Anda di halaman 1dari 7

Contoh Tulisan Ilmiah Populer yang Diterbitkan 

MENGGUGAT PENDIDIKAN KARAKTER

Oleh : Deni Sopari , M.Pd

*) Dipubikasikan di RADAR BANTEN Selasa 12 Desember 2011

Suatu bangsa akan menjadi besar jika generasinya memiliki karakter yang baik dan pembentukan
karakter hanya akan terjadi melalui proses pendidikan…

Pendidikan karakter di institusi-institusi pendidikan belakang ini mendapat banyak sorotan dari
kalangan pengguna jasa dan pemerhati pendidikan baik di mediamassa, seminar, dan berbagai
kesempatan. Hal ini sehubungan dengan maraknya penyimpangan prilaku yang muncul di
masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan,perkelahian massa, , etika yang
menipis kurangnya tenggang rasa dan tanggung jawab menjadi konsumsi sehari-hari di media masa,
yang menghawatirkan kondisi ini muncul di lingkungan pelajar dan mahasiswa seolah-olah mereka
tidak pernah mendapatkan pendidikan karakter sewaktu duduk di bangku sekolah. Sehingga
persoalan karakter menjadi masalah moral yang serius di bumiIndonesia ini. Padahal Tujuan
Pendidikan Nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman , bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa , berakhlak mulia , sehat, berilmu, cakap , kreatif ,
madiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Bahkan secara implisit
termuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025, di mana
pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional,
yaitu “Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab
berdasarkan falsafah Pancasila.”

Munculnya gugatan-gugatan terhadap institusi pendidikan mengenai bagaimana peranan selama ini
dan hal-hal apa saja yang diajarkan di bangku-bangku sekolah tentang penanaman nilai-nilai karakter
terhadap anak didik, perlu mendapatkan perhatian yang serius, sebab bagaimanapun institusi-
intitusi pendidikan masih dipercaya sebagai lembaga-lembaga pewaris nilai-nilai karakter seperti
yang terumuskan dalam Tujuan Pendidikan Nasional. Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang
bersifat preventif yang diharapkan dapat mengembangkan kualitas generasi muda bangsa dalam
berbagai aspek yang dapat memperkecil dan mengurangi penyebab berbagai masalah budaya dan
karakter bangsa. Walau institusi pendidikan ini bukan satu-satu faktor penyebab munculnya
penyimpangan prilaku yang terjadi saat ini.

”What’s wrong with our classrooms ? ” Pertanyaan inilah yang perlu kita ajukan sebagaimana John.F
Kennedy merespon kekalahan kecanggihan teknologi Amerika oleh Rusia. Apa yang terjadi dengan
ruang-ruang kelas kita selama ini , sehingga produk-produk pendidikan kita tidak sejalan dengan
rumusan tujuan pendidikan nasional. ?

Pendidikan Karakter

pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan
karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter
dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan
warganegara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif . Pendidikan karakter dilakukan melalui
pendidikan nilai-nilai atau kebajikan yang menjadi nilai dasar budaya dan karakter bangsa.
Pendidikan nilai ini mencakup keseluruhan aspek sebagai pengajaran atau bimbingan kepada
peserta didik agar menyadari nilai-nilai kebenaran , kebaikan dan keindahan melalui proses
pertimbangan nilai yang tepat dan pembiasaan bertindak yang konsisten ( Mulyana : 2004). Nilai-
nilai karakter tersebut berasal dari pandangan hidup atau ideologi bangsaIndonesia, agama, budaya,
dan nilai-nilai yang terumuskan dalam tujuan pendidikan nasional. Dengan nilai-nilai tersebut
diharapkan mampu

mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang
memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa; mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta
didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius;
menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus
bangsa; mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif,
berwawasan kebangsaan; dan mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan
belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang
tinggi dan penuh kekuatan (dignity). (Kemendiknas:2011)

Pada saat ini implemetasi pendidikan karakter di institusi-intitusi pendidikan dilakukan dengan 3
cara, yaitu kesatu program integrasi, yang beranjak dari pandangan komplementer proses belajar
yang dianggap sebagai satu kesatuan yang utuh saling melengkapi. Ketika anak belajar Ilmu
Pengetahuan Alam, ia diarahkan pada pertimbangan moral dan etika lingkungan; belajar matematika
bukan hanya pandai menggunakan angka, tetapi ia harus mampu berpikir logis tentang masalah-
masalah social; begitu juga dengan pelajaran-pelajaan lainnya. Lebih jauh program pengintegrasian
ini pemerintah mengembangkan Kurikulum Berbasis Kompetensi ( KBK) dan sebagai salah satu
bentuk realisasi kebijakan desentralisasi di bidang pendidikan agar kurikulum benar-benar sesuai
dengan kebutuhan pengembangan potensi peserta didik di sekolah yang bersangkutan di masa
sekarang dan yang akan datang dengan mempertimbangkan kepentingan lokal , nasional dan
tuntutan global dengan semangat Managemen Berbasis Sekolah ( MBS ) maka KBK disempurnakan
menjadi Kurikulum Satuan Pendididkan ( KTSP) ( Depenas : 2006 ). Kurikulum ini bertujuan
memadukan domain atau muatan kurikulum dalam diri peserta didik, sehingga kemampuan anak
dalam mengembangkan potensi berpikir , perasaan dan tindakan dikembangkan secara seimbang
melalui suatu pendekatan terpadu dalam metode maupun evaluasi. Untuk memperlancar tujuan itu
pemerintah mewajibkan kepada intitusi-intitusi pendidikan dalam proses pembelajaran supaya
mengembangkan pendekatan-pendekatan yang mengacu kepada pengembangan diri siswa.
Pendekatan-pendekatan dalam pembelajaran yang disarankan diantaranya ; pembelajaran
Kontekstual ( cotextual teaching and learning ), Cara Belajar Siswa Aktif ( CBSA), Belajar Quantum,
Penilaian berbasis Kelas (PBK) yang tercakup dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP ).
Kedua kegiatan ekstrkurikuler, dalam kegiatan ini , proses pembelajaran nilai secara terpadu sering
terjadi karena nilai dikembangkan melalui paket kegiatan yang memungkinkan siswa berinteraksi
dengan teman, guru, masyarakat, benda , alat fasilitas, hewan, sistem organisasi, dan lain-lain yang
membawa mereka pada kesadaran nilai , moral, etika , estetika, bahkan pada kesadaran nilai-nilai
Ilahiyah. Kegiatan ini dikembangkan melalui kegiatan pramuka, pencinta alam, peringantan hari
besar Islam (PHBI) dll. Ketiga melalui kurikulum tersembunyi, yaitu kurikulum yang tidak
dipersiapkan dan direncanakan biasanya berupa aktifitas aktifitas nyata yang di lihat dan dirasakan
oleh peserta didik di sekitar lingkungan dimana ia belajar.

Pergeseran subtansi Pendidikan

Upaya-upaya pemerintah untuk mengembangkan pendidikan karakter ternyata tidak semulus apa
yang diharapkan, banyak kendala yang dihadapi dilapangan . Diantaranya kendala pendidikan
karakter terabaikan adalah terjadinya pergeseran subtansi pendidikan ke pengajaran. Makna
pendidikan yang sarat dengan muatan nilai-nilai moral bergeser kepada pemaknaan pengajaran yang
berkonotasi sebagai transfer pengetahuan. Lebih ironis lagi , sinyalemen itu terjadi pada mata
pelajaran yang berlabelkan agama atau Pendidikan Kewargaan negara ( PKn) yang tentunya syarat
dengan muatan nilai , moral, dan norma . Tampaknya tak sulit untuk kita temukan bahwa pada dua
jenis mata pelajaran tersebut pengukuran aspek kognitif berlangsung seperti halnya terjadi pada
mata pelajaran lain.

Perubahan subtansi pendidikan ke pengajaran berdampak langsung terhadap pembentukan


kepribadian peserta didik. Otak siswa yang dijejali berbagai pengetahuanbakumenyebabkan peserta
didik kurang kritis dan kreatif. Selain itu terabaikannya sistem nilai yang semestinya menyertai
proses pembelajaran dapat mengakibatkan ketimpangan intelektual dengan emosional yang pada
gilirannya akan melahirkan sosok spesialis yang kurang peduli terhadap lingkungan.

Terjadinya pergeseran subtansi pendidikan ini terutama disibebakan oleh ; Pertama, masih kukuhnya
pengaruh paham assosiasi dan behaviorisme dalam pendidikan khususnya dalam proses
pembelajaran kita. Paham ini mengacu pada pertimbangan atribut-atribut luar seperti perubahan
tingkah laku peserta didik yang dapat diamati dan di ukur karena pola jaminan belajarnya melalui
serangkai test –teach –test.
Pendidikan hanya untuk memenuhi banking system of education yang membelengu peserta didik
dari ketertindasan sehingga pengajaran hanya mengutamakan penguasaan materi pelajaran,
(content-oriented ) bukan berorientasi pada kebutuhan perkembangan siswa ( student-oriented )
( Freire dalam Suyanto :2004 ). Konsekuensinya, proses dan evaluasi keberhasilan pendidikan
terpaku kepada yang dapat diangkakan. Pertanyaan yang bernada fesimistikpun muncul , seperti :
Apakah nilai 9 pada pelajaran agama dan PKn sudah dapat mengukur kualitas ketaqwaan dan
kesadaran menjadi warga negara yang baik ?. Padahal paham kurikulum yang seharusnya digunakan
adalah pahan kognetif konstruktivisme yang lebih menekankan kepada proses pengembangan
kemampuan intelektual yang berlangsung secara social dan cultural , mendorong siswa membangun
pemahaman dan pengentahuan sendiri dalam kontek social , dan belajar dimulai dari pengetahuan
awal dan perfektif budaya.yang paham ini di Indonesia secara resmi penggunaanya telah dirintis
sejak disosialisasikannya KBK tahun 2004 ( Khamdi :2004). Kedua, kapasitas mayoritas pendidik
dalam mengangkat struktur dasar bahan ajar masih relative rendah . Hal ini tidak terlepas dari
keterbatasan sumber bacaan , kurangnya dukungan , pengalaman pendidikan yang kurang
menguntungkan, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam setiap mata pelajaran terabaikan
bahkan hilang dari pembelajaran. Faktor ini potensial untuk menjadi penyebab tidak sedikitnya
peristiwa dalam pendidikan yang ”mencekoki ” peserta didik. Ketiga , masih kentalnya pandangan
terhadap mata pelajaran tertentu . Dilain pihak , Ilmu Pengetahuan Alam dipandang cepat
mendatangkan uang sehingga lebih disukai para peminat , sedang di lain pihak Ilmu pengetahuan
sosial yang dipandang sebagai ilmu kelas dua kerap dianggap kurang menarik. Dengan demikian ,
pendidikan semestinya berperan sebagai ajang pemanusiaan manusia kian terdepak oleh nilai-nilai
pragmatis demi mencapai tujuan material. Keempat Terdapatnya sifat kurang menguntungkan bagi
tegaknya demokrasi pendidikan. Sikap kehati-hatian politis dari para pemimpin lembaga
kependidikan yang diikuti oleh sikap tunduk dari bawahan dan pendirian konservatif yang diikuti
oleh sikap resisten terhadap perubahan, merupakan factor penghambat tumbuhnya demokarasi
pendidikan di lingkungan pendidikan formal . Kekuatan akar rumput ( grassroot ) yang seharusnya
menjadi penggerak utama demokrasi pendidikan tidak jarang kurang mendapatkan tempat. Sikap
dan pendirian demikian hanya akan melahirkan tindakan-tindakan kontra produktif, ikatan
emosional seolah-olah, dan sikap acuh tak acuh pada diri pendidik dan peserta didik , yang makin
lama makin terlembagakan. Kasus nyata dalam hal ini adalah kontroversinya pelaksanaan Ujian
Nasional ( UN ). Padahal esensi pembaharuan pengajaran ke arah pendidikan khususnya dalam
pendidikan karakter memerlukan elemen-elemen dasar pendidikan yang disemai dalam suasana
kebersamaan., kebebasan, dan keberdayaan pendidik dan peserta didik. Kendala-kendala di atas
apabila tidak segera dibenahi tidak menutup kemungkinan dekadensi moral dikalangan pelajar dan
mahasiswa semakin menjadi-jadi, seperti yang diungkapkan oleh Zakia Daradjat ( 1977 ) , usaha
untuk menanggulangi kemerosotan moral telah banyak dilakukan, baik oleh lembaga keagamaan,
pendidikan, social, dan instansi pemerintah . Namun kemerosotan moral semakin menjadi-jadi ,
tidak saja terbatas di kota-kota besar melainkan juga sampai kepelosok-pelosok desa terpencil
( Retnaningrum : 2003 ).

Upaya pemecahan
Upaya penanggulangan permasalahan mengenai penyimpangan prilaku yang terjadi saat ini dilihat
dari factor penyebabnya, sangat pelik karena melibatkan seluruh elemen lingkungan pendidikan
mulai dari lingkungan sekolah , lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat yang diistilahkan
oleh Ki Hajar Dewantoro dengan istilah Tri Pusat Pendidikan. Ketiga pusat pendidikan ini sangat
tergantung satu sama lainnya dengan kata lain apabila terjadi kepincangan dalam satu lingkungan
pendidikan akan berpengaruh ke lingkungan pendidikan lainnya. Pada saat ini ketiga lingkungan
pendidikan ini telah terjadi keretakan ( Mulyana : 2004 ), keretakan ini disebabkan oleh derasnya
terpaan globalisasi informasi dan modernisasi yang mengakibatkan terjadinya pergerakan
perubahan dari proses hidup alamiah ke dunia baru yang cenderung individualistis dan materialistis .
Tetapi apabila dikaji dari ketiga lingkungan tersebut lingkungan sekolah dipandang sangat dominan
dalam upaya menanggulangi penyimpangan prilaku terutama dikalangan siswa dan mahasiswa,
karena lingkungan ini adalah lingkungan pendidikan formal yang dibentuk secara sengaja dan
dilembagakan yang didalamnya terjadi hubungan guru dan siswa, jadi lebih terprogram dan terarah
dibandingkan dengan dua lingkungan pendidikan lainnya. Dilain pihak proses pembentukan
kepribadian seseorang hanya terbatas ketika mencapai usia 20 atau 21 tahun. Jika melewati batas
ini, sudah sulit memasukkan nilai-nilai karena harus membangun kembali kepribadian yang telah
terbentuk ( reconstrucstion of personality )( Corner : 2003 ). Sedang usia sampai 20 atau 21 tahun itu
berada di usia sekolah. Dari uraian di atas jelas upaya pertama di dalam penataan pendidikan
karakter terhadap seseorang harus dimulai dari lingkungan sekolah khususnya dari ruang-ruang
kelas atau dalam proses pembelajaran dimana siswa hampir separuh waktu setiap harinya
dihabiskan diruang-ruang kelas.

Salah satu upaya untuk menerapkan pendidikan karakter dalam proses pembelajaran , kita harus
mempertimbangkan gagasan inovatif yang di ajukan oleh UNESCO tentang empat pilar pendidikan
yang di gagas dalam rangka menata kembali dunia pendidikan yang di nilai mengalami sejumlah
persoalan serius. Keempat pilar itu adalah ; belajar mengetahui ( learning to know ), belajar berbuat
( learning to do ) , belajar menjadi diri sendiri ( learning to be ) , dan belajar hidup bersama ( learning
to live together ).

Keempat pilar ini bisa diadofsi dan di jadikan pedoman oleh guru didalam memberi perlakuan
terhadap siswa dalam proses pembelajaran yang mengeintegrasikan pendidikan nilai dalam
penyampaian materi pembelajaran di ruang-ruang kelas. Untuk itu guru dituntut untuk menyediakan
suasana kondusif bagi perkembangan peserta didik. Penyediaan suasana kondusif ini dilakukan
dengan cara-cara penyadaran nilai sebagai berikut; Pertama , peserta didik perlu dibimbing untuk
memperluas wawasan pengetahuannya tentang nilai, sehingga mereka dapat memberikan alasan-
alasan moral yang tepat sebelum mereka dituntut untuk melakukan dalam tindakannya. Pendekatan
berpikir yang perlu dikembangkan dalam proses pembelajaran adalah dengan menggunakan
pendekatan konstruktivisme , yakni membuka pengalaman , pengetahuan , dan pemahaman secara
aktif dengan melibatkan alasan-alasan moral ( moral reasing ) siswa. Dengan cara demikian, proses
belajar untuk mengetahui ( learnig to know ) terhadap nilai kebenaran , kebaikan , dan keindahan
dapat dilakukan secara sukarela , walaupun akhirnya diperlukan penegasan-penegasan dari pihak
pendidik.
Kedua , peserta didik perlu dibimbing untuk terampil melakukan tindakan dari apa yang diyakininya
sebagai nilai kebenaran , kebaikan , dan keindahan. Tindakan atau perbuatan adalah dua hal yang
melekat dalam kehidupan nyata, sehingga pada hakikatnya belajar bertindak dan berbuat
merupakan belajar mengalami kehidupan sebenarnya. Hal ini berarti bahwa membimbing dan
melatih peserta didik untuk belajar bertindak dan berbuat ( learning to do ) proses pembelajaran
harus kontekstual ( contextual teaching and learning ) sesuai dengan pengalaman hidup yang tengah
dialami dan diprediksi perilaku di masa mendatang.

Ketiga, peserta didik perlu dibimbing kea rah pemilikan sifat-sifat yang baik secara melekat. Untuk
itu perlu adanya konsistensi , intensitas dan frekuensi dalam pembiasaan hal-hal terpuji pada
peserta didik sehingga belajar untuk dirinya sendiri ( learning to be ) benar-benar melibatkan proses
internalisasi yang mendalam. Ke empat , Peserta didik perlu dibimbing untuk hidup secara harmonis
dengan lingkungannya. Ia tidak dapat hidup tanpa adanya kepentingan dengan orang lain. Maka
dalam proses pembelajaran siswa harus lebih diarahkan pada kerja sama di dalam memecahkan
permasalah-permasalahan di kelas ( learning community ) contohnya dengan menerapkan
pendekatan cooperative learning Sehingga siswa terpasilitasi untuk belajar hidup bersama ( learning
to live together ).

Penjabaran ke empat pilar itu sebenarnya pada saat ini sudah dikembangkan dengan pendekatan
pembelajaran kontekstual, yang dikenal dengan tujuh komponen CTL yang merupakan salah satu ciri
khas pendekatan pembelajaran KTSP. Ketujuh komponen itu ialah ; konstruktivisme
(Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan ( Inquiri), masyarakat belajar (Learning
Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment)

Dengan demikian apabila sekolah khususnya guru melaksanakan KTSP dengan konsisten, pendidikan
nilai bukan merupakan masalah lagi dalam penerapan di seting-seting kelas. Diharapkan dengan
melaksanakan cara-cara penerapan pendidikan karakter dalam proses pembelajaran di atas,
pendidikan karakter di instusi-intitusi pendidikan akan berjalan dengan baik. Pendidikan karakter
diruang-ruang kelas merupakan awal yang baik dalam menanamkan nilai-nilai, norma dan etika,
sebab diruang-ruang kelas inilah siswa diperkenalkan dengan nilai dan norma, apalagi ditunjang
dengan kegiatan ekstrakurikuler yang terprogram dan pengembangan kurikulum tersebunyi dalam
artian segenap warga sekolah mulai dari kepala sekolah , guru , karyawan memberikan contoh nilai-
nilai yang baik dalam lingkungan sekolah. Sebagai contoh apabila dalam suatu sekolah ada gairah
siswa untuk melakukan shalat berjamaan di mesjid sekolah, karena kepala sekolah dan guru sering
melakukan itu. Sebaliknya , adalah tidak mudah untuk merendam perselisihan antar siswa di suatu
sekolah karena gurunya pun sering memperlihatkan sikap tidak bersahabat dengan rekannya.
Apabila itu semua terwujud, untuk membentuk lingkungan sekolah sebagai miniatur pendidikan
karakter akan tercapai dan pergerseran subtansi pendidikan kepengajaran bisa dikembalikan
ketujuannya semula.
Akhirnya berbicara gugat menggugat tentang pendidikan karakter ini, semua orang bisa
menggugatnya, yang jelas siapkah seluruh insan pendidikan dan pengguna jasa pendidikan untuk
komitmen bersama menyelesaikan persoalan pendidikan karakter ini dengan penuh tanggung jawab
dan kearifan. Sebab bagaimanapun bangsa ini memerlukan generasi yang cerdas, bijak dan bermoral
. Sehingga masa depan bangsa ini terhindar dari penyimpangan nilai dan norma yang akan
menjerumuskan negara ini kepada krisis moral yang berkepanjangan .

Daftar Rujukan :

Corner, Diaz, ( 2003), Pendidikan nilai , http://diaz2000.multifly.com

Depenas , ( 2006 ) . Buku saku KTP,Jakarta.

Mulyana, rohmat, Dr, (2004) , Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Departemen Pendidikan


Nasional,Jakarta, Alfabet.

Retnaningrum,Elly, Hj, M.Pd ( 2003), Pendidikan Moral :pilar reformasi yang terlupakan ,
http//educare.e-fkipunla.net.

Sudarminta, J , ( 2006 ), Tanamkan pendidikan nilai-nilai kehidupan dengan keteladanan ,


http://www.atmajaya.ac.id

Suyanto, Prof, Dr, Phd, ( 2004 ), Inovasi Pendidikan, makala disampaikan dalam lomba inovasi
pembelajaran tingkat nasional,Bogortidak dipublikasikan

Syamsulberau, (2007), Pendekatan Penanaman Nilai dalam Pendidikan, http://researcengines.com

Kamdhi Waras, (2004) , Perubahan kurikulum, Kompas , 26/10/2004

Zakaria, Ramli Tengku, DR,(2003), Pendekatan Pendidikan Nilai dan Implementasinya,


http://groups.yahoo.com

Anda mungkin juga menyukai