Anda di halaman 1dari 11

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kajian Teori

Untuk memandu peneliti agar tetap fokus terhadap penelitian yang akan

dilaksanakan serta memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan

sebagai bahan pembahasan hasil penelitian, peneliti mengutip beberapa teori-

teori yang terkait dengan penelitian yang akan dilakukan. Teori-teori tersebut

dintaranya sebagai berikut:

1. Peran Kepala Sekolah

Peran kepemimpinan dapat berlangsung di dalam dan di luar

organisasi/lembaga. Karena itu, salah satu peran strategis seseorang dalam

organisasi/lembaga selain sebagai manajer adalah sebagai pemimpin.

Mengacu kepada pendapat Robbins (1991), dapat dipahami bahwa peran

adalah seperangkat pola perilaku yang diharapkan berkaitan dengan tugas

seseorang dalam kedudukan pada satu unit sosial. Lebih lanjut Newel

menjelaskan bahwa peran adalah sama dengan perilaku dalam kedudukan

tertentu dan mencakup perilaku itu sendiri dan sikap serta nilai yang

melekat dalam perilaku.1

Adapun pengertian dari Kepala Sekolah terdiri dari dua kata, yaitu

kepala dan sekolah. Kata kepala dapat diartikan ketua atau pemimpin

dalam suatu organisasi atau sebuah lembaga. Sedang sekolah adalah

1
Syafaruddin dan Asrul, Kepemimpinan Pendidikan Kontemporer, (Bandung: Cita Pustaka
Media,2015), 59.

12
13

sebuah lembaga dimana menjadi tempat menerima dan memberi pelajaran.

Dengan demikian secara sederhana Kepala Sekolah dapat didefinisikan

sebagai seorang tenaga fungsional guru yang diberi tugas untuk memimpin

suatu sekolah dimana diselenggarakan proses belajar mengajar, atau

tempat dimana terjadi interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan

peserta didik yang menerima pelajaran.2

Sedangkan yang dimaksud dengan Kepala Sekolah menurut

Permendiknas No. 28 Tahun 2010 tentang penugasan guru sebagai Kepala

Sekolah/Madrasah Menyebutkan bahwa Kepala Sekolah/Madrasah adalah

guru yang diberi tugas tambahan untuk memimpin Taman Kanak-

Kanak/Raudhatul Athfal (TK/RA), Taman Kanak-Kanak Luar Biasa

(TKLB), Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Dasar

Luar Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah

(SMP/MTs), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB), Sekolah

Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA), Sekolah Menengah Atas

Luar Biasa (SMALB), Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah

Kejuruan (SMK/MAK) yang bukan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)

atau yang tidak dikembangkan menjadi Sekolah Bertaraf Internasional

(SBI).3

Lebih lanjut menurut Asmani, menyebutkan bahwa kepala sekolah

adalah jabatan fungsional yang diberikan oleh lembaga menaungi sekolah,

bisa yayasan, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Agama,

2
Wahyusumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), 81-83
3
Kompri, Standarisasi Kompetensi Kepala Sekolah Pendekatan Teori untuk Praktik
Sekolah, (Jakarta: Kencana, 2017), 38.
14

atau yang lainnya, baik melalui mekanisme pemilihan, penunjukan,

maupun yang lainnya kepada seseorang. Penetapan kepala sekolah oleh

lembaga-lembaga ini tentu dengan pertimbangan matang, khususnya

berkaitan dengan kualifikasi yang dibutuhkan agar mampu menjalankan

tugas dan tanggung jawab besarnya dalam memimpin sekolah.4

Adapun kegiatan pokok Kepala Sekolah yang harus diemban ada

tujuh yaitu merencanakan, mengorganisir, mengadakan staf, mengarahkan/

orientasi sasaran, mengoordinasi, memantau dan menilai/evaluasi.5 Setiap

Kepala Sekolah dihadapkan pada tantangan untuk melaksanakan

pengembangan program pendidikan secara terarah, berencana dan

berkesinambungan. Kepala Sekolah sebagai pemimpin tertinggi yang

sangat berpengaruh dan menentukan kemajuan sekolah harus memiliki

kemampuan administrasi, memiliki komitmen tinggi, dan luwes dalam

melaksanakannya tugasnya. Kemimpinan Kepala Sekolah yang baik harus

dapat mengupayakan peningkatan kinerja guru melalui program

pembinaan kemampuan tenaga kependidikan. Oleh karena itu kepala

sekolah harus mempunyai kepribadian atau sifat-sifat dan kemampuan

serta ketrampilan-ketrampilan untuk memimpin sebuah lembaga

pendidikan.6

4
Jamal Ma’mur Asmani, Tips Menjadi Kepala Sekolah Profesional, (Jogjakarta: Diva Press,
2012), 18.
5
Mulyono, Manajemen Administrasi dan Organisasi Pendidikan, (Jogjakata: Ar-Ruzz
Media, 2008), 146.
6
Euis Karwati dan Donni Juni Priansa, Kinerja dan Profesionalisme Kepala Sekolah
Membangun Sekolah yang Bermutu, (Bandung: Alpabeta, 2013), 38.
15

Berdasarkan pendapat di atas, peran adalah harapan-harapan yang

berkaitan dengan aktivitas-aktivitas atau perilaku seseorang berkenaan

dengan tugas seseorang dalam kedudukan tertentu. Jadi, peran Kepala

Sekolah ialah aktivitas-aktivitas atau pola perilaku Kepala Sekolah dalam

melaksanakan tugasnya sebagai Kepala Sekolah untuk mencapai tujuan

pendidikan. Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional terdapat tujuh

peran utama dari Kepala Sekolah yaitu sebagai edukator, manajer,

administrator, supervisor, leader, pencipta iklim kerja, dan wirausahaan.

2. Budaya Religius

Budaya adalah nilai, pemikiran serta simbol yang mempengaruhi

perilaku, sikap, kepercayaan, serta kebiasaan seseorang dalam sebuah

organisasi. Pola pembiasaan dalam sebuah budaya sebagai sebuah nilai

yang diakuinya bisa membentuk sebuah pola prilaku.7 Dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia Budaya adalah sesuatu yang sudah menjadi

kebiasaan yang sukar diubah.8 Budaya merupakan tingkah laku dan gejala

sosial yang menggambarkan identitas dan citra suatu masyarakat. Budaya

suatu organisasi dibangun oleh para anggota organisasi dengan mengacu

kepada etika dan sistem nilai yang berkembang dalam organisasi.9

Budaya sekolah merupakan suatu yang dibangun dari hasil

pertemuan antara nilai-nilai (values) yang dianut oleh kepala sekolah

sebagai pemimpin dengan nilai-nilai yang dianut oleh guru-guru dan para

7
Rusmin Tumaggor, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana, 2010), 17.
8
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005), 169.
9
Syaiful Sagala, Budaya dan Reinventing Organisasi Pendidikan, (Bandung: Alfabeta,
2008), 111.
16

karyawan yang ada di sekolah tersebut. Nilai-nilai tersebut dibangun oleh

pikiran-pikiran manusia yang ada dalam sekolah. Pertemuan pikiran-

pikiran manusia tersebut kemudian menghasilkan pikiran organisasi. Dari

pikiran organisasi itulah kemudian muncul dalam bentuk nilai-nilai yang

diyakini bersama, dan kemudian nilai-nilai tersebut menjadi bahan utama

pembentuk budaya sekolah. Dari budaya tersebut kemudian muncul dalam

berbagai simbol dan tindakan yang nyata yang dapat diamati dan dirasakan

dalam kehidupan sekolah sehari-hari.10 Budaya sekolah biasanya

cenderung mengarah pada gagasan pemikiran-pemikiran dari pemimpin,

dalam hal ini adalah kepala sekolah atau pimpinan dari lembaga yang

menaungi sekolah tersebut.

Budaya sekolah berfungsi sebagai perekat yang menyatukan orang-

orang yang berada dalam lingkungan sekolah. Budaya sekolah diharapkan

menjadi ujung tombak keberhasilan lembaga dalam mengadakan proses-

proses pendidikan untuk mencapai tujuan bersama dalam mengadakan

proses-proses pendidikan untuk mencapai tujuan bersama dalam

pendidikan Islam yaitu muslim yang ber-IPTEK dan berIMTAQ. Karena

tujuan pendidikan Islam adalah (1) Mendidik Individu yang shaleh dengan

memperhatikan segenap dimensi perkembangannya: rohaniah, emosional,

sosial, intelektual, dan fisik (2) mendidik anggota kelompok sosial yang

10
Muhaimin, dkk, Manajemen Pendidikan (Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana
Pengembangan Sekolah/Madrasah), (Jakarta: Kencana, 2011), 48.
17

shaleh, baik dalam keluarga maupun masyarakat muslim (3) mendidik

individu yang shaleh bagi masyarakat insani yang besar.11

Adapun budaya religius menurut Zuchdi merupakan salah satu

metode pendidikan nilai yang komprehensif karena dalam perwujudannya

terdapat inkulnasi nilai, pemberian teladan dan penyiapan generasi muda

agar dapat mandiri dengan mengajarkan dan memfasilitasi pembuatan

keputusan-keputusan moral.12 Sedangkan Menurut Fathurrohman budaya

religius adalah tradisi dalam lembaga pendidikan yang secara sadar

maupun tidak ketika warga lembaga mengikuti tradisi yang telah tertanam

tersebut sebenarnya warga lembaga pendidikan sudah melakukan ajaran

agama.13

Budaya religius di lembaga pendidikan pada hakikatnya adalah

terwujudnya nilai-nilai ajaran agama sebagai tradisi dalam berperilaku dan

budaya organisasi yang diikuti oleh seluruh warga sekolah. Dengan

menjadikan agama sebagai tradisi dalam lembaga pendidikan maka secara

sadar maupun tidak ketika warga sekolah mengikuti tadisi yang telah

tertanam tersebut sebenarnya warga sekolah. sudah melakukan ajaran

agama secara baik dan benar. Sebagaimana dalam Karmila, religious

culture adalah membudayakan nilai-nilai agama yang diperoleh peserta

didik dari hasil pembelajaran di sekolah dan kebudayaan yang berkembang

11
Herry Noer Aly dan Munzier S., Watak Pendidikan Islam, (Jakarta: Friska Agung Insani,
2003), 143.
12
Darmiyati Zuchdi, Humanisasi Pendidikan: Menemukan Kembali Pendidikan yang
Manusiawi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 28.
13
Muhammad Fathurrohman, Budaya Religius dalam Peningkatan Mutu Pendidikan:
Tinjauan Teoritik dan Praktik Kontekstualisasi Pendidikan Agama di Sekolah, (Yogyakarta:
Kalimedia, 2015), 51.
18

dan berlaku di masyarakat agar menjadi bagian yang menyatu dalam

perilaku peserta didik sehari-hari di dalam lingkungan sekolah ataupun di

lingkungan masyarakat.14

Dari beberapa pendapat di atas, budaya religius lebih mudah

dipahami sebagai tradisi sehari-hari di lingkungan sekolah dalam bentuk

kegiatan, pembiasaan, simbol-simbol, yang terus menerus dilakukan dan

dipraktikkan sebagai alat eksternalisasi nilai–nilai agama ke dalam diri

individu supaya tertanam pendidikan karakter peserta didik. Sekolah

berharap dengan adanya budaya religius akan terwujud nilai-nilai ajaran

agama secara menyeluruh sehingga membentuk perilaku peserta didik

dalam budaya organisasi yang diikuti oleh seluruh warga sekolah.

B. Penelitian Terdahulu

Untuk mempermudah kajian ini peneliti mengambil penelitian terdahulu

yang relevan dengan apa yang akan diteliti agar tidak terjadi persamaan,

plagiat dan kerancuan dengan hasil yang akan diperoleh hasil penelitian

terdahulu akan dirinci sebagai berikut:

Penelitian yang dilakukan oleh Achmad Baihaki (2016) dengan judul

“Strategi Kepala Sekolah dalam Mewujudkan Budaya Religius”, (Studi

Multikasus di Madrasah Aliyah Negeri dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1

Sumenep Madura)”. Hasil penelitian menunjukkan langkah strategi kepala

sekolah dalam mewujudkan budaya religius melalui program, (1)

14
Karmila, Model Pengembangan Diri Siswa melalui Budaya Religius (Religious Culture)
di Sekolah, (Samarinda: Jurnal Pendidikan Islam, 2014), 83.
19

perencanaan, (2) memberikan keteladanan, (3) kemitraan dan andil

mendukung kegiatan, (4) pembiasaan, (5) internalisasi nilai, dan (6) evaluasi.

Adapun dampak keberhasilan budaya religius di MAN dan

SMAN 1 Sumenep adalah berdampak terhadap prilaku kebiasaan beribadah

seperti shalat duhur berjemaah di sekolah maupun berdampak terhadap

akademik seperti semangat belajar agama dan mengerjakan tugas-tugas

sekolah baik terhadap peserta didik, guru dan karyawan, berdampak terhadap

perilaku kebiasaan-kebiasaan baik peserta didik MAN hafal surat yasin, di

SMAN 1 Sumenep berdampak terhadap perilaku kebiasaan peserta didik

lancar baca Al-Qur’an, warga sekolah berpakaian muslim atau muslimah serta

saling menghormati.

Kemudian penelitian yang dilakukan Fatimah (2017) dengan judul

“Peran Kepala Sekolah sebagai Educator dalam Pengembangan Budaya

Religius di SMPN 1 Kebonsari”. Hasil penelitian menunjukkan peran kepala

sekolah sebagai educator dalam mengembangkan budaya religius dilakukan

upaya melalui strategi diantaranya (1) Power strategy (melalui kekuasaan

yang dimiliki oleh kepala sekolah dengan reward and punishment), (2)

Persuasive strategy (ajakan dan himbauan untuk mengembangkan budaya

religius), (3) Normative reeducative (mengajarkan norma-norma yang dianut

masyarakat melalui pendidikan).

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Azis Saputra (2017) dengan

judul “Peran Kepala Madrasah dalam Membangun Budaya Religius di MAN

1 Palembang”. Hasil penelitian menjukkan bahwa peran kepala madrasah


20

dalam membangun budaya religius melalui program kegiatan keagamaan yang

dibentuk oleh kepala madrasah seperti, kegiatan salaman dengan (kepala

madrasah, guru dan pegawai), kegiatan membaca al-qur’an setiap pagi, shalat

dzuhur berjama’ah, kegiatan muhadoro (yasinan, ceramah, shalat dhuha

berjama’ah dan do’a), shalat jum’at berjama’ah, dan salah satu program

unggulan di bidang keagamaan yang dibentuk melalui peran kepala madrasah

adalah kegiatan tahfidz (menghafal) al-qur’an juz 30.

Adapun penelitian yang dilakukan Sholikhul Amri (20180 dengan judul

“Manajemen Kepala Sekolah dalam Mengembangkan Budaya Religius di

Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Klaten”. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa manajemen kepala sekolah melalui tahap perencanaan adalah

menetapkan tujuan, menetapkan strategi, menetapkan kebijakan, menetapkan

para penanggungjawab, menetapkan prosedur, menetapkan fasilitas dan

pendanaan terkait pengembangan budaya religius. Tahap pengorganisasian

adalah dengan penetapan struktur organisasi. Tahap pelaksanaan adalah

dilaksanakan oleh masing-masing bidang dan berjalan sesuai jadwal yang

sudah ditetapkan. Tahap pengawasan adalah: dilaksanakan oleh Kepala

Sekolah dan masing-masing ketua kompetensi keahlian, dilaksanakan pada

waktu pelaksanaan berlangsung dan pada tahap evaluasi adalah: dengan

melakukan evaluasi secara total diakhir tahun pelajaran,

Dari beberapa penelitian yang peneliti sebutkan di atas, terlihat bahwa

ada persamaan dan perbedaan terhadap fokus permasalahan yang diteliti oleh

masing-masing peneliti. Walaupun terdapat kesamaan yaitu sama membahas


21

tentang peran Kepala Sekolah. Kalau dicermati lebih jauh, penelitian yang

akan penulis lakukan lebih kepada peran Kepala Sekolah dalam manajemen

pengembangan budaya religius di SMP Negeri 1 Undaan Kudus, yang

idealnya mengatakan bahwa peran Kepala Sekolah sebagai seorang pemimpin

memberikan tanggung jawab yang yang besar dalam membangun budaya

religius di sekolah dan menjadi teladan bagi masyarakat sekolah.

C. Kerangka Berpikir atau Kerangka Teoritik

Terbentuknya budaya dan karakter bangsa hanya dapat diwujudkan jika

program dan proses pendidikan tidak terlepas dari faktor lingkungan yang

sarat dengan nilai-nilai sosial, budaya, dan kemanusiaan. Sebab pendidikan

yang bermutu menawarkan upaya preventif untuk mencegah degradasi moral

dan karakter seseorang atau masyarakat secara berkelanjutan, selain itu

pendidikan yang bermutu menawarkan program dan strategi yang memiliki

dampak jangka panjang bagi tumbuhnya karakter seseorang maupun kolektif.

Dari konsep pengembangan budaya religius, peran Kepala Sekolah

adalah tolok ukur keberhasilan sekolah dalam mengembangkan pendidikan. Di

sini Kepala Sekolah bertugas menganalisis lingkungan sebagai tahap awal

menetapkan tujuan, visi, misi sekolah, meliputi lingkungan internal dan

eksternal, lingkungan sosial serta sumber daya kultur. Dalam mencetuskan

program budaya religius, Kepala Sekolah terlebih dahulu melakukan analisis

terhadap berbagai permasalahan sosial kemasyarakatan yang terjadi di

lingkungan setempat dengan mempertimbangkan aspek geografis, demografi,


22

tingkat pendidikan, dan tingkat perekonomian masyarakat setempat. Setelah

berbagai persoalan tersebut diidentifikasi, kemudian dicarikan berbagai

alternatif pemecahan masalah yang dapat dilakukan sekolah, baik secara

langsung ataupun tidak langsung.

Tahap kedua, mengembangkan strategi berupa tujuan, visi, misi sekolah

berdasarkan analisis lingkungan sebagai arah dan penetapan kebijakan.

Kemudian program pengembangan budaya akan dibuat dengan tiga tahapan,

rencana jangka panjang (1 tahun/periode Kepala Sekolah), menengah (1

semester), dan pendek (PHBI). Program-program tersebut dibuat berdasarkan

tataran budaya religius. Selanjutnya, sekolah merekrut partisipasi dan

dukungan orang tua untuk mendukung serta melancarkan program tersebut.

Sekolah memberikan teladan nilai-nilai religius melalui interaksi staf,

peserta didik, orang tua yang diperkenalkan dalam kegiatan masa orientasi

peserta didik, ceramah agama, KBM, diskusi ilmiah, amanat upacara bendera.

Nilai-nilai religius tersebut akan diimplementasikan melalui pembiasaan atau

penguatan pendidikan karakter, seperti: berpakaian, berdoa sebelum KBM,

upacara bendera, kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, ekstrakurikuler.

Proses selanjutnya Kepala Sekolah memonitoring dan mengevaluasi

seluruh sistem yang sudah dijalankan, dalam tahap ini akan muncul beberapa

faktor yang memengaruhi pengembangan budaya religius baik yang

mendukung maupun menghambat. Langkah terakhir adalah tindak lanjut dan

memodifikasi beberapa hal yang dianggap tidak mendukung pengembangan

budaya religius (perbaikan program). Dan semua proses yang sudah terlaksana

akan kembali kepada kebijakan Kepala Sekolah.

Anda mungkin juga menyukai