Nahidha Rilebina
A. Pengantar
Di dalam kehidupan manusia bermasyarakat telah tumbuh tradisi yang
diwarisi secara turun temurun. Tradisi, kebiasaan atau perilaku ini tumbuh dan
berkembang sesuai dengan kedekatan manusia dengan alam sekitarnya dan
tantangan yang dihadapinya. Ini merupakan kearifan lokal yang mewarnai
kehidupan masyarakat. Kearifan lokal (local wisdom) dipandang sebagai
tindakan dan sikap manusia terhadap sesuatu objek atau peristiwa yang terjadi
dalam ruang tertentu, seperti yang terdapat pada masyarakat Bajo di Provinsi
Gorontalo yang memiliki sistem pengetahuan turun-temurun (Ramli
Utina,2012:16)
Kecerdasan ekologis menghendaki manusia untuk menerapkan apa yang
dialaminya dan dipelajarinya tentang hubungan aktivitas manusia dengan
ekosistem. Kecerdasan ekologis menempa manusia menata emosi, pikiran dan
tindakannya dalam menyikapi jagat raya. Kecerdasan ekologis dituangkan dalam
bentuk sikap dan perilaku nyata yang mempertimbangkan kapasitas ekologis,
dan melahirkan sikap setia kawan manusia dengan alam (Hultkrantz, dalam
Sternberg, 2004).
Sebagai negara yang memiliki ribuan pulau yang luas maka dari itu kita
patut bangga untuk memperkenalkan unsur-unsur budaya yang ada di Indonesia.
Dengan itu, saya mengangkat makalah tentang sistem pengetahuan dan tradisi
masyarakat Bajo agar kita dapat mengetahui pola pikir dan budaya dari
masyarakat itu sendiri.
Adapun hal yang perlu diketahui dalam sistem pengetahuan dan tradisi
pada masyarakat Bajo, yakni : 1) Bagaimanakah masyarakat Bajo dalam
mengelola permukiman penduduk?, 2) Bagaimana tradisi turun-temurun
masyarakat Bajo dalam melaut?, 3) bagaimanakah pengetahuan masyarakat Bajo
tentang gejala alam?
1
Artikel ini merupakan tugas akhir mata kuliah WSBM kelas KESMAS C, FKM Universitas Hasanuddin
2018
B. Tinjauan Pustaka
1.1. Konsep Pengetahuan Masyarakat Maritim
Manusia mempunyai kapasitas untuk mencerap apa yang terjadi di seklilingnya,
selanjutnya menganalisis dan menafsirkan baik sebagai hasil pengamatan maupun
pengalaman, yang pada gilirannya dapat digunakan untuk meramalkan ataupun
sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Jadi pengetahuan
merupakan keluaran dari proses pembelajaran, penjelasan berdasarkan pemikiran dan
persepsi. Pengetahuan lokal suatu masyarakat seperti petani yang hidup di lingkungan
wilayah yang spesifik biasanya diperoleh berdasarkan pengalaman yang diwariskan
secara turun temurun. Pengetahuan praktis petani tentang ekosistem lokal, sumber
daya alam dan bagaimana mereka saling berinteraksi akan tercermin baik di dalam
teknik bertani maupun keterampilan mereka dalam mengelola sumber daya alam.
Pengetahuan lokal yang sudah sedemikian menyatu dengan sistem kepercayaan,
norma dan budaya diekspresikan di dalam tradisi dan norma yang dianut dalam jangka
waktu yang lama.
1.2. Konsep Tradisi Masyarakat
Budaya dan kearifan lokal merupakan sesuatu yang berkaitan secara spesifik dan
mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu, serta memiliki nilai-nilai tradisi
atau ciri lokalitas yang mempunyai daya guna untuk mewujudkan harapan yang secara
universal didamba-damba oleh manusia yaitu kebahagiaan dan kesejahteraan hidup.
Dengan demikian kearifan lokal merupakan pandangan dan pengetahuan tradisional
yang menjadi acuan dalam berperilaku dan telah dipraktikkan secara turun-temurun
untuk memenuhi kebutuhan dan tantangan dalam kehidupan suatu masyarakat.
Kearifan lokal berfungsi dan bermakna dalam masyarakat baik dalam pelestarian
sumber daya alam dan manusia, pemertahanan adat dan budaya, serta bermanfaat
untuk kehidupan.
1.3. Gambaran Umum Masyarakat Bajo Kabupaten Boalemo
1.3.1. Kondisi Geografis dan Demografis
Kondisi fisik wilayah Kabupaten Boalemo secara umum memiliki karakteristik
wilayah pesisir. Kabupaten Boalemo mempunyai potensi sumber daya pesisir yang
sangat kaya, di mana ditandai dengan keanekaragaman hayati yang sangat kaya pada
pantainya. Wilayah Kabupaten Boalemo sebagian besar datar, perbukitan rendah dan
dataran tinggi, tersebar pada ketinggian 0–2000 meter di atas permukaan laut.
Kabupaten Boalemo mempunyai topografi yang bervariasi. Ada yang datar,
bergelombang, hingga berbukit.
Jumlah penduduk Kabupaten Boalemo berdasarkan data P4B tahun 2005 adalah
106.790 jiwa, terdiri dari penduduk Laki-laki 53.813 jiwa dan penduduk perempuan
52.977 jiwa.
C. Pembahasan
2.1. Pengelolaan Permukiman Penduduk
Perumahan penduduk berupa rumah panggung di atas permukaan air laut di
kedalaman antara 1 sampai 8 meter, perumahan antar penduduk dihubungkan dengan
jembatan kayu. Tiang rumah dan jembatan dibangun menggunakan kayu dari jenis
tanaman yang tahan air (nama lokal Gopasa) yang diambil dari luar kawasan
mangrove. Pada awalnya masyarakat menggunakan tanaman yang sudah tua dan mati
(nama lokal Posi-posi) yang diambil dari kawasan hutan mangrove.
Perahu dayung atau bermotor tempel digunakan sebagai sarana angkutan dan
sebagai sarana perdagangan bahan makanan pokok. Kemudian pemerintah daerah
membangun jembatan konstruksi beton dari arah pantai melewati kawasan padat hutan
mangrove dan padang lamun, tetapi hanya sebatas area pasang-surut dan tidak
mencapai lokasi perumahan. Masyarakat tidak menyetujui lanjutan pembangunan
jembatan ini, dengan alasan akan masuknya sepeda motor ke permukiman sehingga
pencaharian penduduk dengan ojek perahu akan hilang. Alasan lain adalah makin
luasnya kerusakan mangrove dan padang lamun akibat konstruksi jembatan, dan tidak
dapat dihindari kebisingan, asap dan oli buangan mesin sepeda motor yang mencemari
perairan laut. Karena itu perahu dengan motor tempel masih digunakan sebagai sarana
angkutan utama antara daratan dengan permukiman penduduk, waktu tempuh 5-10
menit. Saat ini Desa Torosiaje ditetapkan oleh pemerintah kabupaten sebagai desa
wisata.
Perilaku masyarakat Bajo mengalihkan penggunaan kayu dari kawasan
mangrove, menolak perluasan jembatan dengan alasan mempertahankan hutan
mangrove dan padang lamun serta menjaga perairan laut dari pencemaran merupakan
bentuk kecerdasan ekologis masyarakat Bajo dalam pelestarian ekosistem pesisir.
Kerusakan ekosistem mangrove disadari akan berdampak pada kehidupan lamun dan
terumbu karang, dan selanjutnya hilangnya biota laut (jenis-jenis ikan karang), dan
pada gilirannya kerusakan ekosistem pesisir dapat mengganggu mata pencaharian
pokok masyarakat.
Dukungan masyarakat Bajo menjadikan Desa Torosiaje sebagai desa wisata
menunjukkan adanya kesadaran masyarakat untuk mempertahankan ekosistem pesisir
dan eksistensi permukiman di perairan laut. Konsekuensinya adalah, masyarakat Bajo
harus menjaga kelestarian ekosistem dan sumberdaya alam pesisir, sehingga layanan
jasa wisata ini menjadi sumber kehidupan masyarakat secara berlanjut.