Anda di halaman 1dari 8

MATA KULIAH FILSAFAT ILMU

TUGAS KELOMPOK 3
(KELAS A)

OLEH:
Alvionita Saalino (220032301002)
Andi Muhammad Ainun (220032301006)
Fauziah Nurhidayah (220032301011)

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR


PROGRAM PASCASARJANA
PRODI PSIKOLOGI
2022
A. TEORI KEBENARAN
Politik pascakebenaran memiliki arah yang bertentangan dengan tradisi
filsafat. Di satu sisi, budaya politik pascakebenaran lebih mengutamakan
terbentuknya opini publik dengan mengeksploitasi sisi emotif dan keyakinan
personal masyarakat untuk mencapai target politik tanpa mengindahkan
kebenaran faktual. Sementara di sisi lain, filsafat sejak era Yunani kuno selalu
fokus untuk mencari dan merumuskan kebenaran sebagai orientasi arah
kehidupan manusia.
Kendati demikian, kebenaran dalam filsafat tidak pernah mewujud dalam
wacana tunggal. Kebenaran selalu mewujud dalam berbagai bentuk bergantung
pada perspektif yang digunakan. Kebenaran dalam perspektif rasionalisme tentu
akan berbeda dengan kebenaran dalam perspektif penganut empirisme. Silang
pendapat antara rasionalis dan empirisis dalam melihat kebenaran bermuara pada
pertanyaan dasar tentang sumber pengetahuan manusia. Dalam diri manusia,
manakah dia antara akal atau panca indera yang merupakan sumber utama
pengetahuan manusia? Selain cakupan dan validitas pengetahuan, pertanyaan
mendasar tentang sumber pengetahuan menjadi salah satu topik, dalam salah satu
cabang filsafat, yaitu epistemologi.
Epistemologi atau filsafat pengetahuan adalah cabang filsafat yang
mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan,
pengandaian-pengandaian dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan
mengenai pengetahuan yang dimiliki (Gallagher, 1994). Pada periode awal
tradisi filsafat Yunani, epistemologi belum menjadi perhatian utama para filosof,
kajian mereka lebih bersifat ontologis. Para filosof pada era ini masih terfokus
pada dimensi ontologis dengan mempertanyakan manakah realitas yang sejati,
dunia fisik seperti yang diyakini oleh pengusung materialisme ataukah dimensi
metafisik seperti yang diusung para idealis. Baru kemudian pada masa Kant,
perhatian manusia mulai bergeser dari pertanyaan ontologis mengenai apa itu
realitas ke arah yang lebih epistemologis dengan mempertanyakan bagaimana
pengetahuan tentang realitas bisa diakses oleh manusia.
Harold Titus (1984) menyebutkan tiga persoalan besar yang diperdebatkan
dalam diskursus epistemologi. Pertama, apakah sumber-sumber pengetahuan itu?
Dari manakah pengetahuan yang benar itu dan bagaimana kita mengetahuinya?
Kedua, apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apakah ia bersifat obyektif,
sebagaimana para penganut obyektivisme yang menekankan pengetahuan itu bisa
ada di luar pikiran kita, ataukah pengetahuan itu bersifat subyektif, sebagaimana
para pengusung subyektivisme yang menyatakan pengetahuan hanya ada sejauh
pikiran manusia dapat mencapainya? Ketiga, apakah pengetahuan kita bersifat
benar (valid)? Pada persoalan ini, para filosof berkutat dengan validitas
kebenaran dan cara untuk menguji kebenaran pengetahuan tersebut, baik melalui
verifikasi maupun falsifikasi.
Untuk dapat merumuskan kebenaran syarat pertama yang harus terpenuhi
adalah jaminan bahwa pengetahuan yang kita peroleh harus berasal dari sumber
yang benar. Pada persoalan ini, para filosof berbeda pendapat tentang sumber
pokok pengetahuan. Terjadi silang pendapat antara idealisme dan realisme,
antara rasionalisme dan empirisisme. Sejarah mencatat bahwa Plato dan
Aristoteles merupakan pelopor awal perseteruan antara rasionalisme dan
empirisisme. Bagi Plato, pengetahuan yang sejati adalah pengetahuan bersifat a
priori dan bersumber pada akal. Ia lebih mengungulkan dunia idea yang bersifat
tetap sebagaimana rumus dan hukum universal matematika tinimbang dunia
pengalaman empirik.
Russell (2004) menjelaskan bahwa dalam filsafat modern, apa yang digagas
oleh Plato disuarakan kembali oleh René Descartes yang dikenal sebagai
punggawa rasionalisme. Menurut Descartes, pengalaman inderawi tidak bisa
dipercaya sebagai sumber pengetahuan yang sejati. Menurutnya, pengalaman
inderawi acapkali menampilkan kesan tidak seperti hakikat realitas tersebut.
Pengalaman inderawi bisa menipu melalui apa yang kita kenal sebagai ilusi
inderawi. Descartes meragukan segala hukum dan tampilan inderawi yang
disaksikan oleh indera manusia. Keraguan atas segala hal semacam itu
merupakan sebuah keniscayaan jika manusia hendak menemukan pengetahuan
yang sejati. Melalui apa yang disebut sebagai ‘keraguan metodis’ Descartes
merumuskan diktum utamanya, cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada.
Ditambahkan oleh Russell (2004) Manusia sejak lahir telah memiliki apa yang
oleh Descartes dan filosof rasionalis lainnya disebut sebagai ide-ide bawaan
(innate ideas). Pengetahuan manusia dicapai melalui proses ‘mengingat kembali’
ide-ide bawaan tersebut. Pada hakikatnya Plato tidak menafikan peranan indera
dalam mencapai pengetahuan. Hanya saja, karena karena sifat pengetahuan yang
bersumber dari indera bersifat tidak tetap dan berubah-ubah, oleh karena itu,
indera tidak bisa dianggap sebagai sumber pokok pengetahuan (Titus, 1984).
Berseberangan dengan Plato, Aristoteles menyatakan hal sebaliknya:
pengetahuan sejati manusia bersumber dari kesaksian empirik. Ia menyanggah
pendapat Plato tentang dunia idea yang bersifat tetap dan merupakan realitas
sejati pengetahuan manusia. Aristoteles lebih menekankan peranan indera dalam
mencapai pengetahuan. Pengetahuan manusia dalam bentuk hukum universal
yang bersifat tetap dicapai tidak melalui proses ‘mengingat kembali’ seperti yang
diungkapkan oleh Plato. Sebaliknya, hukum universal dicapai melalui sebuah
proses panjang pengamatan empirik yang disebut oleh Aristoteles dengan istilah
abstraksi. Tanpa pengalaman inderawi, manusia tidak akan sampai pada rumusan
intelektual universal tersebut (Titus, 1984). Apa yang telah dirintis oleh
Aristoteles disuarakan kembali di era modern oleh David Hume. Sosok Descartes
dan Hume kemudian menjadi tokoh sentral yang melanjutkan sengketa panjang
antara rasionalisme dan empirisisme.
Di tengah silang sengketa antara rasionalisme dan empirisisme itulah
Immanuel Kant hadir untuk ‘mendamaikan’ kedua mainstream dalam diskursus
epistemologi. Menurut Kant, baik rasionalisme maupun empirisisme terlalu
ekstrim dalam memposisikan rasio dan pengalaman inderawi sebagai sumber
utama pengetahuan manusia dengan saling menafikan satu sama lainnya. Melalui
logika transendentalnya, Kant mengupayakan sebuah prior research untuk
menemukan jalan tengah yang mengakomodasi secara proporsional dan
berimbang antara rasionalisme maupun empirisisme. Kerangka filosofis yang
digagas oleh Kant itulah yang dikenal dalam diskursus filsafat sebagai kritisisme.
Perubahan perspektif kebenaran dari rasionalisme, empirisisme kemudian
berujung pada kritisisme adalah contoh klasik evolusi pengetahuan manusia
dalam merumuskan kebenaran. Siklus ini terus berkembang sebagaimana
digambarkan oleh Hegel dalam proses dialektika. Thesis kebenaran yang diusung
sebuah masyarakat pada momen tertentu akan berhadapan dengan rumusan lain
yang disebut sebagai antithesis. Selanjutnya, thesis dan antithesis akan berdialog
untuk merumuskan konsepsi kebenaran baru, yaitu synthesis. Pada gilirannnya
konsepsi baru (synthesis) tadi akan kembali diyakini oleh masyarakat sebagi
thesis kebenaran. Siklus semacam ini akan terus berlanjut tanpa titik akhir.
Berikut ini beberapa teori kebenaran yang menekankan salah satu langkah
proses manusia mengusahakan pengetahuan. Kelompok pertama terkait dengan
bagaimana manusia mengusahakan dan memanfaatkan pengetahuan, yaitu teori
kebenaran korespondensi, teori kebenaran koherensi, dan teori kebenaran
pragmatis (Suriasumantri & Jujun, 2003). Dalam Pembahasan ini Kelompok
hanya akan membahas teori kebenaran korespondensi dan teori koherensi.

1. TEORI KEBENARAN KORESPONDENSI


Aristoteles sudah meletakkan dasar bagi teori kebenaran korespondensi, yakni
kebenaran sebagai persesuaian antara apa yang dikatakan dengan kenyataan.
Pernyataan dianggap benar kalau apa yang dinyatakan di dalamnya berhubungan
atau punya keterkaitan (correspondence) dengan kenyataan yang diungkapkan
dalam pernyataan itu. Benar dan salah adalah soal sesuai tidaknya apa yang
dikatakan dengan kenyataan sebagaimana adanya. Menurut teori ini, kebenaran
terletak pada kesesuaian antara subyek dan obyek. Apa yang diketahui oleh
subyek sebagai benar harus sesuai atau harus cocok dengan obyek, harus ada
kesesuaian dengan realitas. Apa yang diketahui oleh subyek berkaitan dan
berhubungan dengan realitas. Materi pengetahuan yang dikandung dan
diungkapkan dalam proposisi atau pernyataan memang sesuai dengan obyek atau
fakta. Pengetahuan terbukti benar dan menjadi benar oleh kenyataan yang sesuai
dengan apa yang diungkapkan pengetahuan tersebut (Sonny Keraf & Mikhael
Dua, 2001). Dalam kegiatan ilmiah, mengungkapkan realitas adalah hal yang
pokok. Dalam usaha mengungkapkan realitas itu, kebenaran akan muncul dan
terbukti dengan sendirinya, apabila apa yang dinyatakan sebagai benar memang
sesuai dengan kenyataannya.
Teori korespondensi sangat ditekankan oleh aliran empirisme yang
mengutamakan pengalaman dan pengamatan indrawi sebagai sumber utama
pengetahuan manusia. Teori ini sangat menghargai pengamatan, percobaan atau
pengujian empiris untuk mengungkapkan kenyataan yang sebenarnya. Teori ini
lebih mengutamakan cara kerja dan pengetahuan aposteriori, yaitu pengetahuan
yang terungkap hanya melalui dan setelah pengalaman dan percobaan empiris.
Teori ini sangat menekankan bukti (evidence) bagi kebenaran suatu pengetahuan.
Yang dimaksud bukti bukanlah diberikan secara apriori oleh akal budi, bukan
konstruksi akal budi, dan bukan pula hasil imajinasi akal budi. Bukti adalah apa
yang diberikan dan disodorkan oleh obyek yang dapat ditangkap oleh panca indra
manusia. Kebenaran akan terbukti dengan sendirinya, kalau apa yang dinyatakan
dalam proposisi sesuai atau ditunjang oleh kenyataan sebagaimana diungkapkan.
Yang dimaksud sebagai pembuktian atau justifikasi adalah proses menyodorkan
fakta yang mendukung suatu proposisi atau hipotesis. Persoalan yang muncul
sehubungan dengan teori ini adalah bahwa semua pernyataan, proposisi, atau
hipotesis yang tidak didukung oleh bukti empiris, oleh kenyataan faktual apa pun,
tidak akan dianggap benar. Misalnya, pernyataan “Ada Tuhan yang Mahakuasa”
tidak akan dianggap sebagai suatu kebenaran kalau tidak didukung oleh bukti
empiris tertentu. Karena itu, hal ini tidak akan dianggap sebagai pengetahuan, dan
pernyataan ini hanya akan dianggap sebagai sesuatu yang menyangkut keyakinan
(Sonny Keraf & Mikhael Dua, 2001)
Kesimpulan dari teori korespondensi adalah adanya dua realitas yang berada
dihadapan manusia, pernyataan dan kenyataan. Menurut teori ini, kebenaran
adalah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan sesuatu itu
sendiri. Misal, Makassar ibu kota Sulawesi Selatan. Pernyataan ini disebut benar
apabila pada kenyataannya Makassar memang ibukota propinsi Sulawesi Selatan.
Kebenarannya terletak pada pernyataan dan kenyataan. Signifikansi teori ini
terutama apabila diaplikasikan pada dunia sains dengan tujuan dapat mencapai
suatu kebenaran yang dapat diterima oleh semua orang. Seorang ilmuan akan
selalu berusaha meneliti kebenaran yang melekat pada sesuatu secara sungguh-
sungguh, sehingga apa yang dilihatnya itu benar-benar nyata terjadi. Sebagai
contoh, gunung dapat berjalan. Untuk membuktikan kebenaran pernyataan ini
harus diteliti dengan keilmuan yang lain yaitu ilmu tentang gunung (geologi),
ternyata gunung mempunyai kaki (lempeng bumi) yang bisa bergerak sehingga
menimbulkan gempa bumi dan tsunami. Dengan demikian sebuah pertanyaan
tidak hanya diyakini kebenarannya, tetapi harus diragukan dahulu untuk diteliti,
sehingga mendapatkan suatu kebenaran hakiki (Amsal Bakhtiar, 2012).

2. TEORI KOHERENSI (COHERENCE THEORY OF TRUTH)


Teori kebenaran koherensi dianut oleh kaum rasionalis. Menurut teori ini,
kebenaran tidak ditemukan dalam kesesuaian antara proposisi dengan kenyataan,
melainkan dalam relasi antara proposisi baru dengan proposisi yang sudah ada
sebelumnya dan telah diakui kebenarannya. Suatu pengetahuan, teori, pernyataan
proposisi, atau hipotesis dianggap benar kalau sejalan dengan pengetahuan, teori,
proposisi, atau hipotesis lainnya. Artinya proposisi itu konsisten dengan
proposisi sebelumnya yang dianggap benar. Teori kebenaran koherensi lebih
menekankan kebenaran rasional-logis dan juga cara kerja deduktif. Pengetahuan
yang benar hanya dideduksikan atau diturunkan sebagai konsekuensi logis dari
pernyataan-pernyataan lain yang sudah ada, dan yang sudah dianggap benar.
Konsekuensinya, kebenaran suatu pernyataan atau pengetahuan sudah diandaikan
secara apriori tanpa perlu dicek dengan kenyataan yang ada. Ini berarti
pembuktian atau justifikasi sama artinya dengan validasi, yaitu memperlihatkan
apakah kesimpulan yang mengandung kebenaran tadi memang diperoleh secara
sahih (valid) dari proposisi-proposisi lain yang telah diterima sebagai benar
(Suriasumantri & Jujun, 2003).

DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, A. (2012), Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Russell, B. (2004) Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio
politik dari Zaman Kuni hingga Sekarang, terj. Sigi Jatmiko dkk. Yogyakarta;
Pustaka Pelajar.

Sonny Keraf & Mikhael Dua. (2001). Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius.
Suriasumantri, J. (2003). Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar
Harapan.

Titus, Harold K. (1984) Persoalan-persoalan Filsafat, terj. H.M. Rasyidi, Jakarta:


Bulan Bintang.

Anda mungkin juga menyukai