Anda di halaman 1dari 32

Syari’at Islam tidak sekedar menurunkan perintah dan larangan saja.

Karena
sesungguhnya, syari’at Islam diformulasikan untuk mewujudkan kebahagiaan
umat manusia.[1] Islam tidak pernah bersikap kaku dalam menyikapi suatu
persoalan. Ia selalu memandang setiap persoalan dari berbagai persepektif
dan sudut pandang, sehingga hukum-hukum yang dicetuskannya selalu
obyektif, kooperatif dan kompherensif.[2]
Maka bisa dipastikan bahwa batasan-batasan yang telah digariskan dalam
syari’at Islam, tidak ditujukan untuk mempersulit kegiatan-kegiatan manusia
dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, syari’at Islam ditetapkan dengan
tujuan mendatangkan suatu faedah, manfaat, kebaikan dan kepentingan bagi
seluruh manusia serta menghindarkan mereka dari segala kerusakan dan
kerugian dalam bentuk apapun.
Seperti dalam urusan bermuamalah, syari’at membolehkan jual beli karena
ada maslahat dan kepentingan yang bisa diperoleh dengannya. Sedangkan
riba diharamkan oleh syari’at karena terdapat unsur kedzhalimandalam
transaksi seperti ini. Jual beli yang mengandung gharar juga dilarang karena
akan mendatangkan mafsadat atau mudarat yang merugikan bagi salah satu
pihak.[3]
Demikianlah sedikit permisalan paling sederhana tentang meraih maslahat
dan menghindari mafsadat yang diinginkan oleh syari’at. Masih banyak
contoh-contoh lain yang tidak mungkin semuanya disebutkan di sini, karena
semua syari’at Islam diproyeksikan untuk menghindari mafsadat dan meraih
maslahat.[4] Jika suatu maslahat dalam syari’at tidak diketahui, sebenarnya
ada maslahat yang belum terungkap karena kemampuan kita yang terbatas
dalam menelaahnya. Pada intinya, di mana ada syari’at, maka di situ ada
maslahat.[5]
[4] Al-‘Izz bin Abdus Salam, Qawa’id al-Ahkam fii Ishlaahi al-Anaam, (Beirut:
Daar al-Ma’arif, tanpa tahun). Jil. 1. Hal. 9
[5]Al-Qarafi, an-Nafais Syarh al-Mahshul, (cet. 1, 1994).Jil. 1. Hal. 324.
Akan tetapi, meskipun setiap hukum dalam Islam tidak bisa terlepas dari
adanya maslahat, bukan berarti sebuah hukum dapat ditentukan dan diubah
semudah membalik tangan dengan berdalih kemaslahatan. Seperti kelompok
liberal, mereka berani menghalalkan LGBT[6] atas nama humanisme;
memperjuangkan kepentingan dan kemaslahatan manusia. Padahal dalam
Islam, ada beberapa syarat dan ketentuan yang berlaku untuk menetapkan
suatu hukum dengan maslahat. Oleh sebab itu, makalah ini akan
membahas dhawabith atau kriteria maslahat yang bisa dipertimbangkan dan
menjadi hujjah dalam syari’at Islam. Wallahul musta’an.
[6]LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender). Di antara tohok-tokoh
liberal adalah: Irshad Manji dan Musdah Mulia. Contoh kasus tentang hal ini
adalah terbitnya sebuah artikel berjudul “Indahnya Kawin Sejenis” dalam
jurnal “JUSTISIA” yang mendapat ijin terbit dari: Dekan Fakultas Syariah IAIN
Walisongo Semarang.
YUK IKUT AMAL JARIYAH: PEMBANGUNAN GEDUNG KANTOR
DAN KELAS MA’HAD ‘ALY AN-NUUR
Hakikat Maslahat[7]
[7]Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disebutkan bahwa arti dari
maslahat adalah; sesuatu yang mendatangkan kebaikan, keselamatan dan
sebagainya seperti; faedah atau guna.Sedangkan arti dari kemaslahatan
adalah; kegunaan, kebaikan, manfaat dan kepentingan. Adapun kata
‘maslahat’ dalam kosa kata bahasa Indonesia adalah serapan dari kata “al-
mashlahah” dalam bahasa Arab. Besar kemungkinan adanya penyerapan
bahasa ini dikarenakan sulitnya mencari padanan kata yang mampu mewakili
arti yang dikandung oleh kata “al-mashlahah” dalam bahasa Indonesia.

Secara bahasa, kata “al-mashlahah” bermakna kebaikan yang merupakan


bentuk tunggal dari kata “al-mashalih.”[8] Kata tersebut berasal dari bentukan
tiga huruf sha, la dan ha. Dari tiga huruf itulah terbentuk kata “shalaha”,
“shaluha”, “ashlaha”, “shaalaha”, “isthalaha”, “ishtashlaha”, “shalahiyah” dan
“ash-Shulhu”.[9]  Kata “istashlaha” (mencari maslahat) adalah lawan dari kata
“istafsada” (mencari kerusakan).[10]
[8]Al-Fayumi, al-Mishbah al-Munir, (Beirut, Maktabah al-Ilmiyah) Jil.1 hal. 345.
[9]Ibrohim Musthofa, dkk, al Mu’jam al Wasith, (Kairo: Maktabah asy- Syuruq
ad-dauliyah, cet. ke – 4, 2004 M/1425 H). Hal. 520
[10] Muhammad bin Muhammad al-Husaini, Tajul ‘Arus Syarh al-Qamus, Jil.3
hal. 183

Fairuz Abadi mengatakan bahwa “mashlahat” (kebaikan) adalah lawan kata


dari “mafsadat” (kerusakan).[11] Sedangkan menurut Ibnu Mandzur, kata “al-
mashlahah” adalah bentuk tunggal dari kata “al-mashalih”, yang bermakna
“shalah” yaitu manfaat atau lawan dari kerusakan.[12] Dalam al-Qawaid as-
Sughraa, ‘Izzuddin bin Abdis Salam mendefinisikan arti “al-
mashlahah” sebagai kebahagian, kegembiraan, kesenangan dan sebab-
sebab yang menyertainya.[13]
[11] Al-Fairuz Abadi, al-Qamus al-Muhith, Jil. 1. Hal. 391 (Versi Maktabah
Syamilah)
[12] Ibnu Mandzur,  Lisanul Arab, (Kairo: Darul Ma’arif) Hal. 2479-2480.
Pengertian ini juga termaktub dalam kitab Mukhtaataru ash-Shahaah, Hal. 75
[13]Izzudin bin Abdis Salam, al-Fawaid fi Ikhtishaari al-Maqashid aw al-
Qawaid as-Sughraa (Damaskus: Daar al-Fikr 1996). Hal. 32.

Adapun menurut al-Buthi, kata “al-mashlahah” adalah persamaan kata


‘manfaat’ dari sisi makna. Maka segala sesuatu yang mengandung manfaat,
baik hal itu berupa mendatangkan faedah dan kenikmatan atau berupa
perlindungan seperti menjauhkan dari bahaya atau rasa sakit, semua itu
pantas disebut dengan “al-mashlahah.”[14]
[14]Lihat Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Dhowabitul Maslahah.
(Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), Hal. 23

Demikianlah arti maslahat ditinjau dari segi kebahasaan. Sedangkan untuk


makna maslahat secara definitive, para ulama Ushul Fiqh mempunyai
ungkapan yang berbeda-beda. Ar-Raysuni mengakui sangat sulit memberikan
definisi yang mendetail mengenai maslahat. Karena definisi ini juga otomatis
akan memberikan gambaran pola pikir orang yang mengartikannya.
[15] Dalam makalah ini, hanya dicantumkan dua definisi maslahat yang
terbaik, karena di antara beberapa definisi yang ada, pendapat Imam al-
Ghazali dalam al-Mustashfa dan Imam asy-Syathibi dalam al-
Muwafaqat paling mewakili dan mencakup definisi ulama-ulama yang lain.
[15] Ahmad dan Muhammad Jamal Barut ar-Raysuni, Al-Ijtihad: an-Nash, al-
Waqi’, al-Maslahah, (Beirut: Daar al-Fikr al-Mu’âshir, 2000), hal 33-37.

Al-Ghazali berkata; “Menurut asalnya, maslahat berarti sesuatu yang


mendatangkan manfaat dan menjauhkan mudarat. Namun hakikat dari
maslahat adalah memelihara tujuan syari’at dalam menetapkan hukum.
Sedangkan tujuan syari’at dalam menetapkan hukum ada lima, yaitu;
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Semua yang
mengandung pemeliharaan tujuan syari’at yang lima ini, merupakan maslahat,
dan semua yang mengabaikan tujuan ini merupakan mafsadat. Sedangkan
menolak  (yang mengabaikannya) merupakan maslahat.”[16]
[16] Imam Abu Hamid Al Ghazali, Al Mustashfa bi tahqiqi Abdullah Mahmud
Muhammad Umar, (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, cet 1, 2008)  Hal. 275.
Dari perkataan al-Ghazali ini, dapat disimpulkan bahwa syarat utama agar
sebuah maslahat bisa dipertimbangkan adalah mengembalikan maslahat
kepada tujuan-tujuan ditetapkannya syari’at.[17] Adapun Asy-Syathibi, beliau
mendefinisikan maslahat dari dua sudut pandang, yaitu dari segi terwujudnya
maslahat dalam kenyataan dan dari segi tergantungnya tuntunan syari’at
kepada maslahat. Dari segi terwujudnya dalam kenyataan, maslahat berarti;
”Sesuatu yang kembali kepada tegaknya kehidupan manusia serta
kesempurnaan hidupnya, tercapai apa yang dikehendaki oleh sifat syahwati
dan aklinya secara mutlak, sehingga dia merasakan kenikmatan”.[18]
[17] Husen Hamid Hasan,  Nadzhariyat al-Mashlahah fi Fiqhi al-Islamiy, hal. 8
[18]Asy-Syathibi, Al Muwafaqat fi Ushul Asy Syariah, (Beirut: Dar Ibnu Affan,
Cet 1, 1997 M/1417 H) Jil. 2. Hal. 44

Sedangkan dari segi tergantungnya tuntunan syari’at kepada maslahat, yaitu;


“Kemaslahatan yang merupakan tujuan dari penetapan hukum syari’at. Untuk
meraihnya, Allah Ta’ala menuntut manusia untuk berbuat, sehingga mencapai
kesempurnaan dan lebih mendekati kehendak syari’at. Kalaupun dalam
pelaksanaannya mengandung kerusakan, sebenarnya bukan itu yang
diinginkan oleh syari’at.”[19]
[19]Ibid. Jil. 2. Hal. 45.

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa hakikat “al-


mashlahah” secara umum adalah: ia merupakan nilai kebahagiaan yang
ukurannya telah ditentukan oleh syari’at yang itdak menepikan konstruksi
kehidupan manusia dan segala aspek yang mengitarinya.
Metode Maslahat[20] Menurut Empat Madzhab
[20]Maksud maslahat dalam makalah ini adalah “al-Mashlahah al-
Mursalah.”Yaitu maslahat yang termasuk dalam tujuan syari’at, namun tidak
ada dalil khusus yang menetapkan atau menolaknya. Lihat al-
Mustashfa karya Imam al-Ghazali (Beirut: Daar Kutub al-‘Ilmiyah). Hal. 173.
Lihat juga Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul Fiqh. Hal.74 dan 84 dan
Muhammad Kamaluddin Imam, Ushulul Fiqh al-Islamiy, Hal. 200.

Menurut Abdul Wahab Khalaf, mayoritas ulama sepakat bahwa maslahat bisa
dijadikan hujjah.[21]Selain Abdul Wahab, beberapa ahli ushul lainnya juga
menegaskan bahwa seluruh madzhab bersepakat menggunakan maslahat. Di
antara mereka adalah al-Qarafi (w. 684)[22] , Ibnu Daqiq al-‘Ied (w. 685 H)
[23] dan para pakar Ushul Fiqh kontemporer.[24]
[21]Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Maktabah ad-Dakwah, tanpa
tahun). Hal. 85
[22]Beliau adalah ulama madzhab Malikiyah Syihabuddin Abu al-Abbas
Ahmad bin Idris al-Qarafi (w. 684). Adapun pernyataan beliau dalam hal ini
bisa dilihat dalam kitab; “Syarh Tanqqih al-Fushuul”, hal. 394.
[23]Beliau adalah Musa bin Ali bin Wahb bin Muthi’ al-Qusyairi (641-685
H/1244-1286 M).Seorang ulama ternama di masanya. Lihat: al-A’lam, karya
az-Zarkali. Adapun beliau dalam hal ini adalah sebagaimana dinukil oleh
Badruddin Muhammad bin Bahadir bin Abdullah az-Zarkasyi dalam al-Bahru
al-Muhith (Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1421 H/2000 M) ,Jil. 4. Hal. 378 .
[24] Mereka adalah: Mushtafa Zaid dalam al-Mashlahah fi Tasyri’ al-
Islami hal.38-60, al-Buthi dalam Dawabith al-Mashlahah hal.367, Musthafa
Ahmad az-Zarqa dalam al-Istishlah hal.60, al-Bugha dalam al-Adillah al-
Mukhtalafah Fiiha, hal. 41. Lihat juga: Muhammad Sa’d bin Ahmad bin
Mas’ud al-Yubi, Maqashid as-Syari’ah wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah as-
Syar’iyyah, (Saudi: Daar Ibnul Jauzi, 2008), hal. 504.

Akan tetapi, sebenarnya para fuqaha’ berbeda pendapat apakah suatu


maslahat dapat dijadikan hujjah atau tidak. Secara umum, mereka yang
berpendapat bolehnya menjadikan al-maslahah al-
mursalah sebagai hujjah adalah ulama Malikiyah dan ulama Hanabilah.
Sedangkan ulama Hanafiyah dan ulama Syafi’iyah tidak berpendapat
demikian.[25] Adapun perincian pendapat ulama empat madzhab tentang
metode maslahat adalah sebagai berikut:
[25] Lihat: Ibnu Amir al-Haj, at-Taqrir wa Tahbir (Beirut: Daar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, cet. ke-2 th.1316 H) Jil. 3. Hal. 286, Muhammad Amir, Taysir at-
Tahrir, (Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t. th). Jil. 4. Hal. 171, Ibnu Hazm al-
Andalusi, al-Ihkamul fii Ushuli al-Ahkam, Jil. 4. Hal. 160. (Beirut: Daar al-Afaaq
al-Jadiidah, cet. ke-2 t. 1402 H).

Pertama: Hanafiyah. Banyak di antara orang-orang yang membahas dan


menelaah Ushul Fiqh berkesimpulan bahwa madzhab Hanafiyah juga
sebenarnya menggunakan metode al-mashlalah al-mursalah, karena
Hanafiyah menggunakan metode Istihsan yang berkaitan erat dengan al-
Istishlah atau al-mashlalah al-mursalah.[26]Bahkan Wahbah Zuhaili dengan
tegas mengatakan bahwa Hanafiyah termasuk yang membolehkan al-
mashlalah al-mursalah, dan menurut beliau yang menolaknya hanyalah
Syafi’iyah, Dzhahiriyah dan Syi’ah.[27]
[26]Mereka yang berpendapat demikian adalah: Abdul Wahab Khalaf
dalam Mashadir at-Tasyri’, hal. 90,  al-Buthi dalam Dawabith al-
Mashlahah hal. 380, Musthafa Ahmad az-Zarqa dalam al-Istishlah hal.60 dan
Mushtafa Zaid dalam al-Mashlahah fi Tasyri’ al-Islami hal. 45. Lihat juga:
Muhammad Sa’d bin Ahmad bin Mas’ud al-Yubi, Maqashid as-Syari’ah wa
‘Alaqatuha bi al-Adillah as-Syar’iyyah, (Saudi: Daar Ibnul Jauzi, 2008), hal.
503.
[27] Wahbah Zuhaili, al-Wajiz fi Ushul Fiqh al-Islamiy, (Damaskus: Daar al-
Fikr, 1995). Hal. 93.

Kedua: Malikiyah. Sebagaimana telah diketahui bahwa ulama’ Malikiyah


merupakan pelopor yang ‘mengangkat bendera’ al-mashlalah al-mursalah dan
mereka ber-hujjah dengannya.[28]
[28]Al-Qarafi, Syarh Tanqiih al-Fushul, (Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah,
1941).Hal. 394. Asy-Syathibi, al-I’tisham (Daar al-Aqiidah, 2006).
Hal.337.Muhammad Amin asy-Syanqithi, al-Mashalih al-Mursalah, (Madinah:
al-Jami’ah al-Islamiyah, 1978). Hal. 10

Ketiga: Syafi’iyah. Terdapat kesimpang siuran bahwa Imam asy-Syafi’i ber-


hujjah dengan maslahat. Hal itu dikarenakan beliau tidak berbicara
tentang al-mashlalah al-mursalah secara khusus. Sebagian ada yang
mengatakan bahwa penolakan beliau terhadap Istihsan menunjukkkan bahwa
beliau juga menolak  al-Istishlah. Maka dari itu, beberapa ulama madzhab
Syafi’i ada yang menerima al-mashlalah al-mursalah namun ada juga yang
menolaknya. Di antara yang menolak adalah: al-Amidi sebagaimana yang
tertulis dalam kitab al-Ihkam. Adapun yang menerimanya adalah ar-Razi
dalam al-Mahsul fi Ilmi Ushul, Imam al-Haramain al-Juwaini dalam al-Burhan
fi Ushul Fiqh,  serta Imam al-Ghazali dalam al-Mustashfa dan Minhaj al-
Ushul.[29]
[29] Lihat: Muhammad Sa’d bin Ahmad bin Mas’ud al-Yubi, Maqashid as-
Syari’ah wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah as-Syar’iyyah, (Saudi: Daar Ibnul Jauzi,
2008), hal. 503.
Keempat: Hanabilah. Tidak ada kepastian apakah Imam Ahmad
menerima al-mashlalah al-mursalah atau menolaknya. Maka dari itu, para
pengikut beliau pun berbeda pendapat, ada yang menolaknya seperti Ibnu
Qudamah dalam kitab Raudhatu an-Nadzhir wa Jannatu al-Munadzhir dan
Muhammad bin Ahmad al-Futuhi dalam kitab Syarh Kaukab al-Munir. Namun
di antara mereka juga ada yang menerimanya, salah satunya adalah Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah. Dengan tegas beliau berkata bahwa: “Berpendapat
dengan al-mashalalih al-mursalah disyari’atkan dalam agama.”[30]
[30] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, (Makkah: Daar al-Wafa’, 2005). Jil. 11.
Hal. 344

Kedudukan[31] Maslahat dalam Syari’at


[31] Maksud kedudukan di sini adalah status dan fungsi maslahat dalam
syari’at, apakah dia termasuk dalil yang bisa dijadikan sumber hukum ataukah
ia tidak lebih dari sekedar tujuan hukum saja.

Demikianlah pendapat para ulama empat madzhab tentang maslahat. Untuk


menengahi perbedaan pendapat di atas, pada pembahasan kali akan
dijelaskan tentang kedudukan maslahat dalam syari’at. Sebagai pengantar,
perlu diingat bahwa secara umum, para fuqaha sering menegaskan bahwa
kedatangan syari’at Islam adalah bertujuan untuk menggapai cita
kemaslahatan semesta dan berupaya menghindari segala jenis mafsadat dari
setiap jengkal sudut bumi.[32]
[32] Abdul Haq, dkk. Formulasi Nalar Fiqih, Telaah Kaedah Fikih
Konseptual, (Surabaya; Khalista  cet . ke – 2, 2005) Hal. 191.

Mayoritas ulama mempunyai perhatian yang tinggi terhadap pembahasan


seputar maslahat. Salah satunya adalah Ibnu Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H),
beliau beranggapan bahwa maslahat merupakan suatu hal yang harus ada di
setiap penerapan hukum. Beliau berkata: “Penerapan hukum Islam yang tidak
berorientasi pada prinsip keadilan, maslahat, rahmat, dan hikmah sebenarnya
adalah bentuk pemaksaan interpretasi. Bukannya penerapan substansi
syari’at, tapi malah pemaksaan syari’at yang diakibatkan oleh kedangkalan
ilmu. Inilah yang menyebabkan para praktisi hukum Islam terjerembab dalam
lembah kesempitan.”[33]
[33] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, A’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-
Alamin, (Beirut; Daar al-Kutub al-Ilmiyah, cet. 1, tanpa tahun) Jil. 3. Hal.11.
Selain itu, dalam kitab Syifa’ al-‘Aliil beliau berkata: “Hal ini merupakan
seburuk-buruk prasangka kepada Allah Ta’ala. Bagaimana mungkin Allah
menetapkan syari’at tanpa suatu maslahat yang diinginkan-
Nya.”[34] Demikianlah sikap beliau dalam menanggapi orang-orang yang
mengingkari adanya hikmah dan maslahat dalam hukum-hukum Islam. Para
ulama selain Ibnu Qayyim, baik sebelum ataupun sesudahnya, juga telah
banyak memberikan perhatian khusus terkait dengan maslahat yang
berkelindan dalam syari’at. Di antara mereka adalah Ibnu Taimiyah (w. 728 H)
yang merupakan guru beliau.
[34] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Syifa’u al-‘Alil, hal. 431

Dalam kitab Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah berkata: “Sebagian manusia


mengkhususkan al-maslahahal-mursalah (hanya) dengan memelihara jiwa,
harta, kehormatan, akal, dan agama, padahal bukan seperti itu. Akan tetapi
yang dimaksud dengan al-maslahah al-mursalah adalah (mencakup seluruh
hal untuk) meraih manfaat dan mencegah mudarat.”[35] Selain Ibnu Taimiyah,
generasi ulama sebelum beliau seperti Izzudin bin Abdis Salam (w. 660 H),
yang menulis dua buku yang fenomenal dan monumental tentang maslahat,
[36] al-Amidi (w. 631 H), Fakhruddin ar-Razi (w. 606 H), al-Ghazali (w. 505 H)
dan Imam al-Haramain al-Juwaini (w. 478), mereka semua termasuk ulama
terdahulu yang bersepakat bahwa maslahat senantiasa menyertai syari’at.[37]
[35] Ibnu Taimiyah,  Majmu’ Fatawa, (Daar al-Wafa’, 2005M/1426 H) Jil. 11.
Hal. 343. Yusuf al-Qardhawi menguatkan pendapat ini dalam Madkhal li ad-
Dirasah al-Islamiyyah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2001), hal. 58

Muhammad Musthafa Syalabi, salah seorang ahli ushul kontemporer


menegaskan bahwa perubahan hukum terjadi karena adanya perubahan
maslahat (tabaddul al-ahkam bi tabaddulal-mashlahah) dalam masyarakat.
Adanya an-nasakh (penghapusan suatu hukum terdahulu dengan hukum
yang baru), at-tadarruj fi at-tasyri’ (pentahapan dalam penetapan hukum)
dan nuzul al-ahkam (turunnya hukum) yang selalu mengikuti peristiwa-
peristiwa yang terjadi pada masa pewahyuan, semuanya merupakan bukti
yang jelas dan menunjukkan bahwa perubahan hukum mengikuti perubahan
maslahat yang ada.[38]
[36]Buku yang dimaksud adalah al-Qawaid al-Kubraa (Qowaidul Ahkam fi
Ishlaahi al-Anam) dan al-Qawaid as-Sughraa (al-Fawaid fi Ikhtishaari al-
Maqashid).
[37] Lihat Muhammad Sa’d bin Ahmad bin Mas’ud al-Yubi, Maqashid as-
Syari’ah wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah as-Syar’iyyah, (Riyad: Daar al-Hijrah,
1998), hal. 49-67.
[38] Muhammad Mustafa asy-Syalabi, Ta’lil al-Ahkam, (Beirut: Daar Ibn al-
Jauzi, 1423 H), hal.307.

Di sisi lain, ketika para ulama memberikan perhatian yang tinggi tentang
eksistensi maslahat, banyak orang yang kemudian memanfaatkan maslahat
untuk berpaling dari syari’at. Mereka adalah musuh-musuh Islam (kaum
orientalis-liberal) yang telah menggunakan senjata baru dalam
menghancurkan Islam yaitu dengan menganjurkan dibukanya pintu ijtihad
seluas mungkin dan menekankan bahwa metode maslahat adalah metode
yang sangat fundamental untuk menjadi rujukan.[39]
[39]Al-Buthy, Dhawabith al-Maslaẖah fi asy-Syari’ah al-Islamiyah. (Damaskus:
Dâr al-Fikr, 2005). Hal. 11

Bahkan kaum liberal menolak penerapan syari’at Islam berdasarkan


pertimbangan maqashid asy-syari’ah.[40] Atas nama humanisme[41], mereka
membidik maslahat yang dianggap terlalu tunduk di bawah hegemoni teks
tanpa mempertimbangkan realitas hidup manusia.[42]Mereka menolak
paradigma sentralitas teks dan memperluas gerak nalar untuk memilah
kemaslahatan meskipun tidak sesuai dengan teks-teks ilahiyah.[43] Padahal
dalam Islam, gerak nalar dibatasi. Karena ia tidak bisa mengetahui maslahat
tanpa bimbingan wahyu.[44]
[40]Lihat Nirwan Syafrin, Kritik terhadap Paham Liberalisai Syariat Islam,
(Jurnal Tsaqofah, R. Tsani 1429 H) Jil.4. No. 2.Hal. 290.
[41]Humanisme memiliki arti dan definisi yang beragam, tergantung pada
proyek-proyek dan rancana yang diajukan.Namun maksud dari humanisme di
sini adalah aliran yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan
mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik. Menurut mereka, standar
untuk menentukan maslahat adalah dengan pertimbangan akal dan realitas
yang berbeda dan berubah.
Lihat: http://www.scribd.com/doc/57521631/Tantangan-Humanisme-Dan-
Konsep-Maslahat-Dalam-Islam
[42] Pernyataan Irwan Masduqi dalam bukunya “Mengetuk Pintu Syari’ah;
Sebuah Telaah Diskursus Maqashid Syari’ah, Metode Utilitarianistik, (KSW,
2006) cet-1.Hal 28. (dikutip dari Irwan Masduqi, Rekonstruksi Paradigma
Hukum Islam, (http://www.scribd.com/doc/27965052-E-Book-Rekonstruksi-
Paradigma-Fikih-Islam). Diakses pada hari Sabtu, 15 November 2014 pada
pukul 05:46.
[43] Ibid. Hal. 19
[44]Asy-Syathibi, al -I’thisam, (Kairo: Daar al-Aqidah, 2006). Hal. 32.

Menurut Ibnu Qoyyim, mereka yang terlalu longgar dalam menggunakan


maslahat, akan menimbulkan kerusakan. Beliau berkata, ”Di antara kaum
muslimin ada orang yang berlebih-lebihan dalam menjaga kemaslahatan
umum. Ia menjadikan syari’at itu sesuatu yang terbatas, tidak dapat
memenuhi kemaslahatan hamba yang dibutuhkan untuk lainnya. Mereka
menutup diri untuk menempuh jalan yang benar dengan cara yang adil. Dan
di antara mereka juga ada yang berlebih-lebihan lalu menganggap mudah
hukum Allah, mereka menimbulkan kejelekan yang berkepanjangan dan
kerusakan yang nyata.[45]
[45]Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul al -Fiqh,  hal. 88. Mengutip pendapat
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitab Iktilaafu al-Ulamaa’ fi al-‘Amal bi as-
Siyasah, Jil. 4 Hal.372 ,ath-Thuruq al-Hukmiyyah, Jil. 1. Hal. 18, dan
kitab Bada’iu al-Fawaid, Jil. 3. Hal. 674

Akan tetapi jika maslahat diabaikan begitu saja, justru akan bertentangan
dengan karakter syari’at Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Abdul Wahab Khalaf
berkata; ”Saya mengunggulkan penetapan hukum syari’at
berdasarkan maslahah mursalah. Karena jika kesempatan ini tidak dibuka,
syari’at Islam akan beku dan tidak mampu mengikuti perkembangan zaman
dan lingkungan.”[46]
[46] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Hal. 88.

Oleh sebab itu, dalam rangka menjawab perkembangan zaman dan


perubahan sosial yang terjadi, karena tidak semua hukum diatur secara
eksplisit oleh al-Qur’an dan Hadits, para pakar hukum Islam dituntut untuk
memaksimalkan kemampuan intelektualnya dalam mencari solusi hukum
terhadap kasus-kasus baru dan mengambil jalan tengah; tidak terlalu
mempersulit dan tidak mempermudah penggunaan metode maslahat secara
berlebihan.
Maka perlu dipahami bahwa kedudukan maslahat dalam syari’at adalah
sebagai muara dari hikmah-hikmah[47] yang bisa dijadikan hujjah. Dengan
demikian, pintu ijtihad pun tidak pernah tertutup karena Allah sangat
menghargai kemaslahatan. Akan tetapi kemaslahatan tetap ada batasan dan
kualifikasinya. Penggunaan metode maslahat tidak boleh bebas tanpa batas.
Sebab, penggunaan metode ini dipagari oleh berbagai “aturan main” yang
kemudian disebut sebagai dhawabith al-mashlahat.[48]
[47]Penelitian yang mendalam atas sedemikian banyak nash al-Qur’an dan
hadits menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan bahwa hukum Islam
senantiasa dilekati hikmah dan illah yang bermuara kepada maslahat, baik
bagi masyarakat maupun perorangan. Lihat; Thahir bin ‘Asyur, asy-Syari’ah
al-Islamiyyah, (Kairo: Daar as-Salam, 2006), hal. 12
[48] Al-Buthy, Dhawabith al-Maslaẖah fi asy-Syari’ah al-Islamiyah.
(Damaskus: Daar al-Fikr, 2005). Hal. 24-26.

Kriteria Maslahat Menurut Syari’at


Tidak dapat dipungkiri bahwa pembahasan ini merupakan pembahasan
terpenting yang harus diperhatikan oleh seorang mujtahid atau siapa saja
yang mempelajari syari’at Islam. Karena seseorang yang mendalami dan
mengkaji syari’at Islam tidak akan mendapat kebenaran dari apa yang
dibahasnya, kecuali jika ia menjadikan dhawabith maslahat menurut syari’at
sebagai petunjuk. Apabila dhawabith (kriteria) ini disepelekan, maka ia akan
terperosok ke lembah kebatilan.[49]
[49] Ibid.Hal. 115.

Hal tersebut dikarenakan jika maslahat dan mafasadat hanya dinilai melalui
penalaran akal saja, kemungkinan akan menjerumuskan seseorang pada
jurang syahwat yang besar. Maka tidak boleh menetapkan hukum dengan
bersandar kepada akal.[50] Sebab tidak jarang akal manusia diracuni oleh
syahwat dan hawa nafsu.[51] Apa yang sebenarnya bernilai maslahat
dianggap mafsadat, dan apa yang bernilai mafsadat dianggap maslahat
hanya karena tidak sesuai dengan hawa nafsu. Maka dari itu, nalar tidak
terlalu mendominasi dalam maslahat. Karena landasan maslahat dalam Islam
adalah petunjuk syari’at, bukan semata-mata berdasarkan akal manusia.[52]
[50] Husen Hamid Hasan, Nadzhariyatu al-Mashlahah fi Fiqhi al-Islamiy, hal.
51, sebagai kesimpulan dari perkataan Imam Asy-Syathibi dalam kitab al-
Muawafaqat, (Daar Ibnu ‘Affan, 1997). Jil. 1. Hal. 27
[51] Abdul Haq, dkk. Formulasi Nalar Fiqih, Telaah Kaedah Fikih
Konseptual, (Surabaya; Khalista, 2005).Hal. 191.
[52] Amir syarifudin, Ushul Fikih, (Jakarta; Kencana Prenada Media Group,
Cet 5, 2009 M) Jil. 2.. Hal. 326.

Sebelum menjelaskan lebih lanjut tentang dhawabith maslahat dalam syari’at,


perlu kiranya mengetahui sebab kenapa sebuah maslahat harus terikat
dengan beberapa kriteria dan ketentuan agar bisa dipertimbangkan oleh
syari’at dan bisa dijadikan hujjah. Hal tersebut tidak lain dikarenakan bahwa
sesungguhnya maslahat bukanlah sebuah dalil mustaqil (independen/berdiri
sendiri) seperti al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas yang bisa dijadikan
sumber pengambilan hukum.[53]
[53] Lihat Al-Buthy, Dhawabith al-Maslahah fi asy-Syari’ah al-Islamiyah.
(Damaskus: Dar al-Fikr, 2005). Hal. 115

Namun ia adalah makna kulliy (universal) hasil konklusi dari berbagai hukum


parsial yang disarikan dari dalil-dalil syar’i. Dan hukum-hukum parsial itu
adalah bagian dari makna universal. Maka dapat dikatakan bahwa maslahat
atau makna universal itu dibangun berdasarkan hukum-hukum parsial yang
disarikan dari dalil-dalil syar’i. Jadi, adanya syarat-syarat ini ditujukan untuk
membatasi universalitas maslahat serta mengkaitkannya dengan dalil-dalil
syar’i yang menjadi dasar hukum-hukum parsial tadi. Sehingga kesesuaian
antara makna universal dengan bagian-bagiannya tetap terjaga. Jika
keduanya tidak bersesuaian, maka suatu maslahat tidak bisa dijadikan hujjah.
[54] Oleh sebab itu, para ulama menetapkan tiga syarat dalam menjadikan
maslahat sebagai hujjah;
[54] Ibid. Hal. 116.

Pertama: berupa kemaslahatan yang hakiki, bukan kemaslahatan yang semu.


Artinya, penetapan hukum syari’at itu benar-benar menarik suatu manfaat
atau mencegah timbulnya bahaya. Jika hanya didasarkan pada kemungkinan
dan dugaan semata, berarti itu kemaslahatan yang semu dan tidak bisa
dijadikan hujjah.
Kedua: berupa kemaslahatan umum, bukan kemaslahatan pribadi. Artinya,
penetapan hukum syari’at itu dapat menarik manfaat bagi mayoritas umat
manusia atau menolak bahaya dari mereka, bukan bagi perorangan atau
bagian kecil dari mereka. Jadi, sebuah hukum tidak ditetapkan demi
kemaslahatan khusus pemimpin atau para pembesar saja, tanpa melihat
mayoritas manusia dan kemaslahatan mereka.
Contoh dari penetapan hukum dengan metode maslahat yang kembali pada
kepentingan bersama adalah seperti sikap Imam asy-Syathibi tentang
penarikan pajak tambahan. Pada masa pemerintahan Abu Al-Hajjaj Yusuf
(734-755 H), Kerajaan Islam Granada berada di ambang kehancuran, akibat
perang yang menguras habis kas negara dan meyebabkan lumpuhnya
perekonomian karena banyaknya pengeluaran.[55]
[55] Pada waktu itu, kristen Qusytalah melakukan penyerangan dan berhasil
menguasai Jiyan, Sativa, dan Sevilla. Lihat: Nihayatul Andalus,  Hal. 122

Oleh sebab itu, pihak kerajaan meminta kepada para ulama agar
memfatwakan bolehnya menarik pajak tambahan dari masyarakat guna
memperkuat perekonomian. Para ulama ketika itu menolak permintaan
kerajaan, akan tetapi dengan melihat realita perekonomian dan mashlahat
umat Islam waktu itu, Imam asy-Syathibi melegalkan tindakan tersebut.
Beliau mengatakan; “Apabila kita telah menetapkan seorang pemimpin,
kemudian pemimpin tersebut membutuhkan dana untuk memperbanyak
pasukan yang menjaga perbatasan kerajaan dan menlindungi wilayah
kerajaan yang sangat luas, namun keuangan Baitul Mal sedang kosong, maka
jika pemimpin tersebut adil, boleh membebankan pendanan semua itu kepada
orang-orang kaya secukupnya sampai keuangan Baitul Mal pulih kembali.
Selanjutnya, supaya tidak terkesan pilih kasih yang akhirnya menyebabkan
masyarakat tidak enak hati, pemimpin tersebut juga harus menariknya dari
hasil pertanian, perkebunan, dan lain sebagainya.[56]
[56]Asy-Syathibi, al-I’tisham. (Kairo: Daar al-Aqidah). Hal. 343.

Ketiga: penetapan hukum untuk kemaslahatan ini tidak boleh bertentangan


dengan hukum atau dasar yang ditetapkan dengan nash atau ijma’. Maka
tidak sah menganggap suatu kemaslahatan yang menuntut persamaan hak
waris antara anak laki laki dan anak perempuan. Kemaslahatan semacam ini
sia-sia karena bertentangan dengan nash al-Qur’an.[57]
[57]Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, hal. 86-87.

Contoh lain dari maslahat yang sia-sia karena bertentangan dengan nash al-
Qur’an adalah; fatwa Yahya bin Yahya al-Laitsi al-Maliki, ulama Andalusia dan
murid Imam Malik bin Anas. Pada masa beliau, ada seorang raja dari negara
Spanyol yang berbuka dengan sengaja di siang hari bulan Ramadhan dengan
melakukan jima’. Yahya berfatwa bahwa sang raja tidak perlu membebaskan
budak, tapi dia harus berpuasa dua bulan berturut-turut.
Yahya mendasarkan fatwanya bahwa kemaslahatan menuntut hal ini, karena
tujuan kewajiban memenuhi kafarat adalah membuat jera dan tidak ada yang
membuat raja itu jera kecuali dengan berpuasa. Karena jikalau ia diwajibkan
memerdekakan budak, hal itu sangat ringan baginya.
Fatwa ini memang didasarkan pada kemaslahatan, tetapi maslahat tersebut
bertentangan dengan nash. Karena nash yang jelas bagi orang yang
membatalkan puasanya dengan sengaja di bulan Ramadhan adalah
memerdekakan budak, bila tidak menemukan maka harus berpuasa dua
bulan berturut turut, dan bila tidak mampu juga maka harus memberi makan
kepada enam puluh orang miskin,[58] tanpa membedakan apakah yang
berbuka itu seorang raja atau seorang fakir. Kemaslahatan yang dianggap
seorang mufti tersebut tidak termasuk al-maslahah al-mursalah, bahkan itu
adalah pendapat yang bathil.[59]
[58]H.R. Bukhari no. 1088, Muslim no. 1870 dan Abu Daud no. 2042.
[59]Lihat al-Mustashfa fi Ilmi al-Ushul Hal. 173, karya Imam al-Ghzali al-
I’tisham  karya Abu Ishaq asy-Syatibi dalam pembahasan perbedaan antara
bid’ah dan al-maslahat al-mursalah. Jil. 1. Hal. 87. Lihat juga Abdul Wahab
Khalaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, Abdul Wahab Khalaf  hal. 87.

Demikianlah syarat-syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi agar sebuah


maslahat bisa dianggap sebagai hujjah. Selain ketiga hal di atas, ada juga
yang menambahkan satu syarat lagi yaitu; hendaknya berupa kemaslahatan
yang bukan termasuk dalam urusan-urusan yang
bersifat ta’abudiyyah (ibadah).[60] Tentang syarat atau kriteria maslahat yang
bisa dipertimbangkan, Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam
desertasinya yang berjudul ‘Dhawabith al-Maslahah fi asy-Syari’ah al-
Islamiyah’, memerinci dan menjelaskan panjang lebar bahwa sebuah
maslahat bisa diakomodir sebagai dalil hukum, jika memenuhi lima kriteria.
Berikut ini adalah ringkasannya:
[60]Asy-Syatibi, al-I’tisham, Jil. 2. Hal. 124 dan Abdul Wahab
Khalaf, Mashadiru at-Tasyri’, Hal. 99.

1. Dalam Ruang Lingkup Tujuan Asy-Syaari’.[61]


[61] Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan, Dhawabith al-Maslahah fî
as-Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut: Mu’assasah ar-Risâlah, 1973). Hal.
119-128.

Al-Buthi menjelaskan bahwa tujuan Allah menetapkan hukum teringkas dalam


pemeliharaan terhadap lima hal; melindungi agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta.[62] Sebagaimana jumhur ulama, al-Buthi sepakat bahwa segala
prioritas dalam melaksanakan hukum-hukum yang disyariatkan dalam Islam
adalah sejalan dengan urutan pemeliharaan kelima unsur pokok di atas.
[62] Ibid. Hal. 120.

Dengan kata lain, pemeliharaan terhadap agama lebih didahulukan daripada


pemeliharaan terhadap jiwa, dan pemeliharaan terhadap jiwa lebih
didahulukan daripada pemeliharaan terhadap akal, dan seterusnya. Kemudian
segala hal yang mengandung pemeliharaan terhadap lima hal tersebut
dinamakan sebagai maslahat, dan sebaliknya, segala hal yang bertujuan
menghilangkan pemeliharaan terhadap kelima hal tersebut disebut sebagai
mafsadat.[63]
[63]Hal ini selaras dengan berbagai definisi yang diutarakan oleh al-Ghazali
dalam al-Mustashfa sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan
“Hakikat Maslahat.”Kemudian al-Buthi memperkuat dan menegaskan kembali
dalam desertasinya, Dhawabith al-Maslahah fî as-Syari’ah al-Islamiyah,
(Bairut: Mu’assasah ar-Risaalah, 1973).Hal. 129.

Demikinlah syarat atau kriteria pertama yang dijelaskan oleh al-Buthi. Ketika
memberi pengertian maslahat secara terminologi, al-Buthi mendefinisikannya
sebagaimana berikut; “Manfaat yang menjadi tujuan Asy-Syaari‘ untuk
hamba-hamba-Nya, demi melindungi agama, jiwa, akal, keturunan dan harta
mereka serta pelaksanaannya sesuai dengan urutan di atas.[64] Inilah hakikat
maslahat yang bisa dipertimbangkan syari’at, adapun maslahat yang keluar
dari ranah maslahat yang hakiki ada dua macam:
[64] Ibid. Hal. 23.

1. Maslahat yang secara lahir berlawanan dengan lima perkara tersebut.


Seperti perbuatan zina dan minum khamr, walaupun dua hal tersebut
menyerupai maslahat karena mengandung kenikmatan dan bisa
memberi kebahagiaan, akan tetapi pada hakikatnya justru membawa
pada kerusakan, bahkan berlawanan dengan maqashidu asy-
syari’ah yang lima.
2. Maslahat yang secara lahir tidak berlawanan dengan lima perkara
tersebut, akan tetapi berubah karena niat atau tujuan yang buruk. Hal
ini dikarenakan bahwa niat seseorang turut menentukan ada atau tidak
adanya maslahat dalam timbangan syari’at.

Imam Syathibi berkata; “Orang yang menjalankan syari’at namun mempunyai


tujuan yang tidak diinginkan oleh syari’at, pada hakikatnya dia tidak
menjalankan syari’at. Hal tersebut dikarenakan Asy-Syaari’ telah menetapkan
syari’at untuk suatu tujuan tertentu yang sudah diketahui, maka jika
seseorang melakukannya dengan maksud yang berbeda dengan tujuan yang
sudah diketahui itu, sebenarnya dia tidak menjalankan syari’at. Jika seperti itu
adanya, dia telah melawan Asy-Syaari’ karena dia seperti orang yang
mengerjakan sesuatu yang dilarang-Nya dan meninggalkan apa yang
diperintahkan-Nya.[65] Demikianlah pendapat Imam asy-Syathibi yang
menjelaskan bahwa niat seseorang dapat mempengaruhi penentuan ada atau
tidak adanya maslahat menurut syari’at.
[65]Asy-Syatibi, al-Muwafaqat, Jil. 3. Hal. 30

Untuk lebih memperjelas, contoh dari jenis yang kedua ini adalah; jihad
karena ingin dipuji. Sebagaimana telah diketahui bahwa jihad adalah syari’at
yang mengandung maslahat melindungi agama. Akan tetapi, jika aktivitas
jihad tidak berlandaskan tujuan yang benar, maka bisa dikatakan jihad
seseorang menimbulkan mafsadat lantaran salah niat. Hal ini juga berlaku di
setiap ibadah atau amalan ketaatan lainnya yang bisa gugur karena riya’.[66]
[66] Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan, Dhawabith al-Maslahah fî
as-Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut: Mu’assasah ar-Risâlah, 1973). Hal.
125.

1. Maslahat tidak bertentangan dengan al-Qu’ran.[67]

[67] Ibid. Hal. 129-151

Al-Buthi menyebutkan dua dalil yang menunjukkan benarnya syarat atau


kirteria ini:
Pertama; dalil ‘aqli. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa maslahat harus
sesuai dengan maqashidus syaari’ fii tasyri’ (tujuan Allah dalam menetapkan
syari’at) yang teringkas dalam lima hal; melindungi agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta.[68] Sedangkan maqashidus syari’ah yang lima itu tidak
bisa diketahui kecuali dengan kembali pada dalil-dalil syari’at. Dan seluruh
dalil-dalil itu kembali kepada al-Qur’an. Maka apabila suatu maslahat
bertentangan dengan al-Qur’an, sama saja al-madlul bertentangan
dengan ad-dalil dan itu sesuatu yang batil.
[68] Ibid. Hal. 120.

Kedua; dalil naqli. Kewajiban berpegang teguh dengan al-Qur’an.


Sebagaimana firman Allah yang berbunyi: “Jika kamu berbeda pendapat
tentang sesuatu, maka kembalillah kepada Allah (al-Qur’an) dan rasul
(sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang
demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.[69] Allah juga
berfirman: “Dan siapa yang menetang Rasul (Muhammad) setelah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
beriman, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan
Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahannam, dan itu seburuk-buruk
tempat kembali.”[70] “Barang siapa tidak memutuskan dengan apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.”[71] “Dan hendaklah
engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah dan janganlah kalian mengikuti keinginan mereka.”[72]
[69] Q. S. an-Nisa’: 59.
[70] Q. S. an-Nisa’: 115.
[71] Q.S. al-Maidah: 44
[72] Q.S. al-Maidah: 49

Setelah memaparkan beberapa dalil tentang keharusan berpegang teguh


dengan al-Qur’an, untuk menjelaskan maksud dari mu’aradhatu al-mashlahah
lil kitab (pertentangan maslahat dengan al-Qur’an), al-Buthi menjelaskan
bahwa ada beberapa maslahat yang terkadang bertentangan dengan al-
Qur’an. Beliau membagi dalam dua bagian:
Pertama; mashlahat mawhumah (maslahat yang imajiner atau masih
diragukan) yang tidak memiliki sandaran hukum sama sekali.[73] Maksud dari
jenis ini adalah; suatu maslahat yang imajiner bertentangan dengan dalil yang
bersifat qath’i. Untuk maslahat yang seperti ini, al-Buthi menjelaskan bahwa
sesuatu yang masih tidak jelas menjadi gugur dengan adanya sesuatu yang
sudah jelas. Mengutip perkataan al-Ghazali bahwa; “praduga dan
pengetahuan tidak bisa bersatu”[74], al-Buthi menegaskan bahwa dalil
dzhanniy tidak bisa menandingi dalil qath’iy, dalam arti kata; sesuatu yang
masih diragukan dan dikira-kira, tidak bisa menyelisihi sesuatu yang pasti.
[73] Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan, Dhawabith al-Maslahah fî as-
Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut: Mu’assasah ar-Risâlah, 1973). Hal. 131-132.
[74]Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustashfa, Jil. 2. Hal. 126.

Kedua; jenis maslahat yang terkadang bertentangan dengan nash adalah;


maslahat yang memiliki sandaran hukum dan disimpulkan dengan proses
analogi atau qiyas. Untuk maslahat yang seperti ini, al-Buthi menjelaskan
bahwapertentangan-pertentangan yang terjadi karena
proses qiyas yang shahih, dan pertentangan itu bersifat parsial
seperti khas dan ‘am, mutlaq dan muqayyad, maka hal itu bukanlah
pertentangan antara nash dan maslahat, akan tetapi sebenarnya
pertentangan antara dua dalil syari’at, yaitu: dzahir al-Qur’an dan qiyas
shahih. Penentuan ta’wil dan tarjih dalam kondisi ini dikembalikan kepada
pemahaman dan keilmuan ahli Ushul al-Fiqh. Menurut al-Buthi, dua dalil
syari’at itu bisa diaktivasikan secara bersamaan.[75]
[75] Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan, Dhawabith al-Maslahah fî as-
Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut: Mu’assasah ar-Risâlah, 1973). Hal 139.

1. Maslahat tidak bertentangan as-Sunnah atau Hadits Nabi.[76]

[76] Ibid. Hal. 161-215.

Seluruh perbuatan Nabi yang di dalamnya terdapat tanda-tanda taqarrub,


maka ia merupakan dalil musytarak (multi makna) antara ibahah,
nadb dan wujub. Dan suatu maslahat dikatakan bertentangan dengan Sunnah
apabila menolak kadar musytarak yang ditunjukkan Sunnah. Adapun
maslahat yang dinilai bertentangan dengan Sunnah, tidak terlepas dari dua
macammaslahat berikut ini;
Pertama, maslahat yang hanya ditetapkan oleh penalaran akal semata.
Dalam hal ini, harus dipahami bahwa barometer benarnya penalaran akal
adalah apabila ia tidak menyelisihi al-Qur’an dan Sunnah. Maka jika maslahat
ini jelas-jelas bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, ia
bukanlah mashlahat haqiqiyyah. Dengan demikian, maslahat tersebut tidak
boleh digunakan atau difungsikan sebagai taqyid atau takhshish. Jadi, al-
Qur’an dan Sunnah harus dikedepankan dari pada maslahat tersebut.
Hal ini dikuatkan dengan ijma‘ sahabat bahwa; meskipun mereka berijtihad
dengan cara menganalogikan furu‘ kepada ushul dan mendayagunakan
kekuatan berfikir terhadap masalah yang tidak terdapat dalam nash, mereka
semua menghimbau untuk menjauhi penggunaan nalar dan menolak
penyelewengan maslahat yang menyalahi atau menentang Sunnah.[77] Salah
satu contohnya adalah Umar yang mengatakan bahwa Ashaabu ar-
Ra’yi adalah musuh-musuh Sunnah.[78]
[77] Ibid. Hal. 174-175.
[78]IbnuQayyim, A’lamu al-Muwaqqi’in, (Beirut: Daar al-Jail, 1973). Jil. 1. Hal.
55

Kedua, maslahat yang didukung oleh dalil al-Qur’an atau Sunnah dan


berpatokan pada qiyas (analogi). Dalam hal ini, al-Buthi berpendapat bahwa;
maslahat seperti ini jika menyalahi tuntunan as-Sunnah maka tidak disebut
dengan qiyas shahih. Kemudian dilihat dari perbedaan di antara keduanya
(nash dan qiyas), jika perbedaan itu sifatnya ta’arudh (kontradiktif)
antara qiyas dan nash yang bersifat qath’i at-tsubut wa ad-dalalah, maka
yang dimenangkan adalah nash, seperti qiyas riba terhadap jual beli.
Akan tetapi jika nash itu tidak qath’i, seperti hadits ahad, maka diperlukan
upaya ijtihad dalam mensinergikan nash syari’at antara satu dengan yang
lainnya melalui pemahaman secara komprehensif, dan bukan berarti
mentarjihkan maslahat tersebut di atas nash.[79]
[79] Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan, Dhawabith al-Maslahah fî asy-
Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut: Mu’assasah ar-Risâlah, 1973). Hal. 194

1. Maslahat tidak bertentangan dengan qiyas (analogi).[80]

[80] Ibid. Hal. 216-247.

Suatu maslahat harus bersandarkan dalil meskipun dalil tersebut tidak


berhubungan langsung secara khusus, seperti dalam kasus pengumpulan al-
Qur’an oleh Abu Bakar radhiyyalu ’anhu, tidak ada ashl yang langsung
dianalogikan, tetapi ia termasuk di dalam kerangka hifdzu ad-diin (menjaga
agama). Menurut al-Buthi, qiyas merupakan upaya untuk memelihara
maslahat yang didasarkan pada persamaan‘illat. Setiap qiyas pasti
mempertimbangkan atau memelihara maslahat, tapi tidak setiap
pemeliharaan maslahat itu berarti qiyas. Dan suatu maslahat tidak dianggap
jika bertentangan dengan al-qiyas ash-shahih.[81]
[81] Ibid. Hal. 246.

1. Tidak Menyalahi Maslahat yang Setingkat atau Maslahat yang


Lebih

Maslahat yang lebih tinggi atau lebih penting harus didahulukan daripada
maslahat di bawahnya. Jika terjadi pertentangan diantara maslahat–maslahat,
maka sesuatu yang dharuri (primer) lebih didahulukan daripada
yang haji (sekunder). Dan sesuatu yang haji lebih didahulukan daripada
yang tahsini (tersier).[82]
[82] Ibid. Hal. 250-251.

Salah satu contohnya adalah apabila seorang wanita ikut bekerja di berbagai
pabrik dan industri. Dalam kasus ini, terdapat maslahat yang
bersifat tahsini (tersier) berkaitan dengan hifdzu al-maal karena dapat
menambah pemasukan dan produksi. Akan tetapi, ikut bekerja seperti itu
menyebabkan terbengkalainya peran utama seorang wanita yang menjadi
ratu dalam sebuah rumah tangga untuk mewujudkan keluarga yang baik. Dan
hal ini termasuk perkara haji (sekunder) yang berkaitan dengan hifdzu an-
nasl.[83] Maka kepentingan hifdzun nasl yang haji (sekunder) lebih
diutamakan atas kepentingan hifdzu al-maal yang tahsini (tersier).[84]
[83] Abdul Karim bin Ali bin Muhammad an-Namlah, al-Muhadzzab fi ‘Ilmi
Ushul Fiqh al-Muqaran, (Riyadh: Maktabah ar-Rusyd). Jil. 3. Hal. 1005
[84] Ibid. Hal. 260-261.

Korelasi Dhawabith Maslahat dengan al-Qawa’id al-Fiqhiyyah


Demikianlah beberapa dhawabith (kriteria), syarat dan ketentuan atau “aturan
main” yang berlaku dalam menggunakan metode maslahat untuk menetapkan
suatu hukum. Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa suatu
maslahat tidak bisa diutamakan dari nash. Akan tetapi, ada sebuah
pertanyaan yang masih berkaitan dengan dhawabith al-mashlahah di atas.
”Apabila maslahat harus memenuhi semua dhawabith yang telah disebutkan
itu, lalu apa faedah dari kaidah “al-Masyaqqatu Tajlibu at-Taysir”[85] dan
kaidah “al- ‘Adah Muhakkamah?”[86]. Pertanyaan tersebut mengindikasikan
adanya dugaan bahwa dua Qaidah Fiqhiyyah tersebut bertentangan
dengan dhawabith maslahat dalam syari’at. Maka pembahasan kali ini akan
menegaskan tidak ada kontradiksi di antara dhawabith maslahat dan al-
Qawa’id al-Fiqhiyyah serta menjelaskan bahwa keduanya saling berkaitan.
[85] As-Suyuthi, Al-Asybah wa an-Nadzhair, Hal. 76. Ibnu Najim, Al-Asybah
wa an-Nadzhair, Hal. 74. Az-Zarkasyi, al-Mantsur fi al-Qawa’id, Huruf mim.
Muhammad Sidqi bin Ahmad al-Burnu, al-Wajiz fi Idhaahi al-Qawaid al-
Fiqhiyyah, Hal. 218.Musthafa az-Zarqa’, al-Madkhal al-Fiqhiy, Hal. 598.
[86] As-Suyuthi, Al-Asybah wa an-Nadzhair, Hal. 89. Ibnu Najim, Al-Asybah
wa an-Nadzhair, Hal. 92. Az-Zarkasyi, al-Mantsur fi al-Qawa’id, Jil. 2. Hal.
356. Muhammad Sidqi bin Ahmad al-Burnu, al-Wajiz fi Idhaahi al-Qawaid al-
Fiqhiyyah, Hal. 270. Musthafa az-Zarqa’, al-Madkhal al-Fiqhiy, Hal. 604.

1. Korelasi Dhawabith Maslahat dengan kaidah “al-Masyaqqatu


Tajlibu at-Taysir”

Kaidah ini menegaskan bahwa kesulitan-kesulitan yang dialami seorang


muslim, baik dalam kontstruksi ritual (ibadah) maupun sosial (mu’amalah),
akan mendorong diterapkannya kemudahan hukum pada obyek yang
dibebankan kepadanya. Jika seorang muslim menghadapi kesulitan dalam
menjalankan sebuah kewajiban, maka dalam kondisi seperti inilah Islam
memberikan toleransi serta kemudahan-kemudahannya.[87]
[87] Lihat: Muhammad Sidqi bin Ahmad al-Burnu, al-Wajiz fi Idhaahi al-
Qawaid al-Fiqhiyyah Lihat juga: Abdul Haq, dkk. Formulasi Nalar Fiqih,
Telaah Kaedah Fikih Konseptual, (Surabaya; Khalista  cet . ke – 2, 2005) Hal.
173

Akan tetapi, perlu dipahami bahwa keringanan yang dimaksud adalah


keringanan yang masih berada dalam bingkai syari’at (al-Qur’an, Sunnah,
Qiyas yang shahih dan maslahat yang rajih). Dan masyaqqah (kesulitan)
yang mendatangkan keringanan bukanlah masyaqqah yang tidak terlepas
dari ibadah, seperti masyaqqah berupa rasa lelah dalam ibadah haji atau rasa
takut dalam jihad. Masyaqqah tidak menggugurkan kewajiban ibadah karena
sudah menjadi konsekuensi logis. dari jenis pekrejaan yang dilakukan. [88]
[88] As-Suyuthi, Al-Asybah wa an-Nadzhair, hal. 168. Al-Izz, Qawa’idu al-
Ahkam, Jil. 2. Hal. 7

Perlu diketahui juga bahwa setiap kali Allah mewajibkan sesuatu, maka di
sana ada keringanan yang juga disyari’atkan untuk mempermudah
pelaksanaannya jika terkendala kesulitan.[89]Seperti keringanan untuk duduk
dan jama’ yang menyertai kewajiban shalat dan kebolehan berbuka puasa
bagi musafir menyertai kewajiban shaum dan sebagainya.[90]
[89] Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Dhawabith al-Maslahah fî asy-
Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut: Mu’assasah ar-Risâlah, 1973). Hal. 277.
[90] Al-Burnu, al-Wajiz fi Idhaahi al-Qawaid al-Fiqhiyyah, (Beirut: Muassasah
ar-Risalah). Hal. 227.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada kontradiksi di


antara dhawabith maslahat dan kaidah ini. Karena keringanan yang dimaksud
adalah keringanan yang tidak menyelisihi al-Qur’an, as-Sunnah dan Qiyas.
[91] Justru keduanya saling menguatkan karena sama-sama
mengutamakan nash-nash syar’i.
[91] Al-Buthi, Dhawabith al-Maslahah fî asy-Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut:
Mu’assasah ar-Risâlah, 1973)Hal. 279.

1. Korelasi Dhawabith Maslahat dengan kaidah “al-‘Aadah


Muhakkamah”

Arti dari kaidah di atas adalah; “Adat istiadat dapat dijadikan pijakan
hukum.”[92]Anggapan bahwa dhawabith maslahat bertentangan dengan
kaidah ini dikarenakan pemahaman yang keliru terhadap makna kaidah.
[93] Maka perlu ditegaskan bahwa makna kaidah ini bukan berarti sebagian
hukum-hukum syari’at dengan serta merta bisa berubah sesuai tradisi dan
adat istiadat di suatu tempat.Karena sebuah tradisi bukanlah landasan yuridis
atau perangkat metodologis otonom yang berfungsi mencetuskan hukum-
hukum baru.[94]
[92]Kaidah ini merupakan ungkapan teringkas sekaligus terbaik di antara
formulasi yang pernah dibuat ulama-ulama terdahulu. Sebelumnya,
perumusan teks kaidah ini tertuang dalam beragam ungkapan yang
cenderung rumit dan kurang sederhana, seperti: “al-I’tibar bi al-A’daat wa ar-
Ruju’ ilayha.”(Memperhitungkan tradisi dan merujuk kepadanya) dan “Mura’at
al-A’raaf wa al-A’daat.”(Memelihara tradisi dan adat istiadat). Lihat juga: Abdul
Haq, dkk. Formulasi Nalar Fiqih, Telaah Kaedah Fikih Konseptual, (Surabaya;
Khalista  cet . ke – 2, 2005) Hal. 267.
[93]Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Dhawabith al-Maslahah fî asy-
Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut: Mu’assasah ar-Risâlah, 1973).Hal. 281.
[94] Lihat Muhammad Sidqi bin Ahmad al-Burnu, al-Wajiz fi Idhaahi al-Qawaid
al-Fiqhiyyah dan Abdurrhaman bin Abdullah asy-Sya’lani, Dirasah wa Tahqiq
Kitab al-Qawaid.
Fenomena kebudayaan hanyalah “sekedar ornamen” untuk melegitimasi
hukum-hukum syari’at dan bukanlah sebuah dalil mustaqil (independen/berdiri
sendiri) yang akan melahirkan produk hukum. Karena adat yang bisa
dijadikan piranti hukum hanyalah adat istiadat yang dinilai baik menurut
perspektif syari’at dan tentunya tidak bertentangan dengan nash-nash syar’i.
[95]
[95] Abdul Haq, dkk. Formulasi Nalar Fiqih, Telaah Kaedah Fikih
Konseptual, (Surabaya; Khalista  cet . ke – 2, 2005) Hal. 268.

Adapun jika suatu ‘urf (tradisi) dijadikan “hakim” yang bisa memutuskan status


hukum padahal ada nash yang umum, bukan berarti nash tersebut
dinegasikan dan tradisi diutamakan. Justru nash tersebut difungsikan dengan
universalitasnya. Maka takhsish an-nash dengan ‘urf  bukanlah bentuk
peremehan terhadap nash.[96] Dari penjelasan ini, bisa disimpulkan
bahwa dhawabith maslahat tidak bertentangan dengan kaidah “al-‘Adah
Muhakkamah”, justru keduanya saling mendukung karena sama-sama
mengedepankan nash-nash syar’i.
[96]Mushtafa az-Zarqa’, al-Madkhal al-Fiqhiy, Jil. 2. Hal. 880.

BACA JUGA: IMAM SYAFI’I ADALAH RAFIDHAH, BENARKAH?


Korelasi antara Maslahat dan Maqashidu asy-Syari’ah
Muhammad Sa’d bin Ahmad bin Mas’ud al-Yubi, dalam desertasinya yang
berjudul “Maqashid as-Syari’ah wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah as-
Syar’iyyah,” menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat
antara al-mashlahat al-mursalah dan maqashidu asy-syari’ah. Hal tersebut
dikarenakan syarat-syarat suatu maslahat tidak bisa terlepas dari
pemeliharaan terhadap Maqashidu asy-Syari’ah.[97]
[97] Muhammad Sa’d bin Ahmad bin Mas’ud al-Yubi, Maqashid as-Syari;ah
wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah as-Syar’iyyah, (Saudi: Daar Ibnul Jauzi, 1430).
Hal. 505.

Beliau juga mengatakan bahwa beramal dengan maslahat merupakan amalan


dalam bingkai maqashidu asy-syari’ah dan tidak boleh beramal dengan
maslahat jika tidak berada dalam ruang lingkup maqashidu asy-syari’ah.
[98] Dalam menggunakan metode maslahat, Imam Malik memang dikenal
sebagai seorang ulama yang paling longgar.[99] Akan tetapi, sebagaimana
yang dijelaskan oleh Imam asy-Syathibi, walaupun Imam Malik terkesan
longgar dalam hal ini, beliau masih menjaga maqashidu asy-syari’ah, tidak
keluar darinya dan tidak menyelisihi pokok-pokok di dalamnya.[100] Al-Qarafi
ikut menghilangkan kesan negatif tentang Imam Malik dalam hal ini dengan
menambahkan bahwa beliau mensyaratkan ahliyatu al-ijtihad (kelayakan
untuk berijtihad) dalam ber-hujjah dengan maslahat agar seseorang
mengetahui caraberakhlaq dengan syari’at.[101]
[98]Ibid. hal. 507.
[99]Muhammad Musthofa Syalabi, Al Madkhal fi al-Fiqh al-Islamiy, Hal. 256.
[100] Asy-Syathibi, al-I’tisham,
[101] Dikutip dari an-Nafais Syarh al-Mahshul oleh Muhammad Sa’d bin
Ahmad bin Mas’ud al-Yubi, Maqashid as-Syari;ah wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah
as-Syar’iyyah, (Saudi: Daar Ibnul Jauzi, 1430). Hal. 508.

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa maslahat


dan maqashidu asy-syari’ah merupakan dua hal yang saling berkaitan.
Karena maqashidus syari’ah  menjaga nila-nilai kemaslahatan bagi manusia.
[102]
[102] Lihat Manna’ al-Qathan, Raf’u al-Haraj fi asy-Syari’ah al-
Islamiyyah, (Riyadh: ad-Dar as-Su’udiyyah, 1982), hal. 61

Kesimpulan
Suatu maslahat dapat dijadikan hujjah apabila memenuhi syarat dan kriteria
yang disebut “dhawabith al-mashlahah”. Maka dari itu, dalam menentukan
suatu hukum, menerapkan dhawabith maslahat adalah sebuah keniscayaan
agar intervensi hawa nafsu di dalamnya dapat dihilangkan. Tidak berlebihan
kiranya jika dhawabith maslahat disebut sebagai salah satu perangkat ijtihad
yang aksiomatik.
Selain itu, adanya dhawabith maslahat dapat memperlihatkan perbedaan
antara konsep maslahat dalam Islam dan konsep maslahat versi humanism
yang mengatakan bahwa standar untuk menentukan maslahat adalah dengan
pertimbangan akal dan realitas yang berbeda dan berubah. Adapun dalam
Islam, maslahat adalah nilai kebahagiaan yang bisa diwujudkan dengan
ketentuan syari’at, bukan dengan penalaran akal semata. Wallahul muawafiq
ilaa aqwamith thoriiq.
 
[1]Muhammad Said Ramadhan al-Buthy, Dhawabith al-Maslaẖah fi asy-
Syari’ah al-Islamiyah. (Damaskus: Daar al-Fikr, 2005). Hal. 123.
[2] Abdul Haq, dkk. Formulasi Nalar Fiqih, Telaah Kaedah Fikih
Konseptual, (Surabaya; Khalista  cet 2, 2005) hal. 191.
[3] Wahbah Zuhaili, al-Wajiz fi Fiqhi al-Islamiy, (Damaskus: Daar al-Fikr, cet. 1
t. 2005) Jil. 2 Hal. 38
[4] Al-‘Izz bin Abdus Salam, Qawa’id al-Ahkam fii Ishlaahi al-Anaam, (Beirut:
Daar al-Ma’arif, tanpa tahun). Jil. 1. Hal. 9
[5]Al-Qarafi, an-Nafais Syarh al-Mahshul, (cet. 1, 1994).Jil. 1. Hal. 324.
[6]LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender). Di antara tohok-tokoh
liberal adalah: Irshad Manji dan Musdah Mulia. Contoh kasus tentang hal ini
adalah terbitnya sebuah artikel berjudul “Indahnya Kawin Sejenis” dalam
jurnal “JUSTISIA” yang mendapat ijin terbit dari: Dekan Fakultas Syariah IAIN
Walisongo Semarang.
[7]Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disebutkan bahwa arti dari
maslahat adalah; sesuatu yang mendatangkan kebaikan, keselamatan dan
sebagainya seperti; faedah atau guna.Sedangkan arti dari kemaslahatan
adalah; kegunaan, kebaikan, manfaat dan kepentingan. Adapun kata
‘maslahat’ dalam kosa kata bahasa Indonesia adalah serapan dari kata “al-
mashlahah” dalam bahasa Arab. Besar kemungkinan adanya penyerapan
bahasa ini dikarenakan sulitnya mencari padanan kata yang mampu mewakili
arti yang dikandung oleh kata “al-mashlahah” dalam bahasa Indonesia.
[8]Al-Fayumi, al-Mishbah al-Munir, (Beirut, Maktabah al-Ilmiyah) Jil.1 hal. 345.
[9]Ibrohim Musthofa, dkk, al Mu’jam al Wasith, (Kairo: Maktabah asy- Syuruq
ad-dauliyah, cet. ke – 4, 2004 M/1425 H). Hal. 520
[10] Muhammad bin Muhammad al-Husaini, Tajul ‘Arus Syarh al-Qamus, Jil.3
hal. 183
[11] Al-Fairuz Abadi, al-Qamus al-Muhith, Jil. 1. Hal. 391 (Versi Maktabah
Syamilah)
[12] Ibnu Mandzur,  Lisanul Arab, (Kairo: Darul Ma’arif) Hal. 2479-2480.
Pengertian ini juga termaktub dalam kitab Mukhtaataru ash-Shahaah, Hal. 75
[13]Izzudin bin Abdis Salam, al-Fawaid fi Ikhtishaari al-Maqashid aw al-
Qawaid as-Sughraa (Damaskus: Daar al-Fikr 1996). Hal. 32.
[14]Lihat Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Dhowabitul Maslahah.
(Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), Hal. 23
[15] Ahmad dan Muhammad Jamal Barut ar-Raysuni, Al-Ijtihad: an-Nash, al-
Waqi’, al-Maslahah, (Beirut: Daar al-Fikr al-Mu’âshir, 2000), hal 33-37.
[16] Imam Abu Hamid Al Ghazali, Al Mustashfa bi tahqiqi Abdullah Mahmud
Muhammad Umar, (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, cet 1, 2008)  Hal. 275.
[17] Husen Hamid Hasan,  Nadzhariyat al-Mashlahah fi Fiqhi al-Islamiy, hal. 8
[18]Asy-Syathibi, Al Muwafaqat fi Ushul Asy Syariah, (Beirut: Dar Ibnu Affan,
Cet 1, 1997 M/1417 H) Jil. 2. Hal. 44
[19]Ibid. Jil. 2. Hal. 45.
[20]Maksud maslahat dalam makalah ini adalah “al-Mashlahah al-
Mursalah.”Yaitu maslahat yang termasuk dalam tujuan syari’at, namun tidak
ada dalil khusus yang menetapkan atau menolaknya. Lihat al-
Mustashfa karya Imam al-Ghazali (Beirut: Daar Kutub al-‘Ilmiyah). Hal. 173.
Lihat juga Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul Fiqh. Hal.74 dan 84 dan
Muhammad Kamaluddin Imam, Ushulul Fiqh al-Islamiy, Hal. 200.
[21]Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Maktabah ad-Dakwah, tanpa
tahun). Hal. 85
[22]Beliau adalah ulama madzhab Malikiyah Syihabuddin Abu al-Abbas
Ahmad bin Idris al-Qarafi (w. 684). Adapun pernyataan beliau dalam hal ini
bisa dilihat dalam kitab; “Syarh Tanqqih al-Fushuul”, hal. 394.
[23]Beliau adalah Musa bin Ali bin Wahb bin Muthi’ al-Qusyairi (641-685
H/1244-1286 M).Seorang ulama ternama di masanya. Lihat: al-A’lam, karya
az-Zarkali. Adapun beliau dalam hal ini adalah sebagaimana dinukil oleh
Badruddin Muhammad bin Bahadir bin Abdullah az-Zarkasyi dalam al-Bahru
al-Muhith (Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1421 H/2000 M) ,Jil. 4. Hal. 378 .
[24] Mereka adalah: Mushtafa Zaid dalam al-Mashlahah fi Tasyri’ al-
Islami hal.38-60, al-Buthi dalam Dawabith al-Mashlahah hal.367, Musthafa
Ahmad az-Zarqa dalam al-Istishlah hal.60, al-Bugha dalam al-Adillah al-
Mukhtalafah Fiiha, hal. 41. Lihat juga: Muhammad Sa’d bin Ahmad bin
Mas’ud al-Yubi, Maqashid as-Syari’ah wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah as-
Syar’iyyah, (Saudi: Daar Ibnul Jauzi, 2008), hal. 504.
[25] Lihat: Ibnu Amir al-Haj, at-Taqrir wa Tahbir (Beirut: Daar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, cet. ke-2 th.1316 H) Jil. 3. Hal. 286, Muhammad Amir, Taysir at-
Tahrir, (Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t. th). Jil. 4. Hal. 171, Ibnu Hazm al-
Andalusi, al-Ihkamul fii Ushuli al-Ahkam, Jil. 4. Hal. 160. (Beirut: Daar al-Afaaq
al-Jadiidah, cet. ke-2 t. 1402 H).
[26]Mereka yang berpendapat demikian adalah: Abdul Wahab Khalaf
dalam Mashadir at-Tasyri’, hal. 90,  al-Buthi dalam Dawabith al-
Mashlahah hal. 380, Musthafa Ahmad az-Zarqa dalam al-Istishlah hal.60 dan
Mushtafa Zaid dalam al-Mashlahah fi Tasyri’ al-Islami hal. 45. Lihat juga:
Muhammad Sa’d bin Ahmad bin Mas’ud al-Yubi, Maqashid as-Syari’ah wa
‘Alaqatuha bi al-Adillah as-Syar’iyyah, (Saudi: Daar Ibnul Jauzi, 2008), hal.
503.
[27] Wahbah Zuhaili, al-Wajiz fi Ushul Fiqh al-Islamiy, (Damaskus: Daar al-
Fikr, 1995). Hal. 93.
[28]Al-Qarafi, Syarh Tanqiih al-Fushul, (Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah,
1941).Hal. 394. Asy-Syathibi, al-I’tisham (Daar al-Aqiidah, 2006).
Hal.337.Muhammad Amin asy-Syanqithi, al-Mashalih al-Mursalah, (Madinah:
al-Jami’ah al-Islamiyah, 1978). Hal. 10
[29] Lihat: Muhammad Sa’d bin Ahmad bin Mas’ud al-Yubi, Maqashid as-
Syari’ah wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah as-Syar’iyyah, (Saudi: Daar Ibnul Jauzi,
2008), hal. 503.
[30] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, (Makkah: Daar al-Wafa’, 2005). Jil. 11.
Hal. 344
[31] Maksud kedudukan di sini adalah status dan fungsi maslahat dalam
syari’at, apakah dia termasuk dalil yang bisa dijadikan sumber hukum ataukah
ia tidak lebih dari sekedar tujuan hukum saja.
[32] Abdul Haq, dkk. Formulasi Nalar Fiqih, Telaah Kaedah Fikih
Konseptual, (Surabaya; Khalista  cet . ke – 2, 2005) Hal. 191.
[33] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, A’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-
Alamin, (Beirut; Daar al-Kutub al-Ilmiyah, cet. 1, tanpa tahun) Jil. 3. Hal.11.
[34] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Syifa’u al-‘Alil, hal. 431
[35] Ibnu Taimiyah,  Majmu’ Fatawa, (Daar al-Wafa’, 2005M/1426 H) Jil. 11.
Hal. 343. Yusuf al-Qardhawi menguatkan pendapat ini dalam Madkhal li ad-
Dirasah al-Islamiyyah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2001), hal. 58
[36]Buku yang dimaksud adalah al-Qawaid al-Kubraa (Qowaidul Ahkam fi
Ishlaahi al-Anam) dan al-Qawaid as-Sughraa (al-Fawaid fi Ikhtishaari al-
Maqashid).
[37] Lihat Muhammad Sa’d bin Ahmad bin Mas’ud al-Yubi, Maqashid as-
Syari’ah wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah as-Syar’iyyah, (Riyad: Daar al-Hijrah,
1998), hal. 49-67.
[38] Muhammad Mustafa asy-Syalabi, Ta’lil al-Ahkam, (Beirut: Daar Ibn al-
Jauzi, 1423 H), hal.307.
[39]Al-Buthy, Dhawabith al-Maslaẖah fi asy-Syari’ah al-Islamiyah. (Damaskus:
Dâr al-Fikr, 2005). Hal. 11
[40]Lihat Nirwan Syafrin, Kritik terhadap Paham Liberalisai Syariat Islam,
(Jurnal Tsaqofah, R. Tsani 1429 H) Jil.4. No. 2.Hal. 290.
[41]Humanisme memiliki arti dan definisi yang beragam, tergantung pada
proyek-proyek dan rancana yang diajukan.Namun maksud dari humanisme di
sini adalah aliran yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan
mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik. Menurut mereka, standar
untuk menentukan maslahat adalah dengan pertimbangan akal dan realitas
yang berbeda dan berubah.
Lihat: http://www.scribd.com/doc/57521631/Tantangan-Humanisme-Dan-
Konsep-Maslahat-Dalam-Islam
[42] Pernyataan Irwan Masduqi dalam bukunya “Mengetuk Pintu Syari’ah;
Sebuah Telaah Diskursus Maqashid Syari’ah, Metode Utilitarianistik, (KSW,
2006) cet-1.Hal 28. (dikutip dari Irwan Masduqi, Rekonstruksi Paradigma
Hukum Islam, (http://www.scribd.com/doc/27965052-E-Book-Rekonstruksi-
Paradigma-Fikih-Islam). Diakses pada hari Sabtu, 15 November 2014 pada
pukul 05:46.
[43] Ibid. Hal. 19
[44]Asy-Syathibi, al -I’thisam, (Kairo: Daar al-Aqidah, 2006). Hal. 32.
[45]Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul al -Fiqh,  hal. 88. Mengutip pendapat
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitab Iktilaafu al-Ulamaa’ fi al-‘Amal bi as-
Siyasah, Jil. 4 Hal.372 ,ath-Thuruq al-Hukmiyyah, Jil. 1. Hal. 18, dan
kitab Bada’iu al-Fawaid, Jil. 3. Hal. 674
[46] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Hal. 88.
[47]Penelitian yang mendalam atas sedemikian banyak nash al-Qur’an dan
hadits menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan bahwa hukum Islam
senantiasa dilekati hikmah dan illah yang bermuara kepada maslahat, baik
bagi masyarakat maupun perorangan. Lihat; Thahir bin ‘Asyur, asy-Syari’ah
al-Islamiyyah, (Kairo: Daar as-Salam, 2006), hal. 12
[48] Al-Buthy, Dhawabith al-Maslaẖah fi asy-Syari’ah al-Islamiyah.
(Damaskus: Daar al-Fikr, 2005). Hal. 24-26.
[49] Ibid.Hal. 115.
[50] Husen Hamid Hasan, Nadzhariyatu al-Mashlahah fi Fiqhi al-Islamiy, hal.
51, sebagai kesimpulan dari perkataan Imam Asy-Syathibi dalam kitab al-
Muawafaqat, (Daar Ibnu ‘Affan, 1997). Jil. 1. Hal. 27
[51] Abdul Haq, dkk. Formulasi Nalar Fiqih, Telaah Kaedah Fikih
Konseptual, (Surabaya; Khalista, 2005).Hal. 191.
[52] Amir syarifudin, Ushul Fikih, (Jakarta; Kencana Prenada Media Group,
Cet 5, 2009 M) Jil. 2.. Hal. 326.
[53] Lihat Al-Buthy, Dhawabith al-Maslahah fi asy-Syari’ah al-Islamiyah.
(Damaskus: Dar al-Fikr, 2005). Hal. 115
[54] Ibid. Hal. 116.
[55] Pada waktu itu, kristen Qusytalah melakukan penyerangan dan berhasil
menguasai Jiyan, Sativa, dan Sevilla. Lihat: Nihayatul Andalus,  Hal. 122
[56]Asy-Syathibi, al-I’tisham. (Kairo: Daar al-Aqidah). Hal. 343.
[57]Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, hal. 86-87.
[58]H.R. Bukhari no. 1088, Muslim no. 1870 dan Abu Daud no. 2042.
[59]Lihat al-Mustashfa fi Ilmi al-Ushul Hal. 173, karya Imam al-Ghzali al-
I’tisham  karya Abu Ishaq asy-Syatibi dalam pembahasan perbedaan antara
bid’ah dan al-maslahat al-mursalah. Jil. 1. Hal. 87. Lihat juga Abdul Wahab
Khalaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, Abdul Wahab Khalaf  hal. 87.
[60]Asy-Syatibi, al-I’tisham, Jil. 2. Hal. 124 dan Abdul Wahab
Khalaf, Mashadiru at-Tasyri’, Hal. 99.
[61] Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan, Dhawabith al-Maslahah fî as-
Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut: Mu’assasah ar-Risâlah, 1973). Hal. 119-128.
[62] Ibid. Hal. 120.
[63]Hal ini selaras dengan berbagai definisi yang diutarakan oleh al-Ghazali
dalam al-Mustashfa sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan
“Hakikat Maslahat.”Kemudian al-Buthi memperkuat dan menegaskan kembali
dalam desertasinya, Dhawabith al-Maslahah fî as-Syari’ah al-Islamiyah,
(Bairut: Mu’assasah ar-Risaalah, 1973).Hal. 129.
[64] Ibid. Hal. 23.
[65]Asy-Syatibi, al-Muwafaqat, Jil. 3. Hal. 30
[66] Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan, Dhawabith al-Maslahah fî as-
Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut: Mu’assasah ar-Risâlah, 1973). Hal. 125.
[67] Ibid. Hal. 129-151
[68] Ibid. Hal. 120.
[69] Q. S. an-Nisa’: 59.
[70] Q. S. an-Nisa’: 115.
[71] Q.S. al-Maidah: 44
[72] Q.S. al-Maidah: 49
[73] Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan, Dhawabith al-Maslahah fî as-
Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut: Mu’assasah ar-Risâlah, 1973). Hal. 131-132.
[74]Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustashfa, Jil. 2. Hal. 126.
[75] Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan, Dhawabith al-Maslahah fî as-
Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut: Mu’assasah ar-Risâlah, 1973). Hal 139.
[76] Ibid. Hal. 161-215.
[77] Ibid. Hal. 174-175.
[78]IbnuQayyim, A’lamu al-Muwaqqi’in, (Beirut: Daar al-Jail, 1973). Jil. 1. Hal.
55
[79] Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan, Dhawabith al-Maslahah fî asy-
Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut: Mu’assasah ar-Risâlah, 1973). Hal. 194
[80] Ibid. Hal. 216-247.
[81] Ibid. Hal. 246.
[82] Ibid. Hal. 250-251.
[83] Abdul Karim bin Ali bin Muhammad an-Namlah, al-Muhadzzab fi ‘Ilmi
Ushul Fiqh al-Muqaran, (Riyadh: Maktabah ar-Rusyd). Jil. 3. Hal. 1005
[84] Ibid. Hal. 260-261.
[85] As-Suyuthi, Al-Asybah wa an-Nadzhair, Hal. 76. Ibnu Najim, Al-Asybah
wa an-Nadzhair, Hal. 74. Az-Zarkasyi, al-Mantsur fi al-Qawa’id, Huruf mim.
Muhammad Sidqi bin Ahmad al-Burnu, al-Wajiz fi Idhaahi al-Qawaid al-
Fiqhiyyah, Hal. 218.Musthafa az-Zarqa’, al-Madkhal al-Fiqhiy, Hal. 598.
[86] As-Suyuthi, Al-Asybah wa an-Nadzhair, Hal. 89. Ibnu Najim, Al-Asybah
wa an-Nadzhair, Hal. 92. Az-Zarkasyi, al-Mantsur fi al-Qawa’id, Jil. 2. Hal.
356. Muhammad Sidqi bin Ahmad al-Burnu, al-Wajiz fi Idhaahi al-Qawaid al-
Fiqhiyyah, Hal. 270. Musthafa az-Zarqa’, al-Madkhal al-Fiqhiy, Hal. 604.
[87] Lihat: Muhammad Sidqi bin Ahmad al-Burnu, al-Wajiz fi Idhaahi al-
Qawaid al-Fiqhiyyah Lihat juga: Abdul Haq, dkk. Formulasi Nalar Fiqih,
Telaah Kaedah Fikih Konseptual, (Surabaya; Khalista  cet . ke – 2, 2005) Hal.
173
[88] As-Suyuthi, Al-Asybah wa an-Nadzhair, hal. 168. Al-Izz, Qawa’idu al-
Ahkam, Jil. 2. Hal. 7
[89] Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Dhawabith al-Maslahah fî asy-
Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut: Mu’assasah ar-Risâlah, 1973). Hal. 277.
[90] Al-Burnu, al-Wajiz fi Idhaahi al-Qawaid al-Fiqhiyyah, (Beirut: Muassasah
ar-Risalah). Hal. 227.
[91] Al-Buthi, Dhawabith al-Maslahah fî asy-Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut:
Mu’assasah ar-Risâlah, 1973)Hal. 279.
[92]Kaidah ini merupakan ungkapan teringkas sekaligus terbaik di antara
formulasi yang pernah dibuat ulama-ulama terdahulu. Sebelumnya,
perumusan teks kaidah ini tertuang dalam beragam ungkapan yang
cenderung rumit dan kurang sederhana, seperti: “al-I’tibar bi al-A’daat wa ar-
Ruju’ ilayha.”(Memperhitungkan tradisi dan merujuk kepadanya) dan “Mura’at
al-A’raaf wa al-A’daat.”(Memelihara tradisi dan adat istiadat). Lihat juga: Abdul
Haq, dkk. Formulasi Nalar Fiqih, Telaah Kaedah Fikih Konseptual, (Surabaya;
Khalista  cet . ke – 2, 2005) Hal. 267.
[93]Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Dhawabith al-Maslahah fî asy-
Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut: Mu’assasah ar-Risâlah, 1973).Hal. 281.
[94] Lihat Muhammad Sidqi bin Ahmad al-Burnu, al-Wajiz fi Idhaahi al-Qawaid
al-Fiqhiyyah dan Abdurrhaman bin Abdullah asy-Sya’lani, Dirasah wa Tahqiq
Kitab al-Qawaid.
[95] Abdul Haq, dkk. Formulasi Nalar Fiqih, Telaah Kaedah Fikih
Konseptual, (Surabaya; Khalista  cet . ke – 2, 2005) Hal. 268.
[96]Mushtafa az-Zarqa’, al-Madkhal al-Fiqhiy, Jil. 2. Hal. 880.
[97] Muhammad Sa’d bin Ahmad bin Mas’ud al-Yubi, Maqashid as-Syari;ah
wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah as-Syar’iyyah, (Saudi: Daar Ibnul Jauzi, 1430).
Hal. 505.
[98]Ibid. hal. 507.
[99]Muhammad Musthofa Syalabi, Al Madkhal fi al-Fiqh al-Islamiy, Hal. 256.
[100] Asy-Syathibi, al-I’tisham,
[101] Dikutip dari an-Nafais Syarh al-Mahshul oleh Muhammad Sa’d bin
Ahmad bin Mas’ud al-Yubi, Maqashid as-Syari;ah wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah
as-Syar’iyyah, (Saudi: Daar Ibnul Jauzi, 1430). Hal. 508.
[102] Lihat Manna’ al-Qathan, Raf’u al-Haraj fi asy-Syari’ah al-
Islamiyyah, (Riyadh: ad-Dar as-Su’udiyyah, 1982), hal. 61

Anda mungkin juga menyukai