Pendahuluan
Ada tiga cara bagaimana kita melihat apakah ada relasi antara
pilkada dengan agama. Pertama, paham sekularistik. Pada
pandangan ini, tidak ada hubungan antar keduanya. Pilkada
urusan duniawi, sementara agama urusan uhrawi. Kedua
pandangan psikologi politik. Dalam pandangan ini melihat
pilkada sebagai arena kontestasi bahkan kompetisi. Ketika
masyarakat manusia berada dalam episentrum kompetisi,
maka antarkontestan, tidak saja berorientasi pada menang
dalam berkompetisi tetapi juga bagaimana cara
memenangkan. Suasana psikologi untuk memenangkan,
menghadirkan satu pilihan, kompetitor bukan sekedar
berposisi sebagai lawan, tetapi juga bagaimana melawan.
Dalam suasana psikologi demikian, menghadirkan manusia
dalam posisi homo homini lupus. Manusia adalah serigala bagi
lainnya. Dalam medan perang, konstruksi hoho homini lupus
ini bisa berubah menjadi dalil ‘to win or to lose” (menang atau
kalah); to be or not to be (hidup atau mati); bahkan to kill or
to be killed. Di sinilah krusialnya. Karena itu, agama hadir
untuk mengubah paradigma permusuhan, menjadi bersuasana
perlombaan. Meminjam istilah Islam, pilkada sebagai ajang
ber-fastabiqul khoirat. Ketiga, adalah politisasi agama.
Artinya, pilkada tidak dilihat sebagai soal duniawi semata yang
bercorak profan, tetapi lebih sebagai proses bernegara. Rakyat
(baca: umat) tidak hanya memilih tetapi juga menentukan
terwujudnya kepemimpinan dan pemimpin yang ‘sah’ menurut
bahasa agama (penganutnya). Kalau dalam Islam, penganut
1
paham ini melihat Islam bukan semata sebagai agama tetapi
sekaligus kekuasaan atau negara. Al Islam, hua addin wa
daulah. Mereka penganut paham ini, akan berjuang untuk
memenangkan kompetisi sekaligus mengalahkan
kompetitornya dengan menggunakan bahasa termasuk idiom-
idiom yang memiliki jiwa progresif keagamaan.
Paham pertama, bisa menghadirkan suasana profan.
Implikasi atau efek samping yang bisa timbul adalah
semangat berpartisipasi rakyat menjadi rendah. Pilkada hanya
kepentingan pemerintah, sementara rakyat sebagai pemilih,
tidak akan berubah nasibnya. Paham kedua, menghadirkan
suasana tegang, tensi sosial politik menaik karena perebutan
kekuasaan itu sendiri menyebabkan masing-masing pihak
menjauh dari kesantunan. Dalam kondisi seperti inilah para
tokoh agama mestinya hadir menjadi penengah dan pencerah.
Sedang paham ketiga, justru sebaliknya, yakni agama
digunakan sebagai instrumen pemenangan pilkada itu sendiri.
Masing-masing punya masalah dan membawa masalah
bahkan konflik sosial. Pertanyaannya, bagaimana
menemukenali masalah secara rinci, bagaimana pemahaman
kita tentang konflik dan bagaimana memanage konflik itu
sehingga bisa berdampak positif. Untuk itu, langkah-langkah
apa yang bisa kita lakukan, khususnya para tokoh agama
(toga) dan tokoh masyarakat (toma) di dalam
keikutsertaannya mensukseskan pilkada?
Jika para toga dan toma diharapkan bisa berperan
sebagai penyejuk sekaligus mediator ketika ada ketegangan
dalam proses pilkada tadi, maka syarat pertama, mediator itu
harus bisa memosisikan diri bukan sebagai bagian dari
permainan. Kedua, meminjam istilah dokter, toga dan toma
perlu memahami tiga proses yaitu prognosis (memahami
keluhan), diagnosis (mengurai akar gejala sakit dan alternatif
2
jawaban medikal ) dan terapi (memberi solusi pengobatan)
sesuai dengan tingkatan persoalan.
Pertanyaannya, bagaimana pula kalau toga dan toma
ikut larut dalam permainan itu sendiri? Dari sudut inilah
dibutuhkan rambu-rambu aturan yang jelas dan tegas.
3
menjadi pemenang. Spirit untuk memenangkan itu, terkadang
perlu mengabaikan ‘bermain cantik ala kesebelasan Argentina,
tetapi berakhir dengan kekalahan’. Jadi, meminjam istilah anak
Medan, “Ini politik Bung!”, atau ‘gertak semarangan’, atau
‘gelembuk Solo”, boleh jadi mewarnai susana proses pilkada
itu.
4
ke gawang lawan’ tetapi mlipir lewat penggiringan atau operan
bola ke arah kiri atau kanan lalu menerobos ke area pinalti
untuk ditabrak agar diberi kesempatan melakukan pinalti.
Rumitnya, jika berlaku curang dalam permainan sepakbola,
rekamannya bisa diputar ulang (tangible), sedang dalam
urusan ‘perang kata-kata’ menjadi samar (multi interpretable).
Inilah berita buruknya. Artinya, ketika toga dan toma
diharapkan menjaga dan menghadirkan kesejukan, maka ini
berarti munculnya suasana tegang alias tidak sejuk sangat
mungkin terjadi.
Lantas, bagaimana toga dan toma mengambil peran
agar proses pilkada bisa berjalan sejuk? Pertama, pemerintah
sendiri perlu membuat aturan yang jelas siapa saja dan
persyaratan apa saja bagi toga dan toma yang diberi hak
untuk menjadi pendukung atau juru kampanye? Misalnya
parpol yang merekrut toga dan toma untuk mengusulkannya
sebagai ‘pengacara” (baca: juru kampanye) kontestan
tertentu. Kedua, parpol pengusung kontestan termasuk
kontestannya sendiri, juga jangan merayu atau membujuk
baik organisasi keagamaan dan organisasi kemasyarakatan
termasuk pengurus yang ada di dalamnya, seakan-akan
menjadi “pengacara tidak terdaftar”. Saya tahu, usulan kedua
ini belum tentu diterima baik oleh parpol pengusung maupun
kontestan terkait karena “kantong-kantong suara itu (diyakini)
ada di sana. Kalau begitu maka usulan ketiga ialah organisasi
keagamaan dan organisasi kemasyarakatan termasuk figur
toga dan toma tertentu (di luar ‘pengacara resmi’) – kalau
tidak bisa menolak ‘silaturahmi’ kontestan – berkenan
memberi klarifikasi kepada lingkungan sosialnya. Ini artinya,
ketika toga dan toma mau mengambil peran sebagai penyejuk
dan pencerah, maka tugas itu hanya bisa diperankan selama
bisa bersikap netral. Ini artinya, kualitas sekaligus kearifan
5
toga dan toma sedang diuji. Jangan justru berpikir dan
bertindak sebaliknya, “ikut panenan mumpung musim
pilkada”.
Setelah kondisi-kondisi demikian sudah bisa diatasi,
berikutnya adalah pencegahan munculnya konflik sosial yang
mungkin terjadi, baik pada saat proses maupun ekses pilkada.
Pertama, kita perlu memberi kesadaran pada lingkungan sosial
bahwa pilkada adalah siklus lima tahunan yang harus
diselenggarakan oleh pemerintah dalam suatu sistem
demokrasi. Jika para kontestannya bisa duduk bareng sambil
gurauan, mengapa Anda mau bertengkar sendiri. Kedua,
menciptakan semboyan ketertiban sosial yang rasional, yaitu
“di tempat lain, konflik mungkin terjadi, tetapi jangan sampai
terjadi di daerah kami”. Kalau semua ketua RT, ketua RW, dan
Camat (termasuk toga dan toma di wilayah itu) punya
semboyan demikian untuk menjaga daerahnya masing-
masing, insyaallah di semua tempat menjadi aman dan
tenteram. Ketiga, dengan kesepakatan seperti itu, berikutnya
wujudkan lembaga paguyuban, yang di dalamnya ada unsur
pemerintah, toga lintas agama dan toma lintas profesi.
Penutup
Ketika pada awal dan akhirnya, manusia sendiri yang hadir dan
menghadirkan peristiwa sosial politik menjadi tegang dan
menengangkan (teori konflik), maka semestinya menjadi
kewajiban bagi manusia pula untuk memanage konflik tersebut
berupa perubahan paradigmatik dan behavioristik bagaimana
pilkada menjadi peristiwa sosial politik yang positif (teori
fungsional).
6
Semoga dengan pilkada, kesadaran anak bangsa untuk
membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia semakin
berarti. Inilah cara kita mewujudkan rasa syukur. Bukankah
kalau kita mampu beryukur, Allah akan menambah kenikmatan
sebagai warga bangsa Indonesia? Tetapi kalau kita mulai
mengingkari kenikmatan yang diberikan oleh Allah, kerusakan
kehidupan dan penderitaan akan tertimpakan. Wa-Llahu
a’lamu bishowab.