maka semakin cepat pula pasien tersebut
mendapat pertolongan sehingga terhindar dari kecacatan atau kematian.
Kondisi kekurangan oksigen merupakan penyebab kematian yang
cepat. Kondisi ini dapat diakibatkan karena masalah sistem pernafasan
ataupun bersifat sekunder akibat dari gangguan sistem tubuh yang lain. Pasien
dengan kekurangan oksigen dapat jatuh dengan cepat ke dalam kondisi gawat
darurat sehingga memerlukan pertolongan segera. Apabila terjadi kekurangan
oksigen 6-8 menit akan menyebabkan kerusakan otak permanen, lebih dari 10
menit akan menyebabkan kematian.
Data morbiditas dan mortilitas yang telah dipublikasikan menunjukkan
dimana kesulitan dalam menangani jalan napas dan kesalahan dalam
tatalaksananya justru akan memberikan hasil akhir yang buruk bagi pasien
tersebut. Keenan dan Boyan melaporkan bahwa kelalaian dalam memberikan
ventilasi yang adekuat menyebabkan 12 dari 27 pasien yang sedang dioperasi
mengalami mati jantung (cardiac arrest).  Salah satu penyebab utama dari
hasil akhir tatalaksana pasien yang buruk yang didata oleh American Society
of Anesthesiologist (ASA) berdasarkan studi tertutup terhadap episode
pernapasan yang buruk, terhitung sebanyak 34% dari 1541 pasien dalam studi
tersebut.  Tiga kesalahan mekanis, yang terhitung terjadi sebanyak 75% pada
saat tatalaksanan jalan napas yaitu : ventilasi yang tidak adekuat (38%),
intubasi esofagus (18%), dan kesulitan intubasi trakhea (17%).  Sebanyak
85% pasien yang didapatkan dari studi kasus, mengalami kematian dan
kerusakan otak. Sebanyak 300 pasien (dari 15411 pasien di atas), mengalami
masalah sehubungan dengan tatalaksana jalan napas yang minimal.  Menurut
Cheney et al menyatakan beberapa hal yang menjadi komplikasi dari
tatalaksana jalan napas yang salah yaitu : trauma jalan napas, pneumothoraks,
obstruksi jalan napas, aspirasi dan spasme bronkus.  Berdasarkan data-data
tersebut, telah jelas bahwa tatalaksana jalan napas yang baik sangat penting
bagi keberhasilan proses operasi dan beberapa langkah berikut adalah penting
agar hasil akhir menjadi baik, yaitu : (1) anamnesa dan pemeriksaan fisik,
terutama yang berhubungan dengan penyulit dalam sistem pernapasan, (2)
penggunaan ventilasi supraglotik ( seperti face mask, Laryngeal Mask
Airway/LMA), (3) tehnik intubasi dan ekstubasi yang benar, (4) rencana
alternatif bila keadaan gawat darurat terjadi.
Oleh karena itu pengkajian pernafasan pada penderita gawat darurat
penting dilakukan secara efektif dan efisien dan penatalaksanaan jalan nafas
(airway management) perlu dilakukan..

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi jalan nafas?
2. Apakah yang dimaksud dengan airway management?
3. Apa saja macam-macam gangguan jalan nafas?
4. Bagaimana pengkajian jalan nafas?
5. Bagaimanakah teknik pengelolaan jalan nafas/manajemen airway?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui anatomi jalan nafas.
2. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan airway management.
3. Untuk mengetahui macam-macam gangguan jalan nafas.
4. Untuk mengetahui pengkajian jalan nafas.
5. Untuk mengetahui teknik pengelolaan jalan nafas/manajemen airway.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Anatomi Jalan Nafas


Keberhasilan pengelolaan jalan nafas diantaranya intubasi, ventilasi,
krikotirotomi dan anestesi regional untuk laring memerlukan pengetahuan detail
dari anatomi jalan nafas.

Gambar 1. Anatomi jalan nafas

Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung
yang menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (pars
oralis). Kedua bagian ini di pisahkan oleh palatum pada bagian anteriornya, tapi
kemudian bergabung di bagian posterior dalam faring (gambar 1). Faring
berbentuk U dengan struktur fibromuskuler yang memanjang dari dasar tengkorak
menuju kartilago krikoid pada jalan masuk ke esofagus. Bagian depannya terbuka
ke dalam rongga hidung, mulut, laring, nasofaring, orofaring dan laringofaring
(pars laryngeal). Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh garis imaginasi
mengarah ke posterior. Pada dasar lidah, secara fungsional epiglotis memisahkan
orofaring dari laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis mencegah terjadinya
aspirasi dengan menutup glotis- gerbang laring- pada saat menelan. Laring adalah
suatu rangka kartilago yang diikat oleh ligamen dan otot. Laring disusun oleh 9
kartilago (gambar 2) : tiroid, krikoid, epiglotis, dan (sepasang) aritenoid,
kornikulata dan kuneiforme.

Gambar 2. Anatomi Kartilago

B. Pengertian Airway Management


Airway management ialah memastikan jalan napas terbuka. Tindakan
paling penting untuk keberhasilan resusitasi adalah segera melapangkan saluran
pernapasan dengan tujuan untuk menjamin jalan masuknya udara ke paru secara
normal sehingga menjamin kecukupan oksigenasi jaringan (American Society of
Anesthesiologists, 2013).
Menurut Bingham (2008), airway management adalah prosedur medis
yang dilakukan untuk mencegah obstruksi jalan napas untuk memastikan jalur
nafas terbuka antara paru-paru pasien dan udara luar. Hal ini dilakukan dengan
membuka jalan nafas atau mencegah obstruksi jalan napas yang disebabkan oleh
lidah, saluran udara itu sendiri, benda asing, atau bahan dari tubuh sendiri, seperti
darah dan cairan lambung yang teraspirasi.
C. Macam-Macam Gangguan Jalan Nafas
Obstruksi jalan nafas dibagi menjadi 2 berdasarkan derajat sumbatan :
a. Obstruksi total
Keadaan dimana jalan nafas menuju paru-paru tersumbat total, sehingga
tidak ada udara yang masuk ke paru-paru. Terjadi perubahan yang akut
berupa hipoksemia yang menyebabkan terjadinya kegagalan pernafasan
secara cepat. Sementara kegagalan pernafasan sendiri menyebabkan
terjadinya kegagalan fungsi kardiovaskuler dan menyebabkan pula
terjadinya kegagalan SSP dimana penderita kehilangan kesadaran secara
cepat diikuti dengan kelemahan motorik bahkan mungkin pula terdapat
renjatan (seizure). Bila tidak dikoreksi dalam waktu 5 – 10 menit dapat
mengakibatkan asfiksia (kombinasi antara hipoksemia dan hipercarbi),
henti nafas dan henti jantung.
b. Obstruksi parsial
Sumbatan pada sebagian jalan nafas sehingga dalam keadaan ini udara
masih dapat masuk ke paru-paru walaupun dalam jumlah yang lebih
sedikit. Bila tidak dikoreksi dapat menyebabkan kerusakan otak. Hal yang
perlu diwaspadai pada obstruksi parsial adalah Fenomena Check Valve
yaitu udara dapat masuk, tetapi tidak keluar.

Obstruksi jalan nafas berdasarkan penyebab:


Keadaan yang harus diwaspadai adalah :
a. Trauma
Trauma dapat disebabkan oleh karena kecelakaan, gantung diri, atau kasus
percobaan pembunuhan. Lokasi obstruksi biasanya terjadi di tulang rawan
sekitar, misalnya aritenoid, pita suara dll.
1. Trauma maksilofasial
Trauma pada wajah membutuhkan mekanisme pengelolaan airway
yang agresif. Contoh mekanisme penyebab cedera ini adalah
penumpang/pngemudi kendaraan yang tidak menggunakan sabuk
pengaman dan kemudian terlempar mengenai kaca depan dan
dashboard. Trauma pada daerah tengah wajah dapat menyebabkan
fraktur-dislokasi dengan gangguan pada nasofaring dan orofaring.
2. Trauma leher
Cedera tumpul atau tajam pada leher dapat menyebabkan
kerusakan pada laring atau trakhea yang kemudian meyebabkan
sumbatan airway atau perdarahan hebat pada sistem trakheobronkial
sehingga sebegra memerlukan airway definitif. Cedera leher dapat
menyebabkan sumbatan airway parsial karena kerusakan laring dan
trakea atau penekanan pada airway akibat perdarahan ke dalam
jaringan lunak di leher.
3. Trauma laringeal
Meskipun fraktur laring merupakan cedera yang jarang terjadi, tetapi
hal ini daat menyebabkan sumbatan airway akut.

b. Benda asing, dapat tersangkut pada:


 Laring
Terjadinya obstruksi pada laring dapat diketahui melalui tanda-
tanda sebagai berikut, yakni secara progresif terjadi stridor,
dispneu, apneu, disfagia, hemopsitis, pernafasan dengan otot-otot
nafas tambahan, atau dapat pula terjadi sianosis.
 Trakea
Benda asing di dalam trakea tidak dapat dikeluarkan, karena
tersangkut di dalam rima glotis dan akhirnya tersangkut dilaring
dan menimbulkan gejala obstruksi laring
 Bronkus
Biasanya akan tersangkut pada bronkus kanan, oleh karena
diameternya lebih besar dan formasinya dilapisi oleh sekresi
bronkhus.

D. Pengkajian Jalan Nafas

LOOK:
Look untuk melihat apakah pasien agitasi/gelisah, mengalami penurunan
kesadaran, atau sianosis. Lihat juga apakah ada penggunaan otot bantu pernafasan
dan retraksi. Kaji adanya deformitas maksilofasial, trauma leher trakea, dan debris
jalan nafas seperti darah, muntahan, dan gigi yang tanggal.
 Kesadaran; “the talking patient” : pasien yang bisa bicara berarti airway
bebas, namun tetap perlu evaluasi berkala. Penurunan kesadaran memberi
kesan adanya hiperkarbia
 Agitasi memberi kesan adanya hipoksia
 Nafas cuping hidung
 Sianosis menunjukkan hipoksemia yang disebabkan oleh kurangnya
oksigenasi dan dapat dilihat dengan melihat pada kuku-kuku dan kulit
sekitar mulut
 Adanya retraksi dan penggunaan otot-otot napas tambahan yang
merupakan bukti adanya gangguan airway.
LISTEN:
Dengarkan suara nafas abnormal, seperti:
 Snoring, akibat sumbatan sebagian jalan napas setinggi faring
 Gurgling, (suara berkumur) menunjukkan adanya cairan/ benda asing
 Stridor, dapat terjadi akibat sumbatan sebagian jalan napas jalan napas
setinggi larings (Stridor inspirasi) atau setinggi trakea (stridor ekspirasi)
 Hoarseness, akibat sumbatan sebagian jalan napas setinggi faring
 Afoni, pada pasien sadar merupakan petanda buruk, pasien yang
membutuhkan napas pendek untuk bicara menandakan telah terjadi gagal
napas
FEEL:
 Aliran udara dari mulut/ hidung
 Posisi trakea terutama pada pasien trauma. Palpasi trakea untuk
menentukan apakah terjadi deviasi dari midline.
 Palpasi apakah ada krepitasi

E. Teknik Pengelolaan Jalan Nafas/Manajemen Airway


Manajemen airway/jalan napas merupakan salah satu ketrampilan khusus yang
harus dimiliki oleh dokter atau petugas kesehatan yang bekerja di Unit Gawat
Darurat. Manajemen jalan napas memerlukan penilaian, mempertahankan dan
melindungi jalan napas dengan memberikan oksigenasi dan ventilasi yang efektif.

1. Pengelolaan Jalan Nafas dengan Mengeluarkan benda asing dari jalan


nafas
Teknik Mengeluarkan Benda Asing Pada Pasien Dewasa Sadar
a. Manuver Heimlich/Abdominal Thrust (hentakan pada perut), langkah –
langkah sebagai berikut:
1) Langkah 1
 Memastikan pasien/korban tersedak, tanyakan” apakah anda
tersedak ?”
 Jika pasien/korban mengiyakan dengan bersuara dan masih dapat
bernafas serta dapat batuk, mintalah pasien/korban batuk sekeras
mungkin agar benda asing dapat keluar dari jalan napas
 Bila jalan napas pasien/korban tersumbat, dia tidak dapat berbicara,
bernapas, maupun batuk dan wajah pasien/korban kebiruan
(sumbatan total). Penolong harus segera melakukan langkah
berikutnya.
2) Langkah 2
 Bila pasien/korban berdiri penolong berdiri di belakang
pasien/korban, bila pasien/korban duduk penolong berlutut dan
berada di belakang pasien/korban.
 Letakkan satu kaki di antara kedua tungkai pasien/korban

Gambar 3. Abdominal Thrust


3) Langkah 3
 Lingkarkan lengan anda pada perut pasien/korban dan cari pusar
 Letakkan 2 jari di atas pusar
 Kepalkan tangan yang lain
 Tempatkan sisi ibu jari kepalan tangan pada dinding abdomen di
atas dua jari tadi
 Minta pasien/korban membungkuk dan genggam kepalan tangan
anda dengan tangan yang lain
 Lakukan hentakan ke arah dalam dan atas (sebanyak 5 kali )
 Periksa bilamana benda asing keluar setiap 5 kali hentakan
 Ulangi abdominal thrust sampai benda asing keluar atau
pasien/korban tidak sadar.
b. Chest Thrust (Hentakkan Dada)
Langkahnya sama dengan Manuver Heimlich bedanya pada
peletakan sisi ibu jari kepalan tangan pada pertengahan tulang dada
pasien/korban dan hentakan dilakukan hanya ke arah dalam serta posisi
kepala pasien/korban menyandar di bahu penolong.
Teknik Pertolongan Sumbatan Benda Asing Pada Pasien Dewasa Tidak
Sadar
a. Langkah 1
Posisikan pasien/korban terlentang di alas yang datar dan keras.
b. Langkah 2
1) Buka jalan napas pasien/korban dengan head tilt-chin lift
2) Periksa mulut pasien/korban untuk melihat bilamana tampak benda
asing.
3) Untuk memeriksa jalan nafas terutama di daerah mulut, dapat
dilakukan teknik Cross Finger yaitu dengan menggunakan ibu jari dan
jari telunjuk yang disilangkan dan menekan gigi atas dan bawah.
Kegagalan membuka nafas dengan cara ini perlu dipikirkan hal lain
yaitu adanya sumbatan jalan nafas di daerah faring atau adanya henti
nafas (apnea)

·         
Gambar 4. Cross Finger
4) Bila jalan nafas tersumbat karena adanya benda asing dalam rongga
mulut dilakukan pembersihan manual dengan sapuan jari (finger
sweep).

Gambar 5. Finger Sweep

c. Langkah 3
 Evaluasi pernapasan pasien/korban dengan melihat, mendengar dan
merasakan
 Bila tidak ada napas, lakukan ventilasi
 Bila jalan napas tersumbat, reposisi kepala dan lakukan ventilasi ulang
d. Langkah 4
Bila jalan napas tetap tersumbat, lakukan 30 kompresi dada (posisi
tangan untuk kompresi dada sama dengan RJP dewasa)
e. Langkah 5
Ulangi langkah 2-4 sampai ventilasi berhasil (ventilasi berhasil bila
terjadi pengembangan dinding dada)
f. Langkah 6
 Evaluasi nadi, tanda-tanda sirkulasi ketika jalan napas bebas
 Jika nadi tidak teraba, perlakukan sebagai henti jantung, lanjutkan RJP
30:2
 Jika nadi teraba, periksa pernapasan
 Jika tidak ada napas, lakukan bantuan napas 10-12x/menit (satu tiupan
tiap 5-6 detik)
 Jika nadi dan napas ada, letakkan pasien/korban pada posisi recovery
 Evaluasi nadi, tanda-tanda sirkulasi dan pernapasan tiap beberapa
menit

Teknik Pertolongan Sumbatan Benda Asing Pada Anak Dibawah 1 tahun.


Berikut langkah-langkah manuver tepukan punggung dan hentakan dada pada
bayi:
a. Posisikan bayi pada posisi menengadah dengan telapak tangan yang
berada di atas paha menopang belakang kepala bayi dan tangan lainnya
menekan dada bayi.
b. Lakukan manuver hentakkan (chest thrust) pada dada sebanyak lima kali
dengan menggunakan jari tengah dan telunjuk tangan sejajar dengan
putting susu bayi.

Gambar 6. Chest thrust untuk Anak dibawah 1 tahun

c. Lalu, balikkan bayi sehingga bayi berada pada posisi menelungkup dan
lakukan tepukan di punggung (back blow) dengan menggunakan pangkal
telapak tangan sebanyak lima kali.
Gambar 7. Tepukan Punggung (back blow) Pada Anak dibawah 1 tahun

d. Kemudian, dari posisi menelungkup, telapak tangan penolong yang bebas


menopang bagian belakang kepala bayi sehingga bayi berada di antara
kedua tangan kita (tangan satu menopang bagian belakang kepala bayi, dan
satunya menopang mulut dan wajah bayi).
e. Lakukan tepukan pada punggung bayi sebanyak 5 kali, lalu kembali
lakukan manuver hentakan/dorongan pada dada bayi dengan posisi
telungkup.

2. Pengelolaan Jalan Nafas Secara Manual


Pada pasien yang tidak sadar, penyebab tersering sumbatan jalan napas
yang terjadi adalah akibat hilangnya tonus otot-otot tenggorokan. Dalam kasus ini
lidah jatuh ke belakang dan menyumbat jalan napas ada bagian faring. Letakkan
pasien pada posisi terlentang pada alas keras ubin atau selipkan papan kalau
pasien diatas kasur. Jika tonus otot menghilang, lidah akan menyumbat faring dan
epiglotis akan menyumbat laring. Lidah dan epiglotis penyebab utama
tersumbatnya jalan nafas pada pasien tidak sadar. Untuk menghindari hal ini
dilakukan beberapa tindakan, yaitu:
a. Perasat kepala tengadah-dagu diangkat (head tilt-chin lift manuver)
Perasat ini dilakukan jika tidak ada trauma pada leher. Satu tangan
penolong mendorong dahi kebawah supaya kepala tengadah, tangan lain
mendorong dagu dengan hati-hati tengadah, sehingga hidung menghadap
keatas dan epiglotis terbuka, sniffing position, posisi hitup.
b. Perasat dorong rahang bawah (jaw thrust manuver)
Pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangakat didorong
kedepan pada sendinya tanpa menggerakkan kepala leher. Karena lidah
melekat pada rahang bawah, maka lidah ikut tertarik dan jalan nafas
terbuka.

Dalam melakukan teknik membebaskan jalan nafas agar selalu diingat


untuk melakukan proteksi Cervical-spine terutama pada pasien trauma/multipel
trauma.

Gambar 8: Teknik Head Tilt-Chin Lift Gambar 8: Teknik Jaw


Thrust
Gambar 9: Teknik Jaw Thrust

Gambar 10. Proteksi Cervical-Spine

3. Pengelolaan Jalan Nafas Dengan Alat Sederhana


Hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas pada pasien yang tidak sadar
atau dianestesi menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh kebelakang kearah dinding
posterior faring. Mengubah posisi kepala atau jaw thrust merupakan teknik yang
disukai untuk membebaskan jalan nafas. Untuk mempertahankan jalan nafas
bebas, jalan nafas buatan (artificial airway) dapat dimasukkan melalui mulut atau
hidung untuk menimbulkan adanya aliran udara antara lidah dengan dinding
faring bagian posterior (Gambar 11). Pasien yang sadar atau dalam anestesi
ringan dapat terjadi batuk atau spasme laring pada saat memasang jalan nafas
artifisial bila refleks laring masih intact.

Gambar 11. Oropharyngeal Airway dan Nasopharyngeal Airway

a. Oropharyngeal Airway (OPA)


Pemasangan oral airway kadang-kadang difasilitasi dengan penekanan
refleks jalan nafas dan kadang-kadang dengan menekan lidah dengan spatel
lidah. Oral airway dewasa umumnya berukuran kecil (80 mm/Guedel No 3),
medium (90 mm/Guedel no 4), dan besar (100 mm/Guedel no 5).
Alat bantu napas ini hanya digunakan pada pasien yang tidak sadar
bila angkat kepala-dagu tidak berhasil mempertahankan jalan napas atas
terbuka. Alat ini tidak boleh digunakan pada pasien sadar atau setengah sadar
karena dapat menyebabkan batuk dan muntah. Jadi pada pasien yang masih
ada refleks batuk atau muntah tidak diindikasikan untuk pemasangan OPA.
Gambar 12. Pemasangan OPA

Setelah pemasangan OPA, lakukan pemantauan pada pasien. Jagalah


agar kepala dan dagu tetap berada pada posisi yang tepat untuk menjaga
patensi jalan napas. Lakukan penyedotan berkala di dalam mulut dan faring
bila ada sekret, darah atau muntahan.

Perhatikan hal-hal berikut ini ketika menggunakan OPA :


o Bila OPA yang dipilih terlalu besar dapat menyumbat laring dan
menyebabkan trauma pada struktur laring.
o Bila OPA terlalu kecil atau tidak dimasukkan dengan tepat dapat
menekan dasar lidah dari belakang dan menyumbat jalan napas.
o Masukkan dengan hati-hati untuk menghindari terjadinya trauma
jaringan lunak pada bibir dan lidah.

b. Nasopharyngeal Airway (NPA)


Panjang nasal airway dapat diperkirakan sebagai jarak antara lubang
hidung ke lubang telinga, dan kira-kira 2-4 cm lebih panjang dari oral airway.
Disebabkan adanya resiko epistaksis, nasal airway tidak boleh digunakan
pada pasien yang diberi antikoagulan atau anak dengan adenoid. Juga, nasal
airway jangan digunakan pada pasien dengan fraktur basis cranii. Setiap pipa
yang dimasukkan melalui hidung (nasal airway, pipa nasogastrik, pipa
nasotrakheal) harus dilubrikasi. Nasal airway lebih ditoleransi daripada oral
airway pada pasien dengan anestesi ringan.

Gambar 13: Pemasangan Nasofaringeal Airway

4. Pengelolaan Jalan Nafas Dengan Alat Lanjutan


a. Face Mask Design dan Teknik
Penggunaan face mask dapat memfasilitasi pengaliran oksigen dari
sistem breathing ke pasien dengan pemasangan face mask dengan rapat
(gambar 15). Lingkaran dari face mask disesuaikan dengan bentuk muka
pasien. Face mask yang transparan dapat mengobservasi uap gas ekspirasi dan
muntahan.
Ventilasi yang efektif memerlukan jalan nafas yang bebas dan face
mask yang rapat/tidak bocor. Teknik pemasangan face mask yang tidak tepat
dapat menyebabkan reservoir bag kempis walaupun klepnya ditutup, hal ini
menunjukkan adanya kebocoran sekeliling face mask. Sebaliknya, tekanan
sirkuit breathing yang tinggi dengan pergerakan dada dan suara pernafasan
yang minimal menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.
Gambar 14. Face mask dewasa

Gambar 15. Teknik memegang face mask dengan satu tangan


Gambar 16. Difficult airway dapat diatasi dengan
teknik memegang dengan dua tangan

Pada situasi yang sulit, diperlukan dua tangan untuk mendapatkan jaw thrust
yang adekuat dan face mask yang rapat. Karena itu diperlukan seorang asisten
untuk memompa bag (gambar 16).

b. Laryngeal Mask Airway (LMA)


LMA memiliki kelebihan istimewa dalam menentukan penanganan kesulitan
jalan nafas. LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain face mask atau
TT. Kontraindikasi untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring
(misalnya abses), sumbatan faring, lambung yang penuh (misalnya kehamilan,
hernia hiatal), atau komplians paru rendah (misalnya penyakit restriksi jalan
nafas) yang memerlukan tekanan inspirasi puncak lebih besar dari 30 cm H 2O.
Walaupun LMA tidak sebagai penganti untuk trakheal intubasi, LMA
membuktikan sangat membantu terutama pada pasien dengan jalan nafas yang
sulit (yang tidak dapat diventilasi atau diintubasi) disebabkan mudah untuk
memasangnya dan angka keberhasilannya relatif besar (95-99%).
Gambar 17. Pemasangan LMA

c. Intubasi dengan Endotrakeal Tube (ETT)


ETT telah dimodifikasi untuk berbagai penggunaan khusus. Pipa yang lentur,
spiral, wire – reinforced TT (armored tubes), tidak kinking dipakai pada
operasi kepala dan leher, atau pada pasien dengan posisi telungkup. Jika pipa
lapis baja menjadi kinking akibat tekanan yang ekstrim (contoh pasien bangun
dan menggigit pipa), lumen pipa akan tetutup dan pipa TT harus diganti.

Gambar 18. Endotrakeal Tube


d. Combitube
Pipa kombinasi esophagus – tracheal (ETC) terbuat dari gabungan 2 pipa,
masing-masing dengan konektor 15 mm pada ujung proksimalnya. Meskipun
pipa kombinasi masih rerdaftar sebagai pilihan untuk penanganan jalan nafas
yang sulit dalam algoritma Advanced Cardiac Life Support, biasanya jarang
digunakan oleh dokter anestesi yang lebih suka memakai LMA atau alat lain
untuk penanganan pasien dengan jalan nafas yang sulit.

Gambar 19. Pemasangan Combitude


5. Pengelolaan Jalan Nafas Dengan Pengisapan Benda Cair (suctioning)
Bila terdapat sumbatan jalan nafas oleh benda cair. Pengisapan dilakukan
dengan alat bantu pengisap (pengisap manual atau dengan mesin)
6. Pengelolaan Jalan Nafas dengan Tindakan Operasi
Metode bedah untuk manajemen jalan napas mengandalkan membuat
sayatan bedah dibuat di bawah glotis untuk mencapai akses langsung ke
saluran pernapasan bagian bawah, melewati saluran pernapasan bagian atas.
Manajemen jalan napas bedah sering dilakukan sebagai upaya terakhir dalam
kasus di mana Orotracheal dan intubasi nasotrakeal tidak mungkin atau
kontraindikasi. Manajemen jalan napas bedah juga digunakan ketika
seseorang akan membutuhkan ventilator mekanik untuk jangka waktu lama.
Metode bedah untuk manajemen jalan napas termasuk cricothyrotomy
dan trakeostomi. Cricothyrotomy adalah sayatan dilakukan melalui kulit dan
membran krikotiroid untuk membangun jalan napas paten selama situasi yang
mengancam jiwa tertentu, seperti obstruksi jalan napas oleh benda asing,
angioedema, atau trauma wajah besar. Cricothyrotomy hampir selalu
dilakukan sebagai jalan terakhir dalam kasus di mana Orotracheal dan intubasi
nasotrakeal tidak mungkin atau kontraindikasi. Cricothyrotomy lebih mudah
dan lebih cepat untuk dilakukan daripada tracheostomy, tidak memerlukan
manipulasi tulang belakang leher dan berhubungan dengan komplikasi yang
lebih sedikit.
Tracheostomy adalah pembukaan operasi dibuat dari kulit leher ke
trakea. Sebuah tracheostomy di mana seseorang akan perlu berada di
ventilator mekanik untuk jangka waktu lama. Keuntungan dari tracheostomy
termasuk risiko kurang dari infeksi dan kerusakan trakea seperti trakea
stenosis.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengelolaan jalan nafas atau airway management adalah prosedur
medis yang dilakukan untuk mencegah obstruksi jalan napas untuk
memastikan jalur nafas terbuka antara paru-paru pasien dan udara luar. Hal ini
dilakukan dengan membuka jalan nafas atau mencegah obstruksi jalan napas
yang disebabkan oleh lidah, saluran udara itu sendiri, benda asing, atau bahan
dari tubuh sendiri, seperti darah dan cairan lambung yang teraspirasi.
Obstruksi jalan nafas terbagi menjadi 2 yaitu obstruksi total dan
parsial. Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu
hidung yang menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju
orofaring (pars oralis). Hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas (misalnya
kelemahan dari otot genioglosus) pada pasien yang dianestesi menyebabkan
lidah dan epiglotis jatuh kebelakang kearah dinding posterior faring.
Pemasangan oral airway kadang-kadang difasilitasi dengan penekanan refleks
jalan nafas dan kadang-kadang dengan menekan lidah dengan spatel lidah.
Untuk menghilangkan sumbatan pada jalan nafas agar jalan nafas
dapat terbuka sehingga udara dapat masuk ke paru-paru dilakukan tatalaksana
jalan nafas yang terdiri dari pengeluaran benda asing/sumbatan dari saluran
pernafasan menggunakan teknik heimlich manuver dan abdominal thrust pada
pasien sadar dan cross finger dan finger sweep pada pasien tidak sadar;
pengelolaan jalan nafas dengan teknik manual yaitu head-tilt chin lift untuk
pasien non trauma servikal dan jaw thrust untuk pasien yang mengalami
trauma servikal; pengelolaan jalan nafas dengan bantuan alat sederhana yaitu
Oropharyngeal airway (OPA) dan Nasopharyngeal Airway; pengelolaan jalan
nafas dengan alat lanjutan yaitu bag valve mask, Laryngeal Mask Airway
(LMA), combitube, intubasi dengan ETT. Lalu jika prosedur invasif tersebut
tidak berhasil, maka akan dilakukan tindakan pembedahan untuk membuka
jalan nafas, yaitu dengan krikotiroidektomi dan trakeostomi. Manajemen jalan
napas bedah sering dilakukan sebagai upaya terakhir dalam kasus di mana
Orotracheal dan intubasi nasotrakeal tidak mungkin atau kontraindikasi.

B. Saran
Manajemen jalan nafas atau airway management merupakan tatalaksana
pasien yang sangat penting untuk diperhatikan dan dilakukan dengan tepat
sehingga penatalaksanaan pada pasien yang mengalami gangguan pada jalan
nafas dapat teratasi. Diperlukan keterampilan dari pemberi pertolongan dan
pemberi pelayanan primer terutama di ruang gawat darurat dan ruang intensif.
Pelatihan mengenai tatalaksana jalan nafas sangat dibutuhkan untuk
meningkatkan keterampilan dalam penanganan pasien.
DAFTAR PUSTAKA

American Society of Anesthesiologists, 2013. Practice Guidelines for


Management of the Difficult Airway-An Updated Report by the American
Society of Anesthesiologists Task Force on Management of the Difficult
Airway. Jurnal American Society of Anesthesiologists vol.118 no.2.

Bingham, Robert M.; Proctor, Lester T. 2008. Airway Management. Pediatric


Clinics of North America. 55 (4): 873–886. Diakses dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18675024 pada 11 Oktober 2016. 

Manchini, Mary E. 2000. Prosedur Keperawatan Darurat.Jakarta: EGC

Morgan GE et al. 2006.Clinical Anesthesiology. 4th edition. New York: Lange


Medical Book.

Ollerton, JE. 2007. Adult Trauma Clinical Practice Guidelines, Emergency


Airway Management in the Trauma Patient. NSW Institute of Trauma and
Injury Management. Diunduh dari http://www.itim.nsw.gov.au pada 11
Oktober 2016.

Prasenohadi. 2010. Manajemen Jalan Napas; Pulmonologi Intervensi dan


Gawat Darurat Napas. Jakarta: FK UI.

Wilson WC, Grande CM, Heyt DB. 2007. Trauma Emergency Resuscitation
Perioprative Anesthesia Surgical Management Volume 1. New York: Informa
Health Care.

Anda mungkin juga menyukai