Karena
sesungguhnya, syari’at Islam diformulasikan untuk mewujudkan kebahagiaan
umat manusia.[1] Islam tidak pernah bersikap kaku dalam menyikapi suatu
persoalan. Ia selalu memandang setiap persoalan dari berbagai persepektif
dan sudut pandang, sehingga hukum-hukum yang dicetuskannya selalu
obyektif, kooperatif dan kompherensif.[2]
Maka bisa dipastikan bahwa batasan-batasan yang telah digariskan dalam
syari’at Islam, tidak ditujukan untuk mempersulit kegiatan-kegiatan manusia
dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, syari’at Islam ditetapkan dengan
tujuan mendatangkan suatu faedah, manfaat, kebaikan dan kepentingan bagi
seluruh manusia serta menghindarkan mereka dari segala kerusakan dan
kerugian dalam bentuk apapun.
Seperti dalam urusan bermuamalah, syari’at membolehkan jual beli karena
ada maslahat dan kepentingan yang bisa diperoleh dengannya. Sedangkan
riba diharamkan oleh syari’at karena terdapat unsur kedzhalimandalam
transaksi seperti ini. Jual beli yang mengandung gharar juga dilarang karena
akan mendatangkan mafsadat atau mudarat yang merugikan bagi salah satu
pihak.[3]
Demikianlah sedikit permisalan paling sederhana tentang meraih maslahat
dan menghindari mafsadat yang diinginkan oleh syari’at. Masih banyak
contoh-contoh lain yang tidak mungkin semuanya disebutkan di sini, karena
semua syari’at Islam diproyeksikan untuk menghindari mafsadat dan meraih
maslahat.[4] Jika suatu maslahat dalam syari’at tidak diketahui, sebenarnya
ada maslahat yang belum terungkap karena kemampuan kita yang terbatas
dalam menelaahnya. Pada intinya, di mana ada syari’at, maka di situ ada
maslahat.[5]
[4] Al-‘Izz bin Abdus Salam, Qawa’id al-Ahkam fii Ishlaahi al-Anaam, (Beirut:
Daar al-Ma’arif, tanpa tahun). Jil. 1. Hal. 9
[5]Al-Qarafi, an-Nafais Syarh al-Mahshul, (cet. 1, 1994).Jil. 1. Hal. 324.
Akan tetapi, meskipun setiap hukum dalam Islam tidak bisa terlepas dari
adanya maslahat, bukan berarti sebuah hukum dapat ditentukan dan diubah
semudah membalik tangan dengan berdalih kemaslahatan. Seperti kelompok
liberal, mereka berani menghalalkan LGBT[6] atas nama humanisme;
memperjuangkan kepentingan dan kemaslahatan manusia. Padahal dalam
Islam, ada beberapa syarat dan ketentuan yang berlaku untuk menetapkan
suatu hukum dengan maslahat. Oleh sebab itu, makalah ini akan
membahas dhawabith atau kriteria maslahat yang bisa dipertimbangkan dan
menjadi hujjah dalam syari’at Islam. Wallahul musta’an.
[6]LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender). Di antara tohok-tokoh
liberal adalah: Irshad Manji dan Musdah Mulia. Contoh kasus tentang hal ini
adalah terbitnya sebuah artikel berjudul “Indahnya Kawin Sejenis” dalam
jurnal “JUSTISIA” yang mendapat ijin terbit dari: Dekan Fakultas Syariah IAIN
Walisongo Semarang.
YUK IKUT AMAL JARIYAH: PEMBANGUNAN GEDUNG KANTOR
DAN KELAS MA’HAD ‘ALY AN-NUUR
Hakikat Maslahat[7]
[7]Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disebutkan bahwa arti dari
maslahat adalah; sesuatu yang mendatangkan kebaikan, keselamatan dan
sebagainya seperti; faedah atau guna.Sedangkan arti dari kemaslahatan
adalah; kegunaan, kebaikan, manfaat dan kepentingan. Adapun kata
‘maslahat’ dalam kosa kata bahasa Indonesia adalah serapan dari kata “al-
mashlahah” dalam bahasa Arab. Besar kemungkinan adanya penyerapan
bahasa ini dikarenakan sulitnya mencari padanan kata yang mampu mewakili
arti yang dikandung oleh kata “al-mashlahah” dalam bahasa Indonesia.
Menurut Abdul Wahab Khalaf, mayoritas ulama sepakat bahwa maslahat bisa
dijadikan hujjah.[21]Selain Abdul Wahab, beberapa ahli ushul lainnya juga
menegaskan bahwa seluruh madzhab bersepakat menggunakan maslahat. Di
antara mereka adalah al-Qarafi (w. 684)[22] , Ibnu Daqiq al-‘Ied (w. 685 H)
[23] dan para pakar Ushul Fiqh kontemporer.[24]
[21]Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Maktabah ad-Dakwah, tanpa
tahun). Hal. 85
[22]Beliau adalah ulama madzhab Malikiyah Syihabuddin Abu al-Abbas
Ahmad bin Idris al-Qarafi (w. 684). Adapun pernyataan beliau dalam hal ini
bisa dilihat dalam kitab; “Syarh Tanqqih al-Fushuul”, hal. 394.
[23]Beliau adalah Musa bin Ali bin Wahb bin Muthi’ al-Qusyairi (641-685
H/1244-1286 M).Seorang ulama ternama di masanya. Lihat: al-A’lam, karya
az-Zarkali. Adapun beliau dalam hal ini adalah sebagaimana dinukil oleh
Badruddin Muhammad bin Bahadir bin Abdullah az-Zarkasyi dalam al-Bahru
al-Muhith (Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1421 H/2000 M) ,Jil. 4. Hal. 378 .
[24] Mereka adalah: Mushtafa Zaid dalam al-Mashlahah fi Tasyri’ al-
Islami hal.38-60, al-Buthi dalam Dawabith al-Mashlahah hal.367, Musthafa
Ahmad az-Zarqa dalam al-Istishlah hal.60, al-Bugha dalam al-Adillah al-
Mukhtalafah Fiiha, hal. 41. Lihat juga: Muhammad Sa’d bin Ahmad bin
Mas’ud al-Yubi, Maqashid as-Syari’ah wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah as-
Syar’iyyah, (Saudi: Daar Ibnul Jauzi, 2008), hal. 504.
Di sisi lain, ketika para ulama memberikan perhatian yang tinggi tentang
eksistensi maslahat, banyak orang yang kemudian memanfaatkan maslahat
untuk berpaling dari syari’at. Mereka adalah musuh-musuh Islam (kaum
orientalis-liberal) yang telah menggunakan senjata baru dalam
menghancurkan Islam yaitu dengan menganjurkan dibukanya pintu ijtihad
seluas mungkin dan menekankan bahwa metode maslahat adalah metode
yang sangat fundamental untuk menjadi rujukan.[39]
[39]Al-Buthy, Dhawabith al-Maslaẖah fi asy-Syari’ah al-Islamiyah. (Damaskus:
Dâr al-Fikr, 2005). Hal. 11
Akan tetapi jika maslahat diabaikan begitu saja, justru akan bertentangan
dengan karakter syari’at Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Abdul Wahab Khalaf
berkata; ”Saya mengunggulkan penetapan hukum syari’at
berdasarkan maslahah mursalah. Karena jika kesempatan ini tidak dibuka,
syari’at Islam akan beku dan tidak mampu mengikuti perkembangan zaman
dan lingkungan.”[46]
[46] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Hal. 88.
Hal tersebut dikarenakan jika maslahat dan mafasadat hanya dinilai melalui
penalaran akal saja, kemungkinan akan menjerumuskan seseorang pada
jurang syahwat yang besar. Maka tidak boleh menetapkan hukum dengan
bersandar kepada akal.[50] Sebab tidak jarang akal manusia diracuni oleh
syahwat dan hawa nafsu.[51] Apa yang sebenarnya bernilai maslahat
dianggap mafsadat, dan apa yang bernilai mafsadat dianggap maslahat
hanya karena tidak sesuai dengan hawa nafsu. Maka dari itu, nalar tidak
terlalu mendominasi dalam maslahat. Karena landasan maslahat dalam Islam
adalah petunjuk syari’at, bukan semata-mata berdasarkan akal manusia.[52]
[50] Husen Hamid Hasan, Nadzhariyatu al-Mashlahah fi Fiqhi al-Islamiy, hal.
51, sebagai kesimpulan dari perkataan Imam Asy-Syathibi dalam kitab al-
Muawafaqat, (Daar Ibnu ‘Affan, 1997). Jil. 1. Hal. 27
[51] Abdul Haq, dkk. Formulasi Nalar Fiqih, Telaah Kaedah Fikih
Konseptual, (Surabaya; Khalista, 2005).Hal. 191.
[52] Amir syarifudin, Ushul Fikih, (Jakarta; Kencana Prenada Media Group,
Cet 5, 2009 M) Jil. 2.. Hal. 326.
Oleh sebab itu, pihak kerajaan meminta kepada para ulama agar
memfatwakan bolehnya menarik pajak tambahan dari masyarakat guna
memperkuat perekonomian. Para ulama ketika itu menolak permintaan
kerajaan, akan tetapi dengan melihat realita perekonomian dan mashlahat
umat Islam waktu itu, Imam asy-Syathibi melegalkan tindakan tersebut.
Beliau mengatakan; “Apabila kita telah menetapkan seorang pemimpin,
kemudian pemimpin tersebut membutuhkan dana untuk memperbanyak
pasukan yang menjaga perbatasan kerajaan dan menlindungi wilayah
kerajaan yang sangat luas, namun keuangan Baitul Mal sedang kosong, maka
jika pemimpin tersebut adil, boleh membebankan pendanan semua itu kepada
orang-orang kaya secukupnya sampai keuangan Baitul Mal pulih kembali.
Selanjutnya, supaya tidak terkesan pilih kasih yang akhirnya menyebabkan
masyarakat tidak enak hati, pemimpin tersebut juga harus menariknya dari
hasil pertanian, perkebunan, dan lain sebagainya.[56]
[56]Asy-Syathibi, al-I’tisham. (Kairo: Daar al-Aqidah). Hal. 343.
Contoh lain dari maslahat yang sia-sia karena bertentangan dengan nash al-
Qur’an adalah; fatwa Yahya bin Yahya al-Laitsi al-Maliki, ulama Andalusia dan
murid Imam Malik bin Anas. Pada masa beliau, ada seorang raja dari negara
Spanyol yang berbuka dengan sengaja di siang hari bulan Ramadhan dengan
melakukan jima’. Yahya berfatwa bahwa sang raja tidak perlu membebaskan
budak, tapi dia harus berpuasa dua bulan berturut-turut.
Yahya mendasarkan fatwanya bahwa kemaslahatan menuntut hal ini, karena
tujuan kewajiban memenuhi kafarat adalah membuat jera dan tidak ada yang
membuat raja itu jera kecuali dengan berpuasa. Karena jikalau ia diwajibkan
memerdekakan budak, hal itu sangat ringan baginya.
Fatwa ini memang didasarkan pada kemaslahatan, tetapi maslahat tersebut
bertentangan dengan nash. Karena nash yang jelas bagi orang yang
membatalkan puasanya dengan sengaja di bulan Ramadhan adalah
memerdekakan budak, bila tidak menemukan maka harus berpuasa dua
bulan berturut turut, dan bila tidak mampu juga maka harus memberi makan
kepada enam puluh orang miskin,[58] tanpa membedakan apakah yang
berbuka itu seorang raja atau seorang fakir. Kemaslahatan yang dianggap
seorang mufti tersebut tidak termasuk al-maslahah al-mursalah, bahkan itu
adalah pendapat yang bathil.[59]
[58]H.R. Bukhari no. 1088, Muslim no. 1870 dan Abu Daud no. 2042.
[59]Lihat al-Mustashfa fi Ilmi al-Ushul Hal. 173, karya Imam al-Ghzali al-
I’tisham karya Abu Ishaq asy-Syatibi dalam pembahasan perbedaan antara
bid’ah dan al-maslahat al-mursalah. Jil. 1. Hal. 87. Lihat juga Abdul Wahab
Khalaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, Abdul Wahab Khalaf hal. 87.
Demikinlah syarat atau kriteria pertama yang dijelaskan oleh al-Buthi. Ketika
memberi pengertian maslahat secara terminologi, al-Buthi mendefinisikannya
sebagaimana berikut; “Manfaat yang menjadi tujuan Asy-Syaari‘ untuk
hamba-hamba-Nya, demi melindungi agama, jiwa, akal, keturunan dan harta
mereka serta pelaksanaannya sesuai dengan urutan di atas.[64] Inilah hakikat
maslahat yang bisa dipertimbangkan syari’at, adapun maslahat yang keluar
dari ranah maslahat yang hakiki ada dua macam:
[64] Ibid. Hal. 23.
Untuk lebih memperjelas, contoh dari jenis yang kedua ini adalah; jihad
karena ingin dipuji. Sebagaimana telah diketahui bahwa jihad adalah syari’at
yang mengandung maslahat melindungi agama. Akan tetapi, jika aktivitas
jihad tidak berlandaskan tujuan yang benar, maka bisa dikatakan jihad
seseorang menimbulkan mafsadat lantaran salah niat. Hal ini juga berlaku di
setiap ibadah atau amalan ketaatan lainnya yang bisa gugur karena riya’.[66]
[66] Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan, Dhawabith al-Maslahah fî
as-Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut: Mu’assasah ar-Risâlah, 1973). Hal.
125.
Maslahat yang lebih tinggi atau lebih penting harus didahulukan daripada
maslahat di bawahnya. Jika terjadi pertentangan diantara maslahat–maslahat,
maka sesuatu yang dharuri (primer) lebih didahulukan daripada
yang haji (sekunder). Dan sesuatu yang haji lebih didahulukan daripada
yang tahsini (tersier).[82]
[82] Ibid. Hal. 250-251.
Salah satu contohnya adalah apabila seorang wanita ikut bekerja di berbagai
pabrik dan industri. Dalam kasus ini, terdapat maslahat yang
bersifat tahsini (tersier) berkaitan dengan hifdzu al-maal karena dapat
menambah pemasukan dan produksi. Akan tetapi, ikut bekerja seperti itu
menyebabkan terbengkalainya peran utama seorang wanita yang menjadi
ratu dalam sebuah rumah tangga untuk mewujudkan keluarga yang baik. Dan
hal ini termasuk perkara haji (sekunder) yang berkaitan dengan hifdzu an-
nasl.[83] Maka kepentingan hifdzun nasl yang haji (sekunder) lebih
diutamakan atas kepentingan hifdzu al-maal yang tahsini (tersier).[84]
[83] Abdul Karim bin Ali bin Muhammad an-Namlah, al-Muhadzzab fi ‘Ilmi
Ushul Fiqh al-Muqaran, (Riyadh: Maktabah ar-Rusyd). Jil. 3. Hal. 1005
[84] Ibid. Hal. 260-261.
Perlu diketahui juga bahwa setiap kali Allah mewajibkan sesuatu, maka di
sana ada keringanan yang juga disyari’atkan untuk mempermudah
pelaksanaannya jika terkendala kesulitan.[89]Seperti keringanan untuk duduk
dan jama’ yang menyertai kewajiban shalat dan kebolehan berbuka puasa
bagi musafir menyertai kewajiban shaum dan sebagainya.[90]
[89] Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Dhawabith al-Maslahah fî asy-
Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut: Mu’assasah ar-Risâlah, 1973). Hal. 277.
[90] Al-Burnu, al-Wajiz fi Idhaahi al-Qawaid al-Fiqhiyyah, (Beirut: Muassasah
ar-Risalah). Hal. 227.
Arti dari kaidah di atas adalah; “Adat istiadat dapat dijadikan pijakan
hukum.”[92]Anggapan bahwa dhawabith maslahat bertentangan dengan
kaidah ini dikarenakan pemahaman yang keliru terhadap makna kaidah.
[93] Maka perlu ditegaskan bahwa makna kaidah ini bukan berarti sebagian
hukum-hukum syari’at dengan serta merta bisa berubah sesuai tradisi dan
adat istiadat di suatu tempat.Karena sebuah tradisi bukanlah landasan yuridis
atau perangkat metodologis otonom yang berfungsi mencetuskan hukum-
hukum baru.[94]
[92]Kaidah ini merupakan ungkapan teringkas sekaligus terbaik di antara
formulasi yang pernah dibuat ulama-ulama terdahulu. Sebelumnya,
perumusan teks kaidah ini tertuang dalam beragam ungkapan yang
cenderung rumit dan kurang sederhana, seperti: “al-I’tibar bi al-A’daat wa ar-
Ruju’ ilayha.”(Memperhitungkan tradisi dan merujuk kepadanya) dan “Mura’at
al-A’raaf wa al-A’daat.”(Memelihara tradisi dan adat istiadat). Lihat juga: Abdul
Haq, dkk. Formulasi Nalar Fiqih, Telaah Kaedah Fikih Konseptual, (Surabaya;
Khalista cet . ke – 2, 2005) Hal. 267.
[93]Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Dhawabith al-Maslahah fî asy-
Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut: Mu’assasah ar-Risâlah, 1973).Hal. 281.
[94] Lihat Muhammad Sidqi bin Ahmad al-Burnu, al-Wajiz fi Idhaahi al-Qawaid
al-Fiqhiyyah dan Abdurrhaman bin Abdullah asy-Sya’lani, Dirasah wa Tahqiq
Kitab al-Qawaid.
Fenomena kebudayaan hanyalah “sekedar ornamen” untuk melegitimasi
hukum-hukum syari’at dan bukanlah sebuah dalil mustaqil (independen/berdiri
sendiri) yang akan melahirkan produk hukum. Karena adat yang bisa
dijadikan piranti hukum hanyalah adat istiadat yang dinilai baik menurut
perspektif syari’at dan tentunya tidak bertentangan dengan nash-nash syar’i.
[95]
[95] Abdul Haq, dkk. Formulasi Nalar Fiqih, Telaah Kaedah Fikih
Konseptual, (Surabaya; Khalista cet . ke – 2, 2005) Hal. 268.
Kesimpulan
Suatu maslahat dapat dijadikan hujjah apabila memenuhi syarat dan kriteria
yang disebut “dhawabith al-mashlahah”. Maka dari itu, dalam menentukan
suatu hukum, menerapkan dhawabith maslahat adalah sebuah keniscayaan
agar intervensi hawa nafsu di dalamnya dapat dihilangkan. Tidak berlebihan
kiranya jika dhawabith maslahat disebut sebagai salah satu perangkat ijtihad
yang aksiomatik.
Selain itu, adanya dhawabith maslahat dapat memperlihatkan perbedaan
antara konsep maslahat dalam Islam dan konsep maslahat versi humanism
yang mengatakan bahwa standar untuk menentukan maslahat adalah dengan
pertimbangan akal dan realitas yang berbeda dan berubah. Adapun dalam
Islam, maslahat adalah nilai kebahagiaan yang bisa diwujudkan dengan
ketentuan syari’at, bukan dengan penalaran akal semata. Wallahul muawafiq
ilaa aqwamith thoriiq.
[1]Muhammad Said Ramadhan al-Buthy, Dhawabith al-Maslaẖah fi asy-
Syari’ah al-Islamiyah. (Damaskus: Daar al-Fikr, 2005). Hal. 123.
[2] Abdul Haq, dkk. Formulasi Nalar Fiqih, Telaah Kaedah Fikih
Konseptual, (Surabaya; Khalista cet 2, 2005) hal. 191.
[3] Wahbah Zuhaili, al-Wajiz fi Fiqhi al-Islamiy, (Damaskus: Daar al-Fikr, cet. 1
t. 2005) Jil. 2 Hal. 38
[4] Al-‘Izz bin Abdus Salam, Qawa’id al-Ahkam fii Ishlaahi al-Anaam, (Beirut:
Daar al-Ma’arif, tanpa tahun). Jil. 1. Hal. 9
[5]Al-Qarafi, an-Nafais Syarh al-Mahshul, (cet. 1, 1994).Jil. 1. Hal. 324.
[6]LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender). Di antara tohok-tokoh
liberal adalah: Irshad Manji dan Musdah Mulia. Contoh kasus tentang hal ini
adalah terbitnya sebuah artikel berjudul “Indahnya Kawin Sejenis” dalam
jurnal “JUSTISIA” yang mendapat ijin terbit dari: Dekan Fakultas Syariah IAIN
Walisongo Semarang.
[7]Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disebutkan bahwa arti dari
maslahat adalah; sesuatu yang mendatangkan kebaikan, keselamatan dan
sebagainya seperti; faedah atau guna.Sedangkan arti dari kemaslahatan
adalah; kegunaan, kebaikan, manfaat dan kepentingan. Adapun kata
‘maslahat’ dalam kosa kata bahasa Indonesia adalah serapan dari kata “al-
mashlahah” dalam bahasa Arab. Besar kemungkinan adanya penyerapan
bahasa ini dikarenakan sulitnya mencari padanan kata yang mampu mewakili
arti yang dikandung oleh kata “al-mashlahah” dalam bahasa Indonesia.
[8]Al-Fayumi, al-Mishbah al-Munir, (Beirut, Maktabah al-Ilmiyah) Jil.1 hal. 345.
[9]Ibrohim Musthofa, dkk, al Mu’jam al Wasith, (Kairo: Maktabah asy- Syuruq
ad-dauliyah, cet. ke – 4, 2004 M/1425 H). Hal. 520
[10] Muhammad bin Muhammad al-Husaini, Tajul ‘Arus Syarh al-Qamus, Jil.3
hal. 183
[11] Al-Fairuz Abadi, al-Qamus al-Muhith, Jil. 1. Hal. 391 (Versi Maktabah
Syamilah)
[12] Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, (Kairo: Darul Ma’arif) Hal. 2479-2480.
Pengertian ini juga termaktub dalam kitab Mukhtaataru ash-Shahaah, Hal. 75
[13]Izzudin bin Abdis Salam, al-Fawaid fi Ikhtishaari al-Maqashid aw al-
Qawaid as-Sughraa (Damaskus: Daar al-Fikr 1996). Hal. 32.
[14]Lihat Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Dhowabitul Maslahah.
(Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), Hal. 23
[15] Ahmad dan Muhammad Jamal Barut ar-Raysuni, Al-Ijtihad: an-Nash, al-
Waqi’, al-Maslahah, (Beirut: Daar al-Fikr al-Mu’âshir, 2000), hal 33-37.
[16] Imam Abu Hamid Al Ghazali, Al Mustashfa bi tahqiqi Abdullah Mahmud
Muhammad Umar, (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, cet 1, 2008) Hal. 275.
[17] Husen Hamid Hasan, Nadzhariyat al-Mashlahah fi Fiqhi al-Islamiy, hal. 8
[18]Asy-Syathibi, Al Muwafaqat fi Ushul Asy Syariah, (Beirut: Dar Ibnu Affan,
Cet 1, 1997 M/1417 H) Jil. 2. Hal. 44
[19]Ibid. Jil. 2. Hal. 45.
[20]Maksud maslahat dalam makalah ini adalah “al-Mashlahah al-
Mursalah.”Yaitu maslahat yang termasuk dalam tujuan syari’at, namun tidak
ada dalil khusus yang menetapkan atau menolaknya. Lihat al-
Mustashfa karya Imam al-Ghazali (Beirut: Daar Kutub al-‘Ilmiyah). Hal. 173.
Lihat juga Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul Fiqh. Hal.74 dan 84 dan
Muhammad Kamaluddin Imam, Ushulul Fiqh al-Islamiy, Hal. 200.
[21]Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Maktabah ad-Dakwah, tanpa
tahun). Hal. 85
[22]Beliau adalah ulama madzhab Malikiyah Syihabuddin Abu al-Abbas
Ahmad bin Idris al-Qarafi (w. 684). Adapun pernyataan beliau dalam hal ini
bisa dilihat dalam kitab; “Syarh Tanqqih al-Fushuul”, hal. 394.
[23]Beliau adalah Musa bin Ali bin Wahb bin Muthi’ al-Qusyairi (641-685
H/1244-1286 M).Seorang ulama ternama di masanya. Lihat: al-A’lam, karya
az-Zarkali. Adapun beliau dalam hal ini adalah sebagaimana dinukil oleh
Badruddin Muhammad bin Bahadir bin Abdullah az-Zarkasyi dalam al-Bahru
al-Muhith (Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1421 H/2000 M) ,Jil. 4. Hal. 378 .
[24] Mereka adalah: Mushtafa Zaid dalam al-Mashlahah fi Tasyri’ al-
Islami hal.38-60, al-Buthi dalam Dawabith al-Mashlahah hal.367, Musthafa
Ahmad az-Zarqa dalam al-Istishlah hal.60, al-Bugha dalam al-Adillah al-
Mukhtalafah Fiiha, hal. 41. Lihat juga: Muhammad Sa’d bin Ahmad bin
Mas’ud al-Yubi, Maqashid as-Syari’ah wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah as-
Syar’iyyah, (Saudi: Daar Ibnul Jauzi, 2008), hal. 504.
[25] Lihat: Ibnu Amir al-Haj, at-Taqrir wa Tahbir (Beirut: Daar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, cet. ke-2 th.1316 H) Jil. 3. Hal. 286, Muhammad Amir, Taysir at-
Tahrir, (Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t. th). Jil. 4. Hal. 171, Ibnu Hazm al-
Andalusi, al-Ihkamul fii Ushuli al-Ahkam, Jil. 4. Hal. 160. (Beirut: Daar al-Afaaq
al-Jadiidah, cet. ke-2 t. 1402 H).
[26]Mereka yang berpendapat demikian adalah: Abdul Wahab Khalaf
dalam Mashadir at-Tasyri’, hal. 90, al-Buthi dalam Dawabith al-
Mashlahah hal. 380, Musthafa Ahmad az-Zarqa dalam al-Istishlah hal.60 dan
Mushtafa Zaid dalam al-Mashlahah fi Tasyri’ al-Islami hal. 45. Lihat juga:
Muhammad Sa’d bin Ahmad bin Mas’ud al-Yubi, Maqashid as-Syari’ah wa
‘Alaqatuha bi al-Adillah as-Syar’iyyah, (Saudi: Daar Ibnul Jauzi, 2008), hal.
503.
[27] Wahbah Zuhaili, al-Wajiz fi Ushul Fiqh al-Islamiy, (Damaskus: Daar al-
Fikr, 1995). Hal. 93.
[28]Al-Qarafi, Syarh Tanqiih al-Fushul, (Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah,
1941).Hal. 394. Asy-Syathibi, al-I’tisham (Daar al-Aqiidah, 2006).
Hal.337.Muhammad Amin asy-Syanqithi, al-Mashalih al-Mursalah, (Madinah:
al-Jami’ah al-Islamiyah, 1978). Hal. 10
[29] Lihat: Muhammad Sa’d bin Ahmad bin Mas’ud al-Yubi, Maqashid as-
Syari’ah wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah as-Syar’iyyah, (Saudi: Daar Ibnul Jauzi,
2008), hal. 503.
[30] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, (Makkah: Daar al-Wafa’, 2005). Jil. 11.
Hal. 344
[31] Maksud kedudukan di sini adalah status dan fungsi maslahat dalam
syari’at, apakah dia termasuk dalil yang bisa dijadikan sumber hukum ataukah
ia tidak lebih dari sekedar tujuan hukum saja.
[32] Abdul Haq, dkk. Formulasi Nalar Fiqih, Telaah Kaedah Fikih
Konseptual, (Surabaya; Khalista cet . ke – 2, 2005) Hal. 191.
[33] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, A’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-
Alamin, (Beirut; Daar al-Kutub al-Ilmiyah, cet. 1, tanpa tahun) Jil. 3. Hal.11.
[34] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Syifa’u al-‘Alil, hal. 431
[35] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, (Daar al-Wafa’, 2005M/1426 H) Jil. 11.
Hal. 343. Yusuf al-Qardhawi menguatkan pendapat ini dalam Madkhal li ad-
Dirasah al-Islamiyyah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2001), hal. 58
[36]Buku yang dimaksud adalah al-Qawaid al-Kubraa (Qowaidul Ahkam fi
Ishlaahi al-Anam) dan al-Qawaid as-Sughraa (al-Fawaid fi Ikhtishaari al-
Maqashid).
[37] Lihat Muhammad Sa’d bin Ahmad bin Mas’ud al-Yubi, Maqashid as-
Syari’ah wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah as-Syar’iyyah, (Riyad: Daar al-Hijrah,
1998), hal. 49-67.
[38] Muhammad Mustafa asy-Syalabi, Ta’lil al-Ahkam, (Beirut: Daar Ibn al-
Jauzi, 1423 H), hal.307.
[39]Al-Buthy, Dhawabith al-Maslaẖah fi asy-Syari’ah al-Islamiyah. (Damaskus:
Dâr al-Fikr, 2005). Hal. 11
[40]Lihat Nirwan Syafrin, Kritik terhadap Paham Liberalisai Syariat Islam,
(Jurnal Tsaqofah, R. Tsani 1429 H) Jil.4. No. 2.Hal. 290.
[41]Humanisme memiliki arti dan definisi yang beragam, tergantung pada
proyek-proyek dan rancana yang diajukan.Namun maksud dari humanisme di
sini adalah aliran yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan
mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik. Menurut mereka, standar
untuk menentukan maslahat adalah dengan pertimbangan akal dan realitas
yang berbeda dan berubah.
Lihat: http://www.scribd.com/doc/57521631/Tantangan-Humanisme-Dan-
Konsep-Maslahat-Dalam-Islam
[42] Pernyataan Irwan Masduqi dalam bukunya “Mengetuk Pintu Syari’ah;
Sebuah Telaah Diskursus Maqashid Syari’ah, Metode Utilitarianistik, (KSW,
2006) cet-1.Hal 28. (dikutip dari Irwan Masduqi, Rekonstruksi Paradigma
Hukum Islam, (http://www.scribd.com/doc/27965052-E-Book-Rekonstruksi-
Paradigma-Fikih-Islam). Diakses pada hari Sabtu, 15 November 2014 pada
pukul 05:46.
[43] Ibid. Hal. 19
[44]Asy-Syathibi, al -I’thisam, (Kairo: Daar al-Aqidah, 2006). Hal. 32.
[45]Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul al -Fiqh, hal. 88. Mengutip pendapat
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitab Iktilaafu al-Ulamaa’ fi al-‘Amal bi as-
Siyasah, Jil. 4 Hal.372 ,ath-Thuruq al-Hukmiyyah, Jil. 1. Hal. 18, dan
kitab Bada’iu al-Fawaid, Jil. 3. Hal. 674
[46] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Hal. 88.
[47]Penelitian yang mendalam atas sedemikian banyak nash al-Qur’an dan
hadits menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan bahwa hukum Islam
senantiasa dilekati hikmah dan illah yang bermuara kepada maslahat, baik
bagi masyarakat maupun perorangan. Lihat; Thahir bin ‘Asyur, asy-Syari’ah
al-Islamiyyah, (Kairo: Daar as-Salam, 2006), hal. 12
[48] Al-Buthy, Dhawabith al-Maslaẖah fi asy-Syari’ah al-Islamiyah.
(Damaskus: Daar al-Fikr, 2005). Hal. 24-26.
[49] Ibid.Hal. 115.
[50] Husen Hamid Hasan, Nadzhariyatu al-Mashlahah fi Fiqhi al-Islamiy, hal.
51, sebagai kesimpulan dari perkataan Imam Asy-Syathibi dalam kitab al-
Muawafaqat, (Daar Ibnu ‘Affan, 1997). Jil. 1. Hal. 27
[51] Abdul Haq, dkk. Formulasi Nalar Fiqih, Telaah Kaedah Fikih
Konseptual, (Surabaya; Khalista, 2005).Hal. 191.
[52] Amir syarifudin, Ushul Fikih, (Jakarta; Kencana Prenada Media Group,
Cet 5, 2009 M) Jil. 2.. Hal. 326.
[53] Lihat Al-Buthy, Dhawabith al-Maslahah fi asy-Syari’ah al-Islamiyah.
(Damaskus: Dar al-Fikr, 2005). Hal. 115
[54] Ibid. Hal. 116.
[55] Pada waktu itu, kristen Qusytalah melakukan penyerangan dan berhasil
menguasai Jiyan, Sativa, dan Sevilla. Lihat: Nihayatul Andalus, Hal. 122
[56]Asy-Syathibi, al-I’tisham. (Kairo: Daar al-Aqidah). Hal. 343.
[57]Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, hal. 86-87.
[58]H.R. Bukhari no. 1088, Muslim no. 1870 dan Abu Daud no. 2042.
[59]Lihat al-Mustashfa fi Ilmi al-Ushul Hal. 173, karya Imam al-Ghzali al-
I’tisham karya Abu Ishaq asy-Syatibi dalam pembahasan perbedaan antara
bid’ah dan al-maslahat al-mursalah. Jil. 1. Hal. 87. Lihat juga Abdul Wahab
Khalaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, Abdul Wahab Khalaf hal. 87.
[60]Asy-Syatibi, al-I’tisham, Jil. 2. Hal. 124 dan Abdul Wahab
Khalaf, Mashadiru at-Tasyri’, Hal. 99.
[61] Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan, Dhawabith al-Maslahah fî as-
Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut: Mu’assasah ar-Risâlah, 1973). Hal. 119-128.
[62] Ibid. Hal. 120.
[63]Hal ini selaras dengan berbagai definisi yang diutarakan oleh al-Ghazali
dalam al-Mustashfa sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan
“Hakikat Maslahat.”Kemudian al-Buthi memperkuat dan menegaskan kembali
dalam desertasinya, Dhawabith al-Maslahah fî as-Syari’ah al-Islamiyah,
(Bairut: Mu’assasah ar-Risaalah, 1973).Hal. 129.
[64] Ibid. Hal. 23.
[65]Asy-Syatibi, al-Muwafaqat, Jil. 3. Hal. 30
[66] Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan, Dhawabith al-Maslahah fî as-
Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut: Mu’assasah ar-Risâlah, 1973). Hal. 125.
[67] Ibid. Hal. 129-151
[68] Ibid. Hal. 120.
[69] Q. S. an-Nisa’: 59.
[70] Q. S. an-Nisa’: 115.
[71] Q.S. al-Maidah: 44
[72] Q.S. al-Maidah: 49
[73] Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan, Dhawabith al-Maslahah fî as-
Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut: Mu’assasah ar-Risâlah, 1973). Hal. 131-132.
[74]Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustashfa, Jil. 2. Hal. 126.
[75] Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan, Dhawabith al-Maslahah fî as-
Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut: Mu’assasah ar-Risâlah, 1973). Hal 139.
[76] Ibid. Hal. 161-215.
[77] Ibid. Hal. 174-175.
[78]IbnuQayyim, A’lamu al-Muwaqqi’in, (Beirut: Daar al-Jail, 1973). Jil. 1. Hal.
55
[79] Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan, Dhawabith al-Maslahah fî asy-
Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut: Mu’assasah ar-Risâlah, 1973). Hal. 194
[80] Ibid. Hal. 216-247.
[81] Ibid. Hal. 246.
[82] Ibid. Hal. 250-251.
[83] Abdul Karim bin Ali bin Muhammad an-Namlah, al-Muhadzzab fi ‘Ilmi
Ushul Fiqh al-Muqaran, (Riyadh: Maktabah ar-Rusyd). Jil. 3. Hal. 1005
[84] Ibid. Hal. 260-261.
[85] As-Suyuthi, Al-Asybah wa an-Nadzhair, Hal. 76. Ibnu Najim, Al-Asybah
wa an-Nadzhair, Hal. 74. Az-Zarkasyi, al-Mantsur fi al-Qawa’id, Huruf mim.
Muhammad Sidqi bin Ahmad al-Burnu, al-Wajiz fi Idhaahi al-Qawaid al-
Fiqhiyyah, Hal. 218.Musthafa az-Zarqa’, al-Madkhal al-Fiqhiy, Hal. 598.
[86] As-Suyuthi, Al-Asybah wa an-Nadzhair, Hal. 89. Ibnu Najim, Al-Asybah
wa an-Nadzhair, Hal. 92. Az-Zarkasyi, al-Mantsur fi al-Qawa’id, Jil. 2. Hal.
356. Muhammad Sidqi bin Ahmad al-Burnu, al-Wajiz fi Idhaahi al-Qawaid al-
Fiqhiyyah, Hal. 270. Musthafa az-Zarqa’, al-Madkhal al-Fiqhiy, Hal. 604.
[87] Lihat: Muhammad Sidqi bin Ahmad al-Burnu, al-Wajiz fi Idhaahi al-
Qawaid al-Fiqhiyyah Lihat juga: Abdul Haq, dkk. Formulasi Nalar Fiqih,
Telaah Kaedah Fikih Konseptual, (Surabaya; Khalista cet . ke – 2, 2005) Hal.
173
[88] As-Suyuthi, Al-Asybah wa an-Nadzhair, hal. 168. Al-Izz, Qawa’idu al-
Ahkam, Jil. 2. Hal. 7
[89] Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Dhawabith al-Maslahah fî asy-
Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut: Mu’assasah ar-Risâlah, 1973). Hal. 277.
[90] Al-Burnu, al-Wajiz fi Idhaahi al-Qawaid al-Fiqhiyyah, (Beirut: Muassasah
ar-Risalah). Hal. 227.
[91] Al-Buthi, Dhawabith al-Maslahah fî asy-Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut:
Mu’assasah ar-Risâlah, 1973)Hal. 279.
[92]Kaidah ini merupakan ungkapan teringkas sekaligus terbaik di antara
formulasi yang pernah dibuat ulama-ulama terdahulu. Sebelumnya,
perumusan teks kaidah ini tertuang dalam beragam ungkapan yang
cenderung rumit dan kurang sederhana, seperti: “al-I’tibar bi al-A’daat wa ar-
Ruju’ ilayha.”(Memperhitungkan tradisi dan merujuk kepadanya) dan “Mura’at
al-A’raaf wa al-A’daat.”(Memelihara tradisi dan adat istiadat). Lihat juga: Abdul
Haq, dkk. Formulasi Nalar Fiqih, Telaah Kaedah Fikih Konseptual, (Surabaya;
Khalista cet . ke – 2, 2005) Hal. 267.
[93]Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Dhawabith al-Maslahah fî asy-
Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut: Mu’assasah ar-Risâlah, 1973).Hal. 281.
[94] Lihat Muhammad Sidqi bin Ahmad al-Burnu, al-Wajiz fi Idhaahi al-Qawaid
al-Fiqhiyyah dan Abdurrhaman bin Abdullah asy-Sya’lani, Dirasah wa Tahqiq
Kitab al-Qawaid.
[95] Abdul Haq, dkk. Formulasi Nalar Fiqih, Telaah Kaedah Fikih
Konseptual, (Surabaya; Khalista cet . ke – 2, 2005) Hal. 268.
[96]Mushtafa az-Zarqa’, al-Madkhal al-Fiqhiy, Jil. 2. Hal. 880.
[97] Muhammad Sa’d bin Ahmad bin Mas’ud al-Yubi, Maqashid as-Syari;ah
wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah as-Syar’iyyah, (Saudi: Daar Ibnul Jauzi, 1430).
Hal. 505.
[98]Ibid. hal. 507.
[99]Muhammad Musthofa Syalabi, Al Madkhal fi al-Fiqh al-Islamiy, Hal. 256.
[100] Asy-Syathibi, al-I’tisham,
[101] Dikutip dari an-Nafais Syarh al-Mahshul oleh Muhammad Sa’d bin
Ahmad bin Mas’ud al-Yubi, Maqashid as-Syari;ah wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah
as-Syar’iyyah, (Saudi: Daar Ibnul Jauzi, 1430). Hal. 508.
[102] Lihat Manna’ al-Qathan, Raf’u al-Haraj fi asy-Syari’ah al-
Islamiyyah, (Riyadh: ad-Dar as-Su’udiyyah, 1982), hal. 61