Rajapati
Oleh: Team Tema Majelis Maiyah Balitar
Merupakan kata serapan dari bahasa Jawa, Rajapati telah masuk ke dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia dengan arti yang sama persis dengan maknanya dalam bahasa asal, yaitu
pembunuhan. Secara linguistik, kata serapan yang memiliki arti dan dengan penulisan serta
pengucapan yang sama dengan kata dari mana ia berasal disebut sebagai “serapan adopsi”.
Lebih jauh, terkait makna dari tema pertemuan kita kali ini, tidak ada keraguan mengenai
Dua bulan berlalu, layar kaca dan gawai kita masih dipenuhi oleh pemberitaan mengenai
terbunuhnya seorang anggota POLRI dalam satu kemelut yang meski banyak praduga di
dalamnya berkenaan dengan intrik rumah tangga, bisnis gelap dan side job seorang jenderal
bintang dua yang mengepalai satu kesatuan yang seharusnya menjadi polisi internal di
Selain bukan ranah kompetensi dan kewenangan kita untuk ikut menjadikannya bahan
perbincangan, nampaknya akan lebih menarik bila—sebut saja--“kasus Sambo” ini kita
jadikan sekedar pematik bagi topik pembicaraan yang lebih relevan dan secara nyata
bersinggungan dengan kasunyatan hidup keseharian kita bersama. Setidaknya, kita coba
untuk mensikapi bahwa kasus pembunihan atas Joshua hendaknya tidak dimaknai hanya
sebagai penghilangan hak hidup. Ada aspek pembinasaan karir dan masa depan, penikaman
atas kebebasan setiap orang untuk mengakses informasi yang dikehendakinya dan jangan
lupa begitu banyak peluru tajam menyasar target yang bukan seharusnya.
Dari geger Duren Tiga hingga pengumuman kenaikan BBM Sabtu 3 September jam setengah
tiga, mungkin, tidak ada sambungan langsung yang bisa kita temukan polanya. Namun
setidaknya bisa kita coba menanamkan kembali pemahaman betapa naifnya orang banyak
Pembunuhan satu orang apapun alasan, modus, motif, dan caranya secara serta merta
mengiring perhatian ke sisi yang remeh temeh, jauh dari substansi. Substansi kalau kita
mau jujur betapa masih wajibnya hukum segera menikah bagi goodfellas yang mendamba.
Jujur betapa mahalnya biaya mesti kita keluarkan kelak ketika anak dan keponakan harus
melanjutkan studi. Blaka suta bahwa untuk beberapa kebutuhan pokok pun sebagian dari
kita harus menempatkannya sebagai mimpi yang entah kapan bisa direalisasi.
Pada skala negara, kita semua menyaksikan bagaimana sebuah acara sakral kenegaraan
terdegradasi oleh nyanyian ngepop seorang pengamen cilik yang tetiba menjadi begitu
terjamin masa depan dan kehidupannya. Usikan ini tentu saja tidak mengenai perjuangan
dan derita lara si bocah dan ayahnya sebelum menjadi artis nasional yang dianugerahi
(!). Yang kita maksudkan lebih kepada bagaimana, nyatanya, kita begitu mudah untuk
“mendadak dangdut” atau jangan-jangan ini semua tak lebih dari semacam kutukan bahwa
Dengan tidak mengubah sedikitpun, kita kutip tulisan salah satu teman yang semoga bisa
Jujur aja kenaikan BBM belum begitu terasa sih bagi saya. karena sudah berapa kali.
Ketika saya mulai ngerti beli BBM terutama premium atau bensin itu dari 750 sampai
6500, bahkan sampai hilang diganti pertalite mulai dari 6 ribuan sampai sekarang
Rp10.000,
ya biasa aja. Tapi kalau yang lain-lain itu ikut naik, baru agak beda rasanya. misalnya
besok nasi pecel naik,
sego kucing mundak
dan sebagainya. itu sudah biasa. ya kita tetap hidup, kita juga tetap harus bekerja,
dan kita tetap punya utang, juga kita tetap banting tulang.
Yang penting tetap hidup dan sehat,
anak-anak tetap main, ceria, sekolah, bersosialisasi, ditempa keadaan, yang akhirnya
mereka akan menjadi manusia-manusia yang tangguh.
yaah kaya temen-temen saya, yang gak jauh dari saya. mereka
jujur aja Rumah nya lumayan bagus, mobil punya motor, bahkan di rumah ada dua atau
tiga.
gaya hidup lumayan agak mentereng, tapi kalau dikatakan Sultan juga enggak. minimal
nggak ngopi di warkop kaki lima, tapi sudah mulai di cafe. yang jadi agak miris ya gitu,
seharusnya mulai kita kuliti, apakah mungkin asal muasal perilaku ini dari pendidikan
kita yang salah, pergaulan kita yang salah, tata pemerintahan yang salah, atau para
bandar-bandar yang menata pemerintah kita membuat kita ini menjadi salah.
Harusnya kita mulai mengurai Dimana pokok permasalahan ini. apakah dari mental kita,
atau spiritual kita yang rusak, atau pola pikir kita yang rusak ataukah dari mana? kalau
sudah ketemu bagaimana kita menerapkan solusi tersebut, minimal dari kita sendiri.
Indonesia sejak zaman Pak Harto tidak ada lagi pemimpin-pemimpin kuat,
Seragam keki, atau mungkin berseragam remang-remang seperti saya, baik secara
secara sadar maupun tidak sadar itu menjadi bagian dari mafia. Di akui atau tidak ya
itu kenyataannya.
Au zo mumet
Masih bertahan dengan keingintahuan mengenai akhir dari sinteron drama-thriller Sambo?
Atau memilih pembicaraan yang lebih relevan dengan bagaimana bisa mendapatkan formula
irit bahan bakar bagi sepeda motor atau kendaraan kita? Jawabannya kita sandarkan pada
dingin malam akhir bediding yang melingkupi lingkar paseduluran kita bersama.
---oOo---