Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Apendisitis atau usus buntu dalam bahasa masyarakat adalah kondisi dimana

infeksi terjadi di umbai cacing. Biasanya dalam kasus ini terjadi peradangan pada

umbai cacing jika terinfeksi ringan bisa sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak

kasus yang memerlukan laparatomi atau pembedahan dengan pengangkatan umbai

cacing yang terinfeksi (Sjamsuhidajat 2010).

Apendisitis adalah salah satu penyakit pencernaan yang biasanya nyeri akut

pada perut. Jika nyeri sudah tidak tertahankan lagi tidak di lakukan penanganan akan

mengakibatkan abses, dan seiringan dengan hal tersebut badan mengalami kenaikan

suhu tinggi, dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri dan teraba adanya massa di

perut.

Komplikasi utama dari apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat

mengarahpada peritonitis atau pembentukan abses (tertampungnya materi purulen).

Jika terjadi perforasi maka akan terjadi kenaikan suhu dan frekuensi nadi,

bertambahnya nyeri dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka

leukositosis. Hal ini akan menyebabkan terjadinya syok septik, tromboflebitis

supuratif, atau flebitis portal (Brunner & Sudarth, 2013;

Mansjoer,2003;Sjamsuhidajat,2010).

Keluhan yang sering dikemukakan setelah dilakukan operasi adalah nyeri.

Nyeri merupakan respon emosional yang tidak menyenangkan dari individu yang

menggambarkan adanya gangguan maupun kerusakan jaringan. Nyeri akut yang

dirasakan pasca operasi merupakan penyebab stres dan gelisah yang mengalami

gangguan tidur, cemas, tidak nafsu makan, takut bergerak dan ekspresi tegang

(Potter & Perry 2010). Dampak nyeri post operasi akan meningkatkan stres post

1
operasi. Kontrol nyeri sangat penting setelah operasi, nyeri yang dibebaskan dapat

mengurangi kecemasan, bernafas lebih mudah dan dalam, dapat mentoleransi

mobilisasi yang cepat (Smeltzer&bare, 2013).

Penatalaksanaan nyeri biasanya digunakan manajemen secara farmakologi

atau obat-obatan diantaranya yaitu analgesik. Sedangkan tindakan non farmakologi

yaitu berupa teknik relaksasi yang penggunaannya efektif karena dapat menurunkan

nyeri dengan merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri. Tindakan paliatif

yang dilakukan pada klien dengan post apendiktomi memberikan motivasi dan

dukungan kepada klien agar nyeri dapat berkurang, tinjauan lain adalah kontrol nyeri

menggunakan teknik relaksasi tidak ada efek samping (Tamsuri, 2007).

Dampak dari nyeri adalah peningkatan tekanan darah, nadi dan pernafasan

karena nyeri akan menginiisiasi atau memacu peningkatan aktivitas saraf simpatis

(Kozier & Erb,2009). Dampak lain dari nyeri berupa respon emosi seperti cemas,

takut, depresi, dan tidak mempunyai harapan. Hal tersebut terjadi karena klien yang

mengalami nyeri yang cenderungmengalami keputusan dan ketidak berdayaan

karena berbagai pengobatan tidak membantu pengurangan nyerinya sehingga

berdampak pada gangguan psikososial seperti menarik diri dan menganggap dirinya

tidak berhasil (Smeltzer&Bare, 2013).

Dampak dari nyeri adalah peningkatan tekanan darah, nadi dan pernafasan karena

nyeri akan menginiisiasi atau memacu peningkatan aktivitas saraf simpatis

(Kozier & Erb,2009). Dampak lain dari nyeri berupa respon emosi seperti cemas,

takut, depresi, dan tidak mempunyai harapan. Hal tersebut terjadi karena klien

yang mengalami nyeri yang cenderung mengalami keputusan dan ketidak

berdayaan karena berbagai pengobatan tidak membantu pengurangan nyerinya

sehingga berdampak pada gangguan psikososial seperti menarik diri dan


2
menganggap dirinya tidak berhasil (Smeltzer&Bare, 2013).

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimanakah Asuhan Keperawatan yang dilakukam pada pasien dengan fokus stud Nyeri
post operasi apendiktomi.
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian Apendiks
2. Mengetahui Penyebab Apendiks
3. Mengetahui Etiologi Post Apendiktomi
4. Mengetahui Manifestasi Klinis Apendiktomi
5. Mengetahui Patofisiologi Post Apendiktomi
6. Mengetahui komplikasi apendiktomi

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Post Apendiktomi


2.1.1 Definisi Apendiks

Apendisitis adalah pembengkakan usus buntu yang menyakitkan.

Apendiks adalah kantong kecil dan tipis dengan panjang sekitar 5 hingga 10 cm

(2 hingga 4 inci) yang terhubung ke usus besar, di mana kotoran terbentuk.

Apendisitis juga mcrupakan peradangan pada usus buntu dengan keadaan darurat

medis yang hamper selalu membutuhkan pembedahan sesegera mungkin untuk

mengangkat usus buntu (Eqlima Elfira et al., 2021)

2.1.2 Penyebab Apendiks

Penyebab radang usus buntu atau appendiks karena adanya penyumbatan

lumen atau rongga appendiks oleh (fecalith),pembesaran kelenjar sekitar

apendiks, tumor dan benda asing bisa berupa biji-bijian yang akan menyebabkan

infeksi. Sumbatan apendiks mengakibatkan produksi lendir mukosa appendiks

tidak bisa masuk caecum,sehingga mengakibatkan ditensi lumen apendiks akan

mengberi keluhan mual, mutah, daneri pada ulu hati karena persarafan visceral

aflerent masuk ke medula spinalis setinggi segmen thorakalis. Tekanan pada

dingding apendiks yang meningkat akan mengakibatkan perpindahan kuman dari

lumen apendiks ke dinding apendiks, sehingga akan terjadi peradangan dinding

dan jaringan sekitar (infiltrat) atau terkumpulaya pus di sekitir apendiks (abses)

dan akan memberikan keluhan nyeri pada kanan bawah. Peningkatan tekanan

dinding apendiks juga akan mengganggu aliran penbuluh darah arteri din vena,

sehingga terjadi edema, nekrasis/ kematian jaringan dan berakibat kebocoran

4
atau perlorasi apendiks. (Yuda, 2017)

2.1.3 Definisi Post Apendiktomi

Apendiktomi adalah tindakan pembedahan untuk mengangkat apendiks

yang dilakukan untuk menurunkan risiko perforasi (Hartawan & Dkk, 2020).

Apendiktomi adalah pengobatan melalui prosedur tindakan operasi hanya untuk

penyakit apendisitis atau menghilangkan atau mengangkat usus buntu yang

sudah terinfeksi (Wainsani & Khoiriyah, 2020). Apendektomi merupakan

prosedur dimana dapat menyebabkan nyeri (Lubis, 2019).

2.1.4 Etiologi Post Apendiktomi

Penyebab dilakukannya tindakan pembedahan apendisitis dikarena

apendiks mengalami peradangan. Peradangan yang terjadi pada apendiks dapat

menyebabkan distensi dan infeksi apabila tidak dilakukan tindakan pembedahan.

Faktor lainnya yang menyebabkan apendisitis yaitu adanya sumbatan pada

lumen yang disebabkan karena adanya hiperplasia limfe,fekalit, tumor apendiks

dan cacing akaris, selain itu apendisitis juga bisa terjadi akibat adanya erosi

mukosa apendiks karena parasit seperti E. Histolytica (Eqlima Elfira et al.,

2021).

2.1.5 Manifestasi Klinis Apendiktomi

Klien yang dilakukan tindakan apendiktomi akan muncul berbagai

manisfestasi klinis antara lain (Wijaya, A. S., 2013):

a. Mual dan muntah

b. Perubahan tanda-tanda vital


5
c. Nafsu makan menurun

d. Nyeri tekan pada luka operasi

e. Gangguan integritas kulit

f. Kelelahan dan keterbatan dalam melakukan aktivitas perawatan diri

g. Demam tidak terlalu tinggi

h. Biasanya terdapat konstipasi dan terkadang mengalami diare.

2.1.6 Patofisiologi Post Apendiktomi


Apendiktomi disebabkan oleh adanya bakteri sekresi mucus sehingga

terjadi distensi lumen dan peningkatan tekanan dinding lumen. Tekanan yang

meningkat mengakibatkan aliran limfe terhambah sehingga menimbulkan

edema,diapedesis vakteri dan pulserasi mukosa. Pada saat tersebut, terjadi

apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri periumbilical. Sekresi mukus

yang terjadi terus berlanjut dan tekanan yang meningkat mengakibatkan

obstruksi vena, peningkatan edama, dan pertumbuhan bakteri yang menimbulkan

radang. Peradangan yang timbul meluas dan menganai peritoneum yang

mengakibatkan nyeri pada daerah bagian bawah kanan.(Nurlina, 2020).

2.1.7 Komplikasi Post Apendiktomi

Komplikasi setelah dilakukannya pembedahan apendiktomi menurut

(Eqlima Elfira et al., 2021) yaitu

1. Pentonitis

Jika usus buntu pecah,lapisan perut (peritoneum) akan terinfeksi

bakteri.Ini disebut peritonitis.Hal ini dapat merusak organ dalam dengan

gejala peritonitis dapat meliputi: sakit perut terus menerus yang

parah,suhu tinggi,detak jantung yang cepat, sesak napas dengan napas


6
cepat,dan pembengkakan perut.Jika peritonitis tidak segera diobati, dapat

menyebabkan masalah jangka panjang dan bahkan bisa berakibat fatal.

Perawatan untuk peritonitis biasanya melibatkan antibiotik dan

pembedahan untuk mengangkat usus buntu .

2. Abses

Terkadang abses terbentuk di sekitar usus buntu yang pecah. Ini

adalah kumpulan nanah yang menyakitkan yang terbentuk ketika tubuh

mencoba melawan infeksi. Dalam kasus yang jarang terjadi (sekitar 1 dari

500).abses dapat terbentuk sebagai komplikasi pembedahan untuk

mengangkat usus buntu.Abses terkadang dapat diobati dengan

menggunakan antibiotik, tetapi dalam kebanyakan kasus nanah perlu

dikeluarkan dari abses. Ini dapat dilakukan di bawah bimbingan ultrasound

atau CT. Pasien akan diberikan anestesi lokal dan jarum akan dimasukkan

melalui kulit, diikuti dengan penempatan saluran pembuangan. Jika abses

ditemukan selama operasi, area tersebut dicuci dengan hati-hati dan

antibiotik diberikan

3. Adhesi

Adhesi bisa menjadi lebih besar atau lebih ketat dari waktu ke

waktu.Masalah dapat terjadi jika perlengketan menyebabkan organ atau

bagian tubuh memutar.tarik keluar dari posisi,tidak dapat bergerak secara

normal. Risiko pembentukan perlengketan tinggi setelah operasi usus atau

organ kewanitaan. Pembedahan menggunakan laparoskop cenderung

menyebabkan perlengketan daripada operasi terbuka. Penyebab lain dari

perlengketan di perut atau panggul meliputi: apendisitis, paling sering saat

usus buntu pecah.


7
4. Perforasi
Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah gangren

yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi

peritonitis umum.Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi

dikelilingi oleh jaringan nekrotik. Apendisitis adalah peradangan dari

apendiks veriformis dan merupakan penyebab abdomen akut. Apendiks

memiliki panjang sekitar 6 cm sampai 9 cm pada orang dewasa 20-30

tahun. Dasar apendiks melekat pada sekum dan ujungnya memiliki

beberapa posisi seperti retrosekal, pelvis, antesekal, preileal, retroileal,

atau perikolik kanan. Prevalensi apendisitis lebih banyak di negara maju

dari pada Negara berkembang, disebabkan karena masyarakat di negara

maju kurang mengkonsumsi makanan berserat tinggi sehingga terjadi

pembentukan fase fekalit lalu menjadi obstruksi lumen yang akan

menyebabkan penyakit apendisitis.

5. Massa apendikular

Massa apendiks adalah tumor inflamasi yang terdiri dari apendiks

yang meradang. visera yang berdekatan, dan omentum mayor,sedangkan

abses adalah massa apendiks yang mengandung nanah. Pasien didiagnosis

dengan pemeriksaan fisik, computed tomography (CT),dan USG.

6. Infeksi luka operasi apendiktomi

Infeksi luka operasi (ILO) merupakan salah satu dari tiga infeksi

tersering yang didapat di rumah sakit, dengan rata-rata mencapai 14-16%

dan yang merupakan infeksi yang paling sering terjadi pada pasien post

operasi. Hampir dua pertiga angka kejadian ILO terbatas pada luka insisi

8
operasi dan hanya sepertiga yang juga melibatkan organ atau bagian

anatomi lain yang terlibat saat operasi. ILO juga sering terjadi setelah

operasi appendectomyterutama pada appendisitis yang kompleks

lgangrenosa dan rupture) dengan angka kejadian mencapai 9-53%.

Dimana dengan nyeri.waktu tinggal di rumah sakit dan biaya.Di Rumah

Sakit Sanglah sendiri belum ada penelitian yang meunujukan angka

kejadian ILO post appendectomy, maupun faktor risiko terjadinya ILO.

9
Pathway

pathway

gg. integritas
kulit/jringan

Nyeri akut Defisit


pengetahuan

Risiko infeksi

Intoleransi
Risiko difisit nutrisi Risiko difisit nutrisi
aktifitas

Defisit perawatan diri

10
2.2 Konsep Dasar Nyeri Akut Post Apendiktomi

2.2.1 Definisi Nyeri

Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak

menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensial. Nyeri

mempunyai sifat yang subjektik, tidak ada parameter yang pasti untuk menilai

apakah seseorang mengalami nyeri atau tidak Nyeri akut yang dirasakan pasca

operasi merupakan penyebab stres dan gelisah yang menyebabkan mengalami

gangguan tidur, tidak nafsu makan, cemas dan ekspresi wajah yang tegang.

(Tasmin, 2020)

2.2.2 Klasifikasi Nyeri


Nyeri dapat dibedakan berdasarkan menjadi beberapa jenis, yaitu nyeri

somatik, nyeri menjalar (referent pain), ,nyeri phantom dan nveri neurologis

(Musrifatul & Aziz, 2021):

1. Nyeri somatik yaitu nyeri yang disebabkan oleh rusaknya jaringan kulit

dan jaringan bawah kulit seperti otot dan tulang.

2. Nyeri menjalar yaitu nyeri yang terasa dibagian tubuh lain, yang umumnya

disebabkan oleh kerusakan atau cedera pada organ visceral.

3. Nyeri neurologis yaitu bentuk nyeri tajam yang disebabkan oleh spasme di

sepanjang atau di beberapa jalur saraf.

4. Nyeri phantom yaitu nyeri yang dirasakan pada bagian tubuh yang hilang,

contohnya pada bagian kaki yang sebenarnya sudah diamputasi

2.2.3 Karakteristrik Nyeri

Karakteristrik nyeri meliputi lokasi nyeri, penyebaran nyeri, dan

kemungkinan penyebaran, durasi (menit, jam, hari, bulan, tahun) seperti irama
11
yang terus menerus, hilang timbul. Nyeri yang bisa membuat periode bertambah

atau berkurangnya intensitas nyeri. Pengkajian karakteristik nyeri yaitu dengan

metode P, Q, R, S, T.

Beberapa pengkajian karakteristik nyeri ada beberapa tahap meliputi

metode PQRST, tahap pertama pengkajian faktor pencetus, tahap kedua

pengkajian kualitas, tahap ketiga pengkajian letak lokasinya, tahap keempat

pengkajian bagaimana tingkat keparahan, dan yang terakhir adalah pengkajian

berapa lama waktu saat terjadi nyeri tersebut.

Factor pencetus (P: Provocate) Perawata mengkaji tentang penyebab atau

stimulasi-stimulai nyeri pada klien, dalam hal ini perawat juga dapat

melakukakan observasi bagian bagian tubuh yang mengalami cedera. apabila

perawat mencurigai adanya nyeri psikogonik maka perawat harus dapat

mengeksplore perasan klien dan menanyakan perasaan-perasaan apa yang dapat

mencetuskan nyeri.

Kualitas (Q: Quality) Kualitas nyeri merupakan sesuatu yang subektif

yang diungkapkan oleh klien, sering kali klien mendeskripsikan nyeri dengan

kalimat kalimat: tajam, tumpul, berdenyut, berpindah-pindah, seperti tertindih,

perih, tertusuk dan lain-lain, dimana tiba-tiba klien mungkin berbeda beda

dalam melaporkan kualitas yabng dia rasakan

Lokasi (R: Region) Untuk mengkaji lokasi nyeri maka perawat meminta

klien untuk menunjukkan semua bagian/daerah yang dirasakan tidak nyaman

oleh klien. Untuk melokalisasi nyeri lebih spesifik, maka perawat dapat meminta

klien untuk melacak daerah nyeri dari titik yang paling nyeri, kemungkinan hal

ini akan sulit apabila nyeri yang dirasakan bersifat difus (menyebar).

Keparahan (S: Severe) Tingkat keparahan pasien tentang nyeri merupakan


12
karateristik yang paling subektif. Pada pengkajian ini klien diminta untuk

menggambarkan nyeri ringan, nyeri sedang, atau berat.

2.2.4 Bentuk Nyeri


Berdasarkan bentuknya nyeri dibedakan menjadi dua, yaitu nyeri akut

dan nyeri kronis.

1. Nyeri Akut

Nyeri akut merupakan pengalaman sensorik atau emosional yang

berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset

mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang

berlangsung kurang dari tiga bulan. Penyebab nyeri akut yaitu; agen

pencedera fisiologis (mis. inflamasi, iskemia,neoplasma),agen pencedera

kimiawi (mis. terbakar, bahan kimia iritan) dan agen pencedera fisik (mis.

abses,amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat berat, prosedur operasi,

trauma, latihan fisik berlebihan) Nyeri akut sering ditandai dengan tampak

meringis, bersikap protektif (mis. waspada, posisi menghindari nyeri),

gelisah, frekuensi nadi meningkat, sulit tidur, tekanan darah meningkat,

pola napas berubah, nafsu makan berubah, proses berfikir terganggu,

menarik diri, berfokus pada diri sendiri dan diaforesis (berkeringat)(Tim

Pokjal SDKI PPNI, 2018)(Tim Pokjal SDKI PPNI, 2018)

2. Nyeri Kronis

Nyeri kronik merupakan pengalaman sensorik atau emosional

yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional dengan

onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat dan

konstan yang berlangsung lebih dari tiga bulan.Nyeri kronik ditandi

dengan mengeluh nyeri, merasa depresi ( tertekan), merasa takut

13
mengalamai cedera berulang, tampak meringgis, gelisah, tidak mampu

menuntaskan aktivitas, bersikap protektif (menghindari posisi nyeri),

waspada, pola tidur berubah,anoreksia,focus menyempit dan berfokus

pada diri sendiri.(Tim Pokjal SDKI PPNI, 2018)

2.2.5 Patofisiologi Nyeri Akut pada Post Apendiktomi

Rangsangan nyeri diterima oleh nociceptors pada kulit bisa intesitas

tinggi maupun rendah seperti peregangan, suhu dan lesi jaringan. Sel yang

mengalami nekrotik akan merilis K+ dan protein intraseluler . Peningkatan kadar

K+ ekstraseluler akan menyebabkan depolarisasi nociceptor, sedangkan protein

pada beberapa keadaan akan menginfiltrasi mikroorganisme sehingga

menyebabkan peradangan / inflamasi. Akibatnya, mediator nyeri dilepaskan

seperti leukotrien, prostaglandin E2, dan histamin yang akan merangasng

nosiseptor sehingga rangsangan berbahaya dan tidak berbahaya dapat

menyebabkan nyeri (hiperalgesia atau allodynia). Selain itu lesi juga

mengaktifkan faktor pembekuan darah sehingga bradikinin dan serotonin akan

terstimulasi sehingga merangsang nosiseptor. Jika terjadi oklusi pembuluh darah

maka , akan terjadi iskemia yang menyebabkan akumulasi K + ekstraseluler dan

H +
yang selanjutnya mengaktifkan nosiseptor. Histamin, bradikinin, dan

prostaglandin E2 memiliki efek vasodilator yang meningkatkan permeabilitas

pembuluh darah. Hal ini menyebabkan edema lokal, tekanan jaringan

meningkat dan juga terjadi perangsangan nosiseptor. Bila nosiseptor terangsang

maka mereka melepaskan substansi peptida P (SP) dan kalsitonin gen terkait

peptida (CGRP), yang akan merangsang proses inflamasidan juga menghasilkan

vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Vasokonstriksi

(oleh serotonin), diikuti oleh vasodilatasi, dan bertanggung jawab untuk serangan
14
migrain . Peransangan nosiseptor inilah yang menyebabkan nyeri. (Bahrudin,

2017)

2.2.6 Faktor-faktor yang memperngaruhi nyeri


Terdapat berbagi faktor yang dapat mempengaruhi persepsi dan reaksi

individu terhadap nyeri (Dewi, 2021) diantaranya:

1. Usia

Usia merupakan variable yang paling penting dalam

mempengaruhi nyeri pada individu. Anak belum bisa

mengungkapkan nyeri, sedangkan orang dewasa kadang

melaporkan nyeri jika sudah ada patologis dan mengalami

beberapa kerusakan fungsi Pada lansia cenderung memendam

nyeri yang dialami, karena mereka menganggap nyeri adalah hal

alamiah yang harus dijalani

2. Jenis kelamin

Pada umumnya hasil penelitian memberikan informasi

tentang jenis kelamin dalam mempengaruhi rasa nyeri yang

berbeda-beda.Penelitian terbaru menunjukkan bahwa wanita

merasakan nyeri dengan intensitas lebih tinggi dibandingkan pria.

15
3. Kebudayaan

Orang belajar budayanya,bagaimana seharusnya mereka

berespons terhadap nyeri misalnya seperti suatudaerah menganut

kepercayaan nyeri adalah akibat yang harus diterima karena

mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika

ada nyeri. Budaya sangat mempengaruhi makna nyeri baik itu

reaksi verbal dan nonverbal terhadap nyeri dan juga nilai-nilai

yang terdapat dalam suatu budaya itu sendiri, budaya juga

mengajarkan bagaimana seharusnya sikap seseorang mentolerir

nyeri dan mengekspresikannyeri

4. Makna nyeri

Makna nyeri pada sescorang mempengaruhi pengalaman

nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Pengalaman

seseorang terhadap nyeri dan bagaimana cara mengatasinya

sangat berpengaruh terhadap respons nyeri. Intensitas rasa nyeri

seseorang bergantung pula pada pengalaman nyeri dimasa

lalunya, apakah nveri itu tertangani adekuat atau sebaliknya.

Seseorang yang memilki pengalaman nyeri yang, lebih lama

termasuk kronik pada kanker akan memiliki toleranst yang, lebih

terhadap rase nyeri yang timbul.

2.2.7 Tanda dan Gejala Nyeri Akut


Menurut (Tim Pokjal SDKI PPNI, 2018) tanda dan gejala nyeri

akut disajikan dalam tabel berikut

16
Table 1
Tanda Gejala Mayor dan Minor Nyeri Akut

Gejala dan Tanda Mayor Gejala dan Tanda Minor


Mengeluh nyeri Tekanan darah meningkat
Tampak meringis Pola napas berubah
Bersikap protektif (mis. Waspada, Nafsu makan berubah

posisi menghindari nyeri)


Gelisah Proses berpikir terganggu
Frekuensi nadi meningkat Menarik diri
Sulit tidur Berfokus pada diri sendiri
Diaforesis

(Sumber: (Tim Pokjal SDKI PPNI, 2018)

2.2.8 Pengukuran Nyeri


Pengukuran nyeri merupakan pengukuran satu dimensional saja (one-

demensional) atau pengukuran berdemensi ganda (multi-demensional). Pada

pengukuran satu dimensional umumnya hanya mengukur pada satu aspek nyeri saja,

sedangkan pengukuran multi-demensional dimaksudkan tidak hanya terbatas pada

aspek sensosik belaka, namun juga termasuk pengukuran dari segi afektif atau bahkan

proses evaluasi nyeri dimungkinkan oleh metode ini. Pengukuran nyeri dibagi

menjadi 5 yaitu, pengukuran nyeri secara kategorikal, secara numerical, visual

analogue, pengukuran nyeri menggunakan alat elektromekanikal, dan skala nyeri

menurut bousbanis. (Aru W.Sudoyo, 2010)

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan kolabolasi 2 metode yaitu dengan

menggunakan skalah nyeri secara numerical dan skala nyeri menurut bourbanis.

Numerical Rating Scale (NRS) merupakan pengukuran nyeri di mana kepada pasien

diminta untuk memberikan angka 1 sampai 10. Nol diartikan sebagaitidak ada nyeri

17
sedangkan angka 10 diartikan sebagai rasa nyeri yang hebat dan tidak tertahankan

oleh pasien. Pengukuran ini lebih mudah dipahami pasien baik bila kepada pasien

tersebut diminta secara lisan atau mengisi form kuesioner. Angaka 0 menunjukkan

tidak terdapat rasa nyeri sedangkan 10 menandakan nyeri yang sangat hebat dan tidak

tertahankan. (Aru W.Sudoyo, 2010)

Gambar 1 Pengukuran Nyeri Numerical Rating Scale ( NRS)

Skala nyeri menurut bourbanis merupakan cara pengukuran yang hampir sama

dengan NRS akan tetapi kategori lebih diperjelas dan memudahkan perawat dalam

melakukan pengkajian.

Gambar 2 Skala Nyeri Menurut Bourbanis


Keterangan:

0 : tidak nyeri

1-3 : nyeri ringan, secara objektif klien dapat berkomunikasi dengan baik

4-6 : nyeri sedang, secara objektif klien mendesis, menyeringai, dapat

menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dan dapat mengikuti perintah

18
dengan baik

7-9 : nyeri berat, secara objektif klien terkadang tidak dapat mengikuti

perintah tapi masih respons terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak

dapatmendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi napas panjang dan

distraksi

10 : nyeri berat tidak terkontrol, klien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,

memukul (Wahit Iqbal Mubarak, 2015).

2.3 Pengelolaan Nyeri Akut Pada Pasien Post Apendiktomi

2.2.2 Pengelolaan nyeri

Pengelolaan nyeri merupakan suatu tindakan untuk meredakan nyeri.

Mengontrol nyeri sangat penting dilakukan pada pasien post operasi. Nyeri yang

terkontrol dapat mengurangi kecemasan, bernafas lebih mudah dan dalam, dan

dapat mentoleransi mobilisasi yang cepat.(Aswad, 2020). Salah satu intervensi

yang dilakukan dalam pengelolaan nyeri yaitu manajemen nyeri. Manajemen

nyeri dibagi menjadi dua bagian, yaitu manajemen farmakologis dan manajemen

non farmakologis.

1. Manajemen Farmakologis

Manajemen farmakologi atau dengan obat-obatan merupakan

bentuk pengendalian yang sering digunakan. Obat-obatan analgesik dapat

digunakan, terdapat dua macam anagesik yaitu analgesik ringan seperti

aspirin atau salisilat, parasetamol dan NSAID, sedangkan analgesik kuat

yaitu antara lain morfin, petidin, dan metadon. (Mayasari, 2016).

19
Jenis -jenis analgetik menurut (Handayani et al., 2019) yaitu:

1) Katerolak

Ketorolak adalah analgetik yang sering diberikan hampir pada

setiap tingkatan nyeri tanpa penilaian derajat nyeri terlebih dahulu.

Akan tetapi sebaiknya pemberian analgetik pada penanganan nyeri

dilakukan penilaian deajat nyeri terlebih dahulu, karena pertimbangan

jenis dan intensitas nyeri penting dalam penilaian efek dari analgetik.

Ketorolak termasuk dalam golongan NSAID, dimana secara umum

NSAID ini mempunyai mekanisme kerja mempengaruhi sintesa

prostaglandin, yaitu enzim siklooksigenase.

NSAID tidak menimbulkan ketergantungan atau toleransi

fisik. Masalah yang sering terjadi berkaitan dengan pemberian

NSAID adalah gangguan saluran cerna, pendarahan, penglihatan

kabur, perubahan minor uji fungsi hati dan berkurangnya fungsi

ginjal.

2) Tramadol

Tramadol adalah suatu analog kodein sintetik yang merupakan

suatu agonis reseptor opioid yang lemah. Tramadol digunakan untuk

nyeri sedang sampai berat.

3) Paracetamol

Merupakan obat untuk menangani nyeri ringan – sedang pasca

operasi. Mekanisme kerja utama adalah dengan menghambat

prostaglandin, suatu zat yang berperan dalam timbulnya nyeri. Efek

samping berupa nyeri ulu hati, tukak lambung, gangguan perdarahan,

reaksi alergi, asma, gangguan ginjal, dll.


20
2. Manajemen Nyeri non Farmakologis

Manajemen nyeri non farmakologis merupakan upaya yang dilakukan

untuk mengatasi atau menghilangkan nyeri dengan pendekatan non

farmakologi Tindakan non farmakologis dapat digunakan sebagai

pelengkap dalam pemberian analgesik, tetapi tindakan non farmakologis

tidak ditujukan sebagai pengganti analgesik.

Penatalaksanan nyeri secara nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri

terdiri dari beberapa teknik diantaranya adalah (Setiawan, 2019):

1) Distraksi

Distraksi adalah metode untuk menghilangkan nyeri

dengan cara mengalihkan perhatian klien pada hal-hal lain

sehingga klien lupa terhadap nyeri yang dialami klien, misalnya

pada klien post apendiktomi mungkin tidak merasakan nyeri saat

perawat mengajaknya bercerita tentanghobbinya. Teknik

Relaksasi, Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan

nyeri dengan merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri.

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa relaksasi efektif

dalam menurunkan nyeri post operasi.

2) Teknik relaksasi

Teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas napas

abdomen dengan frekuansi lambat, berirama. Klien dapat

memejamkan matanya dan bernapas dengan perlahan dan

nyaman. Irama yang konstan dapat dipertahankan dengan

menghitung dalam hati dan lambat bersama setiap inhalasi (hirup)


21
dan ekhalasi (hembus). Relaksasi yaitu pengaturan posisi yang

tepat, pikiran, beristirahat dan lingkungan yang tenang. Relaksasi

otot skeletal dapat menurunkan nyeri dengan merilakskan

ketegangan otot yang menunjang nyeri. Tekhnik relaksasi

mungkin perlu diajarkan beberapa kali agar mencapai hasil yang

optimal. Tindakan relaksasi dapat dipandang sebagai upaya

pembebasan mental dan fisik dari tekanan dan stress. Dengan

relaksasi, klien dapat mengubah persepsi terhadap nyeri.

3) Distraksi audio/pendengaran

Pengalihan perhatian selain nyeri yang diarahkan ke dalam

tindakan- tindakan melalui organ pendengaran. Misalnya,

mendengarkan music yang disukai, suara burung, atau gemercik

air. Klien dianjurkan untuk memilih music yang disukai dan

music yang tenang, seperti musik klasik. Klien diminta untuk

berkonsentrasi pada lirik dan irama lagu. Klien juga

diperbolehkan untuk menggerakan tubuh mengikuti irama lagu,

seperti bergoyang, mengetukkan jari atau kaki

4) Tirah Baring

Tirah baring merupakan suatu intervensi dimana klien

dibatasi untuk tetap berada ditempat tidur untuk tujuan teraupetik.

Tujuan tirah baring yaitu mengurangi aktivitas fisik dan

kebutuhan oksigen untuk tubuh, mengurangi nyeri meliputi nyeri

pasca operasi , memungkinkan klien sakit atau lemah untuk

beristirahat dan mengembalikan kekuatan, memberi kesempatan

22
pada klien yang letih untuk beristirahat tanpa terganggu

23
2.3 Pengelolaan Nyeri Akut Pada Pasien Post Apendiktomi

2.3.1 Pengelolaan nyeri

Pengelolaan nyeri merupakan suatu tindakan untuk meredakan nyeri.

Mengontrol nyeri sangat penting dilakukan pada pasien post operasi. Nyeri yang

terkontrol dapat mengurangi kecemasan, bernafas lebih mudah dan dalam, dan

dapat mentoleransi mobilisasi yang cepat.(Aswad, 2020). Salah satu intervensi

yang dilakukan dalam pengelolaan nyeri yaitu manajemen nyeri. Manajemen

nyeri dibagi menjadi dua bagian, yaitu manajemen farmakologis dan manajemen

non farmakologis.

1. Manajemen Farmakologis

Manajemen farmakologi atau dengan obat-obatan merupakan

bentuk pengendalian yang sering digunakan. Obat-obatan analgesik dapat

digunakan, terdapat dua macam anagesik yaitu analgesik ringan seperti

aspirin atau salisilat, parasetamol dan NSAID, sedangkan analgesik kuat

yaitu antara lain morfin, petidin, dan metadon. (Mayasari, 2016).

Jenis -jenis analgetik menurut (Handayani et al., 2019) yaitu:

1) Katerolak

Ketorolak adalah analgetik yang sering diberikan hampir

pada setiap tingkatan nyeri tanpa penilaian derajat nyeri terlebih

dahulu. Akan tetapi sebaiknya pemberian analgetik pada

penanganan nyeri dilakukan penilaian deajat nyeri terlebih

dahulu, karena pertimbangan jenis dan intensitas nyeri penting

dalam penilaian efek dari analgetik. Ketorolak termasuk dalam

golongan NSAID, dimana secara umum NSAID ini mempunyai

24
mekanisme kerja mempengaruhi sintesa prostaglandin, yaitu

enzim siklooksigenase.NSAID tidak menimbulkan

ketergantungan atau toleransi fisik. Masalah yang sering terjadi

berkaitan dengan pemberian NSAID adalah gangguan saluran

cerna, pendarahan, penglihatan kabur, perubahan minor uji fungsi

hati dan berkurangnya fungsi ginjal.

2) Tramadol

Tramadol adalah suatu analog kodein sintetik yang

merupakan suatu agonis reseptor opioid yang lemah. Tramadol

digunakan untuk nyeri sedang sampai berat.

3) Paracetamol

Merupakan obat untuk menangani nyeri ringan – sedang

pasca operasi. Mekanisme kerja utama adalah dengan

menghambat prostaglandin, suatu zat yang berperan dalam

timbulnya nyeri. Efek samping berupa nyeri ulu hati, tukak

lambung, gangguan perdarahan, reaksi alergi, asma, gangguan

ginjal, dll.

2. Manajemen Nyeri non Farmakologis

Manajemen nyeri non farmakologis merupakan upaya yang

dilakukan untuk mengatasi atau menghilangkan nyeri dengan pendekatan

non farmakologi Tindakan non farmakologis dapat digunakan sebagai

pelengkap dalam pemberian analgesik, tetapi tindakan non farmakologis

tidak ditujukan sebagai pengganti analgesik.

25
Penatalaksanan nyeri secara nonfarmakologis untuk mengurangi

nyeri terdiri dari beberapa teknik diantaranya adalah (Setiawan, 2019):

26
1) Distraksi

Distraksi adalah metode untuk menghilangkan nyeri dengan cara

mengalihkan perhatian klien pada hal-hal lain sehingga klien lupa

terhadap nyeri yang dialami klien, misalnya pada klien post apendiktomi

mungkin tidak merasakan nyeri saat perawat mengajaknya bercerita

tentanghobbinya. Teknik Relaksasi, Relaksasi otot skeletal dipercaya

dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan ketegangan otot yang

menunjang nyeri. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa

relaksasi efektif dalam menurunkan nyeri post operasi.

2) Teknik relaksasi

Teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas napas abdomen

dengan frekuansi lambat, berirama. Klien dapat memejamkan matanya

dan bernapas dengan perlahan dan nyaman. Irama yang konstan dapat

dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan lambat bersama

setiap inhalasi (hirup) dan ekhalasi (hembus). Relaksasi yaitu

pengaturan posisi yang tepat, pikiran, beristirahat dan lingkungan yang

tenang. Relaksasi otot skeletal dapat menurunkan nyeri dengan

merilakskan ketegangan otot yang menunjang nyeri. Tekhnik relaksasi

mungkin perlu diajarkan beberapa kali agar mencapai hasil yang

optimal. Tindakan relaksasi dapat dipandang sebagai upaya

pembebasan mental dan fisik dari tekanan dan stress. Dengan

relaksasi, klien dapat mengubah persepsi terhadap nyeri.

3) Distraksi audio/pendengaran

Pengalihan perhatian selain nyeri yang diarahkan ke dalam

27
tindakan- tindakan melalui organ pendengaran. Misalnya, mendengarkan

music yang disukai, suara burung, atau gemercik air. Klien dianjurkan

untuk memilih music yang disukai dan music yang tenang, seperti musik

klasik. Klien diminta untuk berkonsentrasi pada lirik dan irama lagu.

Klien juga diperbolehkan untuk menggerakan tubuh mengikuti irama

lagu, seperti bergoyang, mengetukkan jari atau kaki.

4) Tirah Baring

Tirah baring merupakan suatu intervensi dimana klien dibatasi untuk

tetap berada ditempat tidur untuk tujuan teraupetik. Tujuan tirah baring

yaitu mengurangi aktivitas fisik dan kebutuhan oksigen untuk tubuh,

mengurangi nyeri meliputi nyeri pasca operasi , memungkinkan klien sakit

atau lemah untuk beristirahat dan mengembalikan kekuatan, memberi

kesempatan pada klien yang letih untuk beristirahat tanpa terganggu

2.3.2 Manajemen Nyeri Pada Post Apendiktomi


Manajemen nyeri merupakan mengidentifikasi dan mengelola

pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan

atau fungsional dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan

hingga berat dan konstan. Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan yaitu

meliputi observasi, terapeutik, edukasi, dan kolaborasi. (Tim Pokja SIKI DPP

PPN, 2018)

1. Observasi :

1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri

2) Identifikasi skala nyeri

3) Indentifikasi respon nyeri non verbal

4) Indentifikasi factor yang memperberat dan memperingan nyeri


28
5) Indentifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
6) Indentifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri

7) Indentifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup

8) Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan

9) Monitor efek samping penggunaan analgetic

2. Terapeutik :

1) Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis.TENS,

hypnosis, akupresur, terapi music, biofeedback, terapi pijat, aromaterapi,

teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat atau dingin, terapi bermain)

2) Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. Suhu ruangan,

pencahayaan, kebisingan)

3) Fasilitas istirahat dan tidur

4) Pertimbangan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan

3. Edukasi :

1) Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri

2) Jelaskan startegi meredakan nyeri

3) Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri

4) Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat

5) Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri

4. Kolaborasi

Kolaborasikan pemberian analgetik jika perlu

29
BAB III
PENUTUP
3.1 kesimpulan
Apendiks penyebab utama inflamasi akut pada kuadran kanan bawah kanan
dari rongga abdomen adalah paling umum untuk abdomen darurat. Kira-kira 7 % dari
populasi akan mengalami apendiksitis pada waktu yang bersamaan dalam hidup
mereka. Pria lebih sering dipengaruhi dari pada wanita dan remaja lebih sering pada
orang dewasa. Meskipun ini dapat terjadi pada usia berapapun, apendiksitis paling
sering terjadi antara usia 19-30 tahun.
3.2 Saran
Semoga dengan penulisan lapran pendahuluanini dapat menjadikan pegangan
tehnik asuhan keperawatan atau pada kasus Apendisitis dengan pre operatif maupun
post operatif.
Agar dapat menambah pengetahuan tentang kemajuan teghnologi pada
asuahan keperawatan secara umum dan khusus, terutama pada jenjang pendidikan
keperawatan.

30
DAFTAR PUSTAKA

Albert, S. (2016). Penerapan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Kasus Apendisitis Di
Rumah Sakit Santa Anna Kendari. Andarmoyo, S. (2013). Konsep & Proses
Keperawatan Nyeri. In Nyeri.
Arifuddin. (2017). Faktor Risiko Kejadian Apendisitis Di Bagian Rawat Inap Rumah Sakit
Umum Anutapura Palu. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 8(1), 1– 58.
http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/Preventif/article/view/8344
Aswad, A. (2020). Relaksasi Finger Hold Untuk Penurunan Nyeri Pasien Post Operasi
Appendiktomi. Jambura Health and Sport Journal P-ISSN: 2654- 718X e-ISSN: 2656-
2863, 2(1), 1–6.
Caecilia, R. Y., Pristahayuningtyas, Murtaqib, S. (2016). Pengaruh mobilisasi dini terhadap
perubahan tingkat nyeri klien post operasi apendektomi di rumah sakit baladhika
husada kabupaten Jember. E-Jurnal Pustaka Kesehatan, 4(1), 1–6.
Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar. (2017). Profil Kesehatan Kabupaten Gianyar Tahun
2016. 1–187. http://www.diskes.baliprov.go.id/files/subdomain/diskes/Juni
2017/Profil Kesehatan Gianyar 2016.pdf
Dinas Kesehatan Provinsi Bali. (2018). Profil Kesehatan Bali 2017. Journal of Experimental
Psychology: General.

31
32

Anda mungkin juga menyukai