Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

Latar belakang

Keluerga berencana menurut World Health Organization (WHO) adalah tindakan yang

membantu individu atau pasangan suami-istri untuk menghindari kelahiran tidak di inginkan,

mendapatkan kelahiran yang di inginkan, mengatur interval diantara kelahiran, mengontrol

waktu kelahiran dalam hubungan dengan umur suami dan istri, serta menentukan jumlah anak

dalam keluarga (Setyani, 2019).

Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat. Keluarga di definsikan dengan istilah

kekerabatan dimana invidu bersatu dalam suatu ikatan perkawinan dengan menjadi orang tua.

Dalam arti luas anggota keluarga merupakan mereka yang memiliki hubungan personal dan

timbal balik dalam menjalankan kewajiban dan memberi dukungan yang disebabkan oleh

kelahiran, adopsi, maupun perkawinan (Stuart,2014).

Keluarga berencana merupakan usaha untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas

melalui promosi, perlindungan, dan bantuan dalam mewujudkan hak-hak reproduksi serta

penyelenggaraan pelayanan, pengaturan dan dukungan yang diperlukan untuk membentuk

keluarga dengan usia kawin yang ideal, mengatur jumlah, jarak, dan usi ideal melahirkan anak,

mengatur kehamilan dan membina ketahanan serta kesejahteraan anak (BKKBN, 2015).

Pemerintah Indonesia telah mencanangkan berbagai program untuk menangani masalah

kependudukan yang ada. Salah satu programnya dengan keluarga berencana nasional sebagai

integral dari pembangunan nasional yang mempunyai tujuan ganda yaitu menunjukkan keluarga
kecil bahagia sejahtera Keadaan ini dapat dicapai dengan menganjurkan PUS untuk mengikuti

Program KB (BKKBN,2016). Tercatat jumlah peserta KB baru sampai dengan bulan Mei 2020

sebesar 2.015.089 akseptor. Capaian peserta KB baru mengalami penurunan secara signifikan

pada bulan april dan mei karena dampak dari wabah covid-19 (BKBBN, 2020).

Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk ke empat terbesar di dunia setelah

Tiongkok, India, dan Amerika Serikat, yaitu sebesar 270,2 juta jiwa dengan laju pertumbuhan

penduduk sebesar 1,25 persen (BPS, 2021). Selanjutnya, jumlah penduduk beberapa tahun ke

depan diprediksi terus bertambah dan diperkirakan akan terjadi ledakan penduduk pada tahun

2030. Tingginya pertumbuhan penduduk ini terjadi karena masih tingginya angka fertilitas total

atau Total Fertility Rate (TFR) di Indonesia, yaitu 2,4 anak per wanita, artinya seorang wanita di

Indonesia rata-rata melahirkan 2-3 anak selama masa hidupnya.TFR tersebut belum bisa

diturunkan oleh sesuai yang ditargetkan pada Rencana Strategis Badan Kependudukan dan

Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2020-2024, yaitu target 2021 sebesar 2.24 anak

per wanita (BKKBN, Kemenkes, dan BPS, 2018)

Persentase penggunaan Alat Kontrasepsi di Dunia pada tahun 2019 yaitu Akseptor MOW

24%, akseptor MOP 2%, akseptor IUD 17%, akseptor Implant 2%, akseptor suntik 8%, akseptor

Pil 16%, akseptor Kondom 21%, 2 akseptor Kalender 3%, akseptor Coitus Interreptus 5%, dan

akseptor KB alami 2%. (WHO,2019). Peserta KB Baru Indonesia pada tahun 2016 sebesar

6.663.156 orang. Persentase Kontrasepsi adalah akseptor Implant (11,37%), akseptor IUD

(7,23%), akseptor MOW (1,73%), akseptor MOP (0,18%), akseptor Suntik (51,53%), akseptor

Pil (23,17%) akseptor Kondom (4,78%) (BKKBN,2016). Di Provinsi Jambi menurut Badan

Pusat Statistik Provinsi Jambi Askeptor kb aktif tahun 2021 sebesar 59,22% (BPS Provinsi
Jambi 2022). Sedangkan di Kota Sungai Penuh menurut Badan Pusat Statistik Kota Sungai

Penuh Askeptor kb aktif tahun 2021 sebesar 58,10% (BPS Kota Sungai Penuh).

Pemerintah lebih menekankan penggunaan alat kontrasepsi MKJP karena dianggap lebih

efektif dan angka kegagalannya lebih rendah dibandingkan dengan alat kontrasepsi pil, kondom

maupun suntikan (Kusumaningrum. 2015:69). Banyaknya pPenduduk yang menggunakan non

MKJP berdampak terhadap angka kegagalan kontrasepsi cukup tinggi (Rosmadewi, 2015).

Pemilihan metode kontrasepsi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu umur, tingkat

pendidikan, paritas, dan sosial ekonomi. Beberapa aspek yang harus dipertimbangkan dalam

memilih kontrasepsi adalah derajat status kesehatan, kemungkinan efek samping yang timbul,

risiko kegagalan atau kehamilan yang tidak dikehendaki, jumlah kisaran keluarga yang

diharapkan, persetujuan suami atau istri, nilai-nilai budaya, lingkungan, serta keluarga.

(Indahwati L, Ratnawati L, Wulandari DT, 2017).

Berdasarkan penelitian Fenti Hasnani (2019), dapat dilihat banyaknya pengguna yang

menggunakan metode kontrasepsi hormonal menandakan semakin baik pengetahuan ibu.

Pengetahuan merupakan salah satu faktor dalam pemilihan kontrasepsi. Selain itu juga

terbatasnya metode yang tersedia faktor lain juga diantaranya umur, pendidikan, paritas dan

sosial ekonomi.

Berdasarkan data dari puskesmas, didapatkan pengguna kontrasepsi hormonal lebih banyak

dibandingkan dengan pengguna kontrasepsi non hormonal. Berdasarkan pengamatan wanita usia

subur mengalami kesulitan dalam menentukan pilihan jenis kontrasepsi.berdasarkan penelitian

oleh Kurniawan 2008 dapat dilihat banyaknya pengguna yang -menggunakan metode kontrasepsi
hormonal menandakan semakin baik pengetahuan ibu. Pendidikan merupakan salah satu faktor

dalam pemilihan kontrasepsi.

Berdasarkan data Keluarga Berencana Januari – Desember 2021 di Puskesmas Tanjung

terdapat 338 Wanita Usia Subur yang menggunakan alat kontrasepsi. Sedangkan dari bulan

januari-agustua 2022 terdapat 104 askeptor kb., Penelitian ini di lakukan dari bulan mei –

oktober 2022, populasi pada penelitian ini adalah 90 askeptor kb aktif dan responden dari

penelitian ini adalah 30 akseptor kb aktif.

Berdasarkan latar belakang tersebut bahwa penggunaan program Keluarga Berencana

mengalami kenaikan pada bulan januari-jili 2022. Oleh sebab itu sehubungan dengan kondisi

diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

Akseptor KB Dalam Memilih Kontrasepsi Di Puskesmas Tanjung, Kota Sungai Penuh.

Anda mungkin juga menyukai