Anda di halaman 1dari 227

UNIVERSITAS INDONESIA

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SOSIAL


MASYARAKAT ADAT ORANG RIMBA
DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT DUA BELAS
PROVINSI JAMBI

TESIS

BUDI SETIAWAN
NPM. 0706187256

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
JAKARTA
JULI 2010
UNIVERSITAS INDONESIA

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SOSIAL


MASYARAKAT ADAT ORANG RIMBA
DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT DUA BELAS
PROVINSI JAMBI

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master Sains

BUDI SETIAWAN
NPM. 0706187256

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
KEKHUSUSAN MAGISTER MANAJEMEN PEMBANGUNAN SOSIAL
JAKARTA
JULI 2010
SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa
tesis ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang
berlaku di Universitas Indonesia.

Jika dikemudian hari ternyata saya melakukan tindakan palgiarisme, saya akan
bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh
Universitas Indonesia kepada saya.

Depok, 6 Juli 2010

(Budi Setiawan)

ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Budi Setiawan


NPM : 0706187256

Tanda Tangan :

Tanggal : 6 Juli 2010

iii
HALAMAN PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh :


Nama : Budi Setiawan
NPM : 0706187256
Program Studi : Magister Manajemen Pembangunan Sosial
Judul Tesis : Kebijakan Pembangunan Sosial Masyarakat Adat
Orang Rimba Di Kawasan Taman Nasional
Bukit Dua Belas Provinsi Jambi

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima


sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Kekhususan Magister
Manajemen Pembangunan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Indonesia

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Dr. Dody Prayogo,MPSt (................................)

Penguji : Lugina Setyawati,Ph.D (Ketua) (................................)

Penguji : Lidya Triana,MSi (Sekretaris) (................................)

Penguji Ahli : Dr. Linda Darmajanti, MT (................................)

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 6 Juli 2010

iv
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah karya tulis ini akhirnya dapat terselesaikan sebagai


suatu karya ilmiah dengan segala keterbatasan yang penulis miliki. Penyusunan
Tesis ini dilaksanakan untuk memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar
Magister Sains pada Program Studi Manajemen Pembangunan Sosial Jurusan
Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Penulis menyadari banyak pihak yang telah memberikan bantuan materil,
dorongan semangat dan motivasi serta bimbingan dalam penyusunan tesis ini.
Oleh karena itu, hal yang pantas penulis lakukan pada kesempatan pertama adalah
mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam
penyusunan tesis ini, khususnya kepada:
1. Bapak Dr.Dody Prayogo, MPSt selaku Pembimbing Tesis, yang telah
berkenan meluangkan waktunya untuk membimbing saya dalam penelitian
ini. Tanpa saran dan kritikan beliau tesis ini tidak mungkin dapat terwujud.
2. Ibu Lugina Setyawati, Ph.D selaku Ketua Departemen Pascasarjana Sosiologi
dan Ibu Lidya Triana, M.Si yang telah banyak membantu dan memberikan
kemudahan dalam persoalan akademik.
3. Ibu Dr. Linda Darmajanti, MT sebagai doses penguji ahli utama yang
membantu memberikan kritik dan saran konstruktif dalam penyempurnaan
tesis ini.
4. Dosen-dosen pengajar di Departemen Pascasarjana Sosiologi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indoenesia.
5. Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih yang dalam dan
penghargaan yang tinggi kepada para Temenggung dan anggota lembaga
pengulu serta anggota komunitas Orang Rimba di kawasan Air Hitam,
Kedondong Mudo, Aek Ban, Air Panas dan Singosari yang telah memberikan
informasi melalui wawancara dan kunjungan ke lokasi pemukiman, kebun
Orang Rimba

v
6. Teman-teman Mahasiswa Pascasarjana MMPS- UI, yang telah memberikan
dorongan dan motivasi bagi penulis: Bang Markus, Bra Baskoro, Firsty
Husbani, Muslim Hafidz, dan Dewita Hayu Sinta serta Sahabat dan
Saudaraku Idris Sardi atas diskusi dan saran dalam penyusunan tesis ini.
7. Pada orang-orang yang memberi warna dalam hidupku Ibunda dan Ayahnda
tercinta, Bapak dan Ibu mertua, dan Adik-adikku : Muhamad Rizal, Dewi
Andriani dan Fitria Wahyu Andriani.
8. Istriku terkasih Fendria Sativa dan anak ku yang kebanggakan Yudhistira
Rafi Pratama yang memberikan dorongan motivasi, energi dan semangat
terbesar dalam penyelesaian tesis ini
9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
memberikan dukungan baik moril dan materil kepada penulis untuk
menyelesaikan studi pasca sarjana sosiologi.
Akhirnya saya berharap Allah SWT berkenan membalas kebaikan dan amal
semua pihak yang telah membantu. Tesis ini masih jauh dari sempurna, namun
besar harapan penulis semoga tesis ini membawa manfaat bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat adat Orang Rimba, menjadi bahan masukan dan
pertimbangan para pengambil kebijakan di Provinsi Jambi dan sumbangan
pemikiran akademis untuk pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang
Sosiologi Pembangunan.

Jakarta, 6 Juli 2010


Penulis

vi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di


bawah ini :

Nama : Budi Setiawan


NPM : 0706187256
Program Studi : Magister Manajemen Pembangunan Sosial
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jenis Karya : Tesis

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive
Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

Kebijakan Pembangunan Sosial Masyarakat Adat Orang Rimba


Di Kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas Provinsi Jambi

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/
formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikianlah pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta
Pada tanggal : 6 Juli 2010

Yang Menyatakan

(Budi Setiawan)

vii
ABSTRAK

Nama : Budi Setiawan


Program Studi : Magister Manajemen Pembangunan Sosial
Judul : Kebijakan Pembangunan Sosial Masyarakat Adat Orang
Rimba di Kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas Provinsi
Jambi.

Fokus permalahan dalam penelitian ini adalah mempelajari dan menganalisis


proses pembangunan sosial bagi masyarakat adat Orang Rimba dan mengnalisis
dampak kebijakan pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan,
terhadap proses marjinalisasi kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan
masyarakat adat Orang Rimba.
Penelitian ini bertujuan melakukan pengkajian terhadap model dan strategi
pembangunan yang telah diterapkan oleh pemerintah terhadap komunitas adat
orang Rimba. Kemudian menjelaskan berbagai dampak pembangunan yang telah
diterapkan tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan
disain analisa kualitatif deskriptif.
Hasil penelitian diperoleh informasi tentang karakteristik sosial budaya, ekonomi,
demografi, pola kehidupan yang marjinal dan kearifan lokal, serta karakteristik
kelompok masyarakat adat Orang Rimba dalam pemanfaatan sumberdaya hutan di
Kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas serta permasalahan yang dihadapi
oleh komunitas adat Orang Rimba.
Kesimpulan penelitian ini bahwa pembangunan ekonomi yang mengutamakan
“pertumbuhan” yang dilaksanakan pemerintah telah memberikan dampak negatif
terjadinya proses marjinalisasi dan kemiskinan secara struktural serta tercerabut
jati diri dan identitasnya dari kehidupan sosial dan budaya yang mereka miliki.
Proses pembangunan akan menimbulkan suatu perubahan sosial dalam
masyarakat adat Orang Rimba, dampak kemiskinan yang mereka alami harus
dicarikan solusinya. Berbagai upaya dapat dan harus dilakukan untuk mencegah
agar terpaan berbagai faktor pemercepat perubahan (change catalyst) agar tidak
berdampak buruk bagi masyarakat orang Rimba salah satunya adalah melalui
konsep Pembangunan Sosial yang memiliki tujuan utama meningkatkan
kesejahtaraan melalui pelayanan sosial dasar kesehatan, pendidikan dan jaminan
sosial. Pendekatan pembangunan sosial yang diterapkan pada masyarakat adat
Orang Rimba menggunakan pendekatan berbasis komunitas dengan mengacu
pada dua perspektif pengembangan masyarakat yaitu perspektif ekologis dan
perspektif keadilan sosial dan HAM.
Kata kunci : pembangunan sosial, kemiskinan, kesejahteraan.

viii

Universitas Indonesia
ABSTRACT

Name : Budi Setiawan


Program of Study : Management of Social Development
Title : Social Development Policy of the indigenous Orang Rimba
in Bukit Dua Belas National Park Area of Jambi Province.

This research studies the process of social development for the indigenous
Rimban people (Orang Rimba) and analyzes the impacts of development policies
oriented to economic growth on the marginalization process of this indigenous
people socially, economically, culturally and environmentally.

Using a qualitative descriptive approach, this study aims to assess the model and
development strategy that has been implemented by the government against the
indigenous Rimban people, and explains how this development model and
strategy brings about various impacts on this people.

The study obtains not only the information about the characteristics of the social,
cultural, economic, demographic and marginal life of Orang Rimba; but also their
local wisdoms in utilizing the natural resources in the present area of Bukit Dua
Belas National Park and the problems this indigenous community is facing.

This research concludes that development oriented to “growth” executed by the


government has given negative impacts as this fosters marginalization and poverty
structurally and thus uproots the indigenous Rimbans from their own social life
and culture, causing them to lose their identity.

The development process will bring about a social change for the indigenous
Rimban people while the impact of poverty they face should look for a solution.
Various efforts can and should be done to prevent the exposure to various factors
accelerating the change (change catalyst) so as not leave serious damaging effects
on this society. One of which is through the concept of Social Development
whose main objective is to improve welfare through basic social services, health,
education and social security. This social development approach that is applied to
this indigenous people is a community-based approach with reference to two
community development perspectives: the ecological perspective and the
perspective of social justice and human rights.

Keywords : social development, poverty, welfare.

ix

Universitas Indonesia
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i


SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME .................................. ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ......................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iv
KATAPENGANTAR .................................................................................... v
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ............... vii
ABSTRAK ...................................................................................................... viii
DAFTAR ISI................................................................................................... x
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xiv
DAFTAR DIAGRAM .................................................................................... xvi

1. PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2. Fokus Permasalahan ........................................................................... 5
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................ 7
1.4. Pertanyaan Penelitian ......................................................................... 8
1.5. Signifikansi Penelitian ........................................................................ 8
1.6. Sistematika Penulisan Laporan............................................................ 9

2. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ...... 11


2.1. Konsep Pembangunan Sosial Masyarakat Adat Orang Rimba ........ 11
2.2. Konsep Pengembangan Masyarakat Adat Orang Rimba .................. 20
2.3. Aspek Sosial Budaya Masyarakat Adat Orang Rimba ....................... 26
2.4. Perspektif Perubahan Sosial Orang Rimba danPembangunan 29
2.5. Proses dan Strategi Adaptasi Sosial Budaya .......................... 31
2.6. Kerangka Pemikiran Pembangunan Sosial Masyarakat Adat
Orang Rimba ........................................................................................ 33

3. METODE PENELITIAN ............................................................. 38


3.1. Pemilihan Lokasi dan Periodesasi Penelitian ...................................... 38
3.2. Pendekatan Penelitian ......................................................................... 39
3.3. Strategi Penelitian ................................................................................ 40
3.4. Unit Analisis dan Subjek Penelitian .................................................... 40
3.5. Strategi Pengumpulan Data ................................................................. 42
3.6. Batas dan Pembatasan Penelitian ........................................................ 44
3.7. Analisa Data ......................................................................................... 45
3.8. Reliabilitas dan Validasi Data .............................................................. 48
3.8. Operasional Konsep Penelitian ............................................................ 48

Universitas Indonesia
4. ANALISIS HASIL PENELITIAN ............................................... 51
4.1. Karakteristik Daerah Penelitian ........................................................... 51
4.1.1. Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) ............................... 51
4.1.1.1. Status Kawasan dan Sistem Pengelolaan ...................... 51
4.1.1.2. Letak Geografis dan Potensi Kawasan .......................... 54
4.1.1.3. Karakteristik Daerah Penyangga TNBD ....................... 56
4.1.2. Orang Rimba dan Taman Nasional Bukit Dua Belas ................ 58
4.1.2.1. TNBD Sebagai Ruang Hidup Orang Rimba................. 58
4.1.2.2 Karakteristik Rombong Orang Rimba ............................ 63
4.1.2.3. Sejarah Asal Usul Orang Rimba .................................. 65
4.1.3. Demografi Orang Rimba .......................................................... 68
4.2. Karakteristik Sosial, Budaya, dan Ekonomi Orang Rimba ................. 71
4.2.1. Struktur Sosial Orang Rimba ..................................................... 71
4.2.1.1. Organisasi dan Kelompok Sosial Orang Rimba ............ 72
4.2.1.2. Institusi Sosial dan Norma Sosial Orang Rimba ........ 77
4.2.1.3. Stratifikasi Sosial Orang Rimba .................................. 80
4.2.2. Proses Sosial Orang Rimba ..................................................... 82
4.3. Aspek Budaya Orang Rimba ............................................................. 89
4.3.1. Pola Pemukiman ...................................................................... 89
4.3.2. Berladang dan Berkebun ............................................................ 91
4.3.3. Pola Pemanfaatan Hutan ............................................................ 95
4.3.4. Pola Kepemilikan Lahan ........................................................... 98
4.3.5. Budaya Melangun ...................................................................... 99
4.3.6. Budaya Bediom ......................................................................... 100
4.4. Sistem Ekonomi Orang Rimba ............................................................ 103
4.4.1. Sumber Matapencaharian ....................................................... 103
4.4.2. Jaringan Pemasaran Hasil Hutan ................................................ 109
4.5. Aspek Politik Orang Rimba ................................................................. 110
4.6. Identifikasi Masalah dan Isu Penting Terkait Masyarakat Adat Orang
Rimba ............................................................................................ 112
4.6.1. Marjinalisasi Ekonomi ........................................................... 112
4.6.2. Melemahnya Adat Istiadat ......................................................... 116
4.6.3. Desakan Okupasi dan Jual Beli Lahan ...................................... 117
4.6.4. Sistem Pengelolaan Kawasan TNBD ........................................ 118
4.6.5. Rekonstruksi Tata Batas TNBD ............................................. 120
4.7. Evaluasi Kebijakan dan Strategi Pembangunan Sosial Pemerintah
Bagi Orang Rimba .............................................................................. 121
4.7.1. Program Pendidikan .............................................................. 121
4.7.2. Program Kesehatan .................................................................... 126
4.7.3. Program Perumahan ................................................................... 130
4.8. Analisis Teoritik Pembangunan Sosial Masyarakat Adat Orang
Rimba .......................................................................................... 131
xi

Universitas Indonesia
5. MODEL PEMBANGUNAN SOSIAL MASYRAKAT ADAT
ORANG RIMBA ........................................................................................ 136
5.1. Pembangunan Sosial Masyarakat Adat Orang Rimba.......................... 136
5.2. Kebijakan Nasional Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil
(KAT) ......................................................................................... 141
5.3. Perspektif, Prinsip dan Pendekatan Pembangunan Sosial Orang
Rimba ................................................................................................ 143
5.4. Permasalahan, Kebijakan, Strategi dan Program Pembangunan
Sosial Orang Rimba ........................................................................ 147
5.4.1. Permasalahan Pokok dan Implikasi Pembangunan Orang
Rimba .................................................................................. 147
5.4.2. Strategi Kebijakan dan Program Pembangunan Sosial Orang
Rimba ....................................................................................... 153
5.4.2.1. Strategi Kebijakan Pembangunan Sosial dalam Bidang
Pendidikan .................................................................... 153
5.4.2.2. Strategi Kebijakan Pembangunan Sosial Bidang
Kesehatan..................................................................... 156
5.4.2.3. Strategi Kebijakan Pembangunan Sosial dalam Bidang
Ekonomi ............................................................... 158
5.4.2.4. Strategi Kebijakan Pembangunan Sosial
Bidang Budaya ..................................................... 159
5.4.2.5. Strategi Kebijakan Pembangunan Sosial Berkaitan
dengan Keberadaan Orang Rimba di dalam kawasan
TNBD ...................................................................... 161
5.5. Model Pembangunan Sosial Masyarakat Adat Orang Rimba ............. 174

6. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ..................................... 178


6.1. Kesimpulan .......................................................................................... 178
6.2. Rekomendasi ........................................................................................ 183

DAFTAR REFERENSI ................................................................................. 189


LAMPIRAN ................................................................................................... 194

xii

Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Periodesasi Kegiatan Penelitian ............................................. 39

Tabel 3.2. Informan Informan Wawancara dan Cakupan Data ............. 42

Tabel 4.1. Data Demografi Orang Rimba di Kawasan TNBD 2009........ 70

Tabel 4.2. Data Komunitas Adat Terpencil (KAT) di Kabupaten


Sarolangun 2007..................................................................... 72

Tabel 5.1. Rangkuman Temuan Pokok Permasalahan dan Implikasi


Pembangunan Sosial Orang Rimba ........................................ 149

Tabel 5.2. Permasalahan, Kebijakan, Strategi dan Program


Pembangunan Sosial Masyarakat Adat Orang Rimba ........... 168

xiii

Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1. Lokasi Penelitian di Kawasan Taman Nasional Bukit


Dua Belas (TNBD) ......................................................... 51

Gambar 4.2. Peta Letak Geografis Taman Nasional Bukit Dua Belas. 54

Gambar 4.3. Karakteristik Daerah Penyangga Kawasan TNBD .......... 58

Gambar 4.4. Photo Kelompok Orang Rimba TNBD Tahun 1915.... 59

Gambar. 4.5 Peta Sebaran Kelompok Orang Rimba di TNBD ............ 62

Gambar. 4.6. Kelompok Orang Rimba Tradisional Mencari Ikan......... 63

Gambar 4.7. Kelompok Orang Rimba Transisi..................................... 64

Gambar 4.8. Kelompok Orang Rimba Pengembara di HTI................ 64

Gambar 4.9. Kelompok Orang Rimba Yang Telah Bediom................. 65

Gambar 4.10. Orang Rimba selalu hidup secara Kelompok (Rombong) 72

Gambar 4.11. Temenggung Tarib .......................................................... 74

Gambar 4.12. Betaring (Calon Temenggung), Mangku Besmen............ 75

Gambar 4.13. Keluarga (pesaken) Orang Rimba.................................... 77

Gambar 4.14. Pohon Tenggeris Anak Didenda Adat Jika Ditebang ...... 79

Gambar 4.15. Rumah Pondok Orang Rimba ......................................... 90

Gambar 4.16. Rumah Bepupu Orang Rimba ........................................ 90

Gambar 4.17. Ladang Orang Rimba di Tanami Karet ........................... 92

Gambar 4.18. Ubi di Ladang Orang Rimba ........................................... 92

Gambar 4.19. Padi Ladang Orang Rimba Sebuah Perubahan ................ 94

Gambar 4.20. Tanah Peranokon Tempat Melahirkan Orang Rimba....... 96

xiv

Universitas Indonesia
Gambar. 4.21. Orang Rimba Yang Sudah Menetap (Bediom) ................ 101

Gambar. 4.22. Berburu untuk Bertahan Hidup dan Sumber Ekonomi .... 104

Gambar 4.23. Orang Rimba Panen Rotan .............................................. 105

Gambar 4.24. Perempuan Rimba Melangsir Rotan Ke Desa ................. 105

Gambar 4.25. Pohon Sialang Harta Tempat Lebah Madu ...................... 106

Gambar 4.26. Orang Rimba Mengambil Madu Lebah............................ 106

Gambar 4.27. Peneliti dan Temenggung Tarib di Kebun Sawit.............. 108

Gambar 4.28. Kebun Karet Berfungsi Sebagai Hompongan ................. 108

Gambar 4.29. Pemukiman Transmigrasi di Daerah Penyangga TNBD.. 112

Gambar 4.30. Ruang Hidup OR berubah Menjadi Kebun Sawit dan


HTI.................................................................................... 113

Gambar 4.31. Orang Rimba dan Motor Baru.......................................... 117

Gambar 4.32. Orang Rimba Demonstrasi Menolak RPTNBD .............. 119

Gambar 4.33. Pondok Belajar Anak Rimba Dibangun Swadaya Orang


Rimba dan NGO ............................................................. 122

Gambar 4.34. Saung Belajar Anak Rimba Dibangun Oleh Perusahaan


Perkebunan ..................................................................... 122

Gambar 4.35. SDN 191 Awal Pendiriannya Khusus Bagi Anak Orang
Rimba................................................................................ 123

Gambar 4.36. Fasilitator Kesehatan WARSI melakukan Pengobatan.... 126

Gambar 4.37. Program Bantuan Perumahan Bagi Orang Rimba dari


Kementerian PDT............................................................. 130

xv

Universitas Indonesia
DAFTAR DIAGRAM

Diagram 2.1. Kerangka Konseptual Pembangunan Sosial Masyarakat


Adat Orang Rimba .......................................................... 37

Diagram 5.1. Model Pembangunan Sosial Terpadu Masyarakat Adat


Orang Rimba ................................................................... 177

xvi
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kebijakan pemerintah di bidang desentralisasi dan otonomi daerah dimulai
sejak keluarnya UU No.22/1999 yang kemudian direvisi menjadi UU 32/2004
yang isinya memuat pengakuan eksistensi masyarakat adat secara politik tetapi
dalam implementasinya justru menimbulkan banyak persoalan. Berbagai
kebijakan dan aturan hukum yang dikeluarkan, negara secara tidak adil dan tidak
demokratis telah mengambil-alih hak asal-usul, hak atas wilayah adat, hak untuk
menegakkan sistem nilai, ideologi dan adat istiadat, hak ekonomi, dan yang paling
utama adalah hak politik masyarakat adat untuk mempertahankan dan
mengembangkan kebudayaan mereka yang khas.
Proses peminggiran hak terhadap pembangunan bagi masyarakat adat
berlangsung semenjak dimulainya pemerintahan Orde Lama, Orde Baru dan terus
berlangsung hingga Orde Reformasi. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya
berbagai konflik yang terjadi antara masyarakat adat dengan pemerintah dan
korporasi menyangkut permasalahaan penguasaan sumberdaya alam, hak ulayat,
serta hak ekonomi, sosial dan politik masyarakat adat.
Atas nama ”pembangunan” sebagai stempel kebijakan pemerintah seolah-
olah semua proses marjinalisasi terhadap masyarakat adat menjadi sah dan
mendapatkan legitimasi untuk mengabaikan hak-hak asasi masyarakat adat.
Berbagai kebijakan melalui Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan
Keputusan Menteri di tingkat nasional sampai dengan Keputusan Bupati dan
Peraturan Daerah di era otonomi terus menggerus hak-hak sosial, budaya,
ekonomi, dan politik masyarakat adat.
Pada era reformasi kebijakan politik pemerintah di sektor kehutanan dengan
terbitnya UU No.41/1999, dari berbagai studi yang dilakukan justru menciptakan,
memperluas, dan mempertajam terjadinya konflik di sektor kehutanan.1 Data
hasil studi CIFOR dan FWI frekuensi konflik pada tahun 2001 dan 2002

1
Lebih jauh lihat http://septiaku.multiply.com/journal/item/101 diakses pada 15 October 2009
1.14 WIB.
1
Universitas Indonesia
2

cenderung menurun, tetapi masih dua kali lebih banyak dibandingkan dengan
yang terjadi pada tahun 1997. Dari 359 peristiwa konflik yang tercatat pada
tingkat nasional, 39% diantaranya terjadi di areal HTI, 27% di areal HPH, dan
34% di kawasan konservasi. Penyebab terjadinya konflik kehutanan antara lain
adalah kebijakan tentang “perubahan status kawasan hutan” menjadi “kawasan
konservasi” telah menyulut beberapa rangkain konflik di sekitar kawasan
konservasi taman nasional di Indonesia antara pemerintah dan korporasi dengan
masyarakat adat (Galudra, 2006; Accioli, 2001; ARD, 2004; Kleden, 2004,
Pangewang, 2009).
Konflik terhadap akses sumberdaya alam yang dikemukakan diatas juga
terjadi pada masyarakat adat Orang Rimba di Provinsi yang telah berlangsung
sejak era Orde Baru. Konflik berawal dari semakin terkurasnya sumberdaya alam
hutan sebagai tempat hidup Orang Rimba yang beralih fungsi menjadi kawasan
HPH, HTI, perkebunan besar, dan kawasan pemukiman transmigrasi.
Lajunya proses kehilangan hutan (deforestrasy) di Provinsi Jambi telah
dimulai pada dasawarsa tahun 70-an dengan kebijakan pemerintah disektor
kehutanan memberikan izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) kepada lebih kurang
28 perusahaan yang melakukan eksploitasi kawasan hutan Provinsi Jambi dengan
total luas konsesi sekitar 2,6 juta hektar. Sebanyak 14 perusahaan diantaranya
bersinggungan langsung dengan kawasan penghidupan Orang Rimba. Awal
dekade tahun 80-an pemerintah dengan dukungan Bank Dunia memulai program
transmigrasi besar-besaran di kawasan hutan dataran rendah Provinsi Jambi, yang
menyebabkan terjadinya konversi areal kawasan hutan menjadi areal pemukiman
dan lahan-lahan pertanian dalam jumlah yang sangat luas.2 Bersamaan dengan
pembukaan pemukiman transmigrasi dikembangkan pula perkebunan-perkebunan
dengan pola kemitraan inti-plasma dengan tujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan para transmigran serta pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional.
Orang Rimba atau yang dikenal dengan Suku Anak Dalam (SAD)
merupakan salah satu etnik tradisional yang ada di Provinsi Jambi. Masyarakat
umum lebih mengenal kelompok Orang Rimba sebagai Orang Kubu. Istilah kubu

2
Robert Aritonang, Hutan Dataran Rendah Provinsi Jambi dan Kehidupan Orang Rimba, Bulletin
Alam Sumatera edisi 1/VIII Juli, KKI-WARSI,2009.
Universitas Indonesia
3

juga menjadi nama internasional bagi Orang Rimba. Hal ini disebabkan peran
para etnographer Belanda pada awal abad ini yang selalu menyebut Orang Rimba
sebagai Orang Kubu dalam tulisan-tulisan mereka. Sebutan orang Rimba lebih
disukai kelompok etnis ini, sebutan yang membedakan identitas mereka dengan
orang Terang, sebutan orang Rimba untuk masyarakat lain yang tinggal diluar
hutan.
Sesuai dengan sebutannya “Orang Rimba”, keberadaan mereka memang
lebih banyak di dalam hutan dataran rendah Provinsi Jambi dan selalu hidup
berpindah-pindah (nomaden), meskipun sekarang ada yang sudah mulai menetap
dalam bahasa mereka disebut ”bediom”. Keberadaan hutan bagi Orang Rimba
bukan sekadar sebagai prasyarat bagi kebutuhan dasar dan kehidupan ekonomi
mereka. Lebih dari itu hutan merupakan sumber sosial budaya bagi komunitas
adat Orang Rimba. Orang Rimba saat ini mengalami proses marjinalisasi sejalan
dengan lajunya deforestasi hutan di Provinsi Jambi, maka salah satu ancaman
paling serius bagi komunitas masyarakat adat Orang Rimba adalah ancaman
terhadap eksistensi kehidupan mereka.
Seluruh proses pembangunan tersebut diatas berakibat hilangnya
sumberdaya hutan dan tanah kawasan hidup masyarakat adat Orang Rimba. Alih
fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI)
telah menghancurkan harta kekayaan sumberdaya hutan yang menjadi sumber
kehidupan Orang Rimba. Kawasan hutan dataran rendah kaya dengan beraneka
ragam jenis rotan, getah-getahan, jernang, buah-buahan, umbi-umbian dan hewan
buruan hilang dengan adanya pembukaan kawasan dan beralih menjadi tanaman
yang monokultur yang sangat miskin sumberdaya yang bisa mendukung
kehidupan Orang Rimba. Dampak akhir dari semua proses adalah terjadinya
kemiskinan struktural bagi komunitas adat Orang Rimba.
Kebijakan “pembangunan” yang dilakukan pemerintah dan korporasi berupa
pembangunan sarana transportasi jalan, pemukiman transmigrasi, pembukaan
kawasan perkebunan, pembukaan pertambangan, dan pembukaan kawasan HTI
turut berkontribusi secara signifikan menyebabkan terjadinya konflik antara
masyarakat adat Orang Rimba dengan pemerintah, korporasi, dan masyarakat
lokal/pendatang. Dampak negatif dari kebijakan pembangunan yang mengabaikan

Universitas Indonesia
4

eksistensi dan aspirasi masyarakat adat Orang Rimba telah mengakibatkan


terjadinya perlawanan fisik, relokasi pemukiman, kehilangan sumber
penghidupan, tercerabutnya nilai-nilai kearifan budaya lokal yang dimiliki oleh
masyarakat adat, konflik horizontal dengan masyarakat lokal dan pendatang serta
terjadinya proses marjinalisasi hak-hak sosial, ekonomi, budaya dan politik
masyarakat adat.
Keberlanjutan kehidupan komunitas masyarakat adat Orang Rimba saat ini
mengalami tekanan secara langsung maupun tidak langsung dari masyarakat desa,
pihak swasta dan pemerintah. Berbagai aktifitas pembukaan lahan dan kegiatan
ekonomi ekstraktif terhadap sumber daya alam yang ada di wilayah hidup
komunitas orang Rimba yang dilakukan oleh masyarakat desa dan pihak swasta
telah menyebabkan marjinalisasi kehidupan orang Rimba, demikian pula dengan
kebijakan pembangunan pemerintah daerah dan pusat yang tidak sesuai dengan
kondisi sosial budaya orang Rimba justru menyebabkan terjadinya eksklusi sosial
dan menutup akses mereka terhadap sumber penghidupan dan manfaat
pembangunan itu sendiri yang berakibat pada penurunan kualitas hidup dan
terjadinya kemiskinan struktural bagi komunitas masyarakat adat Orang Rimba.
Kondisi keberlanjutan kehidupan komunitas Orang Rimba mengalami
tekanan dari berbagai pihak sebagai dampak dari proses pembangunan, meskipun
demikian sampai saat ini komunitas masyarakat adat orang Rimba masih dapat
terus bertahan hidup meskipun dengan kondisi yang marjinal baik secara ekologi,
ekonomi, sosial budaya dan politik.
Keberlangsungan hidup pada kondisi marjinal ini tidak dapat ditolerir dalam
jangka waktu ke depan. Berbagai dampak negatif dari kondisi marjinal telah
mucul antara lain potensi konflik dengan warga desa dan perusahaan perkebunan
karena Orang Rimba sering mengumpulkan benda apa saja yang bisa
dimanfaatkan untuk sekedar bertahan hidup, meskipun kadang dengan mencuri
yang menjadi pemicu konflik. Hal ini telah menyebabkan warga desa resah
dengan kehadiran kelompok Orang Rimba.
Dampak negatif lainnya adalah beberapa kelompok kecil Orang Rimba yang
tinggal di dekat kota sudah menjadi pengemis dan pemulung barang bekas di Kota

Universitas Indonesia
5

Kabupaten dan Provinsi, mereka terkadang tidak segan menghentikan kendaraan


yang lewat di jalan lintas Sumatera dan meminta uang dan makanan.
Kondisi kehidupan Orang Rimba yang marjinal dan adanya berbagai
dampak sosial dari keberadaan Orang Rimba menarik penulis untuk mengkaji
lebih jauh permasalahan dan kesenjangan sosial yang terjadi di komunitas adat
Orang Rimba. Faktor lain yang melatar belakangi adalah belum optimalnya
program pembangunan yang diperuntukkan bagi Orang Rimba sehingga tidak
berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan mereka mendorong penulis untuk
melakukan kajian terhadap strategi kebijakan pembangunan yang diterapkan bagi
pembangunan Orang Rimba. Alasan akademis adalah adanya konsep
“pembangunan sosial” yang dapat berguna mengatasi permasalahan dan
kesenjangan sosial yang terjadi dalam masyarakat.

1.2. Fokus Permasalahan


Pembangunan infrastruktur jalan lintas Sumatera, pembangunan pemukiman
transmigrasi, pembukaan lahan perkebunan dan kawasan Hutan Tanaman Industri
(HTI) di Provinsi Jambi disatu sisi menimbulkan dampak terjadinya pertumbuhan
ekonomi, sementara disisi lain telah mengakibatkan terjadinya degradasi hutan
dataran rendah yang sangat signifikan.
Degradasi kawasan hutan berakibat negatif bagi masyarat adat Orang Rimba
yaitu hilangnya sumber-sumber kehidupan dan wilayah ruang hidup mereka.
Kondisi ini menimbulkan konflik dalam pemanfaatan sumber daya alam antara
pihak korporasi dan orang Rimba. Lima tahun terakhir konflik pemanfaatan
sumber daya hutan tidak saja terjadi antara komunitas adat orang Rimba dengan
pihak korporasi tetapi dinamika konflik telah berkembang secara horisontal yaitu
antara masyarakat adat Rimba dengan masyarakat desa asli dan masyarakat
transmigrasi, yang melakukan aktifitas pembukaan hutan di kawasan hutan Taman
Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) yang merupakan tempat pemukiman orang
Rimba. Adanya aktifitas pembukaan lahan oleh masyarakat sekitar menyebabkan
ruang hidup orang Rimba semakin sempit dan sumber-sumber penghidupan orang
Rimba semakin berkurang atau telah hilang sama sekali.
Dalam posisi tertekan sedemikian rupa, komunitas adat orang Rimba
memiliki posisi yang lemah dan tidak melakukan perlawanan sama sekali.
Universitas Indonesia
6

Pembangunan perkebunan kelapa sawit, kawasan HTI dan pemukiman


transmigrasi oleh pihak pemerintah dan korporasi di wilayah yang dulunya
diketahui dan diakui oleh masyarakat desa sebagai wilayah adat orang Rimba,
namun hak adat tersebut tidak diakui dan tidak diakomodir dalam peraturan yang
dimiliki oleh negara, sehingga proses pemberian izin pembangunan perkebunan
dan HTI menjadi kekuasaan mutlak pemerintah untuk diberikan kepada pihak
korporasi.
Meskipun dalam UU No.32/2002 telah mencoba mengakui eksistensi
masyarakat adat orang Rimba namun dalam implementasinya dilapangan tidak
berjalan dengan baik. Sehingga berdampak terjadinya pengabaian akan hak-hak
asasi masyarakat adat Orang Rimba antara lain pelanggaran hak atas
kepemilikan, hak atas makanan dan gizi yang mencukupi, hak terhadap standar
kehidupan yang layak, hak untuk mengambil bagian dalam kehidupan
kebudayaan, hak menentukan nasib sendiri, hak untuk menikmati standar tertinggi
yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental serta hak-hak lainnya.
Pemerintah telah melakukan upaya pembangunan bagi masyarakat adat
orang Rimba melalui program-program di sektor pendidikan, perumahan dan
kesehatan. Namun upaya tersebut belum dapat meningkatkan taraf kesejahteraan
bagi orang Rimba. Hal ini disebabkan program yang dilaksanakan pemerintah
tidak mencapai sasaran dengan optimal dan strategi kebijakan yang diterapkan
kurang memperhatikan kondisi sosial budaya Orang Rimba. Contohnya program
pemukiman kembali orang Rimba, dengan membangun rumah tempat tinggal.
Perumahan ini pada akhirnya ditinggalkan oleh orang Rimba setelah jatah hidup
sebagai bagian transmigran lokal tidak diberikan lagi, mereka pergi dengan alasan
berburu dan meramu kedalam hutan untuk mencari makanan, atau karena proses
”melangun” yaitu meninggalkan tempat bermukim dikarenakan ada yang
meningal dunia atau ada dari anggota kelompok yang sedang sakit parah.
Disektor kesehatan ada program ASKESKIN dan JAMKESMAS, yang
telah diterima sebagian kecil kelompok orang Rimba yang menjadi kelompok
sasaran program, tetapi program ini tidak menjawab permasalahan tingginya

Universitas Indonesia
7

angka kematian ibu dan anak dan rendahnya angka harapan hidup Orang Rimba.3
Begitu pula halnya program di sektor pendidikan, selain minimnya fasilitas sarana
dan prasarana pendidikan, akses bagi anak-anak orang Rimba untuk mengikuti
pendidikan dasar masih sangat terbatas, hal ini ditunjukkan dengan jumlah anak
orang Rimba yang bersekolah masih sangat rendah.4
Berdasarkan pemaparan diatas fokus permalahan dalam penelitian ini adalah
mempelajari dan menganalisis proses pembangunan sosial pada sektor
pendidikan, kesehatan, perumahan bagi masyarakat adat Orang Rimba yang telah
dilaksanakan oleh pemerintah dan dampak kebijakan pembangunan ekonomi yang
berorientasi pada pertumbuhan, terhadap proses marjinalisasi kehidupan sosial,
ekonomi, budaya dan lingkungan masyarakat adat Orang Rimba.
Untuk itu diperlukan kajian evaluasi terhadap model dan strategi
pembangunan yang telah diterapkan pemerintah terhadap masyarakat adat orang
Rimba termasuk dampaknya bagi kehidupan komunitas adat orang Rimba. Dilain
pihak juga perlu dilakukan pemetaan sosial masyarakat adat orang Rimba
sehingga akan diperoleh gambaran komprehensif mengenai berbagai aspek sosial
masyarakat adat Rimba dalam proses adaptasi terhadap kebijakan pembangunan
yang ditelah diterapkan dan perubahan lingkungan yang terjadi, hasil pemetaan ini
diharapakan akan dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam menyusun kebijakan
pembangunan sosial dan kebijakan lainnya bagi masyarakat adat orang Rimba.

1.3. Tujuan Penelitian


Berdasarkan fokus permasalahan yang telah dipaparkan, penelitian ini
bermaksud melakukan kajian model dan strategi pembangunan yang telah
diterapkan oleh pemerintah terhadap komunitas adat orang Rimba. Kemudian
menjelaskan berbagai dampak pembangunan yang telah diterapkan tersebut.
Selanjutnya tujuan pokok penelitian yang telah dikemukan di atas dapat
dituangkan dalam sub tujuan penelitian sebaga berikut :

3
http://oase.kompas.com/read/xml/2009/03/18/0136059/kesehatan.orang.rimba.terancam di-
akses pada tanggal 21 Juli 2009 13.38 Wib.
4
Infornasi lebih lanjut dapat dilihat di www.warsi.or.id; http://beritasore.com/2008/12/30/orang-
rimba-di-luar-tnbd-harus-diselematkan/diakses 21 Juli 2009 13.45Wib;http://www. mapalaui.
info/2006/07/18/orang-rimba-masyarakat-terasing-yang-semakin-termarginalisasi/ ?cp=1 di
akses 23 Juli 2009 07.15 Wib.
Universitas Indonesia
8

1. Melakukan pemetaan sosial masyarakat adat orang Rimba untuk


mengidentifikasi dan menganalisis strategi adaptasi komunitas adat orang
Rimba dalam merespon kebijakan pembangunan dan perubahan lingkungan
dari aspek sosial yang meliputi komponen demografi, ekonomi, budaya dan
ekologi masyarakat adat orang Rimba.
2. Mengidentifikasi dan menjelaskan model-model dan strategi program
pembangunan sosial yang telah dilakukan maupun yang ideal seharusnya
dilakukan dalam pembangunan sosial komunitas masyarakat adat Orang
Rimba.
1.4. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan pemaparan permasalahan di atas fokus kajian dalam penelitian
ini adalah mengenai pembangunan sosial dan keberlanjutan kehidupan komunitas
orang Rimba dalam kondisi mengalami tekanan dan marjinalisasi dari proses
pembangunan oleh masyarakat desa, pihak korporasi dan pemerintah. Untuk itu
grandtour dalam penelitian ini ingin menganalisis lebih dalam bagaimana strategi
kebijakan pembangunan sosial bagi masyarakat adat orang Rimba? yang dapat
kepentingan dan membuka akses partisipasi dan peran komunitas masyarakat adat
orang Rimba terhadap pembangunan.
Selanjutnya pertanyaan grandtour tersebut diturunkan manjadi pertanyaan
minitour sebagai berikut :
1. Bagaimana karakteristik sosial budaya, ekonomi, ekologi, demografi dan
politik komunitas masyarakat adat orang Rimba?
2. Bagaimana pola dan strategi pembangunan sektor pendidikan, kesehatan, dan
perumahan yang telah diterapkan oleh pemerintah dalam pembangunan
masyarakat adat orang Rimba? Mengapa pola dan strategi yang telah
diterapkan belum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat orang
Rimba?
3. Bagaimana model pembangunan sosial sektor pendidikan, kesehatan, dan
perumahan masyarakat adat orang Rimba yang lebih relevan dengan kondisi
sosial budaya, ekonomi dan ekologi komunitas adat orang Rimba?

1.5. Signifikansi Penelitian


a. Signifikansi Akademis
Universitas Indonesia
9

1) Menjadi masukan secara ilmiah tentang pentingnya peran pembangunan


sosial terhadap komunitas masyarakat adat orang Rimba.
2) Menjadi masukan secara ilmiah bagi pengembangan disiplin ilmu Sosiologi
Pembangunan, khususnya pembangunan sosial komunitas adat orang Rimba
3) Menjadi referensi ilmiah bagi penelitian-penelitian yang berkaitan dengan
pembangunan sosial masyarakat adat.
b. Signifikansi Praktis
1) Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi ilmiah bagi perencanaan
pembangunan sosial komunitas masyarakat adat.
2) Hasil penelitian berupa rencana strategis pembangunan sosial komunitas
orang Rimba dapat menjadi masukan bagi badan perencana pembangunan
daerah dalam menyusun program pembangunan sosial bagi komunitas adat
orang Rimba.
1.6. Sistematika Penulisan Laporan
BAB I. PENDAHULUAN
Pada bab ini terdiri dari latar bealakang; fokus permasalahan; tujuan
penelitian; pertanyaan penelitian;; signifikansi penelitian; dan
sistematika penulisan laporan.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA dan KERANGKA PEMIKIRAN
Bab ini berisi Konsep Pembangunan Sosial Masyarakat Adat Orang
Rimba; Konsep Pengembangan Masyarakat Adat Orang Rimba; Aspek
Sosial Budaya Masyarakat Adat Orang Rimba; Perspektif Perubahan
Sosial Orang Rimba dan Pembangunan; Proses dan Strategi Adaptasi
Sosial Budaya; Kerangka Pemikiran Pembangunan Sosial Masyarakat
Adat Orang Rimba.
BAB III. METODE PENELITIAN
Bab ini terdiri atas Pemilihan Lokasi dan Periodesasi Penelitian;
Prosedur Penelitian; Strategi Penelitian; Batas dan Pembatasan
Penelitian; Unit Analisis dan Subjek Penelitian; Pengumpulan Data;
Analisa Data; Reliabilitas dan Validasi Data; dan Operasional Konsep
Penelitian.

Universitas Indonesia
10

BAB IV. ANALISIS HASIL PENELITIAN


Bab ini terdiri dari hasil penelitian yaitu Karakteristik Daerah
Penelitian; Karakteristik Sosial, Budaya, dan Ekonomi Orang Rimba ;
Aspek Budaya Orang Rimba; Sistem Ekonomi Orang Rimba ; Aspek
Politik Orang Rimba; Identifikasi Masalah dan Isu Penting Terkait
Masyarakat Adat Orang Rimba; Evaluasi Kebijakan dan Strategi
Pembangunan Sosial Pemerintah Bagi Orang Rimba; Analisis
Teoritik Pembangunan Sosial Masyarakat Adat Orang Rimba.
BAB V. PEMBANGUNAN SOSIAL MASYRAKAT ADAT
ORANG RIMBA
Bab ini berisi Perspektif dan Pendekatan Pembangunan Sosial
Masyarakat Adat Orang Rimba ; Prinsip-prinsip Pembangunan Sosial
Orang Rimba; Permasalahan, Kebijakan, Strategi dan Program
Pembangunan Sosial; dan Model Pembangunan Sosial Masyarakat Adat
Orang Rimba
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini terdiri dari kesimpulan dari hasil penelitian kualitatif mengenai
pembangunan sosial orang Rimba dan rekomendasi bagi para
pengambil kebijakan dan komunitas dan relevansi terhadap penyusunan
program pembangunan sosial bagi orang Rimba.

Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA dan KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Konsep Pembangunan Sosial Masyarakat Adat Orang Rimba


Orang Rimba merupakan salah satu dari 370 suku/sub suku yang
dikategorikan Departemen Sosial sebagai komunitas adat terpencil (KAT) yang
saat ini tersebar di tiga kawasan pedalaman hutan Provinsi Jambi. Komunitas
Adat Terpencil (KAT) adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan
terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik
sosial, ekonomi maupun politik dengan tujuh kriteria, antara lain berbentuk
komunitas relatif kecil, tertutup dan homogen. Pada umumnya terpencil secara
geografis dan secara sosial budaya tertinggal dengan masyarakat yang lebih luas,
dan masih hidup dengan sistem ekonomi subsisten (Dir. Pemberdayaan KAT,
2005).
Kondisi sosial budaya, ekonomi dan ekologi komunitas adat orang Rimba
saat ini mengalami tekanan dan marjinalisasi akibat adanya sejumlah kegiatan
pembangunan di sekitar wilayah pemukiman mereka. Proses marjinalisasi
komunitas adat orang Rimba sebagi akibat adanya proses pembangunan dapat
saja terjadi. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Seer dalam tulisannya “The
Meaning of Development mengenai kebijaksanaan membangun serta mengubah
masyarakat pada umumnya, ia berpendapat, bahwa pembangunan tidak selamanya
berarti kemajuan bagi semua orang. Oleh karena itu, “kemajuan” sebaiknya selalu
mengacu ke aspek manusiawi dari pembangunan, dan diukur dengan derajat
kesadaran dan kemampuan sebagian besar warga masyarakat yang bersangkutan
untuk hidup lebih nyaman dan sejahtera. Berdasarkan konsep “kemajuan” pada
difinisi tersebut, maka semua upaya pembangunan paling tidak dapat
mengakibatkan : (1) perubahan degeneratif; (2) perubahan tanpa kemajuan; dan
(3) perubahan yang membawa kemajuan sosial ekonomi (Koentjaraningrat, 1993).
Berdasarkan akibat dari konsep kemajuan yang di kemukakan oleh
Koentjaraningrat diatas dikaitkan dengan kondisi kehidupan komunitas adat orang
Rimba saat ini dapat dikatakan tengah mengalami perubahan degeneratif.
Perubahan secara degenerative yang dimaksud disini adalah suatu perubahan

11
Universitas Indonesia
12

kehidupan sosial budaya yang berdampak pada terganggunya keseimbangan dari


kehidupan sosial suatu masyarakat yang diakibatkan dari proses interaksi
masyarakat adat Orang Rimba dan masyarakat Orang Terang. Disisi lain interaksi
ini berdampak pada terjadinya kerusakan pada keseimbangan ekologi lingkungan
contohnya seperti terjadinya perburuan hewan yang dilindungi oleh Orang Rimba
untuk di jual kepada cukong dengan harga yang cukup lumayan menurut ukuran
Orang Rimba.
Proses pembangunan sosial bagi komunitas adat orang Rimba yang telah
dilakukan selama ini khususnya oleh pemerintah belum mencapai hasil yang
optimal, hal ini dikarenakan beberapa kendala diantaranya adalah ketidaksesuaian
program dengan kondisi sosial budaya masyarakat adat orang Rimba dan kendala
yang berkaitan dengan strategi program yang tidak memperhatikan potensi dan
eksistensi masyarakat adat orang Rimba. Contohnya program pembangunan
perumahan secara ex-situ berlawanan dengan budaya melangun Orang Rimba
sehingga berakibat program tersebut tidak optimal. Rumah yang telah dibangun
ditinggalkan oleh Orang Rimba yang pergi melangun karena ada anggota
kelompok yang meninggal dunia.
Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Rusmin Tumanggor
(2007) tentang penyebab kegagalan ekselarasi pembangunan masyarakat desa
pedesaan dan komunitas adat terpencil bahwa pembangunan tidak didasarkan
kepada pengetahuan pembangun yang lengkap tentang kekuatan (strength),
kelemahan (weakness), peluang (opportunities), kendala/ancaman (threat) budaya
kehidupan masyarakat yang bersangkutan.
Pembangunan sosial sendiri didefenisikan oleh Midgley dan
Hardiman (1995:25) sebagai berikut : "a process of planned social change
designed to promote the well-being of the population as a whole in conjuction with a dynamic
process of economic development”. Dari defenisi yang dikemukakan oleh Midgley jelas
diungkapkan bahwa pada hakikatnya pembangunan sosial merupakan sebuah proses
perencanaan perubahan sosial yang dirancang untuk kesejahteraan masyarakat. Jika hal ini
dikaitkan dengan proses pembangunan sosial yang telah dilaksanakan pada komunitas
adat orang Rimba, dapat ditarik kesimpulan bahwa proses pembangunan yang telah

Universitas Indonesia
13

dilaksanakan oleh pemerintah selama ini tidak dapat mempromosikan atau meningkatkan
kesejahteraan orang Rimba tetapi yang terjadi justru sebaliknya terjadi proses marjinalisasi.
Kemudian lebih lanjut Midgley (1995:103-138) mengemukakan strategi
pembangunan sosial yang dapat digunakan dalam upaya meningkatkan taraf hidup
masyarakat adat orang Rimba yaitu pembangunan sosial melalui “komunitas” (social
development bycommunities), strategi ini menggunakan pendekatan kelompok, di
mana kelompok masyarakat secara bersama-sama berupaya mengembangkan
komunitas lokalnya. Pendekatan ini lebih dikenal dengan nama pendekatan
komunitarian (communitarian approach). Dalam kaitannya dengan orang Rimba,
pendekatan ini sangat sesuai dikarenakan pola hidup mereka yang selalu
berkelompok. Dengan pendekatan ini diharapkan akan terjadi hubungan sosial
diantara kelompok orang Rimba untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Untuk
ini perlu dikaji lebih jauh bagaimana interaksi dan relasi sosial antar kelompok
pada komunitas orang Rimba.
Lebih lanjut Midgley mengemukakan strategi pembangunan sosial melalui
Pemerintah (social development by governments), pada strategi ini pembangunan
sosial dilakukan oleh lembaga-lembaga di dalam organisasi pemerintah
(government agencies). Pendekatan ini lebih dikenal dengan nama pendekatan
statis (statist approach). Dalam kaitannya dengan pembangunan sosial bagi orang
Rimba, peran pemerintah tidak dapat diabaikan dan seharusnya menjadi
komponen utama. Tetapi yang harus diperhatikan adalah aspek perencanaan yang
bertumpu pada potensi sumberdaya komunitas, sebagaimana halnya yang
dikemukakan oleh Korten (1992).
Dari defenisi dan strategi pembangunan sosial yang dikemukakan di atas
dalam kaitan dengan pembangunan sosial komunitas adat orang Rimba, dapat
disimpulkan bahwa sangat diperlukan perencanaan pembangunan sosial yang
sesuai dengan perilaku dan budaya mereka sehingga proses pembangunan sosial
dapat meningkatkan taraf kesejahteraan mereka. Berdasarkan dari strategi
pembangunan sosial yang dikemukan oleh Midgley maka alternatif pilihan
strategi yang dapat diterapkan adalah pembangunan sosial melalui komunitas dan
dilakukan oleh lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah.

Universitas Indonesia
14

Menurut Suharto (2006:23) pembangunan sosial adalah strategi yang


bertujuan meningkatkan kualitas kehidupan manusia secara paripurna.
Pembangunan sosial lebih berorientasi pada prinsip keadilan sosial ketimbang
pertumbuhan ekonomi. Beberapa sektor yang menjadi pusat perhatian pendekatan
ini mencakup pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, jaminan sosial dan
pengentasan kemiskinan.
Bertitik tolak dari berbagai pendapat yang dikemukakan mengenai
pembangunan sosial, dalam kaitannya terhadap komunitas adat orang Rimba
proses pembangunan sosial yang akan diterapkan harus memperhatikan prinsip
keadilan sosial, tidak semata pada prinsip pertumbuhan ekonomi. Fakta empiris
pembangunan sektor pendidikan dan kesehatan yang dilaksanakan oleh
pemerintah yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata terbukti
telah menyebabkan proses marjinalisasi komunitas adat orang Rimba. Dimasa
mendatang pembangunan sosial yang berorientasi prinsip keadilan sosial harus
diterapkan pada proses pembangunan sosial orang Rimba.
Secara sempit pembangunan sosial dapat didefenisikan sebagai
pembangunan kesejahteraan sosial yang berorientasi pada peningkatan
keberfungsian sosial (social functioning) kelompok-kelompok tidak beruntung
(disadvantage groups) yang meliputi fakir miskin, anak terlantar, anak jalanan,
pekerja anak, keluarga rentan, wanita rawan sosial ekonomi, dan komunitas adat
lokal. Keberhasilan pembangunan sosial dapat dilihat dari indikator keluaran
(output indicators) seperti tingkat kemiskinan, melek hurup, harapan hidup, dan
partisipasi sosial. Pembangunan sosial bisa pula diukur dari indikator masukan
(input indicators) yang dilihat dari pengeluaran pemerintah untuk sektor
pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial.
Pembangunan sosial saat ini menjadi isu yang sangat penting dan
mendapat perhatian negara-negara di dunia. Sebagaimana yang telah dikemukan
sebelumnya bahwa pembangunan sosial lebih diperuntukkan bagi kelompok yang
tidak beruntung (disadvantage groups) dalam kaitannya dengan penelitian ini
komunitas adat orang rimba termasuk dalam kelompok tidak beruntung, sehingga
diperlukan untuk diambil kebijakan sosial yang lebih memihak atau memberikan

Universitas Indonesia
15

akses yang lebih luas terhadap komunitas adat untuk dapat terlibat dan menikmati
proses pembangunan baik yang dilakukan pemerintah daerah maupun organisasi
non pemerintah.
Paradoks antara pembangunan sosial dan ekonomi sangat disadari sebagai
masalah paling krusial saat ini. Pembangunan ekonomi yang tidak memperhatikan
pembangunan sosial akan memarjinalkan golongan-golongan yang tidak memiliki
akses terhadap kebijakan, pembangunan, proses politik, serta sumber-sumber
ekonomi yang ada (Suharto, 2006:15). Hal ini telah terjadi dengan komunitas adat
orang Rimba yang tidak memiliki akses terhadap kebijakan sehingga proses
pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah belum optimal menyentuh
komunitas adat lokal ini. Kalaupun ada program pembangunan yang menyentuh
kelompok adat lokal ini pada umumnya belum dapat memberikan manfaat yang
maksimal. Seperti program pemerintah dibidang kesehatan, meski mereka
mendapatkan kartu sehat tetapi dalam pelaksanaan di lapangan, mereka belum
mendapatkan pelayanan yang maksimal.
Pembangunan sosial pada dasarnya merupakan kritik dari pembangunan
ekonomi yang berpusat pada aspek pertumbuhan semata yang telah lama
berkembang dan mendominasi model-model pembangunan. Kritik model
pembangunan ekonomi berbasis pertumbuhan datang dari Michael P. Todaro
(2000:15-16,20) yang mengemukakan bahwa paradigma pembangunan ekonomi
perlu diimbangi oleh pembangunan sosial secara terintegrasi dan komplementer.
Menurut Todaro suatu kaitan paradigma pembangunan ekonomi harus
mampu diletakkan pada konteks sistem sosial (social system). Sistem sosial yang
dimaksud adalah hubungan yang saling terkait antara faktor ekonomi dan faktor
non-ekonomi seperti sikap masyarakat dan individu dalam memandang kehidupan
(norma budaya), kerja dan wewenang, struktur administrasi dan struktur birokrasi
pemerintah/swasta, hukum, pola-pola kekerabatan dan agama, tradisi budaya,
sistem kepemilikan tanah, wewenang dan integritas instansi pemerintah, tingkat
partisipasi rakyat dalam perumusan keputusan kegiatan pembangunan, serta
keluwesan atau kekakuan stratifikasi (pola kelas-kelas) ekonomi dan sosial.
Dengan demikian pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses

Universitas Indonesia
16

multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur


sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-nstitusi nasional, disamping tetap
mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan,
serta pengentasan kemiskinan.
Konsep pembangunan yang dikemukakan Todaro, dapat dijadikan sebagai
bahan pertimbangan dalam pembangunan sosial orang Rimba, hal di karenakan
bahwa pola kehidupan orang Rimba lebih didominasi oleh aspek-aspek sosial
budaya dan ekologi dalam mempertahankan keberlangsungan kehidupan mereka.
Meskipun demikian aspek ekonomi tidak dapat diabaikan begitu saja dalam
proses pembangunan sosial orang Rimba.
Dalam konteks pembangunan sosial—sekaligus yang membedakannya
dengan konteks pembangunan ekonomi — terutama adalah dalam hal pengorgani-
sasiannya. Pembangunan sosial lebih mengarahkan pada pemeliharaan
penghasilan (income maintenance) yang dilaksanakan oleh organisasi-organisasi
pelayanan manusia, dan organisasi-organisasi sosial tingkat lokal. Tujuan
utamanya berprinsip pada jargon bahwa manusia sebagai faktor produksi harus
tetap sebagai subjek dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, bukan hanya
sebagai objek dari aktivitas ekonomi, atau objek dari segelintir kelompok yang
mendominasi aktivitas perekonomian (Hikmat, 2004:64).
Konsepsi mengenai pembangunan sosial muncul sebagai kritik atas
kekurangan model-model pembangunan konvensional, baik yang sosialis maupun
yang kapitalis, yang begitu memusatkan perhatian pada produksi dan industri
padat modal. Dengan mengabaikan prinsip keadilan sosial, pendekatan
pembangunan konvensional kurang memiliki perhatian terhadap pemenuhan
kebutuhan dasar dan pemberdayaan kelompok lemah. Secara ringkas, pembangunan
sosial adalah sebuah strategi pembangunan yang pro-kerakyatan, anti kemiskinan
dan anti kesenjangan (Suharto, 2005:5).
Menurut Hardiman dan Midgley (1995) model pembangunan sosial
menekankan pentingnya pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan kelompok
marjinal, yakni peningkatan taraf hidup masyarakat yang kurang memiliki
kemampuan ekonomi secara berkelanjutan. Tujuan tersebut dicapai melalui:

Universitas Indonesia
17

1. Menumbuhkembangkan potensi diri (produktivitas masyarakat) yang lemah


secara ekonomi sebagai suatu aset tenaga kerja.
2. Menyediakan dan memberikan pelayanan sosial, khususnya pelayanan
kesehatan, pendidikan dan pelatihan, perumahan serta pelayanan yang
memungkinkan mereka dapat meningkatkan produktivitas dan partisipasi
sosial dalam kehidupan masyarakatnya.
Upaya pertama mengarah pada penciptaan peluang bagi kelompok yang
lemah secara ekonomi. Upaya kedua terfokus pada peningkatan
kemampuan mereka dalam merebut dan memanfaatkan peluang yang telah
diciptakan tadi. Prinsip pokok pembangunan sosial menempatkan masyarakat
sebagai pusat dari proses pembangunan dan ekonomi adalah cara untuk melayani
kebutuhan manusia. Setiap orang, pemerintah atau lembaga apapun harus
menghormati arti kehidupan manusia secara global, yang bertanggung
jawab terhadap generasi berikutnya dan melindungi kelangsungan lingkungan kita
sendiri.
Berdasarkan pemikiran diatas pembangunan sosial bagi komunitas adat orang
Rimba ditujukan untuk memperluas akses dan peluang untuk berpartisipasi dalam
proses pembangunan, untuk itu harus ada kebijakan pemerintah daerah yang lebih
fokus dalam mewujudkan hal ini. Jika tidak ada keberpihakan kebijakan pemerintah
daerah maka kehidupan komunitas adat ini akan semakin terpinggirkan dan tereksklusi
secara sosial.
Dalam arti normatif, prinsip pembangunan sosial juga menganjurkan untuk
menyatukan keterkaitan aspek dan kebijakan ekonomi, sosial, kemasyarakatan, dan
pribadi dalam rangka mendukung martabat manusia itu sendiri. Anjuran untuk
mempertinggi martabat manusia dilakukan pada berbagai tingkat nasional, maupun
internasional dengan cara toleransi serta menghormati pluralisme atau
keanekaragaman budaya, sosial dan politik. Lebih lanjut, pembangunan
sosial mempunyai prinsip untuk memperkukuh hak terhadap pembangunan dan hak
asasi lainnya, serta memajukan hak dan tanggung jawab untuk kemajuan sosial dan
keamanan untuk semua. Berdasarkan prinsip nilai tersebut, maka setiap orang berhak
untuk mendapat kehidupan yang layak, dimulai dari terpenuhinya kebutuhan dasar

Universitas Indonesia
18

sampai pada kesempatan untuk mengembangkan potensi dan kreativitas


pribadinya.
Mengacu pada Conyers (1982) dalam Suharto (2005:6-7), karakteristik
utama pembangunan sosial yang dapat menjadi acuan dalam pembangunan sosial
bagi komunitas adat orang Rimba adalah pemberdayaan masyarakat. Dalam
karakteristik ini pembangunan sosial sebagai upaya untuk meningkatkan
kemampuan masyarakat untuk mengambil keputusan dan mengaktualisasikan
diri mereka. Dalam kaitan ini pembangunan sosial terkait dengan upaya
pemberdayaarn (empowerment).
Mengacu kepada pendapat Bessant, Watts, Dalton dan Smith, 2006:4 dalam
Suharto (2007:11) tentang kebijakan sosial sebagai berikut : “In short, social policy
refers to what governments do when they attempt to improve the quality of people's live
by providing a range of income support, community services and support
programs”.Lebih lanjut Midgley, 2000 dalam Suharto (2007:11) Dalam garis
besar, kebijakan sosial diwujudkan dalam tiga kategori, yakni perundang-
undangan, program pelayanan sosial, dan sistem perpajakan. Dalam
kaitannya dengan pembangunan sosial komunitas adat orang Rimba pemerintah
daerah dapat membuat Peraturan Daerah (Perda), dan menyusun program
pelayanan sosial bagi komunitas adat orang Rimba.
Pertimbangan utama dalam membuat kebijakan sosial tidak hanya
berdasarkan untuk memenuhi pelayanan kesejahteraan sosial ataupun sebagai
jaring pengaman sosial dalam keadaan krisis, tetapi lebih dari itu kebijakan sosial
harus dapat meliputi hal yang lebih luas mencakup perencanaan atau tindakan
yang direncanakan untuk mempengaruhi aspek mata pencarian dan kelangsungan
hidup masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat Mkandawire, 2001:1 dalam
Midgley dan Hall (2004:6) tentang kebijakan sosial sebagai “collective
interventions directly affecting transformations in social welfare, social
institutions and social relations ... [and] ... access to adequate and secure livelihoods
and income”. Dalam konsep ini, kebijakan sosial erat kaitannya dengan stabilitas
dan sumber ketenagakerjaan, institusi pendukung, serta struktur dan proses yang
menentukan kesejahteraan masyarakat seperti halnya faktor politik yang

Universitas Indonesia
19

mendorong dan menghambat pengembangan sumber daya manusia.


Tujuan dari kebijakan sosial teridiri dari pengurangan kemiskinan,
perlindungan sosial, menghapuskan eksklusi sosial, menghormati Hak Asasi
Manusia (HAM), dan juga melindungi kelestarian sumber daya alam bagi
kebutuhan dasar umat manusia. Dalam pelaksanaan kebijakan sosial ada empat
institusi utama yaitu : (1) Negara; (2) Masyarakat Sipil; (3) Sektor Bisnis; dan (4)
Lembaga Pembangunan dan Keuangan Internasional (Midgley dan Hall, 2004:9).
Pendapat diatas perlu diperhatikan dalam membuat kebijakan sosial bagi
komunitas adat orang Rimba, dimana kebijakan yang harus diambil oleh
pemerintah daerah tidak saja mempertimbangakan aspek peningkatan
kesejahteraan semata tetapi hal yang lebih penting adalah mempertimbangkan
relasi sosial dan institusi sosial yang ada dalam komunitas adat orang Rimba dan
memberikan akses yang cukup luas untuk peningkatan pendapatan dan
keberlanjutan hidup masyarakat adat orang Rimba.
Orang Rimba dikenal memiliki kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya
hutan, kearifan ini akan menjadi potensi dalam proses pembangunan sosial. Hal
ini sejalan dengan pendapat Rustanto (2007) bahwa perlakuan arif dan bijaksana
ini dapat ditemukan pada Komunitas Adat Terpencil (KAT). Mereka yang pada
umumnya hidup secara subsisten berupaya untuk memperlakukan alam dengan
baik berdasarkan nilai, norma dan adat istiadat atau dikenal dengan kearifan lokal.
Melalui kearifan lokal dan persahabatan dengan hutan, pepohonan, mata air dan
gunung, KAT dapat memenuhi kebutuhan hidup seharihari. Terkait dengan itu,
upaya pemberdayaan dan peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan KAT perlu
memperhatikan kearifan lokal KAT tersebut. Dengan pendekatan ini, maka upaya
pemberdayaan KAT di satu sisi meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan. Di
sisi lain mempertahankan daya dukung alam.
Model pembangunan sosial masyarakat adat orang Rimba berbasis kepada
kearifan lokal didukung oleh pendapat Ife (2002, 2008) tentang pengembangan
masyarakat berbasis menghargai kearifan lokal, hal ini merupakan ide perubahan
dari bawah dan bukan berdasarkan dari sumber pengetahuan yang dipaksakan dari
“atas”. Pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat orang Rimba dapat

Universitas Indonesia
20

terus digali dan difasilitasi agar dapat menjadi suatu potensi yang dapat
menunjang keberlanjutan kehidupan dan kelestarian daya dukung lingkungan
terhadap komunitas orang Rimba. Dengan kata lain kearifan lokal masyarakat adat
orang Rimba dalam pengelelolaan sumber daya hutan dapat dijadikan
pertimbangan dalam menyusun model pembangunan sosial orang Rimba.

2.2. Konsep Pengembangan Masyarakat (Community Development) Adat


Orang Rimba.

Pengembangan masyarakat (community development) mulai banyak


dibicarakan setelah model pembangunan yang mengutamakan sistem sosial,
ekonomi dan politik yang berorientasi pertumbuhan dan tidak berkelanjutan dalam
model negara kesejahteraan telah mengalami kegagalan. Sistem pembangunan
yang lebih menganut kepada kekuatan pasar dalam konsep neoliberalisme ternyata
tidak sanggup untuk memenuhi kebutuhan manusia secara adil. Dampak negatif
dari model pembangunan ekonomi tersebut adalah terjadinya krisis degradasi
lingkungan (ekologi) dan krisis keadilan sosial dan HAM. Untuk menjawab
kegagalan sistem pembangunan yang dilakukan oleh negara kesejahteraan maka
muncul program-program pembangunan yang berbasis masyarakat sebagai sebuah
model alternatif untuk melakukan pelayanan kemanusiaan dan pemenuhan
kebutuhan manusia secara adil.
Fakta empiris mengenai kegagalan konsep pembangunan yang hanya
berorientasi pertumbuhan telah terjadi pada masyarakat adat orang Rimba.
Berbagai program pembangunan seperti pembukaan jalan lintas/trans Sumater,
pembukaan pemukiman transmigrasi, pembukaan kawasan perkebunan dan HTI
telah menyebabkan kehidupan mereka termarjinalisasi.
Lebih lanjut Ife dan Tesoriero (2008) mengemukakan 2 (dua) perspektif
yang menjadi landasan pengembangan masyarakat yaitu Perspektif Ekologis dan
Perspektif Keadilan Sosial/HAM. Dalam hal ini kedua perspektif pengembangan
masyarakat saling mendukung dan terkait satu sama lain dalam hal implementasi
atau praktik pengembangan masyarakat. Perspektif ekologis dikembangkan untuk
mencari solusi dari permasalahan krisis utama lingkungan hidup yang terjadi pada
awal abad XXI. Perspektif ini berkembang berdasarkan pandangan Green dalam

Universitas Indonesia
21

melihat masalah lingkungan pada hakikatnya adalah masalah sosial, ekonomi dan
politik. Perspektif keadilan Sosial/HAM berkembang berdasarkan teori keadilan
sosial John Rawls yang menetapkan prinsip keadilan yaitu kesetaraan dalam
kebebasan dasar, kesetaraan untuk mendapatkan kesempatan untuk kemajuan, dan
diskriminasi positif bagi mereka yang tidak-beruntung (disadvantage) dalam
rangka menjamin kesetaraan.
Dua perspektif pengembangan masyarakat yang dikemukakan diatas sangat
cocok dijadikan landasan dalam pengembangan masyarakat orang Rimba. Saat ini
kondisi lingkungan hutan di sekitar ruang kehidupan orang Rimba tengah
mengalami degradasi yang luar biasa sebagai dampak kegiatan pembangunan.
Kondisi ini telah mengancam keberlangsungan hidup masyarakat adat orang
Rimba yang sangat tergantung dengan ketersediaan hutan sebagai sumber
penghidupan dan ruang hidup mereka. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa diperlukan proses pembangunan sosial yang dengan perspektif ekologi dan
perspektif keadilan sosial/HAM yang kuat.
Selanjutnya Ife dan Tesoriero (2008) mengemukakan 26 prinsip
pengembangan masyarakat yang diturunkan dari dua perspektif besar yang telah
dikemukakan sebelumnya. Adapun prinsip-prinsip pengembangan masyarakat
tersebut adalah sebagai berikut : Berdasarkan prinsip ekologis ada lima prinsip
pengembangan masyarakat yaitu : (1) holisme; (2) berkelanjutan/sustainabilitas;
(3) keanekaragaman; (4) perkembangan organik; dan (5) perkembangan yang
seimbang. Berdasarkan prinsip keadilan sosial dan HAM, prinsip pengembangan
masyarakat terdiri atas : (1) mengatasi struktur yang merugikan; (2) mengatasi
wacana yang merugikan; (3) pemberdayaan; (4) Hak Asasi Manusia (HAM); (5)
Mendefenisikan kebutuhan. Selanjutnya prinsip pengembangan masyarakat yang
berdasarkan dari ide perubahan dari bawah atau pembangunan “bottom-up” terdiri
dari : (1) menghargai pengetahuan lokal; (2) menghargai budaya lokal; (3)
menghargai sumber daya lokal; (4) menghargai keterampilan masyarakat lokal;
(5) menghargai proses lokal; dan (6) partisipasi. Prinsip pengembangan
masyarakat berkaitan erat dan sangat fokus dengan gagasan “proses”
pengembangan itu sendiri dan tidak/bukan kepada hasil. Berdasarkan gagasan

Universitas Indonesia
22

pada proses, prinsip pengembangan masyarakat terdiri atas : (1) proses, hasil dan
visi; (2) integritas proses; (3) menumbuhkan kesadaran; (4) kerjasama dan
konsensus; (5) langkah pembangunan; (6) perdamaian dan anti kekerasan; (7)
inklusivitas; dan (8) membangun masyarakat. Dalam pengembangan masyarakat
para pekerja masyarakat dituntut harus lebih memahami pengaruh globalisasi dan
menyadari adanya isu-isu internasional yang semuanya akan mempengaruhi
dalam penerapan atau praktik pengembangan masyarakat. Berkaitan dengan hal
ini maka dalam praktik pengembangan masyarakat harus memperhatikan prinsip:
(1) menghubungkan yang global dan lokal dan (2) praktik anti-kolonialis.
Dari perspektif ekologis dan perspektik keadilan sosial dan HAM serta
prinsip-prinsip pengembangan masyarakat yang telah dikemukan diatas dapat
menjadi dasar pertimbangan utama dalam pembangunan sosial masyarakat adat
Orang Rimba. Dalam praktiknya prinsip-prinsip yang akan digunakan harus
diseleksi dan disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat adat Orang
Rimba. Secara garis besar perspektif ekologis akan menjadi pertimbangan utama
dalam pembangunan sosial masyarakat adat orang Rimba, hal ini erat kaitannya
dengan kondisi lingkungan hidup komunitas orang Rimba yang telah mengalami
degradasi yang cukup signifikan sebagai dampak dari program pembangunan
ekonomi semata yang mengabaikan aspek sosial budaya dari komunitas orang
Rimba. Dampak negatif dari pembangunan yang hanya beorientasi pada
pertumbuhan ekonomi adalah terjadinya proses marjinalisasi secara struktural dan
terencana bagi komunitas adat orang Rimba.
Kemudian dari perspektif keadilan sosial dan HAM, pengembangan
masyarakat adat orang Rimba dapat mengedepankan prinsip-prinsip menghargai
pengetahuan, budaya, sumber daya dan keterampilan masyarakat adat orang
Rimba serta menghargai proses yang akan terjadi dalam praktik implementasi
pengembangan masyarakat adat orang Rimba.
Konsep pembangunan masyarakat sebenarnya telah lama berkembang dan
berkaitan erat dengan model intervensi pengembangan masyarakat yang
dikembangkan di Inggris sejak tahun 1948, hal ini dikemukakan oleh Brokensha
dan Hodge (1969) dalam Adi, 2003:199 mendefenisikan pengembangan

Universitas Indonesia
23

masyarakat sebagai :
"suatu gerakan yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup
keseluruhan komunitas melalui partisipasi aktif, dan jika
memungkinkan, berdasarkan inisiatif masyarakat .... Hal ini meliputi
berbagai kegiatan pembangunan di tingkat distrik, baik dilakukan oleh
pemerintah ataupun lembaga-lembaga non pemerintah .... [pengembangan
masyarakat] harus dilakukan melalui gerakan yang kooperatif dan harus
berhubungan dengan bentuk pemerintahan lokal terdekat." (Colonial
Office 1954: appendix D, h. 49 dalam Brokensha dan Hodge, 1969: h.34).
Dalam perkembangannya pemerintah kolonial Inggris mengadopsi definisi
pengembangan masyarakat yang lebih singkat dari definisi yang
d i kembangkan pada 1948. Hal i ni dil akukan ket ika m ereka
memperkenalkan konsep pengembangan masyarakat di Malaysia, defenisi
pengembangan masyarakat adalah “suatu gerakan yang dirancang guna
meningkatkan taraf hidup keseluruhan masyarakat melalui partisipasi aktif dan
inisiatif dari masyarakat” (Brokensha dan Hodge, 1969: 35 dalam Adi,
2003:2000).
Selanjutnya Dunham (1958) dalam (Adi, 2003:217) mendefinisikan
pengembangan masyarakat sebagai berbagai upaya yang terorganisir yang
dilakukan guna meningkatkan kondisi masyarakat, terutama melalui usaha yang
kooperatif dan mengembangkan kemandirian dari masyarakat pedesaan, tetapi hal
tersebut dilakukan dengan bantuan tehnis dari pemerintah ataupun lembaga-
lembaga sukarela. Selanjutnya Dunham (1958) mengemukakan ada lima prinsip
dasar dalam melakukan pengembangan masyarakat yaitu :
1. Penekanan pada pentingnya kesatuan kehidupan masyarakat dan hal yang
terkait dengan hal tersebut di mana pengorganisasian (ataupun
pengembangan) masyarakat harus dilakukan dengan mempertimbangkan
keseluruhan kehidupan masyarakat, dan tidak dilakukan hanya untuk
segmen tertentu dalam kehidupan masyarakat, seperti halnya untuk aspek
kesehatan, rekreasi, ataupun kesejahteraan dalam arti sempit saja.
2. Perlu adanya pendekatan antar tim dalam pengembangan masyarakat,

Universitas Indonesia
24

dimana tidak hanya menekankan pada pendekatan multi profesi, tetapi juga
multi lapisan profesi (multi vocational), karena di sini diperlukan adanya
keterlibatan layanan yang sub profesional, selain layanan yang profesional.
3. Kebutuhan akan adanya community worker yang serba bisa (multi purpose)
pada wilayah pedesaan, di mana petugas harus mampu bekerja pada berbagai
basis pekerjaan yang berbeda.
4. Pentingnya pemahaman akan pola budaya masyarakat lokal. Lebih jauh lagi,
para petugas haruslah benar-benar tulus ingin mengembangkan masyarakat
yang ada, bukan sekedar memperkenalkan ataupun membawa teknologi
yang baru ke masyarakat sasaran.
5. Adanya prinsip kemandirian yang menjadi prinsip utama dalam
pengembangan masyarakat. Pengembangan masyarakat harus
dilaksanakan bersama masyarakat dan bukan sekedar untuk
masyarakat.
Pembangunan masyarakat merupakan perubahan sosial yang direncanakan
(planned social change) yang terwujud dalam berbagai program dan kegiatan-
kegiatan yang ditujukan untuk masyarakat. Karena itu, pembangunan masyarakat
dapat berarti bahwa semua kegiatan yang direncanakan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi praktek pekerjaan sosial yang digunakan untuk
kehidupan bersama (bersifat sosial) (Hikmat, 2004:61).
Hakikat pembangunan masyarakat adalah community base development atau
pembangunan masyarakat dari bawah (bottom-up). Ditinjau dari sisi pemerintah
(government), pembangunan masyarakat merupakan hasil dari perencanaan yang
sistematis dari atas yang menempatkan masyarakat sebagai pelaksana (subjek
pembangunan). Kendati demikian, dalam perencanaan pembangunan masyarakat
ada klausul yang menyatakan bahwa masyarakat adalah subjek pembangunan,
namun pada akhirnya keterlibatan dalam proses perencanaan dari bawah sulit
sekali dilaksanakan. Ini berbeda dengan pembangunan masyarakat yang dilakukan
oleh lembaga swadaya masyarakat yang dapat melepaskan diri dari keterikatan
kepada struktur organisasi pemerintah, baik vertikal maupun horizontal (wilayah
administrasi). Keterlepasan ikatan ini menjadikan LSM lebih leluasa dalam

Universitas Indonesia
25

membangun masyarakat yang pada tataran praksisnya disesuaikan dengan


kebutuhan aktual masyarakat.
Pembangunan masyarakat antara konsep yang direncanakan pemerintah dan
LSM, pada akhirnya, harus saling komplementer karena pemerintah juga
mengalami keterbatasan sumber-sumber daya yang tersedia untuk dapat
menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Untuk konteks Indonesia, konsep
community development lebih memungkinkan untuk menerapkan model
pendekatan locallity development (pembangunan lokal) yang terbatas pada
tingkat lokal secara geografis. Konsep locallity development diharapkan lebih mampu
menggerakkan warga masyarakat yang memiliki kesamaan kebutuhan dan
kepentingan dibandingkan dengan konsep wilayah yang lebih luas. Namur
demikian, tidak semua masalah dapat diatasi di tingkat lokal sehingga perlu
diintegrasikan dengan pembangunan masyarakat di tingkat yang lebih luas
(regional atau nasional). Hal yang perlu diingat adalah bahwa kecenderungan
peran pemerintah yang terlalu dominan dalam perencanaan pembangunan
masyarakat di semua tingkatan struktur organisasi masyarakat sampai ketingkat
lokal, yang pada akhirnya, akan membawa dampak negatif yakni tidak adanya
titik temu (meeting point) antara program pembangunan masyarakat dan kebutuhan
aktual masyarakat itu sendiri (Hikmat, 2004:66).
Dalam kaitannya dengan proses pengembangan masyarakat adat orang
Rimba model yang dapat dikembangkan adalah model pengembangan yang
berdasarkan pada perspektif ekologi dan perspektif keadilan sosial/HAM.
Selanjutnya dalam implementasi program pengembangan masyarakat perlu
mempertimbangkan prinsip prinsip pengembangan masyarakat yang berdasarkan
dari ide perubahan dari bawah atau pembangunan “bottom-up” terdiri dari : (1)
menghargai pengetahuan lokal; (2) menghargai budaya lokal; (3) menghargai
sumber daya lokal; (4) menghargai keterampilan masyarakat lokal; (5)
menghargai proses lokal; dan (6) partisipasi.
Selanjutnya dalam aspek aktor pelaksana pengembangan masyarakat, harus
dikembangkan konsep sinergi dan kerjasama para pihak yaitu pemerintah,
korporasi dan masyarakat sipil (NGO dan organisasi komunitas), hal penting

Universitas Indonesia
26

yang harus dipertimbangkan adalah memberikan akses dan kesempatan bagi


komunitas orang Rimba untuk terlibat dan berperan penuh dalam setiap tahapan
proses (perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi) pembangunan yang disesuaikan
dengan kemampuan sumberdaya yang mereka miliki.

2.3. Aspek Sosial Budaya Masyarakat Adat Orang Rimba.


Komunitas Orang Rimba memiliki karakteristik sosial budaya yang khas
terutama yang berkaitan dengan aspek hubungan manusia dan alam serta perilaku
anggota komunitas dalam suatu kerangka norma dan nilai yang disepakati
bersama. Berbagai norma dan nilai yang disepakati bersama salah satunya adalah
pola pemanfaatan sumberdaya alam hutan bagi kehidupan Orang Rimba yang
memiliki fungsi sosial dan fungsi ekonomi.
Hutan merupakan sumber penghasilan Orang Rimba. Kebanyakan mereka
menggantungkan hidup dari berburu hewan liar di hutan, mencari rotan, atau
damar yang akan dijualnya kepada “Orang Terang” (Sebutan Orang Rimba
kepada Penduduk luar). Sampai saat ini Orang Rimba dan Orang Terang selalu
hidup berdampingan, dan tidak ada perselisihan. Menurut Orang Rimba, Orang
Terang adalah saudara mereka, dan sudah ada perjanjian sejak dahulu kala kalau
Orang Rimba tidak boleh mengganggu Orang Terang dan Orang Terang tidak
boleh mengganggu Orang Rimba. Ada yang unik dari kebiasaan Orang Rimba,
mereka tidak mau memakan hewan/ binatang yang dipelihara. Menurut mereka
hewan yang dipelihara berjasa bagi manusia, untuk itu tidak boleh dijadikan
makanan (Suhara, 2009).
Mengenai asal-usul Orang Rimba, ada beberapa pendapat yang berkembang
di tengah masyarakat Jambi. Sebagian ada yang mengatakan kalau Orang Rimba
atau Suku Anak Dalam berasal dari Pagaruyung, Suku Anak Dalam merupakan
prajurit Pagaruyung yang sengaja diutus untuk menyampaikan pesan kepada Raja
Jambi yang diperjalanan Prajurit tersebut tersesat, dan akhirnya memutuskan
untuk hidup di hutan. Pendapat lain menyebutkan kalau Orang Rimba pada zaman
perjuangan dahulu awalnya hanyalah Penduduk Biasa yang sengaja memutuskan
untuk tinggal dan hidup di hutan karena mereka tidak mau dijajah Belanda.

Universitas Indonesia
27

Terlapas benar atau tidak kedua pendapat tersebut, sampai sekarang pendapat
tersebut masih berkembang ditengah masyarakat Jambi (Suhara, 2009).
Orang Rimba sering juga disebut Suku Anak Dalam, atau suku Kubu
merupakan salah satu suku asli yang ada di Propinsi Jambi. Suku ini hidup
berpinda-pindah di kawasan hutan yang tersebar di beberapa kabupaten, yaitu
Kabupaten Batanghari, Tebo, Sarolangun, dan Merangin. Menurut beberapa ahli
antropologi, suku ini termasuk kategori Melayu Tua (Proto Melayu) dimana
terdapat kesamaan nilai dan tradisi dengan suku melayu proto lainnya. Dalam
kelompoknya diangkat seorang Temanggung (Rajo) yang merupakan jabatan
tertinggi, dimana setiap keputusannya harus dipatuhi. Orang Rimba ada yang
hidup berpindah-pindah didalam hutan, ada yang bermukim permanen didalam
hutan dan ada juga yang telah bermukim dikawasan dekat dengan pemukiman
penduduk biasa. Mata pencaharian mereka adalah berburu, menangkap ikan dan
meramu. Alat yang digunakan adalah tombak, perangkap dan jerat. Orang Rimba
menganut kepercayaan terhadap Dewa dan Roh Halus, kendati ada juga memeluk
agama.
Karena terjadi perubahan sosial kultural dan lintas budaya, dimana suku
tradisional memiliki sifat rendah hati dan tidak melawan, terpecah. Dari masalah-
masalah yang disebutkan di atas, kelompok dibagi menjadi tiga. Kelompok
pertama yang masih tradisional atau dengan perubahan minimal, yaitu kelompok
yang mengikuti kebudayaan secara sebaik mungkin yang diwariskan dari nenek
moyang. Kelompok kedua, yang masih tinggal di pinggir daerah tradisional, yang
kurang bisa mengadopsi semua ciri-ciri hidup pasca tradisional tetapi sudah
masuk beberapa ide dari masyarakat pasca tradisional. Ketiga, kelompok yang
tidak mampu mengre-fokuskan atau mengorientasikan lagi untuk memenuhi
kebutuhan primer sendiri dan hanya bertahan dengan bantuan dari masyarakat luar
saja. Misalnya, kelompok ketiga tersebut yang benar putus asa, bisa diamati di
pinggir jalan raya, meminta uang. Dengan menggunakan tali mereka menghalangi
jalan sehingga kendaraan terhenti dan kemudian mereka meminta uang. Pada
umumnya stereotipe budaya orang Kubu berasal dari pengamatan tindakan orang

Universitas Indonesia
28

Kubu yang berada di pinggir jalan seperti contoh diatas. Padahal hidup di pinggir
jalan bukan lingkungan asli mereka (Weintré, 2003:7-8).
Orang Kubu sendiri menurut Loeb hidup di rawa-rawa yang ada diantara
sungai Musi, Rawas, Tembesi, dan Batang hari. Mereka berkumpul dan dicatat
dalam beberapa desa/dusun. Pada tahun 1907 tercatat terdapat 7.590 orang Kubu
yang tersebar dalam 5 marga. (Prasetijo, 2009). Dari tulisan Loeb ini diceritakan
bahwa keberadaan orang Kubu secara geografis tersebar dari Provinsi Sumatera
Selatan hingga Provinsi Jambi, tetapi dalam perkembangannya saat ini komunitas
yang disebut orang Kubu hanya lebih dikenal di Provinsi Jambi. Wientre (2001)
mengemukakan ada komunitas orang Batin Sembilan yang oleh masyarakat
sekitar sering disebut orang Kubu, tetapi komunitas ini memiliki budaya yang
berbeda dengan orang Rimba.
Berbeda dengan masyarakat Kubu di daerah lain, yang berada di pedalaman
Bukit Duabelas secara sistematis membatasi dan mengatur kontak dengan dunia
luar. Upaya ini berdasarkan norma perilaku yang disangsikan hukum adat, dan
didukung pula oleh pantangan, yang sangsinya berupa ancaman bencana, bahkan
kiamat. Mereka menyebut dirinya sebagai Orang Rimba. Manusia lain, yang
tinggal di luar hutan, disebutnya sebagai Orang Terang. Motonya: Orang Rimba
tetap di rimba, Orang Terang tetap di terang. Dan tidak boleh campur.
Implikasinya, Orang Rimba harus hidup sesuai pola nenek moyang mereka, dan
pantang berubah. Dari segi pantang ini, boleh dikatakan mereka sangat bermirip
dengan Orang Baduy Dalam di Jawa Barat (Sandbukt, 2001).
Di belakang "tembok pantang" mereka ini, Orang Rimba di pedalaman
Bukit Duabelas ternyata memiliki sistem sosial dan budaya yang lebih kompleks
dan terpadu dibanding Orang Rimba di daerah lain. Salah satu contoh adalah
hierarki kepemimpinan politik dengan banyak tingkat dan gelar. Tetapi ini bukan
hierarki semata-mata yang menyangkut hak komando yang jelas dan diduduki
berdasarkan prinsip suksesi yang jelas. Kedudukan posisi kepemimpinan serta
wujud dari posisi itu merupakan hasil dari kompetisi yang hebat antara lelaki yang
berambisi. Mereka harus mendapat dukungan dan persetujuan dari masyarakatnya
lewat berbagai cara. Terutama harus menguasai hukum adat dan pandai

Universitas Indonesia
29

menyelsaikan masalah. Juga sebaiknya menjadi pemburu yang mampu


mendapatkan mangsa besar yang dagingnya dapat didistribusikan secara luas.
Juga terbantu kalau memiliki bakat sebagai dukun yang dapat mempengaruhi
dunia lewat hubungan dengan dewa-dewa (Sandbukt, 2001).

2.4. Perspektif Perubahan Sosial Orang Rimba dan Pembangunan


Perubahan sosial adalah perubahan dalam struktur sosial, yang dimaksud
struktur sosial adalah pola-pola perilaku dan interaksi sosial, defenisi
dikemukakan oleh Moore (1967:3 dalam Lauer, 2001:4). Defenisi lebih luas
mengenai perubahan sosial adalah sebagai variasi atau modifikasi dalam setiap
aspek proses sosial, pola sosial, dan bentuk-bentuk sosial serta modifikasi pola
antar hubungan yang mapan dan standar perilaku (Lauer, 2001:4).
Berdasarkan dari pendapat di atas pada dasarnya masyarakat adat orang
Rimba telah mengalami perubahan sosial khususnya dalam hal struktur sosial. Hal
ini sejalan dengan hasil penelitian Sandbukt (2001) terhadap komunitas adat orang
Rimba, dimana telah terjadi perubahan struktur sosial dan pola interaksi sosial
masyarakat adat orang Rimba. Jika sebelumnya orang Rimba merupakan patron
dari para Waris dan Jenang, tetapi perkembangan pada saat ini pengaruh hirarki
kedua pihak terhadap orang Rimba sudah melemah atau sudah menghilang.
Begitu pula dengan pola interaksi orang Rimba dan orang Terang, hubungan
Orang Rimba dengan dunia luar sudah menjadi hal biasa karena hutannya sudah
sempit.
Lebih lanjut Lauer (2001:12-13) mengemukakan perubahan sosial dapat
mengalami hambatan dalam suatu komunitas, faktor penghambatnya adalah sikap
masyarakat terhadap perubahan, stratifikasi sosial yang kaku, ketimpangan sosial
yang sangat mencolok, fragmentasi komunitas, kepentingan terselubung, dan pola
kebudayaan mesin. Spicer (1952) dalam Lauer (2001:13) menyatakan orang
selalu mengubah cara dalam menghadapi perubahan dengan tiga hal : jika
perubahan dibayangkan dapat mengancam keamanan mendasar; jika perubahan
itu tidak dipahami; dan jika perubahan itu dipaksakan.
Berdasarkan defenisi dari perubahan sosial yang dikemukakan diatas, dalam
kaitannya dengan komunitas adat orang Rimba tentunya juga mengalami

Universitas Indonesia
30

perubahan sosial, hanya saja jika dilihat dari fakta dilapangan proses perubahan
sosial yang terjadi pada orang Rimba relatif lambat, terutama jika hal ini dilihat
dari aspek perubahan pola kehidupan, teknologi dan sistem pengetahuan.
Perubahan sosial dapat dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi di
dalam atau mencakup sistem sosial. Lebih tepatnya, terdapat perbedaan antara
keadaan system tertentu dalam jangka waktu yang berlainan. Perubahan sosial
dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, tergantung pada sudut pengamatan,
apakah dari sudut aspek, fragmen atau dimensi sistem sosialnya. Hal ini
disebabkan karena sistem sosial yang tidak sederhana dan tidak berdimensi
tunggal tetapi muncul sebagai kombinasi keadaan berbagai komponen system
sosial itu sendiri seperti unsur-unsur pokok (jumlah dan jenis individu serta
tindakan), hubungan antar unsur (ikatan sosial, loyalitas, integrasi, hubungan antar
individu), berfungsinya unsur (peran pekerjaan dan ketertiban sosial),
pemeliharaan batas (kriteria anggota system, ketentuan penerimaan dalam
kelompok, prinsip rekrutmen organisasi), segmen dan lingkungan. Berdasarkan
teori sistem sosial maka kemungkinan perubahan sosial terjadi pada perubahan
komposisi, perubahan struktur, perubahan fungsi, perubahan batas, perubahan
hubungan antarsubsistem dan perubahan lingkungan (Sztompka, 2004:3-4).
Konsep perubahan sosial erat kaitannya dengan konsep pembangunan. Hal
ini sejalan dengan pendapat Rogers (1978) dalam Nasution (2002:82) bahwa
pembangunan sebagai suatu proses perubahan sosial yang bersifat partisipatoris
secara luas untuk memajukan keadaan sosial dan kebendaan (termasuk keadilan
yang lebih besar, kebebasan, dan kualitas yang dinilai tinggi yang lainnya) bagi
mayoritas masyarakat melalui perolehan mereka akan kontrol yang lebih besar
terhadap lingkungannya.
Perubahan sosial menurut teori evolusi merupakan gerakan searah seperti
garis lurus, masyarakat berkembang dari masyarakat primitive menuju masyarakat
maju. Perubahan menuju bentuk masyrakat modern, merupakan sesuatu yang
tidak dapat dihindari, oleh karena masyarakat modern merupakan bentuk
masyarakat yang dicita-citakan didalamnya terdapat kemajuan, kemanusiaan, dan
sivilisasi. Dalam teori ini beranggapan bahwa perubahan sosial berjalan secara

Universitas Indonesia
31

perlahan dan bertahap. Menurut teori fungsionalisme, perubahan sosial yang


terjadi dalam masyarakat terjadi secara teratur. Perubahan sosial yang terjadi pada
satu lembaga akan berakibat pada perubahan lembaga lain untuk mencapai
keseimbangan baru, masyarakat bukan sesuatu yang statis, tetapi dinamis
sekalipun perubahan itu amat teratur dan selalu menuju keseimbangan baru
(Suwarsono dan Alvin So, 2000:10-11).
Garna (1992:1) menjelaskan bahwa setiap masyarakat akan mengalami
perubahan yang terjadi pada setiap masyarakat mempunyai pola yang berbeda,
karena perubahan tersebut menyangkut kehidupan manusia, atau terkait dengan
lingkungan kehidupan yang berupa fisik, alam dan sosial sehingga penyesuaian
diri tidak hanya terjadi pada saat itu, tetapi memerlukan waktu dan harus
mendapat dukungan moril yang optimal baik dari pemerintah maupun dari
masyarakat yang berada disekitar lokasi tersebut. Pada hakekatnya setiap
kehidupan yang terjadi di permukaan bumi merupakan suatu proses gerak maju
yang diikuti oleh warga masyarakat karena itu tidak ada masyarakat yang statik.

2.5. Proses dan Strategi Adaptasi Sosial Budaya


Adimihardja (1993:11) dalam Syahrasaddin (1996:44) menyatakan bahwa
adaptasi, merupakan usaha manusia atau makhluk hidup lainnya untuk menyesuaikan diri
terhadap lingkungan tertentu dalam mendayagunakan sumber daya untuk
menanggulangi atau menghadapi masalah yang mendesak (survival).
Selanjutnya Bennet (1976) mengemukakan bahwa proses adaptasi adalah saling
hubungan antara manusia dengan lingkungan alam dimana manusia
mengembangkan tingkah laku yang sesuai dengan tantangan lingkungannya yang
merupakan kemampuan manusia untuk membangun citra (image) dalam suatu
dunia fisik (material) dimana hal itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
realitas empiris.
Menurut Hardesty (1977) dalam Syahrasaddin (1996:42) semua
bentuk kehidupan memerlukan makanan, melindungi dirinya dari gangguan
dan reproduksi. Manusia memiliki pula keinginan yang harus dipenuhi. Semua
masalah tersebut merupakan lingkungan dalam arti bahwa penyelesaiannya
merupakan bagian dari hal-hal diluar organisme itu sendiri. Ekologi merupakan

Universitas Indonesia
32

studi tentang interaksi antara organisme dengan lingkungan yang memberikan


solusi tersebut. Adaptasi merupakan konsep inti dalam studi ekologi, k a r e n a
d engan proses itulah hubungan yang menguntungkan antara organisme dan
lingkungan terjadi. Dalam teori evolusi adaptasi disamakan dan diukur dengan
keberhasilan reproduksi. Konsep reproduktif tentang adaptasi memiliki keuntungan
kuantifikasi. Dengan cara ini adaptasi diartikan tidak lebih dari survival relatif
keragaman individu dari satu generasi ke generasi berikutnya. Survival reproduktif
merupakan ukuran dari kemampuan individu mengatasi masalah yang mendasar
dalam kehidupannya dan penting untuk memahami perubahan evolusioner.
Mazes dalam Hardesty (1977 ) dalam Syahrasaddin (1996:43) mengajukan
beberapa domain atau wilayah adaptif yang berbeda dimana terjadinya adaptasi. Dalam
perkiraannya adaptasi pada tiap domain melibatkan evaluasi mengenai keuntungan relatif
dan tingkat kepentingan relatif terhadap tekanan lingkungan. Bagi individu, domain
tersebut misalnya penampilan fisik, fungsi sistem saraf, pertumbuhan dan
perkembangan gizi, reproduksi, kesehatan, toleransi dan ketahanan, fungsi afektif
dan kemampuan intelektual. Ada masalah lain mengenai konsep adaptasi. Pertama
adalah system yang terintegrasi seperti halnya dalam suatu organism bahwa
perubahan dalam suatu hal menuntut kompensasi dalam hal lain, dengan demikian
ada adaptasi eksternal dan internal yang keduanya harus ditinjau. Kedua, karena
ada perbedaan masalah lingkungan dan respon terhadapnya, adaptasi merupakan
proses kompromi.
Adaptasi prosesual adalah sistem tingkah laku yang terbentuk sebagai akibat dari
proses penyesuaian manusia terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya. Dalam
pengertian lain, adaptasi sebagai proses yang mana organisme atau kelompok
organisme menghadapi perubahan yang bersifat responsive pada rumusannya,
struktur, dan komposisi yang mengatur secara “homeostasis”, baik yang bersifat
perubahan lingkungan maupun perubahan jangka panjang di mana mereka
berada(Bennet, 1976:246).
Untuk menjaga hubungan timbal-balik yang seimbang dalam menerima
masukan dari ekosistem agar tetap adanya survival, maka terjadi apa yang disebut
proses adaptasi (Rambo, 1983:23-29 dalam Syahrasaddin 1996:45). Proses adaptasi

Universitas Indonesia
33

merupakan suatu dinamika sebab baik organisme maupun lingkungan bersifat


tidak tetap. Masalah baru dan penyelesaiannya selalu muncul dan harus
diperhatikan. Lingkungan tidak harus berubah untuk mendatangkan respon adaptif.
Organisme berubah secara bebas terhadap lingkungan, dan perubahan tersebut
merupakan proses adaptif. Semua hubungan adaptif hampir stabil dan terus menerus
sepanjang waktu. Sistem ekologi merupakan satu set hubungan yang relatif stabil
yang mencerminkan adaptasi sekelompok organisme satu sama lain dan adaptasi
terhadap lingkungan tak hidup (Hardesty, 1977 dalam Syahrasaddin 1996:46).

2.6. Kerangka Pemikiran Pembangunan Sosial Masyarakat Adat Orang


Rimba.

Hutan bagi Orang Rimba tidak hanya sebatas ruang tempat hidup dan
sumber kehidupan ekonomi, lebih dari itu hutan merupakan ruang sosial dan
budaya dari kehidupan peradaban mereka. Dengan kata lain keberadaan hutan
merupakan kehidupaan komunitas Orang Rimba. Disisi lain dengan keberadaan
manfaat dan fungsi hutan yang begitu besar menimbulkan kepentingan yang
beragam dari berbagai pihak.
Fungsi ekonomis hutan menjadi latar kepentingan pembangunan
perekonomian negara untuk menambah devisa dari sektor non-migas yang akan
menjadi penopang sumber pendapatan dalam APBN. Untuk kepentingan tersebut
negara mengeluarkan berbagai kebijakan dalam bentuk peraturan dan perundang-
undangan yang menyebabkan terjadinya benturan kepentingan dengan masyarakat
adat. Kebijakan ekonomi, khususnya dalam alokasi dan pengelolaan kawasan
hutan yang hanya memihak kepentingan modal ini, nyata-nyata telah berdampak
sangat luas terhadap kerusakan alam dan kehancuran ekologis. Korban pertama
dan yang utama dari kehancuran kawasan hutan ini adalah masyarakat adat yang
hidup di dalam dan sekitar hutan.
Pembangunan pemukiman transmigrasi, pembukaan perkebunan kelapa
sawit dan pembangunan Hutan Tanaman Industri oleh pihak swasta telah
memberikan dampak positif dan negatif dalam kehidupan orang Rimba. Dampak
positif saat ini telah banyak kelompok orang Rimba yang mulai keluar dari hutan
sebagai tempat tinggalnya untuk beradaptasi atau menukar hasil hutan dengan

Universitas Indonesia
34

kebutuhan lain yang tidak mereka dapat didalam hutan dengan masyarakat
pendatang (transmigran) dan masyarakat desa disekitar kawasan hutan tempat
mereka tinggal. Selain itu perubahanpun telah menyentuh mereka, di antara
mereka mulai tumbuh harapan dan hak kepemilikan terhadap lahan perkebunan
meski sikap terhadap alam yang merupakan warisan nenek moyang tetap mereka
jaga. Namun demikian, keterbukaan interaksi sosial mereka terhadap masyarakat
transmigran, masyarakat desa ataupun pihak luar lainnya juga menimbulkan
dampak negatif dimana mereka sering dimanfaatkan oleh oknum yang mencari
keuntungan semata. Hal ini terjadi karena minimnya pengetahuan dan rendahnya
tingkat pendidikan komunitas Orang Rimba.
Dampak negatif dari pembukaan kawasan hutan untuk kepentingan kawasan
HPH/HTI, pembangunan pemukiman transmigrasi dan perkebunan besar
menyebabkan hilangnya kawasan hutan yang merupakan tempat dan sumber
penghidupan ekonomi, sosial dan budaya Orang Rimba, termasuk kehilangan jati
diri dan identitas sebagai Orang Rimba. Proses marjinalisasi ini kemudian yang
menyebabkan Orang Rimba jatuh kedalam jurang kemiskinan struktural.
Mengenai dampak dari proses pembangunan Gunawan Sumodiningrat dan
Riant Nugroho (2005) mengemukakan pembangunan –diakui atau tidak- selain
menghasilkan kemajuan, juga menghasilkan ketimpangan yang terjadi akibat
mereka yang mampu memanfaatkan pembangunan dan mereka yang gagal
memanfaatkan. Ada banyak varian yang menjadi penyebab kegagalan mulai dari
yang bersifat struktural (adanya keberpihakan pada kelompok yang siap
membangun, seperti dalam teori trickle down effect) hingga yang bersifat kultural
(karena mengidap budaya kemiskinan yakni pasif dan fatalistis atau serba nrimo).
Adanya kesenjangan sosial yang terjadi di komunitas adat Orang Rimba
sebagai akibat proses pembangunan harus dicarikan solusi atau jalan
pemecahannya. Salah satu konsep pembangunan yang dapat diterapkan adalah
konsep Pembangunan Sosial sebagai konsep alternatif dari konsep pembangunan
ekonomi.
Peningkatan kemampuan ekonomi Orang Rimba akan diletakkan pada
konteks sistem sosial (social system), dalam arti hubungan yang saling terkait

Universitas Indonesia
35

antara faktor ekonomi dan faktor non-ekonomi seperti sikap individu dan
kelompok (komunitas) Orang Rimba dalam memandang kehidupan (norma
budaya), pola-pola kekerabatan, tradisi budaya, sistem kepemilikan tanah,
struktur dan proses sosial, serta tingkat partisipasi anggota komunitas dalam
perumusan keputusan kegiatan pembangunan, serta keluwesan atau kekakuan
stratifikasi (pola kelas-kelas) ekonomi dan social yang terdapat dalam komunitas
adat Orang Rimba.
Strategi pembangunan sosial yang akan digunakan dalam upaya meningkatkan
taraf hidup masyarakat adat orang Rimba melalui pendekatan “komunitas” (social
development by communities), strategi ini menggunakan pendekatan kelompok,
di mana kelompok masyarakat secara bersama-sama berupaya mengembangkan
komunitas lokalnya. Pendekatan ini lebih dikenal dengan nama pendekatan
komunitarian (communitarian approach). Penggunaan strategi ini dipilih karena
sangat sesuai dengan pola hidup Orang Rimba yang selalu berkelompok yang
sering disebut dengan “rombong”. Dengan pendekatan ini diharapkan akan
terjadi hubungan sosial diantara kelompok orang Rimba untuk meningkatkan
taraf hidup mereka.
Model pembangunan sosial bagi Orang Rimba akan ditekankan kepada upaya
untuk melakukan pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan kelompok
(rombong), guna meningkatkan taraf hidup komunitas adat yang kurang memiliki
kemampuan ekonomi secara berkelanjutan dengan mengedepankan proses
pemberdayaan komunitas Orang Rimba hal ini penting dilakukan karena selama
ini pendekatan pembangunan yang dilakukan cenderung pada pendekatan
“pemberian” atau charity yang justru berdampak pada ketidak mandirian atau
ketergantungan melalui pengembangan potensi diri (produktivitas) sebagai suatu
aset tenaga kerja serta menyediakan dan memberikan pelayanan sosial,
khususnya pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelatihan, perumahan serta
pelayanan yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan produktivitas dan
partisipasi sosial dalam kehidupan masyarakatnya.
Dalam implementasi pembangunan sosial bagi Orang Rimba dalam kondisi
tertentu aksi pemberian memang harus tetap dilakukan, namun sejauh hal itu tidak

Universitas Indonesia
36

berkaitan dengan hal yang sangat penting aksi pemberian harus ditiadakan.
Pendekatan pemberdayaan dimaksudkan untuk lebih mengedepankan kemandirian
dan memberikan peran yang lebih besar kepada Orang Rimba untuk mengatasi
permasalahan sosial yang mereka hadapi.
Hal terpenting lainnya dalam proses pembangunan sosial bagi Orang Rimba
adalah keterlibatan para aktor pembangunan itu sendiri, terutama aktor yang diluar
komunitas adat Orang Rimba. Midgley mengemukakan dalam proses
pembangunan sosial peran pemerintah adalah yang paling besar terkait dengan
hakikat fungsi negara yang melakukan pelayanan pada rakyatnya Lebih lanjut
Midgley mengemukakan pembangunan sosial melalui pemerintah (social
development by governments), adalah pembangunan sosial yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga di dalam organisasi pemerintah (government agencies).
Pendekatan ini lebih dikenal dengan nama pendekatan statis (statist approach).
Keberadaan peran pemerintah dalam pembangunan sosial bagi Orang Rimba
tidaklah kemudian menafikan peran para pihak (stake holders) lainnya, kondisi
dilapangan pada saat ini menunjukkan bahwa peran para pihak justru lebih terasa
signifikan dalam melakukan proses pembangunan sosial bagi Orang Rimba di
kawasan TNBD. Para pihak tersebut adalah perusahaan swasta dan kalangan LSM
yang telah lama melakukan program pemberdayaan bagi komunitas Orang Rimba.
Berdasarkan konsep pembangunan sosial dan alur pemikiran yang
dikemukakan di atas dengan melakukan penyesuaian terhadap kondisi sosial
budaya ekonomi yang dimiliki komunitas adat Orang Rimba maka pengkajian
pembangunan sosial bagi masyarakat adat Orang Rimba selanjutnya dapat
digambarkan secara skematis sebagai berikut :

Universitas Indonesia
37

Diagram 2.1. Kerangka Konseptual Pembangunan Sosial Masyarakat Adat Orang Rimba

Dampak Positif bagi OR:


Interaksi Sosial lebih Prinsip &
terbuka, mengenal uang, Perspektif
mulai menetap, mulai
berkebun

Strategi
Pendekatan
OR dlm Keadaan marjinal
Tujuan
Pembangunan Ekonomi : dan miskin secara struktural
Pembangunan
 HPH/HTI  Ekonomi marjinal Pembangunan Komunitas
Sosial
 Transmigrasi  Pendidikan Rendah Sosial Orang Rimba
Kesejahteraan
 Perkebunan Swasta  Kesehatan Rendah Orang Rimba
 Perumahan Tdk Layak
Aktor
Pembangunan

Dampak Negatif bagi OR:


Hilangnya hutan/ lahan, Bidang
tempat tinggal, sumber Layanan Sosial
ekonomi, jati diri dan (Pendidikan,
budaya(adat-istiadat) Kesehatan,
Perumahan,
Jaminan Sosial,
dll)

Universitas Indonesia
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1. Pemilihan Lokasi dan Periodesasi Penelitian


Lokasi penelitian dilakukan di wilayah pemukiman orang Rimba yang
terdapat di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD). Khususnya pada
kelompok Orang Rimba di Air Hitam, Kedondong Muda dan Air Ban. Wilayah
pemukiman ketiga kelompok ini secara administratif berada di Kecamatan Air
Hitam Kabupaten Sarolangun. Kawasan taman nasional ini terdapat dalam
wilayah 3 (tiga) kabupaten yaitu Kabupaten Batanghari, Kabupaten Sarolangun,
dan Kabupaten Tebo.
Beberapa alasan utama pemilihan lokasi penelitian di kawasan TNBD
adalah sebagai berikut :
1. Kawasan TNBD merupakan lokasi pemukiman orang Rimba dengan jumlah
kelompok paling banyak dibanding kawasan lainnya, sehingga memudahkan
peneliti untuk memilih ”kelompok” orang Rimba yang menjadi unit analisis
dalam penelitian.
2. Di sekitar kawasan TNBD terdapat lokasi perkebunan sawit milik beberapa
perusahaan, kawasan pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI), dan juga
terdapat beberapa desa asli dan desa yang berasal dari program transmigrasi.
Dengan adanya lokasi perkebunan dan pemukiman yang berdekatan dengan
wilayah hidup orang Rimba dapat dilihat pola interaksi dan relasi sosial yang
terjadi antara masyarakat adat orang Rimba dengan masyarakat ”orang
terang”
3. Kawasan TNBD sebenarnya telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai
kawasan hutan yang diperuntukkan bagi masyarakat adat Rimba, namun
dalam kenyataan dilapangan belum ada kebijakan yang lebih teknis dalam
mengatur pola pemanfaatan ruang di kawasan hutan tersebut, sehingga hal ini
berpotensi menimbulkan konflik vertikal dan horisontal terhadap sumber
daya alam.

38
Universitas Indonesia
39

Selanjutnya periodesasi penelitian dijadwalkan sebagai berikut :

Tabel. 3.1. Periodesasi Kegiatan Penelitian


Tahun 2009 - 2010
No. Kegiatan
8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7
1. Penyusunan
dan
penyempurnaan
Research
Design
2. Pengurusan Ijin
Penelitian ke
Pemkab dan
pihak terkait
3. Pengumpulan
Data
Lapangan
4. Analisa Data &
Penyusunan
Laporan

3.2. Pendekatan Penelitian


Peneltian ini menggunakanakan pendekatan kualitatif. Metode kualitatif
adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data berupa ucapan atau tulisan dan
perilaku yang dapat diamati dari orang-orang (subyek) itu sendiri (Furchan,
1992:21-22). Data penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif artinya data
dilaporkan dalam bentuk kata-kata (terutama kata-kata peserta) atau gambar-
gambar bukannya dalam bentuk angka (Cresswell, 2003:198-199).
Penelitian kualitatif ini diharapkan agar dapat menjelaskan fenomena sosial
yang terdapat pada masyarakat adat orang Rimba dalam kaitan dengan proses
Pembangunan sosial yang telah dilakukan oleh para pihak pada komunitas adat
orang rimba. Penelitian kualitatif ini mengeksplorasi dan mengeksplanasi
pemahaman informan tentang berbagai aspek sosial yang berkaitan dengan proses
Pembangunan dan strategi adaptasi masyarakat adat orang Rimba dalam
menghadapi kebijakan pemerintah dan perubahan lingkungan yang sedang terjadi.
Pada penelitian kualitatif, peneliti merupakan instrumen utama dalam
pengumpulan data. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan kebenaran informasi
melalui upaya menjalin interaksi dengan informan, dengan tetap menjaga sikap
senetral mungkin sehingga tingkat subjektivitas dapat dikurangi secara minimal.

Universitas Indonesia
40

Sebagaimana lazimnya penelitian kualitatif faktor subjektivitas peneliti sangat


berpengaruh, demikian halnya dalam penelitian ini. Faktor ini disebabkan karena
peneliti cukup lama menjadi pengurus dan anggota organisasi yang melakukan
aktivitas program advokasi dan pemberdayaan komunitas Orang Rimba. Bias
penelitian sangat mungkin terjadi, untuk itu peneliti berusaha semaksimal
mungkin untuk memperkecil terjadinya bias dengan berusaha secara postif dan
konstruktif melakukan intropeksi dan re-intropeksi dalam setiap tahapan
penelitian yang dilakukan, untuk mencegah bias nilai dan kepentingan, seminimal
mungkin.

3.3. Strategi Penelitian


Penelitian kualitatif ini dilakukan dalam bentuk studi kasus (case study)
pada komunitas masyarakat adat orang Rimba di kawasan TNBD. Strategi ini
dipilih dikaren studi kasus atau penelitian kasus subjek penelitian dapat saja
individu, kelompok, lembaga, maupun masyarakat (Nazir, 2005:57). Studi kasus
adalah uraian dan penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek seorang
individu, suatu kelompok, suatu organisasi (komunitas), suatu program atau suatu
situasi sosial (Mulyana, 2002:201).
Strategi penelitian dengan studi kasus diharapkan dapat memahami
komunitas masyarakat adat orang Rimba khususnya yang berkaitan dengan aspek
sosial kehidupan mereka dan pandangan dan sikap mereka terhadap proses
Pembangunan yang dilaksan pemerintah. Selain itu peneliti melakukan ekplorasi
terhadap interaksi sosial, norma dan adat-istiadat yang berlaku di komunitas
Orang Rimba.

3.4. Unit Analisis dan Subjek Penelitian


Unit analisis dalam penelitian ini adalah ”kelompok” orang Rimba yang
berada di sekitar kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD), pemilihan
kelompok orang Rimba sebagai unit analisis dikaren pola hidup orang Rimba
secara berkelompok dimana antara satu kelompok dengan kelompok lainnya
memiliki organisasi dan struktur sosial tersendiri. Berdasarkan konsep Sosiologi
”kelompok” diartikan sebagai sejumlah orang yang memiliki pola interaksi yang

Universitas Indonesia
41

terorganisasi dan terjadi secara berulang-ulang atau dalam pengertian lain setiap
kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama keanggotaan dan saling
berinteraksi (Horton dan Hunt, 1987:214-215).
Ada dua tipe kelompok yang menjadi subjek dalam penelitian ini yaitu
kelompok “transisi” adalah kelompok orang Rimba yang masih menghuni hutan
belantara sebagai tempat tinggal namun telah memiliki interaksi dengan
masyarakat luar (orang terang) dan kelompok “bediom” adalah kelompok orang
Rimba yang sudah mulai bertempat tinggal menetap diluar hutan, dalam istilah
Orang Rimba untuk anggota kelompok Orang Rimba yang telah menetap diluar
hutan disebut bediom.
Pemilihan dua tipe kelompok ini dimaksudkan untuk lebih memperoleh
gambaran yang lebih jelas tentang strategi adaptasi pola perilaku budaya
kelompok terutama yang berkaitan dengan proses perubahan lingkungan dan
Pembangunan sosial komunitas masyarakat adat orang Rimba.
Dalam penelitian ini unit analisis pendukung yang diteliti adalah pemerintah
daerah dalam hal ini adalah Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial dan
Balai Taman Nasional Bukit Dua Belas. Pemilihan unit analisis pendukung ini
adalah untuk melihat keterkaitan dengan komunitas orang Rimba dalam proses
Pembangunan sosial dan kebijakan sosial bagi orang Rimba, sehingga dapat
diidentifikasi permasalahan dan potensi peran dan bentuk partisipasi pemerintah
baik pusat dan daerah serta pihak swasta dalam menunjang Pembangunan sosial
orang Rimba.
Informan penelitian adalah individu (subjek) yang memahami informasi
objek penelitian sebagai pelaku maupun orang lain yang memahami objek
penelitian. Dalam penelitian ini informan diperoleh melalui cara ”snowbolling
sample” dan ”key person” (Bungin, 2007:76)
Dalam penelitian ini jumlah informan yang dipilih sebanyak 20 orang
informan yang terdiri dari unsur pemimpin dan anggota komunitas Orang Rimba
sebanyak 8 orang dari perwakilan 3 kelompok (rombong), unsur pemerintah
daerah 6 orang, unsur pemerintah desa 2 orang, penggiat LSM 2 orang, guru
sekolah dasar 1 orang dan 1 orang peneliti.

Universitas Indonesia
42

Seluruh informan dalam penelitian ini dipilih secara sengaja (purposif)


sesuai dengan kebutuhan penelitian, pengetahuan dan pengalaman informan
informasi mengenai kehidupan komunitas adat orang Rimba. Berikut ini disajikan
tabel tipe dan jumlah informan yang dilakukan wawancara mendalam terhadap
subek penelitian.

Tabel. 3.2. Informan dan Cakupan Data


Jumlah Informan Status Cakupan Data
2 orang Ketua Aspek Sosial,
1 orang (Temenggunakanakang) Budaya, Ekonomi,
5 orang Wakil Norma Adat Istiadat
Temenggunakanakang dan Lokasi
Anggota Kelompok Pemukiman, ladang
Orang Rimba dan Kebun
1 orang Peneliti Kondisi sosial
2 orang Aktivis NGO budaya Orang
Rimba dan
Masyarakat di
Lokasi Penelitian
1 orang Kepala BTNBD Kebijakan, Strategi
5 orang Pegawai PEMDA dan Program Bagi
Sarolangunakan Komunitas Adat
Orang Rimba.
2 orang Kepala Desa Administrasi
Kependudukan,
Bantuan Program
bagi Orang Rimba
1 orang Kepala SD Strategi dan Proses
Belajar dan Aspek
Pendidikan Orang
Rimba

3.5. Strategi Pengumpulan Data


Penelitian ini menggunakanakanakan teknik pengumpulan data
sebagaimana umumnya dalam penelitian kualitatif studi kasus yaitu dengan
menggunakanakanakan teknik wawancara bertahap dan mendalam (indepth
interview) dengan sejumlah informan yang telah dipilih secara sengaja.
Wawancara mendalam (indepth interview) dilakukan dengan subjek penelitian
atau informan yang telah ditetapkan dengan menggunakanakan pedoman
wawancara secara semi berstruktur dan terbuka.

Universitas Indonesia
43

Penggunakanaan metode ini didasarkan pada dua alasan, Pertama, dengan


wawancara, peneliti dapat menggali tidak saja apa yang diketahui dan dialami
subjek yang diteliti, tetapi juga makna potensial apa yang melandasi respon
terhadap kebijakan Pembangunan dan perubahan lingkungan yang tersembunyi
jauh di dalam diri subjek penelitian. Kedua, apa yang ditanyakan kepada informan
bisa mencakup hal-hal yang bersifat lintas waktu, yang berkaitan dengan masa
lampau, masa sekarang, dan juga masa mendatang. Pengumpulan data primer
melalui teknik wawancara mendalam ini dipilih untuk memperoleh gambaran
umum yang bersifat “holistik” dari informan berdasarkan suatu proses persepsi
dari pengalaman yang dipengaruhi faktor emosional dan kognitif.
Observasi (observer) dilakukan dengan mengunjungi lokasi penelitian yaitu
mengamati kebiasaan-kebiasaan kelompok dan mencatat kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh mereka dan juga melihat aktivitas-aktivitas lain. Mengamati lokasi
pemukiman, kebun buah-buahan, ladang, tempat proses melahirkan, pohon-
pohon, hewan dan tumbuhan hutan yang bernilai sosial dan ekonomi bagi Orang
Rimba. Mengunjungi dan mengamati tempat-tempat yang memiliki nilai sosial
bagi Orang Rimba seperti tanah “peranokon” (tempat melahirkan), pohon
tenggeris anak, tanah dewa, tanah bebalai (tempat upacara) pemukiman kelompok
orang rimba yang berlokasi di Singosari, Air Hitam, Kedondong Muda dan Aek
Ban, diskusi dilakukan secara terbatas dengan 2 sampai 5 orang informan, dan
studi pustaka dilakukan dengan mengumpulkan dan membaca bahan bacaan yang
memiliki topik yang berkaitan dengan penelitian.
Pengumpulan data sekunder yang berkaitan dengan kondisi sosial, ekonomi,
budaya dan politik masyarkat adat orang Rimba baik sesudah maupun sebelum
adanya pembukaan lahan perkebunan, HTI dan pemukiman transmigrasi oleh
korporasi dan pemerintah yang mengelola dan mengeksploitasi sumber daya alam
di lingkungan sekitar komunitas adat orang Rimba. Data ini dikumpulkan
melalaui studi pustaka dan pencarian sumber-sumber informasi tertulis lainnya
seperti data-data statistik mengenai keadaan sosial ekonomi budaya dan ekologi
orang Rimba maupun data perusahaan-perusahaan yang beroperasi di daerah
penelitian.

Universitas Indonesia
44

Pengumpulan data sekunder ini juga berupa pengumpulan dokumen baik


berupa dokumen publik seperti koran, notulen rapat dan laporan maupun
dokumen pribadi seperti jurnal pribadi, catatan harian, surat dan email yang
berkaitan dengan topik penelitian. Sumber informasi data sekunder ini berkaitan
dengan informasi tentang pemerintah, korporasi, maupun masyarakat sipil
(masyarakat desa/pendatang) atau NGO yang memiliki aktivitas yang berkaitan
dengan komunitas adat orang Rimba. Berikutnya dalam penelitian ini juga
dilakukan pengumpulan data kualitatif berbentuk foto-foto Orang Rimba.

3.6. Batas dan Pembatasan Penelitian


Penelitian ini hanya dibatasi untuk melakukan wawancara dan mengamati
kelompok Orang Rimba yang bermukim di dalam kawasan Taman nasional Bukit
Dua Belas yaitu di Kedondong Mudo, Air Hitam dan Air Ban dan kelompok
Orang Rimba yang telah berdiom di Air Hangat dan Singosari. Dalam penelitian
pada komunitas Orang Rimba, peneliti memiliki keterbatasan dalam
mengumpulkan data demografi Orang Rimba secara detil berdasarkan klasifikasi
gender (lelaki dan perempuan) serta jumlah anggota masing-masing kelompok.
Keterbatasan ini disebabkan adanya norma “tabu” bagi Orang Rimba untuk
menghitung berapa jumlah anggota kelompok, menurut kepercayaan mereka jika
menghitung jumlah anggota mereka akan mendapat kutukan dewa dan anggota
mereka akan hilang atau berkurang.
Keterbatasan lain dalam penelitian ini adalah dalam melakukan wawancara
dan mengunjungi pemukiman kelompok. Wawancara baru dapat dilakukan
dengan informan Orang Rimba setelah mereka menerima pesan dari anggota
kelompok atau anak mereka yang ditemui peneliti. Para informan Orang Rimba
terutama yang bermukim di dalam hutan pada saat dilaksanakan penelitian
bertepatan dengan musim buah-buahan, kebanyakan informan sedang menunggu
buah durian jauh ke dalam hutan atau informan sedang melakukan pencarian rotan
dan tebu-tebu (sejenis rotan) yang lokasinya jauh dari lokasi pemukiman.
Untuk mengunjungi pemukiman kelompok Orang Rimba harus bersama
atau menunggu kaum lelaki ada di pemukiman, jika tidak ada kaum perempuan
dan anak-anak biasanya menghindar untuk dikunjungi sehingga sulit bahkan

Universitas Indonesia
45

peneliti tidak dapat mewawancari informan perempuan Orang Rimba. Selain itu
letak rumah atau pondok yang berjauhan antara satu keluarga dengan keluarga
yang lain cukup menyulitkan dan memakan waktu untuk mencari informan.
Peneliti mengatasi keterbatasan dalam penelitian dengan cara membuat janji
bertemu dan mengirim pesan melalui anggota kelompok atau anak Orang rimba
yang sering berkunjung ke desa, jika pesan tidak sampai maka peneliti
mengunjungi lokasi pemukiman bersama anggota kelompok laki-laki dan
mengunjungi lokasi ladang atau kebun buah-buahan Orang Rimba.

3.7. Analisa Data


Data yang berasal dari hasil wawancara mendalam, dan observasi yang telah
disunting dan ditranskripsi dianalisis menggunakanakanakan analisa kualitatif.
Analisis data kualitatif dalam penelitian ini mengacu pada Miles dan Michael
(1992;15-16) yang terdiri dari tiga jalur kegiatan yang terjadi secara bersamaan
yakni reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.
Reduksi Data dimaksudkan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian
pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data ”data kasar” yang
muncul dari catata-catatan tertulis di lapangan. Proses ini berlangsung secara terus
menerus selama penelitian kualitatif berlangsung. Selama proses pengumpulan
data berlangsung, terjadilah tahapan reduksi selanjutnya yaitu membuat ringkasan,
mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus, membuat partisi dan menulis
memo. Reduksi data atau proses transformasi terus berlangsung sesudah
penelitian lapangan selesai dilakukan sampai dengan penyusunan laporan akhir.
Reduksi data bukanlah suatu hal yang terpisah dari analisis namun menjadi bagian
dari analisis itu sendiri. Reduksi data merupakan bentuk analisis yang
menajamkam, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu,
mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan
finalnya dapat ditarik dan diverifikasi. Kegiatan juga dilakukan terhadap hasil
penelitian lapangan pada komunitas masyarakat adat orang Rimba. Untuk data
primer dari hasil wawancara mendalam dilakukan seleksi data, penyederhanaan
data, serta mentransformasi data ”kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis
di lapangan, untuk dapat dilakukan kategorisasi berdasarkan variabel-variabel

Universitas Indonesia
46

penelitian yang telah ditetapkan sehingga dapat disarikan menjadi informasi inti
penelitian.
Penyajian Data dapat dibatasi sebagai sekumpulan informasi yang tersusun
yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakanakan. Penyajian data dapat berupa teks naratif, namun juga sebaliknya
dapat dilengkapi dengan matrik dan grafik, jaringan dan bagan. Semua dirancang
gunakana menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang
terpadu dan nudah diraih, dengan demikian peneliti dapat melihat apa yang
terjadi, dan menentukan apakah menarik kesimpulan yang benar ataukah terus
melangkah melakukan analisis yang menurut sasaran yang dikiaskan oleh
penyajian sebagai suatu yang bergunakana. Sebagai bagian dari analisis
penyajian data dapat dirancang berupa deretan kolom-kolom sebuah matriks
untuk data kualitatif dan memutuskan jenis dan bentuk data yang harus
dimasukkan ke dalam kotak-kotak matriks merupakan kegiatan analisis dan
sekaligus juga merupakan kegiatan reduksi data.
Penarikan Kesimpulan merupakan sebagian dari suatu kegiatan dari
konfigurasi yang utuh. Kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian
berlangsung. Verifikasi itu dengan subjek penelitian atau kelompok orang Rimba
dan teman sejawat yang bergunakana untuk mengembangkan ”kesepakatan
intersubyektif”. Makna yang muncul dari data harus diuji kebenarannya,
kekuatannya, dan kecocokannya yakni berupa validatas data. Verifikasi data
lapangan dapat dilakukan dengan cara diskusi terbatas dengan berbagai kalangan
NGO, pejabat daerah, tokoh masyarakat, dan berbagai pihak lainnya yang
memiliki pengetahuan dan informasi mengenai perilaku dan budaya masyrakat
adat orang Rimba.
Verifikasi data bertujuan untuk melakukan konfrontasi berbagai data yang
terkait dengan masalah dampak negatif kebijakan Pembangunan, masalah
hubungan pemilik korporasi dan elite birokrasi pemerintah daerah, faktor-faktor
yang berkaitan dengan strategi program Pembangunan yang telah dilakukan
pemerintah, peranan pihak korporasi dan NGO dalam proses Pembangunan, serta

Universitas Indonesia
47

masalah aktivitas masyarakat desa atau masyarakat transmigrasi yang menekan


komunitas adat orang Rimba.
Ketiga langkah analisis kualitatif yang telah dikemukakan diatas
merupakan langkah yang saling berkaitan pada saat sebelum, selama, dan sesudah
proses pengumpulan data dalam bentuk yang sejajar, untuk membangunakan
wawasan umum yang disebut ”analisis”. Ketiga jenis kegiatan ini merupakan
proses siklus dan interaktif. Peneliti harus siap bergerak diantara ”sumbu”
kumparan itu selama pengumpulan data, selanjutnya peneliti bergerak bolak-balik
diantara tiga langkah kegiatan reduksi data, penyajian, dan penarikan
kesimpulan/verifikasi selama sisa waktu penelitian (Miles dan Michael, 1992;19-
20).
Dalam penelitian ini selain menggunakanakan langkah penelitian kualitatif
yang telah dikemukakan diatas juga digunakan strategi analisis data kualitatif-
verifikatif yang dikemukakan Bungin (2007:147) untuk lebih memperkuat analisis
dalam penelitian ini. Menurut Bungin, strategi analisis data kualitatif-verifikatif
merupakan sebuah upaya analisis induktif terhadap data penelitian yang dilakukan
pada seluruh proses penelitian. Format analisis ini lebih mengutamakan
memperoleh data sebanyak-banyaknya dilapangan baru kemudian dilakukan
analisis terhadap teori yang digunakan. Analisis Kualitatif dalam format ini tidak
hanya sekedar mendeskripsikan sebuah fenomena, namun yang terpenting adalah
menjelaskan (eksplanatory) makna dan mendeskripsikan fenomena sosial yang
muncul pada komunitas adat orang Rimba.
Analisis kualitatif dalam penelitian ini bertujuan menganalisis proses
berlangsungnya suatu fenomena sosial dalam komunitas adat orang Rimba dan
memperoleh gambaran yang tuntas terhadap proses tersebut dan menganalisis
makna yang ada dibalik informasi, data, dan proses suatu fenomena sosial itu.
Menganalisis proses berlangsungnya suatu fenomena sosial adalah
mengunakangkapkan semua proses etik yang ada dalam suatu fenomena sosial
dan mendeskripsikan kejadian proses sosial itu apa adanya sehingga tersusun
suatu pengetahuan yang sistematis tentang proses-proses sosial, realitas sosial,
dan semua atribut dari fenomena sosial itu. Sedangkan menganalisis makna yang

Universitas Indonesia
48

ada dibalik informasi, data dan proses sosial suatu fenomena sosial dimaksud
adalah mengungkapkan peristiwa emik dan kebermaknaan fenomena sosial itu
dalam pandangan objek-subjek sosial yang diteliti. Sehingga terungkap suatu
gambaran emik terhadap suatu peristiwa sosial yang sebenarnya dari fenomena
sosial yang tampak (Bungin, 2007:153).

3.8. Reliabilitas dan Validasi Data


Perhatian dalam term penilaian penelitian kualitatif adalah Reliabilitas dari
metode yang dipergunakan. Peneliti menunjukkan kepada pembaca bahwa metode
yang peneliti gunakan dapat digunakan kembali dan konsisten. Suatu metode yang
digunakan perlu dijelaskan terutama yang terkait dengan Reliabilitas dari analisis
data: gambaran pendekatan dan prosedur analisis data; memberikan alasan
mengapa pendekatan ini digunakan dalam penelitian ini; nyatakan secara jelas
proses penyusunan tema, konsep, dan teori dari pengauditan data; dan tunjukkan
fakta-fakta, termasuk penelitian kualitatif dan kuantitatif sebelumnya, pengujian
kesimpulan dari analisis yang tepat.
Dalam penelitian ini hasil dari analisa data dilakukan validasi. Validasi data
bertujuan sebagai salah satu metode untuk mencegah adanya data yang tidak
sesuai dan atau kebenarannya diragukan. Berdasarkan tujuan tersebut maka
peneliti melakukan berbagai langkah validasi, salah satunya adalah strategi
triangulasi. Langkah triangulasi terdiri dari : pertama data primer dan data
sekunder yang berhasil dikumpulkan diinterpretasi untuk menjadi informasi yang
memiliki makna sesuai dengan variabel penelitian, langkah kedua, melakukan
pengecekan kebenaran dari data observasi atau intepretasi peneliti terhadap
permasalahan penelitian, selanjutnya langkah ketiga, melakukan pemeriksaan
terhadap informan (sumber informasi), dalam hal ini informan juga berperan
sebagai pemeriksa sepanjang proses analisa (Creswell 2003:195-196).

3.9. Operasional Konsep Penelitian


Untuk dapat melakukan interpretasi data dalam arti memberi makna pada
analisis, menjelaskan pola atau kategori dan mencari hubungan antar konsep,
maka untuk memudahkan dalam penelitian ini diperlukan mengoperasionalkan

Universitas Indonesia
49

konsep atau variable yang terkait dengan penelitian. Adapun operasional konsep
yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Pembangunan Sosial Orang Rimba adalah suatu proses perencanaan
perubahan sosial yang disusun oleh pemerintah, swasta dan masyarakat
madani di sektor pendidikan, kesehatan, jaminan sosial dan pengentasan
kemiskinan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan komunitas
adat orang Rimba.
2. Kebijakan Sosial adalah suatu tindakan atau keputusan yang diambil oleh
pihak pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas hidup dengan
mengatasi permasalahan sosial dalam bidang pendidikan, kesehatan, jaminan
sosial dan kemiskinan yang dihadapi komunitas orang Rimba.

3. Kelompok Sosial adalah sekumpulan individu atau manusia yang memiliki


tujuan yang sama memiliki hubungan yg timbal balik, dan mereka sadar
merupakan anggota dari satu kelompok, memiliki kepercayaan yang sama,
berstruktur dan memiliki kaidah norma perilaku yang disepakati bersama.

4. Komunitas adalah sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah


tertentu, yang memiliki pembagian kerja yang berfungsi khusus dan saling
tergantung (interdependent), dan memiliki sistem sosial-budaya yang yang
mengatur para anggota, yang mempunyai kesadaran kesatuan dan perasaan-
memiliki, serta mampu bertindak secara kolektif dengan cara yang teratur.
5. Komunitas Adat Terpencil adalah adalah kelompok sosial budaya yang
bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan
dan pelayanan baik sosial, ekonomi maupun politik
6. Pengembangan Masyarakat adalah suatu upaya program yang dirancang
untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat yang dilakukan atas inisiatif
dan partisipasi masyarakat dengan dukungan oleh pemerintah dan pihak
swasta dengan mempertimbangkan prinsip pengembangan masyarakat.
7. Adaptasi adalah bentuk sikap dan perilaku penyesuaian yang dilakukan oleh
orang Rimba untuk mempertahankan kebutuhan hidup akibat adanya
perubahan lingkungan.

Universitas Indonesia
50

8. Proses adapatasi adalah sistem tingkah laku orang Rimba yang terbentuk
dalam aspek teknologi perladangan, organisasi dan pranata sosial serta sistem
kepercayaan sebagai upaya mempertahankan keberlanjutan hidup akibat
adanya perubahan lingkungan.
9. Strategi Adaptasi sistem tingkah laku orang Rimba yang dirancang dalam
aspek teknologi perladangan, organisasi dan pranata sosial serta sistem
kepercayaan sebagai upaya mempertahankan keberlanjutan hidup akibat
adanya perubahan lingkungan.
10. Masyarakat Adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul
leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki
sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri.

Universitas Indonesia
BAB 4
ANALISIS HASIL PENELITIAN

4.1. Karakteristik Daerah Penelitian


4.1.1. Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD)
4.1.1.1. Status Kawasan dan Sistem Pengelolaan

Penelitian ini dilakukan di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas


disingkat TNBD, kawasan ini ditetapkan sebagai Taman Nasional oleh
pemerintah pada tahun 2000 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan
Perkebunan Nomor: 258/Kpts-II/2000, tertanggal 23 Agustus 2000. Luas areal

Lokasi Penelitian

Sumber Peta : KKI-

Gambar 4.1. Lokasi Penelitian di Kawasan TN. Bukit Dua Belas (TNBD)

keseluruhan kawasan TNBD seluas 60.500 hektar yang terletak di Kabupaten


Batanghari ± 65% (37.000 Ha), Kabupaten Sarolangun ± 15% (9000 Ha) dan
Kabupaten Tebo ± 20% (11.500 Ha).
Salah satu tujuan penetapan kawasan TNBD secara khusus adalah untuk
melindungi dan melestarikan tempat kehidupan dan budaya Orang Rimba yang
sejak lama berada di dalam kawasan taman nasional. Untuk pengelolaan kawasan
taman nasional ini pemerintah malalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor :

51
Universitas Indonesia
52

P.29/Menhut-II/2006 tanggal 2 Juni 2006 membentuk Balai Taman Nasional


Bukit Dua Belas yang mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan ekosistem
kawasan TNBD dalam rangka konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.6
Proses perubahan status kawasan hutan dataran rendah Bukit Dua Belas
dari Cagar Biosfer ke Taman Nasional pada hakekatnya telah mengurangi ruang
hidup komunitas Orang Rimba. Jika pada awalnya dalam penetapan status
kawasan hutan menjadi Cagar Biosfer pertimbangan utamanya secara tegas
diperuntukan untuk kawasan hidup Orang Rimba sedangakan dalam surat
keputusan penunjukkan kawasan TNBD tidak ada bagian yang menyebutkan
peruntukkan TNBD untuk kelangsungan hidup orang rimba meskipun hal ini
menjadi salah satu bagian pertimbangan dalam penetapan perubahan status
kawasan menjadi kawasan TNBD.
Perubahan status kawasan hutan dataran rendah Bukit Dua Belas menjadi
Taman Nasional menjadikan kawasan ini berfungsi utama sebagai kawasan
konservasi yang menimbulkan dampak pada timbulnya konflik kepentingan antara
pengelola kawasan dan komunitas Orang Rimba. Bagi pihak pemerintah
pengelolaan TNBD dikembangkan melalui “sistem zonasi” dimana terdapat 6
sistem zonasi kawasan, yaitu zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan tradisional,
zona pemanfaatan terbatas, zona pemanfaatan pariwisata alam, dan zona
rehabilitasi. Sementara bagi komunitas Orang Rimba sistem zonasi kawasan justru
mempersempit bahkan menghilangkan hak pengeloaan dan pemanfaatan
tradisional mereka.
Sejak tahun 2006 sampai saat ini pengelolaan kawasan sudah dibawah
kelembagaan Balai Taman Nasional, berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala
Balai TNBD rencana pengelolaan TNBD belum juga ditetapkan secara resmi
dikarenakan draft RPTN masih dalam proses finalisasi dan selanjutnya akan
dilakukan konsultasi publik sebelum ditetapkan menjadi suatu aturan yang
memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

6
Buku Informasi Mengenal Taman Nasional Bukit Dua Belas, Balai TNBD-Ditjen PHKA
DEPHUT RI, 2007.

Universitas Indonesia
53

Berdasarkan peraturan perundangan konservasi sumberdaya alam dan


ekosistem RPTN akan dilakukan dengan sistem zonasi, dari 6 sistem zonasi yang
direncanakan, yang berkaitan dengan keberadaan komunitas Orang Rimba adalah
zona inti berfungsi untuk aktifitas yang berkaitan dengan kehidupan budaya
Orang Rimba, zona rimba berfungsi untuk ruang kehidupan dan penghidupan
Orang Rimba dan zona pemanfaatan tradisional diperuntukkan khusus untuk
memfasilitasi kebutuhan kehidupan dan penghidupan komunitas Orang Rimba
untuk fungsi ruang budidaya tanaman pangan, komoditi jual dan biota obat hutan
(agroforestry), dan ruang interaksi komunitas Orang Rimba dengan masyarakat
luar, dan ruang penyelenggaraan kegiatan pemberdayaan komunitas Orang
Rimba.7
Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Dua Belas yang telah pernah
disusun oleh BKSDA seharusnya menjadi bahan kajian dan evaluasi bagi Balai
TNBD untuk menghindari konflik kepentingan dengan komunitas Orang Rimba.
RPTN seharusnya dapat mengakomodir atau menghargai nilai-nilai kearifan
tradisional yang positif dalam pemanfaatan sumberdaya alam hutan yang dimiliki
dalam kebudayaan Orang Rimba. Komunitas Orang Rimba seharusnya menjadi
pelaku utama dalam pengelolaan kawasan hutan, mengingat kawasan hutan
tersebut adalah ruang kehidupan mereka yang selama ini telah mereka buktikan
sejak ratusan tahun bahwa norma dan perilaku mereka mampu untuk menjaga dan
memanfaatkan flora dan fauna yang ada di dalam kawasan hutan dataran rendah
yang tersisa di Provinsi Jambi ini.
Visi lembaga TNBD terlihat jelas keberpihakan terhadap Orang Rimba
yakni “Bekerja secara profesional untuk mewujudkan fungsi TNBD sebagai
kawasan pelestarian alam dan kawasan budaya komunitas Orang Rimba melalui
pengelolaan dan pengembangan sistem zonasi, yang memberikan sumbangan
optimal bagi peningkatan kesejahteraan dan mutu kehidupan masyarakat adat dan
lokal serta pembangunan daerah dan nasional, yang mengakngkat citra
pengelolaan konservasi nasional” Hal ini diperkuat oleh misi Balai TNBD yang

7
Ibid, Balai TNBD.

Universitas Indonesia
54

berkaitan dengan Orang Rimba yaitu “menjamin kelangsungan eksistensi kawasan


sebagai kawasan budaya dan sumber kehidupan ekonomi alternatif bagi
komunitas Orang Rimba dan menyelenggarakan kemandirian dan keberdayaan
masyarkat adat dan lokal serta kemitraan usaha dalam pemanfaatan sumber daya
kawasan”.8

Visi dan misi lembaga TNBD seharusnya dapat dijadikan dasar


pembangunan sosial bagi komunitas Orang Rimba, bukan hanya sekedar slogan
lembaga yang lebih mengutamakan pembangunan konservasi daripada
pembangunan manusia.

4.1.1.2. Letak Geografis dan Potensi Kawasan

Secara geografis TNBD terletak diantara arah Utara 01o44’35” LS, arah
Selatan 2o03’15’’ LS, arah Timur 102o31’37” BT dan arah Barat 102o48’27” BT.

Sumber Peta : KKI-WARSI


Gambar 4.2. Peta Letak Geografis TN. Bukit Dua Belas

Kawasan TNBD merupakan perwakilan tipe ekosistim hutan tropis dataran


rendah dan merupakan daerah tangkapan air bagi Daerah Aliran Sungai (DAS)

8
Op.Cit. Balai TNBD, 2007.

Universitas Indonesia
55

Batanghari. Kawasan ini memiliki kenaekaragaman flora yang bernilai tinggi,


termasuk jenis tanaman yang tergolong langka dan dilindungi. Jenis flora yang
terdapat di kawasan TNBD antara lain tumbuhan obat meliputi 128 jenis yang
terbagi atas 101 jenis tanaman obat dan 27 jenis cendawan obat. Jenis-jenis
tumbuhan obat ini telah dimanfaatkan oleh komunitas Orang Rimba untuk
mencegah dan menyembuhkan penyakit.
Sebagian besar tumbuhan obat masih tergolong tumbuhan liar yang belum
di budidayakan. Komunitas Orang Rimba telah melakukan pemeliharaan terhadap
sebagian kecil tumbuhan obat. Keberadaan jenis tumbuhan obat ini merupakan
potensi yang bisa dikembangkan untuk memberdayakan komunitas Orang Rimba
baik sebagai sumber pendapatan dan ketersediaan obat dalam pelayanan kesehatan
alternatif.
Kawasan TNBD memiliki tidak kurang dari 41 jenis anggrek dari 18
marga yang hidup di TNBD. Berbagai ragam jenis pohon penghasil getah, kayu,
daun dan penghasil buah juga banyak di temukan seperti pohon jelutung (Dyera
costulata) pohon ini disadap oleh Orang Rimba dan getahnya (styrax benzoin)
memiliki nilai ekonomis untuk di jual, pohon tembesu (Fragraea fragrans) kayu
ini memiliki nilai ekonomi tinggi dan banyak diburu oleh para penebang kayu
illegal. Nilai ekonomis kayu ini yang dapat menjadi ancaman bagi kawasan
TNBD dan komunitas Orang Rimba.
Komunitas Orang Rimba dapat saja melakukan penebangan pohon yang
dilindungi dan memiliki nilai ekonomi tinggi karena adanya relasi dengan para
penebang kayu yang berperan sebagai pembeli kayu hasil tebangan atau pemberi
modal untuk aktivitas penebangan. Hasil wawancara dengan informan aktivitas
penebangan pohon yang dilindungi oleh Orang Rimba untuk kepentingan
ekonomi uang atau barang kebutuhan sekunder harus dibatasi dan tidak boleh
atau dilarang.9
Dalam kawasan hutan TNBD terdapat pohon penghasil buah seperti durian
(Durio sp), sebutan Orang Rimba pohon Tengguli (Gardenia augusta), pohon

9
Hasil Wawancara dengan RD, 12 November 2009.

Universitas Indonesia
56

penghasil daun yang dipergunakan untuk atap rumah dapat bertahan 4-5 tahun
seperti pohon manggisan atau dalam sebuta Orang Rimba pohon bengkal
(Garcicinia nervosa) pohon palem langka yang dikenal Orang Rimba sebagai
Nengah Gajah dan tumbuhan rotan yang juga memiliki nilai ekonomi cukup
tinggi untuk dijual.
Selain keragaman flora, kawasan TNBD juga memiliki keragaman fauna
yang dilindungi dan langka seperti Harimau Sumatera (Phantera tigris sumatrae),
Kucing Hutan (Felis bengalensis), Beruang Madu (Helarctos malayanus), Rusa
Sambar (Cervus unicolor), Tapir (Tapirus indicus), Ayam Hutan (Gallus gallus)
dan Enggang Gading (Rhinoplax vigil) dan beragam jenis fauna lainnya. Kawasan
TNBD dengan keragaman flora dan fauna dan kelangkaan tipe ekosistim hutan
hujan dataran rendah serta keberadaan komunitas Orang Rimba memiliki potensi
wisata yang sangat tinggi.
Kawasan TNBD merupakan kawasan hutan hujan dataran rendah
Sumatera yang masih tersisa dan merupakan daerah tangkapan air untuk daerah
aliran sungai (DAS) Batanghari, dengan Sub DAS Air Hitam Hulu, Sub DAS
Kejasung, dan Sub DAS Makekal. Nama Bukit Duabelas diperoleh dari
keberadaan duabelas bukit yang membujur dari timur ke barat. Bukit tertinggi
adalah bukit Kuran dengan ketinggian 438 dari permukaan laut. Secara
administratif TNBD tercakup dalam tiga wilayah kabupaten, yakni Sarolangun,
Batanghari dan Tebo. Kecamatan yang mencakup wilayah Daerah Penyangga
TNBD adalah Kecamatan Air Hitam di KabupatenSarolangun, Kecamatan Tebo
Ilir, Tebo Ulu dan Muara Tabir di Kabupaten Tebo dan Kecamatan Maro Sebo
Ulu dan Batin XXIV di Kabupaten Batanghari.

4.1.1.3. Karakteristik Daerah Penyangga TNBD


Secara umum karakteristik daerah penyangga TNBD terdiri atas beberapa
peruntukan sebagai berikut : 1. Daerah Penyangga Bagian Utara, sebagian besar
merupakan areal Hutan Tanaman Industri (HTI) PT. Limbah Kayu Utama (PT.
LKU), areal perkebunan kelapa sawit PT. Sawit Desa Makmur (PT. SDM) dan
lahan pemukiman dan perladangan masyarakat Desa Sei. Ruan I, Desa Sei. Ruan
II, Desa Peninjauan, Desa Sungai Lingkar, Desa Kembang Seri, Desa Batu Sawar,

Universitas Indonesia
57

Desa Padang Kelapo dan Desa Kampung Baru. 2. Daerah Penyangga Bagian
Selatan terdiri atas areal transmigrasi Hitam Ulu Desa Pematang Kabau dan Desa
Bukit Suba, areal perkebunan kelapa sawit PT. Sari Aditya Loka (PT.SAL), areal
perkebunan kelapa sawit PT. Jambi Agro Wiyana (PT.JAW), areal perkebunan
sawit PT. Era Mitra Agro Lestari A (PT.EMAL A) dan lahan pemukiman dan
perladangan masyarakat Desa Baru, Desa Semurung, Desa Jernih, dan Desa
Lubuk Jering. 3. Daerah Penyangga Bagian Timur merupakan areal HTI PT.
Wana Perintis(PT.WP), areal perkebunan sawit PT. Era Mitra Agro Lestari B (PT.
EMAL B), lahan pemukiman dan perladangan masyarakat Desa Jelutih, Desa
Olak Besar, Desa Paku Aji dan Desa Hajran. 4. Daerah Penyangga Bagian Barat
terdiri atas areal transmigrasi Kuamang Kuning (SP.A, SP.E dan SP.G), areal
transmigrasi Hitam Ulu (SP.B), areal perkebunan sawit PT. SAL, Areal
Penggunaan Lain (APL), dan kawasan hidup komunitas adat Orang Rimba yang
berada di luar kawasan TNBD.10
Pada kawasana Daerah penyangga TNBD terdapat desa asli dan desa yang
berasal dari program transmigrasi, terdapat 23 desa yang termasuk dalam 6
kecamatan dan tiga kabupaten. Total jumlah penduduk dikawasan penyangga
sebanyak 42.312 jiwa terdiri dari 21.317 Laki-laki dan 20.995 perempuan.
Kawasan daerah penyangga TNBD yang saat ini diperuntukkan areal
transmigrasi, areal HTI dan areal perkebunan kelapa sawit sebelumnya adalah
merupakan kawasan hutan sebagai ruang hidup Orang Rimba. Pada saat
dimulainya pembukaan kawasan hutan oleh perusahaan HPH pada pertengahan
tahun 1970-an sebenarnya telah mulai terjadi pengurangan dan tekanan terhadap
wilayah kehidupan Orang Rimba, karena banyak pohon dan wilayah hutan yang
memiliki fungsi sosial, budaya dan ekonomi bagi masyarakat adat Orang Rimba
yang hilang.

10
Op.Cit.Balai TNBD, 2007

Universitas Indonesia
58

Sumber Peta : KKI-WARSI


Gambar 4.3. Karakteristik Daerah Penyangga Kawasan TNBD

Tekanan terhadap ruang hidup dan kehidupan Orang Rimba semakin


besar sejak adanya pembangunan kawasan pemukiman transmigrasi pada tahun
1984, dan pembukaan areal lahan perkebunan besar oleh pihak swasta yang
dimulai pada akhir tahun 1990-an dan awal tahun 2000-an. Adanya tekanan
tersebut terlihat dari ungkapan beberapa informan seperti : “setelah pindah tempat
dipinggiran Bukit 12 ini makanya hidup kami serasa makin susah karena tempat
mencari damar, rotan, tempat berburu sudah jadi kotalah istilahnya”, “hidup jadi
susah kalau dulu trans tidak ada tempat hidup itu senang..kalau sekarang cari ikan
satu ekor susahnya setengah mati”, “sekarang hutan kami sudah sempit oleh
pembukaan trans...rotan, damar kami sudah habis jelas kami terganggu”.11

4.1.2. Orang Rimba dan Taman Nasional Bukit Dua Belas.


4.1.2.1. TNBD Sebagai Ruang Hidup Orang Rimba

11
Hasil Wawancara dengan TR dan NG, 19 dan 29 Nopember 2009.

Universitas Indonesia
59

Keberadaan Orang Rimba di kawasan hutan Bukit Dua Belas, jauh lebih
dulu sebelum kawasan tersebut dijadikan sebagai kawasan konservasi. Orang
Rimba sudah mendiami hutan-hutan di Sumatera Tengah selama beberapa abad
hal ini dapat dilihat dari berbagai tulisan (Forbes 1884: 124, Van Dongen,1850;
Damsté 1901: 281-284 dalam Weintré, 2003). Sejak ratusan tahun lalu, paling
tidak sejak tahun 1500-an sesuai catatan para penjelajah eropa, Orang Rimba telah
melakukan hubungan dagang dan menjalin hubungan kekuasaan dengan kerajaan
Jambi. Orang Rimba membayar upeti (jajah) kepada kerajaan berupa barang yang
bisa didagangkan dan hasil kerajinan agar keberadaan Orang Rimba diakui dan
tidak diusik.12

Sumber Photo : Johan Weintre

Gambar 4.4. Photo Kelompok Orang Rimba TNBD Tahun 1915

Kawasan hutan Bukit Dua Belas pertama sekali ditetapkan sebagai


kawasan konservasi pada tahun 1987 melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan
No.461/Kpts-II/1987 tanggal 12 Pebruari 1987, dalam surat keputusan penetapan
Cagar Biosfer (CB) tersebut salah satu pertimbangan penetapan kawasan adalah
bahwa kawasan tersebut untuk melindungi kehidupan Orang Rimba.
Status kawasan konservasi Cagar Biosfer Bukit Dua Belas kemudian
dirubah menjadi kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) pada tahun

12
Lebih jauh lihat http://www.goodreads.com/story/show/2412.Orang_Rimba
Menantang_Zaman Achmanto Mendatu diakses 16 Oktober 2009 11.00 WIB.

Universitas Indonesia
60

2000 melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor :


258/Kpts-II/2000 tanggal 23 Agustus 2000, salah satu tujuan penetapan kawasan
Taman Nasional Bukit Dua Belas secara khusus adalah melindungi dan
melestarikan tempat kehidupan dan budaya Orang Rimba (Suku Anak Dalam)
yang sejak lama berada di Kawasan TNBD.13
Peningkatan status kawasan cagar biosfer menjadi taman nasional, salah
satu faktor yang mendorong adalah adanya usulan forum LSM lingkungan di
Provinsi Jambi yang tergabung dalam Forum Penyelamat Hutan Jambi(FPHJ)
yang dimotori oleh KKI-WARSI sebagai LSM yang telah melakukan kegiatan
konservasi dan pengembangan masyarakat adat Orang Rimba di kawasan Bukit
Dua Belas kepada Menteri Kehutanan untuk memperluas kawasan konservasi
Cagar Biosfer. Ide perluasan Cagar Biosfer dilatar belakangi dari hasil identifikasi
wilayah kehidupan Orang Rimba oleh KKI-WARSI yang menunjukkan bahwa
sebenarnya sebagian besar aktivitas kehidupan mereka berada di kawasan Hutan
Produksi Terbatas, kawasan Hutan Produksi Tetap serta kawasan hutan sekunder
yang tersisa diluar kawasan hutan Cagar Biosfer.
Hasil sejumlah wawancara mendalam menunujukkan bahwa di wilayah
hutan yang dikelola HPH dan wilayah pemukiman transmigrasi tersebut terdapat
tanah kelahiran (tano peranokon), tanah pemakaman (tano pasohon) dan lahan
pohon buah-buahan (banuaron) yang telah di tanam oleh nenek moyang mereka.14
Penetapan kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas pada hakikatnya
adalah sebagai upaya untuk melindungi kawasan hidup dan kehidupan Orang
Rimba yang tengah mengalami berbagai tekanan dari kegiatan perusahaan swasta
di bidang kehutanan dan perkebunan serta pembangunan kawasan pemukiman
transmigrasi. Selain itu tujuan khusus penetapan kawasan TNBD lainnya adalah
melindungi, memelihara, memperbaiki dan melestarikan kawasan Hutan Hujan
Tropika Dataran Rendah yang memiliki keanekaragaman flora, fauna dan
ekosistem yang tinggi dari ancaman kepunahan.
Kawasan hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas merupakan kawasan
yang sangat penting untuk menjamin kelangsungan kehidupan komunitas adat

13
Op.Cit. Balai TNBD, 2007.
14
Op.Cit Wawancara dengan TR dan NG.

Universitas Indonesia
61

Orang Rimba, dikarenakan kawasan hutan ini merupakan satu-satunya sumber


kehidupan mereka. Meskipun sudah ada beberapa “rombong” (kelompok) yang
sudah tinggal menetap diluar kawasan hutan tetapi sumber matapencaharian
mereka masih tergantung pada Hasil Hutan Non Kayu (HHNK) dan aktivitas
berburu dari kawasan hutan TNBD. Bagi kelompok yang sudah bediom tinggal di
hutan masih lebih baik karena tidak memerlukan uang dalam memenuhi
kebutuhan hidup, hal ini dapat disimpulkan dari ungkapan beberapa informan
sebagai berikut : “masih lapang (lebih baik) dirimba, diluar ini semua harus beli
tapi kalau dirimba tidak”, “kadang masuk ke rimbo gara-gara ekonomi tidak
terjamin”.15
Kawasan hutan TNBD bagi orang rimba merupakan benteng terakhir bagi
mereka untuk melanjutkan kehidupan. Setelah sebagian kawasan hutan yang
sebelumnya menjadi ruang hidup mereka di jadikan areal perkebunan, areal HTI
dan areal pemukiman transmigrasi mereka akhirnya menyingkir ke arah lebih
dalam yaitu kawasan hutan TNBD. Hasil wawancara mendalam dengan beberapa
informan Orang Rimba kawasan hutan TNBD merupakan satu-satunya harapan
bagi kelanjutan hidup anak cucu mereka.16
Hutan bagi Orang Rimba adalah seluruh hidup mereka, selain sebagai
tempat tinggal hutan memiliki fungsi sosial, budaya dan ekonomi bagi Orang
Rimba. Orang Rimba memanfaatkan seluruh ruang hutan bagi kehidupan. Filosofi
hidup mereka pun bersumber pada kehidupan hutan. Bagi Orang Rimba di
kawasan TNBD memang terjadi dua pandangan mengenai kelangsungan hidup
mereka di dalam hutan, sebagian mereka akan tetap bertahan sementara sebagian
yang lain sudah mulai berpikir untuk menetap diluar hutan, seperti ungkapan
informan berikut ini :
“Selagi ado rimbo tetap hidup dirimbo karena kito nak ninggalkan adat
dirimbo itu dak bisa nian sejak terlahir dari nenek moyang kami sampai
sekarang ini kami hidup di rimbo adat yang dipakai adat rimba. Jadi selagi
ada hutan tetap memakai adat rimba”

15
Hasil Wawancara dengan MD dan SM, 1 Desember 2009.
16
Hasil Wawancara dengan TR, NG, MB, BT, 19, 29 Nopember dan 9 Desember 2009.

Universitas Indonesia
62

Sumber Peta : KKI-WARSI

Gambar 4.5. Peta Sebaran Kelompok Orang Rimba di TNBD

Pernyataan diatas mewakili kelompok yang masih ingin menetap di dalam


hutan, pertimbangan mereka adalah keterikatan akan tradisi budaya nenek
moyang mereka. Tetapi lain hanlnya dengan Orang Rimba yang telah sering
berinteraksi dengan warga desa dan masyarakat luar, terutama bagi individu yang
telah memiliki tingkat ekonomi yang baik, mereka sudah berpikir untuk dapat
menetap diluar, kelompok ini juga di dukung oleh kalangan anak-anak remaja
yang interkaksinya dengan masyarakat luar sudah begitu tinggi. Sikap ini terlihat
dari ungkapan informan sebagai berikut :
“Sebenarnya tergantung dengan orangnya jugo, bagi orang yang punya
pengalaman di rimba tetap masih dirimba, tapi kalau orang yang telah
melepas adat di rimba akan hidup diluar. Kami orang rimba kalau ada
orang 100, paling orang 20-30 yang masih dirimba yang lain sudah keluar
semua. Orang Air Panas semuanya Orang Rimbo, orang Singosari
semuanyo Orang Rimbo, mereka lebih senang diluar”.

Universitas Indonesia
63

4.1.2.2 Karakteristik Rombong Orang Rimba


Orang Rimba yang hidup secara berkelompok dalam rombong terus
diterpa oleh proses perubahan sosial yang disebabkan berbagai pengaruh
perubahan lingkungan hidupnya baik fisik, sosial budaya, ekonomi bahkan politik.
Dalam menghadapi proses perubahan sosial itu setiap rombong menyikapi atau
melakukan adaptasi secara berbeda. Pola adaptasi terhadap perubahan lingkungan
sekitarnya berpengaruh pada sikap dan perilaku anggota rombong dan akhirnya
menjadi sikap dan perilaku rombong dalam menghadapi perubahan yang ada.
Berdasarkan sikap dan perilaku, dan kemampuan adaptasi rombong dalam
menghadapi perubahan lingkungan hidupnya Orang Rimba dapat dibagi dalam
beberapa kelompok karakter berdasarkan bentuk interaksi sosial, sumber
matapencaharian, konsistensi dan komitmen pada adat-istiadat, ketergantungan
terhadap hutan, dan lokasi pemukiman dapat dibedakan menjadi karakter
kelompok sebagai berikut17 :
1. Kelompok Tradisional, kelompok ini yang
masih sangat ajeg dan sangat kuat
mempertahankan adat-istiadat dan norma
sosial Orang Rimba, kelompok ini sangat
jarang melakukan interaksi dengan orang
luar dan warga desa, lokasi pemukiman
terletak jauh ditengah kawasan TNBD.
Sumber matapencaharian sangat tergantung
Sumber Photo : KKI-WARSI
dengan berburu dan meramu HHNK,
Gbr. 4.6.
rombong akan tetap bermukim di dalam Kelompok OR Tradisional
Mencari Ikan
hutan selamanya. Jumlah mereka saat ini
hanya sebagian kecil hanya 3-5 kelompok kecil dengan jumlah anggota
keluarga 15-20 kepala keluarga.

17
Hasil Wawancara dengan RD, NG, HH, dan TR, 12 Oktober, 16, 21,29 Nopember ,2009.

Universitas Indonesia
64

2. Kelompok Transisi, kelompok ini sedang mengalami proses adaptasi dengan


berbagai pengaruh dari luar, interaksi
dengan masyarakat luar sangat intensif
baik untuk keperluan ekonomi, sosial,
dan politik, anggota rombong sebagian
masih bermukim di dalam hutan, sudah
mengenal barang sekunder seperti HP,
motor, arloji, senjata rakit (kecepek),
sumber matapencaharian berburu, meramu
dan berkebun karet di hutan dan
Sumber Photo : www.film4.org
dipasarkan keluar, kepatuhan terhadap
Gbr. 4.7. Kelompok Transisi
norma dan adat-istiadat sudah mulai
longgar. Anggota rombong ada yang ingin menetap diluar dan ada juga yang
menginginkan tetap hidup di hutan selamanya. Sebagian besar Orang Rimba
di kawasan TNBD ada dalam kelompok ini.
3. Kelompok Pengembara, kelompok ini memilih tinggal di kebun-kebun sawit
dan karet milik warga desa atau
perusahaan, mobilitas berpindah-pindah
tinggi, tidak memiliki lahan, tidak memiliki
pekerjaan tetap, ada yang menjadi
pengemis, masih berburu, potensi konflik
dengan warga desa dan perusahaan cukup
tinggi karena memungut berondolan dan
mencari hasil kebun warga, komitmen
kepada adat istiadat sudah longgar bahkan Sumber Photo : KKI-WARSI

sudah mulai dilupakan, tidak memiliki Gbr. 4.8.


Kelompok Pengembara di HTI
akses terhadap hutan, tidak terdaftar secara
administratif sebagai penduduk desa. Kelompok ini secara ekonomi, sosial
dan budaya paling marjinal dari kelompok lainnya.
4. Kelompok Bediom, kelompok ini sudah bertempat tinggal di luar kawasan
hutan, sumber matapencaharian masih tergantung pada HHNK, sumber
pendapatan diluar dari bekerja sebagai buruh harian membersihkan kebun

Universitas Indonesia
65

warga desa dan perusahaan, kaum perempuan dan anak-anak mengumpulkan


berondolan (buah sawit matang yang jatuh ke tanah), beberapa orang bekerja
sebagai satpam di perusahaan sawit, sebagian besar kondisi ekonomi anggota
sangat marjinal termasuk kelompok miskin
karena tidak memiliki lahan kebun dan
pekerjaan tetap. Sudah memeluk agama
(Islam dan Kristen) Anggota rombong ada
yang berpikir tetap bertahan diluar hutan,
namun masih ada anggota yang berpikir
akan balik kehutan bila kondisi ekonomi
mereka semakin sulit, sebagian besar
tinggal di lokasi perumahan dari program Sumber Photo : Koleksi Pribadi
bantuan pemerintah (KEMENSOS RI dan Gbr.4.9.
Kelompok Bediom
KPDT).
3. Kelompok Berkampung, kelompok ini sudah menetap di desa, mulai
membangun rumah sendiri, berkebun karet atau sawit, interaksi dengan warga
desa baik walaupun masih ada steorotipe warga desa, sudah memakai adat-
istiadat melayu umumnya, telah memeluk agama, sudah terdaftar sebagai
warga desa, kondisi ekonomi relatif mapan.

4.1.2.3. Sejarah Asal Usul Orang Rimba


Studi orang Rimba pernah dilakukan oleh Johan Weintré pada komunitas
orang Rimba di wilayah Taman Nasional Bukit Dua Belas., tujuan penelitiannya
untuk mengetahui sejarah asal-usul dan prasejarah kawasan/wilayah hidup orang
Kubu dan orang Rimba, memahami budaya, tindakan dan filosofi masyarakat
orang Rimba, serta untuk mengetahui mengenai konsep atau pola pikir dan
kosmos orang Rimba dan keinginan mereka pada masa depan.
Hasil penelitiannya Weintre menunjukkan sejarah asal usul orang Rimba
yang memiliki tiga versi yaitu versi pertama, berdasarkan tulisan antropologi
Belanda diantaranya adalah Forbes yang pernah menulis tentang orang Rimba.
Forbes menggambarkan menurut cerita yang dia dengar, orang Rimba berasal dari

Universitas Indonesia
66

keturunan dari saudara termuda yang tidak disunat, sebab di sekitarnya tidak ada
alat yang cukup tajam untuk melakukan penyunatan. Pemuda merasa malu,
sehingga dia mengungsi ke hutan dan berpisah dari kelompoknya serta dua
saudara laki-lakinya yang sudah disunat. Menurut mitologi orang Kubu Sumatra
tengah mereka memang keturunan dari saudara yang mengungsi ke hutan (Forbes
1884: 124).
Versi kedua orang Kubu menceritakan kepada Van Dongen bahwa mereka
keturunan dari pasangan saudara dan saudari kapal bajak, yang dilepaskan oleh
nahkoda waktu perempuan itu hamil muda di kapal. Mereka diturunkan di pantai
hulu sungai di Sumatera. Pasangan tersebut memiliki banyak anak dan
membangun kampung Ulu Kepajang dekat dusun Penamping di sungai Lalan.
Menurut pendapat van Dongen Kubu atau ngubu artinya hutan. Masih ada banyak
orang Kubu yang tinggal sekitar lokasi Ulu Kepajang. (Van Dongen, 1850).
Versi ketiga, mitos mengenai garis keturunan orang Kubu yang diceritakan
kepada Damsté oleh kepala laras Datoeq Padoeko Soetan yang ceritanya berikut
ini: Konon peristiwa pada waktu lampau Daulat yang dipertuan dari Pagaruyung
duduk di batu di pinggir sungai setelah dia sholat. Dia masukkan sirih ke dalam
mulut, kemudian dia mengeluarkannya, selanjutnya batu yang dia duduki bergerak
dan dia sadar bahwa sebenarnya dia duduk di atas kura-kura besar yang ada di
sungai. Dengan kekuasaan Allah, kura-kura tersebut bunting dan melahirkan anak
manusia laki-laki, sebab kura-kura menelan sirih yang dikeluarkan oleh raja. Tiap
hari beberapa anak kampung bermain di sungai dan anak manusia laki-laki itu ikut
bermain dengan mereka. Setelah bosan bermain, anak manusia kura-kura itu
pulang ke ibunya.
Kabar mengenai anak kura-kura didengar raja kemudian raja menyuruh
mencari anak tersebut supaya dibawa ke istananya. Raja Pagaruyung bertanya
kepada anak siapa bapaknya. Anak langsung menujuk kepada raja, dia sangat
heran dan bertanya kepada anak tersebut bagaimana dia menjadi bapak anak kura-
kura. Anak tersebut menjawab bahwa menurut ibunya, waktu raja duduk
diatasnya dan mengeluarkan sirihnya yang ditelan ibunya, dia langsung hamil dan
melahirkan dia. Raja berpikir beberapa saat dan berkata bahwa sebetulnya anak

Universitas Indonesia
67

itu benar dan peristiwa itu terjadi. Lalu raja mengumumkan kepada rakyat bahwa
anak tersebut, yang ibunya tenggelam waktu bajir, adalah benar-benar anaknya.
Beberapa tahun kemudian, raja Daulat yang dipertuan dari Pagaruyung,
menjelaskan kepada kepala daerah, bahwa anaknya akan menjadi raja negeri dari
kota Tujuh, Sembilan Kota, Pitajin Muara Sebo, Sembilan Lurah sampai daerah
terpencil Jambi. Mereka semua senang, tetapi pada waktu singkat mereka
mendapat kabar bahwa anak tersebut adalah keturunan dari kura-kura. Setelah
mereka tahu asal usul raja, mereka tidak setuju dan tidak menerima raja yang
berketurunan kura-kura sebagai rajamereka. Lalu mereka menyingkir ke hutan
dan hidup disana. Itu cerita sejarah orang Kubu (Damsté 1901: 281-284).
Versi lain mengenai asal muasal keturunan Orang Rimba dari hasil
wawancara dengan informan mengenai asal-usul Orang Rimba di kawasan hutan
Bukit Dua Belas terungkap ketika peneliti menanyakan tentang asal mula institusi
lembaga Waris dan Jenang. Menurut Orang Rimba Waris yang berada di desa atau
kampung adalah memiliki ikatan keturunan yang sama yaitu berasal dari buah
gelumpang yang terdiri dari tiga bersaudara. Satu perempuan dan dua laki-laki. Saudara
yang laki-laki memilih tinggal di dusun sedangkan yg perempuan tetap di dalam hutan.
Satu orang saudara laki-laki tinggal di Desa Tanah Garo disebut Pangkal Waris
sedangkan yg satu orang lagi tinggal di Desa Paku Aji disebut Ujung Waris.18
Menurut Weintre (2001) kebudayaan orang Rimba selalu dipengaruhi oleh
perubahan pola pikir individu dan input perubahan dari luar, artinya budaya orang
asing. Sejak lama orang Rimba disamping sebagai hunters and gatherers juga
terlibat perniagaan untuk memenuhi kebutuhannya, seperti alat dapur serta pisau
dan tombak. Kelihatannya bahwa membayar upeti (tribute), ke kerajaan atau tukar
barang kepada pengantar atau pedagang, supaya orang Terang dari hilir sungai
tidak perlu masuk dan mengganggu orang Rimba di kawasan tradisional.
Sistem kekerabatan orang Rimba adalah matrilineal yang sama dengan
sistem kekerabatan budaya Minangkabau. Tempat hidup pasca pernikahan adalah
uxorilokal, artinya saudara perempuan tetap tinggal didalam satu pekarangan

18
Hasil Wawancara dengan SR 17 Des 2009.

Universitas Indonesia
68

sebagai sebuah keluarga luas uxorilokal. Sedangkan saudara laki-laki dari


keluarga luas tersebut harus mencari istri diluar pekarangan tempat tinggal.

4.1.3. Demografi Orang Rimba


Data demografi Orang Rimba yang akurat memang tidak mudah diperoleh
karena tingginya mobilitas kelompok berpindah lokasi pemukiman karena
perilaku hidup Orang Rimba yang nomaden. Ada 3 faktor yang menyebabkan
Orang Rimba berperilaku nomaden yaitu : (1) adanya budaya melangun; (2)
aktifitas membuka ladang baru; (3) menghindar dari ancaman musuh atau lawan.
Disamping perilaku nomaden, yang juga mempengaruhi sulitnya pendataan
demografi Orang Rimba adalah adanya tabu dalam norma adat Orang Rimba yang
tidak boleh menghitung jumlah anggota rombong dikarenakan bisa terkena sial.19
Sehingga jika pendataan dilakukan dengan menanyakan jumlah anggota
kelompok pada Informan Orang Rimba, maka informasinya cukup diragukan
keakuratannya.
Berikut ini disajikan data demografi yang berhasil dikumpulkan dari
berbagai sumber baik hasil survey dan laporan penelitian yang dilakukan oleh
pihak LSM dan peneliti, serta data informasi langsung dari Orang Rimba yang
berhasil dicatat. Berdasarkan informasi yang diberikan oleh tokoh tokoh
masyarakat Orang Rimba pada pertemuan adat dikota Bangko bulan April 2006,
paling sedikit terdapat 59 rombong atau kelompok Orang Rimba yang hidup di
kawasan hutan Bukit 12. Diantara 59 rombong tersebut, beberapa ada yang mulai
hidup dan menyatukan diri dengan kehidupan desa di sekitarnya.
Secara rinci wilayah dan rombong Orang Rimba di kawasan TNBD terbagi
atas : Wilayah Air Hitam terdiri dari 13 rombong yaitu Ninjo, Temenggung
Segrip, Mlara, Betaring, Nyujut, Tumenggung Tarib, Tumenggung Mbiring,
Tumenggung Majid, Nyurung, Ngerak, Melapak, Perusik, dan Laman. Wilayah
Kejasung Besar terdiri dari 4 rombong yaitu Meladang, Ngamal Celitai, Bepak
Celitai. Wilayah Kejasung Kecil terdiri dari 6 rombong yaitu Ngelisau,
Tumenggung Kecik, Nyenong, Mulung, Besulit, dan Nekan. Wilayah Sungai

19
Op.Cit. Wawancara dengan TR.

Universitas Indonesia
69

Terap terdiri dari 4 rombong yaitu Marituha, Nyamping, Mlino, Tampung, dan
Pelida.
Wilayah Makekal Hulu terdiri dari 22 rombong yaitu Tumenggung Mirak,
Beramal, Bepak Kluhu, Setapak, Bepak Nulis, Bepak Ternong Bepak Belajar
Nyejuk Pengusai Tengganai langkap Depati Begaji Bepak Marak Begangso
Bepak Berambu Tengganai Ngembar Bepak Nguncang Bepak Bedayung
Tumenggung Bayu Pembebar Gaek patoh Bepak Besadu Bepak Ketalo. Wilayah
Makekal Hilir terdiri dari 10 rombong yaitu terdiri dari Tumenggung Ngukir,
Bepak Bepiun, Kepalo Adat, Wakil Mentiko, Depati Nangkabah, Depati
Pengelam, Depati Laman Senjo, Bepak Bekatar, Wakil Tuha Pelindung, dan
Wakil Ngadap. 20
Berdasarkan pendataan LSM Warsi pada tahun 2002 menyebutkan, yang
bermukim di TNBD ada sebanyak 1.300 jiwa, di TNBT 364 jiwa dan di sepanjang
jalan Lintas Sumatera 1.259 jiwa, sehingga jumlah keseluruhan 2.923 jiwa.
Sedangkan hasil pendataan KKI Warsi tahun 2008 menyebutkan, jumlah Orang
Rimba di TNBD tetap 1.300 jiwa, di TNBT 434 jiwa dan di sepanjang jalan
Lintas Sumatera sebanyak 1.375 jiwa. Jumlah keseluruhan 3.109 jiwa. Artinya,
hanya ada pertambahan 186 jiwa sejak tujuh tahun terakhir.21
Data populasi Orang Rimba tahun 2009 dikawasan TNBD berdasarkan
pendataan dalam laporan penelitian berjumlah 263 KK dengan jumlah jiwa
sebanyak 971.22 Data ini diperoleh berdasarkan informasi dari para Temenggung
yang di data oleh peneliti. Secara lebih rinci dapat dilahat pada Tabel 4.1.

20
Pengendum dan KOPERHAM, Jejak Langkah Orang Rimba, 2006.
21
http://oase.kompas.com/read/xml/2009/03/18/0136059/kesehatan.orang.rimbaterancam di
download pada tanggal 21 Juli 2009 13.38 Wib.
22
Karno Sasmita, Etnoekologi Perladangan Orang Rimba, Tesis Sekolah Pascasarjana Ilmu
Kehutanan UGM,2009.

Universitas Indonesia
70

Tabel 4.1.
Data Demografi Orang Rimba di Kawasan TNBD Tahun 2009
Jumlah Jumlah
No. Kelompok Keterangan
KK Jiwa
1 Temenggung Tarib 20 97
2 Temenggung Grib 56 260
3 Temenggung Din 12 69
4 Temenggung Marituha 30 144
5 Temenggung Majid 17 70
6 Air Panas 40 112
7 Singosari 12 47
8 Temenggung Ngukir 34 128 Belum terdata semua
9 Temenggung Celitay 42 144 Belum terdata semua
1 kelompok temenggung
Jumlah 263 971
belum terdata
Sumber : Karno Sasmita, 2009.

Data demografi Orang Rimba selanjutnya diperoleh dari Dinas


Kesejahteraan Sosial dan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat
(KESOS dan KESBANGLINMAS) Kabupaten Sarolangun yang berhasil
melakukan pendataan Komunitas Adat Terpencil (KAT) istilah DEPSOS terhadap
masyarakat adat Orang Rimba berdasarkan kelompok yang tersebar dalam
wilayah kecamatan Kabupaten Sarolangun. Hasil pendataan tercatat total jumlah
sebanyak 407 Kepala Keluarga dengan jumlah jiwa sebanyak 1.830. Secara rinci
dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Berdasarkan data berbagai pihak yang telah disajikan dapat disimpulkan
bahwa populasi terbesar Orang Rimba terdapat di kawasan hutan Taman Nasional
Bukit Dua Belas, besarnya populasi Orang Rimba dikawasan tersebut disebabkan
masih relatif tingginya ketersediaan sumber-sumber kehidupan bagi Orang Rimba
seperti rotan, getah, jernang, kayu dan buah-buahan, hal ini diperkuat dari
informasi cerita sejarah asal-usulnya Orang Rimba bahwa mereka bermukim di
kawasan hutan TNBD. Air Hitam Tanah Berajo Bejenang, Pangkal Waris di
Tanah Garo dan Ujung Waris di Serengam, saat ini wilayah tersebut dikenal
menjadi wilayah pemukiman 3 kelompok besar komunitas adat Orang Rimba
yaitu Makekal, Kejasung dan Air Hitam.

Universitas Indonesia
71

Data demografi Orang Rimba yang tersedia hanya sebatas pada jumlah
Kepala Keluarga (KK) dan jumlah jiwa tidak diperoleh data berdasarkan jenis
kelamin, dan kelompok usia. Hal ini cukup menyulitkan dalam proses pembuatan
perencanaan program yang memiliki sasaran kelompok perempuan dan anak-anak
khususnya usia balita dan usia sekolah.
Tabel 4.2.
Data Komunitas Adat Terpencil (KAT) di Kabupaten Sarolangun Thn.2007
Jumlah Jumlah
No. Kecamatan Desa Lokasi
KK Jiwa
1. Bathin VIII Tanjung Sei. Pelakar 20 85
Pulau Lintang Sei. Surian 20 83
2. Pelawan Singkut Lubuk Sepuh Sei. Pingai 35 145
3. Pauh Sepintun Sei. Telisik 105 396
4. Air Hitam Pematang Kabau Singo Sari 35 165
Paku Aji 40 187
Bukit Suban Air Panas 50 270
Punti Kayu 41 216
5. Limun Lubuk Bedorong Renah Manas 25 135
Sei. Sipa 16 66
6. Cerminan Gedang Kampung Tujuh Sikamis 20 88
Jumlah 8 11 407 1.830
Sumber : Dinas Kesos dan Kesbanglinmas Kabupaten Sarolangun.

4.2. Karakteristik Sosial, Budaya, dan Ekonomi Orang Rimba


4.2.1. Struktur Sosial Orang Rimba
Dalam melihat struktur sosial Orang Rimba yang menjadi acuan adalah
organisasi sosial dan struktur sosial dalam pengertian jalinan antara unsur-unsur
sosial yang pokok yaitu kaidah-kaidah atau norma-norma sosial, lembaga-
lembaga sosial, kelompok-kelompok sosial serta lapisan-lapisan sosial. Hal ini
mengacu pada konsep struktur sosial yang dikemukakan Oleh Soerjono Soekanto
yang melihat unsur-unsur pokok dari struktur sosial suatu masyarakat terdiri dari :
kelompok sosial, lembaga sosial atau institusi sosial, kaidah atau norma sosial dan
lapisan atau stratifikasi sosial.23

23
Soleman B. Taneko, Struktur dan Proses Sosial Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan. CV.
Rajawali, Jakarta, 1984.

Universitas Indonesia
72

4.2.1.1. Organisasi dan Kelompok Sosial Orang Rimba


Orang Rimba selalu hidup dalam kelompok (rombong), anggota kelompok
terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki ikatan kekerabatan melalui
keturunan dan hasil perkawinan. Contohnya anggota rombong terdiri dari Orang
tua, anak, menantu, saudara, ipar dan besan. Dalam kelompok terdiri dari
keluarga inti dan keluarga luas, masing-masing keluarga memiliki rumah
tersendiri dalam wilayah pemukiman dan memiliki ikatan emosional yang kuat
dikarena mereka masih memiliki ikatan kekerabatan. Secara teori rombong dalam
masyarakat adat Orang Rimba dapat dikatakan sebagai kelompok sosial.24

Sumber Photo : http://matanews.com


Gambar 4.10.
Orang Rimba selalu hidup secara Kelompok (Rombong)

Rombong Orang Rimba dapat dikatakan sebagai kelompok sosial karena


memenuhi persyaratan ciri-ciri kelompok sosial antara lain adanya hubungan
timbal balik secara sadar antara individu anggota kelompok dalam memenuhi
kebutuhan baik fisik dan non fisik, seluruh anggota memiliki kepercayaan yang
sama, hal terpenting dari ciri kelompok sosial adalah seluruh anggota meyakini
dan mematuhi norma dan nilai yang disepakati bersama oleh setiap individu
anggota kelompok. Ciri ini ada pada kelompok atau rombong Orang Rimba.
Orang Rimba hidup secara berkelompok atau rombong yang terdiri dari
beberapa keluarga luas atau pesaken. Setiap kelompok besar diketuai oleh seorang

24
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Edisi 4, CV. Rajawali-Jakarta, 1990.

Universitas Indonesia
73

Temenggung. Orang Rimba di mendiami Kawasan TNBD terbagi menjadi tiga


kelompok besar yaitu Kelompok Air Hitam, Kelompok Makekal dan Kelompok
Kejasung. Pembagian kelompok besar berdasarkan wilayah pemukiman dan ruang
hidup kelompok yang selalu bermukim di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS)
dan aliran anak-anak sungai (Sub-DAS). Jadi pembagian kelompok tersebut
berdasarkan nama-nama sungai yaitu Sungai Air Hitam di bagian Selatan TNBD,
Sungai Makekal di bagian Barat TNBD dan Sungai Kejasung di bagian Timur
TNBD.
Orang Rimba mempunyai oraganisasi sosial kepengurusan hidup di dalam
kelompok yang dikenal dengan pengulu. Pengulu merupakan organisasi sosial
yang bertugas mengurus dan memimpin kehidupan Orang Rimba. Susunan
penghulu di masyarakat adat Orang Rimba terdiri dari, Temenggung, Wakil
Temenggung, Depati, Mangku, Menti, Dubalang Batin (Hulu Balang) dan Anak
Dalam. Dalam adat masyarakat Orang Rimba dikenal dengan “empat diatas yaitu
Temenggung, Wakil Temenggung, Mangku dan Depati.
Masing-masing memiliki peran dan tugas sesuai dengan tingkat
kepemimpinan di dalam kelompok.25 Meskipun berposisi pemimpin, mereka
tidak bisa dianggap menduduki lapisan sosial tertinggi, hal ini dikarenakan
stratifikasi sosial di masyarakat adat Orang Rimba tidak terlalu besar. Posisi
mereka secara sosial relatif setara saja dengan yang lainnya. Tidak banyak
keistimewaan yang mereka miliki. Paling-paling mereka berhak untuk mendapat
bagian bila suatu denda dijatuhkan kepada pelanggar adat. Mereka bahkan akan
didenda dua kali lipat bila melakukan pelanggaran karena dianggap lebih faham
dengan aturan adat. Di luar institusi pengulu terdapat tengganai dan malim yang
memiliki posisi relatif sama kuat dengan temenggung tetapi mengurusi urusan
khusus.
Temenggung adalah ketua kelompok, kedudukannya paling tinggi di
pemerintahan, tugas utama seorang Tumenggung adalah memastikan dipatuhinya
hukum adat oleh anggota-anggota rombongnya dan menyelesaikan perselisihan

25
Hasil wawancara dengan SR, 17 Desember 2009.

Universitas Indonesia
74

sesama Orang Rimba maupun antara Orang


Rimba dengan orang luar dan mewakili
Orang Rimba kelompoknya dalam setiap
forum. Temenggung memiliki kewenangan
memberikan izin bagi siapapun yang mau
masuk dan berinteraksi dengan Orang Rimba
dan memberikan sanksi atau dendan adat
bagi para pelanggar adat baik itu Orang
Sumber Photo : Koleksi Pribadi
Rimba maupun Orang Terang. Wakil
Gbr.4.11.
Temenggung tugasnya sama dengan Peneliti dan Pak Temenggung Tarib
Air Hitam
Temenggung, bertugas ketika Temenggung tidak hadir atau berhalangan.
Kedudukan Temenggung dalam masyarakat Orang Rimba selain harus
memenuhi persyaratan tertentu, faktor lain yang menentukan adalah hubungan
garis keturunan. Jabatan Temenggung biasanya selalu diturunkan kepada anak
laki-laki di dalam keluarga, apabila seorang Temenggung tidak mempunyai anak
laki-laki dia dapat mewariskan jabatan temenggungnya kepada menantu lak-laki
dari anak perempuan yang tertua.
Peran temenggung terhadap kelompok pada zaman dahulu sangat kuat,
misalnya jika ada permasalahan di kelompok maka berkumpul beberapa depati
dan satu wakil temenggung, antara depati dan wakil temenggung tidak bisa
menyelesaikan masalah sebelum temenggung hadir jadi temenggung harus hadir
dalam memutuskan persoalan adat.26 Saat ini peran temenggung semakin
melemah terhadap kelompok, dikarenakan adanya pengaruh interaksi dengan
masyarakat luar yang frekwensinya semakin tinggi. Hal ini terungkap dari
wawancara dengan informan sebagai berikut :
“kalau dulu diseluruh kawasan Bukit 12 ada 3 temenggung yaitu satu di Air
Hitam, satu di Makekal dan satu di Kejasung. Tapi kalau sekarang sudah
ada 12 Temenggung.. tapi kalau sekarang ini pengaruhnya lebih banyak
sekali jadi makanya temenggungnya lebih banyak, mungkin seperti awak

26
Op Cit, Wawancara SR.

Universitas Indonesia
75

asli temenggung mungkin bapak bukan..tapi bapak ngaku-ngaku


27
temenggung nah begitulah sekarang ini”
“di Makekal Hilir ada 3 depati yang datang ke saya mereka ini sepakat
untuk mengganti temenggung mereka Ngukir, sebab apa mereka ingin
mengganti karena Ngukir sudah menjual lahan, takut nantinya..kalau
mereka bilang itu masyarakatnya sekarang sekarat..”28

Depati bertugas menangani kasus kasus yang berkaitan dengan hukum


adat. Kedudukan Depati berdasarkan aliran sungai dimana kelompok-kelompok
kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 keluarga. Satu Keluarga sering disebut juga
pesaken yang terdiri dari orang tua, anak dan menantu. Satu keluarga juga sering
disebut satu bubung. Bubung adalah sebutan bagi rumah orang rimba. Jadi depati
mengetuai dari beberapa kepala keluarga (pesaken) atau bubung.
Mangku adalah penegak adat
tugasnya menyelesaikan masalah
pelanggaran adat di dalam kelompok.
Tugas Mangku hampir sama dengan
Depati yaitu mengurus masalah-masalah
yang berkaitan dengan hukum. Bedanya
kasus kasus hukum yang ditangani oleh
Mangku biasanya lebih kecil bobotnya
Sumber Photo : Koleksi Pribadi
apabila dibandingkan dengan kasus-
Gbr.4.12.
kasus hukum yang ditangani oleh Betaring (Wakil Temenggung) & Besmen
(Mangku) adalah Pengulu Orang Rimba
seorang depati.
Menti bertugas meyampaikan informasi kepada seluruh anggota kelompok,
misalnya informasi untuk berkumpul pada waktu tertentu atau pesan-pesan
penting dari Temenggung dan para pengulu lainnya. Dalam bertugas seorang
menti bisa meminta bantuan kepada anak dalam. Debalang Batin atau Hulu

27
Op.Cit. Wawancara TR.
28
Ibid. Wawancara SR.

Universitas Indonesia
76

Balang bertugas menjaga stabilitas keamanan masyarakat, dia sering disebut


komandan perang Orang Rimba.
Selain institusi pengulu, ada dua institusi sosial lain yang juga cukup
penting yaitu Tengganai dan Malim (dukun), masing-masing bertugas
memberikan nasehat dan melayani anggota rombong dibidang masalah
kekeluargaan dan masalah spiritual.29 Tengganai bertugas sebagai penasehat
warga dalam urusan rumah tangga dan masalah hubungan antar anggota
kelompok rombong. Seorang tengganai pada saat saat tertentu bisa memberi
nasehat atau masukan pada Tumenggung disaat Tumenggung harus menghadapi
tugas yang sangat berat.
Tengganai merupakan para tetua atau orang tua di dalam kelompok Orang
Rimba, biasanya setelah menjabat sebagai temenggung orang tersebut biasanya
manjadi tengganai. Tengganai berperan dalam memberikan nasehat adat,
meredakan perselisihan di dalam kelompok dan berbagai persoalan keluarga
lainnya. Dalam bidang pengaturan adat-istiadat, tengganai memiliki peranan yang
lebih besar dan lebih tinggi daripada temenggung. Karena umumnya para
tengganai berumur lebih tua dan memiliki pengalaman yang banyak dan luas.
Fenomena mantan temenggung menjadi tengganai dan anaknya menjadi
temenggung memperkuat pendapat bahwa tengganai adalah jabatan yang lebih
bergengsi. Lagipula seorang tengganai memang dituntut untuk faham betul
persoalan adat.
Malim atau Alim adalah pemimpin spiritual Orang Rimba. Peran dan
pengaruhnya cukup besar. Dukun dipercaya dapat menyembuhkan penyakit dan
berhubungan dengan makhluk halus. Petunjuk seorang dukun, juga diperlukan
oleh warga yang akan membuka ladang. Malim adalah pemimpin dalam upacara
sale dalam perkawinan, kelahiran maupun kematian. Ia dipercaya sebagai orang
yang sanggup berhubungan dengan roh nenek moyang. Oleh karena itu malim
sangat dihormati.
Saat ini peran malim sebagai orang yang dapat mengobati penyakit
semakin berkurang dalam komunitas Orang Rimba, khususnya bagi kelompok

29
Muntholib Soetomo, Orang Rimbo: Kajian Struktural-Fungsional Masyarakat Terasing di
Makekal, Disertasi UNPAD, Bandung, 1995.

Universitas Indonesia
77

Orang Rimba di Air Panas, Air Hitam dan Singosari karena mereka sudah
mengenal pengobatan medis yang diperkenalkan oleh para pendamping atau
fasilitator lapangan LSM/NGO. Selain itu program Dinas Kesehatan Kabupaten
Sarolangun yang melaksanakan kegiatan Pos Yandu setiap bulan dan pelayanan
pengobatan gratis di Puskesmas Pematang Kabau dan Bukit Suban bagi Orang
Rimba juga menjadi faktor melemahnya peran malim dalam proses pengobatan di
kelompok Orang Rimba.

4.2.1.2. Institusi Sosial dan Norma Sosial Orang Rimba


Institusi Sosial 30 merupakan wujud abstrak dari suatu lembaga merupakan
sekumpulan norma-norma pengaturan perilaku dalam aktivitas kehidupan suatu
masyarakat. Selanjutnya Bertrand (1980)
mengemukakan institusi sosial pada
hakekatnya adalah kumpulan-kumpulan
dari norma-norma sosial (struktur sosial)
yang telah diciptakan untuk dapat
melaksanakan fungsi masyarakat.
Dalam masyarakat adat Orang
Rimba selain institusi atau lembaga sosial
pengulu, dikenal pula lembaga sosial
keluarga, perkawinan, berburu, berladang, Sumber Photo : www.peopleandplanet.net

religi atau agama dan pola pemanfaatan Gbr.4.13. Keluarga (pesaken) OR

hutan. Institusi sosial dalam masyarakat Orang Rimba belum banyak mengalami
perubahan terkecuali institusi berladang yang proses internalisasinya dipengaruhi
oleh orang terang sebagai dampak interaksi yang terjadi.
Secara teori fungsi keluarga dalam masyarakat adalah untuk
menyelesaikan tugas-tugas tertentu diantaranya adalah funsi sosialisasi, fungsi
afeksi dan fungsi perlindungan.31 Dalam aspek fungsi institusi keluarga, dalam
komunitas Orang Rimba adalah lemahnya fungsi perlindungan dan afeksi

30
Sugiyanto, Lembaga Sosial, Global Pustaka Utama-Yogyakarta, 2002.
31
Paul B. Horton dan Chester L.Hunt, Sosiologi, Edisi Keenam, Penerbit Erlangga-Jakarta, 1987.

Universitas Indonesia
78

keluarga terhadap anak. Hal ini terlihat dalam pemenuhan kebutuhan hidup, bagi
anak-anak Orang Rimba setelah mereka sudah bisa mengenakan cawot atau cawat
yang merupakan pakaian tradisional laki-laki Orang Rimba, maka si anak harus
mencari makanan sendiri. Dalam artian orang tua tidak begitu memiliki beban
untuk memenuhi kebutuhan makanan anak secara cukup layaknya keluarga biasa,
anak-anak harus mencari makanan sendiri dengan cara mencari umbi-umbian
hutan, berburu binatang atau mencari buah hutan yang dapat dimakan. Orang tua
hanya mengurus anak-anak yang masih berumur balita atau yang belum bisa
menggunakan cawot.
Lemahnya fungsi institusi keluarga ini berpengaruh pada proses kehidupan
anak, anak-anak remaja Orang Rimba sudah terbiasa pergi merantau
meninggalkan keluarga, mereka merantau ke desa-desa terdekat dari kawasan
hutan tempat mereka bermukim. Alasan mereka meninggalkan keluarga adalah
karena tersinggung tidak mendapatkan pembagian daging hasil buruan secara adil
dari orang tua, tidak jarang karena kemauan sendiri sebab di keluarga Orang
Rimba para orang tua tidak mempunyai beban pemikiran yang jauh akan masa
depan anak-anak mereka. Hal ini mungkin dikarenakan tuntutan kehidupan yang
masih sederhana. Lemahnya beberapa fungsi keluarga juga terlihat dari sulitnya
melakukan proses pendidikan bagi anak-anak Orang Rimba yang telah dilakukan
oleh pemerintah dan LSM terhadap anak-anak Orang Rimba di kawasan TNBD.
Hal ini dikuatkan dari beberapa infroman yang diwawancarai, misalnya
dalam proses pelaksanaan belajar secara alternatif di dalam rimba atau dalam
proses belajar disekolah formal. Dalam proses ini peran orang tua boleh dikatakan
belum maksimal untuk memberikan motivasi kepada anak agar dapat mengikuti
proses belajar atau bersekolah.32
Institusi sosial berburu, berladang dan pola pemanfaatan hutan yang
berlaku di masyarakat Orang Rimba memiliki kearifan terhadap kelestarian
sumberdaya alam yang berada di kawasan hutan TNBD. Institusi sosial ini perlu
dibangun untuk tujuan agar lebih efisien dan multiguna. Kearifan lokal yang
dimiliki komunitas Orang Rimba khususnya dalam hal pemanfaatan sumberdaya

32
Hasil Wawancara dengan RD dan AR, 17 Nopember 2009.

Universitas Indonesia
79

alam dapat dijadikan titik masuk dalam proses perencanaan pembangunan sosial
bagi Orang Rimba.
Kearifan lokal yang dimiliki oleh komunitas Orang Rimba perlu dikuatkan
agar tidak hilang atau melemah sebagai
dampak dari proses interaksi dengan
masyarakat luar atau Orang Terang. Tentunya
proses penguatan kearifan lokal ini harus
dilakukan dengan memperhatikan norma dan
nilai yang berlaku dalam komunitas Orang
Rimba agar tidak memberikan dampak negatif
terhadap nilai budaya yang dimiliki Orang
Rimba. Proses penguatan kearifan lokal ini Sumber Photo : Koleksi Pribadi

sejalan dengan pendapat Sugiyanto mengenai Gbr. 4.14


Pohon Tenggeris Anak
pembangunan lembaga sosial adalah suatu Didenda Adat Jika Ditebang

perspektif tentang perubahan sosial yang direncanakan dan didampingi.


Pembangunan lembaga sosial adalah perencanaan, penataan dan bimbingan dari
organisasi-organisasi baru atau yang disusun kembali yang menetapkan,
mengembangkan dan melindungi hubungan-hubungan normatif dan pola-pola
tindakan yang baru.33
Hal penting yang harus diperhatikan bahwa proses perubahan sosial yang
direncanakan bagi komunitas Orang Rimba perlu untuk didampingi dan
difasilitasi agar dapat berjalan sesuai dengan kondisi sosial budaya yang dimiliki
Orang Rimba.
Secara teori para sosiolog menjelaskan norma sosial menggunakan konsep
kebudayaan. Karena kebudayaan mengandung standar normatif untuk perilaku.
Secara khusus kebudayaan dapat dipandang sebagai cara hidup (way of life) yang
harus dipelajari dan diharapkan dan sama-sama harus diikuti oleh para warga
masyarakat tertentu atau para anggota dari suatu kelompok tertentu.34 Norma
sosial yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Orang Rimba dapat

33
Op.Cit.Sugiyanto,2002.
34
Op.Cit. Soleman B. Taneko, 1984.

Universitas Indonesia
80

dilihat dari berbagai aspek budaya yang mereka miliki yang berkaitan dengan
larangan dan denda adat yang membatasi dan mengendalikan perilaku mereka.
Dalam adat Orang Rimba denda atau sanksi harus ditebus atau dibayar dengan
“kain”. Kain mempunyai nilai sosial dan nilai ekonomi yang tinggi dalam
komunitas adat Orang Rimba.

Norma sosial yang berlaku dalam masyarakat Orang Rimba terkait dalam
hubungan kehidupan mereka dalam pemanfaatan ruang kawasan hutan dan
pemanfaatan sumberdaya alam hutan, dan norma sosial yang mengatur hubungan
dengan sesama Orang Rimba. Contoh dalam hal ini adalah larangan menebang
hutan di kawasan tanah kelahiran, tanah pasohon, larangan menebang pohon
sialang, pohon tenggeris dan pohon sentubung. Pelanggaran terhadap norma sosial
tersebut akan di denda dengan kewajiban membayar dengan sejumlah kain. Mulai
dari denda kecil 60 kain sampai dengan besar 500 kain.

4.2.1.3. Stratifikasi Sosial Orang Rimba


Stratifikasi Sosial dalam masyarakat adat Orang Rimba tidak terlalu luas
dan komplek, stratifikasi yang ada di masyarakat Orang Rimba terjadi karena
adanya kedudukan atau jabatan pengulu dalam stuktur pengurusan masyarakat
Orang Rimba. Para pengulu yang terdiri dari Temenggung, Depati, Mangku,
Menti dan Tengganai memiliki kedudukan yang lebih tinggi dalam kelompok atau
komunitas Orang Rimba. Anggota kelompok yang terdiri para kepala keluarga
dan anggota keluarga lebih menghormati para pengulu di kelompok mereka.
Kedudukan Temenggung memilki posisi yang lebih tinggi di mata masyarakat
adat Orang Rimba disebabkan karena tugas dan kewenagan yang dimiliki serta
harta kekayaan berupa kebun yang lebih luas dibandingkan para anggota
kelompok membuat Temenggung lebih dihormati dan menjadi teladan bagi
anggota kelompok.
Selain Temenggung, kedudukan Tengganai dalam masyarakat Orang
Rimba juga berada pada posisi di lapisan lebih tinggi karena selain mempunyai
kewenangan menasehati Temenggung dan anggota kelompok lainnya, umumnya
para Tengganai adalah kelompok orang tua yang dulunya pernah menjabat
sebagai Temenggung, Depati, Mangku dan jabatan pengulu lainnya, para

Universitas Indonesia
81

tengganai khususnya yang pernah menjadi Temenggung beberapa diantaranya


juga memiliki lahan kebun karet yang lebih luas dibandingkan para anggota
kelompok.
Adanya sistem pelapisan masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya sama
halnya yang terjadi dengan masyarakat adat Orang Rimba. Hal ini sejalan dengan
pendapat Soerjono Soekanto bahwa aspek terbentuknya lapisan masyarakat yang
terjadi dengan sendirinya adalah kepandaian, tingkat umur (lebih tua), sifat
keaslian keanggotaan kerabat seorang kepala masyarakat dan kepemilikan harta
dalam batas tertentu.35 Alasan terbentuknya stratifikasi sosial yang telah
dikemukan juga dapat menjadi determinasi dalam stratifikasi sosial masyarakat
adat Orang Rimba di Kawasan TNBD.
Adanya pembagian tugas dan kewenangan di antara pengulu pada
komunitas adat Orang Rimba dapat dijadikan salah satu unsur terjadinya
stratifikasi, hal ini sesuai dengan yang dikemukan oleh Selo Sumarjan (1964),
bahwa apabila masyarakat itu hendak hidup teratur, maka kekuasaan dan
wewenang dalam suatu organisasi vertikal maupun horisontal.36
Terkait dengan kekuasaan dan wewenang yang dimaksud diatas dalam
komunitas Orang Rimba seperti yang telah dikemukakan sebelumnya dalam
institusi pengulu kedudukan temenggung merupakan kedudukan yang lebih tinggi
dari fungsi lainnya seperti mangku, menti, dan dubalang. Tetapi sebenarnya secara
vertikal ada peran Orang Tua atau Tengganai yang memiliki kewenangan dan
kekuasaan pada stratifikasi yang lebih tinggi. Karena para tengganai adalah para
Orang Tua di dalam kelompok, pada umumnya para tengganai pernah memegang
peran dalam institusi pengulu semasa mudanya, sehingga mereka dianggap
memiliki cukup pengalaman dalam menangani permasalahan dan pelayanan
dalam komunitas Orang Rimba. Berdasarkan pembagian wewenang dan
kekuasaan dan tugas dalam institusi pengulu stratifikasi sosial vertikal terlihat dari
hubungan anggota dengan temenggung dan tengganai kelompok, hubungan ini

35
Op.Cit. Soerjono Soekanto.1990.
36
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi, Penerbit Universitas
Indonesia, Yayasan Penerbit FE-UI, Jakarta, 1964

Universitas Indonesia
82

memperlihatkan pola hubungan antara lapisan bawah (grass root) yang diwakili
kelas anggota, dan para elite kelompok (temenggung dan tengganai yang
mewakili lapisan atas.
Selain itu terdapat pula hubungan stratifikasi horisontal berdasarkan tugas
dan fungsi yang melekat pada masing-masing komponen dalam institusi pengulu,
misalnya antara menti, dubalang batin, mangku dan malim mereka ini memiliki
kedudukan yang sejajar di dalam kelompok dan memiliki status stratifikasi yang
sama hanya dibedakan oleh tugas dan fungsi masing-masing.
Selain itu stratifikasi sosial komunitas Orang Rimba dapat didasari oleh
kepemilikan kebun karet dapat dilihat dari dimensi ekonomi, dimana para pengulu
memiliki kebun karet yang lebih luas dari anggota kelompok sehingga tingkat
pendapat mereka lebih tinggi dari anggota kelompoknya. Pemilikan sebagai suatu
sub dimensi dari stratifikasi, dikemukan pula oleh James C. Scott bahwa pemilik
tanah atau kebun karet dalam hal ini para pengulu lebih tinggi kedudukannya dari
pada buruh sadap dalam hal ini anggota kelompoknya.37

4.2.2. Proses Sosial Orang Rimba


Proses sosial dapat diartikan sebagai pengaruh timbal balik antara pelbagai
segi kehidupan bersama, misalnya pengaruh mempengaruhi antara berbagai segi
kehidupan sosial, ekonomi, hukum dan politik.38 Proses sosial yang terjadi di
komunitas Orang Rimba dapat terjadi diantara anggota dalam satu kelompok atau
dengan kelompok lainnya. Proses sosial yang terjadi di komunitas Orang Rimba
berpengaruh pada dinamika perubahan sosial yang terjadi baik dalam dampak
positif misalnya dalam kehidupan sosial Orang Rimba telah dapat melakukan
komunikasi dengan berbagai pihak dari masyarakat luar, pola dan gaya hidup
sudah mulai melakukan proses adaptasi dengan pola dan gaya hidup Orang
Terang.
Secara teori bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial,39 pada
masyarakat adat Orang Rimba dapat dilihat bentuk-bentuk interaksi sosial yang

37
James C. Scott, Moral Ekonomi Petani, Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, LP3ES,
Jakarta,
1981.
38
Ibid. Selo Soemardjan dan Soleman Soemardi, 1964.
39
Op.Cit.Soerjono Soekanto, 1990.

Universitas Indonesia
83

terjadi baik dalam masyarakat adat Orang rimba dan Orang Rimba atau dengan
masyarakat Orang Terang atau orang luar. Dampak dari proses interaksi ini
mempengaruhi proses perubahan sosial dalam komunitas Orang Rimba, baik
dalam aspek pola dan gaya hidup, perilaku individu maupun aspek perubahan
norma dan nilai yang berlaku di komunitas Orang Rimba.
Bentuk-bentuk interaksi pada komunitas Orang Rimba sejalan dengan
yang bentuk interaksi yang dikemukakan oleh Soeleman (1984) terdir dari
kerjasama, pertikaian (konflik), persaingan dan akomodasi.40 Orang Rimba telah
lama memiliki interaksi sosial sosial dengan masyarakat luar sudah sejak lama
namun sifatnya terbatas. Interaksi sosial awal Orang Rimba dan Orang Luar dapat
dilihat dari relasi sosial mereka dengan Jenang dan Waris.
Orang Rimba mengenal apa yang disebut dalam tambo adat mereka
dengan Waris. Menurut “tambo” silsilah garis keturunan orang Rimba mengenal
nenek moyang mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan, yang laki-laki
memilih keluar dari hutan dan tinggal di desa sedangkan yang perempuan tetap
hidup di dalam hutan. Keturunan dari anak laki-laki yang tinggal di desa ini
kemudian yang disebut Waris. Waris terbagi dua yaitu Pangkal Waris di Tanah
Garo dan Ujung Waris di Paku Aji. Relasi sosial Waris berdasarkan ikatan
kekerabatan karena berasal dari satu nenek moyang yang sama.
Waris memiliki peran ekonomi, sosial dan politik terhadap Orang Rimba.
Peran ekonomi waris terlihat dari kerjasama dalam jual-beli hasil hutan dan
penyediaan kebutuhan hidup sehari-hari Orang Rimba seperti makanan, kain,
tembakau, peralatan berladang dan sebagainya. Peran sosial waris terlihat dari
mediasi perselisihan yang terjadi diantara individu dengan kelompok, antara
kelompok dengan kelompok Orang rimba maupun antara Orang Rimba dan Orang
Terang. Misalnya pada zaman pembukaan hutan oleh perusahaan HPH banyak
terjadi pertikaian (konflik) antara Orang Rimba dan perusahaan yang diakibatkan
oleh penebangan pohon-pohon dan areal hutan yang memiliki nilai penting bagi
Orang Rimba seperti pohon sialang, pohon tenggeris dan pohon sentubung serta

40
Op.Cit.Soeleman B. Taneko, 1984.

Universitas Indonesia
84

areal tanah kelahiran dan pemakaman. Dalam pertikaian ini peran Waris cukup
penting dalam memediasi dan melindungi kepentingan Orang Rimba dalam
melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.
Peran politik Waris terlihat dari kewenangannya dalam hal menyetujui
atau menolak hasil musyawarah Orang Rimba dalam hal menentukan
temenggung. Dalam beberapa kasus yang berhubungan dengan peran temenggung
yang menyimpang misalnya dalam hal pemberian izin temenggung kepada
perusahaan HPH untuk menebang kawasan hutan dan kasus penjualan lahan waris
dapat mengumpulkan anggota kelompok Orang Rimba untuk melakukan
musyawarah penetapan sanksi adat dan pergantian temenggung.
Hasil wawancara mendalam dengan informan menjelaskan bahwa konsep
waris memang didasari dari garis keturuan yang diyakini oleh masyarakat desa
dan Orang Rimba sehingga memiliki ikatan emosional yang kuat. Relasi sosial
antara Waris dengan Orang Rimba pada saat ini sebenarnya mulai melemah, hal
ini disebabkan karena meningkatnya frekuensi relasi sosial orang rimba dengan
masyarakat yang berada di luar hutan. Kondisi hubungan yang mulai melemah ini
dimulai dari hadirnya perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di sekeliling
pemukiman orang Rimba sekitar tahun 1990-an.41
Selain dengan waris, bentuk relasi sosial Orang Rimba dan Orang Luar
dilakukan dengan Jenang. Jenang adalah orang luar yang dipilih dan dipercayai
oleh Orang Rimba sebagai perantara atau penghubung interaksi dengan Orang
Terang. Jenang menurut Orang Rimba dianggap sebagai raja yang siap
melindungi dan membela mereka ketika terjadi perselisihan dengan orang luar.
Peran jenang yang lain adalah membeli hasil hutan dan hasil kebun Orang Rimba
dan menyediakan segala barang kebutuhan hidup bagi Orang Rimba.
Ada perbedaan peran waris dan jenang khususnya dalam hal politik,
dimana Jenang tidak terlibat dalam urusan proses penentuan dan pemberian sanksi
bagi temenggung yang melanggar adat, dalam masyarakat Orang Rimba jenang
hanya memiliki peran ekonomi dan sosial. Sama halnya dengan peran waris, saat
ini peran jenang sudah tidak ada sama sekali. Hal ini disebabkan karena Orang

41
Op.Cit.Wawancara dengan SR.

Universitas Indonesia
85

Rimba sudah lebih terbuka untuk berinteraksi dengan orang luar. Penyebab lain
adalah, peran Jenang yang diwariskan kepada anak keturunan tidak dapat
dijalankan oleh individu yang berhak memegang kedudukan sebagai Jenang.
Misalnya seperti Jenang di Air Hitam, orang yang seharusnya berhak memegang
status sebagai Jenang tidak lagi tinggal di Air Hitam melainkan di Kota Jambi.
Sehingga peran jenang saat ini tidak lagi fungsional di kalangan masyarakat adat
Orang Rimba Air Hitam.
Proses sosial lainnya yang terdapat dalam masyarakat adat Orang Rimba
adalah kerjasama dalam membuat ladang, menanam dan memanen (mengetam
padi), membuat rumah, melaksanakan upacara besale yaitu upacara pengobatan
bagi anggota keluarga yang sedang sakit, kegiatan berburu dan melaksanakan
pesta perkawinan. Semua kegiatan yang disebutkan diatas melibatkan seluruh
anggota kelompok dalam proses pelaksanaannya. Contoh dalam kegiatan berburu
seluruh anggota kelompok laki-laki baik tua maupun muda akan pergi bersama,
setelah memperoleh hasil buruan mereka akan melaksanakan pembagian kepada
seluruh anggota kelompok. Demikian halnya dalam pelaksanaan upacara besale
atau pembangunan balai untuk upacara perkawinan semua anggota kelompok baik
perempuan, laki-laki, tua maupun muda secara bersama melaksanakan tugas untuk
menyelenggarakan kegiatan upacara. Pihak laki-laki umumnya bekerjasama
mendirikan bangunan atau balai tempat upacara, sementara pihak perempuan
mencari bahan obat-obatan atau bunga untuk upacara.
Secara teori sosiologi menurut pendapat Soeleman (1984) kerjasama yang
ada dalam masyarakat orang rimba disebut dengan “cooperation”, lebih khusus
kerjasama dalam membuat ladang, menanam dan memanen padi termasuk
spontaneous cooperatation, sedangkan kerjasama dalam upacara besale dan pesta
perkawainan termasuk dalam “traditional cooperation”.42 Hal serupa dikemukakan
oleh Soejono Seokanto (1981) bahwa kerjasama dalam masyarakat adat Orang
Rimba dapat pula dikatakan sebagai “gotong-royong, karena kerjasama tersebut
dilakukan secara spontan oleh anggota kelompok se-ladang yang sudah

42
Op.Cit.Soeleman B.Taneko, 1984.

Universitas Indonesia
86

terlembagakan yang mengandung unsur timbal-balik yang sukarela antara anggota


kelompok.43
Saat ini interaksi Orang Rimba dan warga desa sudah semakin luas, baik
dari segi ekonomi, sosial dan politik. Dari segi ekonomi interaksi dapat dilihat
dari kerjasama dalam hal pemasaran hasil produksi Orang Rimba seperti hasil
hutan non kayu dan hasil kebun yang dibeli oleh para pedagang pengumpul (toke)
desa. Interaksi lainnya adalah dalam penyediaan tenaga kerja di bidang
perkebunan, khususnya tenaga kerja untuk menyadap atau memanen karet dan
sawit. Kebun karet para pengulu Orang Rimba umumnya disadap oleh warga desa
dengan sistem upah bagi hasil. Sistem bagi hasil yang yang berlaku adalah hasil
dibagi tiga bagian, dimana dua bagian menjadi hak penyadap dan satu bagian
menjadi hak pemilik kebun. Tetapi sebaliknya sangat jarang Orang Rimba yang
menjadi penyadap kebun karet warga desa, hal ini disebabkan kurangnya
ketrampilan Orang Rimba dalam menyadap pohon karet.
Secara sosial interaksi Orang Rimba dan warga desa terlihat dari kegiatan
bersama seperti gotong-royong desa, perhelatan perkawinan dan kegiatan desa
lainnya. Interaksi sosial yang terbina baik antara Orang Rimba dan warga desa
serta pemerintahan desa berdampak pada mulai masuknya Orang Rimba yang
menetap di hutan dalam daftar penduduk desa. Dari hasil wawancara dengan
informan diperoleh keterangan bahwa sejak 2 (dua) tahun terakhir Kelompok
Orang Rimba Temenggung Grip telah terdaftar sebagai penduduk di Desa Bukit
Suban sebanyak lebih kurang 100 KK. Orang Rimba yang telah terdaftar sebagai
penduduk desa telah mendapat bantuan RASKIN, ASKESKIN dan
JAMKESMAS. Demikian halnya di Desa Pematang Kabau Orang Rimba sudah
mendapat raskin, meskipun mereka belum terdaftar secara administratif sebagai
penduduk desa. Hal ini dikarenakan kedekatan hubungan sosial antara kepala desa
dan pemimpin kelompok Orang Rimba, yang sudah bergaul sejak mulai
pemukiman transmigrasi ditempati pada tahun 1986.
Interaksi Orang Rimba dan warga desa sampai sejauh ini berjalan cukup
baik, terutama di tingkat pemimpin Orang Rimba dan warga desa. Dari hasil

43
Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat. Alumni-Bandung, 1981.

Universitas Indonesia
87

wawancara dengan warga desa diperoleh informasi bahwa belum pernah terjadi
pertikaian atau konflik antara warga desa dan Orang Rimba sampai saat ini.44
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan Orang Rimba, peluang terjadinya
konflik dikemudian hari cukup besar karena adanya potensi laten konflik berupa
faktor perasaan kecemburuan sosial dengan kehidupan ekonomi warga desa
transmigrasi yang lebih baik, rasa ketidakadilan karena perlakuan berbeda
pemerintah terhadap Orang Rimba dan warga transmigrasi dalam bantuan
program, faktor keterbatasan lahan garapan, dan faktor ekonomi Orang Rimba
yang marjinal. Faktor laten konflik ini teridentifikasi pada kelompok yang telah
“bediom”.
Potensi laten konflik terbuka antara Orang Rimba yang telah bediom
dengan warga desa dan perusahaan dapat dilihat dari ungkapan beberapa
informan45 sebagai berikut :
“Orang Rimba merasa kok tanah tumpah darah kita disini tapi orang dari luar
masuk disini sudah mewah-mewah rumah sudah bagus-bagus keramik
ditambah lagi dia cuek-cueki melihat kita, dio sombongi kita, mau memberi
nasipun susah jadi terasa mau bentrokan antara kami dengan orang luar dan
PT”.
“kami ini kan kehilangan tempat tinggal karena tanah ulayat kami di Bukit 12
ini sudah dirusak oleh pemerintah walaupun PT tapikan izin dari negara..
pemerintah ini harus mendukung Orang Rimba, itu seperti mendukung Suku
Jawa dari seberang laut sana didatangkan ke Sumatera dikasih lahan dikasih
rumah, itu oke, baru pemerintah tidak membedakan suku bangsa”
“mencari brondolan sawit, kadang dikejar-kejar satpam PT mau ditangkap,
sebab ini kesalahan pemerintah tidak bertanggung jawab kepada masyarakat
tidak ada bantuan lain”.
“masuk ke rimbo lagi gara-gara ekonomi tidak terjamin, paling sekarang
motong(menyadap) karet orang jawa. Masuk Islam ini bagus tapi kadang

44
Hasil Wawancara dengan MJ dan BJ, 19 dan 20 Nopember 2009
45
Hasil Wawancara dengan NG, MD, MK, SM, Nopember 2009.

Universitas Indonesia
88

terganggu oleh ekonomi “mau sholat tidak khusuk berpikir besok mau makan
apa”

Orang Rimba sebenarnya memiliki cara sendiri dalam menyelesaikan


konflik yang mereka hadapi yaitu dengan cara “menghindar” dari konflik dan
tekanan pihak luar. Ketika kawasan tempat menghindar semakin sempit, konflik
terbuka tidak terelakkan. Dari hasil survey bioregion kehidupan Orang Rimba
yang dilakukan oleh KKI-WARSI tahun 2008, diperoleh angka persentase konflik
Orang Rimba dengan masyarakat umum 41,6%, Orang Rimba dengan Orang
Rimba 25%, Orang Rimba dan pihak perusahaan 20,8%, Orang Rimba dan
pemerintah 12,5%. Manifestasi konflik berupa pengusiran, pembakaran, dan
penghilangan nyawa Orang Rimba.
Peristiwa konflik terbesar dan terjadi untuk yang pertama kali antara
sesama Orang Rimba terjadi pada bulan Desember 2008, peristiwa konflik antara
rombong Temenggung Celitai dari wilayah Kejasung dan rombong Majid di
wilayah Air Hitam mengakibatkan 3 Orang Rimba tewas, 2 orang dari rombong
Majid dan 1 orang dari rombong Temenggung Celitai. Faktor penyebab konflik
adalah persoalan hutang piutang antara anggota kelompok. Tewasnya ketiga
Orang Rimba diakibatkan masing-masing kelompok menggunakan senjata
kecepek pada saat pertikaian terjadi. Peristiwa konflik ini menunjukkan adanya
perubahan sosial yang terjadi dalam perilaku hidup Orang Rimba dalam
penyelesaian konflik yang biasanya selalu melakukan penghindaran terhadap
kelompok lawan bertikai dan saling memutuskan kontak.
Penyelesaian konflik antara dua kelompok ini dilakukan secara adat-
istiadat yang berlaku dalam masyarakat adat Orang Rimba. Untuk menengahi
kedua kelompok yang bertikai masing-masing kelompok menunjuk Temenggung
Tengah untuk menjadi juru runding dalam menyelesaikan konflik. Temenggung
Tengah bertugas melakukan perundingan dan mengumpulkan pendapat dari kedua
kelompok yang bertikai untuk menemukan penyelesaian secara adat. Hasil sidang
adat memutuskan bahwa kedua belah sama-sama bersalah karena telah
menghilangkan nyawa manusia, sehingga harus di kenakana sanksi adat berupa
membayar denda “bangun”. Pembayaran denda bangun dilakukan kedua belah

Universitas Indonesia
89

pihak dimana kelompok Jelitai membayar sebanyak 1000 lembar kain dan
kelompok Majid membayar 500 lembar kain dan kedua belah pihak harus saling
memaafkan.

4.3. Aspek Budaya Orang Rimba


4.3.1. Pola Pemukiman
Pola pemukiman Orang Rimba tinggal berkelompok di sepanjang aliran
sungai di dalam hutan, masing-masing keluarga (pesaken) membangun tempat
tinggal berupa “sesudungon” yaitu rumah pondok dari kayu bulat. Ada beberapa
bentuk pondok tempat tinggal Orang Rimba yaitu rumo bepupu atau romah
sampaeon merupakan pondok tempat tinggal yang terbuat dari kayu bulat sebagai
tiang rangka dan lantai pondok, atap pondok menggunakan daun pohon serdang
atau benal, tapi sekarang atap pondok telah menggunakan plastik hitam yang lebih
tahan bocor yang mudah dibeli pada hari pasar mingguan desa. Pondok tidak
diberi dinding dibiarkan terbuka, lantai pondok disebut gelogo dibuat tinggi lebih
kurang 50 cm dari permukaan tanah biasanya terbuat dari kayu belahan dan kayu
bulat yang diikat rapat menggunakan rotan.
Pondok rumo pupu ini yang paling banyak penulis temui dilapangan
sebagai tempat tinggal anggota kelompok dan keluarganya. Selain pondok rumo
pupu, penulis juga menemukan pondok Orang Rimba yang lebih permanen.
Pondok yang lebih permanen ini bagi Orang Rimba sering disebut rumo godong
atau rumah besar. Pondok tempat tinggal atau rumo godong juga terbuat dari kayu
bulat sebagai tiang dan rangka, hanya saja pondok sudah ditutup dengan dinding
dan lantai yang terbuat dari kulit kayu (pelupuh) pohon meranti, atap pondok
menggunakan seng.
Pondok lebih tinggi dari permukaan tanah sekitar lebih kurang 2-3 meter.
Dari informan penulis mengetahui bahwa pondok tersebut milik seorang Mangku.
Pondok yang lebih permanaen ini biasanya dibangun oleh Orang Rimba yang
berkedudukan sebagai pengulu dalam kelompok.

Universitas Indonesia
90

Sumber Photo : Koleksi Pribadi Sumber Photo : Koleksi Pribadi

Gambar 4.15. Rumah Pondok Orang Gambar 4.16. Rumah Bepupu Orang

Pola pemukiman Orang Rimba adalah tersebar dalam kelompok kecil yang
membentuk satuan pemukiman yang terdiri dari beberapa pesaken,
pengelompokan rumah ini berdasarkan atas ladang yang berdekatan yang sering
disebut “se-ladang”. Pada umumnya dalam satu kelompok pemukiman
beranggotakan kerabat dekat dari pihak keluarga isteri. Pada tingkat lebih luas
kesatuan pemukiman yang terdiri dari beberapa ladang disebut dengan “se-tubo”,
diketuai oleh ketua kelompok yaitu seorang laki-laki tertua dan yang dianggap
paling bijaksana yang disebut “kelebu”, jika didalam kelompok terdapat seorang
pengulu maka dia yang akan bertindak sebagai kelebu. Pada tingkat selanjutnya
beberapa”tubo” bergabung menjadi “rombong” misalnya rombong Air Hitam,
46
rombong Makekal dan rombong Kejasung. Rombong ini diketuai oleh
Temenggung.
Apa yang dilakukan Orang Rimba pada masa lalu dan pada masa sekarang
untuk penghidupan sudah berbeda. Pada waktu lalu tidak ada tradisi menanam.
Oleh karena itu seluruh penghidupannya tergantung pada kegiatan berburu dan
meramu. Kebutuhan yang berupa barang-barang dari luar dipenuhi dengan
menukar hasil buruan dan hasil meramu mereka. Saat ini kegiatan berladang
sudah mulai dilakukan. Orang Rimba mulai mau menanam berbagai jenis tanaman

46
Op.Cit.Muntholib Soetomo, 1995.

Universitas Indonesia
91

yang menghasilkan. Menurut cerita, kegiatan berladang atau betalang pada Orang
Rimba baru dimulai pada tahun 80-an.47

4.3.2. Berladang dan Berkebun


Adat pembuatan ladang kalau zaman dulu di balikkan ke orang tua
(tengganai), jadi setiap orang rimba yang mau berladang harus melapor ke ninik
mamak atau tengganai dimana rencana lokasi akan berladang, kemudian
tengganai atau malim (sebutan dukun Orang Rimba) akan bedike (memanggil
dewa) kalau hasil amalan tengganai lokasi tersebut tidak bagus karena tanah dewa
maka harus pindah lokasi.48
Tidak semua kebutuhan hidup Orang Rimba dapat dipenuhi oleh hutan.
Padi, umbi-umbian, cabe rawit, dan beberapa tanaman palawija tidak bisa di
dapatkan dari hutan. Untuk memenuhi semua itu Orang Rimba harus
menanamnya. Caranya adalah dengan membuka ladang. Langkah-langkah dalam
sebuah pembukaan ladang adalah:1. Memilih lokasi, 2. Meminta pendapat dari
dukun, 3. Penebasan, 4. Pembakaran, 5 .Pembersihan, 6 .Penugalan,
7 Penanaman, .8 Pemeliharaan, dan 9.Pemanenan.

Dalam tradisi adat Orang Rimba disepanjang aliran sungai merupakan


areal belukar atau sesap sehingga boleh dibuka untuk ladang, sedangkan areal
yang jauh dari sungai mereka sebut hutan atau rimbo yang tidak boleh dijadikan
ladang atau humo dalam bahasa Orang Rimbo. Selain itu alasan mereka
membangun ladang dipinggir sungai, karena mudah memperoleh air sungai.
Dalam pemanfaatan air sungai ini Orang Rimba mempunyai aturan atau norma
yang ketat, aturan itu adalah bahwa setiap Orang Rimba tidak boleh membuang
air besar di sungai, hal itu menurut bisa melanggar adat dan dapat dikenai sanksi.
Alasan logis yang dikemukakan oleh informan bahwa Orang Rimba selalu
memanfaatkan air sungai untuk minum tanpa dimasak, sehingga kalau buang air
besar di sungai tentu akan mengotori, disamping itu sungai merupakan tempat
mencari ikan, kalau buang air besar ke sungai nanti akan dimakan ikan, sementara

47
Op.Cit.www. www.goodreads.com.
48
Op.Cit Wawancara TR.

Universitas Indonesia
92

ikan akan kita makan. Tradisi dan norma adat terhadap air sungai ini mengandung
nilai positif bagi terjaganya kebersihan dan kelestarian lingkungan sungai, namun
saat ini Orang Rimba telah mengeluhkan tentang pencemaran yang terjadi pada
sungai mereka karena penggunaan racun ikan (potas) dalam mencari ikan oleh
warga desa dan Orang Rimba sendiri.49

Sumber Photo : Koleksi Pribadi Sumber Photo : Koleksi Pribadi


Gambar 4.17. Gambar 4.18.
Ladang Orang Rimba di Tanami Karet Ubi di Ladang Orang Rimba

Orang Rimba selalu membuka ladang dengan pola berpindah, waktu rotasi
berpindah adalah selama lahan yang digunakan untuk berladang sudah hilang
kesuburan tanahnya. Tradisi Orang Rimba sebidang lahan biasanya hanya digarap
selama tiga kali masa tanam. Ladang yang sudah digarap selama tiga tahun
berturut-turut, kesuburan tanahnya akan berkurang. Pohon karet dan pohon buah-
buahan yang ditanam sudah mulai besar. Bahkan untuk pohon karet ada yang bisa
mencapai tinggi empat meter. Menanam ubi atau padi sudah tidak lagi banyak
hasil panennya. Sebagai jalan keluarnya Orang Rimba akan membuka ladang
baru. Ladang yang terdahulu akan dibiarkan untuk menjadi kebun.
Dulu ladang Orang Rimba hanya untuk ditanam ubi kayu, ubi jalar, dan
keladi sebagai sumber makanan utama, kemudian mereka baru menanam pohon
karet dan pohon buah seperti durian, duku, dan mata kucing (pedaro). Tapi
sekarang mereka menanam padi ladang yang benihnya di dapat dari orang desa.

49
Op.Cit Wawancara SR dan TR.

Universitas Indonesia
93

Setelah persediaan makanan habis Orang Rimba kembali akan membuka ladang
baru yang jaraknya relatif tidak terlalu jauh, tergantung ketersediaan sesap atau
belukar tua.
Dalam pembukaan ladang ini sudah terjadi perubahan dalam teknologi
peralatan membuka hutan, dulu membuka hutan untuk ladang hanya dengan
menggunakan kapak beliung, tetapi sekarang mereka sudah mengenal gergaji
mesin (chain saw) untuk menebang pohon. Hal ini yang mengkhawatirkan pihak
pengelola TNBD, dikarenakan penggunaan gergaji mesin bisa berpotensi di salah
gunakan untuk menebang pohon yang dilindungi di dalam kawasan. Meskipun
belum pernah ditemukan secara langsung penggunaan gergaji mesin oleh Orang
Rimba, namun berdasarkan informasi dari petugas lapangan Balai TNBD
ditengarai sudah ada kerjasama antara pemilik modal dengan Orang Rimba untuk
membuka kawasan hutan.50
Terkait penggunaan berbagai macam peralatan moderen dalam sistem
perladangan Orang Rimba saat ini sejalan dengan pendapat Wilkinson (1978)
dalam Karno Sasmita (1999) bahwa masyarakat tradisional pada umumnya
berupaya mengolah dan memanfaatkan sumberdaya alam dengan tetap
memelihara keseimbangan ekologis (ecologis equilibrium). Upaya ini dilakukan
dengan berbagai pantangan atau tabu tradisional. Namun demikian Wilkinson
mengatakan bahwa keseimbangan ekologis itu akan rusak atau berubah apabila
masyarakat tradisional itu secara terbuka mengadakan hubungan yang intensif
dengan dunia luar atau sebaliknya.

50
Op.Cit. Wawancara dengan RD.

Universitas Indonesia
94

Sumber Photo : Koper HAM

Gambar 4.19. Padi Ladang Orang Rimba Sebuah Perubahan

Hasil pengamatan penulis di lapangan menemukan pembukaan ladang oleh


Orang Rimba di dalam kawasan hutan TNBD berada di daerah aliran sungai,
lahan yang di buka lebih kurang 2 hektar, lahan telah ditanami pohon karet dan
ubi. Ketika ditanyakan kepada informan lahan tersebut dibuka secara gotong-
royong oleh 3 kepala keluarga. Artinya ladang tersebut milik 3 pesaken, masing-
masing pesaken membuka ladang kurang dari satu hektar.
Aktifitas berladang ubi bagi Orang Rimba telah dilakukan sejak lama oleh
nenek moyang mereka untuk memenuhi kebutuhan pangan selain melakukan
kegiatan meramu dan berburu. Sampai dengan saat ini kegiatan meramu masih
tetap dilakukan untuk mencari umbi-umbian yang akan dijadikan bahan makanan,
seperti banar, gadung dan buah-buahan hutan, meskipun umbi-umbian seperti
banar dan gadung sudah sulit ditemukan karena tidak semua kawasan hutan
TNBD ditumbuhi umbi tersebut.
Umbi-umbian merupakan sumber makanan pokok bagi Orang Rimba,
walaupun mereka sudah mengenal beras dari hasil menanam padi atau membeli
beras di pasar desa. Aktifitas berladang ubi oleh Orang Rimba dapat dilihat
sebagai pengaruh dari interaksi dengan Orang Terang dan strategi adaptasi dari
semakin berkurangnya ketersediaan umbi-umbian di dalam hutan, karena

Universitas Indonesia
95

menanam ubi tidak memerlukan teknologi menanam yang rumit dan ubi
merupakan jenis tanaman yang mudah tumbuh di berbagai jenis tanah.
Kebutuhan sumber pangan pokok selain beras harus menjadi acuan dan
harus tetap dipertahankan dalam pengembangan masyarakat adat Orang Rimba,
agar tidak digantikan dengan sumber pangan lain seperti beras karena hal ini akan
menyimpang dari pola konsumsi mereka. Selain itu pengalihan sumber pangan ke
beras justru akan menyulitkan mereka dalam memproduksi sumber pangan karena
memerlukan ketersediaan lahan, teknologi dan pengetahuan baru.
Orang Rimba saat ini sudah mulai cenderung berladang menetap karena
pembukaan ladang ubi dibarengi dengan penanaman pohon karet. Penanaman
pohon karet merupakan satu bentuk adaptasi untuk menunjang kebutuhan hidup,
karena kegiatan berburu dan meramu sumber daya alam hutan tidak lagi cukup
untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin bertambah.

4.3.3. Pola Pemanfaatan Hutan


Orang Rimba memiliki tradisi budaya dalam pemanfaatan ruang areal
hutan terkait kelangsungan hidup mereka. Pentingnya hutan bagi kehidupan
Orang Rimba tergambar dalam norma adat mereka sebagai berikut : “tidak ada
rimba tidak ada bunga tidak ada bunga tidak ado dewa”. Norma sosial ini
menunjukkan pentingnya hutan bagi Orang Rimbo. Hutan harus di jaga karena
sebagai penyedia bunga yang akan digunakan untuk kegiatan spiritual memuja
dewa yang disebut dengan “bedike” atau upacara penyembuhan penyakit disebut
“besale” dan kegiatan upacara perkawinan. Adapun pembagian ruang areal
pemanfaatan hutan berdasarkan adat Orang Rimba sebagai berikut :
1. Tanah Dewa merupakan hutan primer yang lebat tidak boleh dirusak baik
oleh Orang Romba maupun Orang Terang menurut kepercayaan mereka
dihutan lebat tersebut para dewa menggantungkan seluruh nyawa yang hidup
di muka bumi di kawasan hutan tersebut.Tanah Dewa sering mereka sebut
Tanah Bersetan, areal kawasan hutan ini biasanya terletak di pematang dan
bukit.

Universitas Indonesia
96

2. Tanah Peranokon, merupakan areal hutan tempat melahirkan bagi Orang


Rimba, lokasinya di pematang dan berdekatan dengan sungai. Areal ini
digunakan keluarga untuk proses melahirkan anak, biasanya mereka datang
ke tanah kelahiran satu bulan sebelum
waktu melahirkan sampai dengan si ibu
yang melahirkan sembuh dari proses
persalinan, kemudian mereka akan
kembali ke pemukiman semula.
Menurut norma adat Orang Rimba areal
kawasan hutan tempat melahirkan tidak Sumber Photo : Koleksi Pribadi

Gambar 4.20
boleh dirusak, setiap keluarga akan Tanah Peranokon Tempat
menjaga areal ini. Melahirkan Orang Rimba

3. Tanah Pasohon, areal hutan ini merupakan tanah pemakaman Orang Rimba
yang tidak boleh dirusak hutannya dan Orang Terang tidak boleh
mengunjunginya, para kerabat akan selalu menjaga keutuhan kawasan hutan
ini. Tradisi budaya Orang Rimba, orang yang mati tidak dikuburkan
melainkan hanya di taruh di atas pondok kayu lalu ditinggalkan.
4. Tanah Balai merupakan areal hutan yang digunakan untuk mendirikan balai
yang akan digunakan untuk upacara perkawinan, kelahiran dan kegiatan
spiritual seperti “besale” dan “badike”. Tanah balai ini tidak boleh diketahui
orang luar letaknya sampai aktifitas bebalai selesai dilaksanakan. Kawasan
hutan untuk mendirikan balai dilarang untuk dirusak atau ditebang pohonnya.
5. Benuaron, areal hutan yang di tanami pohon buah-buahan seperti durian,
duku, rambutan, mata kucing (pedaro).
6. Sesap merupakan areal bekas tebasan atau bekas ladang baru yang berada
dipinggir sungai, umumnya areal ini selalu digunakan untuk berladang ubi
dan kebun karet.
7. Belukar merupakan areal hutan yang ditumbuhi pohon kayu muda dan bekas
ladang yang telah ditinggalkan 3-4 tahun.
8. Tanah Subon dan Inuman, areal ini merupakan tempat minum dan sumber
mata air di dalam hutan dan tempat berkumpulnya hewan hutan.

Universitas Indonesia
97

Orang Rimba telah sejak dulu membedakan berbagai area hutan yang
memiliki nilai kemanfaatan berbeda. Misalnya ada area yang dinamakan halom
bungaron, yaitu kawasan hutan yang masih utuh dan memiliki kerapatan vegetasi
yang tinggi. Area ini nyaris tidak dimanfaatkan oleh Orang Rimba. Lalu ada
halom balolo dan ranah yang merupakan kawasan dimana Orang Rimba biasa
berburu dan mengambil berbagai hasil hutan. Kemudian ada area halom benuaron
dan humo yang dimanfaatkan untuk berladang.51
Pola pemanfaatan kawasan hutan dengan mengacu kepada norma sosial
pada masyarakat adat Orang Rimba, merupakan satu aspek budaya Orang Rimba
yang dapat dijadikan acuan dalam penetapan zonasi oleh pihak Balai TNBD yang
akan dituangkan dalam RPTN, sehingga sistem pengelolaan dapat mengakomodir
pemenuhan kebutuhan hidup Orang Rimba, dan keberlanjutan kelestarian hutan di
kawasan TNBD.
Selain adanya kearifan dalam pola pemanfaatan kawasan hutan
berdasarkan norma sosial komunitas adat Orang Rimba, dalam budaya mereka
juga terdapat larangan menebang beberapa jenis pohon seperti pohon tenggeris,
pohon sentubung, dan pohon sialang. Karena pohon-pohon tersebut memilki nilai
sosial dan nilai ekonomi bagi komunitas adat Orang Rimbo di kawasan TNBD.
Pohon tenggeris (kempas) dan pohon sentubung merupakan dua pohon yang nilai
sosial bagi Orang Rimba, karena kedua pohon tersebut dibutuhkan dalam prosesi
melahirkan. Kulit kayu tenggeris digunakan untuk mengusap ubun-ubun bayi
yang baru lahir. Setiap keluarga akan menjaga dan memelihara pohon kayu
tersebut dengan cara memberi tanda dan membersihkan sekitar pohon. Hal ini
mereka lakukan karena menjaga pohon tersebut jangan sampai mati atau ditebang,
jikan pohon tenggeris tersebut mati atau ditebang si anak juga akan mati.
Norma sosial yang berlaku adalah bahwa setiap Orang Rimba dilarang
menebang pohon tenggeris yang ditandai, apabila melanggar ketentuan tersebut
bisa dikenakan sanksi adat atau denda yang harus dibayar dengan “kain”. Begitu
juga dengan pohon sialang yang menjadi tempat sarang lebah yang menghasilkan

51
Op.Cit.www. www.goodreads.com.

Universitas Indonesia
98

madu hutan, setiap Orang Rimba dilarang menebang pohon sialang, bagi orang
yang melanggar akan di kenakan sanksi adat. Denda adat bagi yang menebang
pohon sialang adalah 160 kain jika pohon rusak, tetapi jika pohon tersebut mati
maka denda yang akan dijatuhkan adalah 500 kain. Proses penetapan denda
diputuskan atau ditetapkan didepan orang banyak atau kelompok. Jadi orang yg
banyak dengar apa yg jadi kesalahan misalnya membunuh atau menebang sialang
orang di denda 160 kain.52
Kearifan budaya lokal dalam perlindungan pohon yang dimiliki Orang
Rimba merupakan potensi yang dapat dikembangkan untuk mendukung sistem
pengelolaan TNBD. Tentunya harus dilakukan penguatan institusi atau lembaga
sosialnya agar dapat lebih efektif dan berdayaguna dalam mendukung tujuan
khusus pembangunan kawasan TNBD.

4.3.4. Pola Kepemilikan Lahan


Membuka ladang, bagi Orang Rimba juga merupakan cara bagi seseorang
untuk memiliki tanah. Orang yang pertama membuka ladang akan dianggap
sebagai pemilik tanah tersebut. Sementara hutan yang belum dibuka dipandang
sebagai milik bersama Orang Rimba. Hukum ini sudah berlangsung lama, dan
semua Orang Rimba mentaatinya. Bisa dikatakan tidak pernah ada perebutan
tanah di antara Orang Rimba. Sebenarnya Orang Rimba tidak mengenal
kepemilikan pribadi yang permanen terhadap lahan, kepemilikan lahan dimiliki
oleh komunitas secara bersama, individu hanya memanfaatkan sampai mereka
berpindah ke ladang yang baru. Tetapi karena pengaruh lahan yang semakin
sempit, mereka mulai memiliki lahan secara keluarga.
Setiap Orang Rimba boleh membuka sesap dan belukar yang ada di
sepanjang aliran sungai untuk dijadikan ladang, kemudian jika ladang tersebut
tidak ada ditanami dengan tanaman tua misalnya pohon karet dan pohon buah-
buahan maka ketika ladang itu ditinggalkan dan menjadi sesap atau belukar
kembali setiap orang dibolehkan untuk membukanya menjadi ladang dengan
seizin temenggung, tetapi jika ada tanaman tua maka tanaman itulah yang menjadi
hak milik orang yang membuka pertama lahan tersebut. Pola kepemilikan lahan

52
Op.Cit.Wawancara dengan SR.

Universitas Indonesia
99

dan tanaman dapat diwariskan kepada anak keterunan, misalnya lahan bekas
ladang dan pohon buah-buahan seperti durian, duku, pedaro atau pohon sialang
yang menghasilkan madu hutan.53

4.3.5. Budaya Melangun


Melangun adalah sebuah proses untuk menghilangkan kesedihan yang
disebabkan atas meninggal dunia salah satu anggota keluarga atau kerabat dalam
satu rombong. Untuk menghilangkan rasa sedih seluruh anggota rombong akan
meninggalkan lokasi pemukiman atau tempat tinggal mereka dengan melakukan
perjalanan yang cukup jauh. Proses pindah pemukiman ini bertujuan agar tidak
melihat tempat tinggal dan barang milik orang yang mati, jika masih terlihat akan
menimbulkan rasa sedih.
Proses melangun dalam tradisi lama Orang Rimba memakan waktu 4-5
tahun, dengan jarak lokasi baru sangat jauh dari tempat pemukiman semula,
bahkan proses melangun ini akan sampai di wilayah rombong yang lain. Misalnya
jika kelompok Air Hitam yang bermukiman di kawasan Selatan TNBD bisa saja
melangun sampai ke wilayah kelompok Makekal di kawasan Utara TNBD.
Dalam budaya melangun Orang Rimba tidak mengenal batas wilayah kelompok
dan bebas pergi melangun ke wilayah mana saja yang disukai. Namun tradisi baru
Orang Rimba saat ini waktu melangun tidak lagi lama, saat ini waktu melangun
paling lama 3 (tiga) bulan mereka sudah kembali ketempat tinggalnya semula.
Dalam budaya masyarakat Orang Rimba selama apa waktu dan sejauh apa jarak
melangun yang pasti mereka akan kembali ketempat tinggalnya semula.
Perubahan waktu melangun yang lebih pendek ini dipengaruhi oleh keberadaan
ladang atau kebun karet mereka yang harus dijaga dan dipelihara atau yang harus
disadap.54
Budaya melangun di masyarakat adat Orang Rimba sering menjadi
hambatan bagi program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah
maupun pihak lain terhadap Orang Rimba. Proses melangun disebabkan oleh

53
Op.Cit.Wawancar dengan TR.
54
Hasil Wawancara dengan TR, MB dan BT, 17 dan 19 Nopember 2009.

Universitas Indonesia
100

kematian anggota keluarga, tidak ada data akurat mengenai berapa angka
kematian Orang Rimba dalam satu tahun, tetapi diperoleh informasi tentang
penyebab kematian Orang Rimba. Sebagian besar Orang Rimba meninggal dunia
karena terserang penyakit, penyakit yang banyak menyebabkan kematian adalah
sakit perut (diare) dan demam.55 Penyakit lain yang sering menyerang Orang
Rimba adalah penyakit kulit, batuk, demam, sakit kepala, sakit gigi dan sakit
mata. Namun ada beberapa penyakit lain yang di derita oleh Orang Rimba yaitu
jantung, paru-paru, hernia, bisul.56 Pada saat penulis di lapangan menemukan dua
orang perempuan Orang Rimba yang sudah cukup tua sedang menderita demam
chikungngunya dan ginjal.
Untuk mengurangi terjadinya peristiwa melangun perlu dilakukan program
peningkatan derajat kesehatan bagi Orang Rimba, berdasarkan pengamatan
penulis lingkungan tempat tinggal Orang Rimba sangat rendah mutu sanitasinya,
hal ini disebabkan perilaku hidup tidak sehat Orang Rimba seperti membuang
sampah disekitar pondok tempat tinggal, minum air mentah, jarang mandi, dan
tempat tinggal atau pondok yang tidak layak bagi kesehatan.
Salah satu faktor yang memperpendek waktu melangun adalah adalah
kepemilikan kebun karet, dengan adanya aktivitas budidaya tanaman kebun dalam
kehidupan Orang Rimba telah mempengaruhi perilaku mereka dalam hal
melangun. Aktivitas pembinaan yang dilakukan oleh Dinas Sosial Tenaga Kerja
dan Transmigrasi (DISOSNAKERTRANS) Kabupaten Sarolangun terhadap
kelompok Orang Rimba yang berada diluar kawasan TNBD dengan melakukan
penyadaran terbukti dapat merubah perilaku waktu melangun menjadi lebih
pendek dan jarak melangun tidak lagi pindah ke lokasi yang jauah tetapi hanya
beberapa kilometer dari tempat pemukiman semula.57

4.3.6. Budaya Bediom


Bediom adalah istilah bagi Orang Rimba yang sudah pindah dari dalam
hutan untuk tinggal menetap di luar hutan. Dalam budaya Orang Rimba tidak ada
larangan atau pantangan adat bagi yang ingin menetap diluar hutan semua

55
Hasil Wawancara BT dan MB, 19 Nopember 2009.
56
Op.Cit.Karno Sasmita, 2009.
57
Hasil Wawancara dengan JD, 7 Desember 2009.

Universitas Indonesia
101

tergantung dari keinginan masing-masing individu Orang Rimba. Hanya saja bagi
Orang Rimba yang telah menetap di luar hutan dia kehilangan hak untuk mengaku
Orang Rimba dan harus meninggalkan adat istiadat yang berlaku di hutan, tetapi
Orang Rimba yang bediom masih diperbolehkan untuk mencari sumber
pendapatan di kawasan hutan seperti berburu, mengumpulkan hasil hutan non
kayu seperti getah jernang, getah damar, rotan, manau, tebu-tebu, dan buah-
buahan.58 Dalam adat Orang Rimba juga tidak melarang bagi individu yang ingin
kembali hidup di hutan karena tidak mampu beradaptasi dengan kehidupan diluar.
Namun sebelum diijinkan Temenggung kembali ke kelompok di rimba, mereka
harus melakukan ritus persiapan masuk rimba. Salah satunya adalah selama 3
bulan mereka tidak boleh lagi makan-makanan yang ditabukan.59

Sumber Photo : Koleksi Pribadi

Gambar 4.21.
Peneliti bersama Orang Rimba Yang Sudah Menetap (Bediom)
Memeluk Agama dan Mulai Meninggalkan Tradisi Orang Rimba

Dalam budaya Orang Rimba terjadi semacam ketentuan bahwa adat dan
tradisi mereka hanya berlaku di dalam rimba. Ketika keluar dari rimba maka yang
berlaku dan harus diikuti adalah adat dan tradisi orang Melayu. Adat dan tradisi
rimba tidak boleh lagi digunakan diluar rimba. Oleh karena itu syarat bediom

58
Hasil Wawancara dengan TR, BT, MB dan NG, 17 dan 19 Nopember 2009.
59
Lebih jauh lihat http://www.goodreads.com/story/show/2412.Orang_Rimba
Menantang_Zaman Achmanto Mendatu diakses 16 Oktober 2009 11.00 WIB.

Universitas Indonesia
102

adalah meninggalkan hal-hal terkait dengan kehidupan di dalam rimba dan


mengadopsi seluruh tatacara berkampung. Mereka mesti merubah kepercayaan
dari kepercayaan yang memuja banyak Dewa kepada kepercayaan monotheis.
Mereka juga sudah diperbolehkan memakan makanan yang semula diharamkan
yakni daging serta segala produk sampingan dari binatang ternak yang dipelihara
orang Melayu. Sebaliknya daging babi dan binatang lain yang diharamkan tidak
boleh lagi mereka makan. Dari sisi hukum mereka juga telah dikenai hukum
formal kenegaraan, tidak lagi memakai hukum adat.60
Ada dua kelompok Orang Rimba Air Hitam yang telah bediom yaitu
kelompok Ngelam yang bermukim di Air Panas Desa Bukit Suban dan kelompok
H. Helmi yang bermukim di Singosari Desa Pematang Kabau. Kelompok Air
Panas terdiri dari 50 KK dan Kelompok Singosaari terdiri atas 25 KK. Dua
kelompok ini merupakan contoh bagaimana Orang Rimba melakukan proses
adaptasi terhadap perubahan lingkungan fisik dan lingkungan sosial budaya. Ada
beberapa alasan Orang Rimba memutuskan untuk bediom antara lain adalah untuk
memikirkan masa depan anak dan cucu agar hidup lebih baik, ingin
menyekolahkan anak-anak, adanya pengaruh orang luar sebagai dampak
interakasi sosial, kemauan sendiri setelah memiliki pengalaman interaksi dengan
orang luar, dan adanya program perumahan yang dibangun oleh pemerintah.
Proses bediom diluar kawasan hutan tidak mudah bagi Orang Rimba
cukup banyak keluarga yang kembali kehutan karena tidak mampu beradaptasi
dengan kehidupan diluar hutan. Pada umumnya penyebab mereka kembali
kehutanan adalah karena kesulitan dalam dalam memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Orang Rimba yang bediom sebagian besar tidak memiliki pekerjaan
tetap dan tidak memiliki kebun yang dapat dikelola sehingga tidak ada pendapatan
tetap yang dapat dijadikan penunjang kehidupan.
Kehidupan Orang Rimba yang bediom sangat memprihatinkan, meskipun
sebagaian besar mereka telah mendapatkan bantuan perumahan dari pemerintah
pusat yaitu dari Departemen Sosial dan Kementerian Pembangunan Daerah
Tertinggal (KPDT), namun dari tingkat kesejahteraan mereka tergolong penduduk

60
Op.Cit.www. www.goodreads.com.

Universitas Indonesia
103

yang berada dibawah garis kemiskinan. Program bantuan perumahan yang


diberikan oleh pemerintah pusat terhadap Orang Rimba di kawasan TNBD telah
berlangsung sejak tahun 1997, 1998, 2001, 2004, 2007 dan 2008.61

4.4. Sistem Ekonomi Orang Rimba


4.4.1. Sumber Matapencaharian
Sumber mata pencaharian Orang Rimba yang masih menetap di dalam
hutan terdiri dari beberapa sumber diantaranya adalah :
1. Berburu, Orang Rimba berburu selain untuk memenuhi kebutuhan makanan
adalah untuk mendapatkan uang sebagai hasil penjualan binatang buruan.
Dulu Orang Rimba menggunakan peralatan tombak dan parang untuk berburu
tetapi sekarang aktifitas berburu sudah menggunakan senjata rakitan yang
disebut kecepek. Kecepek mereka peroleh dengan cara membeli dari warga
desa dengan harga Rp. 200.000 hingga Rp.300.000. Ada juga Orang Rimba
yang sudah mampu merakit sendiri senjata kecepek. Hewan buruan yang laku
dijual adalah babi hutan, rusa, kijang, landak, trenggiling, ular, biawak dan
labi-labi. Harga jual hewan buruan beragam, babi hutan harga jual per ekor
Rp.100.000-Rp.150.000 harga daging Rp.2000 per Kg, harga kijang
Rp.100.000-Rp.150.000 per ekor hidup, harga landak Rp.50.000-Rp.60.000,
hewan buruan yang paling dicari adalah Trenggiling karena harganya per
ekor hidup Rp.200.000-Rp.300.000.62
Orang Rimba berburu hewan liar ini terutama pada waktu ada pembeli (toke)
yang memesan terlebih dahulu. Untuk beberapa jenis hewan seperti labi-labi,
ular, dan trenggiling memang sudah ada pembeli (toke) yang setiap saat
bersedia membeli. Aktifitas berburu tidak dapat dilakukan secara rutin, saat
ini hewan buruan sudah semakin sulit di dapat karena kawasan hidup hewan
buruan semakin jauh ke dalam hutan dan jumlahnya semakin berkurang.

61
Hasil Wawancara dengan MJ, BJ, TR, HH, NG, Nopember 2009.
62
Op.Cit.Karno Sasmita,2009.

Universitas Indonesia
104

Sumber Photo : KOPER HAM

Gambar 4.22. Berburu untuk bertahan hidup dan sumber ekonomi

2. Mencari Getah Jernang, getah jernang adalah getah atau resin yang
dihasilkan dari pengolaham buah jernang, jernang merupakan tanaman sejenis
rotan terdapat di dalam kawasan hutan TNBD. Harga getah jernang murni
bisa mencapai Rp.1.000.000 per Kg, tetapi Orang Rimba belum mengetahui
teknologi pengolahan jernang sehingga mereka sering mencampur getah
jernang dengan kulit buahnya sehingga harga jualnya hanya berkisar
Rp.400.000 sampai Rp.600.000 per Kg. Mencari getah jernang juga tidak
dapat dilakukan setiap waktu, dalam setahun biasanya hanya satu kali musim
jernang berbuah. Saat ini pohon jernang sudah sudah mulai berkurang di
kawasan TNBD, lokasi pencarian sudah sangat jauh dari tempat bermukim.
Orang Rimba membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk mendapatkan
getah jernang.
3. Mencari Getah Damar, mengumpulkan damar merupakan aktifitas Orang
Rimba yang dilakukan bersamaan aktifitas lainnya, mencari damar tidak ada
waktu khusus. Berbagai macam jenis getah damar terdapat di kawasan TNB
antara lain damar sisip, damar sarang, damar kepala tupai, damar tulang,
damar pulut, damar matakucing dan damar kelungkung.63 Mencari getah
damar sudah jarang dilakukan Orang Rimba karena membutuhkan waktu
yang lama, sementara harga getah damar hanya Rp. 1000 per Kg.

63
Op.Cit.Karno Sasmita, 2009.

Universitas Indonesia
105

4. Mencari Rotan, aktifitas ini merupakan


sumber ekonomi utama bagi Orang
Rimba yang tidak memiliki kebun karet
ataupun bagi yang memiliki kebun karet
tetapi belum disadap. Berbagai macam
jenis rotan mempunyai nilai ekonomis
tinggi dan banyak pembeli yang
menampung jenis hasil hutan non kayu
(HHNK) ini. Berbagai jenis rotan yang
yang sering dijual adalah jenis tebu-
Smber Photo : Alain Compost/KKI-WARSI
tebu, manau, sega, getah, seni,
Gambar 4.23.
semambu, dan udang. Saat penulis Orang Rimba Panen Rotan
melakukan observasi langsung ke lokasi
pemukiman Orang Rimba di Kedondong Muda dan Air Ban banyak
ditemukan titik-titik pengumpulan tebu-tebu dan manau untuk kemudian
dilangsir keluar hutan.
Aktifitas mencari rotan biasa dilakukan secara berkelompok atau sendiri.
Dalam aktifitas mencari rotan ini biasanya seluruh anggota dilibatkan, kepala
keluarga dan anak-anak laki remaja dan
dewasa bertugas mencari dan
mengumpulkan rotan di titik
pengumpulan, kemudian yang bertugas
melangsir keluar rimba dibantu oleh
anggota keluarga perempuan yaitu ibu
dan anak perempuan. Rotan manau dan
tebu-tebu dijual dalam dalam bentuk
Sumber Photo : Koleksi Pribadi
batangan dengan ukuran panjang Gambar 4.24.
Ibu dan Anak Perempuan Rimba
masing-masing 3 dan 4 meter. Melangsir Rotan ke Desa
Sedangkan jenis rotan sega, semambu,
getah dijual dalam satuan kilogram. Harga rotan manau dan tebu-tebu
bervariasi berdasarkan ukuran diameter batang. Untuk ukuran kecil harga per

Universitas Indonesia
106

batang Rp.500-Rp.1000, ukuran sedang Rp.3000 dan ukuran besar Rp.7000,-


per batang.64 Harga rotan memang cukup ekonomis, tetapi karena lokasi
pencarian yang cukup jauh sehingga cukup sulit untuk mengangkutnya keluar
dari hutan. Pada umumnya mencari rotan, setiap hari bisa dapat 4 ikat
beratnya 1 kwintal harganya Rp.70.000,-. Paling banyak yg bisa di bawa
keluar dalam satu minggu hanya 4 kwintal jadi satu minggu hasilnya Rp.
280.000,-.65

5. Mengambil Madu, bagi Orang Rimba madu merupakan penghasilan


musiman yaitu ketika musim berbunganya pohon-pohon di hutan sekitar
bulan Agustus-September, musim ini juga sering diiringi oleh musim buah-
buahan di hutan. Orang Rimba menyebut madu dengan “maniy rapah”, madu
diambil dari sarang lebah yang disebut “bambing” pada pohon sialang. Pohon
sialang adalah sebutan untuk jenis pohon yang disenangi lebah untuk
bersarang. Beberapa jenis pohon yang disenangi lebah untuk bersarang
adalah pohon kedondong, pohon kawon, pohon keruing, dan pohon pulai.

Sumber Photo : KKI-WARSI


Sumber Photo : KOPER HAM

Gambar 4.25. Gambar 4.26


Pohon Sialang Tempat Lebah Madu Mengambil Madu Lebah

Pohon sialang memiliki nilai sosial dan ekonomi bagi Orang Rimba,
kepemilikan pohon biasanya merupakan warisan keluarga. Begitu pentingnya
nilai pohon ini bagi orang yang merusak akan didenda adat 160 lembar kain,

64
Hasil Wawancara dengan BT, 19 Nopember 2009.
65
Hasil Wawancara dengan MD, 19 Nopember, 2009.

Universitas Indonesia
107

sedangkan jika pohon yang dirusak mati atau ditebang maka akan didenda
adat sebanyak 500 lembar kain.
Proses mengambil madu dilakukan dengan cara memanjat pohon
sialang dengan menggunakan tangga dari pasak kayu yang disebut “lantak”
yang dipahatkan ke batang pohon sialang. Untuk mengambil madu lebah ini
diperlukan keterampilan memanjat dan membaca mantera, oleh karenanya
tidak semua laki-laki Orang Rimba mampu melakukannya. Satu pohon sialang
biasanya terdapat 50-100 sarang lebah, dan madu yang dihasilkan bisa dari satu
pohon sialang 300-500 kilogram bahkan bisa lebih. Harga madu per kilo
Rp.10.000-Rp.15.000,-.
6. Berkebun Karet dan Sawit, berkebun karet saat ini merupakan sumber
pendapatan paling utama bagi Orang Rimba, meskipun harga karet selalu
berfluktuasi dan sangat dipengaruhi musim tetapi jika dibandingkan dengan
sumber matapencahaian Orang Rimba lainnya berkebun karet jauh lebih
menguntungkan dan lebih menjamin keberlanjutan sumber pendapatan
ekonomi Orang Rimba. Harga jual karet Orang Rimba di lokasi penelitian rata-
rata berkisar Rp.3000-Rp.8000,-. Selain berkebun karet saat ini beberapa
Orang Rimba telah menanam sawit. Menanam kelapa sawit merupakan
pengaruh dari masyarakat desa sekitar daerah penyangga TNBD yang
umumnya memiliki kebun sawit dari program plasma perusahaan perkebunan.
Ada 4 (empat) perusahaan perkebunan kebun kelapa sawit yang memiliki lahan
kebun mengelilingi kawasan TNBD, yaitu PT.Sawit Desa Makmur, PT.Jambi
Agro Wiyana, PT.Era Mitra Agro Lestari dan PT.Sari Aditya Loka.
Menanam karet bagi Orang Rimba yang bermukim di daerah bagian Utara
kawasan TNBD khususnya di Kelompok Makekal dimulai sejak beroperasinya
perusahaan HPH di kawasan hutan yang menjadi ruang hidup mereka, kegiatan
menanam karet di mulai sekitar awal tahun 1970-an. Kegiatan berkebun karet
merupakan strategi adaptasi bagi Orang Rimba dikarenakan rasa khawatir akan
habisnya kawasan hutan ruang hidup mereka sebagai akibat aktifitas penebangan
hutan oleh perusahaan HPH. Dorongan untuk menanam karet bagi Orang Rimba

Universitas Indonesia
108

di kelompok Makekal juga datang dari seorang Rio (Kepala Desa) di Desa Tanah
Garo yang berkedudukan sebagai Waris.66
Orang Rimba di Kelompok Air Hitam mulai menanam karet sejak tahun
1984, sejak adanya pembangunan pemukiman transmigrasi ke kawasan hutan
mereka. Aktifitas berkebun karet pada awalnya merupakan strategi bertahan dari
tekanan pembukaan lahan hutan yang telah dijadikan pemukiman transmigrasi
maupun pembukaan lahan kebun oleh Orang Terang, pembukaan kebun karet
ditanam di lahan perbatasan antara kebun maasyarakat desa dan kawasan hutan
TNBD. Kebun karet yang ditanam ini disebut dengan “hompongan”. Dalam
bahasa Orang Rimba “hompongan” berarti pagar.
Tujuan membuka kebun karet itu adalah untuk memagari atau menghadang
Orang Terang agar tidak membuka lahan di kawasan hutan yang merupakan ruang
kehidupan Orang Rimba. Selain pohon karet di dalam hompongan juga ditanam
pohon buah-buahan seperti durian, duku, rambutan, pedaro (sejenis lengkeng),
jengkol dan pohon buah lainnya.67

Sumber Photo : Koleksi Pribadi Sumber Photo : Koleksi Pribadi

Gbr. 4.27. Gbr. 4.28.


Temenggung Tarib di Kebun Sawit Kebun Karet Berfungsi Sebagai Hompongan

Model kebun karet hompongan yang ditanami berbagai jenis pohon ini
menjadikan hompongan lebih tepat disebut hutan karet, karena pola penanaman
masih menggunakan bibit sapuan yang berasal dari kebun-kebun karet warga

66
Op.Cit. Wawancara dengan SR.
67
Op.Cit. Wawancara dengan TR.

Universitas Indonesia
109

desa. Hompongan yang ditanam secara polikultur ini mengacu pada sistem
perkebunan hutan (agroforestry), berdasarkan banyak hasil penelitian bahwa
sistem perkebunan ini dari aspek lingkungan memiliki nilai konservasi yang
tinggi, dan juga dari aspek ekonomi memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi.
Dari pengamatan lapangan dan wawancara dengan informan, sebenarnya
Orang Rimba yang memiliki kebun karet yang cukup luas terbatas pada golongan
“pengulu” sedangkan anggota rombong hanya sebatas sebagai buruh sadap di
kebun karet para pengulu. Kalaupun ada anggota rombong yang memiliki kebun
karet luasannya tidak lebih dari 2 (dua) hektar, pohon karet yang ditanam tidak
terlalu banyak rata-rata setiap orang hanya mampu menanam 200-300 pohon.
tetapi ini hanya sebagian kecil, sebagian besar anggota rombong belum
mempunyai kebun karet dan masih menggantungkan hidup dari mencari hasil
hutan non kayu di kawasan TNBD. Usaha pertanian karet ini telah membuat
Orang Rimba telah melakukan intensifikasi sumber daya yang cukup nyata dan
meningkatkan produktivitas tenaga kerja mereka (Sandbukt & Warsi,1998,24).
Permasalahan utama yang kemudian muncul kepada Orang Rimba yang bertanam
karet ini adalah kualitas mutu getah karet mereka yang rendah dan jumlah
produksi karet yang terbatas bila dibandingkan dengan karet orang warga desa.

4.4.2. Jaringan Pemasaran Hasil Hutan


Orang Rimba telah mengenal ekonomi uang melalui proses jual-beli
dengan orang Terang. Umumnya mereka menjual hasil buru dan meramu. Mereka
menjual berbagai hasil hutan di desa-desa sekitar. Demikian juga mereka
memperoleh berbagai alat kebutuhan yang tidak dihasilkan di hutan dari desa-desa
sekitar. Pada masa lalu perdagangan dengan orang luar adalah untuk memperoleh
alat-alat serta keperluan Orang Rimba yang tidak bisa dibuat di dalam hutan. Alat-
alat yang dibeli dari luar misalnya alat-alat dari besi, seperti parang, tembilang,
tombak, pisau, kuali dan periuk. Selain itu mereka juga memperoleh kain yang
digunakan sebagai pakaian, mas kawin, pembayar denda dan sebagai simpanan.
Saat ini keadaan itu mulai berubah, barang-barang diatas masih tetap didapatkan
dari luar. Akan tetapi saat ini semakin banyak barang kebutuhan sekunder yang

Universitas Indonesia
110

dibeli dari luar. Barang yang dibeli misalnya, handphone, minyak wangi, senapan
(kecepek), dan berbagai jenis jajanan pabrik.
Sudah sejak lama Orang Rimba memiliki jaringan pemasaran dengan
Orang Terang, mereka menjual hasil hutan dan hasil kebun ke pembeli yang
sering disebut “toke” yang berada di desa sekitar bahkan untuk beberapa jenis
hasil hutan para pembeli berasal dari luar desa sekitar. Dalam jaringan pemasaran
hasil hutan dan hasil kebun Orang Rimba dikenal adanya peran “jenang”. Jenang
adalah orang luar yang dipercaya dan ditunjuk secara resmi oleh Orang Rimba
sebagai perantara perdagangan. Orang Rimba akan membawa hasil hutan dan
hasil kebun kepada jenang, lalu jenang menaksir nilainya. Orang Rimba kemudian
menukarnya dengan barang yang nilainya setara. Bersamaan dengan semakin
terbukanya interaksi dengan orang luar, peran jenang semakin lemah, saat ini
Orang Rimba tidak lagi hanya terfokus menjual hasil hutan dan hasil kebun
kepada jenang, umumnya Orang Rimba secara langsung menjual hasil hutan
kepada toke atau penduduk desa. Mereka membawa sendiri barang yang hendak
dijual ke tempat dimana toke menunggu dengan mobil pengangkut.

4.5. Aspek Politik Orang Rimba


Orang Rimba di kawasan TNBD sudah mulai menggunakan hak
politiknya dalam pemilihan Kepala Desa, Bupati dan Pemilihan Presiden.
Meskipun baru sebagian kecil yang menggunakan hak pilihnya, umumnya yang
telah menggunakan hak pilih adalah kelompok Orang Rimba yang telah
didampingi oleh LSM. Menarik untuk menyimak alasan mereka di dalam
menggunakan hak pilih pada proses PILPRES 2009 sebagai berikut :
“Dari pemilihan rajo (presiden, red) ini, kami berharap akan ada perhatian
khusus dari pemerintah pusat maupun Pemkab Merangin,” ujarnya sambil
mengisap rokok dalam-dalam”.68
“Kami harop bepak yang terpilih nantinyo menjago hutan kami, agar supayo
adat istiadat kami jangan helang. Hutan tergantung adat istiadat,

68
http://www.jambiindependent.co.id/jio/index.php?option=comcontent&view=article&id=156:
suasana-pilpres-di-perkampungan-orang-rimba-merangin-
dansarolangun&catid=1:metrojambi& di download 4 agustus 2009 1.15 Wib.

Universitas Indonesia
111

bertahankan hutan, bertahan adat kami. Kalau hutan tidak terbuka kan adat
istiadat kito tak berubah. Itu yang kami harapkan ikut milih.”
“yang dipilih adalah rajo yang mau memikirkan nasib mereka yang tidak
dipilih yang tidak mau berpikir untuk orang rimba. Kami sudah ikut
pemilihan kades, bupati, gubernur dan presiden”69
Sebenarnya Orang Rimba belum memiliki kesadaran politik, partisipasi
politik mereka muncul disebabkan adanya mobilisasi dan dorongan pihak LSM
dan pemerintah, sehingga partisipasi politik mereka masih rentan dimanfaatkan
untuk kepentingan politik praktis para pihak. Hal ini terungkap dari wawancara
informan, beberapa kelompok Orang Rimba dilakukan pendataan sebagai calon
pemilih pada saat menjelang dilaksanakan pemilihan kepala desa dan pada saat
menjelang PILKADES dan PEMILU.
Sebelumnya tidak pernah dilakukan pendataan, misalnya untuk
kepentingan administrasi kependudukan dan pendataan warga miskin. Justru
mereka mendapatkan bantuan bagi masyarakat miskin setelah didata untuk
kepentingan PEMILU dan PILKADES. Beberapa ungkapan berikut menguatkan
hal tersebut, ”pemilihan KADES kalau tidak ada suara dari SAD tidak akan jadi
KADES”, “pendataan dilakukan utk pemilihan kades dan Pilpres, tapi kami sudah
konsultasikan mereka sudah mau utk didaftarkan sebagai warga resmi desa”.70
Aspek politik Orang Rimba di kawasan TNBD, dapat dilihat dari peristiwa
penolakan Rencana Pengelolaan TNBD sering disingkat dengan RPTNBD yang
disusun oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Jambi
sebagai pihak pengelola TNBD sebelum beralih menjadi Balai TNBD pada tahun
2006. Penolakan Orang Rimba ini dilakukan setelah adanya diskusi mengenai
dokumen RPTNBD bersama LSM SOKOLA, dari hasil diskusi tersebut
disimpulkan bahwa RPTNBD yang dibuat oleh BKSDA Jambi akan mengancam
masa depan dan merugikan Orang Rimba Bukit bukit 12 karena tidak
mengakomodir kebiasaan hidup dan tradisi adat Orang Rimba. Aksi penolakan

69
Hasil Wawancara dengan MK, 16 Nopember 2009
70
Hasil Wawancara ED dan BJ, 16 dan 20 Nopember 2009

Universitas Indonesia
112

RPTNBD ini dilakukan bersama Orang Rimba dengan dukungan dari aliansi
beberapa LSM yang tergabung dalam Koper HAM.71

4.6. Identifikasi Masalah dan Isu Penting Terkait Masyarakat Adat Orang
Rimba
4.6.1. Marjinalisasi Ekonomi
Proses marjinalisasi ekonomi masyarakat adat Orang Rimba telah
berlangsung lama, dimulai dari aktifitas pembukaan kawasan hutan untuk
kepentingan menambah devisa negara. Kebijakan pemerintah dalam pemberian
izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) pada pertengahan tahun 70-an kepada kurang
lebih 28 perusahaan HPH di Provinsi dengan total luas lahan konsesi lebih
kurang 2,6 juta hektar. 14 perusahaan HPH diantaranya memiliki izin konsesi di
kawasan hidup Orang Rimba.72 Dampak langsung dari eksploitasi kawasan hutan
oleh perusahaan HPH telah menghancurkan kawasan dan sumber-sumber
kehidupan Orang Rimba.
Eksploitasi kawasan hutan yang menjadi kawasan dan sumber hidup
Orang Rimba terus berlanjut dengan
adanya kebijakan transmigrasi pada
dekade tahun 80-an, Provinsi Jambi
termasuk salah satu tujuan
transmigrasi utama di Pulau Sumatera.
Lebih kurang 7 kawasan pemukiman
transmigrasi dibangun pemerintah di Sumber Photo : KKI-WARSI
sepanjang jalur lintas Sumatera selama Gbr. 4.29. Pemukiman Transmigrasi
satu dasawarsa tahun 80-an, kawasan
transmigrasi tersebut adalah (1) Trans Singkut, (2) Trans Kubang Ujo, (3) Trans
Pamenang, (4) Trans Air Hitam, (5) Trans Hitam Ulu, (6) Trans Kuamang Kuning
dan (7) Trans Rimbo Bujang. Program pembukaan jalan lintas/Trans Sumaatera
dan pembangunan kawasan transmigrasi ini menyebabkan berkurangnya secara
drastis kawasan hidup Orang Rimba.

71
Op.Cit. Pengendum dan KoperHAM, 2006.
72
Robert Aritonang, Hutan Dataran Rendah Propinsi Jambi dan Kehidupan Orang Rimba.
Buletin Alam Sumatera Edisi 1/tahun VIII, Juli. KKI-WARSI, 2009.

Universitas Indonesia
113

Eksploitasi kawasan hidup Orang


Rimba tidak segera berhenti setelah
pembukaan kawasan transmigrasi, tetapi
terus berlanjut pada dasawarsa tahun 90-
an dengan adanya kebijakan pemerintah
dalam hal pemberian izin pembukaan
perkebunan swasta besar dan izin
pembukaan Hutan Tanaman Industri
Sumber Photo : www.film4.org
(HTI), inilah puncak eksploitasi hutan
kawasan hidup Orang Rimba secara Gbr. 4.30.
Ruang Hidup OR berubah
masif. Alih fungsi kawasan hutan ini Menjadi Kebun Sawit dan HTI

menyebabkan Orang Rimba kehilangan tanah/lahan tempat bermukim, sumber-


sumber ekonomi dan sumber kehidupan mereka seperti rotan, jernang, getah
balam, getah damar, hewan buruan, buah-buahan dan umbi-umbian yang
merupakan sumber pangan bagi Orang Rimba serta kehilangan tatanan sosial
budaya.
Dampak dari hilangnya kawasan hutan secara masif tersebut mereka
hadapi dengan melakukan proses adaptasi dengan strategi mencari atau berpindah
ke kawasan hutan yang masih tersisa di daerah penyangga atau di dalam kawasan
Taman Nasional (TNKS, TNBT, dan TNBD). Secara ekonomi kelompok Orang
Rimba yang memilih tinggal di kawasan sekitar dan dalam kawasan hutan masih
lebih baik dari kelompok Orang Rimba yang memilih menetap diluar hutan
meskipun pada taraf ekonomi yang masih dibawah standar layak hidup dan pas-
pasan. Kelompok yang memilih tetap tinggal di kawasan hutan memiliki sumber
ekonomi dari hasil menjual hasil hutan non kayu (HHNK) seperti rotan, jernang,
getah-getahan, madu, hasil buruan, serta hasil kebun karet.
Secara ekonomis pendapatan dari hasil penjualan HHNK tidaklah dapat
memenuhi kebutuhan keluarga secara layak dan kontinu, hal ini dikarenakan
pendapatan berasal dari kegiatan mengekstraktif sumberdaya hutan yang
tergantung dari musim dan ketersediaan yang terbatas. Sementara hasil kebun
karet yang tidak dilakukan dengan budidaya yang intensif hanya menghasilkan

Universitas Indonesia
114

produksi yang rendah. Sebagian besar anggota kelompok yang memilih tinggal di
dalam kawasan hutan menggantungkan sumber ekonomi dari kegiatan berburu
dan meramu. Hanya sebagian kecil terutama para pengulu Orang Rimba yang
memiliki kebun karet yang cukup luas, sehingga mereka memiliki tingkat
ekonomi yang relatif lebih baik.
Beberapa individu pengulu memiliki lahan kebun karet yang luasnya
diatas 5 hektar. Para pengulu ini memiliki penghasilan dari kebun karet berkisar
Rp.3.000.000 sampai Rp.5.000.000 per bulan. Bagi anggota kelompok yang
berburu dan meramu penghasilan tidak tetap per bulan diperkirakan hanya
berkisar Rp.500.000 sampai Rp.750.000,-. Angka pendapatan ini bukanlah suatu
angka yang dapat memenuhi standar hidup minimal.
Semenjak dibangunnya proyek pemukiman transmigrasi Air Hitam dan
Hitam pada tahun 1986 di kawasan penyangga TNBD Orang Rimba Air Hitam
mulai mengenal ekonomi uang dan melakukan aktifitas jual beli.73 Barang-barang
yang biasa dibeli oleh adalah garam, gula, tembakau, kopi, rokok, minyak sayur,
batu baterai, beras, dll. Untuk barang-barang tersebut rata-rata mereka
membelanjakan uang sebesar Rp.125.000 per minggu.74 Kelompok ini masih
memiliki sumber bahan pangan yang mereka produksi sendiri dari hasil ladang
berupa umbi-umbian, pisang, cabe dan buah-buahan hutan, sehingga mereka tidak
memerlukan uang untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka.
Beberapa ungkapan informan mengenai pendapatan mereka terungkap
sebagai berikut : “semua orang tetap bisa bikin kebon, cuma itu belum ada
mencukupi.. macam mana membantu ekonomi kami orang rimba supaya dia maju
sendiri”,” sekarang masih tetap miskin bahkan bisa-bisa mati”, “masalah ekonomi
yg kurang makanya terjadi jual lahan itu”.75 Ungkapan ini menggambarkan
tingkat kesulitan ekonomi kelompok ini. Faktor lain yang semakin menekan
pendapatan Orang Rimba adalah rendahnya harga jual HHNK oleh para toke desa,
sebagaimana alasan yang diungkapan informan sebagai berikut :

73
Op.Cit.Wawancara dengan TR, 17 Nopember 2009.
74
Op.Cit.Karno Sasmita, 2009.
75
Hasil Wawancara dengan TR, MB, 17 dan 19 Nopember 2009.

Universitas Indonesia
115

“Yang pertama dia (toke desa) makan otak kita, yang kedua kito dapat
bunga (untung) sedikit. Enaknya kita jual secara langsung saja secara
bebas supaya dapat lebih banyak”76

Kelompok Orang Rimba yang memilih strategi adaptasi dengan cara


“bediom” tingkat ekonomi mereka lebih sulit, meskipun mereka dapat mencari
sumber ekonomi dari HHNK dan berburu tetapi karena mereka sudah menetap di
luar kawasan hutan mereka mengalami kesulitan karena jarak yang jauh dari
sumber ekonomi. Mereka membutuhkan waktu yang cukup lama dan jarak
tempuh yang jauh untuk mengeluarkan HHNK, sehingga jumlah yang dapat
diangkut untuk dijual relatif kecil dan hasil penjualan tidak sebanding dengan
tenaga kerja yang dikeluarkan. Mereka tidak memiliki lahan untuk berproduksi
dan cukup sulit untuk mendapatkan kerja harian. Ironisnya tingkat kebutuhan
mereka sudah cenderung sama dengan masyarakat biasa, sementara mereka tidak
dapat memproduksi sumber pangan sendiri dikarenakan tidak memiliki lahan yang
bisa ditanami. Pekerjaan yang dapat dilakukan oleh kelompok bediom ini
hanyalah sebagai buruh sadap karet, buruh terbas, memungut berondolan sawit
dan berburu hewan liar.77
Kelompok Orang Rimba yang memilih cara tetap bertahan di kawasan
perkebunan warga desa dan perusahaan meskipun dengan kondisi yang sangat
termarjinalisasi karena tidak memiliki tempat tinggal yang layak, tidak memiliki
sumber kehidupan. Kelompok ini mempertahankan hidup dengan cara berburu
babi, memungut berondolan sawit. Kelompok kecil yang tinggal dipinggiran kota
mempertahankan hidup dengan cara mengemis, menjadi pemulung serta menjual
benda-benda eksotis. Hanya sebagian kecil saja dari kelompok Orang Rimba yang
mampu beradaptasi dengan melakukan penanaman intensif lahan kebun, merubah
adat-istiadat dan memeluk agama. 78
Sampai saat dilakukan penelitian ini belum ada upaya-upaya yang
dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi persoalan marjinalisasi ekonomi yang

76
Hasil Wawancara dengan MB, 19 Nopember 2009.
77
Hasil Wawancara dengan MK, ED, NG, MJ, 16 dan 19 Nopember 2009.
78
Op.Cit. Robert Aritonang, 2009.

Universitas Indonesia
116

dihadapi oleh masyarakat adat Orang Rimba. Marjinalisasi ekonomi Orang Rimba
saat ini juga disebabkan oleh persaingan yang ketat dengan warga desa Orang
Melayu dan warga desa transmigrasi terhadap akses kepemilikan dan pembukaan
lahan-lahan yang dapat dijadikan kebun.
Rendahnya keterampilan dan tingkat pendidikan Orang Rimba membuat
mereka sulit untuk dapat bekerja sebagaimana layaknya masyarakat biasa. Masih
adanya stereotip negatif terhadap Orang Rimba membuat komunitas ini tidak
memiliki akses dan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan
pendapatan yang lebih baik.

4.6.2. Melemahnya Adat Istiadat


Melemahnya adat-istiadat di komunitas Orang Rimba dipengaruhi oleh
semakin terbukanya interaksi dengan masyarakat luar sehingga banyak menerima
berbagai pengaruh dan informasi, saat ini sudah terjadi perubahan pola pikir pada
Orang Rimba seiring perubahan zaman, Orang Rimba sudah ada yang memeluk
agama yang dulu bagi mereka bicara agama adalah tabu adat. Bertambahnya
pengetahuan, tuntutan ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan hidup semakin
tinggi, kurangnya manfaat yang dirasakan oleh mereka apabila masih tetap
mempertahankan adat. Proses perubahan sosial ini cenderung memperlonggar
aturan adat yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan pola pikir mereka yang
mana adat tersebut kurang bermanfaat bagi mereka. Meskipun demikian mereka
tetap terus menjaga dan memegang kuat aturan norma adat yang terkait dengan
kepercayaan dewa dan leluhur.
Beberapa sanksi adat terhadap pelanggaran norma, misalnya menjual lahan
dikenakan denda 500 kain tetapi saat ini denda tersebut tidak diindahkan lagi.
Melemahnya adat-istiadat komunitas Orang Rimba lebih kepada pengaruh adanya
tekanan dan proses adaptasi masyarakat adat Orang Rimba. Contoh lain adalah
dari aspek pengobatan, Orang Rimba mengenal tradisi besale yaitu suatu proses
upacara untuk menyembuhkan orang yang sakit. Tradisi ini sudah mulai jarang
mereka lakukan karena mereka sudah mengenal obat-obatan kimia untuk proses
penyembuhan.

Universitas Indonesia
117

Saat ini anggota kelompok perempuan sudah bebas berinteraksi dengan


orang luar, mereka sudah bebas pergi ke pasar mingguan di desa-desa terdekat
tanpa rasa ketakutan lagi. Dulu perempuan Orang Rimba tidak boleh bertemu
orang luar, jika orang luar bertemu dengan perempuan Orang sementara pihak
laki-laki Rimba tidak ada bisa dikenakan sanksi adat. Semenjak pemukiman
transmigrasi dibuka kaum perempuan sudah bebas bepergian dan bertemu dengan
masyarakat luar. Kebiasaan makan untuk kalangan muda sudah tidak ada
pantangan, kecuali kalangan orang tua dan penghulu yang masih mempertahankan
adat tidak memakan daging binatang peliharaan orang desa.
Antar kelompok Orang Rimba memiliki wilayah pemukiman yang
disepakati mengenai batas-batasnya dan tidak boleh dilanggar, pelanggaran tata
batas merupakan pelanggaran adat, tetapi sekarang dengan semakin bertambahnya
anggota kelompok maka kebutuhan lahan semakin meningkat sementara lahan
semakin berkurang sehingga telah terjadi pelanggaran wilayah, melewati batas
wilayah kelompok lainnya. Pelanggaran ini tidak lagi bisa diberi sanksi karena
khawatir akan menjadi sengketa dan pertikaian. Pelanggaran wilayah ini
disebabkan oleh munculnya pengakuan hak milik terhadap lahan individu, yang
pada masa lalu hak kepemilikan adalah hak milik bersama keluarga dan rombong.
Munculnya hak kepemilikan individu terhadap lahan karena maraknya pembelian
tanah Orang Rimba oleh masyarakat luar.

4.6.3. Desakan Okupasi dan Jual Beli Lahan


Desakan melakukan okupasi lahan
di kawasan TNBD oleh masyarakat luar
dan Orang Rimba merupakan isu penting
yang akan berpengaruh kepada
kelangsungan kehidupan Orang Rimba
dan kelestarian kawasan hutan TNBD.
Sejak dua tahun terakhir okupasi lahan Sumber Photo : www.lightstalkers.org

untuk diperjual belikan semakin marak di Gbr.4.31.


Orang Rimba dan Motor Baru
kalangan masyarakat Orang Rimba.

Universitas Indonesia
118

Dalam proses okupasi dan jual beli ini ditengarai ada kerjasama antara pihak
pemilik modal dari Orang Luar dan Orang Rimba sebagai pelaku okupasi lahan
untuk kepentingan masyarakat luar. Status kawasan TNBD sebagai kawasan
hidup Orang Rimba dapat dijadikan perlindungan bagi masyarakat luar untuk
membuka lahan di kawasan TNBD.79
Bagi Orang Rimba, okupasi lahan untuk dijual jelas sekali motifnya adalah
untuk kepentingan memenuhi kebutuhan kendaraan bermotor dan handphone serta
selebihnya baru untuk memenuhi kebutuhan hidup harian. Jika hal ini dibiarkan
maka hal ini akan berdampak pada berkurangnya sumberdaya lahan bagi Orang
Rimba. Sebuah perubahan yang mengkhawatirkan. Maraknya jual beli lahan ini
karena sudah semakin meningkatnya daya beli warga desa sekitar kawasan TNBD
dan kebutuhan memperluas lahan kebun yang telah menghasilkan. Alasan lain
dari maraknya proses jual beli lahan ini adalah semakin sulitnya sumber ekonomi
Orang Rimba, sehingga untuk mempertahankan hidup salah satu alternatif yang
dilakukan adalah dengan melakukan okupasi lahan di kawasan TNBD kemudian
dijual kepada warga desa.80
Adanya aktifitas jual beli lahan ini sebenarnya banyak ditolak oleh
kelompok Orang Rimba lainnya yang berada di kawasan TNBD, bagi mereka
menjual lahan tidak akan memberi keuntungan tapi justru merugikan.81 Jual beli
lahan di kawasan hutan daerah penyangga TNBD mulai ada semenjak adanya
pemukiman transmigrasi, mengalami peningkatan semenjak dua tahun terakhir.
Perkiraan penulis tingginya tekanan akan pembukaan lahan dikawasan TNBD
karena dampak perkebunan sawit yang lebih menguntungkan jika diusahakan
secara pribadi daripada dengan pola kemitraan.

4.6.4. Sistem Pengelolaan Kawasan TNBD


Adanya dua tujuan khusus keberadaan TNBD menyebabkan kondisi yang
dilematis bagi pihak pengelola kawasan yaitu Balai TNBD. Disatu sisi tugas
mereka adalah mempertahankan ruang hidup dan meningkatkan kesejahteraan
Orang Rimba, disisi lain mereka harus menjaga kelestarian kawasan dengan cara

79
Op.Cit. Wawancara dengan TR, 17 Nopember 2009.
80
Hasil wawancara dengan TR, BT, MB, 17 dan 19 Nopember 2009.
81
Ibid Wawancara dengan TR,BT,MB, 2009.

Universitas Indonesia
119

mengurangi dan membatasi aktivitas manusia di dalam kawasan sesuai dengan


aturan hukum yang berlaku yang menjadi dasar pengelolaan kawasan. Dua tujuan
ini menimbulkan konflik kepentingan yang laten antara pihak pengelola TN dan
komunitas Orang Rimba
Berdasarkan peraturan pengelolaan yang ada yaitu UU No.5/1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam, UU 41/1999 tentang Kehutanan dan peraturan
lainnya, keberadaan komunitas masyarakat adat dapat berpotensi melanggar
ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam peraturan tersebut. Namun disatu sisi ada
peraturan (SK.Meunhutbun258/Kpts-II/2000) yang memberikan kewenangan
pihak pengelola untuk meningkatkan kesejahteraan Orang Rimba.
Hasil wawancara mendalam dengan informan mengungkapkan dilematis
pengelolaan kawasan TN disebabkan belum adanya payung hukum yang jelas dan
sesuai dengan kondisi lapangan kawasan yang di dalamnya terdapat kehidupan
komunitas masyarakat adat Orang Rimba. Kondisi dilematis dapat dilihat dari
ungkapan berikut : “Ada 2 persimpangan satu
sisi kelestarian kawasan harus utuh disisi lain
kualitas hidup orang rimba harus meningkat”,
“kalau kualitas hidupnya relatif kalau ingin
sejajar dengan masyarakat di luar tidak akan
bisa tercapai karena tetap akan bertabrakan
dengan aturan UU”. 82
Pola pengelolaan kawasan TNBD yang
berkaitan dengan keberadaan masyarakat adat
Orang Rimba yang belum baku dan tata batas Sumber Photo : KOPER HAM

Gbr. 4.32.
TN merupakan satu hal pokok yang menjadi Orang Rimba Demonstrasi
Menolak RPTNBD
persoalan dan perhatian para pihak baik
kalangan pemerintah dalam hal ini Balai TNBD, PEMDA (tingkat kabupaten,
kecamatan dan desa), kalangan LSM, masyarakat desa disekitar kawasan, dan

82
Hasil Wawancara dengan RD, 7 Nopember 2009

Universitas Indonesia
120

Orang Rimba. Berbagai pihak tersebut memiliki agenda kepentingan masing-


masing terkait sistem pengelolaan kawasan.
Sistem pengelolaan kawasan, sudah pernah disusun dalam rencana
pengelolaan taman nasional (RPTN) oleh Balai KSDA (Konservasi Sumber Daya
Alam) pada tahun 2005, waktu itu BKSDA sebagai pengelola kawasan sebelum
terbentuknya Balai TNBD, namun rencana pengelolaan tersebut di tolak oleh
pihak aliansi LSM (KOPERHAM) dan komunitas adat Orang Rimba dengan
alasan bahwa RPTNBD tersebut tidak mengakomodir kepentingan Orang Rimba.
Dampak dari adanya RPTNBD yang ditetapkan pada tahun 2005 tersebut, telah
menyebabkan terjadinya perusakan tanaman dan penebangan pohon karet Orang
Rimba oleh staff BKSDA, sehingga memicu konflik terbuka. Penolakan
RPTNBD pada tahun 2006 dilakukan secara demonstrasi ke kantor BKSDA dan
bertemu dengan beberapa fraksi di DPR-RI untuk memperjuangkan penolakan
diterapkannya RPTNBD.
Saat ini telah disusun kembali RPTNBD oleh pihak Balai TNBD sebagai
rujukan dalam pengelolaan kawasan TNBD. Berdasarkan hasil wawancara dengan
pihak Balai TNBD, sistem pengelolaan kawasan akan di kelola dengan “sistem
zonasi” karena hal ini sesuai dengan peraturan pengelolaan TN. Hanya saja RPTN
yang baru ini akan mengakomodir kepentingan Orang Rimba. Konsep RPTN ini
akan disosialisasikan dan didiskusi bersama para pihak terutama masyarakat adat
Orang Rimba.
Sejauh mana RPTN ini akan mengakomodir kepentingan Orang Rimba
memang harus dilakukan pembahasan bersama yang melibatkan para pihak agar
RPTN Bukit Dua Belas yang dihasilkan dapat mengakomodir kepentingan
peningkatan kesejahteraan Orang Rimba dan kelestarian sumber daya hayati
kawasan TNBD.

4.6.5. Rekonstruksi Tata Batas TNBD


Rekonstruksi tata batas TNBD yang sedang dilakukan pihak yang
berwenang merupakan isu penting di kalangan Orang Rimba dan pihak LSM
pendamping, dikarenakan proses rekontruksi ini akan berkaitan dengan wilayah
sumberdaya milik Orang Rimba berupa “benuaron” atau kebun buah-buahan

Universitas Indonesia
121

yang berada diantara garis batas TNBD dan batas wilayah desa. Keberadaan
benuaron ini membuat terjadinya gesekan kepentingan akan penguasaan lahan
antara kelompok Orang Rimba dan masyarakat desa. Masing-masing merasa
berhak akan areal hutan tersebut.
Hal yang paling penting dari proses rekonstruksi ini selain memperjelas
wilayah kawasan TNBD, adalah mensiasati ketersediaan lahan bagi Orang Rimba
guna menunjang sumber ekonomi mereka. Rekonstruksi tata batas tidak hanya
akan melindungi kawasan hidup Orang Rimba saat ini, tetapi juga harus
dipertimbangan ketersediaan lahan bagi Orang Rimba yang akan menjadi jaminan
kelangsungan hidup mereka. Artinya rekonstruksi tata batas TNBD tidak
mengarah pada mempersempit luas fisik kawasan hutan tetapi juga harus
mempertimbangkan perluasan ruang kehidupan Orang Rimba dengan
memanfaatkan lahan-lahan bekas HTI yang berada di daerah penyangga TNBD.
Pencadangan lahan disekitar daerah penyangga TNBD yang dimasukkan dalam
kawasan TNBD merupakan suatu strategi untuk mengatasi persoalan semakin
menyempitnya kawasan ruang hidup Orang Rimba.

4.7. Evaluasi Kebijakan dan Strategi Pembangunan Pemerintah Bagi


Orang Rimba.
4.7.1. Program Pendidikan
Masyarakat adat Orang Rimba di kawasan TNBD sudah mulai dapat
menerima proses pendidikan. Pengenalan akan proses pendidikan pada awalnya
diperoleh dari pihak LSM dan individu masyarakat yang memiliki program
pemberdayaan dan kepedulian terhadap Orang Rimba.
Proses pendidikan bagi kelompok Orang Rimba wilayah Air Hitam dimulai dari
adanya inisiatif individu warga masyarakat desa dan pengulu Orang Rimba pada
tahun 1993 untuk melakukan proses belajar mengajar bagi anak-anak Orang
Rimba. Pada tahap awal lebih kurang 50 anak mengikuti proses belajar ini,
kegiatan belajar dilakukan di pondok kayu yang dibuat secara swadaya oleh
kelompok Orang Rimba, guru yang mengajar adalah warga desa. Kemudian ide
ini diteruskan untuk meminta pembangunan gedung sekolah kepada pihak
Pemerintah Kabupaten (waktu itu masih Sarolangun Bangko). Pemkab segera

Universitas Indonesia
122

setuju untuk membangunkan gedung sekolah pada tahun 1984 yang


diperuntukkan khusus bagi anak-anak Orang Rimba, pada awalnya sekolah
tersebut dikelola oleh Dinas Sosial kemudian karena menyangkut permasalahan
kurikulum dan kelanjutan proses belajar mengajar maka akhirnya pengelolaan
diserahkan ke Dinas Pendidikan.83
Kebijakan pemerintah membangun sarana fisik gedung sekolah dan
menerapkan metode proses belajar mengajar layaknya sekolah formal, ternyata
tidak mudah diterapkan terhadap anak-anak Orang Rimba. Ketika para pengulu
Orang Rimba yang menjadi inisiator terlaksananya proses pendidikan meninggal
dunia dan adanya pergantian guru yang pertama memberi pelajaran kepada anak-
anak Orang Rimba, hal ini menyebabkan mulai berkurangnya jumlah anak yang
mengikuti proses belajar di sekolah.84

Sumber Photo : Koleksi Pribadi Sumber Photo : Koleksi Pribadi

Gbr. 4.33. Gbr. 4.34.


Pondok Belajar Anak Rimba Saung Belajar Anak Rimba
Dibangun Swadaya Orang Rimba Dibangun Oleh Perusahaan
dan NGO Perkebunan
Sejak berdirinya sekolah khusus bagi anak Orang Rimba pada tahun 1994,
sampai dengan tahun 2009 jumlah siswa Orang Rimba yang berhasil menamatkan
Sekolah Dasar sebanyak 15 orang.85 Kecilnya jumlah siswa Orang Rimba yang

83
Hasil Wawancara dengan RB, 17 Nopember 2009.
84
Achmanto Mendatu, Sekolah Orang Rimba, artikel pada http://smartpsikologi. blogspot.
com /2007/08/sekolah-orang-rimba.html di download 27-08-2009 10.39 pm
85
Op.Cit.Wawancara dengan RB,2009.

Universitas Indonesia
123

berhasil menamatkan sekolah menunjukkan bahwa program pendidikan bagi


masyarakat adat Orang Rimba menyimpan sejumlah permasalahan.

Sumber Photo : Koleksi Pribadi

Gbr. 4.35.
SDN 191 Awal Pendiriannya Khusus Bagi Anak Orang Rimba

Hasil wawancara mendalam dengan beberapa informan berhasil


mengidentifikasi permasalahan dalam proses pelaksanaan pendidikan secara
formal bagi Orang Rimba sebagai berikut : (1) rendahnya kesadaran akan
pentingnya pendidikan di tingkat orang tua dan anak; (2) adanya budaya
melangun yang menyebabkan anak usia sekolah ikut berpindah; (3) lemahnya
fungsi institusi keluarga; (4) perceraian orang tua; (5) masalah ekonomi keluarga;
(6) perilaku anak yang tidak bisa terikat waktu dan tempat; dan (7) rendahnya gizi
anak.86
Sampai dengan saat ini belum ada kebijakan pemerintah baik pusat
maupun daerah untuk memberikan solusi terhadap permasalahan pendidikan bagi
masyarakat adat Orang Rimba. Tidak terpenuhinya program pelayanan pendidikan
dasar bagi Orang Rimba oleh pemerintah merupakan suatu pengabaian terhadap
hak azazi manusia khususnya hak ekonomi, sosial dan budaya.

86
Hasil Wawancara dengan RB, AR, PR, 17 Nopember 2009.

Universitas Indonesia
124

Pihak PEMDA Kabupaten Sarolangun sejak dua tahun terakhir telah


membentuk satu seksi khusus pembinaan dan pendidikan Suku Anak Dalam di
Dinas Pendidikan, namun belum ada program yang signifikan untuk
menyelesaikan permasalahan pendidikan bagi Orang Rimba. Program yang telah
dilakukan PEMDA adalah memberikan bantuan seragam sekolah bagi 125 siswa
Orang Rimba. Belum adanya kebijakan dan program yang dapat memberikan
solusi bagi pendidikan Orang Rimba disebabkan kendala pendanaan dan belum
adanya petunjuk teknis (JUKNIS) dan petunjuk pelaksanaan (JUKLAK)
mengenai pendidikan Orang Rimba.87
Pada tataran pelaksana teknis proses pendidikan di tingkat paling bawah
dalam hal ini pihak sekolah dasar, sudah ada upaya-upaya melakukan terobosan
untuk tetap melaksanakan proses belajar mengajar bagi anak Orang Rimba. Upaya
tersebut dilakukan dengan membangun kerjasama dengan pihak LSM dan
perusahaan yang memiliki program pemberdayaan pendidikan bagi Orang Rimba.
Bentuk kerjasama yang dilakukan berupa metode proses pembelajaran yang
dikenal dengan kelas jauh, metode ini dilakukan dengan melaksanakan kegiatan
proses belajar ditempat pemukiman Orang Rimba dengan jadwal belajar yang
tentatif. Selanjutnya anak-anak Orang Rimba yang telah mengikuti proses
pendidikan alternatif yang diselenggarakan oleh pihak LSM dan pihak perusahaan
diikutkan dalam proses belajar di sekolah formal dalam rangka persiapan untuk
mengikuti ujian akhir SD. Kerjasama ini telah menghasilkan lulusan sebanyak 15
siswa Orang Rimba.88
Upaya yang cukup signifikan untuk memberikan akses pendidikan bagi
Orang Rimba di kawasan TNBD telah dilakukan oleh LSM WARSI sejak tahun
1997 melalui program pendidikan alternatif bagi Orang Rimba, program ini masih
berlangsung hingga saat ini. Pendidikan alternatif ini kurikulumnya hanya sebatas
pada memberikan kemampuan Baca, Tulis, Hitung (BTH) bagi anak-anak Orang
Rimba. Metode belajar yang dilakukan adalah dengan mendatangi pemukiman
kelompok Orang Rimba di dalam kawasan TNBD membangun kesepakatan
dengan orang tua dan anak untuk melakukan proses pendidikan. Setelah

87
Hasil Wawancara dengan AZ, 7 Desember 2009.
88
Op.Cit.Wawancara RB, AR, PR, 2009.

Universitas Indonesia
125

kesepakatan tercapai kemudian disepakati tempat belajar dan waktu belajar yang
sangat longgar tergantung kesediaan waktu dan keinginan anak untuk belajar. 89
Selain melakukan proses pendidikan alternatif, upaya lain yang dilakukan
oleh LSM WARSI adalah memperluas akses pendidikan Orang Rimba untuk
dapat mengikuti pendidikan secara formal baik pada jenjang SD maupun jenjang
SMP atau program sederajat seperti PAKET B. Saat ini ada 3 orang anak Orang
Rimba yang telah dipersiapkan untuk mengikuti program PAKET B. Selain
kegiatan proses belajar yang langsung dilakukan, juga dilakukan kerjasama
dengan program pendidikan non formal pemerintah seperti program PKBM yang
ada ditingkat desa untuk memfasilitasi anak Orang Rimba agar dapat mengikuti
proses belajar pada program tersebut.90
Program pendidikan alternatif yang dilakukan oleh LSM WARSI sudah
berhasil merubah pola pikir dan pandangan masyarakat adat Orang Rimba untuk
memperbolehkan anak-anak mereka mengenal dan mengikuti proses pendidikan.
Upaya ini tidak begitu mudah dilakukan, karena pada awalnya banyak mengalami
penolakan dari para pengulu Orang Rimba, namun dengan pendekatan
pendampingan yang dilakukan akhirnya sebagian besar kelompok Orang Rimba di
TNBD sudah dapat menerima proses pendidikan bagi anak-anak mereka.
Sebagai upaya awal untuk melakukan penyadaran dan memberikan
kemampuan dasar Baca Tulis Hitung program pendidikan alternatif ini cukup
berhasil. Namun perlu dilakukan evaluasi dan penyempurnaan dalam hal metode
pengajaran dan kurikulum yang diberikan agar dapat lebih memberikan hasil yang
lebih baik secara kuantitas maupun kualitas dari proses pendidikan yang
dilaksanakan.
Hasil wawancara mendalam mengenai model pendidikan yang dibutuhkan
oleh Orang Rimba terungkap bahwa mereka tidak hanya membutuhkan
kemampuan BTH pada anak-anak mereka, tetapi mereka membutuhkan model
pendidikan yang dapat menunjang keterampilan pengolahan hasil hutan non kayu

89
Hasil Wawancara dengan AR dan PR, 17 Nopember 2009.
90
Op.Cit.Wawancara dengan AR dan PR,2009.

Universitas Indonesia
126

bagi anak-anak mereka. Kebutuhan model pendidikan ini untuk menunjang


peningkatan perekonomian mereka.91
Pihak pemerintah khususnya PEMDA harus segera mengambil kebijakan
dan menyusun grand desain model pendidikan yang sesuai dengan kondisi sosial
budaya masyarakat adat Orang Rimba, sehingga akses pendidikan dasar bagi
Orang Rimba dapat segera dipenuhi sebagaimana yang diamanatkan oleh berbagai
tujuan program pendidikan nasional maupun internasional. Harus ada kebijakan
khusus menyangkut program pendidikan Orang Rimba mengingat kondisi sosial
budaya peserta didik yang berbeda dengan anak usia sekolah pada masyarakat
umum.

4.7.2. Program Kesehatan


Masyarakat adat Orang Rimba di kawasan TNBD sudah lebih terbuka
dengan pengobatan secara medis. Keterbukaan terhadap pengobatan secara medis
dimulai sejak adanya program pembangunan pemukiman transmigrasi Air Hitam
dan Hitam Ulu, yang juga membangun fasilitas sarana kesehatan berupa
PUSKESMAS. Meskipun secara adat istiadat yang berlaku di masyarakat Orang
Rimba melarang pengobatan dengan
Orang Terang, tetapi sekarang pola pikir
mereka sudah berubah ke lebih praktis
dan lebih cepat menginginkan
kesembuhan mereka lebih memilih ke
puskesmas daripada melakukan ritual
besale yang lebih lama dan lebih rumit. 92
Program pelayanan kesehatan
yang telah dirasakan oleh Orang Rimba
adalah program kesehatan secara nasional
Sumber Photo : KKI-WARSI
berupa JAMKESMAS dan ASKESKIN
Gbr.4.36.
dari dana APBN berupa kartu sehat Fasilitator Kesehatan WARSI
melakukan Pengobatan
maupun kebijakan PEMDA untuk

91
Hasil Wawancara dengan MB, 19 Nopember 2009.
92
Op.Cit.Wawancara dengan TR,2009.

Universitas Indonesia
127

pelayanan pengobatan gratis. Secara khusus Dinas Kesehatan Kabupaten telah


membangun 2 (dua) unit POS YANDU di Desa Pematang Kabau yang berlokasi
di 2 tempat yaitu di Singosari dan Kutai, untuk melayani kegiatan penimbangan
bayi dan konsultasi kesehatan ibu dan anak, dengan jadwal pelayanan
dilaksanakan sebulan sekali. Untuk pelayanan kesehatan umum lainnya bagi
Orang Rimba dilayani di Puskesmas Pematang Kabau yg lokasinya tidak terlalu
jauh hanya sekitar 1,5-3 KM dari tempat pemukiman mereka.93
Dinas Kesehatan tidak membuat program secara khusus dan signifikan
bagi Orang Rimba dikarenakan mereka sudah familiar dengan masalah kesehatan,
dan DINKES menganggap bahwa mereka sudah seperti masyarkat awam pada
umumnya untuk masalah kesehatan. Hanya ada beberapa program yang sifatnya
agak khusus pernah dilakukan yaitu kegiatan Semalam Bersama SAD dengan
memberikan program informasi melalui pemutaran film, itupun hanya kebijakan
insidentil tidak ada anggaran secara khusus yang pelaksanaan kegiatannya
bekerjasama dengan pihak LSM yang memiliki program kegiatan bersama Orang
Rimba. Kemudian ada kegiatan bakti sosial dalam rangka Hari Kesehatan
Nasional (HKN) bagi Orang Rimba yang di lakukan secara insedentil.94
Kebijakan secara terstruktur di dalam Rencana Kerja (RENJA) DINKES
bagi Orang Rimba tidak ada, dengan alasan yang sama bahwa Orang Rimba di
anggap sudah seperti masyarakat biasa jadi tidak perlu program khusus bagi
mereka. Tetapi ada kebijakan bupati secara umumu untuk semua pelayanan dasar
seperti kesehatan dibebaskan dari biaya bagi semua masyarakat tidak terkecuali
Orang Rimba.
Pada tahun 2005 DINKES Kabupaten Sarolangun pernah membuat
program perubahan perilaku kesehatan dengan memberikan sabun, dan kain bagi
Orang Rimba, tetapi tentunya program ini tidak dapat diukur sampai sejauh mana
pengaruh pemberian sabun akan merubah perilaku hidup sehat bagi Orang Rimba.
Pihak DINKES juga mengungkapkan masalah keterbatasan anggaran sehingga

93
Hasil Wawancara dengan MF, 7 Desember 2009.
94
Op.Cit.Wawancara dengan MF, 2009.

Universitas Indonesia
128

tidak bisa lagi melaksanakan program secara optimal, hal ini berdampak pada
Standar Pelayanan Minimal (SPM) belum dapat terpenuhi.
Pihak DINKES menyadari bahwa mereka belum dapat memberikan
pelayanan kesehatan yang optimal bagi masyarakat adat Orang Rimba,
dikarenakan pemukiman kelompok yang menyebar. Sehingga strategi program
yang dipilih adalah memprioritaskan pada kelompok-kelompok yang memiliki
anggota cukup besar, tetapi untuk daerah yang kelompok Orang Rimba
jumlahnya kecil hanya terdiri dari 2-3 Kepala Keluarga dan tersebar bahkan
belum tersentuh sama sekali, hanya saja kalau ada kegiatan-kegiatan seperti Bulan
Vitamin A, dan Pekan Imunisasi strategi yang dilaksanakan adalah dengan
membuat instruksi kepada seluruh sarana pelayanan kesehatan PUSKESMAS,
Bidan Desa (BI DES) dan Puskesmas Pembantu untuk melakukan strategi jemput
bola mendatangi lokasi-lokasi pemukiman Orang Rimba.95
Kebijakan dan program-program kesehatan yang telah dilaksanakan oleh
PEMDA Sarolangun sudah cukup baik dalam memberikan pelayanan kesehatan
bagi komunitas Orang Rimba. Tetapi anggapan bahwa Orang Rimba sudah sama
pemahamannya tentang aspek kesehatan dengan masyarakat umum tidaklah
sepenuhnya benar. Fakta lapangan yang penulis temukan ketika melakukan
observasi ke pemukiman Orang Rimba menunjukkan bahwa dari segi kesehatan
Orang Rimba sangat rentan terserang berbagai penyakit. Hal ini disebabkan
mereka tinggal di kawasan hutan dengan membangun pondok yang sangat
sederhana, sanitasi lingkungan tempat mereka tinggal sangat buruk, dan perilaku
makan yang masih mengkonsumsi bahan makan yang tidak dimasak secara
sempurna.
Hasil wawancara dengan informan dan pengamatan langsung terhadap
perilaku dan tempat tinggal beberapa masalah kesehatan Orang rimba yang dapat
diidentifikasi adalah perilaku hidup tidak sehat seperti perokok berat dan jarang
mandi, sanitasi lingkungan tempat tinggal yang buruk dan pengetahuan yang
minim akan pola hidup sehat dan bersih, tingginya angka kematian bayi dan ibu

95
Op.Cit.Wawancara dengan MF, 2009.

Universitas Indonesia
129

pada saat melakukan persalinan, rendahnya angka harapan hidup, dan pola
pengobatan yang tradisional.
Meskipun tidak ada data-data kuantitatif mengenai angka kematian dan
angka kelahiran, karena ini memang sulit diperoleh dari instansi terkait yang juga
kesulitan didalam melakukan pencatatan bagi komunitas Orang Rimba. Namun
kondisi kesehatan komunitas adat Orang Rimba ini juga diperoleh dari beberapa
informasi sekunder dari lembaga LSM yang melakukan program advokasi
kesehatan bagi Orang Rimba yang menyatakan bahwa tingkat harapan hiudp
Orang Rimba rendah dan tingkat kematian bayi dan ibu yang melahirkan tinggi
hal ini disebabkan karena proses persalinan yang kurang baik.
Proses kelahiran masih dilakukan secara tradisional melalui dukun beranak
di komunitas orang rimba itu sendiri. Proses kelahiran bagi orang rimba, menurut
kepercayaannya, dianggap sebagai kesempatan mereka didatangi dewa. Karena
itu, tak boleh ada orang lain di luar komunitas orang rimba ketika prosesi
kelahiran terjadi. Tradisi ini merupakan faktor yang menjadi hambatan ketika
akan melakukan penyadaran agar Orang Rimba melakukan persalinan di luar
hutan. Disamping itu Orang Rimba memang melakukan sejumlahaktifitas ritual
dan persiapan secara adat menjelang proses persalinan dan sesudah melahirkan.
Sehingga memang tidak memungkin bagi mereka untuk melakukan persalinan
diluar kawasan hutan, menurut adat mereka proses melahirkan harus dilakukan di
tanoh peranokon (tempat melahirkan).
Beberapa penyakit yang menyebabkan kematian menurut mereka adalah
demam dan mencret.96 Penyakit demam yang mereka maksud yang dapat
menyebabkan kematian adalah penyakit demam malaria, secara klinis kawasan
hutan di Provinsi Jambi merupakan daerah endemik nyamuk malaria. Sedangkan
mencret adalah penyakit diare akut yang secara klinis dapat menyebabkan
kematian karena karena kekurangan cairan atau dehidrasi.
Prediksi tingginya angka kematian di komunitas adat Orang Rimba dapat
diprediksi dari rendahnya jumlah pertambahan penduduk Orang Rimba.

96
Op.Cit.Wawancara dengan MB, 2009.

Universitas Indonesia
130

Berdasarkan survey yang dilakukan LSM WARSI data tahun 2002 menyebutkan,
orang rimba yang bermukim di TNBD sekitar 1.300 jiwa, di TNBT 364 jiwa, dan
di sepanjang jalan lintas Sumatera 1.259 jiwa. Jumlah keseluruhan 2.923 jiwa.
Adapun hasil pendataan KKI Warsi tahun 2008 menyebutkan, jumlah orang rimba
di TNBD tetap 1.300 jiwa, di TNBT 434 jiwa, dan di sepanjang jalan lintas
Sumatera sebanyak 1.375 jiwa. Jumlah keseluruhan 3.109 jiwa. Artinya, hanya
ada pertambahan 186 jiwa sejak tujuh tahun terakhir. Meskipun berapa angka
kematian per tahun, KKI Warsi tak sempat mendatanya.97

4.7.3. Program Perumahan


Program pemerintah yang paling sering diterima oleh Orang Rimba di
kawasan TNBD adalah program perumahan, hal ini tidak terlepas dari adanya
kebijakan pemerintah pusat dengan mengeluarkan program pemukiman kembali
masyarakat terasing (PKMT) sejak
pertengahan tahun 90-an. Tujuan
program tersebut adalah untuk membina
dan memukimkan masyarakat terasing
seperti halnya masyarakat umum di
Indonesia. Pembinaan yang dimaksudkan
adalah mengarahkan mereka untuk
memiliki sistem sosial, ideologi,
teknologi serta kesejahteraan yang sesuai
Sumber Photo : Koleksi Pribadi
dengan ukuran masyarakat umum.
Gbr.4.37.
Program Pemukiman Kembali Perumahan Bagi Orang Rimba
Yang Telah Bediom Dibangun Oleh
Masyarakat Terasing (PKMT) tersebut KPDT
dilaksanakan oleh Departemen Sosial RI melalui Dirjen Bina Masyarakat
Terasing dengan membangun perumahan dan fasilitas sosial tanpa ada bantuan
lahan usaha.98
Kebijakan Program PKMT yang diambil pemerintah tersebut tidak
menyelesaikan permasalahan pembinaan masyarakat adat Orang Rimba yang

97
Op.Cit. http://oase.kompas.di download pada tanggal 21 Juli 2009 13.38 Wib.
98
http://www.geografiana.com/sosial/di akses 12-08-2009 8.37 WIB

Universitas Indonesia
131

berada di kawasan TNBD. Program ini belum sepenuhnya berhasil dalam


memukimkan kembali Orang Rimba. Banyak Orang Rimba yang meninggalkan
rumah yang baru ditempati atau bahkan ada rumah yang tidak pernah mereka
tempati, hal ini disebabkan budaya melangun yang mereka miliki dan masih
dilakukan hingga kini menyebabkan pembangunan perumahan tidak memberikan
manfaat bagi mereka. Sangat disayangkan, program serupa kembali dilaksanakan
oleh pemerintah melalui Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal
(KPDT) yang kembali memberikan bantuan perumahan bagi Orang Rimba
kelompok Singosari dan kelompok Air Panas yang telah mulai menetap.
Bagi Orang Rimba mereka berpendapat bahwa sebenarnya perumahan
bukanlah hal yang paling dibutuhkan, apalagi pembangunan rumah bantuan ini
menurut mereka ada indikasi korupsi karena bahan-bahan rumah terdiri dari kayu
yang kualitasnya tidak baik.99 Pembangunan perumahan yang tidak disertai
pembangunan lahan usaha produktif justru hanya akan melakukan proses
marjinalisasi secara terencana bagi Orang Rimba.

4.8. Analisis Teoritik Pembangunan Sosial Masyarakat Adat Orang Rimba.

Kondisi sosial ekonomi budaya komunitas Adat Orang Rimba di kawasan


Taman Nasional Bukit Dua Belas saat ini masih dalam kondisi yang marjinal.
Beberapa faktor penyebab terjadinya marjinalisasi adalah belum optimalnya
kebijakan pembangunan pemerintah dan rendahnya akses partisipasi komunitas
adat Orang Rimba dalam proses pembangunan yang telah dilakukan selama ini.
Kebijakan pembangunan yang lebih mengedepankan pertumbuhan ekonomi
untuk mencapai kesejahteraan justru belum tercapai pada masyarakat adat Orang
Rimba di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas. Oleh karena itu konsep
pembangunan sosial dapat dijadikan model alternatif untuk melaksanakan proses
pembangunan bagi masyaraat adat Orang Rimba.
Mengutip mengenai konsep pembangunan sosial yang dikemukakan oleh
Midgley dan Hardiman (1995) bahwa pembangunan sosial adalah sebuah proses

99
Hasil Wawancara dengan NG, MJ, SM, MK, ED, 16, 17 dan 19 Nopember 2009.

Universitas Indonesia
132

perencanaan sosial yang diintegrasikan dengan pembangunan ekonomi untuk


kesejahteraan masyarakat. Secara kontekstual pembangunan sosial masyarakat
adat Orang Rimba dilakukan dengan lebih berorientasi pada prinsip keadilan
sosial daripa pertumbuhan ekonomi yang menjadi fokus selama ini.
Beberapa program yang menjadi pusat pehatian pembangunan sosial
mencakup pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, perumahan dan pengentasan
kemiskinan. Program-program ini yang sangat dibutuhkan oleh komunitas adat
Orang Rimba, diantaranya program pendidikan. Kondisi pendidikan masyarakat
adat Orang Rimba saat ini berada pada taraf yang sangat menyedihkan. Saat ini
hanya ada satu unit sekolah dasar negeri yang memiliki murid yang berasal dari
anak Orang Rimba. Dari hasil wawancara dengan kepala sekolah pada saat
penelitian hana ada 5 orang anak Orang Rimba yang bersekolah pada semester ini
yaitu 2 orang di kelas 5, 2 orang di kelas 4 dan 1 orang di kelas 3.
Demikian halnya kondisi kesehatan Orang Rimba, dikarenakan terbatasnya
akses pelayanan kesehatan yang dapat dinikmati oleh masyarakat adat Orang
Rimba menyebabkan kualitas derajat kesehatan mereka rendah. Meskipun data
akurat tentang kondisi derajat kualitas kesehatan Orang Rimba secara pasti sangat
sulit diperoleh, disebabkan karena sulitnya melakukan pendataan demografi.
Tetapi dari data laporan survey yang dilakukan pihak LSM yang memiliki
program kesehatan di masyarakat adat Orang Rimba di kawasan TNBD diperoleh
informasi mengenai buruknya derajat kesehatan masyarakat adat Orang Rimba.
Tingkat kemiskinan Orang Rimba dapat dilihat secara kasat mata dari
lingkungan pemukiman dan sumber matapencaharian mereka yang sangat
tergantung dari pola eksploitasi sumberdaya alam misalnya berburu dan meramu.
Sementara cadangan sumberdaya alam yang menjadi sumber ekonomi Orang
Rimba terus mengalami degradasi yang cukup signifikan.
Dari aspek sosial budaya masyarakat adat Orang Rimba di kawasan TNBD,
saat ini sedang menghadapi perubahan sosial dan budaya yang cukup kuat sebagai
akibat adanya proses interaksi yang terbuka antara masyarakat adat Orang Rimba
dan masyarakat umum. Pola interaksi dari proses perdagangan hasil hutan dan
lahan telah memberikan dampak yang bersifat negatif dan positif bagi komunitas
adat Orang Rimba. Dampak positif misalnya mereka telah mengenal alat

Universitas Indonesia
133

transportasi, komunikasi, dan tumbuh motivasi dan keinginan untuk mendapatkan


akses pelayanan pendidikan dan kesehatan yang lebih baik. Dampak negatif
misalnya munculnya perilaku konsumtif pada barang kebutuhan sekunder seperti
kendaraan, handphone dan kecepek (senjata api rakitan) yang digunakan untuk
berburu serta mulai maraknya terjadi penjualan lahan di kawasan penyangga
TNBD kepada masyarakat umum (Orang Terang).
Berdasarkan beberapa kondisi marjinal dalam aspek sosial, ekonomi dan
budaya masyakat adat Orang Rimba yang telah dipaparkan diatas maka
pendekatan pembangunan sosial bagi masyarakat adat Orang Rimba dapat
dijadikan pendekatan alternatif pembangunan yang perlu dilakukan bagi Orang
Rimba. Langkah awal proses pembangunan sosial harus diinisiasi oleh pemerintah
baik pusat maupun daerah sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Hal ini
sejalan dengan pendapat Midgley (1995) yang mengemukakan bentuk strategi
pembangunan sosial yang dapat diterapkan yaitu melalui pemerintah dimana
pembangunan sosial dilakukan oleh lembaga-lembaga di dalam organisasi
pemerintah (goverment agencies). Pendekatan ini lebih dikenal dengan nama
pendekatan statis (statist approach).
Pembangunan sosial melalui pemerintah dirasa sangat tepat sesuai dengan
era otonomi daerah, dimana pemerintah daerah memiliki kewenangan yang lebih
besar dalam pemberdayaan komunitas adat yang dapat dilakukan melalui kegiatan
oprasional yaitu pemetaan sosial, penjajagan awal, studi kelayakan, penyuluhan,
bimbingan dan motivasi, pemberian bantuan serta perlindungan dengan
memperhatikan standar pelayanan minimal (SPM) dalam bidang pendidikan,
kesehatan serta pengembangan sumber ekonomi masyarakat adat Orang Rimba
berbasis pengelolaan sumberdaya hutan non kayu dengan prinsip keberlanjutan
dan keadilan sosial.
Pendekatan pembangunan sosial oleh pemerintah sebaiknya juga dengan
melibatkan pemangku kepentingan yang lain yaitu dunia usaha dan masyarakat
sipil, dalam hal ini peran pemerintah sebagai fasilitator pembangunan dapat
dikedepankan untuk membangun sinergi diantara para pemangku kepentingan
dalam melaksanakan proses pembangunan sosial bagi masyarakat adat Orang

Universitas Indonesia
134

Rimba. Sehingga tidak terjadi dominasi pemerintah dalam penanganan


pembangunan sosial. Masing-masing pihak terus menunjukkan kiprahnya bahkan
bisa melakukan sinergi untuk memepercepat proses pembangunan sosial.
Masyarakat adat Orang Rimba memiliki pola hidup secara berkelompok
yang terdiri dari beberapa keluarga kecil yang dalam bahasa Orang Rimba disebut
“pesaken”. Beberapa keluarga kecil ini diikat oleh kekerabatan yang solid diantara
anggota kelompok karena pada dasarnya mereka memiliki satu ikatan keturunan.
Kelompok kecil atau pesaken ini tergabung dalam kelompok besar yang dalam
bahasa Orang Rimba disebut dengan “rombong”. Rombong membangun tempat
pemukiman secara menyebar di sepanjang daerah aliran sungai (DAS). Nama
DAS ini biasanya yang keudian menjadi identitas setiap rombong yang berada di
kawasan hutan TNBD. Misalnya Kelompok Air Hitam, Kejasung Besar, Kejasung
Kecil yang sebenarnya merupakan nama sungai tempat mereka membangun
pemukiman dan perladangan.
Mengacu kepada pola kehidupan Orang Rimba yang berkelompok, maka
secara teori pembangunan sosial yang dikemukan Midgley (1995) strategi
pembangunan sosial masyarakat adat Orang Rimba dapat dilakukan melalui
“komunitas” (social development by community). dimana kelompok masyarakat
secara bersama-sama berupaya mengembangkan komunitas lokalnya. Pendekatan
ini lebih dikenal dengan nama pendekatan komunitarian (communitarian
approach), pendekatan ini dapat dilakukan baik oleh pemerintah, dunia usaha dan
masyarakat sipil (LSM).
Kondisi kemiskinan pada komunitas adat Orang Rimba di kawasan TNBD
dapat di atasi dengan penerapan konsep pembangunan sosial, hal ini sejalan
dengan pendapat Hardiman dan Midgley (1995) yang mengemukakan bahwa
model pembangunan sosial menekankan pentingnya pengentasan kemiskinan
melalui pemberdayaan kelompok marjinal, dalam hal ini jelas Orang Rimba di
kawasan TNBD hidup secara berkelompok dalam kondisi ekonomi yang marjinal
karena tidak memiliki kemampuan ekonomi secara berkelanjutan untuk
meningkatkan taraf hidup. Pemberdayaan kelompok marjinal dilakukan dengan
cara menumbuh kembangkan potensi diri (produktivitas) Orang Rimba yang
lemah secara ekonomi menjadi aset tenaga kerja, cara kedua adalah dengan

Universitas Indonesia
135

menyediakan dan memberikan pelayanan sosial khususnya pelayanan kesehatan,


pendidikan dan pelatihan, perumahan serta pelayanan yang memungkinkan
mereka dapat meningkatkan produktivitas dan partisipasi sosial dalam kehidupan
masyarakatnya.
Berbagai konsep teori pemabngunan sosial dan kondisi sosial ekonomi
budaya dan kemiskinan yang ada pada masyarakat adat Orang Rimba di kawasan
TNBD, dapat disimpulkan bahwa proses pembangunan sosial sangat dibutuhkan
bagi masyarakat adat Orang Rimba dan dapat menjadi model alternatif
pendekatan pembangunan yang dapat dipilih oleh para pemangku kepentingan
yaitu pemerintah, dunia usaha dan masyarakat sipil (LSM/NGO).

Universitas Indonesia
BAB 5
MODEL PEMBANGUNAN SOSIAL
MASYARAKAT ADAT ORANG RIMBA

5.1. Pembangunan Sosial Masyarakat Adat Orang Rimba.

Konsep pembangunan sosial merupakan suatu model alternatif yang


ditawarkan karena model pembangunan yang lebih mementingkan pertumbuhan
ekonomi tidak juga dapat meningkatkan kesejahteraan. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Tangdilintin (1999) bahwa pembangunan yang sangat berfokus
pertumbuhan memang telah berhasil dengan gemilang mewujudkan kemakmuran,
tetapi gagal mewujudkan kesejahteraan yang lebih merata, bahkan sebaliknya
banyak membawa masalah yang sulit dicari pemecahannya.
JFX.Paiva dalam Aris Munandar (2002) mengemukakan pembangunan
sosial adalah “development of the capacity of people to work continuosly for their
own and society’s welfare.” Dari defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa
pembangunan sosial menekankan pembangunan yang berpusat pada manusia
(people centered development). Midgley dan Hardiman (1995:25)
mendefenisikan pembangunan sosial adalah "a process of planned social
change designed to promote the well-being of the population as a whole in conjuction with a
dynamic process of economic development” Defenisi ini menekankankan bahwa
pembangunan sosial merupakan suatu proses perencanaan perubahan sosial yang dirancang
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang diikuti dengan proses dinamika
pembangunan ekonomi.
Dari beberapa konsep pembangunan sosial yang dikemukakan diatas
dapat disimpulkan bahwa pembangunan sosial Orang Rimba adalah proses
perubahan sosial bagi masyarakat adat Orang Rimba yang harus direncanakan
sedemikian rupa dimana dalam proses tersebut peranan manusia menjadi pusat
dari proses pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya yang
diikuti oleh proses pembangunan ekonomi yang dinamis. Dalam hal ini
pembangunan sosial masyarakat adat Orang Rimba lebih menitikberatkan kepada
proses pemberdayaan masyarakat sebagai kuncinya, dan perubahan sosial yang
direncanakan.

136
Universitas Indonesia
137

Dalam kaitannya dengan konsep pembangunan sosial masyarakat adat


Orang Rimba, proses pembangunan sosial harus dilakukan secara terencana dalam
melakukan perubahan sosial komunitas Orang Rimba dengan menempatkan
Orang Rimba sebagai pelaku utama proses perubahan yang dilakukan secara
bertahap sesuai dengan kapasitas pengetahuan, keterampilan, sikap dan kondisi
sosial budaya dan lingkungan hidup mereka guna meningkatkan kesejahteraan
hidup keluarga dan komunitas Orang Rimba yang diiringi pembangunan ekonomi
yang ramah lingkungan.
Proses pembangunan sosial bagi komunitas Orang Rimba harus dilakukan
dengan memperhatikan potensi sosial budaya, ekonomi dan lingkungan hidup
komunitas Orang Rimba serta keterbatasan yang mereka miliki. Perencanaan
perubahan sosial yang dimaksud disini adalah perencanaan sosial yang
menekankan pada upaya pencegahan dampak buruk dari faktor yang mempercepat
perubahan itu sendiri, untuk menjamin kelangsungan hidup komunitas Orang
Rimba sesuai dengan kemampuan tingkat adaptasi menuju kearah kualitas hidup
yang lebih baik.
Proses perubahan sosial pada komunitas Orang Rimba akan dipengaruhi
oleh kondisi internal dan eksternal komunitas. Proses ini akan berjalan secara
alamiah dan berpengaruh langsung terhadap perkembangan budaya masyarakat.
Nilai-nilai, norma, kebiasaan, tata kelakuan, sikap, semangat kerja, serta
paradigma berpikir masyarakat akan ikut berubah. Proses seperti ini juga menerpa
pada komunitas adat Orang Rimba. Proses perubahan sosial tidak dilawan atau
dihentikan, akan tetapi masyarakat harus dipersiapkan sedemikian rupa agar
perubahan yang terjadi tidak berdampak buruk bagi masyarakat yang
bersangkutan. Disinilah pentingnya perencanaan sosial untuk menghadapi
perubahan sosial.
Pendekatan komunitas dalam pembangunan sosial juga dikemukakan oleh
Korten (1986) dengan memberikan ciri-ciri pendekatan berbasis komunitas yakni
(1) bahwa keputusan dan inisiatif untuk memenuhi kebutuhan rakyat dibuat di
tingkat lokal, yang didalamnya rakyat memiliki identitas dan peranan yang
dilakukan sebagai partisipan yang dihargai; (2) pendekatan ini mencapai tujuan
pembangunan sosial melalui proses belajar sosial (social learning) yang dalam

Universitas Indonesia
138

proses tersebut individu berinteraksi satu sama lain menembus batas-batas


organisatoris, dan tuntutan oleh kesadaran kritis individual dan (3) jaringan koalisi
dan komunikasi pelaku (aktor) lokal dan unit-unit lokal yang mengelola diri
sendiri, yang mencakup kelompok-kelompok penerima manfaat lokal, organisasi
pelayanan daerah, dan pemerintah daerah, akan menjadi basis tindakan-tindakan
lokal yang diarahkan untuk memperkuat pengawasan lokal yang mempunyai dasar
yang luas atas sumbersumber dan kemampuan lokal untuk mengelola sumber
daya mereka.
Masyarakat adat Orang Rimba merupakan suatu komunitas yang
terpinggirkan atau kalah (the looser) dalam proses pembangunan. Proses
pembangunan tidak saja akan menghasilkan kemajuan tetapi juga menghasilkan
ketimpangan yang terjadi akibat mereka yang mampu memanfaatkan
pembangunan dan mereka yang tidak mampu memanfaatkan sebagaimana yang
dialami oleh komunitas adat Orang Rimba.
Penyebab utama kegagalan Orang Rimba memanfaatkan pembangunan
lebih disebabkan faktor struktural dimana kebijakan pembangunan pemerintah itu
sendiri lebih berpihak kepada kelompok yang lebih siap membangun dan dominan
(mainstream). Meskipun demikian ada faktor kultural dalam budaya komunitas
Orang Rimba misalnya budaya melangun dan tidak mempunyai kemampuan dan
ketrampilan yang memadai untuk melakukan pekerjaan selain berburu dan
meramu dan berladang turut menjadi penyebab kegagalan dalam memanfaatkan
pembangunan.
Gunawan Sumodiningrat (2005) mengemukakan bahwa pembangunan
sosial itu sendiri memiliki dua makna yaitu makro dan mikro. Dalam makna
makro bermakna pembangunan manusia Indonesia sebagai makhluk sosial. Jadi
manusia fokusnya dalam masyarakat. Dalam konteks ini, pembangunan ekonomi
merupakan bagian dari pembangunan sosial. Dalam makna mikro pembangunan
sosial difokuskan pada mereka mereka yang kalah dalam proses pembangunan.
Ada banyak varian yang menjadi penyebab kegagalan mulai dari yang bersifat
struktural (adanya keberpihakan pada kelompok yang siap membangun), seperti
dalam teori (trickle down efek) hingga yang bersifat kultural (karena mengidap
budaya miskin yakni pasif dan fatalistis atau serba (nrimo).

Universitas Indonesia
139

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa dalam pembangunan sosial


bagi komunitas Orang Rimba adalah pembangunan sosial secara mikro hal ini
disebabkan komunitas ini termasuk mereka yang kalah dalam proses pembagunan
itu sendiri. Pendekatan pembangunan yang bersifat masif dan seragam tidak
membawa dampak positif bagi masyarakat adat Orang Rimba, karena umumnya
desain pembangunan dibuat berdasarkan aspirasi kelompok dominan
(mainstream) dalam masyarakat. Sebagai satu kesatuan sosial, masyarakat adat
Orang Rimba masuk dalam kategori masyarakat yang tidak diuntungkan dalam
struktur masyarakat. Ketika mereka berbeda dalam arti budaya, identitas, sistem
ekonomi, bahkan sistem politik dari kelompok dominan lainnya dalam
masyarakat. Oleh karena itu prinsip-prinsip seperti pengakuan pada harkat dan
martabat, hak untuk menentukan diri sendiri, kesempatan yang sama dan
tanggung jawab sosial dalam pembangunan sosial harus diterapkan.
Masyarakat adat Orang Rimba seringkali tidak terwakili aspirasinya dalam
proses pembangunan atau tidak mendapatkan keuntungan dari proses itu. Padahal
sebagai warga negara, masyarakat adat harus pula menikmati hak dan kewajiban
yang adil dan sejajar dengan segmen masyarakat lainnya, masyarakat adat harus
diberikan keleluasaan untuk melindungi dirinya dan budayanya serta menolak
perubahan yang berdampak negatif bagi penghidupannya. Oleh karena itu proses
pembangunan sosial Orang Rimba juga harus mengacu kepada deklarasi PBB
mengenai Hak-Hak Masyarakat Adat, deklarasi ini memberi penegasan bahwa
masyarakat adat memiliki hak kolektif, antara lain yang terpenting adalah hak atas
menentukan nasib sendiri; hak atas tanah, wilayah, dan sumber daya alam; hak
atas identitas budaya dan kekayaan intelektual; hak atas free, prior and informed
consent (FPIC); dan hak atas penentuan model dan bentuk-bentuk pembangunan
yang sesuai bagi mereka sendiri.
Hal penting yang harus ada dalam menunjang pembangunan sosial
masyarakat adat Orang Rimba adalah kebijakan affirmative yang harus dilakukan
oleh PEMDA khususnya dalam bidang pelayanan pembangunan sosial dasar yaitu
pendidikan dan kesehatan. Dua sektor ini dari hasil penelitian merupakan sektor
yang kondisinya paling marjinal di komunitas Orang Rimba, hal ini disebabkan
karena rendahnya akses pelayanan dan hambatan kondisi sosial budaya (misalnya

Universitas Indonesia
140

melangun, melahirkan, pola hidup dan konsumsi yang tidak sehat) yang ada dalam
komunitas adat Orang Rimba.
Kebijakan affirmative dalam pembangunan sosial masyarakat adat Orang
Rimba yang harus diambil oleh PEMDA baik tingkat provinsi dan kabupaten
berkaitan erat dengan otonomi daerah dimana partisipasi daerah menjadi
mainstream perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian program pemberdayaan
masyarakat adat. Kebijakan affirmative yang harus dilakukan adalah membuat
prioritas program pembangunan sosial bagi komunitas Orang Rimba khususnya
bidang pelayanan sosial dasar pendidikan dan kesehatan yang didanai secara
khusus dalam Anggaran Belanja Daerah melalui satuan kerja terkait. Kebijakan
affimative lainnya yang dapat dilakukan adalah penambahan struktur
kelembagaan yang khusus untuk menangani komunitas Orang Rimba di setiap
unit satuan kerja pemerintah daerah agar penanganan perencanaan program
pembangunan sosial pada komunitas Orang Rimba dapat diakukan secara optimal
dan berkesinambungan.
Pembangunan sosial bagi masyarakat adat seharusnya tidak harus
tergantung dari dana pusat seperti yang terjadi selama ini, sehingga tidak menjadi
hambatan dalam kelanjutan program pemberdayaan terhadap komunitas adat
Orang Rimba. Koordinasi dan pembagian kewenangan mutlak diperjelas masing-
masing pihak sehingga efektifitas program dapat ditingkatkan untuk menghindari
sejumlah bias program seperti penentuan kelompok sasaran dan kebutuhan
program bagi komunitas adat Orang Rimba.
Pelaksanaan program pembangunan sosial masyarakat adat haruslah lebih
mengedepankan pada pendekatan partisipatif yang melibatkan masyarakat/LSM,
dan dunia usaha. Dalam kaitannya dengan pemberdayaan komunitas adat di
kawasan TNBD telah ada partisipasi dari pihak LSM dan perusahaan perkebunan
swasta yang berada di sekitar kawasan TNBD dalam melakukan program
pemberdayaan. Namun hal ini belum dapat mencapai hasil yang optimal
dikarenakan masih terbatasnya cakupan program, rendahnya efektifitas
pelaksanaan, program masih bersifat charity, tidak adanya komunikasi yang
efektif antara para pihak yang melakukan program pemberdayaan, dan tidak ada
program pemberdayaan ekonomi bagi komunitas adat Orang Rimba.

Universitas Indonesia
141

Oleh karena itu diperlukan forum kemitraan bagi para pihak yang memiliki
program pemberdayaan bagi komunitas adat Orang Rimba yang dilandasi atas
prinsip saling percaya, keanekaragaman dan keberlanjutan sosial. Forum
kemitraan ini diharapkan dapat menjadi wadah koordinasi, saling menukar
informasi, berbagi sumberdaya, merencanakan, dan evaluasi program masing-
masing pihak untuk lebih mendorong keberhasilan dalam pembangunan sosial
bagi masyarakat adat Orang Rimba.

5.2. Kebijakan Nasional Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT)


Dasar kebijakan pemberdayaan KAT secara nasional dituangkan dalam
suatu Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 111 Tahun 1999 Tentang
Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas adat terpencil. Dalam Keppres
tersebut pembinaan kesejahteraan sosial komunitas adat terpencil bertujuan untuk
memberdayakan komunitas adat terpencil dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan agar mereka dapat hidup secara wajar baik jasmani, rohani, dan
sosial sehingga dapat berperan aktif dalam pembangunan, yang pelaksanaannya,
dilakukan dengan memperhatikan adat istiadat setempat.
Selain Keppres kebijakan pemberdayaan KAT tertuang dalam Kepmensos
No.06/PEGHUK/2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberdayaan KAT dan
Peraturan setingkat Dirjen. Dalam petunjuk pelaksanaan pemberdayaan KAT
kebijakan dan strategi Pemberdayaan tercantum pada BAB IV pasal 12 disebutkan
bahwa kebijakan umum pembinaan kesejahteraan sosial pemberdayaan komunitas
adat terpencil di arahkan pada upaya pengembangan kemandirian komunitas adat
terpencil untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam berbagai aspek kehidupan
dan penghidupannya agar mampu menanggapi perubahan sosial budaya dan
lingkungan hidupnya.
Dari keppres dan kepmensos diatas dapat disimpulkan bahwa
pemberdayaan KAT bertujuan untuk mendorong peran aktif KAT sebagai pelaku
utama dalam pembangunan dengan memperhatikan adat istiadat yang dimiliki
oleh KAT untuk mampu melakukan adaptasi terhadap perubahan sosial budaya
dan lingkungan mereka.

Universitas Indonesia
142

Sesuai dengan Keppres No.111/1999 pelaksanaan pembinaan


kesejahteraan sosial komunitas adat terpencil dilakukan dalam bidang: a)
Permukiman, b) Adminitrasi kependudukan, c) Kehidupan beragama, d)
Pertanian, e) Kesehatan, f) Pendidikan, g) Bidang lainnya. Pelaksanaan
pembinaan sebagaimana dimaksud diatas dilakukan melalui kegiatan: a)
Penyuluhan, b) Bimbingan, c) Pelayanan, dan d) Bantuan.
Pemerintah telah mengeluarkan dasar kebijakan dalam pemberdayaan
KAT namun dalam implementasi kebijakan tesebut ternyata tidak mudah, hal ini
dikarenakan ada beberapa faktor permasalahan dalam proses pemberdayaan KAT
diantaranya adalah : (1) Terbatasnya pemahaman tentang eksistensi dan program
pemberdayaan KAT. (2) Rendahnya kualitas SDM dan persepsi yang beragam
terhadap KAT diantara para pelaksana program sehingga mengakibatkan proses
pemberdayaan kurang sistematis atau tidak sesuai tahapan (pendataan,
perencanaan, pelaksanaan dan tindak lanjut). (3). Lemahnya koordinasi antara
pusat dan daerah dan belum proporsionalnya prioritas program PKAT di daerah,
mengakibatkan kurang optimalnya keterpaduan pelaksanaan program
pemberdayaan KAT. (4). Rendahnya pemantauan terhadap KAT yang sedang
maupun sudah diberdayakan, mengakibatkan kurang terukurnya kinerja PKAT
dan berdampak pada rentannya kondisi KAT terhadap upaya provokasi luar.
Dari beberapa permasalahan pemberdayaan KAT yang ada secara
nasional yang dikemukakan di atas dalam kaitannya dengan pembangunan sosial
Orang Rimba hal tersebut juga menjadi masalah ditingkat daerah sehingga proses
pembangunan sosial bagi komunitas Orang Rimba belum dapat dilaksanakan
secara optimal sehingga berdampak pada kualitas hidup komunitas Orang Rimba
yang dapat digolongankan sangat rendah. Untuk mengatasi permasalahan ini
sebagaimana yang telah dikemukakan di atas harus dilakukan pembangunan sosial
melalui perencanaan perubahan sosial untuk meningkatkan kualitas hidup
komunitas Orang Rimba.

Universitas Indonesia
143

5.3. Perspektif, Prinsip dan Pendekatan Pembangunan Sosial Orang


Rimba.

Dalam pelaksanaan proses pembangunan sosial bagi masyarakat adat


Orang Rimba akan mengacu pada karakteristik sosial budaya, ekonomi dan
lingkungan yang eksis dalam kehidupan komunitas mereka, oleh karena itu
pembangunan sosial Orang Rimba di kawasan TNBD dikembangkan dengan
mengambil perpaduan dua perpspektif dalam pengembangan masyrakat yang
dikemukakan oleh Jim Ife dan Frank Tesoriero (2008) yaitu perspektif ekologi
dan perspektif keadilan sosial/HAM.
Perspektif ekologis mengedepankan visi pengembangan masyarakat yang
dapat hidup dalam jangka panjang, perspektif dilandasi oleh prinsip holisme,
keberlanjutan, keanekaragaman dan keseimbangan dari lingkungan hidup. Dengan
kata lain perspektif ini lebih mengedepankan pengembangan masyarakat yang
berorientasi pada pembangunan yang berwawasan lingkungan. Selanjutanya
perspektif keadilan sosial dan HAM memiliki visi dari aspek sosial yang
menginginkan sebuah masyarakat yang didasarkan atas prinsip defenisi dan
penjaminan hak-hak, kesetaraan, pemberdayaan, yang mengalahkan opresi
struktural dan keadaan yang merugikan, kebebasan menentukan kebutuhan dan
terpenuhinya kebutuhan tersebut. Perspektif pengembangan lebih berorientasi
pada pembangunan sosial yang lebih mengedepankan keadilan sosial.
Penggunaan dua perspektif ini dalam pembangunan masyarakat adat
Orang Rimba berdasarkan kondisi sosial budaya dan lingkungan yang mereka
miliki. Orang Rimba hidup di kawasan hutan konservasi yang dikelola dengan
menerapkan prinsip-prinsip perspektif ekologi disisi yang lain keberadaan Orang
Rimba yang lebih dulu mendiami kawasan hutan tersebut jauh sebelum ditetapkan
kawasan tersebut ditetapkan sebagai kawasan taman nasional menjadi
pertimbangan tersendiri yang harus diperhatikan. Dengan memadukan dua
perspektif pengembangan masyarakat ini diharapkan gesekan ataupun benturan
kepentingan para pihak dalam proses pembangunan dapat dihindari, yang
diharapkan justru sebaliknya yaitu akan tercipta suatu sinergi yang kuat antara
para pihak dalam pelaksanaan pembangunan sosial.

Universitas Indonesia
144

Argumen lain dari penggunaan penggabungan dua perspektif tersebut


diatas adalah munculnya konsep “komunitas” sebagai basis dari pengembangan
masyarakat. Pengembangan masyarakat adat Orang Rimba dengan pendekatan
komunitas sangat cocok dengan pola kehidupan dan budaya mereka yang hidup
secara berkelompok atau dalam “rombong”. Orang Rimba hidup dalam kelompok
atau rombong yang jumlahnya tidak terlalu besar sehingga interaksi mereka
sangat solid. Rombong atau kelompok yang terdiri dari anggota yang memiliki
kekerabatan yang dekat akan menjadi identitas mereka, sehingga mereka akan
mempunyai rasa memiliki dan menjadi bagian anggota rombong dan akan setia
pada aturan dan komitmen yang berlaku dalam kelompok.
Berdasarkan perpaduan dua perspektif ini beberapa prinsip pembangunan
dipilih untuk menjadi dasar acuan dalam menyusun kebijaksanaan dan program
pembangunan sosial komunitas adat Orang Rimba. Adapun prinsip-prinsip
tersebut terdiri dari :
1. Berbasis Komunitas, Prinsip ini mengutamakan peran kelompok
(komunitas) Orang Rimba untuk turut berpartisipasi dalam setiap proses
tahapan pembangunan sehingga menimbulkan rasa percaya diri yang tinggi
dan komitmen yang lebih besar terhadap pembangunan.
2. Keberlanjutan Sosial
Prinsip keberlanjutan sosial dimaksudkan tidak saja dalam hal yang berkaitan
dengan pemanfaatan lingkungan dan sumber daya alam yang terus dapat
diperbaharui tetapi juga terkait dengan keberlanjutan sistem dan norma sosial
yang berlaku dalam komunitas adat Orang Rimba khususnya yang berkaitan
dengan kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam.
3. Keanekaragaman
Prinsip keanekaragaman dalam aspek ekologi dan sosial dalam kaitan
mengatasi ancaman ekologis pada budaya monokultur ataupun ancaman
memaksakan keseragaman dalam segala sesuatu, baik berupa peraturan dan
kebijakan dalam sistem pengelolaan kawasan hutan.
4. Saling Percaya (Trust)
Prinsip saling percaya, mengacu kepada sikap dan perilaku untuk saling
memahami; mengerti mengenai posisi masing-masing pihak baik Orang

Universitas Indonesia
145

Rimba, Balai TNBD, PEMDA, LSM dan para pihak yang terlibat dalam
interaksi sehingga akan dapat mengembangkan hubungan yang kokoh dan
dapat diandalkan sebagai sarana untuk memecahkan masalah dan mencapai
tujuan bersama.
5. Menghargai Pengetahuan Lokal
Prinsip ini lebih mengutamakan ide perubahan dari bawah atau pembangunan
“bottom-up” yang menghargai pengetahuan lokal, budaya lokal dan
sumberdaya lokal dalam proses pembangunan sosial.
6. Kemitraan

Prinsip yang akan menjadi semangat para pihak (stakeholders) yang akan
terlibat dalam pembangunan sosial Orang Rimba dikawasan hutan TNBD
untuk saling membangun sinergi yang efektif, produktif dalam menyusun
rencana, pelaksanaan, dan evaluasi pembangunan sosial Orang Rimba sesuai
dengan potensi dan kapasitas yang dimiliki.

Selain prinsip diatas Kementrian Sosial RI khususnya Direktorat


Pemberdayaan KAT (PKAT) juga telah mengembangkan prinsip dasar pekerjaan
sosial pengembangan sumber daya manusia KAT yaitu: (a). Pengakuan pada
harkat dan martabat, (b) Hak untuk menentukan diri sendiri, (c) Kesempatan yang
sama dan (d). Tanggung jawab sosial. Selain prinsip dasar pengembangan SDM
KAT ada pula prinsip operasional dalam pengembangan KAT yaitu : (a).
Responsif dan Kesesuaian. (b) KAT Sebagai Aktor Utama (c) Prinsip
Pengembangan Budaya Lokal dan (d) Prinsip Keberlanjutan.

Pelaksanaan pembangunan sosial masyarakat adat Orang Rimba dapat


mengacu pada prinsip-prinsip yang telah dikemukakan diatas. Proses perubahan
sosial yang akan dilakukan terhadap komunitas Orang Rimba baik secara individu
maupun keluarga harus memprioritaskan Orang Rimba sebagai pelaku utama
perubahan tersebut dengan penyesuaian terhadap pengetahuan dan budaya yang
mereka miliki, namun demikian pihak luar tetaplah dibutuhkan sebagai
pendamping yang akan menjalankan peran fasilitator dan katalisator dalam proses
perubahan sosial dengan mengedepankan prinsip kemitraan dan kesetaraan.

Universitas Indonesia
146

Pengembangan KAT dapat dilakukan dalam berbagai bentuk antara lain


melalui: (1) Penguatan Individu merupakan pengembangan untuk penguatan
potensi dan kapasitas diri. (2) Penguatan Keluarga 3. Penguatan Kelompok dan
(4). Penguatan Organisasional. Dari 4 bentuk pengembangan yang ada ini 2
bentuk pengembangan dirasa lebih efektif bagi pengembangan masyarakat adat
Orang Rimba yaitu melalui penguatan keluarga, kelompok hal ini lebih sesuai
dengan karakteristik komunitas Orang Rimba yang selalu bermukim secara
berkelompok yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki ikatan
kekerabatan yang kuat.

Secara nasional program pemberdayaan KAT dilaksanakan dalam empat


bidang yaitu (a) pemberdayaan sumberdaya manusia; kegiatan peningkatan
kualitas SDM yang meliputi warga KAT, pendamping serta para pelaksana
program pemberdayaan KAT di tingkat pusat dan daerah.
(b) pemberdayaan lingkungan sosial; rangkaian kegiatan sistematis yang meliputi
pemeliharaan, pemanfaatan dan pengembangan sumberdaya alam serta
lingkungan sebagai sumber kehidupan dan penghidupan warga. (c) kerjasama
pengembangan sosial; kegiatan membangun jalinan atau jaringan kerjasama
(networking) antar berbagai pihak terkait yang meliputi lembaga/instansi sektoral
pemerintah dan masyarakat dalam arti luas seperti dunia usaha, perguruan tinggi,
Orsos/LSM. (d) perlindungan komunitas adat terpencil; kegiatan yang berkaitan
dengan upaya advokasi, regulasi dan legislasi dalam rangka penguatan pratama
dan kelembagaan sosial, ekonomi dan kebudayaan warga KAT.

Pelaksanaan empat bidang program diatas bagi komunitas masyarakat adat


Orang Rimba belum optimal, dari hasil penelitian didapatkan informasi yang baru
dilaksanakan adalah program pemberdayaan lingkungan sosial khususnya berupa
pembangunan pemukiman secara eksitu bagi Orang Rimba yang pada akhirnya
program ini kurang berhasil dikarenakan tidak sesuai dengan karakteristik budaya
Orang Rimba. Sebagai contoh kasus pembangunan pemukiman eksitu di daerah
penelitian ditinggalkan oleh beberapa keluarga Orang Rimba hal ini disebabkan
mereka tidak betah menempati rumah yang diberikan karena tidak sesuai dengan
kebiasaan dan perilaku hidup mereka. Ada juga kasus rumah jatah dijual kepada

Universitas Indonesia
147

warga desa dan uang hasil penjualan rumah digunakan untuk memenuhi
kebutuhan hidup keluarga. Hal ini mereka lakukan karena pada umumnya
keluarga Orang Rimba yang menempati tidak mempunyai pekerjaan dan
penghasilan yang tetap. Salah satu kelemahan program pemberdayaan lingkungan
sosial ini adalah tidak disertai dengan program lainnya yaitu pengembangan sosial
ekonomi dan pengembangan pranata sosial bagi keluarga Orang Rimba.

Hasil penelitian mendapatkan bahwa program pemberdayaan sumberdaya


manusia yang meliputi pelatihan keterampilan hidup (life skill), pelatihan
keterampilan sosial (social skill training), peragaan lapangan (Demplot) dan
penguatan ekonomi dan sosial masyarakat lokal belum pernah dilaksanakan pada
keluarga Orang Rimba di lokasi penelitian, dari hasil wawancara pada dasarnya
mereka sangat membutuhkan peningkatan kapasitas life skill yang sesuai dengan
kondisi sumberdaya alam yang ada disekitar mereka.

5.4. Permasalahan, Kebijakan, Strategi dan Program Pembangunan Sosial


Orang Rimba
5.4.1. Permasalahan Pokok dan Implikasi Pembangunan Sosial Orang
Rimba

Permasalahan pokok yang dihadapi oleh Orang Rimba khususnya bagi


kelompok transisi, pengembara dan bediom dan implikasi pembangunan sosial di
peroleh selama penelitian adalah sebagai berikut :
1. Kondisi ekonomi yang marjinal disebabkan sumber matapencaharian dari
berburu, meramu hasil hutan yang semakin sulit dan harga jual yang rendah
dan fluktuatif.
2. Rendahnya tingkat pendidikan dikarenakan terbatasnya akses pada pelayanan
proses pendidikan dan hambatan kondisi sosial budaya
3. Masih rendahnya derajat kesehatan dan status gizi disebabkan pola hidup dan
konsumsi yang tidak sehat serta rentan terhadap penyakit karena sanitasi
lingkungan yang buruk.
4. Mulai melemahnya adat-istiadat dalam penegakan sangsi dan hilangnya
proses ritual adat disebabkan pengaruh dari terbukanya interaksi sosial
dengan warga masyarakat luar.

Universitas Indonesia
148

5. Maraknya terjadi pembukaan dan penjualan lahan dan kebun kepada


masyarakt desa hal ini disebkan dorongan perilaku yang konsumtif terhadap
kendaraan bermotor dan handphone.
6. Belum optimalnya program bantuan perumahan.
7. Masalah yang berkaitan dengan sistem pengelolaan dan rekonstruksi tata
batas Taman Nasional Bukit Dua Belas.
Secara lebih rinci permasalahan komunitas Orang Rimba berdasarkan masing-
masing karakteristik kelompok disajikan dalam Tabel 5.1.

Universitas Indonesia
149

Tabel 5.1.
Rangkuman Temuan Pokok Permasalahan dan Implikasi Pembangunan Sosial Orang Rimba Berdasarkan
Karakteristik Kelompok Orang Rimba di Dalam Kawasan dan Daerah Penyangga Taman Nasional Bukit Dua Belas

Program
Karakteristik
Temuan Pokok Permasalahan Implikasi Pembangunan Pembangunan Yang
Kelompok OR
Pernah Dilaksanakan
1. Tradisional
2. Transisi  Rendahnya Angka  Rendahnya akses  Kebijakan memperluas akses  Pembangunan
Partisipasi Sekolah pendidikan formal dan pendidikan Pemukiman/Peruma
 Angka Kematian non formal  Kebijakan Sosialisasi han Eksitu dari
Bayi Relatif Tinggi  Hambatan Adat Pentingnya Pendidikan Kemensos dan
 Usia Harapan Hidup istiadat  Kebijakan Pengembangan Kemeneg PDT
Rendah  Rendahnya pendapatan ekonomi kreatif  Program Pos Yandu
 Rentan terhadap  Pola hidup tidak sehat  Kebijakan Penyuluhan dan Pengobatan
penyakit  Pola makan tidak sehat kesehatan dan sanitasi Gratis PEMDA
 Melemahnya Adat  Standar Gizi Buruk  Program Perbaikan Gizi Ibu Sarolangun
Istiadat  Sanitasi Lingkungan dan Anak  Program Pendidikan
 Masih memegang Buruk  Revitalisasi adat Alternatif dari LSM
budaya melangun  Tidak tegasnya sanksi  Pengembangan budaya dan dan Perusahaan
 Pendapatan Rendah adat pranata sosial  Program
 Sebagian besar belum  Kebutuhan hidup  Peningkatan ketrampilan ASKESKIN
di registrasi sebagai meningkat teknologi budidaya pertanian  Program RASKIN
penduduk  Berkurang dan dan perkebunan(agroforestry)
sulitnya mendapat
hewan buruan

Universitas Indonesia
150

Tabels 5.1. Lanjutan ..............


 Pembukaan areal  Berkurang dan sulit  Peningkatan ketrampilan
kawasan lindung dan memperoleh rotan, pengolahan hasil hutan non
daerah penyangga getah jernang, madu, kayu
 Jual beli lahan getah balam/Hasil  Program Registrasi Penduduk
 Semakin sempitnya Hutan Non Kayu Orang Rimba
la han (HHNK)  Pengakuan status hukum atas
 Pemukiman yang jauh pemukiman Orang Rimba
di pedalaman hutan  Kebijakan peraturan zonasi
 Frekuensi mobilitas pengelolaan kawasan yang
adat melangun mengakomodir kepentingan
 Faktor teknis budaya dan pengetahun lokal
pendataan Orang Rimba
 Belum ada pola zonasi  Kebijakan Peraturan tentang
pengelolaan kawasan ketentuan pemanfaatan dan
TN pengelolaan lahan di kawasan
 Kebutuhan hidup penyangga taman nasional
konsumtif yang  Kebijakan Reformasi
meningkat dan Redistribusi Lahan bagi Orang
tawaran pemilik modal Rimba
untuk membeli lahan Penegakan Hukum atas masalah
 Rendahnya status pemilikan lahan diwilayah
keterampilan teknologi TN dan pemukiman Orang
bercocok tanam Rimba

Universitas Indonesia
151

Tabels 5.1. Lanjutan ............


3. Pengembara  Rentan terhadap  Rendahnya akses  Kebijakan memperluas akses  Pembangunan
penyakit pendidikan formal dan pendidikan Pemukiman/Peruma
 Tercerabut Adat non formal  Kebijakan Sosialisasi han Eksitu dari
Istiadat  Rendahnya pendapatan Pentingnya Pendidikan Kemensos
 Pendapatan Rendah  Pola hidup tidak sehat  Kebijakan Pengembangan  Program Pemberian
 Sebagian besar belum  Pola makan tidak sehat ekonomi kreatif Seragam Sekolah
di registrasi sebagai  Standar Gizi Buruk  Kebijakan Penyuluhan dari PEMDA dan
penduduk  Sanitasi Lingkungan kesehatan dan sanitasi LSM
 Tidak memiliki lahan Buruk  Program Perbaikan Gizi Ibu  Program Pengobatan
 Hidup nomaden di  Kebutuhan hidup dan Anak Gratis PEMDA
areal perkebunan meningkat  Pengembangan budaya dan Sarolangun
penduduk dan  Berkurang dan pranata sosial
perusahaan sulitnya mendapat  Peningkatan ketrampilan
perkebunan hewan buruan teknologi budidaya pertanian
 Matapencaharian  Rendahnya dan perkebunan(agroforestry)
mengemis, pemulung keterampilan teknologi  Program Registrasi Penduduk
 Kadang melakukan budidaya tanaman Orang Rimba
tindakan pencurian  Rendahnya  Pengembangn Lingkungan
hasil kebun keterampilan hidup Sosial khususnya pemukiman
(life skill)  Kebijakan Reformasi
Redistribusi Lahan bagi Orang
Rimba
 Pengembangan Keterampilan
Hidup (Life Skill)

Universitas Indonesia
152

Tabels 5.1. Lanjutan ..............


4. Bediom  Rendahnya Angka  Rendahnya motivasi  Kebijakan Sosialisasi  Pembangunan
Partisipasi Sekolah untuk bersekolah Pentingnya Pendidikan Pemukiman/Peruma
 Pendapatan Rendah  Rendahnya  Kebijakan Pengembangan han Eksitu dari
 Pembukaan areal keterampilan hidup ekonomi kreatif Kemensos
kawasan lindung dan (life skill)  Peningkatan ketrampilan  Program Pengobatan
daerah penyangga  Rendahnya teknologi budidaya pertanian Gratis PEMDA
 Jual beli lahan keterampilan teknologi dan perkebunan(agroforestry) Sarolangun
budidaya tanaman  Peningkatan ketrampilan  Program RASKIN
 Mulai mengenal pengolahan hasil hutan non
kebutuhan konsumtif kayu
sekunder (motor, hp,  Kebijakan Peraturan tentang
chainsaw) ketentuan pemanfaatan dan
 Tidak memiliki lahan pengelolaan lahan di kawasan
usaha penyangga taman nasional
 Kebijakan Reformasi
Redistribusi Lahan bagi Orang
Rimba
 Penegakan Hukum atas
masalah status pemilikan
lahan diwilayah TN dan
pemukiman Orang Rimba
 Pengembangan Keterampilan
Sosial
5. Berkampung

Universitas Indonesia
153

5.4.2. Strategi Kebijakan dan Program Pembangunan Sosial Orang Rimba


Berdasarkan temuan hasil penelitian tentang karakteristik kelompok Orang
Rimba dapat di kelompokkan menjadi 5 (lima) kategori yaitu kelompok
tradisional, transisi, pengembara, bediom dan berkampung. Masing-masing
kelompok khususnya pada 3 kelompok yaitu kelompok transisi, pengembara dan
bediom telah dilakukan identifikasi permasalahan yang dihadapi sebagaimana
dipaparkan dalam Tabel 5.1. Tentu saja permasalahan yang dihadapi ketiga
kelompok di atas harus diatasi dengan pelaksanaan program pembangunan sosial.

Dalam penelitian ini strategi kebijakan pembangunan sosial Orang Rimba


di kawasan TNBD akan difokuskan pada kelompok transisi, dengan pertimbangan
sebagai berikut : (1) kelompok ini sedang mengalami proses transisi baik budaya
maupun perilaku hidup sehingga memiliki tingkat kerentanan sosial budaya dan
ekonomi. (2) kelompok ini bermukim di kawasan hutan yang berstatus Taman
Nasional yang memiliki peraturan tersendiri dalam pengelolaan kawasan sehingga
berpotensi timbulnya konflik kepentingn terhadap sumberdaya alam hutan.

Penyusunan strategi kebijakan pembangunan sosial masyarakat adat Orang


Rimba dilakukan berdasarkan identifikasi masalah dan temuan lapangan yang
telah dipaparkan sebelumnya, mengingat adanya beberapa aspek permasalahan
temuan hasil penelitian maka dilakukan pemilihan aspek masalah berdasarkan
skala perioritas masalah yang harus ditangani dalam komunitas Orang Rimba
pada kelompok transisi adalah pada bidang pelayanan sosial dasar yaitu
pendidikan dan kesehatan, , aspek budaya (pranata sosial), aspek pengembangan
ekonomi dan aspek pembangunan zonasi kawasan TNBD.

5.4.2.1. Strategi Kebijakan Pembangunan Sosial dalam Bidang Pendidikan


Faktor pendidikan dapat merupakan faktor penyebab dan sekaligus dapat
menjadi faktor yang disebabkan oleh perubahan sosial di bidang lain, seperti dari
bidang ekonomi dan politik. Perubahan sosial melalui pendekatan proses
pendidikan bukan merupakan perubahan yang berlangsung secara alamiah, tetapi
di dalamnya diperlukan perencanaan, kemudian dilaksanakan, dan selanjutnya
dievaluasi untuk melihat perubahan pendidikan yang terjadi dalam satu periode.
Paling tidak ada 3 pendekatan indikator yang dapat digunakan untuk menilai

Universitas Indonesia
154

keberhasilan perubahan sosial yang berkaitan dengan pelayanan pendidikan, yaitu;


(a) perubahan input seperti tingkat alokasi anggaran yang digunakan ke dalam
sektor pendidikan; (b) perubahan output atau pendekatan efektivitas pelayanan,
yakni dinilai dari tingkat realisasi program-program pelayanan pendidikan dalam
suatu periode; (c) perubahan outcomes antara lain dapat dideteksi melalui Angka
Partisipasi Sekolah (APS) dan rata-rata lama pendidikan penduduk di suatu
komunitas.
Pemerintah telah mencanangkan pendidikan gratis untuk memperluas
pelayanan akses pendidikan untuk semua anak usia sekolah namun kebijakan
tersebut belum dapat dinikmati oleh masyarakat adat Orang Rimba. Kebijakan
PEMDA untuk membentuk seksi khusus pembinaan dan pendidikan Orang Rimba
pada bidang program pendidikan non formal pada Dinas Pendidikan Kabupaten
Sarolangun belum dapat berfungsi secara optimal memberikan pelayanan
pendidikan dasar bagi komunitas adat Orang Rimba.
Pembangunan sosial dalam bidang pendidikan dasar merupakan suatu
pendekatan pembangunan yang bertujuan untuk mempersiapkan sumber daya
manusia yang akan memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah sosial dan
ekonomi. Pendidikan penting untuk melawan kemiskinan, pemberdayaan
perempuan, mempromosikan demokrasi dan HAM, melestarikan lingkungan, dan
mengontrol pertambahan penduduk (UNICEF 1999 dalam Hall dan Midgley,
2004).
Tujuan pembangunan sosial bidang pendidikan bagi komunitas Orang
Rimba adalah untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia Orang Rimba
agar dapat lebih memiliki kemampuan adaptasi terhadap perubahan sosial yang
terjadi dan memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam memanfaatkan
sumberdaya alam secara lestari. Sasaran program pendidikan Orang Rimba lebih
diutamakan kepada anak usia sekolah dan anak usia remaja, hal ini dimaksudkan
agar dapat mendorong terjadinya proses perubahan sosial. Namun demikian
program pendidikan informal diperlukan bagi kelompok orang dewasa untuk
dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan hidup, dan keterampilan
teknologi tepat guna dalam pengolahan sumberdaya alam hutan.

Universitas Indonesia
155

Permasalahan di bidang pendidikan bagi Orang Rimba adalah rendahnya


motivasi dan partisipasi untuk mengikuti proses pendidikan, rendahnya akses
mengikuti pendidikan, adanya budaya melangun, lemahnya institusi keluarga dan
masalah sosial lainnya. Untuk mengatasi permasalahan pendidikan bagi anak usia
sekolah Orang Rimba kebijakan yang harus diambil oleh pemerintah daerah
adalah memperluas akses pelayanan pendidikan bagi Orang Rimba, melalui
penyediaan anggaran dana pendidikan khusus untuk Orang Rimba dan
membangun model penyelenggaraan pendidikan yang disesuaikan dengan kondisi
sosial budaya, dan lingkungan hidup masyarakat adat Orang Rimba.
Adapun beberapa strategi untuk melaksanakan kebijakan tersebut yang
dapat dilakukan adalah :
1. Melaksanakan program pendidikan alternatif dengan metode dan kurikulum
khusus bagi pendidikan dasar anak usia sekolah di komunitas adat Orang
Rimba khususnya yang masih tinggal di dalam kawasan hutan. Program
pendidikan ini dapat dilaksanakan dengan melakukan kerjasama dengan
berbagai pihak yang peduli dengan pendidikan Orang Rimba seperti LSM dan
pihak swasta.
2. Melaksanakan pendidikan keterampilan hidup (life skill) bagi anak-anak
remaja dan orang dewasa di komunitas Orang Rimba terutama keterampilan
yang berkaitan dengan pengelolaan dan konservasi Hasil Hutan Non Kayu
maupun keterampilan lainnya.
3. Meningkatkan kapasitas pelayanan sekolah dasar dan lembaga pendidikan
non formal yang melaksanakan pendidikan bagi Orang Rimba yang telah
menetap, khususnya yang berkaitan dengan penambahan tenaga guru dan
penyusunan program khusus penunjang pelaksanaan proses belajar mengajar.
4. Mengembangkan kemitraan dengan pihak swasta dan LSM dan komunitas
dalam menyusun program pendidikan bagi masyarakat adat Orang Rimba.

Berdasarkan strategi yang telah dipaparkan dapat dilaksanakan beberapa


program sebagai berikut :

1. Program identifikasi dan pendataan jumlah anak usia sekolah dan usia remaja
di setiap kelompok Orang Rimba di kawasan TNBD.

Universitas Indonesia
156

2. Program Sekolah Rimba bagi anak usia sekolah dengan kurikulum yang
digali dari kearifan budaya Orang Rimba dikombinasikan dengan ilmu
pengetahuan modern.
3. Program pelatihan keterampilan hidup (life skill) khususnya yang berkaitan
dengan kondisi lingkungan hidup komunitas Orang Rimba.
4. Program pelatihan teknologi budidaya tanaman dan hewan hutan misalnya
rotan, jernang, babi dan lebah madu.

5. Program Beasiswa Pendidikan bagi anak-anak Orang Rimba.

5.4.2.2. Strategi Kebijakan Pembangunan Sosial Bidang Kesehatan


Pembangunan sosial dalam bidang pendidikan harus dipandang sebagai
sistem pelayanan kesehatan yang melaksanakan perencanaan dan
pengoragnisasian untuk pelayanan promosi, pencegahan, penyembuhan dan
rahabilitasi bagi masyarakat (Basch, 1999 dalam Midgley and Hall, 2004).
Pembangunan sosial di bidang kesehatan merupakan salah satu unsur
dalam pembangunan sumber daya manusia sebagaimana yang dikemukakan oleh
UNDP dalam salah satu program pembangunan millenium. Terdapat berbagai
indikator pembangunan dan perubahan sosial yang berkaitan dengan pelayanan
kesehatan sebagaimana yang terdapat dalam Indeks Pembangunan Manusia
(HDI), di antaranya adalah Angka Kematian Bayi, Angka Harapan Hidup,
Persentase Penduduk yang mengalami keluhan kesehatan, Persentase Angka
morbiditas, Persentase Penduduk yang melakukan pengobatan sendiri, dan
Persentase Kelahiran yang ditolong tenaga medis.
Pembangunan Sosial di bidang kesehatan bagi komunitas Orang Rimba
bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup Orang Rimba sehingga dapat hidup
secara sehat dan lebih layak. Kebijakan yang harus diambil adalah memperluas
akses dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan bagi komunitas Orang Rimba.
Upaya pembangunan kesehatan bagi Orang Rimba yang telah dilakukan
oleh PEMDA Sarolangun baru pada tahap pelayanan penyembuhan, dengan
menggunakan strategi berobat gratis melalui penggunaan kartu sehat pada sarana
pelayanan kesehatan baik level satu pada tingkat desa dan kecamatan dan level
dua pada tingkat kabupaten.

Universitas Indonesia
157

Strategi ini belum dapat melayani kesehatan Orang Rimba secara optimal,
beberapa permasalahan kesehatan yang dihadapi komunitas Orang Rimba adalah
buruknya sanitasi lingkungan hidup, perilaku hidup tidak sehat misalnya jarang
mandi, perokok berat), akses yang sulit terhadap pelayanan kesehatan karena letak
pemukiman mereka yang jauh di dalam hutan, dan pemahaman mereka tentang
sanitasi dan kesehatan yang minim. Terkait pembangunan sosial dibidang
kesehatan Orang Rimba selain beberapa masalah kesehatan Orang Rimba, hal
yang harus mendapat perhatian adalah kearifan lokal Orang Rimba dalam bidang
pengobatan tradisional. Orang Rimba memiliki Malim atau dukun yang dapat
melakukan upacara pengobatan atau penyembuhan bagi anggota kelompok yang
menderita sakit. Pengobatan tradisional Orang Rimba menggunakan khasiat
ramuan dan tanaman hutan yang terdapat di lingkungan pemukiman mereka
sejumlah tanaman hutan yang banyak dijumpai di kawasan TNBD diyakini oleh
Orang Rimba dapat dijadikan obat menyembuhkan penyakit.
Untuk itu diperlukan perubahan strategi program pelayanan kesehatan bagi
Orang Rimba sebagai berikut :
1. Memperluas dan mempermudah akses dan meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan bagi Orang Rimba.
2. Melaksanakan promosi kesehatan dan sanitasi lingkungan
3. Merekrut dan melatih lebih kader POS YANDU dan Dukun Beranak yang
berasal dari perempuan remaja dan dewasa Orang Rimba..
4. Menggali dan mengembangkan potensi teknik pengobatan dan pengetahuan
tanaman obat Orang Rimba.

Berdasarkan strategi di atas dapat dikembangkan beberapa program sebagai


berikut :

1. Program pelayanan kesehatan bergerak/jemput bola berupa POS YANDU


khusus bagi Orang Rimba dengan program yang diperluas tidak hanya proses
imunisasi tetapi juga disertai dengan penyuluhan kesehatan ibu dan anak serta
program pemberian makanan bergizi bagi ibu hamil dan balita Orang Rimba.
2. Program Penyuluhan Sanitasi dan Kesehatan
3. Program pelatihan kader kesehatan, pos yandu dan persalinan.

Universitas Indonesia
158

4. Program identifikasi dan budidaya tanaman yang dapat dijadikan bahan baku
obat-obatan.

5.4.2.3. Strategi Kebijakan Pembangunan Sosial dalam Bidang Ekonomi


Pembangunan sosial bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, oleh karenanya dalam proses penerapannya diiringi dengan
pembangunan bidang ekonomi. Sesuai dengan tujuannya pembangunan sosial
bagi komunitas Orang Rimba pada akhirnya harus dapat meningkatkan kualitas
hidup ke taraf yang lebih sejahtera dan mandiri dalam berbagai aspek kehidupan.
Proses pembangunan ekonomi komunitas Orang Rimba harus dilakukan
sesuai dengan potensi dan peluang ekonomi yang dimiliki komunitas adat Orang
Rimba yang dilandasi prinsip pembangunan ekonomi yang tetap menjaga
kelestarian sumberdaya alam hutan dikawasan TN. Kebijakan pembangunan
ekonomi bagi komunitas Orang Rimba haruslah mengedepankan pengembangan
sumber ekonomi yang memanfaakan sumberdaya alam dengan kreatif yang dapat
menunjang pemenuhan kebutuhan hidup layak bagi komunitas Orang Rimba. Saat
ini dalam menunjang ekonominya Orang Rimba menggunakan pola yang
ekstraktif dalam memanfaatkan HHNK, hal ini harus dirobah ke pola pemanfaatan
yang lestari sesuai dengan prinsip keberlanjutan.
Ada beberapa strategi yang dapat dikembangkan dalam pembangunan
ekonomi untuk menunjang kesejahteraan komunitas Orang Rimba sebagai
berikut:
1. Mengembangkan usaha industri kerajinan pengolahan hasil hutan non kayu
(HHNK) seperti rotan, tebu-tebu, getah jernang, dan buah-buahan.
2. Mengembangkan budidaya tanaman hutan dan perkebunan yang mempunyai
nilai ekonomi dan konservasi dengan sistem “hompongan”
3. Mengembangan potensi pariwisata kawasan hutan hujan tropis dataran rendah
yang dimiliki kawasan TNBD dengan beragam jenis species flora dan fauna
endemik.
Dari strategi yang telah ditetapkan dapat dikembangkan beberapa program
pembangunan ekonomi komunis Orang Rimba sebagai berikut :

Universitas Indonesia
159

1. Program pelatihan keterampilan pengolahan bahan baku HHNK menjadi


produk industri kerajinan
2. Program pengembangan industri kerajinan berbahan baku HHNK
3. Program pelatihan teknologi budidaya tanaman hutan dan perkebunan
4. Program pengembangan budidaya tanaman hutan rotan dan jernang dengan
sistem agroforestry (sistem wanatani) yang diselaraskankan dengan sistem
kearifan lokal Orang Rimba dalam pemanfaatan SDA.
5. Progam pengembangan budidaya tanaman karet dan buah dengan sistem
”hompongan”.
6. Program pengembangan paket ekowisata di kawasan TNBD
Pengembangan ekonomi komunitas adat Orang Rimba harus disertai
dengan kebijakan pemberian kepastian hak akan sumberdaya lahan dan hak
pengelolaan sumberdaya hutan yang justru selama ini menjadi salah satu faktor
struktural dalam proses marjinalisasi ekonomi masyarakadat adat pada umumnya
dan komunitas adat Orang Rimba khususnya. Untuk itu perlu dikeluarkan
sejumlah produk hukum (PP, Permen, PERDA) yang berkaitan dengan hak atas
lahan dan hak pengelolaan sumberdaya alam hutan bagi masyarakat adat.

5.4.2.4. Strategi Kebijakan Pembangunan Sosial Bidang Budaya


Pembangunan sosial bidang kebudayaan masyarakat adat Orang Rimba
bertujuan menimbulkan perubahan dan pergeseran sistem nilai budaya yang
selanjutnya berpengaruh kepada sikap mental, pola pikir, dan pola perilaku
anggota keluarga dan komunitas Orang Rimba. Perencanaan perubahan sosial
budaya dilakukan dengan sangat cermat mengingat perubahan dan pergeseran
sistem nilai budaya di satu sisi dapat menjadi pendorong ke arah kondisi
kehidupan yang lebih baik, tetapi di sisi lain dapat menjadi bumerang yang
memosisikan manusia sebagai objek yang kehilangan nilai kemanusiaannya,
bahkan melanggar hak asasinya.
Kebijakan pembangunan budaya masyarakat adat Orang Rimba diarahkan
untuk melakukan identifikasi dan penguatan nilai-nilai budaya masyarakat adat
Orang Rimba yang menunjang perbaikan kehidupan komunitas. Dalam
masyarakat adat Orang Rimba ditemukan nilai-nilai budaya yang menjadi kearifan

Universitas Indonesia
160

dan bermanfaat bagi kelangsungan hidup komunitas diantaranya adalah nilai-nilai


budaya dalam pola pemanfaatan sumberdaya alam, nilai-nilai budaya dalam
pengaturan kehidupan bermasyarakat.
Komunitas Orang Rimba mengenal institusi/lembaga pengulu yang
mengatur tata perilaku kehidupan anggota kelompok. Kondisi institusi pengulu
saat ini mulai melemah seiring dengan perubahan sosial yang terjadi di komunitas
khususnya semenjak terbukanya akses komunikasi dan interaksi dengan
masyarakat Orang Terang. Namun lembaga pengulu masih dihormati oleh para
anggota kelompok untuk dalam menyelesaikan masalah yang terjadi di komunitas
misalnya dalam penyelesaian perselisihan antar anggota kelompok,
penyelenggaraan perkawinan, dan pembukaan ladang baru.
Lembaga pengulu juga dilemahkan dengan munculnya atau dipilihnya
Temenggung baru dengan cara kurang demokratis yang hanya dipilih atau
disetujui oleh beberapa orang anggota kelompok. Dari hasil wawancara dengan
informan saat ini ada 12 orang temenggung di kawasan TNBD. Banyaknya
temenggung ini dikarenakan pengaruh dari interaksi dengan pihak luar terutama
untuk kepentingan ekonomi dan politik praktis misalnya dalam hal distribusi
bantuan pemerintah, jual beli lahan, dan pemilihan kepala desa.
Pada prinsipnya lembaga pengulu memiliki potensi untuk dijadikan
sebagai sistem lembaga pengaturan komunitas secara formal yang dapat diakui
oleh pemerintah sebagai satu kesatuan warga setingkat rukun tetangga atau desa
pada pemerintahan formal. Fungsi dan kewenangan yang diatur dalam institusi
pengulu sudah sangat efektif terbagi dalam bidang urusan tertentu dalam
pengaturan tata kelola komunitas Orang Rimba. Untuk itu perlu dilakukan
aktualisasi fungsi institusi pengulu pada komunitas Orang Rimba dalam rangka
pengembangan masyarakat adat Orang Rimba.
Strategi pengembangan potensi nilai budaya masarakat adat Orang Rimba
yang perlu dilakukan adalah :
1. Menggali dan melakukan identifikasi nilai-nilai kearifan budaya Orang
Rimba yang dapat bermanfaat bagi perbaikan kehidupan Orang Rimba.
2. Melakukan revitalisasi nilai-nilai budaya yang positif bagi kelangsungan
hidup masyarakat dan lingkungan hidupnya.

Universitas Indonesia
161

3. Mengakomodasi atau mengakui keberadaan sistem institusi pengulu sebagai


lembaga tata kelola komunitas Orang Rimba oleh pemerintah daerah
Strategi kebijakan dalam mengatasi melemahnya penerapan adat-istiadat
di masyarakat adat Orang Rimba adalah :
(1) Meningkatkan apresiasi dan pengamalan nilai-nilai budaya, ilmu pengetahuan
dan kearifan lokal yang bermanfaat dalam menunjang kehidupan dan
kelestarian lingkungan menuju kemajuan, kemandirian, keharmonisan,
ketahanan budaya, dengan partisipasi aktif anggota komunitas khususnya
dikalangan anak-anak muda masyarakat adat Orang Rimba;
(2) Melindungi, memelihara, mengembangkan serta memanfaatkan seluruh
potensi nilai budaya, ilmu pengetahuan dan kearifan lokal untuk
kesejahteraan masyarakat adat Orang Rimba.

Berdasarkan strategi pembangunan sosial bidang kebudayaan dapat


dikembangkan beberapa program sebagai berikut :
1. Program revitalisasi lembaga pengulu di komunitas Orang Rimba
2. Program revitalisasi nilai budaya kearifan lokal dalam pemanfaaan
sumberdaya alam.

5.4.2.5. Strategi Kebijakan Pembangunan Sosial Berkaitan dengan


Keberadaan Orang Rimba di dalam kawasan TNBD.
Keberadaan Orang Rimba di kawasan hutan Taman Nasional Bukit Dua
Belas jauh sebelum kawasan tersebut ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan
konservasi. Kawasan hutan dataran rendah tersebut mulai ditetapkan pertama kali
sebagai kawasan konservasi pada tahun 1987 melalui SK Menteri Kehutanan
No.461/Kpts-II/1987 sebagai kawasan Cagar Biosfer (CB), status kawasan
tersebut ditingkatkan sebagai taman nasional pada tahun 2000 melalui SK
MENHUTBUN Nomor : 258/Kpts-II/2000. Kedua kebijakan tersebut dalam
pertimbangan dan tujuan penetapan kawasan adalah untuk melindungi kehidupan
Orang Rimba. Jadi jelas dalam hal ini sudah ada keberpihakan pemerintah
terhadap pengakuan wilayah kehidupan Orang Rimba.
Namun pengakuan hak wilayah tersebut belum dapat diimplementasikan
dengan baik dilapangan, dikarenakan ada kebijakan pemerintah lainnya yang

Universitas Indonesia
162

mengatur sistem pengelolaan taman nasional yang membuat terjadinya benturan


kepentingan antara hak-hak adat Orang Rimba dan kewenangan negara dalam
pengaturan dan pengelolaan kawasan hutan. Hal ini berdampak pada terjadinya
konflik kepentingan antara pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA)
dan komunitas adat Orang Rimba pada tahun 2005. Untuk itu perlu dilakukan
terobosan pendekatan yang akan memediasi potensi konflik yang lebih besar dan
berkepanjangan yang akan menyebabkan kerugian pada pihak Orang Rimba.
Untuk permasalahan ini penulis memilih “pendekatan harmoni” yang
dikemukakan oleh Harry Hikmat104 yaitu melakukan kajian secara proporsional
antara aspek positif (benefit) dan aspek negatif (resiko), sehingga fokus tim kerja
akan mengkaji tantangan ke depan, peluang yang ada, kekuatan/ potensi yang ada
dan kelemahan yang terjadi. Pendekatan ini merupakan alternatif dari pendekatan
resolusi konflik yang cenderung gagal dalam memediasi.
Keterkaitan kehidupan antara masyarakat adat Orang Rimba dan hutan di
kawasan TNBD mengharuskan sistem pengelolaan yang mengakui sekaligus
melindungi eksistensi hak-hak azasi masyarakat adat Orang Rimba. Memang
tidak mudah untuk mengakomodir kepentingan para pihak dalam sistem
pengelolaan taman nasional, diperlukan kemauan politik dan komitmen
tanggungjawab yang tinggi serta saling mengedepankan prinsip kesetaraan,
kemitraan dan keberlanjutan sosial.
Dari diskusi dan wawancara dengan berbagai pihak selama penelitian
mengenai sistem pengelolaan taman nasional yang lestari dan tercapainya
kesejahteraan komunitas adat Orang Rimba pengelolaan kawasan dengan “Sistem
Zonasi” diyakini dapat mengakomodir kepentingan para pihak, dengan sejumlah
catatan yang harus diperhatikan dalam penyusunan dan implementasi sistem
zonasi sebagai berikut :
1. Pihak-pihak yang berkepentingan harus memiliki kesadaran konseptual tentang
hahekat pelestarian sebuah kawasan yang di dalamnya terdapat pemukiman
masyarakat adat.

104
Harry Hikmat, Perencanaan Program Pemberdayaan Komunitas Adat TerpencilDalam Era
Otonomi Daerah (Pengelolaan Kawasan Dengan Sistem Zonasi).

Universitas Indonesia
163

2. Melibatkan semua pihak pemangku kepentingan (multi stakeholders) secara


kolaboratif dan partisipatif dalam penetapan penataan ruang sesuai dengan
fungsi zonasi.
3. Pembagian zonasi mempertimbangkan existing condition dan faktor-faktor
penyebab kerusakan yang terjadi di berbagai zonasi yang ada di wilayah
kawasan dan sekitarnya.
4. Menggunakan sejumlah peraturan berikut sebagai landasan menyusun sistem
pengelolaan zonasi yaitu UUD 1945 khususnya Pasal 18 B ayat ke2, UU No.
39/1999 tentang HAM khususnya pasal 6, UU No.41/1999 tentang Kehutanan
khususnya pasal 67, PP No.34/2002 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan, Pemamnfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan
Hutan, Tap MPR No XVII/1998 Pasal 14 tentang HAM, Tap MPR No IX/2001
tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam, UU No 11/ 2005 tentang Ratifikasi
Konvensi Internasional Hak Ekonomi Sosial dan Budaya dan UU No.12/2005
Konvensi Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik.
Sasaran perubahan yang akan dicapai dalam sistem pengelolaan TNBD
lebih bertumpu pada perubahan fungsional (non konfliktual). Pendekatan
fungsional tersebut akan menjadi berguna jika dilakukan analisis kebijakan yang
tersebut diatas secara optimal dengan memperhatikan keselarasan kawasan
masyarakat adat (mikro), strategi pengelolaan regional (meso), dan kebijakan dan
perundang-undangan (makro).105 Pendekatan fungsional ini dapat diterapkan
dalam pengelolaan kawasan TNBD dikarenakan pada msyarakat adat Orang
Rimba memiliki kearifan lokal dalam pemanfaatan ruang hutan yang disesuaikan
dengan peruntukan fungsi pemanfaatan dan fungsi konservasi. Kearifan lokal ini
dapat diakomodir dalam sistem pengelolaan TN karena selaras dengan sistem
zonasi yang diatur dalam kebijakan peraturan perundangan formal.
Berbagai model pengelolaan kawasan hutan lestari dapat dijadikan acuan
yang relevan dalam kaitan pemberdayaan masyarakat adat Orang Rimba dapat
dipilih dan diterapkan dalam suatu harmoni interaksi dinamis antara ekosistem,

105
Op.Cit. Harry Hikmat.

Universitas Indonesia
164

kearifan budaya lokal dan intitusi lokal yang didukung penuh oleh kebijakan
nasional.
Adapun usulan dalam upaya pengelolaan kawasan hutan TNBD dengan keberadan
Orang Rimba dengan sistem zonasi adalah sebagai berikut:
1. Zona Inti/Hutan Dewa, adalah suatu kawasan yang diperuntukan untuk
melindungi kelestarian hutan alam dan menjaga proses alami dalam kondisi
yang tidak terganggu dengan fungsi ekologis yang mewakili lingkungan alami.
Dari aspek konservasi kawasan ini diperuntukkan untuk berkembangnya
plasma nufh secara alami dan berfungsi sebagai tempat pencadangan sumber
air dan karbon. Kawasan ini diselaraskan dengan mengakomodir peruntukan
areal hutan dewa oleh komunitas Orang Rimba. Kawasan hutan dewa bagi
Orang Rimba dianggap tempat tinggalnya para dewa menurut kepercayaan
mereka sehingga wilayah ini tidak boleh diganggu sama sekali karena dianggap
memiliki kekuatan magis
Kawasan ini memiliki fungsi sosial budaya dan religi bagi Orang Rimba.
Pada umumnya masyarakat adat Orang Rimba sangat menjaga wilayah ini dari
kerusakan dan ancaman dari luar. Dalam wilayah ini juga umumnya sebagai
daerah yang keramat dan mempunyai nilai-nilai sakral karena kepercayaan
mereka terhadap ‘penghuni’ dan kebendaan di dalamnya yang dikeramatkan
(hutan terlarang). Gangguan terhadap wilayah ini akan membuat mereka
marah dan semakin ‘memusuhi’ komunitas luar.
Zona inti merupakan wilayah konservasi yang sangat ketat. Pada zona inti
tersebut hanya untuk keperluan ritual dan religi Orang Rimba, dan penelitian
diawasi ketat oleh pengelola dan komunitas adat Orang Rimba pihak luar tidak
diperkenankan masuk wilayah tersebut. Jika dikaji lebih dalam kawasan
tersebut secara topografi dan vegetasi merupakan wilayah yang memiliki
kelerengan yang cukup tinggi dan ditumbuhi oleh vegetasi hutan dengan
diameter pohon yang besar dan memiliki fungsi konservasi yang tinggi. .
2. Zona Rimba, adalah kawasan konservasi untuk menjamin kondisi alami yang
perlu bagi perlindungan spesies, dan sumber-sumber plasma nutfah dan sumber
daya hayati penting lainnya. Pada zona ini merupakan tempat pemukiman
Orang Rimba, pada zona ini diperlukan pengelolaan yang spesifik untuk

Universitas Indonesia
165

menjaga kelestariannya. Zona ini secara terbatas dapat dimasuki pengunjung,


tetapi tidak diperkenankan adanya bangunan-bangunan permanen, kawasan
harus dipertahankan keasliannya secara alami. Kawasan ini dapat
mengkomodir kearifan lokal Orang Rimba yaitu kawasan yang diperuntukan
sebagai tanah kelahiran (tano peranokon), dan tanah pekuburan (tano
pasohon),
3. Zona Pemanfaatan Tradisional, pada zona ini merupakan kawasan aktifitas
pemanfaatan tradisional yakni meramu dan berburu secara terbatas bagi Orang
Rimba dan sebagai tempat pemukiman. Zona ini dikelola secara spesifik
dengan kegiatan pengayaan atau budidaya keanekaragaman hayati dengan
menanam komoditi unggulan berupa hasil hutan non kayu seperti rotan,
jernang dan getah-getahan. Zona ini merupakan kawasan penunjang ekonomi
Orang Rimba yang dikelola berdasarkan kearifan ekologi yang ada pada
komunitas Orang Rimba, maupun kearifan lingkungan komunitas lain yang
diintrodusir kepada komunitas Orang Rimba. Kawasan ini juga dapat
mengakomodir peruntukan kawasan tanah subon/inumon menurut Orang
Rimba.
4. Zona Pariwisata merupakan kawasan hutan wisata atau ekowisata. Kawasan
ini diperuntukkan bagi kepentingan rekreasi, penelitian, dan pendidikan.
Kawasan ini dirancang untuk rekreasi dan para pengunjung yang intensif.
Kawasan ini tercakup di dalamnya daerah rekreasi, jalan, tempat parkir,
bangunan-bangunan, daerah camping dll. Namun daerah tersebut harus dibuat
batas yang jelas. Dalam pengelolaan zona ini, pelaku utama adalah warga
komunitas Orang Rimba yang sudah beradaptasi dengan komunitas luar dan
petugas / pendamping sosial, sehingga mereka yang harus menerima manfaat
yang paling besar. Pada zona ini telah seringkali terjadi tumpang tindih dengan
wilayah paling intensif dan mengandung potensi terbesar sumber daya alam
seperti, batu bara, minyak dan gas bumi dan dan desa-desa penduduk di
sekitarnya (termasuk daerah transmigrasi). Konflik penggunaan tanah hak
ulayat seringkali terjadi di kawasan ini. Oleh karenanya, kegiatan pemanfaatan
zona ini, sekiranya tidak dapat dipindahkan dari kawasan, maka aktifitas
apapun harus mendukung penuh fungsi hutan wisata atau ekowisata, serta

Universitas Indonesia
166

merupakan wilayah antara kehidupan komunitas adat Orang Rimba dengan


komunitas luar. Pembangunan pemukiman di wilayah ini dapat dilakukan
sejauh masih dalam lingkungan hak ulayat komunitas adat Orang Rimba.
5. Zona Rehabilitasi, merupakan kawasan untuk memperbaiki keadaan
vegetasi atau habitat yang pernah rusak. Misalnya, karena kebakaran hutan,
perambahan hutan atau bekas permukiman. Kawasan ini dapat ditanami oleh
pohon yang memilki nilai konservasi dan tumbuhan yang berfungsi untuk
pengobatan yang daun, bunga, dan buahnya disenangi warga komunitas adat
Orang Rimba dan fauna yang ada. Sebaiknya jenis pohon dan tumbuhan yang
ditanam dipilih jenis-jenis tumbuhan hutan asli di kawasan hutan daerah
tersebut (indegenous plants) agar dapat mengembalikan fungsi kawasan
tersebut sebagai kawasan konservasi.
6. Zona Penyangga, merupakan kawasan yang terletak di antara kawasan
konservasi dengan kawasan budidaya serta pemukiman di sekitarnya yang
dirancang untuk melindungi kawasan konservasi sumber daya dan kehidupan
komunitas adat Orang Rimba di dalamnya dari pengaruh negatif dari luar.
Sebaliknya zona ini dimaksudkan pula untuk melindungi kawasan budidaya
dan permukiman atau penduduk dan sumber daya miliknya terhadap pengaruh
negatif yang berasal dari kawasan konservasi.
Pada kawasan zona penyangga dapat dikembangkan berupa daerah hutan
atau perkebunan yang sebut “hompongan” di sepanjang titik batas kawasan TN
sehingga dapat berupa sabuk hijau (green belt). Model “hompongan” dapat
disempurnakan dengan berbagai pola wanatani (agroforestry) untuk memberikan
manfaat ekonomi dan konservasi bagi Orang Rimba dan kawasan.
Tujuan hompongan ini untuk melindungi atau mengurangi tekanan
penduduk terhadap daerah konservasi dan mencegah gangguan ke dalam kawasan
yang didiami komunitas Orang Rimba. Pembangunan hompongan dapat
dilakukan bersama oleh Orang Rimba dan para pihak yang ingin membantu baik
dari segi teknologi dan pendanaan. Hompongan tidak bisa dimiliki secara individu
tetapi dimiliki oleh komunitas sehingga tidak dapat diperjual belikan. Sejumlah
aturan dan payung hukum harus ditetapkan untuk mengatur sistem pengelolaan
kawasan ini. Di kawasan ini dapat pula dibangun pemukiman Orang Rimba secara

Universitas Indonesia
167

terbatas sebagai kawasan transisi bagi anggota komunitas yang akan memilih
untuk menetap (bediom) diluar kawasan hutan dengan keinginan sendiri.
Zona ini memiliki fungsi strategis terhadap proses perubahan sosial yang
diharapkan dari kehidupan masyarakat adat Orang Rimba. Wilayah ini juga
merupakan wilayah pemantauan keberhasilan program pemberdayaan transisi bagi
Orang Rimba yang akan melakukan proses adaptasi dengan kehidupan diluar
kawasan hutan atau sebagai warga desa pada umumnya.
Secara menyeluruh baik permasalahan, kebijakan, strategi dan program
pembangunan sosial bagi masyarakat adat Orang Rimba akan disajikan dalam
sebuah tabel program pembangunan sosial sebagai mana tersaji dalam tabel 5.2
berikut ini:

Universitas Indonesia
168

Tabel 5.2. Permasalahan, Kebijakan, Strategi dan Program Pembangunan Sosial Masyarakat Adat Orang Rimba

Karakter Bidang
Permasalahan Kebijakan Strategi Program Prioritas
Kelompok Pembangunan

1. Tradisional
2. Transisi Pendidikan  Rendahnya 1. Melaksanakan 1. Mengembangan 1. Identifikasi model
akses dan program pendidikan alternatif pendidikan
partisipasi pendidikan 2. Meningkatan Alokasi 2. Menyusun
pendidikan alternatif Dana Pendidikan Bagi kurikulum alternatif
formal dan 2. Melaksanakan Orang Rimba 3. Pendataan Anak
non formal pendidikan 3. Mengembangkan Usia Sekolah pada
 Hambatan keterampilan hidup pendidikan dan komunitas
Adat istiadat (life skill) pelatihan OrangRimba
3. Meningkatkan keterampilan hidup 4. Identifikasi para
fasilitas dan mutu (life skill) pihak yang
pelayanan 4. Memberikan dana melakukan program
pendidikan insentif khusus bagi pendidikan bagi
4. Mengembangkan SD yang Orang Rimba
kemitraan melaksanakan 5. Melakukan program
pendidikan bagi penyuluhan sosial
Orang Rimba bagi Orang Rimba
5. Mengembangkan akan pentingnya
kerjasama dengan pendidikan.
para pihak yang
peduli terhadap
pendidikan Orang
Rimba

Universitas Indonesia
169

Tabel 5.2. Lanjutan ............


Kesehatan  Pola hidup 1. Meningkatkan 1. Meningkatkan Upaya 1. Melaksanakan
tidak sehat mutu sumber daya Pelayanan Bermutu promosi/penyuluhan
 Pola makan manusia dan yang Merata dan kesehatan dan
tidak sehat lingkungan Terjangkau sanitasi lingkungan
 Standar Gizi 2. Memantapkan dan 2. Melaksanakan ke pemukiman
Buruk merealisasikan promosi kesehatan kelompok Orang
 Sanitasi Komitmen dan sanitasi Rimba.
Lingkungan Bersama untuk lingkungan 2. Menambah POS
Buruk Pembangunan 3. Memperluas akses YANDU khusus
Kesehatan OR pelayanan kesehatan 3. Melakukan
3. Meningkatan 4. Merekrut dan melatih Penyuluhan
alokasi dana APBD kader POS YANDU kesehatan ibu dan
4. Meningkatkan dan Dukun Beranak anak serta program
kualitas hidup pemberian makanan
Orang Rimba bergizi bagi ibu
hamil dan balita
4. Merekrut dan
melatih kader POS
YANDU dan Dukun
Beranak yang
berasal dari remaja
dan perempuan
Orang Rimba

Universitas Indonesia
170

Tabel 5.2. Lanjutan ........


Ekonomi 1. Kondisi 1. Menciptakan 1. Mengembangan usaha 1. Identifikasi
ekonomi peluang dan ekonomi berbasis komoditi HHNK
yang marjinal peningkatan HHNK yang memiliki nilai
kemampuan usaha 2. Mengembangkan ekonomi dan
ekonomi yang kebun karet dengan konservasi tinggi
berbasis kelestarian sistem hompongan 2. Identifikasi
lingkungan lahan/lokasi
2. Menciptakan budidaya
kepastian hak 3. Identifikasi peluang
pengelolaan dan jaringan pasar
sumberdaya hutan 4. Membentuk
bagi Orang Rimba kelompok untuk
tujuan peningkatan
keterampilan
produksi dan
diversifikasi
komoditi HHNK
Budaya 1. Mulai 1. Melakukan 1. Melakukan 1. Pelatihan
melemahnya penguatan dan inventarisasi, peningkatan
adat-istiadat pengembangan sosialisasi dan kapasitas pranata
dan institusi institusi pengulu penguatan nilai-nilai sosial
pengulu bagi kerarifan budaya lokal 2. Kajian Revitalisasi
2. Adanya pengembangan Lembaga Pengulu
Aktivitas komunitas
Melangun

Universitas Indonesia
171

Tabel 5.2. Lanjutan.............


3. 2. Melakukan 2. Mengidentifikasi 3. Kajian Revitalisasi
pengembangan potensi, merancang Kearifan Lokal
kearifan budaya dan mengemas dalam Pemanfaatan
lokal yang budaya sebagai paket SDA
berpotensi untuk ekowisata
pengembangan
kelestarian hutan
dan penunjang
ekonomi
Zonasi 1. Sistem 1. Menciptakan 1. Mengakomodir 1. Menyelenggarakan
kawasan Zonasi TN sistem pengelolaan pengelolaan kawasan forum konsultasi
TNBD 2. Rekonstruksi kawasan yang TN dengan para pihak dalam
Tata Batas dapat berdasarkan kearifan menyusun
3. Akses meningkatkan lokal Orang Rimba RPTNBD
terhadap kesejahteraan dan dalam pemanfaatan 2. Sosialisasi draft
hutan kelestarian sumberdaya alam RPTNBD kepada
lingkungan para pihak
3. Pembuatan peta
sistem zonasi secara
partisipatif

3. Pengembara Kesehatan  Pola hidup 1. Memantapkan dan 1. Meningkatkan Upaya 1. Melaksanakan


tidak sehat merealisasikan Pelayanan Bermutu penyuluhan
 Pola makan Komitmen yang Merata dan kesehatan dan
tidak sehat Bersama untuk Terjangkau sanitasi lingkungan
 Standar Gizi Pembangunan ke pemukiman
Buruk Kesehatan OR Orang Rimba.

Universitas Indonesia
172

Tabel 5.2. Lanjutan ..............


 Sanitasi 2. Melaksanakan 2. Penyuluhn cara
Lingkungan promosi kesehatan hidup sehat
Buruk dan sanitasi
lingkungan

Pendidikan  Rendahnya 1. Memberikan akses 1. Mempermudah akses 1. Penyuluhan Sosial


akses dan fasilitas pelananan pendidikan tentang pentingnya
pendidikan pelayanan 2. Merobah perilaku pendidikan
formal dan pendidikan dan hidup nomaden 2. Penyuluhan Sosial
non formal pendanaan yang (mengembara) tentang pentingnya
 Rendahnya cukup hidup menetap
motivasi 3. Pemberian beasiswa
mengikuti pendidikan bagi
pendidikan anak usia sekolah
Perumahan  Tidak Memberi pelayanan Membangun pemukiman 1. Mengidentifikasi
memiliki pemukiman dan yang layak huni dengan kelompok sasaran
lahan lingungan yang layak pola eksitu 2. Pelatihan
 Perilaku huni bagi Orang Keterampilan Sosial
hidup Rimba 3. Pembangunan
nomaden perumahan dan
lahan usaha
produktif
Ekonomi  Berkurang Meningkatkan 1. Meningkatkan 1. Pelatihan
dan sulitnya kemampuan dan keterampilan hidup Keterampilan hidup
sumber bahan kemandirian Orang (life skill)
makanan Rimba agar dapat
hidup secara layak

Universitas Indonesia
173

Tabel 5.2. Lanjutan .............


 Rendahnya 2. Meningkatkan 3. Pelatihan budidaya
keterampilan keterampilan usaha pertanian,
teknologi pertukangan
budidaya 4. Pelatihan teknologi
Rendahnya tepat guna
keterampilan
hidup (life
skill
4. Bediom Pendidikan  Rendahnya 1. Memberikan akses 1. Mempermudah akses 1. Penyuluhan Sosial
motivasi dan fasilitas pelayanan pendidikan pentingnya
mengikuti pelayanan 2. Merobah pola pikir pendidikan
pendidikan pendidikan untuk hidup lebih 2. Pemberian beasiswa
layak pendidikan
Ekonomi  Rendahnya 1. Meningkatkan 1. Meningkatkan 1. Pelatihan
keterampilan kemampuan dan keterampilan hidup Keterampilan hidup
teknologi kemandirian (life skill) 2. Pelatihan teknologi
budidaya Orang Rimba agar 2. Memberikan lahan budidaya pertanian
 Rendahnya dapat hidup secara usaha produktif 3. Pelatihan teknologi
keterampilan layak dan wajar 3. Meningkatkan tepat guna
hidup (life keterampilan usaha
skill )
 Tidak
memiliki
lahan usaha
produktif
5. Berkampung

Universitas Indonesia
174

5.5. Model Pembangunan Sosial Masyarakat Adat Orang Rimba.

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya mengenai topik pembangunan


sosial masyarakat adat Orang Rimba bahwa pelaku utama dalam proses
pembangunan sosial adalah Orang Rimba itu sendiri. Meskipun demikian dengan
adanya keterbatasan pengetahuan dan keterampilan Orang Rimba dalam
melakukan adaptasi terhadap perubahan sosial budaya dan lingkungan yang
terjadi maka diperlukan pihak luar yang akan berperan sebagai mitra yang sejajar
dalam melakukan adaptasi dan menghadapi perubahan sosial yang terjadi.
Peran pihak luar baik itu individu maupun lembaga adalah sebagai
fasilitator, mediator dan katalisator yang mendampingi komunias Orang Rimba
dalam melakukan identifikasi kekuatan maupun kelemahan yang dimiliki
komunitas Orang Rimba sekaligus untuk mengidentifikasi peluang dan ancaman
yang ada dalam rangka untuk menyusun suatu perencanaan perubahan sosial ke
arah peningkatan kualitas hidup yang lebih layak dan sejahtera.
Berdasarkan hasil kajian analisis peran berbagai stakeholders yang
memiliki keterkaitan dengan masyarakat adat Orang Rimba, dengan melihat
kewenangan dan program yang dilaksanakan baik dari kalangan pemerintah,
perusahaan swasta dan kalangan LSM terlihat bahwa masing-masing memiliki
perhatian sesuai dengan kapasitas dan kewenangan yang ada pada lembaga atau
instansi masing-masing. Oleh karena itu penulis membuat model pembangunan
sosial bagi masyarakat adat Orang Rimba sebagaimana terlihat dalam gambar 5.1.
Pada gambar 5.1. tahap pertama dari proses pembangunan sosial adalah
perlunya melakukan pemetaan sosial (social mapping) dan mengidentifikasi
kebutuhan (need assesment) bukannya daftar keinginan (list of want). Hal ini
penting agar didapatkan informasi yang cukup mengenai situasi dan kondisi sosial
budaya ekonomi, lingkungan, politik, hukum dan HAM yang mempengaruhi
secara langsung dan tidak langsung daripada masyarakat adat Orang Rimba serta
adanya informasi yang akurat mengenai daftar kebutuhan dari komunitas yang
akan dirunut berdasarkan skala prioritas rencana program. Proses pemetaan sosial
dan identifikasi kebutuhan ini harus dilakukan oleh komunitas Orang Rimba

Universitas Indonesia
175

dengan di fasilitasi oleh setiap instansi dan lembaga yang memiliki kewenangan
dan keterkaitan program bagi komunitas adat Orang Rimba.
Tahap selanjutnya adalah komunitas Orang Rimba menentukan skala
prioritas program yang dibutuhkan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup
yang lebih layak. Setelah ditentukan prioritas program yng dibutuhkan komunitas
membangun kerjasama kemitraan dengan para stakeholders untuk mematangkan
rencana program secara teknis dan lebih rinci untuk kemudian dilaksanakan, dan
dievaluasi secara bersama guna mengukur pencapaian hasil program dengan
indikator yang telah ditetapkan. Masing-masing para pihak dalam hal ini yang
berhasil di identifikasi adalah pihak pemerintah baik PUSAT, PEMPROV dan
PEMKAB, Balai TNBD, LSM, Perguruan Tinggi, dan Perusahaan Swasta yang
memiliki kepentingan untuk mendorong peingkatan kesejaheraan komuitas Orang
Rimba bertemu dalam forum kemitraan untuk melakukan koordinasi dan saling
bertukar informasi untuk melakukan sinkronisasi dan sinergi dalam penyusunan
program masing-masing lembaga sesuai dengan tujuan dan kapasitas lembaga.
Forum kemitraan ini diinisiasi oleh komunitas Orang Rimba dan difasilitasi oleh
para pihak yang memiliki kepentingan bagi peningkatan kesejahteraan komunitas
Orang Rimba.
Tahap selanjutanya pelaksanaan pembangunan sosial oleh komunitas
Orang Rimba bersama masing-masing para pihak yang memfasilitasi dalam
pelaksanaan implementasi program. Pada gambar tersebut terlihat pada bagian
tengah adalah komunitas Orang Rimba yang akan menjadi pelaku utama. Sebagai
pelaku utama komunitas Orang sudah memiliki potensi modal sosial berupa
jaringan komunitas dan kekuatan kerjasama antar anggota serta kearifan lokal
yang sudah ada dalam kehidupan budaya mereka. Bagian berikutnya adalah
perspektif pengembangan masyarakat yaitu perspektif ekologi dan perspektif
keadilan sosial dan HAM yang akan menjadi landasan dalam penyusunan dan
pelaksanaan program sehingga tujuan pembangunan sosial dapat dicapai. Selain
perspektif pengembangan ada prinsip yang lahir dari perpaduan dua perspektif
tersebut yaitu prinsip berbasis komunitas, keanekaragaman, keberlanjutan sosial,
saling percaya (trust), kemitraan, dan menghargai pengetahuan lokal yang akan
semakin mendorong dan acuan dalam proses implementasi pembangunan sosial.

Universitas Indonesia
176

Bagian terluar dari lingkaran adalah aspek pelayanan program pembangunan


sosial yaitu kesehatan, pendidikan, ekonomi, budaya, lingkungan, dan perumahan.
Bagian terakhir dari gambar adalah tercapainya tujuan pembangunan
sosial yaitu kesejahteraan komunitas adat Orang Rimba. Untuk melihat
pencapaian tingkat kesejahteraan digunakan indikator Indeks Pembangunan
Manusia (Human Development Indexs) yaitu Angka Kematian Bayi, Angka
Harapan Hidup, Angka Melek Huruf dan Tingkat Kemiskinan.

Universitas Indonesia
Diagram 5.1. Model Pembangunan Sosial Terpadu Masyarakat Adat Orang Rimba

PEMERINTAH
LSM/NGO
DUNIA USAHA
PEMERINTAH (Pendanaan,
pdd
Teknologi, Informasi) Saling
Percaya Pengetahuan
Perspektif Lokal
Keadilan
Pemetaan Keragaman
Sosial PROGRAM FORUM KOMUNITAS
KOMUNITAS PEMBANGUNAN KEMITRAAN ORANG
ORANG Dan RIMBA
RIMBA Identifikasi SOSIAL (Sinkronisas,
PRIORITAS Koordinasi)
Kebutuhan Berbasis
Perspektif Komunitas
Ekologis &
HAM Keberlanjutan
Kemitraan Sosial
DUNIA
LSM/NGO
USAHA KOMUNITAS
ORANG
RIMBA
(Kearifan Lokal
dan modal
sosial)
PEMBANGUNAN SOSIAL TERPADU

*Sumber : Jim Ife dan Frank Tesoriero, 2008

177
BAB 6
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

6.1. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian tentang Pembangunan Sosial terhadap


masyarakat adat Orang Rimba di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas
Kabupaten Sarolangun Provinsi dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pembangunan ekonomi yang mengutamakan “pertumbuhan” sudah terbuki
tidak serta merta diikuti dengan tercapainya kesejahteraan pada masyarakat.
Oleh karenanya model pembangunan alternatif menjadi sebuah harapan.
Pembangunan Sosial yang mengarusutamakan manusia sebagai pusat
pembangunan lebih mengutamakan terjadinya keadilan sosial dalam proses
pembangunan untuk mencapai kesejahteraan dengan mengkombinasikan
dengan pembangunan ekonomi secara dinamis.
2. Hasil penelitian membukikan bahwa adanya program transmigrasi,
pembukaan perkebunan kelapa sawit, pembangunan Hutan Tanaman Industri
(HTI) telah menyebabkan terjadinya proses marjinalisasi sumber ekonomi
Orang Rimba sehingga tetap berada dalam kondisi kemiskinan.
3. Pembangunan Sosial Masyarakat Adat Orang Rimba adalah suatu proses
perencanaan perubahan sosial yang disesuaikan dengan kondisi sosial
budaya, ekonomi dan lingkungan hidup komunitas Orang Rimba, untuk
mencapai tingkat kesejahteraan melalui pembangunan ekonomi yang
mengutamakan kadilan sosial.
4. Komunitas masyarakat adat Orang Rimba di kawasan TNBD memiliki
kearifan tradisional dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan modal sosial
seperti ikatan sosial kelompok yang kuat, semangat gotong-royong/kerjasama
yang tinggi, serta nilai dan norma budaya akan menjadi modal komunitas
sebagai pelaku utama dalam proses pembangunan sosial.
5. Kondisi masyarakat adat Orang Rimbayang termarjinalisasi oleh proses
pembangunan ekonomi yang mengutamakan pertumbuhan harus menjadi
perhatian para pihak pemerintah, dunia usaha dan masyarakat sipil untuk
178

Universitas Indonesia
179

mengambil langkah bersama memberi solusi pembangunan sosial yang dapat


memperbaiki kualitas hidup komunitas Orang Rimba menjadi lebih layak dan
sejahtera.
6. Perubahan lingkungan fisik dan sosial yang terjadi disekitar lingkungan hidup
masyarakat adat Orang Rimba menyebabkan komunitas terbagi menjadi 5
(lima) kelompok atau rombong berdasarkan perbedaaan karakteristik sumber
matapencaharian, lokasi pemukiman, perilaku budaya (adat-istiadat), perilaku
sosial, dan aspek religius maka komunitas adat Orang Rimba yaitu :
(1) Kelompok Tradisional, (2) Kelompok Transisi, (3) Kelompok
Pengembara, (4) Kelompok Bediom,dan (5) Kelompok Berkampung.
7. Struktur sosial masyarakat adat Orang Rimba dapat dilihat dari keberadaan
organisasi sosial, institusi sosial, norma sosial dan stratifikasi sosial yang ada.
Orang Rimba selalu hidup secara berkelompok sering disebut “rombong”
secara sosiologi rombong disebut “kelompok sosial”, anggota kelompok
memiliki ikatan emosional yang kuat karena memiliki ikatan kekerabatan.
Orang Rimba mendiami kawasan hutan TNBD terbagi menjadi tiga
kelompok besar (komunitas) yaitu komunitas Air Hitam, komunitas Makekal
dan komunitas Kejasung. Orang Rimba memiliki identitas secara kelompok
dan wilayah yang kuat, setiap kelompok besar diketuai oleh seorang
Temenggung.
8. Oraganisasi sosial Orang Rimba berfungsi dalam kepengurusan hidup
kelompok dikenal dengan pengulu. Pengulu merupakan organisasi sosial
yang bertugas mengurus dan memimpin kehidupan Orang Rimba. Susunan
penghulu di masyarakat adat Orang Rimba terdiri dari, Temenggung, Wakil
Temenggung, Depati, Mangku, Menti, Dubalang Batin (Hulu Balang) dan
Anak Dalam.
9. Dalam masyarakat adat Orang Rimba selain institusi atau lembaga sosial
pengulu, dikenal pula lembaga sosial keluarga, perkawinan, berburu,
berladang, religi atau agama dan pola pemanfaatan hutan. Institusi dan norma
sosial dalam masyarakat Orang Rimba belum banyak mengalami perubahan
terkecuali institusi berladang yang proses internalisasinya dipengaruhi oleh
orang terang sebagai dampak interaksi yang terjadi.

Universitas Indonesia
180

10. Orang Rimba mengenal istilah Waris dan Jenang dalam pola interaksi mereka
dengan Orang Terang. Waris merupakan Orang Terang yang diyakini
memiliki tali ikatan darah dengan Orang Rimba dan berperan sebagai
mediator interaksi Orang Rimba dengan masyarakat umumnya. Waris terdiri
atas Ujung Waris dan Pangkal Waris yang memiliki fungsi mediator dalam
bidang sosial, ekonomi, budaya dan politik. Jenang merupakan Orang Terang
yang berperan sebagai mediator dalam bidang perdagangan hasil hutan dan
pemenuhan kebutuhan sehari-hari misalnya rokok, minyak sayur, kopi, gula
dan kebutuhan konsumsi lainnya. Peran Waris cukup menarik untuk di
revitalisasi dalam menunjang proses pembangunan sosial di komunitas adat
Orang Rimba.
11. Modal sosial yang terdapat dalam masyarakat adat Orang Rimba adalah
kerjasama dalam berladang, berburu, meramu, berkebun atau gotong royong
dalam menyiap pesta perkawinan, besale, dan membangun rumah
(sesudungon). Hal ini secara sosiologi dikenal dengan “traditional
cooperation”
12. Stratifikasi Sosial dalam masyarakat adat Orang Rimba tidak terlalu luas dan
komplek, stratifikasi dalam masyarakat Orang Rimba terjadi karena adanya
kedudukan atau kewenangan jabatan dalam organisasi sosial pengulu dalam
stuktur pengurusan masyarakat Orang Rimba. Dimensi lain yang membentuk
stratifikasi sosial dalam masyarakat adat Orang Rimba adalah kekayaan dan
pengetahuan yang dimiliki anggota komunitas.
13. Masyarakat adat Orang Rimba memiliki budaya “melangun” (proses untuk
menghilangkan kesedihan atas anggota keluarga/kerabat yang meninggal
dunia dengan cara meninggalkan lokasi pemukiman/tempat tinggal) dapat
menjadi faktor penghambat dalam proses pembangunan sosial. Dengan
terjadinya perubahan perilaku berburu dan meramu ke perilaku berkebun
waktu melangun menjadi relatif singkat dan jarak yang tidak terlalu jauh.
Disamping itu ada perubahan sosial ke arah positif terhadap proses
pembangunan sosial yaitu budaya “bediom” atau proses menetapnya Orang
Rimba untuk berkampung.

Universitas Indonesia
181

14. Orang Rimba dikenal sebagai suku yang nomaden. Ada 3 faktor yang
menyebabkan Orang Rimba berperilaku nomaden yaitu : (1) adanya budaya
melangun; (2) aktifitas membuka ladang baru; (3) menghindar dari ancaman
musuh atau lawan.
15. Kearifan lokal komunitas adat Orang Rimba di kawasan TNBD dalam
pemanfaatan sumberdaya alam hutan dapat dilihat dari adat-istiadat Orang
Rimba yang membagi pemanfaatan hutan berdasarkan fungsi pemanfaatan
dan fungsi konservasi dimana kawasan hutan dibagi atas : (1)Tanah Dewa;
(2). Tanah Peranokon; (3)Tanah Pasohon; (4) Tanah Balai; (5) Benuaron, (6).
Sesap dan Belukar; (7) Tanah Subon/ Inumon, dan (8) Huma/Ladang.
16. Sumber ekonomi Orang Rimba berasal dari berburu, meramu dan berdagang
hasil hutan non kayu (HHNK) seperti rotan, jernang dan getah-getahan
(balam dan damar).
17. Perubahan sumber ekonomi yang berasal dari ekstraksi sumberdaya hutan
yang semakin berkurang menyebabkan Orang Rimba sudah mulai membuat
kebun karet dan kebun sawit. Perubahan pola sumber ekonomi ini merupakan
proses adaptasi dari tekanan menyempitnya kawasan hutan dan berkurangnya
HHNK.
18. Proses adaptasi dari berburu dan meramu ke berkebun bagi Orang Rimba
telah menemukan pola berkebun dengan sistem “hompongan” yang memiliki
fungsi ekonomi sekaligus fungsi konservasi terhadap kawasan hutan TNBD.
19. Orang Rimba telah mengenal ekonomi uang sejak berinteraksi dengan Orang
Terang melalui proses jual-beli hasil hutan. Interaksi ekonomi melalui
pedagang pengumpul atau “touke” desa disekitar hutan tempat tinggal
mereka atau yang datang dari desa lainnya telah menghilangkan
lembaga/jaringan ekonomi “Jenang” dan “Waris”dari komunitas Orang
Rimba.
20. Proses sosial Orang Rimba dapat dilihat dari pola-pola interaksi yang terjadi di
dalam maupun diluar komunitas adat Orang Rimba yang menimbulkan perubahan
sosial berbagai segi kehidupan bersama baik segi kehidupan sosial, ekonomi,
hukum dan politik. Bentuk-bentuk interaksi yang ada di masyarakat adat
Orang Rimba adalah kerjasama di bidang sosial seperti gotong royong desa,

Universitas Indonesia
182

menghadiri undangan perhelatan perkawinan dan hari besar nasional,


kerjsama di bidang ekonomi seperti jual beli hasil kebun dan HHNK,
pemberian pekerjaan, dan kerjasama dalam politik pada saat Pilkades, Pilbup,
Pileg dan Pilpres. Bentuk interaksi lainnya adalah konflik (pertikaian)
terhadap akses dan pemanfaatan sumberdaya lahan dan pemanenan hasil
kebun.
21. Hasil kajian terhadap pelaksanaan program pembangunan sosial bagi
komunitas Orang Rimba di kawasan TNBD menunjukkan masih minimnya
perhatian pemerintah, pendekatan program melalui bantuan yang bersifat
“charity”, tidak kontinyu dan berskala kecil. Strategi kebijakan program
pembangunan sosial bagi Orang Rimba masih mengandalkan dana
dekonsentrasi dari pemerintah pusat (DEPSOS dan KPDT) berupa bantuan
perumahan dengan pendekatan in-situ. Peran PEMDA baik provinsi dan
kabupaten dari segi pendanaan sangat minim, tidak ada program yang fokus
dan khusus bagi Orang Rimba dikarenakan persepsi aparat birokrasi bahwa
Orang Rimba sama saja dengan masyarakat biasa sehingga tidak perlu ada
program dan strategi yang khusus untuk mereka. Belum ada sama sekali
bantuan program bidang ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan baik
pemerintah pusat dan daerah. Program bantuan di bidang pendidikan dan
kesehatan oleh PEMDA kabupaten tidak menyelesaikan permasalahan
pendidikan dan kesehatan Orang Rimba yaitu terbatasnya akses pelayanan
pendidikan, rendahnya angka keaksaraan fungsional, tingginya angka
kematian bayi, dan rendahnya tingkat harapan hidup Orang Rimba.
22. Hasil penelitian dapat mengidentifikasi sejumlah permasalahan yang dihadapi
masyarakat adat Orang Rimba khususnya bagi Kelompok Transisi,
Pengembara dan Bediom yaitu (1) Kondisi ekonomi yang marjinal
disebabkan sumber matapencaharian dari berburu, meramu hasil hutan yang
semakin sulit dan harga jual yang rendah dan fluktuatif. (2) Rendahnya
tingkat pendidikan dikarenakan terbatasnya akses pada pelayanan proses
pendidikan dan hambatan kondisi sosial budaya; (3) Masih rendahnya derajat
kesehatan dan status gizi disebabkan pola hidup dan konsumsi yang tidak
sehat serta rentan terhadap penyakit karena sanitasi lingkungan yang buruk:

Universitas Indonesia
183

(4) Mulai melemahnya adat-istiadat dalam penegakan sangsi dan hilangnya


proses ritual adat disebabkan pengaruh dari terbukanya interaksi sosial
dengan warga masyarakat luar; (5) Maraknya terjadi pembukaan dan
penjualan lahan dan kebun kepada masyarakat desa hal ini disebkan dorongan
perilaku yang konsumtif terhadap kendaraan bermotor dan handphone.(6)
Belum optimalnya program bantuan perumahan tanpa adanya lahan usaha
produktif dan (7) Masalah yang berkaitan dengan sistem pengelolaan dan
rekonstruksi tata batas Taman Nasional Bukit Dua Belas.
6.2. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian dan pengalaman dari berinteraksi
dengan masyarakat adat Orang Rimba di kawasan Taman Nasional dapat disusun
beberapa butir rekomendasi bagi pihak pengambil kebijakan dan komunias adat
Orang Rimba dalam melaksanakan proses pembangunan sosial bagi masyarakat
adat Orang Rimba di kawasan TNBD sebagai berikut :
A. Bagi Pengambil Kebijakan.
1. Proses pembangunan sosial masyarakat adat Orang Rimba di kawasan TNBD
dapat digunakan sebagai model alternatif dalam meningkatkan kesejahteraan
komunitas adat Orang Rimba, meskipun peneliti tidak menafikan model-
model pembangunan masyarakat adat yang lainnya yang dapat diterapkan
oleh para pemangku kepentingan terhadap peningkatan taraf hidup Orang
Rimba.
2. Pengambil Kebijakan dalam hal ini pemerintah (daerah dan pusat) maupun
dunia usaha dan masyarakat madani harus mempertimbangkan 5 tipologi
kelompok Orang Rimba (tradisional, transisi, pengembara, berdiom dan
berkampung) dalam menyusun perencanaan program pembangunan sosial
bagi Orang Rimba. Strategi kebijakan serta program prioritas pembangunan
sosial bagi komunitas Orang Rimba yang dapat diambil oleh para pemangku
kepentingan berdasarkan tipologi kelompok dapat dilihat pada tabel 5.2.

3. Berdasarkan hasil penelitian pengambil kebijakan dapat membuat prioritas


pada kelompok transisi dan kelompok berdiom dalam melakukan intervensi
program pembangunan sosial mengingat dua kelompok ini sedang mengalami
tekanan perubahan sosial yang cukup kuat. Adapun beberapa pertimbangan
Universitas Indonesia
184

prioritas kelompok intervensi adalah sebagai berikut : Kelompok transisi


merupakan kelompok yang masih bermukim di kawasan hutan TNBD tetapi
telah memiliki interaksi yang intensif dengan masyarakat luar sehingga lebih
terbuka dan responsif terhadap perubahan sosial, interaksi yang intensif
dengan masyarakat luar dapat menimbulkan dampak negatif terutama bagi
kelestarian kawasan hutan TNBD. Dengan melaksanakan pembangunan
sosial bertujuan mengurangi dampak negatif tersebut. Demikian pula halnya
kelompok berdiom yang telah menetap tetapi tidak memiliki sumberdaya
lahan dan sumber ekonomi yang dapat menunjang kehidupan mereka
sehingga kelompok ini berada dalam kondisi miskin, untuk itu perlu
dilakukan pembangunan sosial.
4. Pengambil kebijakan harus mempertimbangkan model pembangunan sosial
untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adat
Orang Rimba dengan menggunakan pendekatan strategi pembangunan sosial
berbasis komunitas, dengan argumen bahwa Orang Rimba pada dasarnya
hidup dalam komunitas yang terdiri dari kelompok keluarga yang masih
memiliki ikatan kekerabatan yang solid.
5. Pengambil kebijakan harus segera melakukan proses pembangunan sosial
bagi Orang Rimba dengan memprioritaskan 2 bidang pelayanan sosial dasar
yaitu pendidikan dan kesehatan mengingat dua bidang ini merupakan
konidisinyang paling marjinal di komunitas Orang Rimba. Program lain yang
penting dilakukan bagi komunitas Orang Rimba adalah bidang sosial budaya
mengingat komunitas adat Orang Rimba memiliki sejumlah kearifan budaya
dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang dapat dikembangkan dalam
manjaga kelestarian hutan di kawasan TNBD. Dua program prioritas lainnya
bagi komunitas adat Orang Rimba adalah bidang ekonomi dan pengelolaan
kawasan TNBD.

6. Pembangunan sosial bagi masyarakat Orang Rimba dapat dilaksanakan


dengan menggunakan dua perspektif pengembangan masyarakat yaitu
perspektif ekologis dan perspektif keadilan sosial dan HAM. Argumen
menggunakan dua perspektif ini adalah bahwa kehidupan Orang Rimba
sangat tergantung dari keberadaan, kualitas, dan kelestarian hutan yang dapat
Universitas Indonesia
185

menunjang keberlanjutan kehidupan sosial budaya Orang Rimba di kawasan


hutan TNBD yang secara pengelolaannya berdasarkan sejumlah kewenangan
dan kebijakan oleh negara. Sehingga diperlukan suatu titik keseimbangan
antara berbagai kepentingan para pihak yang terkait dengan keberadaan
kawasan hutan yang akan menjadi dasar dalam pencapaian tujuan kelestarian
kawasan dan kesejahteraan Orang Rimba. Oleh karenanya diperlukan
beberapa prinsip untuk mendorong tercapainya tujuan pembangunan sosial
yang akan dilakukan yaitu : (1) Berbasis Komunitas; (2) Keberlanjutan
Sosial; (3) Keanekaragaman; (4) Saling Percaya (Trust); (5) Menghargai
Pengetahuan Lokal dan (6) Kemitraan. Penerapan ke 5 prinsip pembangunan
dalam program pembangunan sosial disesuaikan dengan program yang akan
dilaksanakan misalnya penerapan prinsip keberlanjutan sosial dalam program
pendidikan bagi Orang Rimba, mengharuskan perencana program
memperhatikan sistem dan norma sosial yang dimiliki komunitas Orangg
Rimba, sehingga program pendidikan yang dilaksanakan tidak menimbulkan
dampak pertentangan dengan norma yang berlaku di komunitas Oran Rimba.
Penerrapan prinsip menghargai pengetahuan lokal dalam program perencanan
zonasi kawasan, mengharuskan pihak pemerintah mengakomodasi kearifan
lokal Orang Rimba dalam pemanfaatan SDA dalam menyusun rencana sistem
zonasi pengelolaan kawasan TNBD.

7. Melakukan pemahaman dan orientasi secara mendalam mengenai kondisi


aspek sosial budaya, ekonomi, lingkungan, politik, hukum dan HAM
masyarakat adat Orang Rimba sehingga didapatkan gambaran yang
komprehensif dan menyeluruh dalam membuat kebijakan pembangunan
sosial bagi masyarakat adat Orang Rimba. Proses pemahaman ini dapat
dilakukan dengan melakukan “pemetaan sosial” pada komunitas adat Orang
Rimba yang dapat dilaksanakan oleh pemerintah, dunia usaha dan masyarakat
sipil (LSM/NGO).
8. Membuat kebijakan affirmative khususnya dalam bidang pelayanan sosial
dasar kesehatan dan pendidikan, bagi masyarakat adat Orang Rimba dengan
membuka kesempatan lebih luas untuk mengenyam pendidikan dasar dan
pelayanan kesehatan yang memadai dengan tolok ukur keberhasilan mengacu
Universitas Indonesia
186

pada indikator Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Indexs).


Bentuk kebijakan affirmative bidang pendidikan ini secara teknis dilakukan
dengan membuat program pendidikan “sekolah alternatif” bagi anak usia
sekolah bagi komunitas Orang Rimba dengan melibatkan pihak dunia usaha
dan masyarakat sipil (LSM/NGO) serta Orang Rimba dalam menyusun
perencanaan kurikulum dan penyelenggaraan operasional sekolah. Untuk
bidang kesehatan bentuk kebijakan yang dapat diambil adalah
menyelenggarakan program kesehatan “jemput bola” bagi komunitas Orang
Rimba. Program ini dilakukan dengan membuat unit pelayanan kesehatan
khusus bagi komunitas Orang Rimba kelompok transisi dan tradisional.
9. Bentuk kebijakan affirmative lain yang dapat diambil adalah memasukkan
mata anggaran khusus bagi pembangunan sosial komunitas adat Orang Rimba
dengan besaran persentase anggaran ditetapkan dalam suatu produk hukum
daerah (Perda dan Surat Keputusan Bupati).
10. Membentuk unit kerja khusus mengenai urusan pemberdayaan komunitas
Orang Rimba pada masing-masing unit Satuan Kerja Pemerintah Daerah
(SKPD) yang terkait dengan pembangunan sosial Orang Rimba.
11. Bersama para pihak (dunia usaha dan masyarakat sipil) memfasilitasi forum
kemitraan pembangunan sosial yang berfungsi sebagai wadah koordinasi,
sinkronisasi dan bertukar informasi untuk menyusun program pembangunan
sosial bagi masyarakat adat Orang Rimba yang melibatkan seluruh para pihak
(multi stakeholders) dari sektor terkait baik kalangan pemerintah, swasta dan
masyarakat sipil/madani.
12. PEMDA bersama kalangan akademisi dapat melakukan kajian terhadap
lembaga/institusi pengulu pada komunitas Orang Rimba untuk diakomodir
sebagai bentuk satuan pemerintah terkecil setingkat Rukun Tetangga atau
Desa. Mengingat institusi pengulu merupakan suatu lembaga yang berfungsi
mengatur tata kehidupan dalam komunitas Orang Rimba sehingga memiliki
peran strategis dalam pelaksanaan proses pembangunan sosial bagi Orang
Rimba. Institusi ini dapat dijadikan titik masuk (enttry point) dalam proses
pelaksanaan pembangunan dan memanfaatkan peran “temenggung” dan
“anggota pengulu” lainnya (wakil temenggung, mangku, hulubalang, dan

Universitas Indonesia
187

menti) sebagai “agen perubahan” untuk membangun jaringan komunikasi,


koordinasi dan sosialisasi dalam pelaksanaan program pembangunan.
13. Mengakomodasi kearifan budaya Orang Rimba dalam pemanfaatan
sumberdaya alam hutan sebagai dasar untuk menyusun sistem zonasi
kawasan dalam pengelolaan kawasan TNBD.
A. Bagi Komunitas Adat Orang Rimba
1. Membangun kerjasama dengan para pemangku kepentingan untuk melakukan
pemetaan sosial dan mengidentifikasi kebutuhan program pelayanan sosial
dasar pendidikan dan kesehatan serta program ekonomi untuk
mengidentifikasi sumber ekonomi non ekstraktif dan berkelanjutan.
2. Membentuk forum komunitas antar wilayah sebagai wadah untuk
memperkuat eksistensi adat-istiadat, mengidentifikasi permasalahan
komunitas, advokasi bersama, dan menyusun agenda kebutuhan bersama
untuk dibawa kedalam forum lobi para pengambil kebijakan. Pembentukan
forum dapat dilakukan dengan bantuan fasilitasi dari pihak pemerintah dan
masyarakat sipil (LSM/NGO).
3. Menggalang dukungan kerjasama dengan multipihak melalui inisiasi forum
kemitraan untuk melaksanakan agenda kebutuhan bersama khususnya dalam
pencapaian tujuan pelestarian kawasan hutan dan peningkatan kesejahteraan
komunitas adat Orang Rimba. Penyelenggaraan forum kemitraan dapat
dilakukan dengan membangun kerjasama dengan pihak pemerintah, dunia
usaha dan masyarakat sipil (LSM/NGO) dalam hal teknis penyelenggaran dan
pendanaan kegiatan.
4. Melakukan proses adaptasi secara bertahap dari pola pemanfaatan
sumberdaya alam secara meramu dan berburu ke pola pemanfaatan
sumberdaya alam secara budidaya yang berkelanjutan. Proses adaptasi ini
dapat dilakukan dengan melaksanakan program pelatihan budidaya tanaman
hutan dan perkebunan dengan mengembangkan sistem hompongan serta
pelatihan budidaya tanaman pangan untuk menjamin ketersediaan pangan
komunitas Orang Rimba secara berkelanjutan.
5. Mempertahankan dan merevitalisasi kearifan tradisional yang bersifat
menjaga kelestarian sumberdaya alam hutan, sumberdaya pangan, dan sosial

Universitas Indonesia
188

budaya yang dapat meningkatkan kesejahteraan. Hal ini dilakukan dengan


melakukan sosialisasi pentingnya nilai dan norma kearifan pada anggota
komunitas oleh Temenggung dan anggota pengulu lainnya. Menegakkan
sanksi adat yang kuat dan konsisten bagi setiap anggota yang melanggar nilai
dan norma kearifan lokal. Sosialisasi dan penyusunan sanksi adat dapat
dilaksanakan dengan meminta bantuan fasilitasi para pemangku kepentingan.
6. Melakukan kegiatan revitalisasi terhadap lembaga penghulu untuk
meningkatkan efektivitas dalam melaksanakan tata kelola komunitas dan
kepentingan dalam urusan administrasi dan birokrasi dengan pihak
pemerintah. Kegiatan revitalisasi dilakukan dengan membangun kerjasama
dengan pihak pemangku kepentingan dalam hal melakukan identifikasi dan
kajian fungsi dan kewenangan lembaga penghulu.

Universitas Indonesia
DAFTAR REFERENSI

Adi, Rukminto I., Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi


Komunitas. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,
2003.

ARD, Inc., Meningkatnya Konflik dan Keresahan di Kawasan Hutan Indonesia


Ringkasan Makalah. Biodiversity and Sustainable Forestry (BIOFOR) IQC
dan USAID/ANE/TS. 2004

Balai TNBD Ditjen PHKA, DEPHUT-RI. 2007. Buku Informasi Mengenal


Taman Nasional Bukit Dua Belas Volume 1.

Bungin, Burhan, 2007, Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan


Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Campbell, Bernard, 1983, Human Ecology, The story of our place in nature from
prehistory to the present, Heinemann Educational Books, London.

Chambers, R. (1997), Whose Reality Counts? Putting the First Last, ITDG
Publishing, India.

Clark, David A., Adaptation, Poverty and Well-Being:Some Issues and


Observations with Special Reference to the Capability Approach and
Development Studies, Economic and Social Research Council (ESRC) and
Global Poverty Research Group (GPRG), Brooks World Poverty Institute and
Institute for Development Policy and Management University of Manchester,
UK, 2007.

Conyer, Diana, 1991. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga. Yogyakarta :


UGM Press

Cresswell, John C., Research Design, Qualitative and Quantitative Approach,


Sage Publications, 2003

Departemen Sosial R.I, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial, Direktorat


Pemberdyaan Komunitas Adat Terpencil, 2005, Profil Keberhasilan
Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Pada 8 Provinsi, Jakarta.

Furchan, Arief. 1992. Pengantar Metoda Penelitian Kualitatif. CV. Usaha


Nasional, Surabaya.

189

Universitas Indonesia
190

Galudra, Gamma, Memahami Konflik Tenurial melalui Pendekatan Sejarah: Studi


Kasus di Lebak, Banten. Warta Tenure Nomor 2 - Mei 2006 World
Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional, Bogor, 2006.

Hikmat, R. Harry. (2001). Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung:


Humaniora Utama Press.

Horton, Paul. B dan Chester L.Hunt. Sosiologi. Edisi Keenam, Penerbit Erlangga,
Jakarta, 1987

Ife, Jim and Frank Tesoriero, Community Development, Alternatif Pengembangan


Masyarakat di Era Globalisasi. Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2008.

Kleden, Emil, Kebijakan-Kebijakan Transnational Institutions Yang


Mempengaruhi Peta Tenurial Security dalam Lingkup Masyarakat Adat di
Indonesia. Makalah presentasi dalam Konferensi Internasional tentang
Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia yang Sedang Berubah:
“Mempertanyakan Kembali Berbagai Jawaban”, Hotel Santika, Jakarta.11 –
13 Oktober 2004.

Korten, David C. (1992). People Centered Development: Reflections on


Development Theory and Methods. Manila.

Koentjaraningrat, dkk, 1993, Masyarakat Terasing di Indonesia, Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama.

Lauer, Robert H., Perspektif Perubahan Sosial diterjemahkan oleh Alimandan.


PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2001.

Margaret, Hardiman & James Midgley, 1982. The Social Dimensions o


Development:Social Policy and Planning in the Third World. United States
of America: John Wiley & Sons Ltd.

Martinussen, John, 1997, Society, State and Market, A Guide to Competing


Theories of Development, Zed Bokks Ltd, New York-USA.

Midgley, James and Anthony Hall, 2004, Social Policy for Development, Sage
Publications, London.

Milles, B, Matthew and A. Michael Huberman, 1992, Analisis Data Kualitatif;


Buku Sumber Tentang Metode-metode Baru, Penerbit Universitas Indonesia,
Jakarta.

Moleong, Lexy J. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja


Rosdakarya, Bandung.

Universitas Indonesia
191

Nasution, Zulkarimen, Komunikasi Pembangunan, Pengenalan Teori dan


Penerapannya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002.

Nazir, Mohammad. 2005. Metode Penelitian. PT. Ghalia Indonesia, Bogor.

Pangewang, Basir, TNKT Kebijakan Tidak Populis dan Memarginalkan


Masyarakat Adat Kepulauan Togean. AMAN (www.aman.or.id), 2009.

Pengendum dan Koper HAM, Jejak Langkah Orang Rimba, Kisah Perjuangan
Orang Rimba Dalam Mempertahankan Hak Atas Sumber Daya Hutan Di
Bukit 12 Jambi. KOPERHAM, 2006.

Robert, K Yin. Studi Kasus, Desain dan Metode, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2005

Sandbukt, Oyvind. dan Warsi, Orang Rimba: Penilaian Kebutuhan Bagi


pembangunan dan Keselamatan Sumberdaya, Laporan untuk Bank Dunia,
disampaikan pada Lokakarya JRDP, Jambi, 17-30 Oktober 1998.

Scott C. James, Moral Ekonomi Petani, Pergolakan dan Subsistensi di Asia


Tenggara, LP3ES, Jakarta, 1981.

Sen, A.K. (1999), Development As Freedom, Oxford University Press, Oxford.

Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, Alumni-Bandung,


1981.

kanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Edisi 4, CV. Rajawali-Jakarta, 1990.

Soemardjan, Selo dan Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi, Penerbit


Universitas Indonesiam Yayasan Penerbit FE-UI, Jakarta, 1964

Sumodiningrat, Gunawan dan Riant Nugroho, Membangun Indonesia Emas,


Model Pembangunan Indonesia Baru menuju Negara-Negara Yang
Unggul.dalam Persaingan global. PT. Elekmedia Komputindo, Jakarta,
2005.
Sugiyanto, 2002. Lembaga Sosial. Global Pustaka Utama. Jogjakarta.

Suharto, Edi. 2006. Analisis Kebijakan Publik, Panduan Praktis Mengkaji


Masalah dan Kebijakan Sosial. CV. Alfabeta, Bandung.

Suwarsono dan Alvin Y. So. 2000. Perubahan Sosial dan Pembangunan. PT.
Pustaka LP3ES, Jakarta.

Sztompka, Piotr, Sosiologi Perubahan Sosial diterjemahkan oleh Alimandan. PT.


Prenada Media, Jakarta, 2004.

Universitas Indonesia
192

Taneko B. Soleman. 1984. Struktur dan Proses Sosial Suatu Pengantar Sosiologi
Pembangunan. Penerbit CV. Rajawali-Jakarta.

Thangaraj, Thangadurai, 1969, Community Developmet, An Introduction to the


Understanding of The Community and Community Development, University
of Malaya Co-opetarive Bookshop, Malaysia.

Todaro, Michael P., Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Alih Bahasa Haris
Munandar, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2000.

Yin, R. K. 1997. Studi Kasus: Desain dan Metode. PT Raja Grafindo Persada.
Edisi 1. Cet. 2. Jakarta.

Artikel dan Jurnal Penelitian

Acciaoli, Greg, 2005. Environmentality Reconsidered: Indigenous To Lindu


Conservation Strategies and the Reclaiming of the Commons in Central
Sulawesi, Indonesia.

Hikmat, Harry Perencanaan Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil


Dalam Era Otonomi Daerah (Pengelolaan Kawasan Dengan Sistem Zonasi)

Lasimbang, Jannie, Pembangunan Adat: Ekonomi dan Teknologi


http:/tech.dir.groups.yahoo.com /group/sahabat-telapak/massage/1703.

Mendatu, Achmanto. Orang Rimba Menantang Zaman - Mengenal Orang


Rimba. http://www.goodreads.com/story/show/2412. diakses 16 Oktober
2009 11.00 WIB

Mendatu,Achmanto.SekolahRimba. http://smartpsikologi.blogspot.com/2007/08
/sekolah-orang-rimba.html di download 27-08-2009 10.39 pm

Munandar, Aris. Pembangunan Nasional, Keadilan Sosial, Dan Pemberdayaan


Masyarakat. Jurnal Universitas Paramadina Vol.2 No. 1, September 2002:
12-24

Rustanto, Bambang. Peningkatan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil


Berbasis Kearifan Lokal. Informasi Kajian Permasalahan Sosial dan Usaha
Kesejateraan Sosial, Volume12 No.02 Mei-Agustus 2007, Departemen
Sosial-RI.

Sugiyanto dan Mochamad Syawie. Mewujudkan Komunitas Adat Terpencil


Sejajar Dengan Masyarakat Pada Umumnya. Informasi Kajian
Permasalahan Sosial dan Usaha Kesejateraan Sosial Vol.12 No.02 Mei-
Agustus 2007, Departemen Sosial-RI.

Universitas Indonesia
193

Sandbukt, Oyvind. OrangRimba Tempo Doeloe, Baduy Dalam-nya Sumatera.


Bulletin Alam Sumatera Volume 1 Januari 2001, WARSI. 2001.

Taufik R. Kiki. Orang Rimba: Masyarakat Terasing Yang Semakin


Termarginalisasi. http://www.geografiana.com/sosial/di download 12-08-
2009 8.37 WIB

Tesis dan Disertasi

Sativa, Fendria. Perilaku Budaya Masyarakat di Sekitar Kawasan Taman


Nasional Kerinci Seblat. Tesis Universitas Padjajaran Bandung. 2002.

Sasmita, Karno. Etnoekologi Perladangan Orang Rimba, Tesis Sekolah


Pascasarjana Program Studi Ilmu Kehutanan Universitas Gadjah Mada,
Yogyakart, 2009.

Syahrasaddin, 1996. Adaptasi Ladang Berpindah Terhadap Perubahan


Lingkungan. Tesis Universitas Padjadjaran Bandung.

Soetomo, Muntholib. Orang Rimbo: Kajian Struktural-Fungsional Masyarakat


Terasing di Makekal, Disertasi Universitas Padjadjaran- Bandung, 1995.

Web Site.

http://septiaku.multiply.com/journal/item/101 diakses pada 15 October 2009 1.14


WIB.

http:// yayasanpusaka.blogspot.com /2008 /08/ jutaan-masyarakat-terancamakibat.


html diakses pada 2 November 2009;10.33 WIB.

http://oase.kompas.com/read/xml/2009/03/18/0136059/kesehatan.orang.rimba.tera
ncam di-akses pada tanggal 21 Juli 2009 13.38 Wib.

http://www.warsi.or.id;

http://beritasore.com/ 2008/ 12 /30/ orang- rimba-di-luar-tnbd-harus diselematkan/


diakses 21 Juli 2009 13.45Wib;

http://www. mapalaui. info/2006/07/18/orang-rimba-masyarakat-terasing-yang-


semakin-termarginalisasi/ ?cp=1 di akses 23 Juli 2009 07.15 Wib.

http:perpustakaanrimba.wordpress.com/tentang-orang-rimba/- di akses pada


tanggal 21 Juli 2009 13.34 WIB).

Universitas Indonesia
LAMPIRAN 1. Panduan Pertanyaan Wawancara Mendalam

Kelompok Informan Orang Rimba

A. KARAKTERISTIK SOSIAL BUDAYA, EKONOMI, EKOLOGI,


DEMOGRAFI dan POLITIK

1. Bagaimana struktur sosial dalam komunitas orang Rimba?


2. Bagaimana adat-istiadat dan pola kebiasaan yang berlaku dikalangan
komunitas orang Rimba
3. Bagaimana proses asimilasi dan integrasi antara kelompok orang Rimba?
4. Bagaimana pola interaksi Orang Rimba dengan Orang Luar?
5. Bagaimana bentuk stratifikasi sosial komunitasi orang Rimba?
6. Bagaimana sikap dan persepsi tentang pengaruh budaya luar?
7. Bagaimana sikap dan persepsi tentang kelompok yang bediom?
8. Bagaimana pola pemenuhan kebutuhan hidup orang Rimba?
9. Bagaimana Sumber-sumber matapencaharian orang Rimba?
10. Bagaimana pola pemilikan dan penguasaan sumber daya alam orang
Rimba?
11. Bagaimana pola pemanfaatan sumberdaya alam orang Rimba?
12. Bagaimana tingkat kepadatan dan sebaran kepadatan komunitas orang
Rimba?
13. Bagaimana pola perkembangan penduduk orang Rimba?
14. Bagaimana tingkat kelahiran dan kematian?
15. Bagaimana pola pemukiman orang Rimba?
16. Apakah Orang Rimba sudah masuk dalam administrasi desa?
17. Apakah Orang Rimba sudah menggunakan hak pilih dalam PEMILU?

B. POLA STRATEGI DAN BENTUK PROGRAM YANG TELAH


DILAKSANAKAN (KHUSUSNYA SEKTOR PENDIDIKAN,
KESEHATAN, PERUMAHAN)

1. Apa saja program pemerintah yang pernah diterima oleh kelompok orang
Rimba?
2. Bagaimana strategi pelaksanaan program yang ada?
3. Bagaimana pendapat anda tentang program yang pernah ada?
4. Bagaimana harapan anda tentang pelaksanaan program pemerintah?
5. Apa program yang paling dibutuhkan dari pemerintah?

194
Universitas Indonesia
195

(lanjutan)

Kelompok Informan Pemerintah dan LSM

1. Apa Strategi kebijakan yang diambil dalam kaiatannya dengan pembangunan


komunitas Orang Rimba?
2. Apa program bantuan yang telah dilaksanakan bagi komunitas Orang Rimba?
3. Apa permasalahan/kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pemberdayaan
komunitas Orang Rimba?
4. Apa bentuk payung hukum kebijakan pembangunan bagi komunitas Orang
Rimba?
5. Bagaimana pengembangan bentuk kerjasama dengan para pihak dalam proses
pembangunan Orang Rimba?
6. Apa TUPOKSI pihak SKPD yang berkaitan dengan pembangunan Orang
Rimba?
7. Apakah ada kebijakan khusus untuk mencapai peningkatan kualitas hidup
Orang Rimba?
8. Bagaimana model pengelolaan kawasan TN dengan keberadaan Orang Rimb
berada di dalam kawasan?
9. Apakah ada kearifan lokal Orang Rimba yg berkaitan dengan pengelolaan
sumberdaya alam?
10. Sejauh kearifan lokal pemanfaatan SDA Orang Rimba dapat dikembangkan?
11. Bagaimana proses dan metode pelaksanaan program terhadap Orang Rimba?
12. Bagaimana tingkat partisipasi Orang Rimba terhadap aktivitas program?

Universitas Indonesia
196

Lampiran 2. Transkrip Wawancara

Transkrip Kategori Aspek Sosial Orang Rimba


Kode
Aspek Keterangan/Pendapat Kunci
Informan
Organisasi TR Pengurusnya yg pertama Temenggung, Depati, Menti,
Sosial Tengganai, Mangku dan Anak Dalam.
Yang paling penting Temenggung dan Depati
Jenang itu adalah “Raja” kami orang rimbo,
Waris itu sebenarnya pembela Orang Rimba perannya lebih
besar dari Jenang
Waris itu ahli membayar hutang kecik dan hutang gedang
(besar) dio yg berhak membayar.
SR Secara pemerintahan yang tertinggi adalah Temenggung,
kemudian Wakil Temenggung, Mangku, Menti, Depati dan
Anak Dalam.
Waris menurut tambo (silsilah keterunanan) OR dikenal
dengan Pangkal Waris dan Ujung Waris,
Waris biasanya dipilih berdasarkan garis keturunan.
JD Ada lagi satu hal yg saya lihat penting di OR yaitu hilangnya
Peran JENANG
MJ Sekarang peran temenggung tidak begitu besar seperti dulu
yg sangat dipatuhi dan disegani, sebab sekarang ini sudah
banyak Temenggung
Temenggung Dipilih oleh anggota kelompok mereka sendiri,
HH Temenggung Yang memilih adalah masyarakat atau anggota
rombong,
Interaksi MB Ado toke (pedagang pengumpul) yg beli
Sosial Ada orang luar di dalam tapi tidak punyo kebun hanya
sebagai buruh sadap karet
IS Yg paling sering bentuk hubungan yg terjadi adalah
hubungan jual beli hubungan niaga
OR itu sangat menjaga hubungan dengan orang luar, jadi kalo
mereka tidak kenal betul mereka tidak percaya maka mereka
tidak mau berhubungan.
SR pada masa pembukaan HPH (Hak Pengusahaan Hutan) ikatan
OR dan Waris masih kuat
hubungan Waris dan OR berkaitan dengan jual beli hasil
hutan baik berupa getah karet, jernang, getah balam dan rotan
dimasa saya orang itu sudah mulai melemah karena
terpengaruh lingkungan Yang jelas sejak interaksi OR dengan
dunia luar semakin terbuka
Dulu interaksi masih terbatas, yg melakukan interaksi hanya
pihak laki-laki OR dengan orang luar sementara yg
perempuan tidak boleh sama sekali.
sekarang hal ini sudah berubah kaum perempuan rimba sudah
biasa keluar hutan, umumnya pada saat hari pasar.
Tidak ada sikap yg negatif orang desa terhadap OR.
Sejak ada transmigrasi, interaksi dengan dunia luar itu
semakin terbuka.

Universitas Indonesia
197

TR Kalau dulu hubungan dgn orang luar itu terbatas, hanya


kepada Jenang.
Selama masuknya orang trans baru tidak takut lagi.
banyak sekarang ini baik yg kawin dengan orang jawa
maupun orang dusun bahkan ada perempuan rimbo yg kawin
dengan orang batak
Semenjak trans masuk, interaksi dengan orang luar lebih
sering.
JD Sejauh ini tidak ada menimbulkan keresahan, ada juga
beberapa sebagian kecil yg suka mencuri tetapi itu karena
alasannya tidak ada yg dimakan, mencurinya juga paling
hanya sebatas buah pinang, berondolan sawit Itu karena utk
membeli makanan.
HH baik-baiklah kalau masalah hubungan secara kekeluargaan
antara kami yg baru menetap dan warga masyarakat yg lama
disini tidak ada kendala
MK Pertama memang mereka hormati kami, setelah mereka maju
semua timbul cuek-cuek karena dia merasa sudah maju
ED Ya hubungannya seperti biasa tidak ada kendala. Bahkan
seperti Malik ini sudah menikah dengan orang luar, orang
dari SPi kan tidak masalah
RB Sudah banyak yang menikah orang luar dgn OR itu sejak
tahun 1999.
Penyebab perceraian itu ada yg karena minder karena
menikah dengan orang rimba, dan juga memang karena ada
masalah,
jadi proses asimilasi itu membuat juga perkembangan positif
dan negatif.
Kelompok SR tinggal menyebar dalam bentuk rombong kecil,
Sosial
TR Banyak rombongannya ada di Kejasung, Makekal, Serengam,
Terap, Kejasung kecil. banyak rombongan orang rimbo,
kalau dulu diseluruh kawasan bukit 12 ada 3 temenggung
Tapi kalau sekarang sudah ada 12 Temenggung
RD Sekarang ini ada 3 karakter kelompok SAD
Institusi TR aturan yg dilarang “tidak ado rimbo tidak ado bungo..tidak
Sosial ado bungo tidak ado dewa”
sungai itu tidak boleh keno “berak” (buang air) sungai tidak
boleh tercemar aeknyo
“Adat jangan kupak pemakai jangan sumbing”
MB Hilang adat hilang manusio.
Menurut kami OR kalau rusak rimbonyo mako rusak rumah
tanggonyo. Maka hutan harus dijaga.
Stratifikasi SR masyarakat OR sudah terbagi menjadi 3 karakter; yg pertama
Sosial kelompok yg masih tradisional dan belum mengerti apa-apa
yaitu yg berada di Sungkai, kedua kelompok yg sudah agak
diluar sudah mulai menanam sawit. Yang ketiga yang sudah
tinggal di desa.
Peran temenggung itu kuat misalnya jika ada permasalahan di
kelompok maka berkumpul beberapa depati dan satu wakil
temenggung, sebab wakil temenggung ini ada beberapa
contohnya di makekal hilir ada 2 wakil temenggung..nah

Universitas Indonesia
198

antara depati dan wakil temenggung tidak bisa menyelesaikan


masalah sebelum temenggung hadir jadi temenggung harus
hadir dalam memutuskan persoalan adat.
RD Sekarang ini ada 3 karakter kelompok SAD, pertama
kelompok yg masih tinggal di dalam konsisten dan patuh
terhadap nilai-nilai tradisional, kedua kelompok SAD yg
sudah beradaptasi, berkomunikasi dan berinteraksi dengan
masyarakat luar jadi keluar masuk kawasan tetapi masih
memiliki ketergantungan terhadap kawasan misalnya
mengambil hasil hutan untuk dijual keluar, ketiga kelompok
yg sudah menetap atau bertempat tinggal diluar tetapi
ekonominya masih tergantung ke dalam kawasan.

Transkrip Kategori Aspek Budaya Orang Rimba

Kode
Aspek Keterangan/Pendapat Kunci
Informan
Adat TR Orang Rimba adat istiadatnya itu seperti menjago kalau ada
Istiadat kesalahan
berladang, temenggung menegur anggota kelompok “oi kamu salah itu
perkawinan, jangan.. yang benar gini”
melangun, temenggung bisa menetapkan denda adat yg harus dibayar
melahirkan, dengan kain.
bediom dsb Keputusan adat ditetapkan didepan orang banyak atau
kelompok
Adatnya banyak, kalau OR adat istiadatnya itu seperti
menjago kalau ada kesalahan,
Adat pembuatan ladang kalau zaman dulu di balikkan ke
orang tuo (tengganai), jadi setiap yg mau berladang harus
melapor ke ninik mamak atau tengganai dimana rencana
lokasi akan berladang, kemudian tengganai (dukun) akan
bedike (memanggil dewa) kalau hasil amalan tengganai
lokasi tsb tidak bagus karena tanah dewa maka harus
pindah lokasi,
Ladang atau disebut dengan huma itu dibikin di daerah
pinggir sungai
Jadi tidak ado orang yg tidak tau kepada adat kareno siapa
yg salah kan di dengar orang banyak.
OR berladang berpindah tidak menetap
mereka melangun itu tidak lama pasti balik lagi, paling
lama dia melangun 3 bulan
kalau dulu memang adat tidak boleh tapi karena sembuhnya
mau cepat mau tak mau harus ke puskesmas
Tidak ado aturan adat yg melarang apakah anggota
kelompok mau tinggal diluar (Bediom) atau didalam, itu
adalah hak dan kewajiban masing-masing, misalnya seperti
saya memutuskan utk tinggal diluar.
SR OR tidak pernah buang hajat di sungai, mereka selalu
menjaga kebersihan air sungainya.
Umumnya proses melangun itu hanya berpindah sementara
tidak utk menetap, karena OR pasti akan kembali ke
wilayah dimana tanoh peranokon mereka.

Universitas Indonesia
199

Orang yg kawin biasanya tinggal ditempat pihak istri


(semendo)
Mereka kawin bisa di dalam kelompok maupun antar
kelompok
Menurut OR antara pemimpin dan adat itu satu
Kalo melangun dan melahirkan itu bebas ke wilayah mana
saja, tapi yg tidak boleh adalah utk menetap selamanya di
wilayah kelompok lain.
Umumnya proses melangun itu hanya berpindah sementara
tidak utk menetap, karena OR pasti akan kembali ke
wilayah dimana tanoh peranokon mereka. Tanah peranakan
itu suatu tempat untuk proses melahirkan bagi perempuan
orang rimba, biasanya dua bulan menjelang melahirkan
mereka sudah mencari lokasi tanah peranakan.
Tapi saat ini proses melangun lebih singkat kalau dulu lama
melangun itu 4-5 tahun kalau sekarang paling lama 1 tahun,
dan melangun tidak jauh lagi, kalo dulu melangun jauh-
jauh.
MB Jadi selagi ada hutan tetap memakai adat rimba
kapan seorang rubuh mako lah rubuh lah adatnyo
Anak yg masih kecil yo itu dio tetap ikut samo orang tuo
pergi melangun
Hilang adat hilang manusio.
HH Tidak ada lagi melangun, karena kita sudah mempunyai
pemikiran yg hidup akan mati, yg mati tidak mungkin hidup
kembali.
BT Kegiatan gotong royong diatur oleh bapak Temenggung
dan Depati
masalah ketinggalan hilang adat
IS Masa melangun yg pendek sebenarnya dipengaruhi oleh
kepemilikan lahan kebun, mereka takut kalau ditinggal
lama kebun mereka
NG Saya bediom dari tahun 1999
kami bediom oleh karena kami berpikir nanti kalau kita
terus menerus di dalam hutan bagaimana untuk masa depan
anak cucu kita
MK Pertama waktu membuka ladang pohon ditebang dan
diimas lalu dibakar, setelah ditanami ubi dan bibit karet,
setelah ubi habis kemudian akan berpindah lagi utk
membuka ladang lagi karet kemudian ditinggal begitu
seterusnya.
HH Adat yg berbeda dari segi makanan, dan cara-cara yg lain
sudah ikut cara di dusun

Transkrip Kategori Aspek Ekonomi dan Pola Konsumsi Orang Rimba

Kode
Aspek Keterangan/Pendapat Kunci
Informan
Sumber TR Matapencahariannya kalau sekarang ini banyak yg
Ekonomi menyadap karet di hompongan
mencari rotan, tebu-tebu, jernang, getah damar masih ada
tapi jauh ke dalam perjalanan satu hari sampai malam.

Universitas Indonesia
200

makanya janganlah OR ini dikatakan merusak hutan karena


pemerintah belum membantu perekonomian OR
MB Ya berkebun karet dengan sistim bagi hasil, bagi 3 dimana 2
bagian orang yg nyadap satu bagian yg punya kebun.
Yang biasa dijual karet,Jernang, manau, tebu-tebu, rotan,
getah belom (getah kayu balam)
MD pada umumnya mencari rotan, tebu-tebu, berburu membuat
kebun karet sedikit-sedikit
Ekonomi masih lapang yg dirimbo, diluar ini semua harus
beli tapi kalau dirimba tidak
HH perbedaannya walau didalam dan diluar masalah ekonomi
amper sama itu tergantung dengan matapencaharian kita
NG sekarang jadi lebih sulit, paling-paling sekarang cari
brondolan (buah sawit matang yg lepas dari tandan buah)
HH kalau sekarang itu tidak berpindah lagi karena sudah ada
kebun karet.
SR Pada umumnya adalah hasil hutan seperti jernang, getah
balam, manau, rotan dan madu dan tidak ada yg menebang
kayu.
IS Sumber matapencaharian mereka juga ada dari kebun karet.
NG Ya itu anak2 mencari brondolan sawit, kadang2 itu dikejar-
kejar satpam PT mau ditangkap.
ED Ya hanya sekarang jadi lebih sulit, paling-paling sekarang
cari brondolan (buah sawit matang yg lepas dari tandan
buah).
MK Kadang juga sampai satu bulan tidak ada kerja, karena tdk
ada borongan upahan.
HH Yang Bediom yang jelas karet, padi dan ubi itu bagi yg
punyo tanah, mano yg tidak punya tanah anak2 tu hidupnyo
atau mencari kerjonyo makan gaji dengan orang dengan
menjadi buruh tani nerbas sawit, manen sawit itulah
matapencaharian yg khusus
Yang dirimbo pertama sekali mereka berladang mereka
menanam ubi, keduanyo dio berpindah-pindah berburu babi,
biawak semua laku.
Kalau secara ekonomi mereka berpikir lebih senang
didalam, karena di dalam itu semua bisa dimakan dan tidak
ada larangan, tapi bagi kita yg diluar memang sulit karena
kita harus memilih mana yg halal mana yg haram
MJ Pada prinsipnya mereka sama dengan kita yg diluar mereka
ada juga yg bandel, ada yg sama sekali tidak punya kebun,
lalu ada juga punya kebun lalu dijual karena ingin membeli
motor
SM kadang masuk ke rimbo gara-gara ekonomi tidak terjamin,
paling sekarang motong(menyadap) karet orang jawa.
Masuk Islam ini bagus tapi kadang terganggu oleh ekonomi
“mau sholat tidak khusuk berpikir besok mau makan apa”
Jaringan SR Pembayaran dihitung sewaper tahun kadang ada juga yg
Pemasaran dibayar menggunakan motor bekas
MD Ada toke (pedagang pengumpul) yang datang
MB Ado toke (pedagang pengumpul) yg beli
menjual seperti manau jernang ke toke-toke ular ditrans.

Universitas Indonesia
201

BT Menjual Jernang Ke Desa Tanah Garo


Pola SR Kalau dulu Makanan pokok mereka sebenarnya adalah ubi
Konsumsi dan umbi-umbian hutan seperti banar tapi sekarang sudah
campur dengan beras.
kebanyakan mereka menjual kebun karet.yg sudah jadi
kepada orang luar utk membeli motor...
Ya saat ini mereka sudah mengenal motor, kecepek dan HP.
IS kebutuhan OR sudah mengalami perubahan pola konsumsi
tidak hanya utk makan, kebutuhan mereka sudah nambah
melihat orang pake motor mereka kepingin punya motor.
TR Makanan pokok itu umbi-umbian dan ubi seperti beyoy,
banar
Mengenal beras setelah ada orang trans
BT Sehari-hari kalau di kelompok kami makan ubi
Kuraso macam kito itu kalau sudah menanam ubi itu sudah
cukup, kecuali misalnya kito dak biso nanam ubi itu yo
susah nian, sebab kami itu jarang-jarang makan nasi dalam
seminggu mungkin Cuma satu atau dua kalilah makan nasi
kalau itu makan ubi baru senang
MB Makan ubi, berburu, cari lauk (cari ikan) itu sehari-hari

Transkrip Aspek Pola Pemanfaatan Hutan dan Pola Kepemilikan Lahan dan Pola
Pemukiman dan Pembagian Wilayah

Kode
Aspek Keterangan/Pendapat Kunci
Informan
Pola TR OR memang ada aturan, sekarang ini mungkin karena sudah
Pemanfaatan banyak yg keluar mungkin aturan itu ias g hilang tapi
Hutan kalau mano orang itu masih utuh di dalam rimbo masih
Dan memegang kepercayaan yg kuat itu lebih keras aturannyo
Kearifan bagi OR hutan yg tebal itu disebut dengan “hutan dewa” itu
Lokal tidak boleh dirusak, pohon bedewa, subon, tempat
peranokon (tempat melahirkan) semua areal itu tidak boleh
ditebang pohonnyo tidak boleh dibuka..kemudian tempat
kuburan itu “tanah pasohon” namonyo itu memang tidak
boleh dirusak pohonnyo
Areal yg boleh utk ladang (humo) Ladang atau disebut
dengan huma itu dibikin di daerah pinggir sungai sekarang
OR mulai menanam karet yg dimulai sejak orang trans
masuk
BT Yg kito jugo kalau orang luar masuk beladang di tempat
kito, pohon sialang, pohon senggeris, pohon sentubung,
tanah peranokon, subon, benuaron, bagi siapo yg
menumbang pohon-phon tadi biso didendo baik OR maupun
Orang Luar.
MB Dan jugo behuma harus pada lahan tertentu, karena di dalam
taman ini ada zonanyo ada zona inti, zona rimba, zona
pemanfaatan. Dan jugo mano zona yg bakal dilarang adat yg
terkait pada adat tidak ias kamu rusak, walaupun OR.
Contoh zona adat itu ado tano peranokon, tanah pasohon,
senggeris sentubung, benuaron, pohon sialang banyak yg
terkait pado adat tdk biso dirusak, karena dari dulu kami OR

Universitas Indonesia
202

memang dilarang merusak tempat2 tadi.


Kito mencari belukar yg sudah tuo belukar yg kosong-
kosong, hutan yg tdk ado padat kayunyo
SR mereka menjaga pohon tenggeris karena utk memberi tanda
kelahiran, kemudian kebun buah2an hutan, kemudian kayu
sentubung tidak boleh ditebang. Jadi hal ini bisa
dikembangkan adat ini utk menjaga kelestarian hutan.
Kemudian ada lokasi pasohon (tempat menaruh orang yg
mati) diwilayah tsb mereka jaga hutannya.
OR selalu memelihara sumber air, OR tidak pernah buang
hajat di sungai, mereka selalu menjaga kebersihan air
sungainya. Anggapan mereka kalau buang hajat disungai
sama saja merusak alam.
Pola TR Jadi begini kalau OR berladang dengan membuka belukar
Kepemilikan atau sesap kemudian ado pohon durian diladang itu maka
Lahan pohon durian itu jadi hak milik, kalau tidak ada kito tanam
durian itu sebenarnya tidak milik Cuma belukar saja siapa
yg mau membuat boleh tanam lagi lalu ditinggalkan. Jadi
kepemilikan lahan di OR tidak ada, yang ada pengakuan hak
milik tanaman buah-buahan
NG Itu tadi saya bilang semua tidak punya lahan
Pohon sialang dan benuarom itu kepemilikan masing-
masing “pesaken” (keluarga), tetapi bila mengambil hasil
selalu bersama-sama
SR Orang rimba mengenal wilayah dan sudah terbagi-bagi
berdasarkan daerah aliran sungai misalnya wilayah hulu,
tengah dan hilir.
Pola MB Ya kami tinggal dengan membikin pondok sesudungon),
Pemukiman sebenarnya kami menetap berpindah kalau lagi pergi
melangun
Tidak berpindah lagi dek kareno ado kebun karet
BT Kalau dulu memang kami hidup masih berpindah-pindah
sekarang itu tidak berpindah lagi karena sudah ada kebun
karet. Paling kalau melangun paling lamo 2 bulan sudah
balik lagi ke kebun karet.
SR Mereka tinggal menyebar dalam bentuk rombong kecil,
mereka tinggal satu kubung dengan satu keluarga luas
misalnya ada orang tua, anak dan menantu.
Pembagian SR Orang rimba mengenal wilayah dan sudah terbagi-bagi
Wilayah berdasarkan daerah aliran sungai misalnya wilayah hulu,
tengah dan hilir. Dan apabila terjadi pelanggaran wilayah
bisa terjadi sengketa misalnya baru-baru ini terjadi antara
kelompok temenggung pembebar dengan temenggung
Ngukir karena anggota kelompok Ngukir telah merambah
kedaerah pembebar di hilir..mereka mau menjual lahan,
maka terjadi sidang adat utk memutuskan..
OR sebenarnya sudah mengenal batas-batas wilayah
kelompok mereka..batas antara air hitam dengan makekal
dan batas dengan kejasung. Perbatasan Antara Air Hitam
dengan Batanghari sudah ada dan antara Tanah Garo
dengan batanghari sebenarnya ikut batas orang kampung itu
yg mereka ikuti.

Universitas Indonesia
203

TR Punyo, inikan wilayah kito semua Kalau wilayah saya


namanya “Air Hitam” karena ada Sungai Air Hitam dan
anak sungai Air Hitam namonya Sungai Paku Aji
Ada, karena masing-masing ada batasnya dari zaman dulu
dan masing-masing mengetahui batas wilayahnya.
MD Batas wilayah dari Singosari ini sampai ke Aek Ban

Kategori Aspek Pembangunan Pendidikan

Kode
Aspek Keterangan/Pendapat Kunci
Informan
Sarana dan RB Awalnya SD ini memang dibangun khusus utk anak2 OR
Kurikulum pada tahun 1994.
Dari kepala sekolah yg pertama sekolah ini berdiri yang
merintis masyararakat disini melalui DEPSOS memang
khusus utk anak SAD tapi karena ada kaitannya dengan
kurikulum dan berbagai hal dan kelanjutan pendidikan anak
dimasukkan ke DIKNAS.
Yang sampai kelas 6 itu tidak pernah lebih dari 10 orang,
mereka kalau sudah kelas 3 itu mengalami kendala, yang
tamat SD sebanyak 15 orang 13 laki-laki dan 2 orang
perempuan
jadi kadang kita upayakan mengajar itu masuk ke dalam
sesekali kita kerjasama dengan WARSI, ada juga kerjasama
dengan PT.SAL
Kurikulum tidak mengenal kelas, jadi kita saja yg mengkaji
kemampuan mereka itu ya dari mengira umur dan
kemampuan utk kelas 6 sudah ati ujian kita ikutkan
NG Kalau SD itu sudah bagus, tapi anak2 ini yg sudah tidak mau
lokasinya yang di Senapoi Air Panas (sekarang SD 191).
Dulu pada waktu belum diresmikan gurunya masih kami
cari dari SP’i”
AR Proses yg kami lakukan adalah utk memberikan kemampuan
dasar BTH (Baca Tulis Hitung) terhadap anak2 rimba,
Modulnya jadi tidak hanya BTH saja tapi sudah mengikuti
standar kompetensi di sekolah formal, tetapi tetap ada
penyaringan seperti materi pelajaran agama karena masih
terjadi perdebatan sehingga kita mintakan kepada pihak
sekolah utk tidak diajarkan dulu
Metode “kelas jauh”. Maksud Kelas Jauh dalam artian
bahwa secara administrasi mereka terdaftar di SD
pelaksanaan kegiatan belajar dilakukan di dalam rimba. Jadi
mereka tdk perlu datang ke sekolah tetapi gurunya yg datang
ke tempat mereka kemudian kita support dengan kegiatan
penunjang kompetensi mereka disekolah lalu diujiankan,
dan dicari waktu belajar yg fleksibel dalam seminggu
beberapa hari sehingga mereka dapat mengikuti proses
belajar.
Jadi model pendidikan yg kita lakukan pertama dengan
mengunjungi langsung mereka, kedua model kelas jauh atau
model kerjasama dengan PKBM sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan setiap kelompok. Lalu misalnya utk kelompok yg

Universitas Indonesia
204

dilintas sumatera modelnya setelah kita persiapkan awal utk


dapat ikut proses sekolah formal lalu kita daftarkan mereka
ke SD desa, ada sekitar 18 orang anak di 3 SD berbeda yg
sudah kita fasilitasi.
Dari proses belajar kelas jauh ini tahun 2008 telah
meluluskan 7 orang anak lulus SD.
Masalah/ RB Rata-rata mereka sekolah sampai kelas tiga setelah itu sudah
Hambatan sulit, sebab jika saya perhatikan kalau sudah kelas 3 ke atas
itu kadang masalah makan itu dia mencari sendiri karena
memang kalau anak SAD apalagi yg sudah menetap itu
orang yg garis kemiskinan ekonominya jauh dibawah sekali,
orang tua mereka tidak punya penghasilan kemudian usaha
yg dapat mereka lakukan itu kadang terkesan memang
mengganggu orang lain misalnya cari brondolan istilah
mereka mencari brondolan pada hal secara atin mereka
mencuri sawit sementara mereka itu memang tidak punya
pekerjaan apa-apa
kendala utamanya adalah masalah ekonomi keluarga
kendala budaya, mereka kadang tidak ati terikat dengan
waktu dan tempat mereka biasa bebas,
dengan adat yg dinamis orang tua itu biasa kawin cerai
meskipun anak masih kecil-kecil, tidak memikirkan anak
paling hanya rebutan saja pada saat mau pisah.
Yg sekolah itu kita tanyakan kenapa tidak makan karena
kedua orang tuanya pergi lalu mereka ikut tetangga.
Mungkin karena masa transisi kabupaten baru kecamatan
baru
Metode mengajar sama dengan lainnya, paling pada awal
saja yg agak sedikit berbeda, hanya saja kesiapan mereka
belajar tergantung dari kesehatan mereka.
Ada sekitar 5 orang dikelas 5 ada 2 orang, kelas 4 ada 2
orang, dan kelas 3 ada 1 orang yang lain sudah tidak masuk
tapi suatu saat nanti masuk lagi.
Disini tenaga guru hanya 5 orang, dan tidak ada
penambahan jadi cukup terbatas juga.
Tidak ada fasilitas perumahan guru, tempat tinggal kita rata-
rata sekitar 15 KM dari sini kalau saya malah 22 KM di
Mentawak Baru.
MB Proses melangun sering berpengaruh terhadap kegiatan
sekolah, dimana anak-anak yg sedang sekolah juga ikut
pergi melangun tapi kalau yg sudah besar walaupun bapak
emaknyo pindah dia akan tetap yg penting niat hati itu
memang betul-betul mau sekolah
BT Ada kendala anak-anak ini sulit disuruh sekolah, anak aku
pernah 3 bulan menghilang pergi ke trans dak tidak sekolah.
Dio senang main-main dengan anak-anak di desa. Agak
kesulitan saya menyuruh dio sekolah tidak mengerti tidak
mendengar dio
NG Yang tamat SD ada sebanyak 7 orang lainnya belum baru
kelas 3 berhenti, kelas 4 berhenti
TR Hambatannya begini mereka belum ada pengalaman untuk
jadi orang, maksudnya kalau mereka pintar nanti akan jadi

Universitas Indonesia
205

apa itukan belum ada, katanya hanya sekolah saja buktinya


mereka belum mengerti akan pentingnya sekolah.
MD,SM disini sudah ada dibangun madrasah tapi sampai sekarang
GD gurunya tidak ada, maaf ya pak bukan mau mengadu oleh
karena saya tidak ada dana ya saya tarik lagi anak saya.
Karena setiap ujian ada dananya
AZ kita juga tidak mempunyai data yg akurat karena perilaku
OR yg berpindah2 karena melangun.
Kita juga baru dua tahun memiliki KASI yg menangani OR
Yang pertama kendala kita adalah dana,
Ya sementara ini belum ada kebijakan karena kami ini kan
satu-satunya KASI yg menangani khusus OR sehingga
masih sulit mengadakan terobosan, dan belum mempunyai
metode pelayanan yg sesuai bagi OR.
Belum ada kerjasama dengan pihak lain.
PR Masih ada yg menolak tetapi sebagian besar kelompok
sudah terbuka menerima pendidikan
Ya hambatan terbesarnya adalah mereka tidak bisa diikat
oleh waktu belajar, utk mereka sampai mampu BTH tidak
bisa kita tetapkan waktu bisa 1-1,5 tahun, tergantung kondisi
mereka, karena waktu belajar tidak bisa dengan jadwal rutin.
Kadang karena keterbatasan kita yg hanya 2 orang sebagai
pendamping pendidikan sementara harus menangani
kelompok satu kawasan Bukit 12,
AR Karena pendidikan bukan budaya mereka, karena di
pendidikan ada konsistensi ada kestabilan ekonomi, politik
dan sosial sementara di tingkat OR hal tersebut tidak bisa
dipenuhi,
Tetapi ada kendala juga dengan sistem pendidikan formal yg
berlaku, misalnya ketika secara kompetensi anak2 rimba
mampu utk mengikuti pelajaran kelas 6 tetapi secara
administrasi mereka tidak punya ijazah dari jenjang
sebelumnya maka tidak bisa diterima juga.
masih terkendala oleh sistem yg ada dan masalah anggaran
dana
AB Permasalahannya saya melihat kedepan kalau mereka sudah
bisa BTH mau kemana lagi,
HH Ya karena kami tidak punya biaya, yg gratis memang di
sekolah yg di senapoi (sekolah khusus anak rimba dulunya)
letaknya jauh sementara kami tdk punya kendaraan utk
mengantarkan anak sekolah (letak sekolah lebih kurang 3
Km dari pemukiman), sementara yg di SD sini tetap ada
bayar-bayaran
Faktor RB Faktor dorongan orang tua juga ada, termasuk misalnya
Pendorong Temenggung Basiring almarhum dia yg pertama membawa
anak2 rimba mau sekolah keluar.
Kita kadang begini kalau ada rezeki sama kawan2 kita kasih
tau ke mereka untuk bilang sama teman2 yg tidak masuk
kita besok mau makan-makan, biasanya besoknya mereka
banyak yg ating
tahun 2006 waktu itu yang belajar sampai 122 orang tapi
posisinya berpencar dan jauh kadang saya terpaksa

Universitas Indonesia
206

menginap
kalau kemampuan belajar mereka dengan anak2 luar juga
sama
Ada kerjasama dengan LSM dan Perusahaan
AR Adanya KASI Pendidikan SAD ini juga kita dorong kepada
PEMDA dalam hal ini DIKNAS kabupaten, hanya saja
kegiatan programnya pembagian buku, sepatu dan pakaian
seragam utk SAD tapi program ini tidak menjawab
persoalan dan kebutuhan yg ada di anak2 OR
Persepsi/ MB Yo pendidikan perlu tapi dalam pendapat awak itu didik itu
Pandangan jangan tanggung-tanggung maksudnyo kapan dididik itu
Tentang benar-benar jadi supayo kemajuan kito ini ado buktinyo.
Program Ado kelihatan kemajuan kito. Tapi kalau dididik tapi miskin
dan macam biaso, kebodohan macam biaso percuma.
Kebijakan Sebenarnya semua cocok baik yg di sekolah desa maupun
pendidikan sekolah di rimbo yang penting tujuan sekolah iko adat yg
dikampung itu harus diajarkan, adat yang dirimba juga harus
diajarkan, nanti jangan sampai kito sekolah nurut adat
dikampung adat yg dirimba ditinggalkan. Enaknya itu semua
sekolah dirimba jugo sekolah di kampung jugo sekolah jadi
segalonyo itu diteliti supayo jelas
BT Pendidikan itu perlu bagi anak-anak kami
NG Jadi setelah ada masuk dari pemerintahan utk mendidik
anak2 dari suku anak dalam utk sekolah maka kami turun
lagi ke bawah itu sekitar tahun 1998
TR Sebenarnya utk program pendidikan kalau dari pemerintah
belum seberapa tertib, ini baru dari LSM WARSI dan
perusahaan.
Menurut saya kalau hanya sekedar tulis baca tanpa ada
pengalaman yg lain ya itu tidak cukup
AZ Utk yg formal sudah ada pelayanan pendidikan dasar ada
SD yg dibangun di Bukit Suban, lalu yg non formal adalah
Life Skill, Keaksaraan Fungsional (KF) atau pemberantasan
buta aksara
memang agak berat melayani OR karena pandangan mereka
yg belum memahami pentingnya pendidikan dan bagi OR
pendidikan bukanlah kebutuhan pokok.
Menurut saya harus ada program khusus bagi OR sesuai
dengan wilayah penyebaran dan kondisi kelompok
AR Yang dibutuhkan adalah tenaga guru agar dapat melakukan
hal yg serupa dengan kita ini pernah kita sarankan ke
DIKNAS. Termasuk masalah fasilitas yg harus disiapkan
agar bisa melakukan kegiatan seperti kita.
hanya saja kegiatan programnya pembagian buku, sepatu
dan pakaian seragam utk SAD tapi program ini tidak
menjawab persoalan dan kebutuhan yg ada di anak2 OR

Universitas Indonesia
207

Kategori Aspek Pembangunan Kesehatan

Kode
Aspek Keterangan/Pendapat Kunci
Informan
Kebijakan MF Untuk OR yang pertama utk semua OR kita masukkan ke
dan dalam JAMKESMAS, lalu utk akses pelayanan kesehatan ke
Program PUSKESMAS mereka menggunakan ASKESKIN yang
didanai dari APBN. Kemudian kita juga membangun POS
YANDU di beberapa tempat utk pelayanan bagi OR jadi
sebulan sekali kita melakukan penimbangan bayi dan
konsultasi kesehatan ibu dan anak di lokasi yg sudah
ditentukan, terutama lokasi2 yg sifatnya komuninya besar.
Hanya ada beberapa program yg sifatnya agak khusus
pernah kita lakukan Semalam Bersama SAD kita kasih
informasi dengan pemutaran film itupun istilahnya
kebijakan kita tidak ada anggaran secara khusus, karena kita
punya komit dan kita punya kesempatan kita turun bersama-
sama
Kemudian ada kegiatan bakti sosial bagi OR yg kita lakukan
tahun kemarin.
Kemudian kebijakan pak bupati semua pelayanan dasar
seperti kesehatan sudah dibebaskan dari biaya bagi semua
masyarakat tidak terkecuali SAD.
Dari segi program kesehatan barangkali perubahan perilaku
Kebijakan secara terstruktur di dalam RENJA tidak ada.
Sementara belum ada program2 secara khusus,karena kita
anggap OR sudah seperti masyarakat biasa hanya saja
adaptasinya yg berbeda, kadang Kepala Puskesmas dan
petugas yg turun ke lapangan memberi pelayanan tapi
sifatnya insidentil
TM OR ini tergolong ke dalam masyarakat miskin sehingga kita
masukkan ke dalam program bagi masyarakat miskin seperti
ASKESKIN, JAMKESMAS dan program Gratis Daerah.

Persepsi thd MF mereka sudah bersosialisasi secara umum kami anggap


Kebijakan sudah seperti masyarakat biasa jadi kita tidak perlu program
& Program khusus bagi mereka.
BT Pelayanan kesehatan sudah baik macam kini, tapi itu seperti
kartu sehat itu orang yg sakit gratis tapi yg nunggu harus
bayar itu yg susah kito
MB Sudah ada kartu sehat, kemano kita sakit pengobatan gratis.
HH Sama dengan rumah sakit, kalau berobat di Puskesmas
gratis, tapi kalau berobat dirumah dokter bayar karena
secara pribadi ya seperti itulah
MD Disini khususnya kalau di Puskesmas itu semua gratis tapi
obatnya kurang bagus, kalau berobat langsung ke rumah
dokter (tempat praktek) itu bayar
TR Untuk kesehatan sudah ada program berobat gratis di
puskesmas
Hambatan MF karena anggaran terbatas ya kita tidak bisa lagi
melaksanakan program secara optimal, sehingga Standar

Universitas Indonesia
208

Pelayanan Minimal (SPM) belum dapat kita penuhi


Kita kan mengacu pada informasi, kadang penyebaran
informasi ini yg penting karena sebagian mereka masih
tinggal di hutan jika informasinya tidak sampai maka pas
hari pelayanan mereka tidak ada yg datang sama sekali.
Karena tingkat adaptasi mereka terhadap jadwal yg kita
tentukan itu sangat kecil
MB Kebanyakan penyebab kematian adalah kareno sakit, bukan
kareno tua.
Ada dua penyakit yaitu demam dan mencret

Kategori Aspek Pembangunan Perumahan

Kode
Aspek Keterangan/Pendapat Kunci
Informan
Kebijakan JD Program yg dilaksanakan dari PEMDA belum ada, hanya
dan Program sekedar kegiatan pembinaan yg dananya hanya sekitar 40-
50 juta, sementara program perumahan yg ada itu dari
Dinas Sosial Provinsi dengan dana dekonsentrasi dan
KPDT melalui LSM KOPSAD yang dibantu sebanyak 25
unit rumah. Kemudian Tahun 2007 ada bantuan rumah di
SEPINTUN, untuk tahun 2010 kalau ada alokasi dana
perumahan akan kita arahkan di SEKAMIS dan LUBUK
BEDORONG.
Selain rumah kita rencanakan bantuan KUBE (Kelompok
Usaha Bersama) ini dananya juga dari Provinsi tidak dari
daerah. Ini dari hasil riset bahwa mereka yg di Sekamis
dan Lubuk bedorong itu perlu perumahan dan bantuan jatah
hidup selama 1 tahun. Lalu mungkin juga dibantu bibit sapi
dan lain-lain.
HH Yang jelay diawak bantuan rumah ini yg mengurusnya dari
LSM-KOPSAD. Tapi masalah berapo dananya aku kurang
jelas. Dari mana dananya aku kurang jelas
Ini kan ada 2 tahap pembangunan, yang pertama 11 unit
yang kedua ini 15 unit
TR Ini kelompok saya dapat bantuan rumah dari MENEG
KPDT sebanyak 17 unit tahun 2007,
MD Yang sudah ada hanya perumahan ini,
BT Ado jugo bantuan perumahan seperti dikelompok kami
NG Ya hanya rumah lahan belum ada dibantu pemerintah ada
25 KK dengan bantuan 25 unit rumah dari KPDT. Di
Singosari juga 25 unit.
Persepsi thd JD Tujuannya adalah utk memberikan mereka rumah yg layak
Kebijakan & huni dan mengelompokkan mereka agar lebih mudah utk
Program dilakukan pembinaan. Tapi sebenarnya menurut saya
konsep pembangunan rumah itu disatu sisi menguntungkan
tetapi sisi yg lain tidak.
Selama ini hanya membangun perumahan tetapi tidak
dilihat dari beberapa aspek seolah-olah dipaksakan
membangun rumah OR, kadang OR tidak mau
dibangunkan rumah contohnya di Bukit 12 dari KPDT
akhirnya tidak ditempati, pertama karena dari pihak yg

Universitas Indonesia
209

membangun perumahan asal-asalan tidak sesuai


penempatannya sehingga mereka kembali ke sudung lagi
walaupun sudung tidak layak huni bagi kita makanya kita
bangun rumah layak huni bagi mereka.
TR Sebenarnya sudah bagus pemerintah membangunkan
rumah bagi OR yg sudah diluar. terimalah rumah itu tapi
mungkin oleh pemborong rumah itu dibikin sembarang
saja, tapi setelah ditunggu semalam lalu mereka tidak mau
bahkan ada yg tidak mau menunggu rumah yg telah diberi
besoknya pindah ke rimbo semua.
Jadi bagi OR “bantuan rumah itu tidak penting sangat
tidak penting” yg penting itu membangun ekonomi OR
supaya mengurangi penjualan lahan.
MD tapi kalau saya nilai rumah ini hanya tahan 4 tahun rongsok
kayunya dimakan rayap karena sembarang kayu bukan
kayu pilihan seperti kulim dan tembesu yg tahan tapi kalau
ini tidak ini kayu emang, kayu terap yg mudah lapuk
karena apa kalau hanya utk rumah tidak ada jaminan,
BT Setahun yg lalu ada proyek pembangunan rumah, bukan
kami tdk senang menunggu rumah, tapi ada satu penyakit
jadi pemborong rumah itu sembarangan dia bikin rumah itu
jadi reng kayu dan kaso itu sudah dimakan rayap, tiang-
tiang sudah banyak dimakan rayap jadi kayu perumahan itu
sembarang dio bikinnyo. Jadi takut menunggu rumahnya
karena atapnyo genteng berat, banyak jugo yg sudah rubuh,
itu makonyo dak mau orang menempati.
Sebenarnya bantuan perumahan itu belum begitu penting
bagi OR.
NG Kalau hanya rumah tidak ada lahan mau makan apa mereka
di dalam rumah itu.
Permasalahan TR Kata mereka rumahnya tidak enak meludah susah, nak
kencing susah, nak buang sampah dak ada yg dibuang,
kalau pondok di rimba itu gampang meludah, gampang
buang sampah, tapi kalo dirumah susah semua harus
dibersihkan itulah mereka yg tidak mau akhirnya rumah
mereka tinggalkan, setelah satu tahun tidak ditempati lalu
mereka jual seng rumahnya.
MB Sebab Mereka meninggalkan rumah karena belum ado
setuju sebenarnyo adalah itu terpulang kepada kemauan
masing-masing, mano yg maju majulah mano yg dak mau
apo boleh buat. Karena rumah ditinggal setiap ada yg
kematian (budaya melangun) jadi pemerintah rugi bae
karena rumah yg dibangun pasti ditinggal
NG Diminta bantuan dana kepada pemerintah atasan 1 unit
rumah 40 juta saya dengar ceritanya, jadi di Singosari
dibangun 15 rumah berarti hilang 10 unit, disini dibangun
10 unit berarti hilang 15 unit. Sementara rumah yg
dibangun keadaan dana yg habis utk 1 unit rumah hanya 15
juta berarti dalam 1 unit itu sudah korupsi 25 juta. Itu sudah
saya lapor waktu Menteri Sosial datang ke Mushola kami,
meskipun rumah sederhana tidak seperti yg dibayangkan
tetapi harus cukup unit jadi masyarakat SAD bisa menutupi

Universitas Indonesia
210

masalahnya. Itu orang kerja mau makan pemborong mau


untung itu istilahnya. Tapi saya protes dengan Mensos
karena menurut janji pemerintah dibantu 50 unit nyatanya
Cuma 25 unit. Harga 1 unit 15 juta sisa 25 juta kemana sisa
uang
Ya karena SAD sudah menjual rumah kepada mereka,
karena tidak betah tinggal dirumah kemudian mereka balik
lagi ke rimba. Karena pikiran mereka tidak begitu
mendalam, mereka pikir utk apa tinggal dirumah TSM
(Trans Swakarsa Mandiri) yang hanya 10x20 meter, tidak
mungkin anak cucu bisa hidup dilahan yg sempit itu dan
juga setelah menunggu sekian lama sertifikatnya tidak
keluar-keluar itu yg bingung, jadi seolah-olah kita ini
diperbudak kemana lagi kita akan lari. Jadi kalau dinilai
perhatian pemerintah kepada SAD itu tidak begitu... masih
kurang lah
MJ ada 10 unit rumah dibangun pada tahun 2004, sifatnya
karena asal-usulnya bukan kepunyaan mereka akhirnya
ditinggalkan. Itu dulu yg bangun dari Dinas Sosial tetapi
karena tidak dibarengi dengan jadup yg seimbang akhirnya
tidak bertahan lama, kita coba keluarkan dari dalam kita
bangunkan rumah tidak tahan juga,
Dulu itu kita bangunkan rumah lalu kita ajak keluar,
memang dulu itu yang meminta hanya 5 orang tetapi kita
bangunkan 20, yang 15 orang ini ikut-ikutan. Jadi yg lebih
baik ke depan kalau yg butuh 5 orang ya hanya
dibangunkan 5 unit saja
JD Tapi yg paling penting itu sebenarnya bagi mereka adalah
dari segi ekonomi itu yg belum terpikirkan, bukan
perumahan

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai