Anda di halaman 1dari 3

PERTEMUAN VI

Pertemuan VI

Kewarisan di Minangkabau

1. Kekerabatan di Minangkabau

Suku Minangkabau merupakan suku yang cukup unik di Indonesia dengan


masyarakatnya yang menganut sistem kekerabatan matrilineal. Bahkan ada yang
menganggap kebudayaan Minangkabau sebagai suatu masyarakat dengan sistem
kekeluargaan yang ganjil diantara suku-suku bangsa yang lebih dahulu maju di
Indonesia. Dan sistem kekeluargaan  Matrilineal ini biasanya pula dianggap
sebagai salah satu unsur yang memberi identitas kepada kebudayaan
Minangkabau
Prinsip kekerabatan matrilineal masyarakat Minangkabau mengatur hubungan
kekerabatan melalui garis ibu. Dengan prinsip ini, seorang anak akan mengambil
suku ibunya. Dalam sistem kekerabatan matrilineal, satu rumah gadang  dihuni
oleh satu keluarga besar. Rumah ini berfungsi untuk kegiatan-kegiatan adat dan
tempat tinggal. Keluarga yang mendiami rumah gadang adalah orang-orang yang
seketurunan yang dinamakan saparuik (dari satu perut) atau setali darah menurut
garis keturunan ibu. Ibu, anak laki-laki dan anak perempuan dari ibu, saudara laki-
laki ibu, saudara perempuan ibu serta anak-anaknya, atau cucu-cucu ibu dari anak
perempuannya disebut saparuik, karena semua mengikuti ibunya. Sedangkan ayah
(suami ibu) tidak termasuk keluarga di rumah gadang istrinya, akan tetapi menjadi
anggota keluarga dari paruik rumah gadang tempat ia dilahirkan (ibunya)

Garis turunan ini juga mempunyai pengaruh pada penerusan harta warisan,
dimana seorang anak akan memperoleh warisan menurut garis ibu. Warisan yang
dimaksud adalah berupa harta peninggalan yang sudah turun-temurun menurut
garis ibu.
Di Minangkabau harta warisan (pusaka) dapat dikelompokkan dua macam, yaitu
pusaka tinggi dan pusaka rendah.  Pusaka tinggi adalah harta yang diwarisi dari
ibu secara turun-temurun; sedangkan pusaka rendah adalah warisan dari hasil
usaha ibu dan bapak selama mereka terikat perkawinan.
Konsekwensi dari sistem pewarisan pusaka tinggi, setiap warisan akan jatuh pada
anak perempuan; anak laki-laki tidak mempunyai hak memiliki—hanya hak
mengusahakan; sedangkan anak perempuan mempunyai hak memiliki sampai
diwariskan pula kepada anaknya. Seorang laki-laki hanya boleh mengambil
sebagian dari hasil harta warisan sesuai dengan usahanya—sama sekali tidak
dapat mewariskan kepada anaknya.
2. Sekilas Gambaran Kewarisan di Minangkabau

Pelaksanaan pembagian harta peninggalan berbeda antara satu daerah dengan daerah
lainnya. Hal ini dikarenakan perbedaan adat dan kebiasaan serta dipengaruhi oleh
sistem kekerabatan yang dianut masyarakat.

Kewarisan di Minangkabau berbeda dengan suku lainnya. Hal ini dikarenakan


perbedaan adat dan kebiasaan serta dipengaruhi oleh sistem kekerabatan yang dianut
masyarakat. Masyarakat Minangkabau dengan system kekerabatan matrilinial
menerapkan system pewarisan kolektif terhadap harta pusaka tinggi. Sedangkan
terhadap harta pencaharian (pusaka rendah) diterapkan hukum fara’idh.

Hazairin memandang bahwa waris adat Minangkabau menganut sistem kolektif,


karena harta peninggalan diwarisi secara bersama-sama (sekumpulan ahli waris) dan
tidak dapat dibagi-bagi.Menurut Hazairin masyarakat yang dikehendaki Al Qur’an
adalah masyarakat bilateral dan masyarakat yang menganut sistem patrilinial dan
matrilineal adalah penyimpangan.

Sedangkan Amir Syarifuddin berpendapat bahwa sistem pewarisan kolektif terhadap


harta pusaka tinggi di Minangkabau tidak bertentangan dengan syari’at Islam karena
tidak diatur dalam Alqur’an dan Hadits. Al-Qur’an hanya mengatur peralihan harta
waris menjadi hak masing-masing ahli waris, sehingga harta pusaka tinggi ini
terhindar dari ketentuan hukum faraidh. Beliau berargumen bahwa pembagian waris
adalah menyangkut hak hamba, dan terhadap hak hamba tersebut boleh  menyimpang
dari ketentuan syari’at jika dilakukan atas dasar adanya kerelaan para pihak.

Dan pewarisan harta di Minangkabau dalam perspektif Kompilasi Hukum Islam.


terdapat beberapa persamaan dan perbedaan. Persamaannya terdapat pada konsep
pewarisan harta pusaka rendah, yaitu bahwa pusaka rendah termasuk harta warisan
dalam Kompilasi Hukum Islam karena ia dimiliki secara Milk al-Raqabah,
persamaannya selanjutnya pada pewarisan dengan sistem kolektif, hal ini terdapat
dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 183 dan pasal 189,
Sedangkan perbedaannya terdapat pada harta pusaka tinggi, yang mana pusaka tinggi
tidak bisa digolongkan kepada harta warisan. Jadi bisa disimpulkan bahwa sistem
pewarisan harta dalam adat Minangkabau tidak bertentangan dengan hukumIslam

3. Pelaksanaan Kewarisan Harta di Minangkbau

Hukum waris menurut hukum adat Minangkabau senantiasa merupakan masalah yang
aktual dalam berbagai pembahasan. Hal itu mungkin disebabkan karena keunikannya
bila dibandingkan dengan sistem hukum adat waris dari daerah-daerah lain
di Indonesia. Polemik hukum waris Islam yang mungkin juga agak menggelitik
adalah persoalan mengenai persentuhannya dengan hukum adat. Kenyataan inilah
yang memunculkan teori bahwa sebenarnya masyarakat Adat Minangkabau setelah
masuknya agama Islam hingga saat ini tidak hanya menerapkan satu sistem kewarisan
saja seperti selama ini di kenaI, tetapi terdapat dualisme Sistem Kewarisan dalam
pelaksanaan warisnya, yaitu: Pertama, Sistem Kewarisan Kolektif-Matrilinial yang
diberlakukan pada Harta Pusaka Tinggi; dan, Kedua, Sistem Kewarisan Individual-
Bilateral yang diberlakukan pada Harta Pusaka Rendah.
Masalah ini juga sudah diputuskan pada Kerapatan Orang Empat Jenis yang
berlangsung di Bukittinggi tanggal 02-04 Mei 1952. ditetapkan dua prinsip pokok
dalam penyelesaian harta peninggalan, yaitu : a. Harta pusaka tinggi yang telah
didapati turun temurun dari nenek moyang menurut garis ibu, diturunkan menurut
sepanjang adat
b. Harta pencaharian yang menurut adat bernama harta pusaka rendah Hasil dari
kesepakatan itu merupakan suatu kompromi antara tuntutan pihak agama dan tuntutan
pihak adat.
Pihak agama telah melepaskan harta pusaka untuk diwariskan secara adat dan
mendapatkan lapangan harta pencaharian untuk diwariskan sesuai dengan tuntutan
agama. Dan hasil kesepakatan yang dicapai dalam kerapatan tersebut dikuatkan pula
dalam Seminar Hukum Adat Minangkabau yang diadakan di Padang pada tanggal 21-
25 Juli 1968. Dalam keputusan huruf F dalam seminar ini menetapkan :
7 I. 1 Harta Pusaka di Minangkabau merupakan harta badan hukum yang diurus dan
diwakili oleh Mamak kepala waris diluar dan didalam pengadilan; 2 Anak
kemenakan dan Mamak Kepala Waris Matrilineal

Masyarakat Minangkabau dengan system kekerabatan matrilinial menerapkan system


pewarisan kolektif terhadap harta pusaka tinggi. Sedangkan terhadap harta
pencaharian (pusaka rendah) diterapkan hukum fara’idh.

Buku Sumber

1. Abdul Aziz Dahlan (ed), 1997, Esiklopedi Hukum Islam, Jakarta:PT Intermasa
2. Amir Syarifuddin. Hukum Kewarisan Islam, cet. II. 2015 Jakarta: Prenada
Media, 2015.
3. Amir Syarifudddin . 2003 Garis-Garis Besar Fikih, Jakarta:Prenadamedia

4. Ibnu Hajjar Al-Asqalany. 2002 Bulugh al-Maraam min Adillat al-Ahkaam.


Beirut: Dar al-Kutb al-Islamiyah
5. Diirektorat Pembinaan Peradilan Agama. . 2001. Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia . Departemen Agama RI : Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam
6. Hazairin’ 1982 Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur‟an dan Hadits.
Jakarta: Penerbit: Tintamas
7. https://isi-dps.ac.id/sistem-kekerabatan-di-minangkabau/

Anda mungkin juga menyukai