Anda di halaman 1dari 1

Nama : zarria amara

Nim. : 08061382025084

Kegiatan penambangan timah di Indonesia berlangsung sejak abad 17 (Sujitno, 1996), di Pulau Bangka
dimulai tahun 1711, di Singkep tahun 1812 dan di Belitung tahun 1852. Sebelum era otonomi daerah,
penambangan timah di Pulau Bangka dan Belitung dilakukan oleh PT. Kobatin yang memulai eksploitasi pada
tahun 1973. Sementara itu PT. Timah (Persero) Tbk mewarisi sejarah panjang usaha pertambangan timah di
Indonesia yang sudah berlangsung lebih dari 200 tahun (laporan kerja praktek mahasiswa Universitas
Sriwijaya PT.Timah Tbk dan PT. Kobatin tahun 2008). Setelah berlakunya era otonomi daerah,
aktivitas Tambang Inkonvensional (TI) merajalela, berdasarkan data dari Dinas Energi dan Sumber Daya
Mineral Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, ada 1.315 TI di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT.
Timah Tbk pada tahun 2015, jumlah ini belum termasuk TI diluar IUP PT. Timah Tbk.

Tidak mengherankan, akibat dari penambangan timah meninggalkan ribuan hektare lahan bekas penambangan
yang berupa tanah timbunan maupun gundukan pasir tailing yang sangat miskin unsur hara serta kolong.
Karena pada prakteknya suatu lokasi yang telah digali tidak dapat 100% ditimbun kembali, sehingga
diperkirakan kurang lebih 30 persen lokasi galian tersebut akan berbentuk kolong.

Pada tahun 2014, Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mengeluarkan data
inventarisasi kerusakan lingkungan, total kelas tingkat lahan kritis yaitu 1.675.240,51 Ha dengan kriteria lahan
kritis dan potential kritis sebesar 15,15% dan 37,28%, 44,54% berupa lahan agak kritis serta 10,79% berupa
lahan tidak kritis dan lainnya. Tingkat kekritisan lahan ini hanya mencapai 10,20 % dari luas daratan Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung. Tetapi yang menjadi masalah bukanlah ukuran persentase luas lahan rusak yang
hanya sedikit, namun bahaya nyata, yaitu kerusakan lingkungan yang sudah sampai tahap tidak dapat
termanfaatkan.

Tidak semua wilayah bekas tambang dapat ditanami, karena sebagian dari daerah tersebut terdapat kolong-
kolong air yang sangat dalam yang mencapai puluhan meter. Untuk menangani wilayah Kolong ini, perlu
dianalisa keasaman air (PH air) terlebih dahulu. Kemudian dilakukan penetralan keasaman air dengan cara
memproses pengendapan secara bertahap melalui beberapa pond. Biasanya pada air kolong baru stabil selama
6 tahun pasca penambangan, namun hal ini tetap tergantung dari pertumbuhan vegetasi di sekitar kolong.

Pada daerah kolong ini juga diamati terdapat atau tidaknya ikan alami yang hidup, seperti ikan gabus dan ikan
toman. Biasanya, budidaya ikan yang digunakan adalah ikan nila merah. Daerah kolong dengan karekteristik
ini juga dijadikan sebagai tempat pemancingan. Seperti yang dilakukan oleh PT.Timah baru-baru ini yang
menyebarkan bibit ikan Nila Merah di Kolong Desa Bencah. Selain itu, air kolong juga dijadikan sebagai
sumber air baku

Anda mungkin juga menyukai