Anda di halaman 1dari 13

MAṢLAḤAH MURSALAH

DALAM DINAMIKA IJTIHAD KONTEMPORER

Jamaludin Acmad Kholik*


jamalkholik@gmail.com

Abstract
Contemporary ijtihad discourse can not be separated from maṣlaḥaḥ mursalah. However, given the limited
number of texts and the limitations of the jurisprudence issue, this proposition has significant polemical
potential both among salaf and modern scholars. The debate of the Salafist cleric only focuses on maṣlaḥah
mursalah, ie the maslahah whose legitimacy (i’tibār) and its neglect (ilghā’) are not found in sharia texts,
while the polemic is occurring among modern scholars versus some of the thinkers concerned about maṣlaḥah
mulghāh, the maslahah ignored by sharī ‘, whose invalidity as the basis of syara’ law has been agreed upon
by ulama ushul. This article will examine the debates among contemporary Islamic scholars and thinkers in
the application of mashalah. This paper maps three groups with different inclinations in understanding the
maslahah: (1) The textual group, which does not pay attention to maqāṣid al-shar’’ah; (2) Groups that do not
want to be bound by the texts of the Qur’an or Sunnah, by reason of following the maslahah; (3) Groups that take
a moderate or middle position between the two groups above.
Keywords: Maṣlaḥaḥ Mursalah, Contemporary Ijtihad, Maqāṣid al-Sharī’ah

Abstrak
Diskursus ijtihad kontemporer tidak bisa terlepas dari maṣlaḥah mursalah. Namun, melihat terbatasnya jumlah
teks dan tidak terbatasnya permasalahan fikih, dalil ini memiliki potensi polemik yang cukup signifikan baik
di kalangan ulama salaf maupun modern. Perdebatan ulama salaf hanya terfokus pada maṣlaḥah mursalah,
yaitu maslahah yang legitimasinya (i’tibār) maupun pengabaiannya (ilghā’) tidak ditemukan dalam teks
syariah, sedang polemik yang terjadi di kalangan ulama modern versus sebagian para pemikir berkutat seputar
maṣlaḥah mulghāh, yaitu maslahah yang diabaikan oleh sharī’, yang ketakabsahannya sebagai landasan
hukum syara’ telah disepakati oleh para ulama ushul. Artikel ini akan menelisik perdebatan di kalangan ulama
dan pemikir Islam kontemporer dalam penerapan mashalah. Tulisan ini memetakan tiga kelompok dengan
kecenderungan yang berbeda dalam memahami maslahah: (1) Kelompok tekstualis, yang tidak memerhatikan
maqāṣid al-sharī’ah; (2) Kelompok yang tidak mau terikat dengan teks-teks al-Quran maupun Sunnah, dengan
alasan mengikuti maslahah; (3) Kelompok yang mengambil sikap moderat atau tengah antara kedua kelompok
di atas.
Kata kunci: Maṣlaḥah Mursalah, Ijtihad Kontemporer, maqāṣid al-sharī’ah

PENDAHULUAN Qur’an maupun Sunnah tidak mengakibatkan


Problematika umat semakin hari semakin keterputusan solusi-solusi agama dalam
menumpuk, seiring dengan melejitnya menjawab tantangan zaman, karena umat
perkembangan teknologi moderen. Islam Islam diperintahkan untuk berijtihad ketika
sebagai agama samawi terakhir di atas bumi tidak menjumpai hukum suatu kasus dalam
ini, tidak meninggalkan suatu problem yang teks al-Qur’an maupun Sunnah, baik melalui
dihadapi umat manusia tanpa adanya solusi qiyās (analogi), maṣlaḥah mursalah dan
dari agama, karena Islam merupakan way metode-metode ijtihad lain, seperti yang
of life yang komperehensiv, agama yang dijelaskan dalam kitab-kitab usul fikih. Metode
memperhatikan kebutuhan jasad, akal dan pengambilan hukum melalui ijtihad sudah
hati manusia. Keterbatasan jumlah teks al- diterapkan oleh para sahabat saat Rasulullah
Saw. masih hidup, seperti ungkapan sahabat
*
Dosen STAIN Kediri

20 Vol. 25 No. 1 Januari 2016 | 20-32


Mu’ādz Bin Jabal Ra. ketika ditanya Rasulullah kemanfaatan, baik pencapaian suatu manfaat
Saw. sebelum berangkat ke Yaman. Ijtihad maupun pencegahan suatu kerusakan.1 Sedang
dalam Islam merupakan tuntutan yang tidak maṣlaḥaḥ dalam terminologi syara’ dapat
bisa ditinggalkan, apalagi semakin banyaknya didefinisikan sebagai “suatu manfaat yang
permasalahan kontemporer yang pelik dan dimaksud oleh shāri’ untuk hamba-Nya, yang
menunggu solusi hukum fikih, terutama dalam berupa penjagaan agama, jiwa, akal, keturunan
masalah kedokteran dan ekonomi, tentunya dan harta dengan urutan tertentu.” Manfaat
dengan mengikuti aturan main yang telah sendiri adalah kenikmatan atau sarana untuk
ditentukan oleh shāri’ (penentu syari’at). mencapai suatu kenikmatan, serta pencegahan
Diskursus ijtihad kontemporer tidak terhadap suatu penderitaan atau yang
bisa terlepas dari maṣlaḥah mursalah, melihat mengakibatkannya. Dengan kata lain “suatu
terbatasnya jumlah teks dan tidak terbatasnya kenikmatan baik dengan menghasilkannya
permasalahan fikih, namun dalil ini memiliki maupun menjaganya”, seperti yang
potensi polemik yang cukup signifikan baik di diungkapkan oleh Imam al-Rāzī. 2

kalangan ulama salaf maupun modern. Hanya Mayoritas fuqahā’ (ahli fikih) sepakat
saja obyek perdebatan yang diangkat ada sedikit bahwa hukum-hukum sharī’ah secara umum
pergeseran antara ulama salaf dan modern, itu mu’allalah (memiliki motivasi hukum),
perdebatan ulama salaf hanya terfokus pada serta memiliki maqāṣid (tujuan-tujuan) dan
maṣlaḥah mursalah, yaitu maslahah yang tidak hikmah yang dapat dipahami dan dicerna
dijumpai dalam teks syari’ah legitimasinya oleh akal, kecuali dalam hukum-hukum murni
(i’tibār) maupun pengabaiannya (ilghā’), sedang ‘ibādāt. Pendapat minoritas ulama seperti
polemik yang terjadi di kalangan ulama dzahiriyah yang berseberangan dengan
modern versus sebagian para pemikir menjalar pendapat jumhur ulama, argumennya tidak
pada maṣlaḥah mulghāh, yaitu maslahah yang akurat. Tidak bisa dipungkiri bahwa syariat
diabaikan oleh sharī’, yang disepakati oleh Islam membangun hukum-hukumnya dalam
para ulama ushul ketidakvalidannya untuk rangka memanifestasikan kemaslahatan dan
dijadikan landasan hukum syara’. menghindari mafsadah (kerusakan) dari orang-
Tulisan ini akan kita coba menelusuri orang mukalaf,3 serta mewujudkan kebahagiaan
lebih dalam substansi maṣlaḥah, menganalisa manusia di dunia maupun di akhirat. Allah
perbedaan pendapat para ulama salaf seputar Swt. (al-sharī’) tidak mungkin mensyariatkan
masalah ini, kemudian membahas ketentuan- hukum-hukum yang mencelakakan hambanya,
ketentuan aplikasi maṣlaḥah mursalah dalam sebagaimana dalam hadis Rasulullah Saw.
berijtihad, serta dinamikinya dalam ijtihad “lā ḍarar walā ḍirār“4 yang kemudian menjadi
kontemporer. sandaran kaidah fikih yang populer al-ḍararu
yuzāl (setiap yang membawa kerusakan itu
MENGUNGKAP AKAR MAṢLAḤAH MURSALAH 1
Muhammad Sa’īd Ramaḍān al-Būṭī, Ḍawābiṭ al-Maṣlaḥah,
DALAM UṢŪL FIQH (Suriah: Mu’assasah al-Risālah, Al-Dār Al-Mutahiddah), hlm.
Pengertian Maṣlaḥah 27.
2
Muṣṭafā Dīb al-Bughā, Atsar al-Adillah al-Mukhtalaf fīhā fi
Sebelum kita memasuki pembahasan al-Fiqh al-Islāmi, (Damaskus: Dār al-Qalam, Damaskus: Dār al-
maṣlaḥaḥ mursalah, kita perlu mengupas ‘Ulūm al-Insānīyyah, t.t.), hlm. 29.
sekilas tentang maṣlaḥaḥ secara umum 3
Yūsuf al-Qarḍāwī, Madkhal Lidirāsat al-Sharī’ah al-
karena merupakan salah satu bagian yang Islāmiyyah, (Kairo: Muassasah al-Risālah, t.t.), hlm. 53.
4
Dikeluarkan oleh Mālik dalam al-Muwāṭa’ dari ‘Amr
tak terpisahkan dari konsep ini. Maṣlaḥaḥ bin Yahya dari bapaknya secara mursal, Dikeluarkan juga
secara etimologi sama dengan kata manfa’ah oleh al-Hākim dalam Mustadrak, al-Baihaqi, al-Dāruquṭni dari
baik dari segi wazan (bentuk kata) maupun hadisnya Abī Sa’īd al-Khudri, dan dikeluarkan oleh Ibnu Mājah
maknanya. Lisān al-‘Arab mendefinisikan dari hadisnya Ibnu ‘Abbās dan ‘Ubādah Ibnu al-Sāmit. Lihat Al-
Imām al-Suyūṭi, al-Ashbāh wa al-Naẓāir, (Kairo: Dar al-Salām),
maṣlaḥaḥ sebagai semua hal yang mengandung I: 210.

Jamaludin Acmad Kholik, Maṣlaḥah Mursalah 21


harus dihilangkan). Kalau kita perhatikan perawatan anak dan pemberian nafkah, juga
teks-teks sharī’ah dan hukum-hukumnya, akan disyariatkan haramnya zina dan hukuman
kita temukan bahwa semua yang membawa bagi yang melanggarnya. Dalam menjaga
kemaslahatan diperintahkan oleh sharā’, dan akal disyariatkan haramnya minuman
sebaliknya semua yang membawa kerusakan yang memabukkan dan hukuman bagi yang
dilarang, seperti yang disitir oleh Imam al- melanggarnya. Demikian juga disyariatkan
Shāṭibī dalam kitab monumentalnya, al- berbagai ragam tatanan interaksi antar
Muwāfaqāt.5 sesama (mu’āmalah), hukuman-hukuman dan
Dalam penerapan maslahah, ada jaminan-jaminan dalam rangka menjaga harta.
ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan Kedua: al-ḥājiyyat (skunder), yaitu aktifitas
oleh seorang mujtahid agar tidak tergelincir ke yang tidak menjadi pendukung asasi dalam
dalam daerah yang tidak boleh dimasuki ketika memelihara lima pokok unsur kehidupan
berijtihad. Rambu-rambu atau ketentuan yang diatas, hanya saja apabila tidak dipenuhi akan
dimaksud adalah:6 maslahah yang dimaksud mengakibatkan kesulitan dan kepayahan
harus masih dalam koridor tujuan-tujuan (mashaqqah) dalam kehidupan manusia.
penentu syari’at (maqāṣid al-shāri’),7 tidak Contohnya adalah disyariatkan dispensasi-
boleh bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah dispensasi (rukhaṣ) dalam rangka menjaga
dan qiyās, serta tidak menghilangkan maslahah agama, semisal dispensasi diperbolehkannya
yang lebih besar atau yang sepadan dengannya. mengucapkan kata-kata kufur untuk
menghindari pembunuhan, berbuka bagi
9

Klasifikasi Maṣlaḥaḥ musafir, dan dispensasi-dispensasi bagi orang


Berdasarkan gradasinya (marātib), sakit, diperbolehkan berburu, menikmati
maslahah dapat diklasifikasikan menjadi makanan lezat selain makanan pokok dalam
tiga:8 pertama, al-ḍaruriyyāt (primer), yaitu rangka menjaga jiwa. Untuk menjaga harta,
suatu perkerjaan yang harus dilakukan dalam disyariatkan bentuk-bentuk mu’āmalat,
rangka memelihara kemaslahatan agama dan seperti berhutang, akad salam (pesanan) dan
dunia, serta menjaga tujuan-tujuan syariat, akad siraman. Dalam memelihara nasab,
jikalau tidak terlaksana semua atau sebagian, disyariatkan pembayaran mas kawin, cerai dan
akan mengakibatkan kepincangan hidup syarat saksi dalam hukuman zina.
manusia. Maka dari itu disyariatkanlah iman, Ketiga, al-taḥsīniyyat (tersier), yaitu
mengucapkan dua syahadat, ibadah-ibadah, pekerjaan yang jika ditinggalkan tidak
jihad dan hukuman bagi yang mengajak mengakibatkan sulitnya kehidupan, namun
kepada bid’ah dalam rangka menjaga agama. merupakan akhlaq yang mulia, seperti etika
Dalam rangka menjaga jiwa, diperbolehkan, makan dan minum, dan menjauhi makanan
bahkan diwajibkan, makan, minum, yang menjijikkan (khabīts) dalam rangka
berpakaian, bertempat tinggal (sarana-sarana menjaga agama. Dilarang menjual barang najis,
memelihara kehidupan dan keutuhan badan); berkaitan dengan penjagaan harta, disyariatkan
disyariatkan juga hukuman membayar ḍiyāt kesesuaian (kafāah) antara suami istri, dan
dan qishāṣ dalam pembunuhan. Untuk menjaga etika interaksi antara keduanya, kaitannya
keturunan disyariatkan nikah, hukum-hukum dengan penjagaan nasab. Perlu diketahui
bahwa al-taḥsīniyyat ada yang hukumnya sunah
5
Al-Bughā, Atsar., hlm. 28. seperti etika makan dan yang semisalnya, ada
6
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ., hlm.105. juga yang wajib seperti menutup aurat. Karena
7
Maqāṣid al-sharī’ah meliputi menjaga agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta. Lihat Al-Imam Al-Shāṭibī, al-Muwāfaqāt
bersifat tahsiniyat, ini artinya manusia bisa
fi Uṣul al-Sharī’ah, sharḥ dan takhrīj oleh Sheikh ‘Abdullāh al- meninggalkan kebutuhan-kebutuhan ini dalam
Darrāz, (Beirut: Dār al Kutub al ‘Ilmiyyah), II: 8. kondisi biasa tanpa merasa kesulitan, hanya
8
Al-Bughā, Atsar., hlm. 29 dan setelahnya, al-Shāṭibī, al-
Muwāfaqāt., hlm. 7. 9
Selagi hatinya masih penuh dengan keimanan.

22 Vol. 25 No. 1 Januari 2016 | 20-32


terkadang dari sisi moral menjadi kewajiban maka termasuk maslahah yang diabaikan oleh
yang harus dilakukan. sharī’, sesuai dengan adanya firman Allah Swt.:
Melihat tiga macam klasifikasi maslahah “yūṣīkumullāhu fī aulādikum li al-dhakari mitslu
di atas, tentunya hukum yang berkaitan hadhdhi al-untsayayn.”12
dengan maṣlaḥaḥ ḍarūriyyah harus didahulukan Ketiga, maṣlaḥah mursalah, yaitu maslahah
daripada hukum yang berkaitan dengan yang tidak dijumpai dalilnya dalam syariat
maslahah urutan setelahnya, disusul ḥājiyyat, akan legitimasi maupun penolakannya. Disebut
kemudian taḥsīniyyat.10 maṣlaḥah karena hukum yang disandarkan
Berdasarkan dilegitimasi atau tidaknya kepadanya diasumsi dapat menolak suatu
oleh shāri’, maslahah dapat diklasifikasikan bahaya atau menarik suatu kemanfaatan,
menjadi tiga juga:11 Pertama, maṣlaḥah sedang disebut mursalah karena sharī’
mu’tabarah, yaitu maslahah yang dilegitimasi melepaskannya, tidak melegitimasi maupun
oleh shāri’ dan ada dalil yang membahasnya mengabaikannya. Karena maṣlaḥah mursalah
secara khusus. Maslahah jenis ini merupakan memiliki potensi polemik yang paling luas
ḥujjah (dapat dijadikan sebagai sandaran hukum antar ulama, maka kita perlu membahasnya
dalam syariat) tanpa ada perbedaan pendapat lebih lanjut dalam pembahasan berikut.
antar ulama, sedang praktek penggunaan
dalil maslahah jenis ini dapat kita lihat dalam Substansi Maṣlaḥah Mursalah
penerapan qiyās (analogi). Contohnya adalah Istilah yang dipakai oleh ulama dalam
firman Allah Swt.: “Yā ayyuhalladhīna āmanū mengungkapkan maṣlaḥah mursalah cukup
idhā nūdhiya liṣṣolāti min yaum al-jumu’ati fas’au bervariasi. Imam Ghazali dalam kitabnya
ilā dhikrillāh wadharū al-baī.’” Pelarangan jual al-Mustaṣfā menyebutnya dengan maṣlaḥah
beli dalam ayat ini karena ia dapat memalingkan mursalah, hal ini karena dilihat dari sisi
dari mengingat Allah Swt. dan sholat; maka kemashlahatan yang menjadi implikasi
dari itu, setiap mu’amalat yang memalingkan penerapan dalil maslahah. Imam Haramayn
dari mengingat Allah dan sholat, seperti sewa dan Ibn al-Ḥājib menyebutnya dengan al-
dan gadai hukumnya sama dengan hukum jual munāsib al-mursal, karena dilihat dari sisi
beli. sifatnya yang bisa dijadikan sebagai sandaran
Kedua, maṣlaḥah mulghāh, yaitu maslahah hukum (al-waṣf al-munāsib). Imam al-Zarkāshī
yang tidak mempunyai sandaran dalam syari’at, menyebutnya dengan al-istidlāl al-mursal,
bahkan ada dalil yang mengabaikannya. karena memandang bahwa setiap dalil selain
Maslahah jenis ini tidak bisa dijadikan sebagai al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas disebut al-
sandaran hukum dalam syariat tanpa ada istidlāl.13 Istilah yang bervariasi itu sebenarnya
perbedaan pendapat antara ulama. Ketika mengungkapkan hal yang sama, perbedaan
sharī’ menetapkan hukum suatu masalah dan terjadi karena sisi yang dilihat masing-masing
hanya Dia yang mengetahui maslahahnya, imam berbeda, yang selanjutnya menimbulkan
jika ada yang menetapkan hukum lain perbedaan dalam mendefinisikan hakikat yang
berdasarkan maslahah menurut persepsinya satu.
dalam masalah tersebut, maka hukum tersebut Syeikh ‘Abdullāh al-Darrās dalam
tidak bisa diterima, karena maslahah tersebut mensyarahi kitab al-Muwāfaqāt mendefinisikan
telah diabaikan oleh sharī’ dan bertentangan maṣlaḥah mursalah sebagai maslahah yang tidak
dengan tujuan-tujuan-Nya. Contohnya adalah memiliki dalil syar’i baik teks maupun ijma’
penyamaan bagian antara anak laki-laki dan yang melegitimasi maupun menolaknya.14 Dr.
perempuan dalam warisan, jika dianggap Wahbah Al-Zuhayli mendefinisikan maṣlaḥah
maslahah dengan alasan lebih adil misalnya,
12
QS. al-Nisā’: 11.
10
Al-Shāṭibī, Al-Muwāfaqāt., hlm. 17. 13
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ., hlm.287.
11
Al-Bughā, Atsar., hlm. 32. 14
Al-Shātibī, Al-muwāfaqāt., I: 27.

Jamaludin Acmad Kholik, Maṣlaḥah Mursalah 23


mursalah adalah sifat-sifat yang sesuai dengan tujuan syari’ah (maqāṣid al-sharī’ah). Sedangkan
taṣarruf dan tujuan-tujuan syari’at, namun tidak dalam masalah ibadat, hukum asalnya
ada dalil dari syar’i yang melegitimasi maupun bersifat ta’abbudī (tunduk terhadap apa yang
menolaknya, dan hukum yang dibangun akan diperintahkan oleh Allah Swt.). Maka secara
mewujudkan suatu kemashlahatan ataupun umum, teks-teks yang berkaitan dengan
mencegah suatu kerusakan.15 Ada definisi ibadat tidak harus diketahui ‘illat-nya maupun
yang bisa mewakili kedua definisi di atas, yaitu sebab-sebab diperintahkannya, sehingga tidak
definisi yag ditawarkan oleh Dr. al-Būṭī. Ia perlu seorang mukalaf membebani dirinya
mengatakan bahwa maṣlaḥah mursalah adalah dengan ibadah yang tidak diperintahkan oleh
setiap manfaat yang menjadi tujuan-tujuan syariat sembari mencari-cari ‘illat ataupun
syari’at tanpa adanya dalil yang melegitimasi motivasi dari suatu ibadah.18 Hukum-hukum
atau melegitimasi masalah sejenisnya dan yang tidak bisa diketahui kemaslahatannya
tidak ada dalil yang menolaknya.16 secara terperinci, seperti hukum-hukum yang
Berangkat dari definisi di atas, setiap yang telah ditentukan batas-batasnya oleh shāri’,
dianggap bermanfaat tapi tidak termasuk semisal pembagian warisan, hudud, kafarat
dalam tujuan-tujuan syari’at (menjaga agama, dan batas waktu ‘iddah baik karena cerai
jiwa, akal, keturunan dan harta) tidak bisa maupun ditinggal wafat, serta semua hukum
dikategorikan sebagai maṣlaḥah mursalah. yang kemaslahatannya hanya diketahui oleh
Demikian juga permasalahan yang telah Allah Swt., maka diberlakukan hukum seperti
disebutkan hukumnya dalam syari’at baik ibadat.19 Dari sini permasalahan yang berkaitan
melalui teks al-Qur’an, sunnah maupun ijma’, dengan ibadat atau yang hukumnya disamakan
karena maslahah seperti ini disebut dengan dengan ibadat di atas tidak bisa menjadi objek
maṣlaḥah mu’tabarah. Apalagi kemaslahatan dari aplikasi maṣlaḥah mursalah.
yang bertentangan dengan teks atau qiyas yang Sampel dari hukum yang didasarkan
benar, karena adanya pertentangan tersebut pada dalil maṣlaḥah mursalah adalah beberapa
menunjukkan bahwa maslahah itu ditolak oleh kebijakan yang dilakukan oleh para sahabat
syari’at, sehingga tidak bisa disebut dengan setelah wafatnya Rasulullah Saw., seperti
maṣlaḥah mursalah,17 tapi termasuk ke dalam usaha Abu Bakr mengumpulkan al-Qur’an
kategori maṣlaḥah mulghāh Namun bukan berarti dalam satu mushaf dari lembaran-lembaran
maṣlaḥah mursalah tidak memiliki dalil sama yang berpencar-pencar, mengikuti usulan
sekali, karena sebenarnya ada dalil dari syar’i, ‘Umar bin Khatab, kebijakan Usman Bin
hanya saja dalil tersebut tidak membicarakan Affan untuk menulis mushaf dengan satu
maslahah ini secara spesifik, tapi mencakupnya tipe, kemudian menyebarkannya ke berbagai
lewat jalur yang jauh (al-jinsu al-ba’īd), seperti daerah dan membakar tipe-tipe tulisan
disyariatkannya penjagaan jiwa, akal dan mushaf yang lain. Juga, penetapan Imam ‘Ali
nasab. Objek kasus yang bisa disandarkan pada bin ‘Abi Thalib tentang perlunya meminta
dalil maslahah adalah tema yang berkaitan jaminan dari para penerima pesanan (ṣunnā’).
dengan tradisi (‘ādat) dan interaksi antar Dalam kasus ini, pada dasarnya mereka tidak
manusia (mu’āmalāt), karena pada dasarnya berkewajiban menjamin barang-barang
hukum-hukum ‘ādat dan mu’āmalāt bermuara orang lain yang diterima, namun karena
pada nilai-nilai (ma’ānī) dan motivasi (bawā’its) mereka sering menyalahi amanat, maka
disyariatkannya dalam rangka mewujudkan perlu dimintai jaminan, sampai-sampai Imam
kemaslahatan yang sesuai dengan tujuan- ‘Ali. mengatakan bahwa “orang tidak akan
memperoleh kemaslahatan kecuali dengan itu
15
Wahbah al-Zuhaili, Uṣūl Fiqh al-Islāmī, (Suria: Dār al fikr),
II: 757. 18
Al-Bughā, Atsar., hlm.36
16
Al-Būṭī, Dawābit., hlm. 288. 19
Al-Bughā, Atsar., hlm.40.
17
Al-Bughā, Atsar., hlm.35

24 Vol. 25 No. 1 Januari 2016 | 20-32


(yaitu, meminta jaminan dari para penerima mursalah dalam berijtihad, seperti halnya dalil-
pesanan)”.20 dalil yang lain mempunyai ketentuan dalam
penerapannya.
Ketentuan Berijtihad dengan Maṣlaḥah
Mursalah Maṣlaḥah Mursalah dalam Paradigma Ijtihad
Ada beberapa ketentuan yang harus Ulama Salaf
diperhatikan ketika menerapkan maṣlaḥah Seperti yang pernah kita singgung di
mursalah dalam beristinbath:21 (1) Maslahah depan, maṣlaḥah mursalah merupakan dalil
yang diambil harus sesuai dengan tujuan- yang masih diperdebatkan eksistensinya
tujuan syari’at (maqāṣid al-sharī’ah), tidak sebagai sumber hukum fikih (maṣdar tashrī’).
menghilangkan salah satu azasnya dan Ada yang menjadikan dalil independen secara
tidak berkontradiksi dengan teks agama mutlak, ada yang menolak secara mutlak dan
atau salah satu dalilnya yang pasti (qaṭ’ī). ada yang menerima dengan syarat tertentu.
Misalnya, penarikan hak cerai dari suami Dalam kesempatan ini, akan kita coba
yang kemudian diserahkan kepada otoritas menganalisa sejauh mana sebenarnya polemik
hakim. Hukum ini tidak boleh ditetapkan yang terjadi antar ulama salaf seputar aplikasi
karena bertentangan dengan teks-teks dalil maṣlaḥah mursalah dalam penggalian
agama dan tidak mewujudkan kemaslahatan hukum fikih (ijtihād), apakah memang
yang nyata; (2) Maslahah yang substansinya perbedaan yang prinsipil ataukah hanya
masuk akal, dalam arti adanya kepastian perbedaan sudut pandang yang sebenarnya
kemaslahatan dari hukum yang dikeluarkan, bisa dikonvergensikan ketika jelas titik
bukan hanya asumsi yang tidak diketahui polemiknya. Adapun yang kita maksud dengan
kepastiannya. Misalnya, pencatatan akad-akad ulama salaf dalam pembahasan di sini adalah
mu’amalat dalam nota-nota, yang bertujuan para sahabat, tabi’in dan para imam mujtahid.
meminimalisasi terjadinya kesaksian palsu dan Ketika melihat metode penggalian
diharapkan bisa menciptakan ketenteraman hukum masa sahabat, kita jumpai betapa
dalam muamalat, maka pencatatan seperti banyak mereka mendasarkan hukum-hukum
ini boleh ditetapkan; (3) Kemaslahatan yang suatu kasus pada kemaslahatan, selagi tidak
dihasilkan harus bersifat general (yaitu, bertentangan dengan teks al-Quran maupun
mencakup kemaslahatan masyarakat secara Sunnah serta masih dalam koridor tujuan-
umum, bukan kemaslahatan individu atau tujuan syari’at, terutama setelah semakin
golongan), karena hukum syari’at ditetapkan luasnya imperium negara Islam dan banyak
untuk seluruh umat. Misalnya, penetapan kemaslahatan baru yang tidak dijumpai pada
hukum yang hanya menguntungkan seorang masa Rasulullah Saw. Beberapa sampel kasus
presiden atau kroni-kroninya. Hukum seperti yang kita utarakan di atas merupakan bukti
ini tidak boleh dilegitimasi. Misalnya lagi, aplikasi maṣlaḥah mursalah pada masa sahabat
jika orang-orang kafir menjadikan seorang dan masih banyak lagi hukum-hukum yang
muslim sebagai perisai, maka kita tidak boleh ditelorkan pada masa sahabat disandarkan
membunuhnya selagi ada jalan lain untuk kepada maṣlaḥah mursalah.22
memerangi mereka, seperti mengembargonya Para tabi’in pun tidak kalah dalam
dan tidak dikawatirkan orang-orang kafir menerapkan dalil maṣlaḥah mursalah saat ber-
tersebut akan menguasai negara Islam. istinbāṭ, karena permasalahan-permasalahan
Ketentuan-ketentuan di atas harus baru yang tidak dijumpai teks hukumnya
dipegang ketika menerapkan maṣlaḥah secara khusus dalam al-Qur’an maupun
Sunnah bertambah banyak. Sebagai contoh
20
Al-Zuhaili, Uṣūl al-Fiqh., hlm. 763-764. kasus adalah keputusan-keputusan hukum
21
Al-Zuhaili, Uṣūl al-Fiqh., hlm. 799-800; al-Bughā, Atsar.,
hlm. 58. 22
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ., hlm. 308, dan setelahnya.

Jamaludin Acmad Kholik, Maṣlaḥah Mursalah 25


‘Umar bin ‘Abdul Aziz, semisal keputusannya pendapat. Hanya saja, al-Shawkānī dan al-
untuk menggunakan bukti yang kebenarannya Shāṭibī, dalam al-I’tiṣām, menambahkan ada
hanya mendekati kepastian (belum mencapai mazhab yang mengatakan maṣlaḥah mursalah
kepastian) dalam mengembalikan hak-hak yang itu dapat dijadikan dalil dengan syarat sesuai
diambil oleh para khalifah sebelumnya secara dengan dalil syar’i baik secara general (kullī)
zalim, karena jika ia harus menggunakan bukti maupun parsial (juz’ī),25 tapi argumentasi dari
yang pasti, tidak akan terlaksana usahanya mazhab-mazhab ini tidak bisa dikategorikan
mengembalikan hak-hak tersebut. Kebijakan ke dalam maṣlaḥah mursalah karena termasuk
ini tidak dijumpai sandarannya dalam al- pembahasan qiyās.
Qur’an maupun Sunnah, tapi termasuk Perlu kiranya mengupas pendapat-
dalam kategori maṣlaḥah mursalah. Contoh pendapat di atas dan menyinkronkannya
lainnya adalah upaya pengumpulan dan dengan realitas istinbāṭyang dilakukan oleh
pengkodifikasian hadis serta peletakan ilmu para imam mazhab. Kita mulai dengan pendapat
jarḥ wa ta’dīl (penelitian terhadap para perawi Imam Mālik dan yang mendukungnya.
hadis) dalam rangka menjaga keorisinilan Kebanyakan para ulama uṣūl selain pengikut
hadis yang dilakukan oleh para ulama masa mazhab Mālikī meletakkan sosok Imam
itu.23 Mālik sebagai sosok yang terlalu lepas dalam
Setelah memasuki masa imam-imam menggunakan dalil maṣlaḥah mursalah, meski
mazhab-mazhab, baru terdengar polemik bertentangan dengan dalil-dalil lain yang telah
sekitar pengaplikasian dalil maṣlaḥah mursalah permanen. Namun, bila kita merujuk kepada
dalam ber-istinbāṭ melalui metode iṣtiṣlāḥ. penjelasan dari para pengikut mazhab Mālikī,
Para ulama uṣūl hampir sepakat bahwa kita akan menjumpai kontradiksi. Mereka
maṣlaḥah mursalah termasuk dalil yang memandang legitimasi Imam Mālik dalam
diperselisihkan validitasnya. Jamaluddin penerapan maṣlaḥah mursalah menyaratkan
al-‘Asnāwī menyebutkan ada tiga pendapat tidak ke luar dari ruang lingkup tujuan-tujuan
dalam masalah ini. Pertama, jumhur ulama syari’at dan tidak bertentangan dengan asas-
berpendapat bahwa maṣlaḥah mursalah tidak asas syari’at, seperti yang diungkapkan oleh
bisa dijadikan dalil secara mutlak. Kedua, Imam Imam al-Shaṭibī dalam Muwāfaqāt-nya, al-
Malik adalah tokoh yang paling populer dalam Qarafī, dan yang lainnya.26 Dengan demikian,
memegang dalil maṣlaḥah mursalah, yang kritik yang dilontarkan oleh ulama yang tidak
menurutnya dapat dijadikan dalil dalam ber- sependapat dengan Imam Mālik tidak mengenai
istinbāṭ secara muthlak. Pendapat ini didukung sasaran karena kebanyakan diarahkan kepada
oleh Imam Haramayn dari Shāfi’iyyah. Ketiga, maslahah yang keluar dari koridor tujuan-
pendapat al-Ghazālī yang mengatakan bahwa tujuan syari’at dan berbenturan dengan
maṣlaḥah mursalah dapat dijadikan dalil dengan teks-teks syari’at maupun dalil yang telah
syarat kalau maslahah itu bersifat ḍarūriyyah permanen. Sedangkan maṣlaḥah mursalah yang
(primer), qaṭ’iyyah (pasti) dan kullīyyah dimaksudkan Imam Mālik di atas tidak lebih
(mencakup kemaslahatan seluruh umat dari maslahah yang sesuai dengan tujuan-
Islam).24 Tiga pendapat yang diutarakan al- tujuan syari’at dan tidak bertentangan dengan
Asnāwī ini mewakili tulisan-tulisan para ulama asas-asas syariat, karena semua sepakat bahwa
uṣūl dalam memaparkan ikhtilaf para ulama maslahah yang diabaikan oleh shārī’ tidak
sekitar dalil maṣlaḥah mursalah, meskipun boleh dijadikan sandaran dalam istinbāṭ hukum
terdapat perbedaan dalam menisbahkan syar’i. Imam Aḥmad Ibn Ḥanbal menempati
posisi kedua setelah Imam Mālik dalam
23
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ., hlm. 314, dan setelahnya.
24
Al-Zuhaili, Uṣūl al-Fiqh., hlm. 757; lihat juga al-Bughā, 25
Al-Zuhaili, Uṣūl al-Fiqh., hlm. 758; al-Bughā, Atsar., hlm.
Atsar., hlm. 41, dan setelahnya; al-Būṭī, Ḍawābiṭ.,hlm. 336, dan 42-43.
setelahnya. 26
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ., hlm. 336-337.

26 Vol. 25 No. 1 Januari 2016 | 20-32


mempertahankan maṣlaḥah mursalah sebagai bihā), dan jika belum berhubungan wajib
sumber hukum syar’i. Mungkin timbul suatu membayar setengahnya, karena mereka
pertanyaan, bagaimana beliau dimasukkan telah mengharamkan perempuan itu bagi
sebagai pendukung validitas maṣlaḥah suaminya. Sedang perempuan itu hanya
mursalah, padahal pengikut-pengikutnya berhak memperoleh mahr mithil-nya, karena
ketika menyebutkan kaidah uṣūl-nya tidak saya tidak melihat pada besar kecilnya materi
menempatkan maṣlaḥah mursalah dalam uṣūl yang telah diberikan oleh suami, tapi melihat
tersebut. Jawabannya, memang Imam Aḥmad pada besar nilai hak milik suami yang telah
tidak menjadikan maṣlaḥah mursalah sebagai dirusak.”29 Permasalahan ini tidak kita jumpai
dalil yang berdiri sendiri seperti al- Qur’an, teksnya dalam al-Qur’an maupun Sunnah, dan
Sunnah dan qiyās, misalnya, tapi memasukkan termasuk dalam kategori maṣlaḥah mursalah.
ke dalam salah satu implementasi qiyās. Banyak ulama uṣūl memproyeksikan Imam
Penjabaran qiyās seperti ini bukan hal yang Abu Ḥanīfah menjadi salah satu penentang
aneh pada masa imam-imam mazhab, bahkan eksistensi maṣlaḥah mursalah sebagai dalil syar’i.
Imam al-Shāfi’ī lebih banyak lagi menggunakan Di antara motivasi yang melatarbelakangi
istilah seperti ini.27 adalah karena beliau tidak menyebutkan
Kebanyakan orang mempunyai persepsi maṣlaḥah mursalah ketika berbicara tentang
bahwa Imam al-Shāfi’ī sangat apriori dengan dasar-dasar pengambilan hukum. Penilaian ini
dalil maṣlaḥah mursalah. Kalau persepsi ini perlu dikritisi kembali, karena sebagaimana
didasarkan pada realitas bahwa kebanyakan yang masyhur beliau dikenal sebagai imam
fatwa Imam al-Shāfi’ī tidak sejalan dengan madrasat al-ra’y dan pendukung paling awal
fatwa Imam Mālik yang didasarkan pada dalam menggunakan dalil istiḥsān dan al-
maṣlaḥah mursalah, tidak bisa diterima. ‘urf (tradisi). Sedang istihsan sendiri setelah
Alasannya, kesepakatan antar ulama dalam diintepretasikan oleh para pengikut Imam Abu
mengambil suatu dalil tidak mengharuskan Ḥanīfah, termasuk di dalamnya implementasi
adanya kesepakatan dalam aplikasi hukum dalil maṣlaḥah mursalah (istiṣlāḥ). Demikian
fikihnya. Kalau persepsi ini didasarkan pada juga dalil ‘urf (tradisi) banyak dilandasi dengan
uṣūl Imam al-Shāfi’ī yang tidak menjadikan kemaslahatan umat selagi tidak bertentangan
maṣlaḥah mursalah sebagai dalil yang dengan nash dan dalil yang permanen
independen, tidak bisa diterima, karena lainnya, ini tidak lain adalah aplikasi dari
dukungan seseorang terhadap suatu dalil maṣlaḥah mursalah juga. Contoh dari ijtihad
tidak disyaratkan memposisikannya sebagai Imam Abu Ḥanīfah dalam hal ini adalah
dalil yang independen. Dalam hal ini, Imam fatwanya akan bolehnya akad pembuatan
al-Shāfi’ī memasukkan maṣlaḥah mursalah ke suatu barang (istiṣnā’) dengan syarat tidak ada
dalam kategori qiyās, seperti halnya Imam batas waktu yang ditentukan dan masalah
Aḥmad Ibn Ḥanbal.28 Contoh ijtihad Imam al- mengambil jaminan dari pembuat barang (al-
Shāfi’ī yang didasarkan pada maṣlaḥah mursalah ṣāni’ al-mushtarik). Kalau kita telusuri pada
adalah ketika beliau mengatakan dalam al-Um pembahasan para imam lainnya, mereka
”Jika para saksi membuat kesaksian bahwa menjadikan dua hukum masalah ini sebagai
seorang laki-laki telah mencerai istrinya tiga setting penerapan dalil maṣlaḥah mursalah
kali, dan hakim menceraikan antara suami (istiṣlāḥ).30 Dengan demikian, dapat dikatakan
istri tersebut, kemudian para saksi mencabut bahwa Imam Abu Ḥanīfah mengakui maṣlaḥah
kesaksian mereka, maka hakim mewajibkan mursalah sebagai dalil syar’i meskipun tidak
para saksi itu untuk membayar mahr mithil menjadikan sebagai dalil yang independen,
jika suami istri itu telah berhubungan (dakhala seperti halnya Imam Shāfi’ī dan Imam Aḥmad
27
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ., hlm. 320. 29
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ., hlm. 329.
28
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ., hlm. 322. 30
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ., hlm. 331-332.

Jamaludin Acmad Kholik, Maṣlaḥah Mursalah 27


bin Ḥanbal. Sedangkan apabila meneliti satu benang merah bahwa sebenarnya para
pendapat Imam al-Ghazālī, ada semacam imam mazhab dan para ulama salaf lainnya
kesimpangsiuran, karena dalam al-Mustaṣfā ia mengakui akan eksistensi maṣlaḥah mursalah
mensyaratkan ḍarūriyyah (primer), qaṭ’iyyah untuk dijadikan sandaran dalam menggali
(pasti) dan kullīyah (mencakup kepentingan hukum fikih (ijtihād) selagi masih dalam
umat secara umum) dalam pengambilan lingkup tujuan-tujuan syariat (maqāṣid al-
maṣlaḥah mursalah. Dalam Kitab-nya Shifa’ al- sharī’ah), meskipun ada yang mengakuinya
Ghalīl, ia tidak mambatasi legitimasi maṣlaḥah sebagai dalil yang independen seperti Imam
mursalah pada maslahah ḍarūriyyah saja, tapi Mālik dan ada pula yang menjadikan bagian
memperluas juga pada maslahah ḥājiyyah, dari salah satu dalil syar’i lainnya, seperti
sedang dalam kitabnya al-Mankhūl ia mengakui Imam al-Shāfi’ī dan Imam Aḥmad bin Ḥanbal
akan kehujahan maṣlaḥah mursalah dan tidak yang memasukkannya ke dalam kategori qiyās,
mensyaratkan keberadaannya pada salah satu juga Imam Abu Ḥanīfah yang memasukkan
gradasi (marātib) maslahah. Karena perbedaan dalam istiḥsān atau ‘urf. Hanya saja, memang
tersebut, para ulama uṣūl mempunyai tafsiran ada perbedaan frekuensi penerapan maṣlaḥah
masing-masing terhadap pendapat Imam mursalah dalam berijtihad. Ada yang cukup
Ghazālī. Banyak di antara mereka menetapkan banyak menggunakannya, seperti Imam Mālik,
bahwa pendapat Imam Ghazālī adalah ada juga yang cenderung berhati-hati seperti
disyaratkannya tiga hal di atas (ḍarūriyyah, Imam Shāfi’ī dan imam-imam lainnya.
qaṭ’iyyah dan kullīyah) yang disebutkan dalam Ada satu pelajaran menarik yang perlu
Kitab-nya al-Mustaṣfā, seperti Imam al-‘Aḍud kiranya kita ambil, kalau Imam Shāfi’ī dan
ketika mensyarahi Kitab Ibn al-Ḥājib dan Imam beberapa imam lainnya berhati-hati dalam
al-Kamal Ibn al-Humam dalam kitab al-Taḥrīr. menerapkan maṣlaḥah mursalah, padahal masa
Bahkan, ada yang mendukung tafsiran ini itu masih dekat dengan masa turunnya wahyu
seperti Imam al-Baiḍawī dalam Kitab al-Minhaj dan keimanan masyarakat saat itu masih kuat.
dan Imam al-Amidī dalam Kitab al-Iḥkām fi Uṣūl Sesuai dengan sabda Rasulullah Saw: “Sebaik-
al-Aḥkām. baik masa adalah masaku, kemudian masa yang
Imam al-Subkī menarik kesimpulan setelahnya, kemudian masa yang setelahnya,”
yang bisa menghindari pertentangan antara maka pada masa kita ini, perlu lebih berhati-
pernyataan, serta nampak lebih tepat dengan hati lagi, melihat obsesi-obsesi materialistik,
maksud, Imam al-Ghazālī sendiri. Beliau dekadensi moral dan krisis-krisis keagamaan
mengatakan bahwa ketika Imam al-Ghazālī lainnya sudah menjadi pemandangan yang
mensyaratkan ḍarūriyyah, qaṭ’iyyah dan kullīyah, biasa dalam masyarakat kita di masa ini. Ini
ia bermaksud untuk mengeluarkan maslahah bukan berarti meninggalkan maṣlaḥah mursalah
dengan ketentuan ini dari jenis maslahah sebagai salah satu dasar pengambilan hukum,
yang diperselisihkan oleh para ulama. Jika tapi suatu antisipasi agar tidak tergelincir
maslahah yang pertama tersebut jelas-jelas karena berlebihan dalam menerapkannya.
dapat dijadikan sandaran hukum tanpa ada
perbedaan pendapat antar ulama, maslahah Maṣlaḥah Mursalah dalam Dinamika Ijtihad
yang kedua masih harus dikaji terlebih dahulu Kontemporer
yang pada akhirnya diakui oleh Imam al- Di era informasi ini, urgensi maṣlaḥah
Ghazālī sebagai dalil syar’i selagi masih dalam mursalah sebagai salah satu dalil syar’i sangat
koridor tujuan-tujuan syari’at (maqāṣid al- besar, melihat banyak kasus yang muncul
sharī’ah).31 dan tidak kita jumpai pembahasannya
Setelah panjang lebar menganalisa secara khusus dalam teks-teks al-Qur’an dan
pendapat para ulama salaf, dapat kita tarik Hadis, ataupun kasus semisal yang dapat di-
qiyās-kan. Ulama dan para pemikir Islam
31
Al-Būṭī, Ḍawābiṭ., hlm. 342.

28 Vol. 25 No. 1 Januari 2016 | 20-32


kontemporer dalam menghadapi realitas ini baik secara implisit maupun eksplisit. Mereka
dapat kita petakan menjadi tiga kelompok: terilhami dengan cara berfikirnya Ibn Ḥazm al-
kelompok pertama sangat tekstual dan tidak Ḍāhirī yang menolak untuk menghubungkan
memerhatikan maqāṣid al-sharī’ah atau sisi antara teks dengan hikmah maupun maqāṣid-
kemaslahatan umat, atau yang dalam istilah nya. Misalnya, mereka berpendapat bahwa
Dr. al-Qarḍawi disebut dengan dzāhiriyyah mata uang yang beredar sekarang ini tidak
judūd; kelompok kedua tidak mau terikat pada bisa dikategorikan ke dalam uang syar’i yang
teks-teks al-Qur’an maupun Sunnah, dengan disebut dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Maka
alasan mengikuti maslahah. Kelompok ketiga tidak wajib dikeluarkan zakatnya dan tidak
mengambil sikap moderat, artinya tidak ada kaitannya dengan riba, karena uang yang
terlalu tekstual seperti kelompok pertama dan dimaksud dalam al -Qur’an dan Sunnah adalah
tidak terlalu bebas seperti kelompok kedua. emas dan perak. Kalau kita mengikuti jalan
Kelompok ini tetap berpegang pada teks pemikiran ini, orang yang memiliki milyaran
dengan memerhatikan kemaslahatan manusia uang tidak wajib mengeluarkan zakat dan
selagi tidak bertentangan dengan teks yang dengan bebas memberikan uangnya kepada
jelas dari sisi autentisitas dan dilalahnya (ṣarīḥ seseorang atau bank kemudian mengambil
al-tsubūt wa ṣarīḥ al-dilālah), yang sering disebut bunganya, karena menurut mereka tidak
dengan tayyār al-wasaṭiyyah (aliran moderat).32 termasuk barang riba. Pendapat ini sangat
Sikap moderat merupakan sikap orang tekstual dan tidak memperhatikan maqāṣid
bijak yang harus kita miliki, sebagaimana yang dikandung teks tersebut, bagaimana
Islam mengajarkan kita untuk mengambil tidak disebut uang syar’i, bukankah dengan
sikap moderat dalam berbagai hal, tidak terlalu uang itu orang membeli barang-barang,
berlebihan dan tidak terlalu sembrono (lā ifrāt menyewa rumah, membayar para pekerja,
walā tafrīt). Umat Islam pun dalam al-Qur’an membayar mahar dan yang lainnya. Fungsinya
disebut ummatan wasaṭan (umat yang moderat). tidak lain seperti fungsi emas dan perak pada
Sudah menjadi semacam aksioma bahwa saat turunnya wahyu33 dan masih banyak
semua hukum-hukum agama mengandung lagi contoh-contoh pendapat mereka yang
kemaslahatan bagi umat manusia, meski mengabaikan maqāṣid al-sharī’ah dari teks-teks
terkadang kemaslahatan itu hanya Allah Swt. al-Qur’an maupun Hadis.
yang mengetahui, seperti dalam masalah- Kelompok yang cenderung bebas dalam
masalah ibadah an sich dan yang semisalnya. menerapkan dalil maṣlaḥah meski bertentangan
Maka, seorang faqīh atau muftī selain harus dengan teks yang jelas keautentikan dan
memahami teks-teks agama, ia juga harus dilalahnya, mereka banyak menyandarkan
memahami realita dan kemaslahatan umat. pendapat ini pada ijtihad-ijtihad sahabat ‘Umar
Dengan demikian, ia akan memahami teks-teks bin Khattab dan pendapat Imam Najmuddīn
agama dalam lingkup tujuan-tujuan syariat al-Ṭūfī. Argumen ini perlu didiskusikan lebih
(maqāṣid sharī’ah) yang dikandungnya. lanjut, karena ijtihad-ijtihad Umar kalau kita
Kelompok yang hanya berinteraksi dengan teliti dengan seksama, tidak bertentangan
teks tanpa memerhatikan tujuan-tujuan dengan teks-teks al-Qur’an maupun Sunnah
syari’at yang dikandungnya, pada hakekatnya dengan alasan maslahah, tapi justru merupakan
meninggalkan perintah-perintah syari’at, yang implementasi dari teks-teks tersebut dalam
menganjurkan umat Islam untuk berfikir dan berijtihad. Contohnya, ijtihad Umar dalam
mentadaburi teks-teks al-Qur’an dan Sunnah masalah pencurian yang pencurinya tidak
dipotong tangannya. Dalam masalah ini,
32
Yūsuf al-Qarḍāwi dalam al-Siyāsah al-Shar’iyyah, (Kairo: Umar bukan berarti meninggalkan penerapan
Maktabah wahbah), hlm. 228-229; al-Ijtihād fī al-Sharī’ah al-
Islāmiyyah., hlm. 174; al-Ijtihād al-Mu’āṣir bayna al-Inḍibāṭ wa al-
ayat tentang pencurian (sariqah), hanya
Tafriṭ, (Kairo: Maktabah Wahbah), hlm. 88.
33
Al-Qarḍāwi, al-Siyāsah al-Shar’iyyah., hlm. 239.

Jamaludin Acmad Kholik, Maṣlaḥah Mursalah 29


saja ia memahami bahwa ada syarat dalam dhannī, itupun bukan dengan menelantarkan
melaksanakan hukuman ḥad, yaitu harus bersih teks tersebut, tapi dengan men-takhṣiṣ atau
dari syubhat (kesamaran) sebagaimana sabda menjelaskan, sebagaimana Sunnah men-
Rasulullah Saw. “Hindari hukuman-hukuman takhṣiṣ dan menjelaskan al-Qur’an.36 Dari sini
ḥad dengan adanya kesamaran (syubhāt).”34 pendapat Imam al-Ṭūfī tidak bisa dijadikan
Sedangkan pencurian dalam kasus ini terjadi rujukan dalam melegitimasi maslahah yang
pada masa paceklik, ada kemungkinan pencuri bertentangan dengan teks yang qaṭ’ī al-tsubūt
itu termasuk orang yang muḍtar (kondisi wa al-dilālah, seperti dilakukan oleh beberapa
darurat), kondisi ini merupakan syubhāt yang pemikir di masa sekarang.
bisa menghalangi pelaksanaan hukuman Sebagai ummatan wasaṭan, sudah selazimnya
potong tangan bagi pencuri.35 Demikian juga kita mengambil sikap yang moderat, dengan
dalam ijtihad-ijtihad Umar yang lain, seperti tetap berpegang kepada teks-teks al-Qur’an
muallafah qulūbuhum yang tidak diberi bagian maupun Sunnah dan memahaminya dalam
zakat, tanah Irak tidak dibagi kepada para lingkup tujuan-tujuan syari’at (maqāṣid
mujahidin dan masalah-masalah lainnya. sharī’ah), sehingga kita dapat mengembalikan
Semua ijtihad ini tidak bertentangan dengan furū’ (cabang) kepada uṣul-nya (pokok),
teks, namun lebih merupakan penerapan dimensi-dimensi yang berubah (mutaghayyirāt)
teks secara proporsional yang tidak bisa kita kepada dimensi-dimensi yang permanen
jelaskan semua di sini. (tsawābit). Inilah manhaj yang kita yakini akan
Sementara itu, Imam al-Ṭūfī, meskipun dapat menginterpretasikan kebenaran Islam
menganut pendapat yang berbeda dari para sebagai agama raḥmatan li al-’ālamīn.
ulama lain dalam masalah maslahah dan telah Ada pendapat yang mengatakan bahwa
dibantah habis-habisan oleh para ulama uṣūl al- mengikuti hukum-hukum seperti yang ada
fiqh, tapi pendapatnya tidak sampai menafikan dalam teks-teks al-Qur’an dan Sunnah akan
(mengeliminasi) teks yang qaṭ’ī dengan dalih mengakibatkan stagnasi, karena teks-teks
maslahah. Imam al-Ṭūfī mengatakan “Jika tersebut hanya berlaku pada masa turunnya
terjadi pertentangan antara maṣlaḥah dan teks, wahyu, sehingga kita perlu merubah semua
maka yang dimenangkan haruslah maṣlaḥah.” hukum sesuai dengan kondisi zaman.
Ia menjelaskan bahwa pengutamaan maslahah Pernyataan seperti ini tidak akan muncul
di sini bukan dengan menelantarkan dan kalau seseorang mendalami sifat teks-teks
mengeliminasi, tapi sebagai takhṣiṣ dan Islam. Al-Qur’an dan Hadis menjelaskan
penjelasan (bayān). Di tambah lagi, teks yang permasalahan secara detail yang jumlahnya
dimaksud Imam al-Ṭūfī di sini bukan teks tidak banyak, yaitu hanya seputar masalah
yang qaṭ’ī, melainkan teks dhannī baik dari segi ibadat dan beberapa hukum lain seperti
sanad maupun matan, sebagaimana termaktub masalah hudud, kafarat, warisan dan
dalam keterangan-keterangannya sendiri. semisalnya. Masalah-masalah tersebut tidak
Dengan demikian, Imam al-Ṭūfī melihat tidak menuntut perubahan hukum, meski zaman
ada pertentangan antara maṣlaḥah dan teks berubah, karenanya Allah Swt. menjelaskan
yang qaṭ’ī, melainkan yang terjadi adalah hukum-hukum ini secara teperinci. Sementara
pertentangan antara maṣlaḥah yang qaṭ’ī dan itu, permasalahan-permasalahan lain yang
teks yang dhannī. Maka dari itu, maṣlaḥah kondisinya berubah sesuai dengan zaman
yang qaṭ’ī harus dimenangkan atas teks yang (dan jumlahnya jauh lebih banyak), Allah Swt.
tidak menjelaskan hukum-hukumnya secara
34
Hadis shahih diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, lihat al- teperinci, namun cukup dengan menetapkan
Būṭi, Ḍawābiṭ., hlm. 132.
35
Al-Qarḍāwi, al-Siyāsah al-Shar’iyyah., hlm. 202; dan
kaidah-kaidah umum yang harus dipegang,
Muhammad Baltāji, Manhaju ‘Umar Ibn al-Khaṭṭāb fi al-Tashrī’, sedang teknisnya bisa berubah sesuai dengan
(Kairo: Maktabatu al-Shabāb), hlm. 275; dan al-Zuhaili, Uṣūl al-
Fiqh., hlm. 131. 36
Al-Qarḍāwi, al-Siyāsah al-Shar’iyyah., hlm. 160-161.

30 Vol. 25 No. 1 Januari 2016 | 20-32


kondisi zaman. Kita menjumpai persoalan- yang telah merombak kitab-kitab sucinya dan
persoalan ini dalam teks-teks al-Qur’an dan meninggalkan hukum-hukum yang diturunkan
Sunnah yang membicarakan masalah interaksi oleh Allah Swt. kepada para Rasul-Nya.
antar sesama manusia (mu’āmalāt dan ‘ādāt). Sebagai ummatan wasaṭan, sudah seyogianya
Dengan adanya hal-hal yang permanen, suatu umat Islam mengambil sikap yang moderat,
sistem akan menjadi stabil dan dengan adanya dengan tetap berpegang kepada teks-teks al-
hal-hal yang bisa berubah sesuai dengan Qur’an maupun Sunnah dan memahaminya
kondisi, suatu sistem bisa selalu relevan dalam lingkup tujuan-tujuan syari’at (maqāṣid
meski kondisi berubah. Demikianlah syari’at sharī’ah), sehingga kita dapat mengembalikan
Islam mempunyai dua dimensi ini sekaligus, furū’ (cabang) kepada uṣul-nya (pokok).
sehingga bisa berjalan dengan stabil dan selalu Dimensi-dimensi yang berubah (mutaghayyirāt)
relevan kapanpun dan dimanapun (ṣāliḥ li kulli kepada dimensi-dimensi yang permanen
zamān wa makān). (tsawābit). Inilah manhaj yang kita yakini akan
dapat menginterpretasikan kebenaran Islam
KESIMPULAN sebagai agama rahmatan li al-’ālamīn.
Urgensi maṣlaḥah mursalah sebagai dalil Dari sini, betapa pentingnya kita mengkaji
syar’i tidak bisa diremehkan dalam ruang lebih dalam lagi al-Qur’an dan Sunnah dengan
ijtihad, terutama di era informasi yang semakin memahami maqāṣid yang dikandung, serta
canggih ini. Kesan sebagian orang bahwa membekali diri dengan keimanan yang akan
mayoritas ulama tidak menyetujui validitas menjadi motivator untuk mengamalkan
metode ijtihad ini sebagai dalil syar’i tidak bisa ilmu-ilmu yang kita pelajari. Karena meski
diterima lagi. Setelah kita teliti, ternyata para bergunung ilmu, jika tidak dilandasi dengan
ulama banyak menerapkan dalam berijtihad, keimanan dan hidayah Allah Swt., tidak akan
meskipun sebagian tidak mengakui sebagai membawa keberuntungan seseorang, bahkan
dalil yang independen, tapi memasukkan ke akan membuat tergelincir dan semakin jauh
dalam dalil lain seperti qiyās ataupun istiḥsān dari Allah. Maka, beruntunglah seorang yang
seperti paparan di atas. bertambah ilmunya disertai dengan semakin
Aplikasi maṣlaḥah mursalah dalam kuat keimanan dalam sanubarinya.
berijtihad tentunya mempunyai ketentuan
yang harus dipegang, agar dapat menerapkan
dalil ini secara proporsional. Hal ini mengingat
ada sebagian pemikir kontemporer yang tidak
menghiraukan ketentuan-ketentuan dalam
menerapkan metode ini. Mereka seakan tidak
menjumpai dalil lain dalam syari’at selain
maslahah, meskipun bertentangan dengan
al-Qur’an maupun Sunnah, yang berimplikasi
pada banyaknya hukum Allah Swt. yang sudah
dijelaskan secara rinci dan gamblang dalam
al-Qur’an dan Sunnah diganti dengan hukum-
hukum buatan manusia yang tidak tahu akan
kemaslahatan dirinya yang hakiki. Kalau kedua
wasiat yang ditinggalkan Rasulullah Saw.
(al-Qur’an dan Sunnah) sudah ditinggalkan,
apalagi yang tersisa dari agama Islam ini,
tentunya kita tidak rela jika umat Islam
mengikuti jejak kaum Yahudi dan Nasrani

Jamaludin Acmad Kholik, Maṣlaḥah Mursalah 31


DAFTAR PUSTAKA al-Suyūṭī , al-Imām, Al-Ashbāh wa al-Nadhāir,
Kairo: Dar al-Salām.
al-Shaṭibī, al-Imām, Al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-
Sharī’ah, syarh dan takhrij Syeikh Abdullah
Baltāji, Muhammad, Manhaju ‘Umar Ibnu Al- al-Darrāz, Beirut: Dār al-Kutub al-‘ilmīyah.
Khathāb fi al-tashrī’, Kairo: Maktabatu al-
Shabāb). al-Qarḍāwī, Yūsuf, Al-ijtihād al-Mu’āṣir bayna
al-Inḍibāṭ wa al-Tafrit, Kairo: Maktabah
al-Būṭī, Muhammad Sa’īd Ramaḍān, Ḍawābiṭ Wahbah, T.t.
al-Maṣlaḥah, Suriah: Muassasah al-Risālah,
T.t. __________, Al-siyāsah al-Shar’iyyah, Kairo:
Maktabah Wahbah, T.t.
al-Bughā, Muṣṭafā Dīb, Atharu al-Adillah al-
Mukhtalaf fīhā fi al-Fiqh al-Islāmi, Damaskus: __________, Al-Ijtihād Fī al-Sharī’ah al-Islāmiyyah,
Dār al-Qalam, T.t. Kuwait: Dār Al-Qalam, I-1417 H/ 1996 M.

al-Fa’r, Hamzah Husain, “Al-Fawāid Al- __________, Madkhal Lidirāsat al-Sharī’ah al-
Bankiyyah Wafatwā Majma’ Al-Buhūts Al- Islāmiyyah, Kairo: Muassasah al-Risālah,
Islāmiyyah,” dalam Al-Iqtiṣād Al-Islāmī, 260- T.t.
261 Dzul Qa’dah dan Dzul Hijjah 1412 H/ al-Zuhailī, Wahbah, Uṣul al-Fiqh al-Islāmī,
Januari-Februari 2003 M. Suriah: Dār al-Fikr.
Jum’ah, Muhammad Ali, Āliyatu al-Ijtihād, Kairo:
Al-Risālah, I-1425 H/ 2004 M.
Resuni, Ahmad, “Al-Ijtihād Bayna al-Nāṣ wa al-
Wāqi’ wa al-Maṣlaḥah”, dalam Al-Ijtihād Al-
Naṣ, Al-Wāqi’, Al-Maṣlaḥah, dialog antara Dr.
Ahmad Resuni dengan Prof. Muhammad
Jamal Barut, Beirut: Dar Al-Fikr, 1422 H/
2002 M.

32 Vol. 25 No. 1 Januari 2016 | 20-32

Anda mungkin juga menyukai