Pertemuan VI
Kewarisan di Minangkabau
1. Kekerabatan di Minangkabau
Garis turunan ini juga mempunyai pengaruh pada penerusan harta warisan,
dimana seorang anak akan memperoleh warisan menurut garis ibu. Warisan yang
dimaksud adalah berupa harta peninggalan yang sudah turun-temurun menurut
garis ibu.
Di Minangkabau harta warisan (pusaka) dapat dikelompokkan dua macam, yaitu
pusaka tinggi dan pusaka rendah. Pusaka tinggi adalah harta yang diwarisi dari
ibu secara turun-temurun; sedangkan pusaka rendah adalah warisan dari hasil
usaha ibu dan bapak selama mereka terikat perkawinan.
Konsekwensi dari sistem pewarisan pusaka tinggi, setiap warisan akan jatuh pada
anak perempuan; anak laki-laki tidak mempunyai hak memiliki—hanya hak
mengusahakan; sedangkan anak perempuan mempunyai hak memiliki sampai
diwariskan pula kepada anaknya. Seorang laki-laki hanya boleh mengambil
sebagian dari hasil harta warisan sesuai dengan usahanya—sama sekali tidak
dapat mewariskan kepada anaknya.
2. Sekilas Gambaran Kewarisan di Minangkabau
Pelaksanaan pembagian harta peninggalan berbeda antara satu daerah dengan daerah
lainnya. Hal ini dikarenakan perbedaan adat dan kebiasaan serta dipengaruhi oleh
sistem kekerabatan yang dianut masyarakat.
Hukum waris menurut hukum adat Minangkabau senantiasa merupakan masalah yang
aktual dalam berbagai pembahasan. Hal itu mungkin disebabkan karena keunikannya
bila dibandingkan dengan sistem hukum adat waris dari daerah-daerah lain
di Indonesia. Polemik hukum waris Islam yang mungkin juga agak menggelitik
adalah persoalan mengenai persentuhannya dengan hukum adat. Kenyataan inilah
yang memunculkan teori bahwa sebenarnya masyarakat Adat Minangkabau setelah
masuknya agama Islam hingga saat ini tidak hanya menerapkan satu sistem kewarisan
saja seperti selama ini di kenaI, tetapi terdapat dualisme Sistem Kewarisan dalam
pelaksanaan warisnya, yaitu: Pertama, Sistem Kewarisan Kolektif-Matrilinial yang
diberlakukan pada Harta Pusaka Tinggi; dan, Kedua, Sistem Kewarisan Individual-
Bilateral yang diberlakukan pada Harta Pusaka Rendah.
Masalah ini juga sudah diputuskan pada Kerapatan Orang Empat Jenis yang
berlangsung di Bukittinggi tanggal 02-04 Mei 1952. ditetapkan dua prinsip pokok
dalam penyelesaian harta peninggalan, yaitu : a. Harta pusaka tinggi yang telah
didapati turun temurun dari nenek moyang menurut garis ibu, diturunkan menurut
sepanjang adat
b. Harta pencaharian yang menurut adat bernama harta pusaka rendah Hasil dari
kesepakatan itu merupakan suatu kompromi antara tuntutan pihak agama dan tuntutan
pihak adat.
Pihak agama telah melepaskan harta pusaka untuk diwariskan secara adat dan
mendapatkan lapangan harta pencaharian untuk diwariskan sesuai dengan tuntutan
agama. Dan hasil kesepakatan yang dicapai dalam kerapatan tersebut dikuatkan pula
dalam Seminar Hukum Adat Minangkabau yang diadakan di Padang pada tanggal 21-
25 Juli 1968. Dalam keputusan huruf F dalam seminar ini menetapkan :
7 I. 1 Harta Pusaka di Minangkabau merupakan harta badan hukum yang diurus dan
diwakili oleh Mamak kepala waris diluar dan didalam pengadilan; 2 Anak
kemenakan dan Mamak Kepala Waris Matrilineal
Buku Sumber
1. Abdul Aziz Dahlan (ed), 1997, Esiklopedi Hukum Islam, Jakarta:PT Intermasa
2. Amir Syarifuddin. Hukum Kewarisan Islam, cet. II. 2015 Jakarta: Prenada
Media, 2015.
3. Amir Syarifudddin . 2003 Garis-Garis Besar Fikih, Jakarta:Prenadamedia