Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara penyumbang emisi Gas Rumah Kaca terbesar
ke-16 di Dunia pada tahun 2003, yang menghasilkan rata-rata 347 juta ton karbon
dioksida ekuivalen (MtCO2e). Meningkatnya emisi CO2 memiliki dampak Gas
Rumah Kaca (GRK), yang mana jika dibiarkan akan berdampak negatif pada
lingkungan kita. Mengacu pada tingginya sumber emisi CO2 yang merupakan
penyebab tertingginya Gas Rumah Kaca dari berbagai sektor di indonesia, data
tercatat pada tahun 2005 persenatase penyumbang emisi CO2 adalah 36,9% dari
sektor Industri, 26.6% dari sektor pembangkit listrik, 23.1% dari sektor
transportasi, dan hampir 9% dari sektor perumahan (PEN konsultan, 2015).
Beberapa negara di Asia Tenggara seperti Indonesia, Thailand, Philipina,
dan Vietnam merupakan negara yang terpilih untuk berfokus pada CCS oleh
Asian Development Bank. Negara ini telah telah mengambil langkah awal untuk
menetapkan rencana aksi nasional tentang perubahan iklim yang akan
mengintegrasikan aspirasi pembangunan mereka dengan kelestarian lingkungan
dan adaptasi iklim. Namun, Indonesia telah lebih jauh melangkah, berjanji secara
sepihak untuk mencapai pengurangan emisi 26%, atau hingga 41% dengan
dukungan internasional pada tahun 2020 (Nai, 2013). Hal ini tentu sejalan dengan
Indonesia yang telah berkomitmen untuk mengurangi GRK dengan mengadopsi
Rencana Aksi Nasional Mengatasi Perubahan Iklim (RAN-PI) melalui Keputusan
Presiden No.61 / 2011 (Lemigas, 2012).
Dari angka 26% tersebut, 6% berasal dari sektor energi yang diperkirakan
setiap tahunnya mengalami penigkatan penyumbangan emisi CO2 sejalan dengan
semakin banyaknya kegiatan pengilangan. Sumber emisi CO2 dari sektor energi
salah satunya adalah berasal dari kegiatan hulu migas yaitu penyalaan gas (gas
flaring) pada kegiatan eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi (PEN
konsultan, 2015). Dengan adanya target dalam pengupayaan mengurangi GRK di
Indonesia, maka CCS menjadi cara yang efektif untuk mengurangi emisi CO2 ke
atmosfer.
Carbon Capture Storage (CCS) adalah penangkapan dan penyimpanan yang
aman dari karbon dioksida (CO2) yang seharusnya dipancarkan ke atmosfer. Saat
ini, upaya CCS yang utama adalah berfokus pada penghilangan karbon dioksida
langsung dari pabrik industri dan kemudian menyimpannya di reservoir geologi
yang aman. Alasan untuk CCS adalah untuk memungkinkan penggunaan bahan
bakar fosil sambil mengurangi emisi CO2 ke atmosfer, dan dengan demikian
memitigasi perubahan iklim global (Benson & Orr, 2008). Dengan banyaknya
sumur minyak dan gas bumi yang sudah tua di Indonesia, tentu akan sangat
membantu storage CO2 dan mensukseskan program CCS di Indonesia.

1.2 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk :
1. Mengkaji kondisi efek Gas Rumah Kaca di Indonesia terkini
2. Mengkaji tempat penyimpanan CO2 untuk memitigasi emisi Gas Rumah
Kaca di daerah terdekat dengan sumber CO2 seperti pengilangan minyak
dan gas bumi
3. Mengevaluasi keuntungan dan kerugian pengimplementasian CCS di
Indonesia untuk memitigasi emisi Gas Rumah Kaca
4. Mengevaluasi pendapat pro dan kontra penerapan CCS di Indonesia
5. Mengembangkan metode-metode yang efisien dalam mengurangi emisi
CO2 untuk memitigasi efek Gas Rumah Kaca diatmosfer.

1.3 Manfaat Penelitian


Adapun manfaat dari penelitian ini adalah untuk :
1. Bagi Negara Indonesia, dengan menerapkan CCS maka Rencana Aksi
Nasional Mengatasi Perubahan Iklim (RAN-PI) untuk memitigasi GRK
yang ditargetkan hingga 41% pada tahun 2020 akan segera terwujud.
2. Indonesia dengan jutaan penduduk akan memiliki rasa tanggung jawab
untuk menjaga lingkungan terlebih edukasi mengenai CCS adalah
komunikasi terbaik untuk menyadarkan masyarakat akan seberapa
pentingnya teknologi baru yang akan diterapkan ini.
3. Mahasiswa adalah generasi yang akan berperan aktif serta memiliki
pengaruh yang besar dalam mensosialisasikan CCS kepada khalayak ramai
dan dengan Indonesia yang bersih menandakan generasi muda yang perduli
terhadap lingkungannya serta menandakan generasi yang sehat dan
terlindungi dari efek GRK.

1.4 Batasan Masalah


Dalam penulisan penelitian ini penulis membatasi masalah tentang studi
pemanfaatan CSS sebagai mitigasi mengurangi efek Gas Rumah Kaca dan studi
tentang pemanfaatan CO2 untuk proses Enhanced Oil Recovery pada industry oil
dan gas serta bagaimana proses pemanfaatan CSS untuk mengurangi emisi gas
CO2.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Indonesia adalah negara berkembang dengan sumber daya fosil yang


melimpah di dunia, dan bahan bakar fosil ini akan tetap menjadi sumber energi
utama selama beberapa dekade mendatang. Pemerintah Indonesia telah
berkomitmen untuk mencapai objektif mengurangi emisi Gas Rumah Kaca
sebesar 26% pada tahun 2020 dari komsumsi bahan bakar fosil dalam upaya
mitigasi perubahan iklim (Adisaputro & Saputra, 2017).
Pemerintah Indonesia juga mendukung Carbon Capture Storage (CSS)
sebagai strategi nasional, seperti yang ditunjukkan oleh proyek percontohan CSS
yang ada di Stasiun Pengumpulan Gas Merbau. CO2 yang ditangkap diinjeksikan
kedalam reservoir minyak dan gas yang telah habis disekitar titik sumber. Proyek
ini akan menyimpan 50-100 t CO2 perhari selama beberapa bulan mulai dari 2016
dan akan ditutup untuk penilaian pada tahun 2018 (Lemigas, 2012).

Grafik 2.1 Pandangan masa lalu, saat ini, dan masa depan dari konsumsi bahan
bakar fosil termasuk emisi CO2 dari pembakaran bahan bakar fosil (listrik, panas,
manufaktur, dan transportasi) dan proyeksi emisi CO2 setelah aplikasi CCS.
Sumber data: Atlas Energi IEA (2016), Dewan Energi Nasional (2014) di IEA
(Badan Energi Internasional) (2015), Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral Indonesia (2014), dan Institut Energi UCL (2013).
Penggunaan bahan bakar fosil pada grafik 2.1 telah mengalami
peningkat dari 53.4 Mtoe pada tahun 1990 menjadi 154.93 pada tahun 2013,
Berdasarkan data pada grafik 2.1 keseluruhan konsumsi bahan bakar fosil akan
meningkat menjadi 690 Mtoe pada tahun 2050. Peningkatan konsumsi bahan
bakar fosil ini akan disertai dengan peningkatan emisi CO2. Pada tahun 1990,
emisi CO2 adalah 133,9 Mtoe, yang meningkat menjadi 413,7 Mtoe pada 2013.
Pada 2030 dan 2050, masing-masing diperkirakan mencapai 1.000,6 dan 2065,98
Mtoe.
Pada 2012, melalui LEMIGAS, Pemerintah Indonesia memperkirakan
kapasitas penyimpanan 640 Mtoe CO2 di ladang minyak dan gas yang sudah
habis, sebagian besar di Kutai, Tarakan, dan wilayah Sumatera Selatan.
Mempertimbangkan tingkat emisi CO2 yang diberikan pada Gambar diatas,
kapasitas penyimpanan CO2 ini tidak akan mencakup perkiraan emisi CO2 dari
bahan bakar fosil pada tahun 2030 atau 2050. Oleh karena itu, CCS mungkin lebih
layak jika berfokus pada pembangkit listrik yang ada dan fasilitas minyak dan gas
yang ada. khususnya untuk lokasi yang dekat dengan lokasi penyimpanan CO2 .
Pada kondisi saat ini, opsi yang paling baik untuk CCS di Indonesia
adalah penyimpanan CO2 dalam hubungannya dengan Enhanced Oil Recovery
(EOR), karena injeksi CO2 ke lapangan minyak dan gas yang produksinya sudah
menipis yang secara signifikan mengurangi viskositas untuk menghasilkan
pendapatan tambahan yang dapat mengimbangi biaya CSS (Doyle, 2013).
Prediksi konsumsi bahan bakar fosil yang terus meningkat dan jumlah
emisi CO2 serta pertumbuhan populasi dimasa depan, oleh karena itu pemerintah
Indonesia harus meningkatkan upaya untuk mengeksplorasi dan menggunakan
CCS. Langkah awal yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah membentuk
Program Pemetaan Penyimpanan CO2 yang dijalankan oleh Komite Koordinasi
untuk Program Geosains di Asia Timur dan Tenggara (CCOP), yang tujuannya
adalah untuk menyelidiki lokasi penyimpanan CO2 yang potensial (Lemigas,
2012).

2.1 Prinsip Penyerapan dan Penyimpanan Karbon


Penyerapan dan Penyimpanan Karbon (PPK) adalah pemisahan dan
penangkapan karbon dioksida (CO2) dari emisi ke atmosfer dari proses industri,
pengangkutannya dan penyimpanan CO2 secara permanen yang aman di dalam
formasi geologi bawah tanah. Dengan mencegah CO2 dari fasilitas industri skala
besar memasuki atmosfer, PPK merupakan perangkat canggih untuk mengatasi
perubahan iklim potensial. Penyimpanan geologi didefinisikan sebagai
penempatan CO2 ke dalam formasi bawah permukaan sehingga akan tetap aman
dan tersimpan selamanya. Lima jenis formasi geologi bawah tanah untuk
penyimpanan karbon sedang diteliti, masing-masing dengan tantangan dan
peluang yang unik, yaitu:
1. Formasi garam;
2. Reservoir Minyak dan Gas;
3. Area batu bara yang tidak ditambang;
4. Batuan serpih kaya organik; dan
5. Formasi basal.
Gambar 1 Diagram penyimpanan karbon (SBC energy institute, 2016)
Penyimpanan geologi untuk CO2muncul dari fasilitas industri yang mengeluarkan
CO2 dalam jumlah besar, terutama mereka yang membakar batubara, minyak,
atau gas alam. Fasilitas ini termasuk pembangkit listrik, kilang minyak, fasilitas
produksi minyak dan gas, pabrik pengolahan besi dan baja, pabrik semen, dan
berbagai pabrik kimia. Dengan PPK, CO2 tidak dihilangkan dari atmosfer.
Sebaliknya, CO2 yang seharusnya telah dilepaskan ke atmosfer ditangkap dan
diinjeksikan ke dalam tanah. PPK memungkinkan industri untuk melanjutkan
kegiatan dengan pengurangan gangguan, dan meminimalkan dampak industry
terhadap perubahan iklim. Banyak studi menunjukkan bahwa PPK dapat
memberikan kontribusi yang signifikan untuk mengurangi emisi CO2.
Pengurangan emisi terbesar dicapai ketika semua opsi untuk mengurangi emisi
CO2 dimanfaatkan, termasuk efisiensi energi, substitusi bahan bakar, sumber
energi terbarukan dan PPK (PEN konsultan, 2015).

2.2 Penyerapan dan Transportasi Karbon


Penyerapan dan Penyimpanan Karbon (PPK), adalah proses penangkapan
limbah karbon dioksida (CO2) dari titik sumber besar, seperti pembangkit listrik
berbahan bakar fosil, mengangkutnya ke sebuah lokasi penampungan, dan
menyimpannya sehingga tidak akan memasuki atmosfer, biasanya di formasi
geologi bawah tanah atau digunakan untuk keperluan EOR. Tujuannya adalah
untuk mencegah pelepasan sejumlah besar CO2 ke atmosfer (dari penggunaan
bahan bakar fosil di pembangkit listrik dan industri lainnya). Ini adalah cara yang
potensial untuk mengurangi kontribusi emisi bahan bakar fosil terhadap
pemanasan global dan pengasaman laut. Meskipun CO2 telah diinjeksikan ke
dalam formasi geologi selama beberapa dekade untuk berbagai tujuan, termasuk
meningkatkan perolehan minyak (EOR), penyimpanan jangka panjang CO2 di
formasi geologi adalah sebuah konsep yang relatif baru (Benson & Orr, 2008).
Gambar 2 Skema Proses Carbon Capture Storge (SBC energy institute, 2016)

2.2.1 Penyerapan CO2

Penyerapan CO2 yang paling efektif mungkin dilakukan pada titik sumber, seperti
fasilitas berbahan bakar fosil atau energi biomassa besar, industri dengan emisi
CO2 besar, pengolahan gas alam, pabrik bahan bakar sintetis dan pabrik produksi
hidrogen berbasis bahan bakar fosil. Ekstraksi CO2 (recovery) dari udara
mungkin dilakukan, tapi sangat tidak praktis. Konsentrasi CO2menurun secara
cepat bergerak menjauhi titik sumber. Konsentrasi yang lebih rendah akan
meningkatkan jumlah aliran massa yang harus diproses (per ton karbon dioksida
yang diekstraksi). Ada tiga jenis teknologi untuk menyerap CO2; yaitu pasca-
pembakaran, pra pembakaran, dan pembakaran oxyfuel ;
1. Dalam penyerapan pasca pembakaran, CO2 disingkirkan setelah
pembakaran bahan bakar fosil. Ini adalah skema yang akan diterapkan
untuk pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Di sini, karbon dioksida
ditangkap dari gas buang pada pembangkit listrik atau titik sumber besar
lainnya. Teknologi ini dipahami dengan baik dan saat ini digunakan juga
dalam aplikasi industry lainnya, meskipun tidak pada skala yang sama
seperti yang mungkin diperlukan dalam pembangkit listrik skala komersial
(Benson & Orr, 2008).
2. Teknologi untuk pra-pembakaran secara luas diterapkan dalam industry
pupuk, kimia, bahan bakar gas (H2, CH4), dan produksi listrik. Dalam
kasus ini, bahan bakar fosil sebagian dioksidasi, misalnya dalam gasifier.
Syngas yang dihasilkan (CO dan H2) dirubah menjadi CO2 dan H2. CO2
yang dihasilkan dapat diserap dari aliran gas buang yang relatif murni. H2
saat ini dapat digunakan sebagai bahan bakar, karbon dioksida akan
dihilangkan sebelum pembakaran terjadi. Ada beberapa keuntungan dan
kerugian bila dibandingkan dengan penyerapan karbon dioksida pasca-
pembakaran konvensional. CO2 dihilangkan setelah pembakaran bahan
bakar fosil, tapi sebelum gas buang diekspansi ke tekanan atmosfer.
Skema ini diterapkan untuk pembangkit listrik berbahan bakar fosil baru,
atau untuk pembangkit yang telah ada di mana re-powering merupakan
pilihan. Penyerapan CO2 sebelum ekspansi, yaitu dari gas bertekanan,
adalah standar di hamper semua proses penyerapan CO2 dari industri,
dalam skala yang sama seperti yang diperlukan untuk pembangkit listrik
(Benson & Orr, 2008).
3. Dalam pembakaran oxy-fuel, bahan bakar dibakar dalam oksigen
sebagai pengganti udara. Untuk membatasi temperatur nyala yang
dihasilkan ke tingkat biasa seperti pada saat pembakaran konvensional, gas
buang dingin disirkulasikan kembali dan diinjeksikan ke dalam ruang
pembakaran. Gas buang terdiri atas utamanya karbon dioksida dan uap air,
dimana yang terakhir akan terkondensasi melalui proses pendinginan.
Hasilnya adalah aliran karbon dioksida hampir murni yang dapat diangkut
ke lokasi penyerapan dan disimpan. Proses pembangkitan listrik
didasarkan pada pembakaran oxy-fuel kadang-kadang disebut sebagai
siklus "emisi nol", karena CO2 yang diserap bukan fraksi CO2 yang
dihilangkan dari aliran gas buang (seperti dalam kasus penyerapan
sebelum dan sesudah pembakaran) tetapi dari aliran gas buang nya sendiri
(Benson & Orr, 2008).

2.2.2 Transportasi CO2


Setelah penyerapan, CO2 harus diangkut ke lokasi penyimpanan yang
sesuai. Hal ini dapat dilakukan dengan mentransportasikan nya melalui pipa, yang
merupakan bentuk transportasi yang termurah. Transportasi CO2 dalam pipa
adalah teknologi yang telah dikenal dan matang, dengan pengalaman yang cukup
signifikan dengan telah digunakannya lebih dari 6 000 km pipa CO2 di Amerika
Serikat. Ada juga pengalaman lain, meskipun terbatas, yaitu transportasi CO2
menggunakan pipa lepas pantai dalam proyek Snøhvit di Norwegia. Pedoman
desain dan operasi dari pipa CO2, yang melengkapi standar teknis yang sudah ada
untuk transportasi pipa fluida (seperti ISO 13623 dan ASME B31.4) dirilis pada
tahun 2010 (DNV, 2010). CO2 diangkut ke lapangan produksi minyak di mana ia
kemudian diinjeksikan ke dalam lapangan yang lebih tua untuk mengekstraksi
minyak. Injeksi CO2 untuk meningkatkan produksi minyak ini disebut Enhanced
Oil Recovery (EOR) yang sudah digunakan saat ini. Kapal dan tangki-truk juga
bisa dimanfaatkan untuk mengangkut CO2 bila pipa tidak layak digunakan.
Metode ini dapat digunakan untuk mengangkut CO2 untuk aplikasi lain (Doyle,
2013).

Anda mungkin juga menyukai