Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

Kritik Ibnu Rusyd terhadap Imam Al-Ghazali


(Kitab Tahafut al- Tahafut)
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Islam
Dosen Pengampu: Ust. Ikhwan Amalih, S.Ud., M.Fil.I

Oleh:
Rizal Maulana
Irandio Anggala
Semester: III (IQT)

FAKULTAS USHULUDDIN
PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
INSTITUT DIROSAT ISLAMIYAH AL-AMIEN PRENDUAN
SUMENEP MADURA
2022 M.
PENDAHULUAN

Kehadiran peradaban Islam telah mewarnai jejak perkembangan keilmuan


islam yang mengubah masyarakat dari ketidaktahuan, kebodohan, diskriminasi
perempuan dan lain sebagainya. Kemajuan ilmu pengetahuan telah mendorong
perkembangan fikiran manusia menjadi lebih tajam.
Pada masa kerajaan Abbasiyah didirikan “Bayt al-Hikmah” rumah
kebijaksanaan temapat pengkajian dan penerjemahan buku-buku dilakukan. 1
Kemajuan islam dan keterbukannya membuat banyak ilmuan islam yang mengkaji
pengetahun diluar Islam termasuk juga karya filosof, kedokteran, hingga
pengetahuan dari peradaban India, Persia dan Yunani.
Pada zaman ini pendirian istana selalu berdampingan dengan pendirian
bangunan sekolah dan perpustakaan. Ketersediaan fasilitas dari penguasa Islam
menjadi kajian terhadap pengetahuan semakin berkembanglebih jauh. Wazir yang
terkenal dari kerajaan Abbasiyah Nizam al-Mulk terkenal dengan seorang sosok
pemimpin yang peduli terhadap pendidikan dengan mendirikan Madrasah
Nizamiyah untuk mencetak calon intelektual Islam.2
Madrasah Nizamiyah menjadi pencetak generasi seperti Al-Ghazali yang
termasuk tokoh terkemuka dalam dunia Islam. Al-Ghazali semakin terkenal dalam
dunia Islam, setelah menulis sebuah buku yang berjudul “Tahafut al-Falasifah”
kerancuan para filosof dalam tiga hal yakni qadimnya alam, pengetahuan tuhan
hanya meliputi hal yang universal dan perkara bangkitnya jasad di hari kemudian.3
Kemunculan seorang Intelektual Islam yang menjadi pengritik pemikiran
Al-Ghazali muncul dari dunia barat Islam. Tumb uh dan berkembang di Andalusia
(Spanyol) yang berinteraksi dengan berbagai perbedaan-perbedaan, tapi tetap
tumbuh dengn menghargai segala perbedaan. Pemikiran-pemikiran brillian beliau

1
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Dirasah Islamiyah II) (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2014), h. 53.
2
Akilah Mahmud, Jejak Pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd dalam perkembangan teologi
Islam, (Selesana,Vol. 12, No. 2 tahun 2029) h. 184
3
Ibid, h. 184
tumbuuh dari berbagai perbedaan. Namun, kritik Ibnu Rusyd terhadap pemikiran
Al-Ghazali tidak berbanding lurus dengan penerimaan ummat Islam. 4
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dijelaskan bagaimana komentar
Ibnu Rusyd terhadap pemikiran Al-Ghazali mengenai hal-hal yang Al-Ghazali
komentari terutama mengenai 3 perkara yang dihukumi murtad oleh Al-Ghazali.
Al-Ghazali sengaja memilih kata “kerancuan”, seperti yang di nyatakan
dalam bukunya pada mukaddimah pertama, dengan tujuan, “ingin
mendeskripsiakan kontradiksi dan kerancuan pemikiran diantara para filsuf.
Kata “tahfut” yang disandarkan (mudlaf) kepada kata “al-falasifah”
bermakna “kerancuan”. Maksudnya, kerancuan para filosof, yaitu kerancuan
pemikiran mereka serta kontradiksi yang terjadi. Kiranya, kata ini merupakan kata
yang tepat untuk menggambarkan betapa lemag daya nalar kaum filosof itu,
demikian yang diinginkan tampaknya oleh al-Ghazali. Mengan memberika
predikat semacam itu, al-ghazali dapat dikategorikan sebagai seorang yang keras
terhadap para filosof.5

4
Akilah Mahmud, Jejak Pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd dalam perkembangan teologi
Islam, (Selesana,Vol. 12, No. 2 tahun 2029) h. 186
5
Ibnu Rusyd, Tahafut at- Tahafut, (Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2004), h. 8-9
PEMBAHASAN
Ibnu Rusyd dikenal oleh banhak orang sebagai filosof yang menentang
Al-Ghazali. Hal ini terlihat dlam bukunya yang berjudul Tahafut al-Tahafut,
yang merupakan reaksi buku al-Ghazali yang berjudul Tahafut al-Falasifah.
Dalam bukunya, Ibnu Rusyd membela pendapat-pendapat ahli filsafat Yunani
dan Umat Islam yang telah diserang habis-habisan oleh al-Ghazali. Sebagai
pembela Aristoteles (filsafat Yunani), tentunya Ibnu Rusyd menolak prinsip
Ijraul-Adat dari al-Ghazali. Begitu pula al-Farabi, dia juga mengemukakan
prinsip hukum kausal dari Aristoteles.6
Sehubungan dengan adanya pengkafiran Al-Ghazali terhadap para filsuf,
dalam rangka pembelaan itulah ia menulis buku Tahafut al-Tahafut (Kerancuan
dalam kerancuan).7 Nama Ibnu Rusyd mulai kontroversial ke public ketika dia
menjawab kritikan al-ghazali mengenai hal-hal yang diaanggap sesat oleh al-
Ghazali.
Abu Al-walid Muhammad Ibnu Ahmad Muhammad Ibnu Rusyd yang
lahir di Cordova pada tahun 510 H ini lebih popular dengan nama averroes
lahir dari keluarga seorang Qodi’ (hakim) dengan berbagai prestasinya di
bidang hukum. Disamping itu, dia juga merupakan seorang filsuf yang terkenal
diantara kalangan umat islam, dan merupakan guru besar dalam ilmu
pengetahuan dan filsafat di Eropa. Filsafatnya telah menyebar dari Andalusia
ke daratan Eropa sekarang.

“Meluruskan” Takfir al-Ghazali

Imam al-Ghazali mengkafirkan para filsuf dalam tiga masalah 1)


Keqadiman Alam, 2) Allah tidak mengetahui hal-hal yang kecil-kecil (juziyat)
dan 3) Pengingkaran kebangkitan dan pengumpulan jasad di hari kiamat.8

Masalah Pertama
6
Armin Tedy, Kritik Ibnu Rusyd terhadap tiga kerancuan berfikir al-Ghazali, (El-Afkar Vol 5
Nomor 1, Januari-Juni 2026), h. 14
7
Ibid, 15
8
Ahmad Fuad al-Ahwany, “Segi-Segi Pemikiran Filsafat Dalam Islam”, Dalam Ahmad Daudy
(ed.) (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 66
Masalah Eternalitas Alam (Qadimnya Alam)
Berkenaan dengan masalah ini, antara kaum teologi dan kaum filosof,
memang terdapat perbedaan tentang arti ‫ اإلحداث‬dan ‫ قديم‬. bagi kaum teolog “al-
ihdas” mengandung arti menciptakan dari tiada. Sementara itu, menurut kaum
filsuf kata itu berarti menciptakan dari “ada”. Adam (tiada), kata Ibn Rusyd tidak
bisa dirubah menjadi wujud (ada). Yang terjadi adalah wujud berubah menjadi
wujud dalam bentuk lain.9
Menurut Al-Ghazali, pendapat para filsuf bahwa alam kekal dalam arti
tidak bermula tidak dapat diterima kalangan teologi Islam, karena menurut teologi
Islam, Tuhan adalah pencipta yang dimaksud pencipta ialah mengadakan sesuatu
dari tiada (creatio ex nihilo). Kalau alam dikatakan tidak bermula, berarti alam
bukanlah diciptakan, dengan demikin tuhan bukanlah pencipta. Pendapat inilah
yang memunculkan bentuk kekafiran.
Ibnu Rusyd, begitu pula para filsuf lainnya, berpendapat bahwa creato ex
nihilo tidak mungkin terjadi dari yang tidak ada atau kekosongan. Yang mungkin
terjadi ialah “ada” yang berubah menjadi “ada” dalam bentuk lain.10
Pendapat Ibnu Rusyd mengenai hal ini bersandar pada surah Ibrahim ayat
47-48 yang artinya: “Karena itu janganlah sekali-kali kamu mengira Allah akan
menyalahi janji-Nya kepada rasul-rasul-Nya; sesungguhnya Allah Maha Perkasa,
lagi mempunyai pembalasan. (Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi
yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka semuanya (di padang Mahsyar)
berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa”11
Menurut Ibnu Rusyd ayat tersebut mengandung arti bahwa sebelum
adanya bumi telah ada wujud lain, yaitu wujud air yang diatasnya terdapat tahta
kekuasaan Tuhan, dan kemudian adanya masa sebelum masa diciptakannya langit
dan bumi. Tegasnya, sebelum langit dan bumi diciptakan, telah ada air, tahta, dan
masa.12

9
Ibn Rusyd, Tahafut at-Tahafut, Tahqiq Sulaiman Dunia, Kairo, Dar al Ma’arif, 1964, hlm. 362
10
Armin Tedy, Kritik Ibnu Rusyd terhadap tiga kerancuan berfikir al-Ghazali, (El-Afkar Vol 5
Nomor 1, Januari-Juni 2026), h. 15
11
Depag RI, opcit, Al-Qur’an dan Terjemahan, h.102
12
Armin Tedy, Kritik Ibnu Rusyd terhadap tiga kerancuan berfikir al-Ghazali, (El-Afkar Vol 5
Nomor 1, Januari-Juni 2026), h. 15-16.
Dalam pemikiran al-Ghazali, ketika tuhan menciptakan alam, yang ada
hanya Tuhan. Tidak ada sesuatu yang lain selain Tuhan. Terhadap pemikiran al–
Ghazali tersebut Ibn Rusyd mengajukan bantahannya, bahwa ketika Tuhan
menciptakan alam sudah ada sesuatu di samping nya. Dari sesuatu yang telah ada
itulah Tuhan menciptakan alam.
Untuk memperkuat bantahannya Ibn Rusyd mengemukakan beberapa ayat
dalam al-Qur’an QS. Hud: 7, “Dan Dialah yang menciptakan langit-langit dan
bumi dalam enam hari dan tahta Nya (pada waktu itu) berada di atas air, agar Ia
uji siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya”13

Masalah Kedua
Tuahan Tidak Mengetahui Perincian (Juz’iyat)
Allah yang maha mengetahui segala yang di langit dan juga yang di bumi
walaupun sekecil biji zarrah sekalipun tidak akan luput dari pengetahuan Allah,
dan telah digariskan dengan jelas dalm al-Qur’an, sehingga telah menjadi sesuatu
yang lazim bagi kalangan umat Islam. Namun ada perbedaan pendapat mengenai
bagaimana Allah mengetahui hal-hal yang parsial (juz’iyat).
Mengenai pernyataan yang mengatakan bahwa “Tuhan hanya mengetahui
tentang diri-Nya, atau pernyataan yang menyatakan bahwa Tuhan Maha Segala
Tahu, tetapi pengetahuan-Nya itu bersifat kulli”, tidak dapat dibenarkan.
Kemudian al-Ghazali Menyanggah pernyataan tersebut. Menurut Al-
Ghazali, setiap yang maujud ini diciptakan karena kehendak Tuhan, dan juga
setiap yang terjadi di alam ini atas kehendak-Nya. Maka tentulah seluruhnya itu
diketahui oleh Tuhan, sebab yang berkehendak haruslah mengetahui yang
dikehendakinya. Jadi, Tuhan tentunya mengetahui segala sesuatu yang secara
rinci.14
Mengenai pendapat al-Ghazali di atas, Ibnu Rusyd menyangkal bahwa
pendapat tersebut, tidaklah seperti yang ditudingkan. Semuanya harus dilihat
apakah pengetahuan Tuhan itu bersifat qadim atau hadis terhadap peristiwa kecil
13
Muhammad Mahfud Ridwan, Kafirnya Filsuf Muslim: Ibnu Rusyd Meluruskan al-Ghazali,
(Kontemplasi, Voleume 04 No. 01, Agustus, 2016). h. 171
14
Armin Tedy, Kritik Ibnu Rusyd terhadap tiga kerancuan ………, h. 17
itu. Dalam konteks ini, Ibnu Rusyd membedakan ilmu qadim dan ilmu baru
terhadap hal kecil tersebut.
Ibn Rusyd rupanya mengklarifikasi permasalahan yang diungkap oleh Al-
Ghazali. Menurut Ibn Rusyd, Al-Ghazali dalam hal ini salah paham, sebab para
filsuf tidak ada yang mengatakan demikian, yang ada ialah pendapat mereka
bahwa pengetahuan tentang perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan
pengetahuan manusia tentang perincian itu.
Jadi menurut Ibn Rusyd, pertentangan antara Al-Ghazali dan para filsuf
timbul dari penyamaan pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia.
Pengetahuan manusia tentang perincian diperoleh melalui panca indera, dan
dengan panca indera itulah pengetahuan manusia tentang sesuatu selalu berubah
dan berkembang sesuai dengan penginderaan yang dicernanya. Sedangkan
pengetahuan tentang kulliyah diperoleh melalui akal dan sifatnya tidak
berhubungan langsung dengan rincian-rincian (juziyyah).15
Dan juga mengenai tuduhan al-Ghazali ini, Ibnu Rusyd memberikan
sanggahan bahwa tuhan mengetahui sesuatu dengan dzatNya. Pengetahuan tuhan
tidak bersifat juz’I maupun bersifat kulli. Pengetahuan tuhan tidak mungkin sama
dengan manusia, karena pengetahuan tuhan merupakan sebab dari wujud,
sedangkan pengetahuan manusia adalah akibat.16
Jadi, bagi Ibnu Rusyd bahwa tuhan tidak mengetahui peristiwa-peristiwa
kecil. Tuhan tida mengetahui hal itu dengan ilmu baru, dimana syarat ilmu baru
itu dengan kabaharuan peristiwa dan perincian tersebut. Ilmu tuhan bersifat qadim
tidak berubah, karena perubahan peristiwa ini. Ini dimaksud untuk menjaga
kesucian Tuhan yang Maha Mengetahui segala-galanya.17

Masalah Ketiga
Kebangkitan Jasmani Tidak Ada
Maslah ketiga yang digugat oleh al-ghazali adalah tentang kabangkitan
jasmani. Dalam masalah ini, para filosof menolak konsep kebangkitan jasmani,
15
Ibid, h. 17
16
Ibn. Rusyd, Tahafut at Tahafut, Tahqiq Sulaiman Dunia, Kairo, Dar al-Ma’arif, 1964, h. 711
17
Muhammad Mahfud Ridwan, Kafirnya Filsuf Muslim…… h. 173
karena mereka menganggap hal tersebut mustahil. Menurut para filosof Jasad
merupakan usnsur jasmani yang mana ketika telah mati akan diproses oleh alam.
Proses alam yang panjang itu tidak menutup kemungkinan untuk merubah unsur
pertama menjadi bagian dari fisik manusia yang lain. Dengan demikian, jika
kebangkitan manusia dalam bentuk fisiknya yang semula, maka terdapat
kemungkinan manusia yang dibangkitkan dalm bentuk fisik yang tidak
sempurna.18
Pendapat al-Ghazali bertentanagn dengan dengan para filosof di atas. Al-
Ghazali berpendapat bahwa jiwa manusia tetap wujud sesudah mati karena ia
merupakan substansi yang berdiri sendiri. Kemudian al-ghazali mengungkapkan
“hal tersebut bertentangan dengan seluruh keyakinan muslim, keyakinan mereka
yang mengatakan bahwa badan jasmani tidak akan dibangkitkan pada hari kiamat,
tetapi jiwa (roh) yang terpisah dari badan yang akan diberi pahala atau hukuman,
dan pahala atau hukuman itupun akan bersifat spiritual dan bukannya bersifat
jasmaniah. 19
Perdebatan di atas sebenarnya adalah perdebatan antara para filosof dan
Al-Ghazali. bukan antara Ibnu Rusyd dan Al-Ghazali. Namun, karena adanya
pendidikan yang dikenyam Ibnu Rusyd adalah dari para filosof atau bahkan
"kebencian" Ibn Rusyd terhadap Al-Ghazali, maka Ibn Rusyd tidak tinggal diam
dengan kecaman Al-Ghazali terhadap para filosof. Perdebatan Al-Ghazali dan
Ibnu Rusyd pun terjadi.
Dalam menyikapi hal tersebut, Ibnu Rusyd membantah dengan mencoba
menggambarkan kebangkitan rohani melalui analogi tidur. Ketika manusia tidur,
jiwa tetap hidup, begitulah pula ketika manusia meninggal, maka badan akan
hancur, jiwa tetap hidup bahkan jiwalah yang akan dibangkitkan.20

Kesimpulan

18
Armin Tedy, Kritik Ibnu Rusyd terhadap tiga kerancuan berfikir al-Ghazali…… h. 18
19
Ibid, h. 18
20
Ibid, h.18
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tentang respon atau
sanggahan Ibnu Rusyd terhadap pemikiran fislafat Al-Ghazali, yaitu:
1. Imam Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah telah menyatakan kekafiran
kepada para filosof disebabkan tiga hal, yaitu adanya keyakinan mereka
bahwa alam adalah qadim (ada tanpa permulaan), Allah tidak mengetahui
segi-segi juz’iyyat dan Interpretasi mereka tentang kebangkitan jasmani (dari
kubur) serta kehidupannya sesudah mati hal tersebut dianggap menyesatkan
umat
2. Sedangkan respon Ibnu Rusyd terhadap kritikan filsafa Al-Ghazali tentang
hal-hal di atas adalah:
a. Pertama Jawaban Ibnu Rusyd alam qadim yaitu Tuhan menciptakan alam
sudah ada sesuatu disamping Tuhan. Dari sesuatu yang telah ada dan
diciptakan Tuhan, itulah Tuhan menciptakan alam. Untuk memperkuat
bantahannya Ibn Rusyd mengemukakan beberapa ayat dalam al-Qur’an.
b. Kedua Allah tidak mengetahui segi-segi juz’iyyat. Jawaban Ibnu Rusyd
yaitu bahwa Allah tidak mengetahui segi-segi juz’iyyat Ibnu Rusyd
menjawab bahwa pengetahuan Tuhan tidak bersifat Juz’iyat maupun
bersifat kulli sebagaimana manusia, pengetahuan Tuhan tidak mungkin
sama dengan pengetahuan manusia.
c. Ketiga tentang kebangkitan jasmani (dari kubur) serta kehidupannya
sesudah mati hal tersebut dianggap menyesatkan umat. Ibnu Rusd
membantah gugatan Al-Ghazali, dan mencoba untuk menggambarkan
kebangkitan rohani melalui analogi tidur. Dalam rangka menjawab semua
kritikan Al-ghazali tersebut, Ibnu Rusyd mengarang kitab Tahaafut al-
Tahaafut untuk menentang pemikiran-pemikiran Al-Ghazali dan membela
pendapat-pendapat para filosof yang dikritik hujjat al-Islaam itu yang
bertujuan untuk meluruskan pemahaman al-Ghazali dan agar filsafat dapat
diterima oleh orang muslim maupun non-muslim.

Daftar Pustaka

Ahmad Fuad al-Ahwany, “Segi-Segi Pemikiran Filsafat Dalam Islam”, Dalam Ahmad Daudy (ed.)
(Jakarta: Bulan Bintang, 1984)

Akilah Mahmud, Jejak Pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd dalam perkembangan teologi Islam,
(Selesana,Vol. 12, No. 2 tahun 2029)

Armin Tedy, Kritik Ibnu Rusyd terhadap tiga kerancuan berfikir al-Ghazali, (El-Afkar Vol 5
Nomor 1, Januari-Juni 2006)

Depag RI, opcit, Al-Qur’an dan Terjemahan,

Ibn Rusyd, Tahafut at-Tahafut, Tahqiq Sulaiman Dunia, Kairo, Dar al Ma’arif, 1964
Ibnu Rusyd, Tahafut at- Tahafut, (Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2004), h. 8-9

Muhammad Mahfud Ridwan, Kafirnya Filsuf Muslim: Ibnu Rusyd Meluruskan al-Ghazali,
(Kontemplasi, Voleume 04 No. 01, Agustus, 2016)

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Dirasah Islamiyah II) (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2014)

Anda mungkin juga menyukai