Anda di halaman 1dari 3

Nama : Adnan Kusuma Putra

Dosen: Ir. Achmad Hery Fuad, M.Eng.


Mata Kuliah Prinsip Perancangan Kota
Jakarta, 8 Februari 2017

Mewujudkan Jakarta Sebagai Kota Berkelanjutan


Kota-kota besar tidak dapat menampik akan adanya kenaikan kepadatan penduduk
kota. Di DKI Jakarta khususnya, tiap tahunnya jumlah penduduk di Ibu Kota ini selalu
meningkat, tercatat selama lima tahun terakhir jumlah penduduknya meningkat dari 9 juta
menjadi 16 juta penduduk (Statistik Transportasi DKI Jakarta, 2015). Ini menandakan bahwa
Jakarta bukan tidak mungkin tidak dapat menampung ledakan penduduk tiap tahunnya.
Perencanaan kota khususnya pembenahan tata ruang untuk mengatasi kepadatan kota perlu
dilakukan. Kepadatan kota bukanlah hal yang selalu menjadi ancaman, karena jika diatur
dengan baik, dapat memberikan keuntungan secara lokal, regional, dan juga secara global
(Ellis, 2007). Saat ini, permasalahan utama di Jakarta adalah urban sprawl, yaitu
pembangunan kota secara acak, tidak merata, dan terkesan berantakan sehingga menimbulkan
banyak permasalahan lain yang menyertainya. Jika tidak dibenahi, peningkatan kepadatan
penduduknya justru berimbas pada kota-kota sekitarnya seperti BODETABEK,
mengakibatkan fenomena urban sprawl ini bergeser ke daerah perbatasan dan menjadi makin
tak beraturan.

Saat ini di Jakarta, bertambahnya penduduk kota artinya bertambah pula bangunan
pemukiman yang ada, mengakibatkan penggunaan sumberdaya di area tersebut, seperti
sumber daya air semakin meningkat, sehingga menurunkan jumlah sumberdaya per kapita.
Sebenarnya bukan masalah peningkatan kepadatannya, karena sumberdaya air pasti
berkurang. Poinnya adalah bagaimana mengelola sumberdaya yang ada sesuai dengan potensi
dan kepadatan penduduk kotanya (Ricards, 2007). Kepadatan kota juga berakibat pada
mobilitasnya, semakin padat suatu kota, travel density akan semakin naik, bukan karena
mobilitas individu yang semakin tinggi, namun karena penduduk yang bertambah. Jadi,
walaupun secara individu mobilitasnya semakin berkurang, secara global tetap naik karena
penduduknya terus bertambah. Artinya ruang kota akan semakin rapat, aksebilitas semakin
tinggi, koridor-koridor (jalur penghubung) kota semakin vital sehingga penanganannya harus
difokuskan pada pengembangan detail kota yang berkelanjutan dengan fokus pada efisiensi,
integrase, dan juga kendaraan massal. (Farr, et al 2007).
Integrasi koridor kota, dan pemanfaatan ruang kota untuk mengurangi mobilitas
kendaraan menjadi hal yang krusial, sejalan dengan peningkatan kepadatan kota. Koridor-
koridor kota yang sebelumnya fokus pada highway kini dapat dialihkan pada pelayanan
transportasi masal demi mendukung kebutuhan transportasi dengan jumlah demand yang
tinggi. Tentunya kenyamanan moda dan integrasinya menjadi poin utama, agar penduduk
kota bisa mengakses transportasi masal dengan nyaman mulai. Aksesnya harus dipermudah
dimulai dari keluar rumah sampai menuju pusat kota, terminal, stasiun hanya dengan berjalan
kaki. Prinsip ini secara modern dikenal dengan TOD (Transit Oriented Development),
mudahnya, penduduk kota dapat mengakses semua moda transportasi menuju pusat kota
hanya dengan berjalan kaki (ITDP 2014). Walking distance menjadi hal yang penting, karena
jauh tidaknya jarak yang ditentukan bergantung dari kenyamanan pada koridor
perjalanannya. Perencanaan TOD juga menunjang tercapainya prinsip gaya hidup modern
yang lebih sehat karena mengedepankan poin sebagai berikut yaitu: walk to walk, cycling,
get on the bus, vehicle control, logistic service, koneksi tiap bloks dan efisiensi dalam
perancangan kota (Waston, 2003).

Selain integrasi antar koridor-koridor kota, bangunan-bangunan pemukiman kota


harus dirancang dengan prinsip keberlanjutan. Bangunan kota yang berkelanjutan harus
memenuhi syarat pokok yaitu meminimalisir dampak lingkungan; menggunakan material
secara efisien; dan pengelolaan konstruksi yang praktis. Suatu perumahan yang baik, baik itu
Townhouses atau Single-Family House harus memiliki fasilitas pedestrian dan pemanfaatan
energi yang bisa didaur ulang (rainwater harvesting), ruang terbuka untuk berkumpul.
Bangunan kota juga harus mempunyai nilai arsitektur yang baik, kunci dari kota yang
sustainable adalah adanya ruang terbuka; lingkungan yang sehat; sistem limpasan yang baik;
penggunaan energi kembali; adanya jalur bagi pejalan, produksi makanan yang baik;
ketersedian air bersih dan sesuai dengan kepadatannya.

Referensi
Statistik Transportasi DKI Jakarta. (2015). Retrieved 2016 2016, 2016, from BPS Jakarta:
jakarta.bps.go.id/backend/pdf_publikasi/Statistik-Transportasi-DKI-Jakarta-2015.pdf
Ellis, J. 2007. Ilustrating Density. Sustainable Urbanism: Urban Design With Nature. John
Willey & Sons, inc.
Richards, L. 2007. Water and the Density Debate. US EPA
Watson, D. 2003. Time-Saver Standards for Urban Design. Massachusetts: The McGraw-Hill
Companies.
Farr, et al. 2007. Sustainable Corridor. Sustainable Urbanism: Urban Design With Nature.
John Willey & Sons, inc. 2007
ITDP, 2014. Our Cities Ourselves: Principles for Transport in Urban Life

Anda mungkin juga menyukai