Anda di halaman 1dari 4

Fenomena alam ialah takdir yang tidak bisa dilawan.

Akan tetapi, besar-


kecilnya dampak bencana yang disebabkan fenomena alam tersebut sangat
ditentukan oleh manusia sendiri. Cuaca ekstrem akibat siklon tropis Seroja
telah mengakibatkan banjir bandang dan tanah longsor di berbagai daerah di
NTT dan NTB. Puluhan orang dilaporkan meninggal dan puluhan lainnya
belum ditemukan.
    Dampak fenomena alam itu mestinya sudah bisa diantisipasi sebelumnya.
Tindakan antisipasi tersebut karena Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika (BMKG) sudah memprediksikan dengan tepat keberadaan siklon
tropis Seroja dan juga dampak yang ditimbulkannya. Prediksi BMKG itu
seakan-akan diabaikan dengan penuh kesadaran. Tidak perlu mencari siapa
yang salah.
    Saatnya bangsa ini lebih menghargai ramalan cuaca. Ramalan cuaca
merupakan hasil kerja rasional dan berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan. Hasil
kerja itu bersifat empiris, bukan spekulatif, apalagi hasil mimpi semalam. Oleh
karena itu, sepatutnya kita berpedoman padanya.

Pembahasan
Teks editorial adalah teks yang berisi pendapat pribadi seseorang terhadap
suatu isu/masalah aktual.
Isu aktual itu sendiri merupakan isu yang mengangkat peristiwa yang benar-
benar sedang terjadi di masyarakat. Aktual berarti terjadi saat ini.
Berdasarkan penjelasan di atas, isu aktual dalam teks editorial tersebut
adalah "Fenomena alam yang tidak dapat dilawan manusia". Hal ini
sesuai dengan kutipan teks pada awal kalimat paragraf pertama yang
berbunyi "Fenomena alam ialah takdir yang tidak bisa dilawan".
Wajah Nasionalisme Pemuda Indonesia, Kini

Berbicara soal nasionalisme mungkin tidak akan ada habisnya. Banyak yang mengatakan bahwa
nasinalisme bukan untuk diartikan, melainkan hanya untuk diamalkan atau bahasa sederhananya
dipraktekkan.Mungkin betul, namun tidak ada salahnya jika kita juga bisa mendefinisikan kata yang
cukup berarti bagi kita ini. Nasionalisme merupakan rasa cinta kepada tanah air. Kata cinta di sini
memiliki makna yang cukup mendalam. Cinta berarti sayang dengan tulus tanpa pamrih.

Mungkin kata yang satu ini dulu menjadi tameng depan untuk menuju suatu perubahan. Sebagai
contoh ketika masa transisi orde baru menuju orde reformasi. Pemuda dan mahasiswa bersatu berada
di garis depan beraksi atas nama rakyat rela berjuang sampai titik darah penghabisan. Merelakan harta
bahkan jiwa dan raga. Tidak sedikit yang harus merelakan masa mudanya untuk memikirkan nasib
bangsanya. Tidak sedikit yang mau turun ke jalan. Berorasi dan memperjuangkan nasib rakyat yang
sedang koleps waktu itu. Namun, bagaimana dengan pemuda saat ini. Masihkah ada yang berjiwa
seperti pemuda di era tumbangnya orde baru? Mungkin masih ada.

Namun, sungguh berbeda dengan semangat dan atmosfer aktivis jaman dahulu. Ada seorang
teman yang mengatakan bahwa menjadi seorang aktivis sudah bukan jamannya. Ada yang mengatakan
bahwa menjadi aktivis saat ini kurang ada gregetnya. Pemuda yang berada digaris depan adalah para
pemuda yang siap secara mental dan intelektual. Bukan hanya mengandalkan kekerasan fisik apalagi
provokasi.

Pemudapemuda seperti ini banyak di Indonesia. Sebut saja mahasiswa. Mahasiswa seharusnya
sangat memenuhi kriteria ini. Mahasiswa adalah golongan terpelajar pada tingkat tertinggi. Masalah
intelektual, tentu mereka nomer satu. Tapi bagaimana kalau bicara masalah mental? Apalagi semangat.

…. Pertanyaan 1. Tuliskan pernyataan yang mengandung isu yang dibahas dalam penggalan
editorial di atas!

2. Tulislah satu argumen yang kalian temukan pada penggalan teks editorial di atas?

3. Tulislah sebuah kalimat opini yang terdapat pada penggalan teks trersebut!

4. Dukungan dan sarann kepada siapakah yang dituju oleh editorial tersebut!
Kompetisi yang Bodoh
Baru-baru ini, di sosial media beredar cuplikan pernyataan dari salah seorang
tim kampanye nasional pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo
- Sandiaga. Dalam pernyataannya, beliau dengan cukup percaya diri
mengatakan bahwa Prabowo memiliki sifat yang dicari dari seorang pemimpin
karena pernah menjadi orang Indonesia pertama, bersama timnya, dalam
menaklukkan puncak Gunung Everest.
Pernyataannya pun langsung menuai polemik id tengah masyarakat.
Pernyataan tersebut memunculkan fenomena baru tentang betapa
'semangatnya' para anggota tim kampanye pasangan calon presiden dan
wakil presiden sampai-sampai mereka berani mengajukan klaim tidak
berdasar kepada masyarakat. Semua dilakukan tak lebih sebagai cara untuk
menarik perhatian masyarakat. Tak butuh waktu yang lama sampai salah satu
media massa nasional menyajikan berita yang menyanggah klaim tersebut
dengan menampilkan sosok Clara Sumarwati yang berhasil menaklukkan
puncak gunung tertinggi di dunia tersebut pada tahun 1996, setahun sebelum
klaim yang diajukan Mardani Ali Sera.
Peristiwa tersebut membuat kita miris? Sebegitu bodohnyakah masyarakat
Indonesia di mata para elite, sehingga dapat dengan mudah disogohi
kebohongan demi ambisi mengejar kekuasaan? Tindakan kontroversial yang
mereka lakukan bukan lagi sekadar tentang perebutan kekuasaan, tapi
penindasan dalam bentuk baru. Mereka yang katanya berjuang untuk menjadi
pemimpin demi menjadikan Indonesia hebat kembali nyatanya mendukung
tindakan ceroboh sedemikian rupa. Dengan bertindak diam dan tidak
menegur sang tokoh atas tindakannya, sama saja mereka dengan menyetujui
tindakan yang dilakukannya. Mereka begitu ambisi menjadi pemimpin
sehingga rela menghalalkan segala cara. Di depan mereka berkata betapa
mereka mengasihi rakyat Indonesia dan rela berjuang untuk kita. tapi, di
belakang, mereka tak segan membodohi kita dengan menyebarkan klaim tak
berdasar. Inikah pemimpin?

Isu aktual dalam teks tersebut adalah persaingan para calon presiden
dan wakil presiden. Isu fenomenal dapat kamu temukan pada bagian
tindakan salah seorang anggota tim kampanye salah satu pasangan
calon yang menyampaikan berita bohong atau klaim palsu tentang
'kesuksesan' pasangan yang diusung pihaknya sebagai orang Indonesia
pertama yang menaklukkan Gunung Everest. Isu kontroversial dapat
kamu temukan secara implisit pada bagian kecenderungan tindakan
anggota tim kampanye untuk memperlihatkan kepada masyarakat
seolah-olah pasangan yang diusung pihak mereka memiliki kehebatan
yang luar biasa sehingga layak untuk dipilih menjadi pemimpin,
meskipun klaim mereka tidak berdasar.
Kesimpulan
Teks editorial menyampaikan pendapat tentang isu aktual.

Berita yang kontroversial biasanya sering mengundang perbedaan


pendapat. Perbedaan pendapat ini dapat menimbulkan polemik atau
perdebatan yang ditandai munculnya opini, diskusi, debat, atau konferensi.

Anda mungkin juga menyukai