SGD Gadar Hilang Kesadaran - Revisi New
SGD Gadar Hilang Kesadaran - Revisi New
KASUS:
Hilang Kesadaran
Oleh:
Tim Penyusun SGD
Fakultas Kedokteran Universitas Ciputra
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CIPUTRA
SURABAYA
Tujuan umum
Mahasiswa mampu melakukan managemen diagnosa hiang kesadaran et causa intoksikasi
organofosfat, terapi pendahuluan dan menentukan rujukan yang paling tepat untuk penanganan
pasien selanjutnya.
Tujuan khusus
Pada penghujung diskusi, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan secara sistematis dan
terintegrasi dari ilmu kedokteran dasar, paraklinik, dan klinik yang telah dipelajari, managemen
diagnosa hiang kesadaran et causa intoksikasi organofosfat, terapi pendahuluan dan menentukan
rujukan yang paling tepat untuk penanganan pasien selanjutnya.
Skenario:
Seorang wanita berusia 17 tahun, datang diantar keluarganya ke rumah sakit dengan keluhan hilang
kesadaran > 1jam yang lalu (sebelum dibawa ke igd.)
Instruksi:
1. Lakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik pada pasien (minta informasi pada tutor)!
2. Jelaskan secara sistematis dan terintegrasi apa yang terjadi pada pasien diatas!
3. Jelaskan manajemen tatalaksana dan rujukan untuk penyakit yang diderita pasien!
4. Jelaskan prognosa untuk penyakit yang diderita pasien!
Informasi tambahan:
Heteroanamnesa:
Seorang wanita berusia 17 tahun, datang diantar keluarganya ke rumah sakit dengan keluhan hilang
kesadaran > 1 jam yang lalu (sebelum dibawa ke igd ).
Pasien mengunci diri di kamar sejak pulang sekolah sekitar jam 14.00. Pasien masih menjawab
ibunya saat ditanya ingin makan apa di balik pintu sekitar jam 17.00.
Pasien tidak memberi respon saat diminta ibunya untuk keluar kamar agar pasien makan malam
pada jam 18.00. Keluarga menemukan kamar terkunci dan pasien tidak menjawab saat dipanggil.
Keluarga mendobrak pintu kamar dan pasien ditemukan keluarganya dalam kondisi tidak sadar
sekitar jam 18.30. Kondisi pasien ditemukan tergeletak dan ada muntahan didekat pasien serta
semprotan obat nyamuk yang kosong (obat nyamuk cair ). Pada muntahan & baju pasien ada bau
obat nyamuk.
Ibu pasien sering melihat pasien sering menangis sejak pasien tidak diterima di universitas
favoritnya. Keluarga mengatakan pasien tidak disertai kejang & panas.
Tidak ada riwayat kecelakaan/ luka dikepala . Tidak ada mesin/ asap di kamar
Riwayat penyakit dahulu : Tidak ada sakit sebelumnya (gagal ginjal, HT, DM, tumor kepala)
Riwayat penyakit keluarga: tidak ada keluarga dengan keluhan yang sama
Riwayat psikososial: Pasien tinggal bersama keluarganya di rumah. Pasien rajin belajar namun suka
menyendiri.
Riwayat penggunaan obat: Tidak ada penggunaan obat2an sebelumnya
Thoraks
Cor: Inspeksi : tidak tampak pulsasi iktus kordis, spider nevi (-),
Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V midclavicular line sinistra, kuat angkat (-),
thrill (-)
Perkusi : batas atas jantung ICS II midclavicular line sinistra, batas kanan
jantung parasternal line dekstra, batas kiri jantung di ICS V
midclavicular line sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo: Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris kiri dan kanan, retraksi sela iga (-)
Palpasi : Vokal fremitus simetris kiri dan kanan
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen
Inspeksi : distensi (-), spider nevi (-), caput medusa (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal, venous hum/hepatic bruit (-),
Hepatic friction rub (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-) di seluruh abdomen, Hepar tidak teraba, lien
tidak teraba
Perkusi : Timpani di seluruh abdomen
Pemeriksaan Penunjang :
Darah Lengkap
Parameter Remark Unit Reference Range
WBC 9,1 103/μL 4,5-10,5
RBC 5,1 106/μL 4,0 – 5,2
HGB 12 g/dL 11,0 – 13,3
HCT 35 % 32,7-39,3
MCV 89 fL 75,0 – 100,0
MCH 28,3 Pg 25,3-29,8
MCHC 35,3 g/dL 32,3 – 36,1
PLT 375 103/μL 150 – 400
MPV 8,7 Fl 6,5-10,0
Kimia Darah
Parameter Remark Unit Reference Range
SGOT 25 µ/L 3-45
SGPT 25 µ/L 0-35
BUN 15 mg/dL 7 – 17
Kreatinin 0,6 mg/dL 0,3 – 0,9
Gula darah sewaktu 95 mg/dL 80-200
HbA1c 5 % 4-5,6
Natrium 142 mEq/L 135 – 148
Kalium 4,1 mEq/L 3,4 – 4,7
Cloride 103 mmol/L 98-108
AGD:
pH 7,4 7,35 – 7,45
HCO3- 24 mEq/L 22 – 28
PaCO2 40 mmHg 32 – 48
Urine Lengkap
Parameter Hasil
Warna Kuning
PH 6
Berat Jenis 1,005
Protein -
Glukosa -
Bilirubin -
Keton -
Leucosit -
Darah -
Sedimen lekosit -
Sedimen eritrosit -
Sedimen epitel -
Keywords: hilang kesadaran, obat nyamuk cair, muntah, percobaan bunuh diri (tentamen suicide)
Learning issue:
1. Jelaskan penyebab hilang kesadaran!
2. Jelaskan definisi intoksikasi organofosfat/ insektisida / Kapan seseorang dikatakan intoksikasi
organofosfat?
3. Jelaskan cara terjadinya keracunan / intosikasi organofosfat!
4. Jelaksan derajad intoksikasi organofosfat
5. Jelaskan patogenesis intoksikasi organofosfat!
6. Jelaskan gambaran klinik intoksikasi organofosfat!
7. Jelaskan pemeriksaan penunjang intoksikasi organofosfat!
8. Jelaskan penegakan diagnosis intoksikasi organofosfat!
9. Jelaskan tatalaksana terapi intoksikasi organofosfat!
10. Jelaskan prognosis intoksikasi organofosfat !
11. Jelaskan komplikasi intoksikasi organofosfat
12. Jelaskan pencegahan intoksikasi organofosfat
Sebab sebab kelemahan rekuren, keadaan mau pingsan(faintness) dan gangguan kesadarn
1. Vasovagal (vasodepressor)
2. Hipotensi postural
3. Insufisiensi autonom primer
4. Simpatektomi (farmakologik akibat obat-obat antihipertensi seperti metildopa atau
hidralazin, atau pembedahan)
5. Penyakit pada sistem saraf pusat dan perifer, termasuk saraf autonom
6. Sinkop sinus karotikus
7. Hiperbradikininemia
B. Hipovolemia
1. Manuever Valsava
2. Batuk
3. Mikturisi
4. Miksoma atrium, ball valve thrombus
1. Obstruksi aliran keluar ventrikel kiri: stenosis aorta, stenosis hipertrofik subaorta
2. Obstruksi aliran pulmoner: stenosis pulmonalis, hipertensi pulmonalis primer, emboli
pulmonalis
3. Miokardial: infark miokard yang masif dengan kegagalan pompa
4. Perikardial: tamponade jantung
E. Aritmia
1. Bradiaritmia
a. Atrioventrikuler blok (derajat dua dan ketiga) dengan serangan Stokes-Adams
b. Asistol ventrikel
c. Sinus bradikardia, sinoatrial blok, sinus arrest, sick-sinus syndrome
d. Sinkop sinus karotikus
e. Neuralgia glosofaringeus( dan keadaan nyeri lainya)
2. Takiaritmia
a. Takikardia ventrikel yang episodik dengan atau tanpa disertai bradiaritmia
b. Takikardia supraventrikuler tanpa AV blok
II Sebab-sebab lainnya pada kelemahan dan gangguan kesadaran yang bersifat episodik
1. Hipoksia
2. Anemia
3. Penurunan kadar karbondioksida akibat hiperventilasi(keadaan sering menimbulkan rasa
mau pingsan (faintness) tetapi jarang meneybabkan sinkop )
4. Hipoglikemia (kelemahan episodik sering terjadi, mau pingsan kadang-kadang terjadi,
sinkop jarang terjadi)
B. Serebral
Senyawa organofosfor (OP) banyak digunakan sebagai pestisida (misalnya malathion, fenthion),
terutama di negara berkembang, dan juga ada sebagai bahan perang kimia yang sangat toksik
(misalnya sarin).
insektisida organofosfat adalah diantara pestisida yang paling toksik pada manusia dan
paling banyak frekuensinya ditemukan sebagai penyebab keracunan insektisida.
Definisi intosikasi organofosfat/ insektisida
Tidak ada batasan yang jelas mengenai keracunan insektisida. Beberapa penelitian
menjelaskan keracunan insektisida adalah apabila ditemukan kadar kolinesterase dalam
darah dengan menggunakan pemeriksan spektofotometer.
PAPDI (Setiati et al., 2014)
3. Jelaskan cara terjadinya keracunan / intosikasi organofosfat!
Keracunan akut - terjadi dari satu paparan ketika seseorang secara tidak sengaja tersiram air,
disemprot, menelan atau menghirup pestisida. Gejala yang jelas muncul segera dan perawatan
segera diperlukan.
Keracunan kronis - terjadi karena paparan berulang terhadap dosis kecil pestisida dalam jangka
waktu yang lama. Jenis keracunan ini berbahaya karena tingkat racun menumpuk secara perlahan
dan hanya terdeteksi ketika kadarnya sudah cukup tinggi dan gejala muncul. Pestisida juga dapat
mengiritasi kulit dan mata (efek topikal) dan menyebabkan reaksi alergi.
https://www.dpi.nsw.gov.au/__data/assets/pdf_file/0006/186387/5-Preventing-and-treating-pest-
poisoning.pdf.pdf
accidental poisoning
keracunan pada keadaan ini biasanya murni akibat kecelakaan tanpa adanya unsur
kesengajaan sama sekali. Pada umunya banyak ditemukan keracunan ini pada anak usia di
bawah 5 tahun karena kebiasaaanya memasukkan segala benda ke dalam mulut dan kebetulan
benda tersebut sudah tercemar pestisida
homicidal poisoning
digolongkan sebagai tindak kejahatan karena seseorang dengan sengaja ingin menyebabkan
orang lain celaka / meninggal karena keracunan.
PAPDI (Setiati et al., 2014)
4. Jelaksan derajad intoksikasi organofosfat
Klasifikasi WHO untuk Keparahan
Tanda / Gejala Keparahan
Ringan
Anoreksia, Sakit Kepala, Pusing, Lemah, Ansietas, Gemetar dan Lidah
kelopak mata, Miosis, Gangguan penglihatan
Moderat
Mual, Salivasi, Lacrimasi, Kram Perut, Muntah, Berkeringat, Denyut nadi lambat, Tremor
otot
Berat
Diare, Pupil pinpoint dan pupil non-reaktif, Kesulitan bernafas, Paru-paru edema, Sianosis,
Kehilangan kendali sfingter, Kejang, Blok jantung, Koma
https://applications.emro.who.int/imemrf/J_Liaquat_Univ_Med_Health_Sci/
J_Liaquat_Univ_Med_Health_Sci_2012_11_1_15_18.pdf
2. MODERAT
serum acetylcholinesterase enzyme (AChE) Hasil: 0.8-1.6 u / l
3. BERAT
serum acetylcholinesterase enzyme (AChE): <0.8 u / l
http://apiindia.org/wp-content/uploads/pdf/medicine_update_2010/
critical_care_emergency_medicine_02.pdf
Setelah tubuh terpapar organofosfat maka organofosfat tersebut akan diabsorbsi dengan baik
sesuai dengan jalur masuknya , dapat melalui inhalasi, kontak kulit, dan tertelan. Jika melalui
kulit, bahan racun dapat memasuki pori-pori atau terserap langsung ke dalam sistem tubuh
terutama bahan yang larut minyak (polar). Ingesti atau pajanan subkutan biasanya
membutuhkan waktu lebih lama untuk menimbulkan gejala dan tanda. Racun akut
kebanyakan ditimbulkan oleh bahan –bahan racun yang larut air dan dapat
menimbulkan gejala keracunan tidak lama setelah racun terserap ke dalam tubuh
manusia. Contoh yang paling nyata dari racun akut adalah insektisida racun serangga
untuk rumahan yang terdiri dari senyawa organofosfat yang seringkali dislahgunakan
untuk meracuni diri sendiri maupun orang lain, yang efeknya telah terlihat dalam
beberapa menit setelah racun masuk ke dalam tubuh dan dapat meneybabkan
kematian.
Pada umunya organofosfat yang diperdagangkan dalam bentuk – thion(mengandung sufur )
atau yang telah mengalami konversi menjadi –okson (mengandung oksigen), dalam –okson
lebih toksik daripada bentuk – thion.
Konversi pestisida terjadi pada lingkungan sehingga beberapa hasil produksi petani dijumpai
pajanan residu ini yang lebih toksik. Sebagian besar sulfur dilepaskan dalam bentuk
merkaptan, yang merupakan hasil bentuk aroma dari bentuk – thion organofosfat. Merkaptan
memiliki aroma yang rendah dan reaksi bahayanya meliputi sakit kepala, mual , muntah yang
selalu keliru sebagai akibat keracunan akut organofosfat. Konversi dari – thion menjadi –
okson juga dijumpai secara in vivo pada metabolisme mikrosom hati sehingga –okson
menjadi pestisida bentuk aktif pada hama binatang dan manusia. Hepatik esterase dengan
cepat menghidrolisis organofosfat ester kemudian menghasilkan alkil fosfat dan fenol yang
memiliki aktivitas toksikologi lebih kecil dan cepat diekskresi. Organofosfat menimbulkan
efek pada serangga, mamalia dan manusia melalui inhibisi asetilkolinesterase pada saraf.
Fungsi normal asetilkolinesterase adalah hidrolisis dan dengan cara demikian tidak
mengaktifkan asetilkolin.
Mekanisme toksisistas banyak melibatkan peran aksi kolinergik neurotransmitter yaitu
asetilkolin (Ach), dimana reseptor muskarinik dan nikotinik- asetilkolin dapat
ditemukan pada sistem saraf pusat dan perifer. Pada sistem saraf perifer, asetilkolin
dilepaskan ganglion otonomik melalui sinaps preganglion simpatis dan parasimpatis,
sinaps postganglion parasimpatis dan neuromuscular junctions pada otot rangka. Pada
sistem saraf pusat, reseptor asetilkolin berperan pada terjadinya toksisitas insektisida
organofosfat yang menyebabkan terjadinya gangguan pada pusat siste pernafasan dan
pusat vasomotor. Ketika asetilkolin dilepaskan, perannya melepaskan neurotransmitter
untuk memperbanyak konduksi saraf perifer dan saraf pusat atau memulai kontraksi otot.
Efek asetilkolin diakhiri melalui hidrolisis dengan munculnya enzim asetilkolinesterase
(AchE). Ada dua bentuk AchE yaitu true cholinesterase atau asetilkolinesterase yang
ditemukan pada eritrosit, saraf dan neuromuscular junctions serta pseudocholinesterase atau
serum cholinesterase berada terutama pada serum, plasma , hati. Insektisida organofosfat
menghambat AchE melalui proses fosforilasi pada gugus esteranion. Ikatan fosfor ini sangat
kuat dan bersifat irreversibel. Aktivitas AchE tetap dihambat sampai enzim baru terbentuk
atau suatu reaktivator kolinesterase diberikan. Dengan berfungsi sebgai anti- kolinesterase,
kerjanya mnginaktivkan enzim kolinesterase yang berfungsi menghidrolisis neurotransmiter
asetilkolin (Ach) menjadi kolin yang tidak aktif. Akibatnya terjadi penumpukan Ach pada
sinap sinap kolinergik dan hal tersebut yang menimbulkan gejala-gejala keracunan
organofosfat.
Pajanan pada dosis rendah , tanda dan gejala umumnya dihubungkan dengan stimulasi
reseptor perifer muskarinik. Pada dosis lebih besar juga mempengaruhi reseptor
nikotinik dan reseptor sentral muskarinik. Aktivitas ini kemudian akan menurun ,
dalam dua atau empat minggu pada pseudocholinesterase plasma dan empat minggu
sampai beberapa bulan pada true cholinesterase eritrosit.
Pada penggunaan klorin organik efek yang timbul pada SSP terutama pada membran
neuronal akan mengalami gangguan hambatan repolarisai sehingga depolarisasi memanjang
atau gangguan mempertahankan polarisasi neuron. Hal ini akan menyebabkan
hipereksitasibilitas dari SSP. Efek primer dari DDT terhadap akson melalui voltage-
dependent Na+ channels yang akan terbuka setelah depolarisai mengikuti potensial aksi yang
berulang. Cyclodyenes, toxophene, dan lindane bekerja sebagai antagonis γ-aminobutyric acid
(GABA). Klorin organik juga mensensitissasi miokardium dengan katekolamin endogen dan
mencetuskan terjadinya disritmia. Seperti DDT, pyrethroid dan pyrethrin menyebabkan
aktivasi memanjang karena ikatan voltage-dependent sodium channels terbuka sehingga
depolarisasi memanjang. Efek dari voltage-sensitiv sodium channels berperan untuk aktivitas
insektisida. Tipe II pyrethroid lebih poten dan signifikan dengan memblok konduksi saraf.
Disamping itu pyrethroid memblok voltage-sensitiv chloride channels yang akan
meningkatkan toksisitas SSP, sedangkan mekanisme tokisitas DDT belum jelas diketahui.
PAPDI (Setiati et al., 2014)
gejala karena stimulasi berlebihan dari reseptor asetilkolin muskarinik dalam sistem
parasimpatis
• Bronkospasme
• Bronkorea
• Miosis
• Lakrimasi
• Diare
• Hipotensi
• Bradikardia
• Muntah
Gejala karena stimulasi berlebihan reseptor asetilkolin nikotinat dalam sistem simpatis
• Takikardia
• Midriasis
• Hipertensi
• Berkeringat
Gejala karena stimulasi berlebihan reseptor asetilkolin nikotin dan muskarinik di SSP
• Kebingungan
• Agitasi
• Koma
• Kegagalan pernapasan
• Kelemahan otot
• Kelumpuhan
• Fasikulasi
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2493390/
Pemeriksaan EKG
Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada kasus keracunan karena sering diikuti gangguan
irama jantung yang berupa sinus takikardia, sinus bradikardia, takikardia supraventrikular,
takikardia ventrikular, Torsade de pointes, fibrilasi ventrikular, asistol dan disosiasi
elektromekanik. Beberapa faktor predisposisi timbulnya aritmia pada keracunan adalah
keracuanan obat kardiotoksik, hipoksia, nyeri dan ansietas, hiperkarbia, gangguan
elektrolit darah , hipovolemia dan penyakit dasar jantung iskemik. Sangat penting
diperhatikan pada semua kasus aritmia: oksigenasi, koreksi gangguan elektrolit dan asam
basa, hindari obat antiaritmia karena justru bisa mencetuskan timbulnya aritmia serta gunakan
obat inotropik negatif dan kronotropik.
PAPDI (Setiati et al., 2014)
A. Pertolongan pertama
• Pengobatan antikolinergik
• Reaktivasi Asetilkolin-oksim
D. Benzodiazepin
A. Pertolongan Pertama:
a) Pindahkan pasien dari lingkungan yang terkontaminasi.
b) Lepaskan pakaian yang terkontaminasi
c) Cuci kulit dengan sabun dan air serta untuk mata dengan air
d) Nilai/Kaji pernapasan dan sirkulasi
e) Resusitasi jika perlu
f) Mendukung fungsi vital jika perlu
• O2 inhalasi
• Ventilasi paru-paru/ Lung ventilation
• Ionotrop
g) Kontrol kejang
h) Pantau EKG, tekanan darah, saturasi O2, ventilasi, tingkat kesadaran.
Setelah tanda-tanda atropinisasi yang memadai terjadi, dosis harus disesuaikan untuk
mempertahankan efek ini setidaknya selama 24-48 jam, diturunkan dosisnya dengan hati-hati
setelah pasien cukup stabil, diamati selama 72 jam setelah penghentian atropin sebelum
keluar dari rumah sakit. Pasien harus diberi oksigen sebelum pemberian atropin untuk
mencegah disaritmia ventrikel yang berhubungan dengan hipoksia.
Titik akhir pengobatan antikolinergik adalah membersihkan sekresi dari saluran
trakeobronkial dan mengeringkan sebagian besar sekresi. Dilatasi pupil merupakan respons
awal terhadap atropin, tetapi ini bukan merupakan titik akhir terapi. Takikardia bukanlah
kontraindikasi terhadap atropin.
Kelemahan otot diafragma merupakan penyebab penting hipoventilasi dan tidak dapat
diperbaiki dengan atropin. Atropin melewati sawar darah otak dan dapat menyebabkan efek
toksik yang parah seperti kebingungan, psikosis, koma, kejang, delirium, halusinasi,
takikardia demam, dan ileus. Studi tersebut menyimpulkan bahwa pada pasien yang
menerima atropin dosis berat yang agresif, pasien bertahan lebih sering daripada mereka yang
menerima dosis yang tidak memadai atau tidak sama sekali. Studi juga mengamati bahwa
infus atropin dosis tinggi terus menerus lebih efektif daripada dosis bolus intermiten.
Glycopyrrolate adalah senyawa amonium kuaterner yang dapat menggantikan atropin pada
pasien dengan sensorium yang jelas
• Dapatkan akses intravena dan berikan 1-3 mg atropin sebagai bolus, tergantung pada
tingkat keparahannya. Atur infus 0 · 9% normal saline; bertujuan untuk menjaga tekanan
darah sistolik di atas 80 mm Hg dan keluaran urin di atas 0 · 5 mL / kg / jam
• Catat denyut nadi, tekanan darah, ukuran pupil, adanya keringat, dan temuan auskultasi
pada saat pemberian dosis atropin pertama
• Berikan pralidoxime klorida 2 g (atau obidoxime 250 mg) secara intravena selama 20-30
menit ke dalam kanula kedua; ikuti dengan infus pralidoxime 0 · 5–1 g / jam (atau obidoxime 30
mg / jam) dlm 0 · 9% normal saline
• 5 menit setelah pemberian atropin, periksa denyut nadi, tekanan darah, ukuran pupil,
keringat, dan bunyi dada. Jika tidak ada perbaikan, berikan dua kali lipat dosis asli atropin
• Lanjutkan meninjau setiap 5 menit; berikan atropin dosis ganda jika respon masih belum
ada. Setelah parameter mulai membaik, hentikan penggandaan dosis. Dosis serupa atau lebih
kecil dapat digunakan
• Berikan bolus atropin sampai denyut jantung lebih dari 80 denyut per menit, tekanan darah
sistolik lebih dari 80 mm Hg, dan dada bersih (karena atropin tidak akan membersihkan area
fokus aspirasi). Berkeringat berhenti dalam banyak kasus. Takikardia bukanlah kontraindikasi
terhadap atropin karena dapat disebabkan oleh banyak faktor. Pupil biasanya akan
membesar; namun, tanda ini bukan merupakan titik akhir yang berguna untuk pengobatan
atropin awal karena terdapat penundaan sebelum efek maksimum. Namun, pupil yang sangat
membesar merupakan indikator toksisitas atropin
• Diperlukan penilaian klinis tentang dosis tambahan atropin jika detak jantung dan tekanan
darah sedikit di bawah targetnya tetapi suara nafas jelas / “bersih”. Lebih banyak atropin pada
saat ini mungkin tidak diperlukan. Hipotensi berat mungkin mendapat manfaat dari
vasopresor. Nilai vasopresor versus atropin dosis tinggi masih belum jelas
• Setelah pasien stabil, mulailah infus atropin yang diberikan setiap jam sekitar 10-20% dari
total dosis yang diperlukan untuk menstabilkan pasien. Periksa pasien sesering mungkin untuk
melihat apakah atropin yang diberikan terlalu banyak atau terlalu sedikit. Jika diberikan terlalu
sedikit, gambaran kolinergik akan muncul kembali setelah beberapa waktu. Jika terlalu
banyak diberikan, pasien akan menjadi gelisah dan demam, dan memicu tidak adanya bising
usus dan retensi urin terjadi. Jika ini terjadi, hentikan infus dan tunggu 30-60 menit hingga
gejala ini menghilang sebelum memulai lagi dengan kecepatan infus yang lebih rendah
• Lanjutkan infus oksim sampai atropin tidak diperlukan selama 12-24 jam dan pasien telah
diekstubasi
• Lanjutkan meninjau fungsi pernapasan. Intubasi dan ventilasi pasien jika volume tidal di
bawah 5 mL / kg atau kapasitas vital di bawah 15 mL / kg, atau jika mereka memiliki periode
apnoeic, atau PaO2 kurang dari 8 kPa (60 mm Hg) pada FiO2 lebih dari 60%
• Kaji kekuatan leher fleksor secara teratur pada pasien yang sadar dengan meminta mereka
mengangkat kepala dari tempat tidur dan menahannya pada posisi itu sementara dahi mereka
diberi tekanan. Setiap tanda kelemahan merupakan tanda bahwa pasien berisiko mengalami
gagal napas perifer (sindroma intermediate). Volume tidal harus diperiksa setiap 4 jam pada
pasien tersebut. Nilai kurang dari 5 mL / kg menunjukkan perlunya intubasi dan ventilasi
D. Obati agitasi dengan meninjau dosis atropin yang diberikan dan berikan sedasi yang
adekuat dengan benzodiazepin. Pengekangan fisik pada pasien yang gelisah dalam kondisi
hangat berisiko mengalami hipertermia parah, yang diperburuk oleh atropin karena
menghambat respons termoregulasi normal, termasuk berkeringat. Oleh karena itu, sedasi
yang memadai penting
• Pantau secara berkala untuk terjadinya krisis kolinergik yang berulang karena pelepasan
organofosfor yang larut dalam lemak dari simpanan lemak. Krisis semacam itu dapat terjadi
selama beberapa hari hingga berminggu-minggu setelah menelan beberapa organofosfor.
Pasien dengan gejala kolinergik berulang akan membutuhkan pengobatan ulang dengan
atropin dan oksim
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2493390/
Frekuensi komplikasi keracunan organofosfat akut (OP) jauh lebih besar dan berhubungan
dengan mortalitas dan morbiditas yang tinggi dan dimana komplikasi lanjut jarang terjadi dan
kurang mengancam nyawa. Pasien-pasien ini harus dipindahkan ke ICU yang dilengkapi
peralatan lengkap secepat mungkin.
Perawatan suportif dan observasi yang baik dapat membantu mengurangi komplikasi akut
seperti kejang episodik, bradikardia berat dan gagal ginjal serta komplikasi tertunda seperti
monoplegia dan paraplegia.
https://jcpsp.pk/archive/2011/May2011/08.pdf
Karena toksisitas pestisida dan risiko yang terlibat dalam pengobatan, ada kesepakatan umum
bahwa penekanan harus pada pencegahan penyakit pestisida daripada bergantung pada
pengobatan.
• Pastikan selalu ada ventilasi yang memadai saat menggunakan atau mengoleskan pestisida di
rumah atau di hewan peliharaan, misalnya, selalu buka pintu dan jendela.
• Jangan gunakan pestisida di dalam ruangan jika pestisida hanya dirancang untuk digunakan di
luar ruangan.
• Selalu baca dan ikuti petunjuk label pestisida dan peringatan keselamatan setiap saat.
• Gunakan produk siap pakai (mis., Tidak perlu pencampuran) bila memungkinkan.
• Singkirkan semua bahan makanan dan persediaan air di rumah dari sekitar aplikasi pestisida
atau sebagai alternatif jaga agar tetap tertutup secukupnya.
• Pastikan pestisida lama atau wadah racun dibuang dengan aman, alih-alih digunakan kembali
untuk menyimpan atau mengangkut air minum. Tidak peduli seberapa baik Anda mencuci wadah,
masih bisa mengandung sisa-sisa pestisida.
• Jangan memindahkan pestisida ke wadah lain yang mungkin disalahartikan oleh anak-anak
sebagai wadah minuman dingin atau permen.
• Jangan sekali-kali menuangkan pestisida atau bahan kimia rumah tangga ke saluran
pembuangan, ke toilet atau saluran air hujan, sungai atau bendungan.
https://www.ijhsr.org/IJHSR_Vol.4_Issue.8_Aug2014/36.pdf
kesimpulan
Seorang wanita berusia 17 tahun, datang diantar keluarganya ke rumah sakit dengan keluhan hilang
kesadaran > 1 jam yang lalu (sebelum dibawa ke igd )
Pasien mengunci diri di kamar sejak pulang sekolah sekitar jam 14.00. Pasien masih menjawab
ibunya saat ditanya ingin makan apa di balik pintu sekitar jam 17.00.
Pasien tidak memberi respon saat diminta ibunya untuk keluar kamar agar pasien makan malam
pada jam 18.00. Keluarga mendobrak pintu kamar dan pasien ditemukan keluarganya dalam kondisi
tidak sadar sekitar jam 18.30. Kondisi pasien ditemukan tergeletak dan ada muntahan didekat pasien
serta semprotan obat nyamuk yang kosong (obat nyamuk cair). Pada muntahan & baju pasien ada
bau obat nyamuk.
Ibu pasien sering melihat pasien sering menangis sejak pasien tidak diterima di universitas
favoritnya.
Riwayat psikososial: Pasien tinggal bersama keluarganya di rumah. Pasien rajin belajar namun suka
menyendiri.
Diagnosis:
Hilang kesadaran ec et causa intoksikasi organofosfat
Terapi:
Infus NS 2 jalur →tetesan kocor ke2 nya dan berikan 1-3 mg atropin sebagai bolus
( tergantung pada tingkat keparahannya.
Atur infus 0 · 9% normal saline; bertujuan untuk menjaga tekanan darah sistolik di atas 80 mm
Hg dan keluaran urin di atas 0 · 5 mL / kg / jam
Bila ada → berikan pralidoxime klorida 2 g (atau obidoxime 250 mg) secara intravena selama
20-30 menit ke dalam kanula kedua; ikuti dengan infus pralidoxime 0 · 5–1 g / jam (atau
obidoxime 30 mg / jam) dlm 0 · 9% normal saline
5 menit setelah pemberian atropin, periksa denyut nadi, tekanan darah, ukuran pupil,
keringat, dan bunyi dada. Jika tidak ada perbaikan, berikan dua kali lipat dosis asli atropin (2x
dosis pertama)
parameter mulai membaik, hentikan penggandaan dosis. Dosis serupa atau lebih kecil dapat
digunakan.
Setelah pasien stabil, mulailah infus atropin yang diberikan setiap jam sekitar 10-20% dari
total dosis yang diperlukan untuk menstabilkan pasien.
• Lanjutkan infus oksim sampai atropin tidak diperlukan selama 12-24 jam dan pasien telah
diekstubasi ( bila ada oksim )
• Pantau secara berkala untuk terjadinya gejala intermediate dan krisis kolinergik yang
berulang