PENDAHULUAN
Grafik 2.1 Pandangan masa lalu, saat ini, dan masa depan dari konsumsi bahan
bakar fosil termasuk emisi CO2 dari pembakaran bahan bakar fosil (listrik, panas,
manufaktur, dan transportasi) dan proyeksi emisi CO2 setelah aplikasi CCS.
Sumber data: Atlas Energi IEA (2016), Dewan Energi Nasional (2014) di IEA
(Badan Energi Internasional) (2015), Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral Indonesia (2014), dan Institut Energi UCL (2013).
Penggunaan bahan bakar fosil pada grafik 2.1 telah mengalami
peningkat dari 53.4 Mtoe pada tahun 1990 menjadi 154.93 pada tahun 2013,
Berdasarkan data pada grafik 2.1 keseluruhan konsumsi bahan bakar fosil akan
meningkat menjadi 690 Mtoe pada tahun 2050. Peningkatan konsumsi bahan
bakar fosil ini akan disertai dengan peningkatan emisi CO2. Pada tahun 1990,
emisi CO2 adalah 133,9 Mtoe, yang meningkat menjadi 413,7 Mtoe pada 2013.
Pada 2030 dan 2050, masing-masing diperkirakan mencapai 1.000,6 dan 2065,98
Mtoe.
Pada 2012, melalui LEMIGAS, Pemerintah Indonesia memperkirakan
kapasitas penyimpanan 640 Mtoe CO2 di ladang minyak dan gas yang sudah
habis, sebagian besar di Kutai, Tarakan, dan wilayah Sumatera Selatan.
Mempertimbangkan tingkat emisi CO2 yang diberikan pada Gambar diatas,
kapasitas penyimpanan CO2 ini tidak akan mencakup perkiraan emisi CO2 dari
bahan bakar fosil pada tahun 2030 atau 2050. Oleh karena itu, CCS mungkin lebih
layak jika berfokus pada pembangkit listrik yang ada dan fasilitas minyak dan gas
yang ada. khususnya untuk lokasi yang dekat dengan lokasi penyimpanan CO2 .
Pada kondisi saat ini, opsi yang paling baik untuk CCS di Indonesia
adalah penyimpanan CO2 dalam hubungannya dengan Enhanced Oil Recovery
(EOR), karena injeksi CO2 ke lapangan minyak dan gas yang produksinya sudah
menipis yang secara signifikan mengurangi viskositas untuk menghasilkan
pendapatan tambahan yang dapat mengimbangi biaya CSS (Doyle, 2013).
Prediksi konsumsi bahan bakar fosil yang terus meningkat dan jumlah
emisi CO2 serta pertumbuhan populasi dimasa depan, oleh karena itu pemerintah
Indonesia harus meningkatkan upaya untuk mengeksplorasi dan menggunakan
CCS. Langkah awal yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah membentuk
Program Pemetaan Penyimpanan CO2 yang dijalankan oleh Komite Koordinasi
untuk Program Geosains di Asia Timur dan Tenggara (CCOP), yang tujuannya
adalah untuk menyelidiki lokasi penyimpanan CO2 yang potensial (Lemigas,
2012).
Penyerapan CO2 yang paling efektif mungkin dilakukan pada titik sumber, seperti
fasilitas berbahan bakar fosil atau energi biomassa besar, industri dengan emisi
CO2 besar, pengolahan gas alam, pabrik bahan bakar sintetis dan pabrik produksi
hidrogen berbasis bahan bakar fosil. Ekstraksi CO2 (recovery) dari udara
mungkin dilakukan, tapi sangat tidak praktis. Konsentrasi CO2menurun secara
cepat bergerak menjauhi titik sumber. Konsentrasi yang lebih rendah akan
meningkatkan jumlah aliran massa yang harus diproses (per ton karbon dioksida
yang diekstraksi). Ada tiga jenis teknologi untuk menyerap CO2; yaitu pasca-
pembakaran, pra pembakaran, dan pembakaran oxyfuel ;
1. Dalam penyerapan pasca pembakaran, CO2 disingkirkan setelah
pembakaran bahan bakar fosil. Ini adalah skema yang akan diterapkan
untuk pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Di sini, karbon dioksida
ditangkap dari gas buang pada pembangkit listrik atau titik sumber besar
lainnya. Teknologi ini dipahami dengan baik dan saat ini digunakan juga
dalam aplikasi industry lainnya, meskipun tidak pada skala yang sama
seperti yang mungkin diperlukan dalam pembangkit listrik skala komersial
(Benson & Orr, 2008).
2. Teknologi untuk pra-pembakaran secara luas diterapkan dalam industry
pupuk, kimia, bahan bakar gas (H2, CH4), dan produksi listrik. Dalam
kasus ini, bahan bakar fosil sebagian dioksidasi, misalnya dalam gasifier.
Syngas yang dihasilkan (CO dan H2) dirubah menjadi CO2 dan H2. CO2
yang dihasilkan dapat diserap dari aliran gas buang yang relatif murni. H2
saat ini dapat digunakan sebagai bahan bakar, karbon dioksida akan
dihilangkan sebelum pembakaran terjadi. Ada beberapa keuntungan dan
kerugian bila dibandingkan dengan penyerapan karbon dioksida pasca-
pembakaran konvensional. CO2 dihilangkan setelah pembakaran bahan
bakar fosil, tapi sebelum gas buang diekspansi ke tekanan atmosfer.
Skema ini diterapkan untuk pembangkit listrik berbahan bakar fosil baru,
atau untuk pembangkit yang telah ada di mana re-powering merupakan
pilihan. Penyerapan CO2 sebelum ekspansi, yaitu dari gas bertekanan,
adalah standar di hamper semua proses penyerapan CO2 dari industri,
dalam skala yang sama seperti yang diperlukan untuk pembangkit listrik
(Benson & Orr, 2008).
3. Dalam pembakaran oxy-fuel, bahan bakar dibakar dalam oksigen
sebagai pengganti udara. Untuk membatasi temperatur nyala yang
dihasilkan ke tingkat biasa seperti pada saat pembakaran konvensional, gas
buang dingin disirkulasikan kembali dan diinjeksikan ke dalam ruang
pembakaran. Gas buang terdiri atas utamanya karbon dioksida dan uap air,
dimana yang terakhir akan terkondensasi melalui proses pendinginan.
Hasilnya adalah aliran karbon dioksida hampir murni yang dapat diangkut
ke lokasi penyerapan dan disimpan. Proses pembangkitan listrik
didasarkan pada pembakaran oxy-fuel kadang-kadang disebut sebagai
siklus "emisi nol", karena CO2 yang diserap bukan fraksi CO2 yang
dihilangkan dari aliran gas buang (seperti dalam kasus penyerapan
sebelum dan sesudah pembakaran) tetapi dari aliran gas buang nya sendiri
(Benson & Orr, 2008).