Anda di halaman 1dari 24

SMALL GROUP DISCUSSION

BLOK GAWAT DARURAT

KASUS:
Hilang Kesadaran

Oleh:
Tim Penyusun SGD
Fakultas Kedokteran Universitas Ciputra

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CIPUTRA
SURABAYA
Tujuan umum
Mahasiswa mampu melakukan managemen diagnosa hiang kesadaran et causa intoksikasi
organofosfat, terapi pendahuluan dan menentukan rujukan yang paling tepat untuk penanganan
pasien selanjutnya.

Tujuan khusus
Pada penghujung diskusi, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan secara sistematis dan
terintegrasi dari ilmu kedokteran dasar, paraklinik, dan klinik yang telah dipelajari, managemen
diagnosa hiang kesadaran et causa intoksikasi organofosfat, terapi pendahuluan dan menentukan
rujukan yang paling tepat untuk penanganan pasien selanjutnya.

Skenario:
Seorang wanita berusia 17 tahun, datang diantar keluarganya ke rumah sakit dengan keluhan hilang
kesadaran > 1jam yang lalu (sebelum dibawa ke igd.)

Instruksi:
1. Lakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik pada pasien (minta informasi pada tutor)!
2. Jelaskan secara sistematis dan terintegrasi apa yang terjadi pada pasien diatas!
3. Jelaskan manajemen tatalaksana dan rujukan untuk penyakit yang diderita pasien!
4. Jelaskan prognosa untuk penyakit yang diderita pasien!

Informasi tambahan:

Heteroanamnesa:
Seorang wanita berusia 17 tahun, datang diantar keluarganya ke rumah sakit dengan keluhan hilang
kesadaran > 1 jam yang lalu (sebelum dibawa ke igd ).
Pasien mengunci diri di kamar sejak pulang sekolah sekitar jam 14.00. Pasien masih menjawab
ibunya saat ditanya ingin makan apa di balik pintu sekitar jam 17.00.
Pasien tidak memberi respon saat diminta ibunya untuk keluar kamar agar pasien makan malam
pada jam 18.00. Keluarga menemukan kamar terkunci dan pasien tidak menjawab saat dipanggil.
Keluarga mendobrak pintu kamar dan pasien ditemukan keluarganya dalam kondisi tidak sadar
sekitar jam 18.30. Kondisi pasien ditemukan tergeletak dan ada muntahan didekat pasien serta
semprotan obat nyamuk yang kosong (obat nyamuk cair ). Pada muntahan & baju pasien ada bau
obat nyamuk.
Ibu pasien sering melihat pasien sering menangis sejak pasien tidak diterima di universitas
favoritnya. Keluarga mengatakan pasien tidak disertai kejang & panas.
Tidak ada riwayat kecelakaan/ luka dikepala . Tidak ada mesin/ asap di kamar

Riwayat penyakit dahulu : Tidak ada sakit sebelumnya (gagal ginjal, HT, DM, tumor kepala)

Riwayat penyakit keluarga: tidak ada keluarga dengan keluhan yang sama

Riwayat psikososial: Pasien tinggal bersama keluarganya di rumah. Pasien rajin belajar namun suka
menyendiri.
Riwayat penggunaan obat: Tidak ada penggunaan obat2an sebelumnya

Pada pemeriksaan fisik didapatkan:


A. Pemeriksaan Fisik Umum ( jam 18.45)
Keadaan umum : lemah , bau obat nyamuk
GCS/ Kesadaran : 2-3-3
Tinggi badan : 160 cm
Berat badan : 50 kg
Tekanan darah : 70 palapasi
Nadi : 56kali/menit, reguler, lemah
Respirasi : 14 kali/menit, teratur
Temperatur aksila : 35 °C

B. Pemeriksaan Fisik Khusus


 Mata : anemis (-/-), ikterus (-/-),Pupil bulat, isokor miosis 1mm/1mm, refleks
cahaya -/-,, edema palpebra (-/-)
 THT
Telinga : sekret tidak ada, pendengaran normal
Hidung : sekret tidak ada
Tenggorokan : tonsil T1/T1 hiperemis (-)
Lidah : ulkus (-), papil lidah atrofi (-), paralisis (-)
Bibir : cairan muntahandi sekitar bibir, sedikit buih
 Leher
JVP : normal,
Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran
Kelenjar tiroid : tidak ditemukan pembesaran

 Thoraks
Cor: Inspeksi : tidak tampak pulsasi iktus kordis, spider nevi (-),
Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V midclavicular line sinistra, kuat angkat (-),
thrill (-)
Perkusi : batas atas jantung ICS II midclavicular line sinistra, batas kanan
jantung parasternal line dekstra, batas kiri jantung di ICS V
midclavicular line sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)

Pulmo: Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris kiri dan kanan, retraksi sela iga (-)
Palpasi : Vokal fremitus simetris kiri dan kanan
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-

 Abdomen
Inspeksi : distensi (-), spider nevi (-), caput medusa (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal, venous hum/hepatic bruit (-),
Hepatic friction rub (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-) di seluruh abdomen, Hepar tidak teraba, lien
tidak teraba
Perkusi : Timpani di seluruh abdomen

 Ekstremitas : dingin +/+ edema −/−


+/+ −/−

Pemeriksaan Penunjang :
Darah Lengkap
Parameter Remark Unit Reference Range
WBC 9,1 103/μL 4,5-10,5
RBC 5,1 106/μL 4,0 – 5,2
HGB 12 g/dL 11,0 – 13,3
HCT 35 % 32,7-39,3
MCV 89 fL 75,0 – 100,0
MCH 28,3 Pg 25,3-29,8
MCHC 35,3 g/dL 32,3 – 36,1
PLT 375 103/μL 150 – 400
MPV 8,7 Fl 6,5-10,0

Kimia Darah
Parameter Remark Unit Reference Range
SGOT 25 µ/L 3-45
SGPT 25 µ/L 0-35
BUN 15 mg/dL 7 – 17
Kreatinin 0,6 mg/dL 0,3 – 0,9
Gula darah sewaktu 95 mg/dL 80-200
HbA1c 5 % 4-5,6
Natrium 142 mEq/L 135 – 148
Kalium 4,1 mEq/L 3,4 – 4,7
Cloride 103 mmol/L 98-108

AGD:
pH 7,4 7,35 – 7,45

HCO3- 24 mEq/L 22 – 28

PaO2 90 mmHg 83 – 108

PaCO2 40 mmHg 32 – 48

SaO2 97 % 94- 100

BE (Base Excess) +1 mEq/L −2 to +2

Urine Lengkap
Parameter Hasil
Warna Kuning
PH 6
Berat Jenis 1,005
Protein -
Glukosa -
Bilirubin -
Keton -
Leucosit -
Darah -
Sedimen lekosit -
Sedimen eritrosit -
Sedimen epitel -

pemeriksaan Cholinesterase (CHE) : `1.6 u/l

Keywords: hilang kesadaran, obat nyamuk cair, muntah, percobaan bunuh diri (tentamen suicide)
Learning issue:
1. Jelaskan penyebab hilang kesadaran!
2. Jelaskan definisi intoksikasi organofosfat/ insektisida / Kapan seseorang dikatakan intoksikasi
organofosfat?
3. Jelaskan cara terjadinya keracunan / intosikasi organofosfat!
4. Jelaksan derajad intoksikasi organofosfat
5. Jelaskan patogenesis intoksikasi organofosfat!
6. Jelaskan gambaran klinik intoksikasi organofosfat!
7. Jelaskan pemeriksaan penunjang intoksikasi organofosfat!
8. Jelaskan penegakan diagnosis intoksikasi organofosfat!
9. Jelaskan tatalaksana terapi intoksikasi organofosfat!
10. Jelaskan prognosis intoksikasi organofosfat !
11. Jelaskan komplikasi intoksikasi organofosfat
12. Jelaskan pencegahan intoksikasi organofosfat

1. Jelaskan penyebab hilang kesadaran!

Sebab sebab kelemahan rekuren, keadaan mau pingsan(faintness) dan gangguan kesadarn

I Sirkulasi (penurunan aliran darah serebral)

A. Mekanisme vasokonstriksi yang inadekuat

1. Vasovagal (vasodepressor)
2. Hipotensi postural
3. Insufisiensi autonom primer
4. Simpatektomi (farmakologik akibat obat-obat antihipertensi seperti metildopa atau
hidralazin, atau pembedahan)
5. Penyakit pada sistem saraf pusat dan perifer, termasuk saraf autonom
6. Sinkop sinus karotikus
7. Hiperbradikininemia

B. Hipovolemia

1. Kehilangan darah- perdarahan gastrointestinal


2. Penyakit Addison

C. Penurunan vena balik yang bersifat mekanis

1. Manuever Valsava
2. Batuk
3. Mikturisi
4. Miksoma atrium, ball valve thrombus

D. Penurunan curah jantung

1. Obstruksi aliran keluar ventrikel kiri: stenosis aorta, stenosis hipertrofik subaorta
2. Obstruksi aliran pulmoner: stenosis pulmonalis, hipertensi pulmonalis primer, emboli
pulmonalis
3. Miokardial: infark miokard yang masif dengan kegagalan pompa
4. Perikardial: tamponade jantung

E. Aritmia

1. Bradiaritmia
a. Atrioventrikuler blok (derajat dua dan ketiga) dengan serangan Stokes-Adams
b. Asistol ventrikel
c. Sinus bradikardia, sinoatrial blok, sinus arrest, sick-sinus syndrome
d. Sinkop sinus karotikus
e. Neuralgia glosofaringeus( dan keadaan nyeri lainya)
2. Takiaritmia
a. Takikardia ventrikel yang episodik dengan atau tanpa disertai bradiaritmia
b. Takikardia supraventrikuler tanpa AV blok

II Sebab-sebab lainnya pada kelemahan dan gangguan kesadaran yang bersifat episodik

A. Perubahan keadaan sirkulasi serebral

1. Hipoksia
2. Anemia
3. Penurunan kadar karbondioksida akibat hiperventilasi(keadaan sering menimbulkan rasa
mau pingsan (faintness) tetapi jarang meneybabkan sinkop )
4. Hipoglikemia (kelemahan episodik sering terjadi, mau pingsan kadang-kadang terjadi,
sinkop jarang terjadi)

B. Serebral

1. Gangguan serebrovaskuler (serangan iskemik serebral)


a. Insufisiensi vaskuler ekstrakranial (vertebral-basiler, karotis)
b. Spasme difus pembuluh arteeriol serebral (ensefalopati hipertensi)

2. Gangguan emosional, serangan ansietas dan serangan histerik

(Isselbacher et al., 2014).HARRISON VOLUME 1 HAL 109


ATAU

Masukan dari ppt dr Agung Sp PD

2. Jelaskan definisi intosikasi organofosfat/ insektisida ( Kapan seseorang dikatakan intoksikasi


organofosfat)?

Senyawa organofosfor (OP) banyak digunakan sebagai pestisida (misalnya malathion, fenthion),
terutama di negara berkembang, dan juga ada sebagai bahan perang kimia yang sangat toksik
(misalnya sarin).

Di dalam tubuh, organofosfat menginaktivasi acetylcholinesterase (AChE) dengan fosforilasi, yang


menyebabkan akumulasi asetilkolin (ACh) pada sinapsis kolinergik.

Davidson’s essentials of medicine ebook (Innes & Maxwell, 2016)

insektisida organofosfat adalah diantara pestisida yang paling toksik pada manusia dan
paling banyak frekuensinya ditemukan sebagai penyebab keracunan insektisida.
Definisi intosikasi organofosfat/ insektisida
Tidak ada batasan yang jelas mengenai keracunan insektisida. Beberapa penelitian
menjelaskan keracunan insektisida adalah apabila ditemukan kadar kolinesterase dalam
darah dengan menggunakan pemeriksan spektofotometer.
PAPDI (Setiati et al., 2014)
3. Jelaskan cara terjadinya keracunan / intosikasi organofosfat!
Keracunan akut - terjadi dari satu paparan ketika seseorang secara tidak sengaja tersiram air,
disemprot, menelan atau menghirup pestisida. Gejala yang jelas muncul segera dan perawatan
segera diperlukan.

Keracunan kronis - terjadi karena paparan berulang terhadap dosis kecil pestisida dalam jangka
waktu yang lama. Jenis keracunan ini berbahaya karena tingkat racun menumpuk secara perlahan
dan hanya terdeteksi ketika kadarnya sudah cukup tinggi dan gejala muncul. Pestisida juga dapat
mengiritasi kulit dan mata (efek topikal) dan menyebabkan reaksi alergi.

Preventing and treating pesticide poisoning

https://www.dpi.nsw.gov.au/__data/assets/pdf_file/0006/186387/5-Preventing-and-treating-pest-
poisoning.pdf.pdf

cara terjadinya keracunan:


self poisoning
keracunan jenis ini sering karena ketidaktahuan dan kekurang hatihatian dalam penggunaan.
Penderita biasanya menggunakan insektida organofosfat dengan dosis yang berelbihan tanpa
mengetahui berapa dosis yang sebenarnya.
attempted poisoning
pada kondisi ini umumnya didapatkan pada pasien yang dengan tentamen suicide / sengaja
ingin mengakhiri hidupnya dengan menegak insektida organofosfat

accidental poisoning
keracunan pada keadaan ini biasanya murni akibat kecelakaan tanpa adanya unsur
kesengajaan sama sekali. Pada umunya banyak ditemukan keracunan ini pada anak usia di
bawah 5 tahun karena kebiasaaanya memasukkan segala benda ke dalam mulut dan kebetulan
benda tersebut sudah tercemar pestisida

homicidal poisoning
digolongkan sebagai tindak kejahatan karena seseorang dengan sengaja ingin menyebabkan
orang lain celaka / meninggal karena keracunan.
PAPDI (Setiati et al., 2014)
4. Jelaksan derajad intoksikasi organofosfat
Klasifikasi WHO untuk Keparahan
Tanda / Gejala Keparahan
Ringan
Anoreksia, Sakit Kepala, Pusing, Lemah, Ansietas, Gemetar dan Lidah
kelopak mata, Miosis, Gangguan penglihatan
Moderat
Mual, Salivasi, Lacrimasi, Kram Perut, Muntah, Berkeringat, Denyut nadi lambat, Tremor
otot
Berat
Diare, Pupil pinpoint dan pupil non-reaktif, Kesulitan bernafas, Paru-paru edema, Sianosis,
Kehilangan kendali sfingter, Kejang, Blok jantung, Koma
https://applications.emro.who.int/imemrf/J_Liaquat_Univ_Med_Health_Sci/
J_Liaquat_Univ_Med_Health_Sci_2012_11_1_15_18.pdf

Kadar asetilkolinesterase serum / RBC Cholinesterase normal adalah 8,0-20,0 u / l


Tingkat / derajat Keparahan Keracunan Organofosfat
1. RINGAN
•serum acetylcholinesterase enzyme (AChE): 1.6-4.0 u / l

2. MODERAT
 serum acetylcholinesterase enzyme (AChE) Hasil: 0.8-1.6 u / l

3. BERAT
 serum acetylcholinesterase enzyme (AChE): <0.8 u / l

http://apiindia.org/wp-content/uploads/pdf/medicine_update_2010/
critical_care_emergency_medicine_02.pdf

5. Jelaskan patogenesis intoksikasi organofosfat!


Asetilkolin adalah neurotransmitter yang ditemukan pada ganglia simpatis dan
prasimpatis , skeletal neuromuscular junctions, terminal junctions dari postganglion
saraf parasimpatis, postganglion saraf simpatis kelenjar keringat dan beberapa ujung
saraf pada SSP. Pada akson terminal yang depolarisasi, vesikelnya mengandung asetilkolin
akan menyatu dengan membran eksternal dan ruptur kemudian melepaskan asetilkolin ke
dalam sinap atau neuromuscular junction. Asetilkolin kemudian berikatan dengan reseptor
postsinaptik menyebabkan terjadinya aktivasi. Asetilkolinesterase menghidrolisis asetilkolin
menjadi dua fragmen yaitu asam asetat dan kolin. Pada keadaan normal semua asetilkolin
yang dilepaskan akson akan cepat dihidrolisis. Komponen organofosfat dan carbamates
akan menghambat hidrolisis multipel carboxyl ester ini, termasuk AchE dan
butirilkolinesterase (yang dikenal sebagai plasma kolinesterase atau
pseudokolinesterase. Hambatan ini menghasilkan ikatan terhadap enzim seperti substansi
normal. Meskipun pemisahan ikatan kolin dengan enzim pada metabolisme Ach selesai
dalam beberapa detik, namun ikatan organofosfat organik dengan enzim dapat menetap
hingga beberapa jam. jika dalam beberapa jam ikatan ini tidak terlepas maka akan
terjadi ikatan permanen antara organofosfat dengan asetilkolinesterase sehingga
menyebabkan asetilkolin pada seluruh sinap kolinergik meningkat sehingga terjadi
toksisitas (gambar di bawah )

Setelah tubuh terpapar organofosfat maka organofosfat tersebut akan diabsorbsi dengan baik
sesuai dengan jalur masuknya , dapat melalui inhalasi, kontak kulit, dan tertelan. Jika melalui
kulit, bahan racun dapat memasuki pori-pori atau terserap langsung ke dalam sistem tubuh
terutama bahan yang larut minyak (polar). Ingesti atau pajanan subkutan biasanya
membutuhkan waktu lebih lama untuk menimbulkan gejala dan tanda. Racun akut
kebanyakan ditimbulkan oleh bahan –bahan racun yang larut air dan dapat
menimbulkan gejala keracunan tidak lama setelah racun terserap ke dalam tubuh
manusia. Contoh yang paling nyata dari racun akut adalah insektisida racun serangga
untuk rumahan yang terdiri dari senyawa organofosfat yang seringkali dislahgunakan
untuk meracuni diri sendiri maupun orang lain, yang efeknya telah terlihat dalam
beberapa menit setelah racun masuk ke dalam tubuh dan dapat meneybabkan
kematian.
Pada umunya organofosfat yang diperdagangkan dalam bentuk – thion(mengandung sufur )
atau yang telah mengalami konversi menjadi –okson (mengandung oksigen), dalam –okson
lebih toksik daripada bentuk – thion.
Konversi pestisida terjadi pada lingkungan sehingga beberapa hasil produksi petani dijumpai
pajanan residu ini yang lebih toksik. Sebagian besar sulfur dilepaskan dalam bentuk
merkaptan, yang merupakan hasil bentuk aroma dari bentuk – thion organofosfat. Merkaptan
memiliki aroma yang rendah dan reaksi bahayanya meliputi sakit kepala, mual , muntah yang
selalu keliru sebagai akibat keracunan akut organofosfat. Konversi dari – thion menjadi –
okson juga dijumpai secara in vivo pada metabolisme mikrosom hati sehingga –okson
menjadi pestisida bentuk aktif pada hama binatang dan manusia. Hepatik esterase dengan
cepat menghidrolisis organofosfat ester kemudian menghasilkan alkil fosfat dan fenol yang
memiliki aktivitas toksikologi lebih kecil dan cepat diekskresi. Organofosfat menimbulkan
efek pada serangga, mamalia dan manusia melalui inhibisi asetilkolinesterase pada saraf.
Fungsi normal asetilkolinesterase adalah hidrolisis dan dengan cara demikian tidak
mengaktifkan asetilkolin.
Mekanisme toksisistas banyak melibatkan peran aksi kolinergik neurotransmitter yaitu
asetilkolin (Ach), dimana reseptor muskarinik dan nikotinik- asetilkolin dapat
ditemukan pada sistem saraf pusat dan perifer. Pada sistem saraf perifer, asetilkolin
dilepaskan ganglion otonomik melalui sinaps preganglion simpatis dan parasimpatis,
sinaps postganglion parasimpatis dan neuromuscular junctions pada otot rangka. Pada
sistem saraf pusat, reseptor asetilkolin berperan pada terjadinya toksisitas insektisida
organofosfat yang menyebabkan terjadinya gangguan pada pusat siste pernafasan dan
pusat vasomotor. Ketika asetilkolin dilepaskan, perannya melepaskan neurotransmitter
untuk memperbanyak konduksi saraf perifer dan saraf pusat atau memulai kontraksi otot.
Efek asetilkolin diakhiri melalui hidrolisis dengan munculnya enzim asetilkolinesterase
(AchE). Ada dua bentuk AchE yaitu true cholinesterase atau asetilkolinesterase yang
ditemukan pada eritrosit, saraf dan neuromuscular junctions serta pseudocholinesterase atau
serum cholinesterase berada terutama pada serum, plasma , hati. Insektisida organofosfat
menghambat AchE melalui proses fosforilasi pada gugus esteranion. Ikatan fosfor ini sangat
kuat dan bersifat irreversibel. Aktivitas AchE tetap dihambat sampai enzim baru terbentuk
atau suatu reaktivator kolinesterase diberikan. Dengan berfungsi sebgai anti- kolinesterase,
kerjanya mnginaktivkan enzim kolinesterase yang berfungsi menghidrolisis neurotransmiter
asetilkolin (Ach) menjadi kolin yang tidak aktif. Akibatnya terjadi penumpukan Ach pada
sinap sinap kolinergik dan hal tersebut yang menimbulkan gejala-gejala keracunan
organofosfat.
Pajanan pada dosis rendah , tanda dan gejala umumnya dihubungkan dengan stimulasi
reseptor perifer muskarinik. Pada dosis lebih besar juga mempengaruhi reseptor
nikotinik dan reseptor sentral muskarinik. Aktivitas ini kemudian akan menurun ,
dalam dua atau empat minggu pada pseudocholinesterase plasma dan empat minggu
sampai beberapa bulan pada true cholinesterase eritrosit.
Pada penggunaan klorin organik efek yang timbul pada SSP terutama pada membran
neuronal akan mengalami gangguan hambatan repolarisai sehingga depolarisasi memanjang
atau gangguan mempertahankan polarisasi neuron. Hal ini akan menyebabkan
hipereksitasibilitas dari SSP. Efek primer dari DDT terhadap akson melalui voltage-
dependent Na+ channels yang akan terbuka setelah depolarisai mengikuti potensial aksi yang
berulang. Cyclodyenes, toxophene, dan lindane bekerja sebagai antagonis γ-aminobutyric acid
(GABA). Klorin organik juga mensensitissasi miokardium dengan katekolamin endogen dan
mencetuskan terjadinya disritmia. Seperti DDT, pyrethroid dan pyrethrin menyebabkan
aktivasi memanjang karena ikatan voltage-dependent sodium channels terbuka sehingga
depolarisasi memanjang. Efek dari voltage-sensitiv sodium channels berperan untuk aktivitas
insektisida. Tipe II pyrethroid lebih poten dan signifikan dengan memblok konduksi saraf.
Disamping itu pyrethroid memblok voltage-sensitiv chloride channels yang akan
meningkatkan toksisitas SSP, sedangkan mekanisme tokisitas DDT belum jelas diketahui.
PAPDI (Setiati et al., 2014)

6. Jelaskan gambaran klinik intoksikasi organofosfat!

Gambaran klinis dari keracunan pestisida organofosfor:

gejala karena stimulasi berlebihan dari reseptor asetilkolin muskarinik dalam sistem
parasimpatis

• Bronkospasme

• Bronkorea

• Miosis

• Lakrimasi

• Buang air kecil

• Diare

• Hipotensi

• Bradikardia

• Muntah

• Air liur meningkat

Gejala karena stimulasi berlebihan reseptor asetilkolin nikotinat dalam sistem simpatis

• Takikardia

• Midriasis

• Hipertensi

• Berkeringat

Gejala karena stimulasi berlebihan reseptor asetilkolin nikotin dan muskarinik di SSP

• Kebingungan
• Agitasi

• Koma

• Kegagalan pernapasan

Gejala karena stimulasi berlebihan reseptor asetilkolin nikotinat di neuromuscular


junction

• Kelemahan otot

• Kelumpuhan

• Fasikulasi

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2493390/

7. Jelaskan pemeriksaan penunjang intoksikasi organofosfat!


PEMERIKSAAN PENUNJANG
Analisis toksikologi haarus dilakukan sedini mungkin,hal ini selain dapaat membantu
penegakan diagnosis juga berguna untuk kepentingan penyidikan polisi pada kasus kejahatan.
Sampel yang dikirm ke laboratorium adalah 50 ml urin, 10 ml serum , bahan muntahan
dan feses.
Pemeriksaan radiologi
Perlu dilakukan terutama bila curiga adanya aspirasi zat racun melalui inhalasi atau
dugaan adanya perforasi lambung.
Laboratorium klinik
Pemeriksaan ini penting dilakukan terutama analisis gas darah. Beberapa gangguan gas
darah dapat membantu penegakkan diagnosis penyebab keracunan. Pemeriksaan fungi
hati, ginjal sedimen urin harus pula dilakukan karena selain berguna untuk
mengetahui dampak keracunan juga dapat dijadikan sebagai dasar diagnosis penyebab
keracunan seperti keracunan parasetamol atau makanan yang mengandung asam jengkol.
Pemeriksaan kadar gula darah sewaktu dan darah perifer lengkap juga harus dilakukan.
Pemeriksaan Cholinesterase, didapatkan penurunan aktifitas cholinesterase.

Pemeriksaan EKG
Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada kasus keracunan karena sering diikuti gangguan
irama jantung yang berupa sinus takikardia, sinus bradikardia, takikardia supraventrikular,
takikardia ventrikular, Torsade de pointes, fibrilasi ventrikular, asistol dan disosiasi
elektromekanik. Beberapa faktor predisposisi timbulnya aritmia pada keracunan adalah
keracuanan obat kardiotoksik, hipoksia, nyeri dan ansietas, hiperkarbia, gangguan
elektrolit darah , hipovolemia dan penyakit dasar jantung iskemik. Sangat penting
diperhatikan pada semua kasus aritmia: oksigenasi, koreksi gangguan elektrolit dan asam
basa, hindari obat antiaritmia karena justru bisa mencetuskan timbulnya aritmia serta gunakan
obat inotropik negatif dan kronotropik.
PAPDI (Setiati et al., 2014)

8. Jelaskan penegakan diagnosis intoksikasi organofosfat!


DIAGNOSA
1) Krisis kolinergik akut dicurigai bila ada:
• Sejarah konsumsi senyawa
• Tanda dan gejala
• Perbaikan setelah terapi atropin dan oksim
• Penghambatan aktivitas kolinesterase
Keracunan organofosfat umumnya didiagnosis secara klinis berdasarkan gejala khas dan
riwayat pajanan terhadap agen OP. Jika diagnosis tidak jelas, serum yang tertekan atau kadar
kolinesterase sel darah merah membantu (<50%). Jika keracunan OP dicurigai, terapi tidak
boleh ditahan menunggu konfirmasi nilai lab.
2) Intermediate syndrome
Diagnosisnya sesuai gejala klinis dan harus dicurigai bila pasien yang baru pulih dari
krisis kolinergik mengalami kesulitan bernapas. Adanya kelemahan otot dengan tidak
adanya fasikulasi otot dan gambaran kolinergik lainnya membedakannya dari krisis
kolinergik. Awitan awal kelemahan otot membedakan IMS (Intermediate syndrome) dari
polineuropati tertunda, yang muncul 2-3 minggu setelah keracunan.

3) Delayed polyneuropathy /Polineuropati yang terlambat


Riwayat keracunan dengan agen OP dan waktu onset serta distribusi kelemahan otot
dibedakan dari penyebab polineuropati akut lainnya.
https://www.ijhsr.org/IJHSR_Vol.4_Issue.8_Aug2014/36.pdf

9. Jelaskan tatalaksana terapi intoksikasi organofosfat!


KRISIS KOLINERGI AKUT

Semua pasien harus ditangani sebagai keadaan darurat di rumah sakit.

A. Pertolongan pertama

B. Mencegah penyerapan insektisida lebih lanjut

C. Terapi penawar/antidot khusus

• Pengobatan antikolinergik

• Reaktivasi Asetilkolin-oksim
D. Benzodiazepin

A. Pertolongan Pertama:
a) Pindahkan pasien dari lingkungan yang terkontaminasi.
b) Lepaskan pakaian yang terkontaminasi
c) Cuci kulit dengan sabun dan air serta untuk mata dengan air
d) Nilai/Kaji pernapasan dan sirkulasi
e) Resusitasi jika perlu
f) Mendukung fungsi vital jika perlu
• O2 inhalasi
• Ventilasi paru-paru/ Lung ventilation
• Ionotrop
g) Kontrol kejang
h) Pantau EKG, tekanan darah, saturasi O2, ventilasi, tingkat kesadaran.

B.Cegah penyerapan insektisida lebih lanjut:


a) Bilas lambung:
Bilas lambung sering kali merupakan intervensi pertama yang diterima pasien keracunan saat
datang ke rumah sakit, terkadang dengan mengorbankan resusitasi dan pemberian penawar.
Tidak ada bukti yang menunjukkan segala bentuk dekontaminasi lambung bermanfaat bagi
pasien keracunan OP. Dekontaminasi lambung hanya boleh dilakukan setelah pasien
distabilkan dan diobati dengan oksigen, atropin, dan oksim.
Dilakukan dengan menggunakan oro-gastric tubes terbesar dengan 50-100 ml cairan /
lavage, sebaiknya dalam waktu satu jam, setelah masuknya pelindung jalan napas pada
pasien dengan gangguan kesadaran.
b) Berikan arang aktif: dosis awal 60-100gms, diikuti dengan 0.25gms sampai 0.50gms / kg
setiap 1-4 jam.

C.Terapi antidotal khusus:


Hal ini dicapai dengan memberikan dua obat antidot dalam jumlah yang cukup.
i) Obat antikolinergik - atropin atau glikopirolat
Atropin merupakan amina tersier, antagonis kompetitif terhadap asetilkolin pada membran
pasca sinaptik muskarinik dan di SSP.
Pada orang dewasa yang keracunan bergejala, atropin diberikan sebagai 1-2mg IV atau IM
(0,02 - 0,05mg / kg pada anak-anak). Jika tidak ada efek dalam 10 menit, dosisnya
digandakan setiap 5 sampai 10 menit, sampai gejala muskarinik berkurang. Efek pemberian
2mg atropin sulfat dimulai 1 hingga 8 menit setelah pemberian IV, IM, dan maksimal pada 6
hingga 15 menit. Waktu paruh adalah 2-5 jam.
Sebagai alternatif, atropin juga dapat diberikan dengan infus kontinyu. Atropin 30mg dalam
200ml NS-dengan kecepatan 0,02-0,08 mg / kg / jam - titrasi terhadap parameter penting
untuk atropinisasi yang adekuat, ditambah dengan pemberian bolus IV atropin 1-5mg
tambahan untuk mendapatkan kembali kendali cepat sekresi atau bradikardia berat, bila ada
indikasi.

Setelah tanda-tanda atropinisasi yang memadai terjadi, dosis harus disesuaikan untuk
mempertahankan efek ini setidaknya selama 24-48 jam, diturunkan dosisnya dengan hati-hati
setelah pasien cukup stabil, diamati selama 72 jam setelah penghentian atropin sebelum
keluar dari rumah sakit. Pasien harus diberi oksigen sebelum pemberian atropin untuk
mencegah disaritmia ventrikel yang berhubungan dengan hipoksia.
Titik akhir pengobatan antikolinergik adalah membersihkan sekresi dari saluran
trakeobronkial dan mengeringkan sebagian besar sekresi. Dilatasi pupil merupakan respons
awal terhadap atropin, tetapi ini bukan merupakan titik akhir terapi. Takikardia bukanlah
kontraindikasi terhadap atropin.
Kelemahan otot diafragma merupakan penyebab penting hipoventilasi dan tidak dapat
diperbaiki dengan atropin. Atropin melewati sawar darah otak dan dapat menyebabkan efek
toksik yang parah seperti kebingungan, psikosis, koma, kejang, delirium, halusinasi,
takikardia demam, dan ileus. Studi tersebut menyimpulkan bahwa pada pasien yang
menerima atropin dosis berat yang agresif, pasien bertahan lebih sering daripada mereka yang
menerima dosis yang tidak memadai atau tidak sama sekali. Studi juga mengamati bahwa
infus atropin dosis tinggi terus menerus lebih efektif daripada dosis bolus intermiten.

Glycopyrrolate adalah senyawa amonium kuaterner yang dapat menggantikan atropin pada
pasien dengan sensorium yang jelas

ii) Reaktivasi AChE - OXIMES


Turunan asam hidroksamat dan sejumlah oksim lainnya terbukti mengaktifkan kembali
kolinesterase yang dihambat oleh senyawa organofosprus. WHO merekomendasikan agar
oksim diberikan kepada semua pasien bergejala yang membutuhkan atropin.
https://www.ijhsr.org/IJHSR_Vol.4_Issue.8_Aug2014/36.pdf

Urutan Prinsip terapi


Perawatan termasuk resusitasi pasien dan pemberian oksigen, antagonis muskarinik (biasanya
atropin), cairan, dan reaktivator asetilkolinesterase (oksim yang mengaktifkan kembali
asetilkolinesterase dengan menghilangkan gugus fosfat). Dukungan pernapasan diberikan
sesuai kebutuhan. Dekontaminasi lambung harus dipertimbangkan hanya setelah pasien
diresusitasi dan distabilkan sepenuhnya. Pasien harus diobservasi dengan hati-hati setelah
stabilisasi untuk perubahan kebutuhan atropin, perburukan fungsi pernafasan karena sindrom
intermediate, dan gejala kolinergik berulang yang terjadi karena organofosfor yang larut
dalam lemak.
 Periksa jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi. Letakkan pasien pada posisi menyamping kiri,
sebaiknya dengan kepala lebih rendah dari pada kaki, untuk mengurangi resiko aspirasi isi
lambung. Berikan oksigen aliran tinggi, jika tersedia. Intubasi pasien jika jalan napas atau
pernapasan mereka terganggu

• Dapatkan akses intravena dan berikan 1-3 mg atropin sebagai bolus, tergantung pada
tingkat keparahannya. Atur infus 0 · 9% normal saline; bertujuan untuk menjaga tekanan
darah sistolik di atas 80 mm Hg dan keluaran urin di atas 0 · 5 mL / kg / jam

• Catat denyut nadi, tekanan darah, ukuran pupil, adanya keringat, dan temuan auskultasi
pada saat pemberian dosis atropin pertama

• Berikan pralidoxime klorida 2 g (atau obidoxime 250 mg) secara intravena selama 20-30
menit ke dalam kanula kedua; ikuti dengan infus pralidoxime 0 · 5–1 g / jam (atau obidoxime 30
mg / jam) dlm 0 · 9% normal saline

• 5 menit setelah pemberian atropin, periksa denyut nadi, tekanan darah, ukuran pupil,
keringat, dan bunyi dada. Jika tidak ada perbaikan, berikan dua kali lipat dosis asli atropin

• Lanjutkan meninjau setiap 5 menit; berikan atropin dosis ganda jika respon masih belum
ada. Setelah parameter mulai membaik, hentikan penggandaan dosis. Dosis serupa atau lebih
kecil dapat digunakan

• Berikan bolus atropin sampai denyut jantung lebih dari 80 denyut per menit, tekanan darah
sistolik lebih dari 80 mm Hg, dan dada bersih (karena atropin tidak akan membersihkan area
fokus aspirasi). Berkeringat berhenti dalam banyak kasus. Takikardia bukanlah kontraindikasi
terhadap atropin karena dapat disebabkan oleh banyak faktor. Pupil biasanya akan
membesar; namun, tanda ini bukan merupakan titik akhir yang berguna untuk pengobatan
atropin awal karena terdapat penundaan sebelum efek maksimum. Namun, pupil yang sangat
membesar merupakan indikator toksisitas atropin

• Diperlukan penilaian klinis tentang dosis tambahan atropin jika detak jantung dan tekanan
darah sedikit di bawah targetnya tetapi suara nafas jelas / “bersih”. Lebih banyak atropin pada
saat ini mungkin tidak diperlukan. Hipotensi berat mungkin mendapat manfaat dari
vasopresor. Nilai vasopresor versus atropin dosis tinggi masih belum jelas

• Setelah pasien stabil, mulailah infus atropin yang diberikan setiap jam sekitar 10-20% dari
total dosis yang diperlukan untuk menstabilkan pasien. Periksa pasien sesering mungkin untuk
melihat apakah atropin yang diberikan terlalu banyak atau terlalu sedikit. Jika diberikan terlalu
sedikit, gambaran kolinergik akan muncul kembali setelah beberapa waktu. Jika terlalu
banyak diberikan, pasien akan menjadi gelisah dan demam, dan memicu tidak adanya bising
usus dan retensi urin terjadi. Jika ini terjadi, hentikan infus dan tunggu 30-60 menit hingga
gejala ini menghilang sebelum memulai lagi dengan kecepatan infus yang lebih rendah

• Lanjutkan infus oksim sampai atropin tidak diperlukan selama 12-24 jam dan pasien telah
diekstubasi

• Lanjutkan meninjau fungsi pernapasan. Intubasi dan ventilasi pasien jika volume tidal di
bawah 5 mL / kg atau kapasitas vital di bawah 15 mL / kg, atau jika mereka memiliki periode
apnoeic, atau PaO2 kurang dari 8 kPa (60 mm Hg) pada FiO2 lebih dari 60%
• Kaji kekuatan leher fleksor secara teratur pada pasien yang sadar dengan meminta mereka
mengangkat kepala dari tempat tidur dan menahannya pada posisi itu sementara dahi mereka
diberi tekanan. Setiap tanda kelemahan merupakan tanda bahwa pasien berisiko mengalami
gagal napas perifer (sindroma intermediate). Volume tidal harus diperiksa setiap 4 jam pada
pasien tersebut. Nilai kurang dari 5 mL / kg menunjukkan perlunya intubasi dan ventilasi

 D. Obati agitasi dengan meninjau dosis atropin yang diberikan dan berikan sedasi yang
adekuat dengan benzodiazepin. Pengekangan fisik pada pasien yang gelisah dalam kondisi
hangat berisiko mengalami hipertermia parah, yang diperburuk oleh atropin karena
menghambat respons termoregulasi normal, termasuk berkeringat. Oleh karena itu, sedasi
yang memadai penting

• Pantau secara berkala untuk terjadinya krisis kolinergik yang berulang karena pelepasan
organofosfor yang larut dalam lemak dari simpanan lemak. Krisis semacam itu dapat terjadi
selama beberapa hari hingga berminggu-minggu setelah menelan beberapa organofosfor.
Pasien dengan gejala kolinergik berulang akan membutuhkan pengobatan ulang dengan
atropin dan oksim

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2493390/

10. Jelaskan prognosis intoksikasi organofosfat !


Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil akibat keracunan pestisida organofosfat
sendiri
• Toksisitas: toksisitas biasanya dinilai menurut LD50 oral pada tikus. Skala ini secara kasar
dapat membedakan antara pestisida yang sangat aman dan sangat beracun — misalnya
parathion (LD50 13 mg / kg, 40 WHO: Kelas IA) sangat beracun sedangkan temephos (LD50
8600 mg / kg, 40 WHO: tidak mungkin menyebabkan akut. hazard) tidak dikaitkan dengan
kematian.
Ketidakmurnian: klasifikasi toksisitas WHO menilai pestisida “fresh” dari produsen yang
disetujui. Penyimpanan pestisida dalam kondisi panas dapat mengakibatkan reaksi kimia
yang mengandung produk beracun.
• Formulasi: toksisitas pestisida bervariasi menurut formulasi, yang berbeda menurut
organofosfor dan tempat pembuatannya.
• Sub-kelompok alkil: Penghambatan/penginaktifan asetilkolinesterase jauh lebih cepat
untuk keracunan dimetil daripada keracunan dietil, oleh karena itu agar efektif, oximes harus
diberikan dengan cepat kepada pasien dengan keracunan dimetil.
• Perlu aktivasi. Banyak senyawa adalah tioat/” thioates” tidak aktif (dengan belerang
berikatan ganda yang melekat pada atom fosfor) dan harus didesulfurasikan untuk membuat
okson aktif, melalui enzim sitokrom P450 di dinding usus dan hati. P450 3A4 tampaknya
menjadi enzim yang paling aktif ketika organophorus hadir dalam konsentrasi tinggi, seperti
yang terjadi setelah keracunan sendiri/ self-poisoning
• Kecepatan aktivasi dan penghambatan AChE. Laju aktivasi organofosfat tioat bervariasi
antar pestisida. Variasi yang besar juga terdapat dalam laju penghambatan asetilkolinesterase
antara okson pestisida organofosfat
 Durasi efek — kelarutan lemak dan waktu paruh. Beberapa pestisida organofosfor tioat
larut lemak (misalnya fenthion) didistribusikan dalam jumlah besar ke simpanan lemak
setelah penyerapan. Hal ini tampaknya mengurangi konsentrasi puncak organofosfor darah
dan gambaran kolinergik awal biasanya ringan. Redistribusi lambat dan aktivasi berikutnya
menyebabkan fitur kolinergik berulang yang berlangsung selama berhari-hari atau
berminggu-minggu. Kegagalan pernapasan perifer sering terjadi pada organofosfor ini,
mungkin karena penghambatan asetilkolinesterase yang terus berlanjut. Penginaktifan hanya
dimulai setelah penghambatan asetilkolinesterase, sehingga oximes secara teoritis dapat
bermanfaat selama berhari-hari pada pasien tersebut. Sebaliknya, organofosfor lain
(misalnya, diklorvos) tidak memerlukan aktivasi, tidak larut dalam lemak, dan dapat
memiliki efek onset yang jauh lebih cepat dan durasi aktivitas yang lebih pendek. Kelarutan
lemak dinilai menurut Kow (logaritma oktanol / koefisien air): kurang dari 1.0 = tidak larut
dalam lemak; lebih dari 4.0 = sangat larut dalam lemak

Faktor-faktor di atas memiliki konsekuensi penting untuk kecepatan timbulnya keracunan


organofosfor setelah konsumsi. Menelan organofosfor okson yang dengan cepat menghambat
asetilkolinesterase akan menyebabkan gejala klinis dan henti napas secara dini sebelum
dibawa ke rumah sakit, meningkatkan risiko kerusakan otak akibat hipoksia dan aspirasi.
Konversi parathion organofosfor tioat menjadi paraoxon sangat cepat sehingga pasien bisa
pingsan dalam 20 menit. Gambaran klinis setelah keracunan oleh organofosfor tioat lain,
seperti dimethoate dan fenthion, terjadi kemudian, memberi pasien lebih banyak waktu untuk
datang ke rumah sakit.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2493390/
KEMATIAN:
Penyebab kematian tersering pada keracunan organofosfor akut adalah gagal napas.
Singh dkk melaporkan serangan jantung sebagai penyebab kematian pada 10% kasus.
Namba melaporkan bahwa kematian pada kasus yang tidak diobati terjadi dalam waktu 24
jam dan tertunda hingga 10 hari pada kasus yang dirawat/diobati. Pemulihan total biasanya
terjadi dalam 10 hari. Tingkat kematian bervariasi tergantung pada racun yang digunakan,
durasi setelah terpapar, dan atropinisasi semua racun. Dalam penelitian di India, angka
kematian berkisar antara 4 sampai 38%. Angka kematian ini serupa dengan negara
berkembang lainnya seperti Srilanka, dan tidak seperti di barat yang <1%.
https://www.ijhsr.org/IJHSR_Vol.4_Issue.8_Aug2014/36.pdf

11. Jelaskan komplikasi intoksikasi organofosfat


Dalam penelitian ini, sebagian besar komplikasi ditemukan lebih sering pada stadium akut
yaitu dalam 4 minggu keracunan dibandingkan dengan komplikasi lanjut yaitu setelah 4
minggu dan seterusnya. Dalam studi ini, gangguan pernapasan dan kebingungan mental
diamati di hampir semua kasus dan hal serupa dilaporkan oleh Tall et al
Pada penelitian ini terdapat 16,66% kasus deep coma yang berkembang 4-7 hari setelah
masuk rumah sakit dengan komplikasi paru. Sebuah studi yang dilakukan oleh Sequeira
menunjukkan frekuensi koma dalam menjadi 21% .14
Komplikasi akut yang terlihat dalam penelitian ini adalah kejang episodik yang terjadi pada
50 (16,66%) pasien, 20 (6,66%) pasien mengalami diare berat, bradikardia berat terlihat pada
30 (10%) pasien, hipotensi terlihat pada 30 (10%) pasien, 15 (5%) pasien berkembang
menjadi hiperglikemia dan 5 (1,66%) pasien mengalami gagal ginjal akut. Komplikasi akut
yang diberikan oleh Malik adalah bradikardia pada 29 (93,5%), perubahan status mental pada
10 (32,2%), saturasi oksigen rendah (kurang dari 90%) pada 21 (67,8%) dan kejang pada 3
(9,6%).
Komplikasi tertunda terlihat pada pasien yang terlambat diterima dan tidak sadar.
Semuanya adalah defisit neurologis dan terutama motorik. Jamal dkk. menemukan
neuropati dan aksonopati distal motorik sensorik terutama paresis distal pada tungkai bawah
pada 1,5% pasien yang menelan organofosfat dosis besar.
Dalam penelitian ini, diamati bahwa 16,66% mortalitas, pada komplikasi akut keracunan
organofosfat yang berbeda disebabkan oleh depresi pernapasan sentral, bronkospasme,
bronkosekresi berlebihan, bradikardia berat, dan hipotensi. Komplikasi selanjutnya yang
terjadi akibat gagal ginjal akut dan komplikasi aspirasi dan ventilasi jangka panjang.
Namun, frekuensi kematian akibat OP yang diberikan oleh Yamashita bervariasi antara 4%
dan 30%, 16,5% dalam studi oleh Malik17 dan 8% dalam studi oleh Aziza et al.18

Frekuensi komplikasi keracunan organofosfat akut (OP) jauh lebih besar dan berhubungan
dengan mortalitas dan morbiditas yang tinggi dan dimana komplikasi lanjut jarang terjadi dan
kurang mengancam nyawa. Pasien-pasien ini harus dipindahkan ke ICU yang dilengkapi
peralatan lengkap secepat mungkin.
Perawatan suportif dan observasi yang baik dapat membantu mengurangi komplikasi akut
seperti kejang episodik, bradikardia berat dan gagal ginjal serta komplikasi tertunda seperti
monoplegia dan paraplegia.
https://jcpsp.pk/archive/2011/May2011/08.pdf

12. Jelaskan pencegahan intoksikasi organofosfat


Pencegahan Keracunan

Karena toksisitas pestisida dan risiko yang terlibat dalam pengobatan, ada kesepakatan umum
bahwa penekanan harus pada pencegahan penyakit pestisida daripada bergantung pada
pengobatan.

• Pastikan selalu ada ventilasi yang memadai saat menggunakan atau mengoleskan pestisida di
rumah atau di hewan peliharaan, misalnya, selalu buka pintu dan jendela.

• Jangan gunakan pestisida di dalam ruangan jika pestisida hanya dirancang untuk digunakan di
luar ruangan.
• Selalu baca dan ikuti petunjuk label pestisida dan peringatan keselamatan setiap saat.

• Gunakan produk siap pakai (mis., Tidak perlu pencampuran) bila memungkinkan.

• Singkirkan semua bahan makanan dan persediaan air di rumah dari sekitar aplikasi pestisida
atau sebagai alternatif jaga agar tetap tertutup secukupnya.

• Pastikan pestisida lama atau wadah racun dibuang dengan aman, alih-alih digunakan kembali
untuk menyimpan atau mengangkut air minum. Tidak peduli seberapa baik Anda mencuci wadah,
masih bisa mengandung sisa-sisa pestisida.

• Jangan memindahkan pestisida ke wadah lain yang mungkin disalahartikan oleh anak-anak
sebagai wadah minuman dingin atau permen.

• Jangan sekali-kali menuangkan pestisida atau bahan kimia rumah tangga ke saluran
pembuangan, ke toilet atau saluran air hujan, sungai atau bendungan.

https://www.ijhsr.org/IJHSR_Vol.4_Issue.8_Aug2014/36.pdf
kesimpulan
Seorang wanita berusia 17 tahun, datang diantar keluarganya ke rumah sakit dengan keluhan hilang
kesadaran > 1 jam yang lalu (sebelum dibawa ke igd )

Pasien mengunci diri di kamar sejak pulang sekolah sekitar jam 14.00. Pasien masih menjawab
ibunya saat ditanya ingin makan apa di balik pintu sekitar jam 17.00.
Pasien tidak memberi respon saat diminta ibunya untuk keluar kamar agar pasien makan malam
pada jam 18.00. Keluarga mendobrak pintu kamar dan pasien ditemukan keluarganya dalam kondisi
tidak sadar sekitar jam 18.30. Kondisi pasien ditemukan tergeletak dan ada muntahan didekat pasien
serta semprotan obat nyamuk yang kosong (obat nyamuk cair). Pada muntahan & baju pasien ada
bau obat nyamuk.
Ibu pasien sering melihat pasien sering menangis sejak pasien tidak diterima di universitas
favoritnya.

Riwayat psikososial: Pasien tinggal bersama keluarganya di rumah. Pasien rajin belajar namun suka
menyendiri.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan:


C. Pemeriksaan Fisik Umum ( jam 18.45)
Keadaan umum : lemah , bau obat nyamuk
GCS /Kesadaran : 2-3-3
Tekanan darah : 70 palapasi
Nadi : 56kali/menit, reguler, lemah
Respirasi : 14 kali/menit, teratur
Temperatur aksila : 35 °C

D. Pemeriksaan Fisik Khusus


 Mata : anemis (-/-), ikterus (-/-),Pupil bulat, isokor miosis 1mm/1mm, refleks
cahaya -/-,, edema palpebra (-/-)
Bibir : cairan muntahandi sekitar bibir

 Ekstremitas : dingin +/+


+/+

Pemeriksaan Penunjang : dalam batas normal

Diagnosis:
Hilang kesadaran ec et causa intoksikasi organofosfat

Terapi:

Cek ABCDE dan Langsung dekontaminasi lambung


Letakkan pasien pada posisi menyamping kiri, sebaiknya dengan kepala lebih rendah dari
pada kaki,
O2 masker 5-10 l/mnt → Intubasi pasien jika jalan napas atau pernapasan mereka terganggu

Infus NS 2 jalur →tetesan kocor ke2 nya dan berikan 1-3 mg atropin sebagai bolus
( tergantung pada tingkat keparahannya.

Atur infus 0 · 9% normal saline; bertujuan untuk menjaga tekanan darah sistolik di atas 80 mm
Hg dan keluaran urin di atas 0 · 5 mL / kg / jam

Bila ada → berikan pralidoxime klorida 2 g (atau obidoxime 250 mg) secara intravena selama
20-30 menit ke dalam kanula kedua; ikuti dengan infus pralidoxime 0 · 5–1 g / jam (atau
obidoxime 30 mg / jam) dlm 0 · 9% normal saline

5 menit setelah pemberian atropin, periksa denyut nadi, tekanan darah, ukuran pupil,
keringat, dan bunyi dada. Jika tidak ada perbaikan, berikan dua kali lipat dosis asli atropin (2x
dosis pertama)

parameter mulai membaik, hentikan penggandaan dosis. Dosis serupa atau lebih kecil dapat
digunakan.

Setelah pasien stabil, mulailah infus atropin yang diberikan setiap jam sekitar 10-20% dari
total dosis yang diperlukan untuk menstabilkan pasien.

• Lanjutkan infus oksim sampai atropin tidak diperlukan selama 12-24 jam dan pasien telah
diekstubasi ( bila ada oksim )

• kalau diperlukan → bila ada kejang → obati dengan benzodiazepin

• Pantau secara berkala untuk terjadinya gejala intermediate dan krisis kolinergik yang
berulang

Prognosis: dubia at malam


DAFTAR PUSTAKA
Eddleston M, Buckley NA, Eyer P, Dawson AH. 2008. Management of acute
organophosphorus pesticide poisoning. Lancet. 2008 Feb 16; 371(9612): 597–607
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2493390/
Faiz MS, Mughal S, Memon AQ, 2011. Acute and Late Complications of Organophosphate
Poisoning. Journal of the College of Physicians and Surgeons. Pakistan 2011, Vol. 21 (5):
288-290 https://jcpsp.pk/archive/2011/May2011/08.pdf
http://apiindia.org/wp-content/uploads/pdf/medicine_update_2010/
critical_care_emergency_medicine_02.pdf
https://applications.emro.who.int/imemrf/J_Liaquat_Univ_Med_Health_Sci/
J_Liaquat_Univ_Med_Health_Sci_2012_11_1_15_18.pdf
https://www.dpi.nsw.gov.au/__data/assets/pdf_file/0006/186387/5-Preventing-and-treating-
pest-poisoning.pdf.pdf
Innes JA & Maxwell S. 2016. Davidson’s essentials of medicine. 2nd Edition. Edinburgh:
Elsevier
Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL. 2014. Harrison
Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13. Vol 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF. 2014. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jilid I. Surabaya: Airlangga University Press.
Yatendra S, Joshi SC, Singh M, Joshi A, Kumar J. 2014. Organophosphorus Poisoning: An
Overview. International Journal of Health Sciences and Research. Vol 4.
https://www.ijhsr.org/IJHSR_Vol.4_Issue.8_Aug2014/36.pdf

Anda mungkin juga menyukai