BERKELANJUTAN (TPB)/ SUSTAINABLE DEVELOPMENT GOALS (SDGs)
PROF. DR. SURADI WIJAYA SAPUTRA
I N D U S T R i, INOVASI DAN INFRASTRUKTUR A. Proporsi populasi yang dilayani oleh layanan broadband seluler a. Di era di mana teknologi digital tidak dapat dihindari dan lebih banyak orang perlu terhubung untuk mengikuti perubahan, layanan mobile broadband adalah fitur yang diperlukan untuk membantu orang menjadi lebih berdaya. Komitmen pemerintah untuk menyediakan layanan mobile broadband di seluruh wilayah di Indonesia telah menunjukkan hasil yang membuahkan hasil karena penetrasi mobile broadband mencapai 90% pada tahun 2019 (Kominfo, 2019). b. Namun demikian, disparitas dalam pembangunan daerah antara bagian timur dan barat Indonesia masih terus berlanjut karena mempengaruhi rendahnya tingkat populasi yang dilayani oleh layanan mobile broadband. Di Maluku dan Papua, misalnya, 55% desa belum menerima sinyal telepon seluler, dan hanya 60% penduduk yang menguasai ponsel tersebut (SUSENAS, 2014). c. Komitmen yang kuat dari pemerintah pusat dan daerah dengan paket kebijakan yang tepat sasaran harus dipercepat untuk mencapai agenda 2030. Jumlah ini sangat mungkin karena angka ini menunjukkan tren yang menjanjikan untuk dekade mendatang a. Strategi Pengembangan cakupan broadband seluler
1) Mempromosikan literasi ICT-HR
2) Meningkatkan jangkauan telepon seluler melalui program ‘mil terakhir’ di area blank spot 3) Penyediaan konten dan aplikasi pengabdian masyarakat berbasis mobile 4) Ketersediaan infrastruktur yang mendorong ketersediaan kebutuhan (listrik, jalan dan pusat ekonomi) BERKURANG KETIDAK-SETARAAN Koefisien Gini (Alat mengukur derajat ketidakmerataan distribusi penduduk) ◼ Gini Rasio telah meningkat tajam sejak 2004 dan mencapai puncaknya pada akhir 2013 menjadi 0,413. Ledakan komoditas (2004-2012) diperkirakan berkontribusi pada peningkatan Gini rasio. Namun, dimulai tahun 2015, Gini rasio berangsur-angsur menurun. ◼ Pada September 2018, Gini rasio mencapai 0,384, turun 2,9 poin dalam 5 tahun. Gini rasio sebesar 0,384 tergolong gap sedang. Gini rasio ini relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya, menunjukkan distribusi pendapatan yang lebih merata di negara ini. Sebagai rasio, Gini memiliki dua magnitudo yang harus dikendalikan seperti kelompok berpenghasilan menengah dan berpenghasilan tinggi. Gini rasio dipengaruhi oleh dinamika ekonomi dan dapat tidak sejalan dengan tingkat kemiskinan. Gini rasio bisa sangat rendah, tetapi tidak memberikan gambaran tentang kesejahteraan masyarakat secara umum. Namun demikian, selama 4 tahun terakhir, tingkat kemiskinan dan Gini rasio telah menurun. ◼ Ketimpangan muncul lebih jelas di daerah perkotaan di mana Gini perkotaan mencapai 0,401 sedangkan Gini pedesaan adalah 0,324 pada tahun 2018 (BPS, 2018). Secara regional, provinsi dengan aktivitas ekonomi yang tinggi juga menunjukkan ketimpangan pendapatan yang lebih tinggi. Ketimpangan pendapatan merupakan yang tertinggi di Yogyakarta, Sulawesi Tenggara, dan Jawa Barat dimana koefisien Gini masing-masing sebesar 0,441, 0,409, dan 0,407. Sementara Bangka Belitung dengan indeks Gini 0,281, Sumatera Utara (0,318), dan Kalimantan Utara (0,303) memiliki koefisien Gini terendah di antara provinsi lainnya. ◼ Melalui program yang tepat dari tahun 2015-2018 yang masuk dalam RPJMN 2015-2019, proporsi pengeluaran kelompok berpenghasilan menengah menurun menjadi 46,09% pada tahun 2018, dan proporsi pengeluaran termiskin meningkat. ◼ Berbagai kebijakan terkait bantuan sosial, reformasi keamanan, dan dana desa telah berkontribusi terhadap penurunan indeks Gini. Dari 2015 hingga 2018, indeks Gini menunjukkan tren penurunan dan target Gini 0,363 pada tahun 2030 dimungkinkan untuk dicapai dengan kebijakan tambahan, terutama untuk mengatasi ketidaksetaraan perkotaan. ◼ Untuk terus meningkatkan konsumsi kelompok termiskin menjadi di atas 20% (saat ini hanya 17%), kita membutuhkan pemberdayaan ekonomi serta bantuan sosial yang tepat sasaran dan terintegrasi, didukung oleh kebijakan fiskal yang mendukung pemerataan distribusi. 1. Formulating growth that is pro-poor and the vulnerables a. Meningkatkan kualitas kebijakan fiskal yang mendukung redistribusi yang lebih merata bagi masyarakat miskin dan yang rentan b. Mengoptimalkan kontribusi dari sektor UMKM untuk mengurangi ketimpangan c. Memperkuat sistem perpajakan yang adil d. Meningkatkan ekonomi pedesaan e. Meningkatkan aset produktif bagi masyarakat miskin dan rentan melalui penyaluran akses kepemilikan dan pengelolaan lahan (Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial) f. Pengendalian inflasi dan harga pangan melalui optimalisasi tarif impor 2. Mengelola stabilitas pertumbuhan yang pro-miskin dan yang rentan serta merangsang pertumbuhan untuk kelas menengah
a. Menegakkan kebijakan fiskal yang mendukung redistribusi yang lebih
merata bagi masyarakat miskin dan rentan b. Meningkatkan daya saing UMKM di pasar global c. Memperkuat kualitas sistem perpajakan yang adil d. Mengkoordinasikan program dan target untuk kelas menengah e. Penerapan kebijakan pangan untuk stabilisasi harga 3. Meningkatkan akses ke pendidikan dan pendidikan kejuruan, dan relevansinya untuk pekerjaan a. Pemerataan akses pendidikan dan pendidikan vokasi melalui kerja sama pemerintah dan sektor swasta b. Mengembangkan pendidikan vokasi berbasis daya saing ekonomi lokal c. Meningkatkan partisipasi kaum rentan di pasar kerja d. Meningkatkan integrasi sektor swasta dan lembaga pendidikan dan kejuruan untuk memenuhi permintaan pekerja yang kompeten e. Memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan penciptaan lapangan kerja f. Meningkatkan keterampilan pekerja migran sesuai dengan kebutuhan pasar. 4. Meningkatkan keterampilan pekerja untuk mengisi kompleks dan pekerjaan bernilai tambah tinggi a. Memfasilitasi transisi pekerjaan dari sektor lain ke sektor manufaktur b. Meningkatkan relevansi pendidikan dan pelatihan khususnya di bidang teknis dan teknologi informasi Gini 0,281, Sumatera Utara (0,318), dan Kalimantan Utara (0,303) memiliki koefisien Gini terendah di antara provinsi lainnya. Terimakasih