Anda di halaman 1dari 456

Teologi

Informasi
Refleksi Wacana & Literasi Media
Dr. Abdullah Khusairi, MA

Teologi
Informasi
Refleksi Wacana & Literasi Media

PROLOG
Dr. Wendra Yunaldi, SH., MH.

EPILOG
Dr. Sheiful Yazan, M.Si
TEOLOGI INFORMASI
Refleksi Wacana & Literasi Media
©Dr. Abdullah Khusairi, MA
2020

Penyunting Isi Indrian Koto


Penyelaras Bahasa Zelfeni Wimra
Perancang Sampul Rafi H. Nazari
Penata Letak Imarafsah Mutianingtyas

Cetakan Pertama Mei 2020

Diterbitkan oleh
Penerbit Jual Buku Sastra (JBS)
Jalan Wijilan, Gg. Semangat, Nomor 10
Kraton, Yogyakarta
Surel: jualanbukusastra@gmail.com
Telp: 0274-2872022

Bekerjasama dengan
Sahati Law Office
Portal Bangsa
babaka.co

Ukuran: 14 x 21 cm
Jumlah Halaman: xxxiv+420 hal

ISBN: 978-623-92165-7-3

Dilarang memproduksi atau memperbanyak seluruh maupun sebagian dari buku


ini dalam bentuk atau cara apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit.
PROLOG

Nasib Tata Negara


di Tengah Arus Informasi
Dr. Wendra Yunaldi, SH., MH.

Ketika perkembangan teknologi informasi melaju pesat


melampaui ruang dan waktu, kecemasan paling awal muncul
adalah, di mana sebuah negara bisa berdaulat ketika data-data
sudah bisa menyeberang antarnegara tanpa sensor? Daulat sebuah
negara hampir saja akan tiada ketika big data hanya dimiliki oleh
korporasi media sosial yang bekerja mengeruk untuk terhadap
setiap individu, walau dengan nominal yang sedikit tetapi dengan
jumlah individu jauh dari jumlah warga negara. Kegamangan ini
sangat beralasan setelah membaca banyak persoalan media sosial,
media massa, kerja algoritma, hingga Artificial Intellengsia (AI)
telah berlangsung dengan seksama di tangan kaum pemodal.
Inilah catatan setelah membaca esai-esai pada buku ini
sebelum diterbitkan. Esai-esai Dr. Abdullah Khusairi, MA ini
merupakan pemikiran-pemikiran sederhana yang mengandung
ironi, kejenakaan, juga kadang-kadang sebuah refleksi yang tak
bisa dirasakan oleh publik. Sesuai dengan latar belakang perjalanan

v
karier jurnalistik dan keilmuan yang dimilikinya, esainya berisi
pesan-pesan yang patut menjadi renungan banyak orang.
Beberapa minggu sebelum membaca esai-esai ini, saya
menamatkan buku Yuval Noah Harari yang berjudul Sapien dan
Homo Deus. Buku Yuval telah memberikan kegamangan yang akut
tentang nasib masa depan manusia. Melalui berbagai perspektif dan
argument yang kuat, Yuval hendak menggugah sikap keterlenaan
dalam menikmati kehidupan ini. Di balik kebahagiaan ada bayang
ketakutan yang luar biasa.
Sementara itu, buku kumpulan esai Teologi Informasi ini
memberi kegamangan tentang masa depan kedaulatan sebuah
negara, di mana masyarakatnya mengkonsumsi informasi secara
bebas tanpa hambatan. Sebuah negara, di mana masyarakatnya
mengalami shock culture karena berita datang dan pergi secara
cepat, kegagapan terhadap isu-isu aktual tak terhindarkan.
Kehadiran media sosial telah membuat tatanan sosial yang awalnya
masih bisa dikendalikan kini menjadi liar dan sulit bagi aparatur
negara mengelak terjadinya gangguan terhadap kekuasaan.
Ada harapan pada media massa, tetapi media sosial terlanjur
menguasai jagat isu-isu yang kian hari kian menunjukkan kuasa
media massa telah ditikung oleh media sosial. Media sosial tempat
publik lebih bebas menyuarakan aspirasi dan inspirasi seputar
keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran yang masih menjadi
baying-bayang. Pada titik inilah akhirnya, Negara Bangsa (Nation-
State) yang dijalankan pemerintah harus bekerja keras agar
eksistensi negara tidak mengalami turbulensi karena arus informasi
tidak terkendali oleh kekuasaan yang dimilikinya. Ada tangan-
tangan lain yang lebih berkuasa secara canggih dan mutakhir
memainkan peran. Politik yang dinamis melekat ke media sosial,

vi
kepentingan yang rakus memanfaatkan media sosial, sementara
negara kian terlambat menjangkau kekuasaan di linimasa.
Arus informasi yang kadang-kadang membuat banjir
informasi kian membawa keriuhan dan kekeruhan yang
menakutkan. Tata Negara yang diharapkan berjalan stabil bisa
berguncang dengan isu politik identitas, ketidaksiapan jajaran
pemerintah menangani persoalan, telah membuat runtuhnya citra,
wibawa, pemerintah di hadapan publik. Publik lebih percaya pada
media sosial yang mengusung informasi, yang entah dari mana,
bisa memengaruhi publik. Menjadi trending topic, sehingga aparat
bisa kewalahan.
Sebagai akademisi yang fokus di bidang Hukum Tata Negara,
saya melihat masa depan kedaulatan negara bisa terus digerus oleh
arus informasi melalui medium baru bernama media sosial. Tidak
hanya kedaulatan negara, tetapi juga kedaulatan agama, kedaulatan
ilmu pengetahuan, bisa digerus oleh kepentingan-kepentingan
yang menyaru dalam arus deras informasi.
Adakah harapan jika Hukum Tata Negara bisa ambil bagian
dalam menyelesaikan sengkarut arus informasi yang bisa membuat
sebuah kekuasaan runtuh? Tentu saja masih ada, tetapi mesti ada
pemikiran dan gerakan yang tertata rapi oleh aparatur pemerintah
menelaah watak media massa, media sosial, kecenderungan sosial
politik, melalui berbagai sisi keilmuan. Ini juga harus didukung
dengan kebijakan yang cepat dan tepat. Indonesia seperti mu’jizat,
lahir dari suku-suku bangsa, agama, ras, yang berbeda-beda. Bila
dibandingkan berdirinya sebuah negara hanya karena satu suku,
satu agama, satu ras, seharusnya Indonesia hadir dari kontrak
sosial yang beragam itu. Persoalannya kemudian, bagaimana
pengelolaannya di masa depan jika tidak dimulai dari hari ini.
Bangsa-negara ini harus serius mengelola arus informasi menjadi

vii
kekuatan untuk maju. Bukan sebaliknya. Arus informasi yang hari
ini nyaris tak terkendali menjadi “bah” membuat bencana besar
yang bisa membuat negara ini bercerai-berai. Ini bukan kabar
petakut. Krisis kepemimpinan dan krisis kepercayaan terhadap
negara, dimulai dari sikap abai meredam. Beberapa Negara Arab,
seperti Tunisia, Mesir, sedikit banyak faktor yang membuat perang
saudara karena politik kekuasaan dipicu oleh medium informasi
telah dikuasai oleh ambisi pialang-pialang kekuasaan.
Kini sepertinya kesadaran itu harus terus dikobarkan agar
aparat negara bekerja lebih ekstra agar persatuan dan kesatuan
Indonesia tercinta tetap terjaga dengan baik sampai ke anak
cucu kita. Ada pun arus informasi yang kini menghantam sendi-
sendi berbangsa semestinya justru menjadi sarana yang bisa
dimanfaatkan secara baik dan bijak. Pada titik inilah optimisme
muncul, kabar petakut dibiarkan hanyut, melalui kecerdasan
dalam mengelola informasi, mengelola kesadaran sosial terus
ditumbuhkan kepada siapapun yang ada di negeri ini. Bahwa
perdamaian dan kemanusiaan harus berada di atas segala-galanya.
Inilah modal penting, di tengah arus informasi yang bagi penulis
buku ini hendak ingin disampaikan secara terus menerus. Hingga
urusannya sampai pada persoalan teologi, bukan lagi sekadar
kemajuan teknologi yang bebas nilai, liar dan berujung pada
kehancuran, sebagaimana diprediksi Yuval Noah Harrari. Teologi
adalah jawaban dari ketakutan dan agama menjadi sandaran paling
mungkin di tengah galaunya membaca masa depan yang sering kali
mengalami anomali dari semua prediksi daya pikir dan keilmuan
umat manusia. []

viii
PEMBUKAAN

Pada Mulanya
Tukang Kata
“Engkau magang dulu. Kiriman dari kampung tetap
jalan dulu, ya. Kalau sesuai kinerjanya, baru bisa diangkat jadi
karyawan,” ungkap Pimpinan Umum PT. Padang Intermedia Pers,
penerbit Harian Pagi Padang Ekspres, Amril Noor, ketika dua anak
muda datang ke mejanya, suatu siang. Dua orang itu membawa
map berisi surat lamaran beserta kliping tulisan-tulisan di koran,
beberapa edisi Tabloid Mahasiswa Suara Kampus dan Majalah
Mahasiswa Fasaski. Pada map itu tidak terdapat ijazah terakhir!
Keduanya baru saja jadi sarjana. Salah seorang dari mereka,
baru mendapat ijazah S1, tiga tahun kemudian. Pada wajahnya
masih terlihat lelah, terkuras menyelesaikan kuliah dan aktif
berbagai organisasi, serta ikut juga meramaikan jalanan tahun
1998.
“Hei. Pimpinan Umum engkau, sama pula sama aku,” suara
Amril Noor meninggi. Sikap Melayunya tak bisa disembunyikan,
ketika ia melihat box redaksi Tabloid Mahasiswa Suara Kampus.
Dua pemuda itu sepertinya tidak ciut. Mentalnya memang sudah
sejak awal menantang. Mereka tersenyum-senyum saja sembari
menjawab seadanya.

ix
Itulah sekelumit cerita, saya dan sahabat saya, Kartika Roni
ketika mendatangi Kantor Harian Pagi Padang Ekspres di Jalan
Veteran Padang. Kami memang gila menulis. Roni terpancing
ikut, ketika menjadi Ketua Senat Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol
Padang, ada program menerbitkan Majalah Mahasiswa, Fasaski.
Saya sudah sejak semester dua memang menancapkan jejak ke
Tabloid Mahasiswa Suara Kampus. Pilihan awal sejak masuk ke
Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah IAIN
Imam Bonjol Padang.
Pernah juga kami berdua ingin bergabung ke Sumbar Ekspres,
pimpinan Ketua PWI Sumbar, waktu itu, yang juga anggota DPRD
Sumbar, Masril Marjan, tapi tak jadi. Hanya satu kali datang dan
menyetor tulisan, setelah itu tidak pernah lagi.
Singkat cerita, akhirnya kami menjadi anggota redaksi
Harian Pagi Padang Ekspres. Kami ikut rapat, lalu belum ditugaskan
ke lapangan. Kerja kami, mengetik berita-berita dari daerah masuk
melalui fax. Ketika tahun 2000, internet masih barang mahal. Sering
macet dan gagal kirim. Kami mengetik cepat. Masih memakai
program word star. Layar biru. Belum pakai tikus, eh mouse. Masih
memakai istilah control di keyboard. Salah satunya yang paling saya
ingat, “control + K + Q”. Jadi, membacanya, “kontrol kaki.” Sesekali,
ada pula yang iseng, nyaris kakinya akan naik ke keyboard. Itu
kalau sudah mumet menghadapi pekerjaan.
Dunia kian bergegas. Mengawali karier melalui hobi sejak
kuliah tidak pernah merasakan beratnya tantangan menjadi
jurnalis. Dunia yang mengasyikkan itu baru saja dimulai.
“Besok, ikut rapat pagi ya,” ujar seorang bapak yang saya
kenal sangat pendiam di redaksi kepada saya, suatu malam. Dia
Koordinator Liputan, Wiztian Yoetri. Saya senang sekali. Karena
impian itu akhirnya datang. Niat menjadi seorang jurnalis segera

x
terealisasi. Cita-cita sejak awal kuliah selangkah lagi tiba di
gerbangnya.
Saya diberikan tugas yang masih ringan. Objek liputan
lepas dan tentu saja belum menyentuh level yang paling aktual.
Mewawancara tokoh-tokoh yang memungkinkan mendapat
pernyataan tajam dan berguna bagi khalayak. Menulis feature, ini
yang saya senang sekali. Menelusuri keramaian kota, menanyakan
harga-harga barang dan segala macam hal yang mungkin mendekati
nilai berita. Saya senang gembira melakukannya karena didasari
hobi menulis setiap objek dan hasil wawancara.
Nilai berita, ini penting. Sense of journalism di otak memang
sudah ditanam serupa chip yang selalu bergerak aktif membaca
keadaan. Objek-objek di depan mata tidak luput dari pengamatan
untuk dijadikan berita. Kadang-kadang juga menjadi cerita pendek.
Berkarya dan berkarya. Menulis dan menulis. Tiada lelah.
Tiada pula peduli, digaji berapa untuk itu. Semua itu akhirnya
dibayar mahal tanpa disadari. Akhir bulan bisa meraih nilai kinerja
tertinggi. Punya banyak honor. Saya tentu saja senyum sumringah.
Harian Pagi Padang Ekspres sebuah lembaga pers yang
bernaung dalam koorporasi media dengan bendera Jawa Pos
Groups. Punya ratusan anak perusahaan media cetak, puluhan
media elektronik, yang dirintis Dahlan Iskan, Erick Samola, dll.
Berpusat di Surabaya, Jawa Timur.
Padang Ekspres masuk ke Ranah Minang setelah mengakusisi
Harian Semangat. Pada tanggal 25 Januari 1999, Padang Ekspres
cetak perdana. Saya masuk pada tahun kedua, 1 Mei 2000. Ketika
itu, kantornya baru saja pindah dari Kawasan Lolong, depan Taman
Makam Pahlawan ke Jl. Veteran, tak jauh dari Harian Umum
Independen Singgalang.

xi
Menjadi orang media adalah cita-cita sejak kuliah dan
aktif di pers kampus atas “suntikan mangkus” seorang dosen. Dia
semacam magnet yang menarik saya berlahan ke alam pikirannya.
Dialah, Kang Ipul, dosen nyentrik di fakultas kami.
Menjadi aktivis pers kampus bertepatan dengan sejarah
kebebasan pers dibuka dengan lahirnya UU No. 40 Tahun 1999
Tentang Pers, seiring gerakan reformasi 98. Menjadi bagian penting
dalam sejarah bangsa, maupun dalam kerumunan massa. Pers
bebas dimulai seiring dengan buah gerakan yang meruntuhkan
Soeharto, lahirnya Otonomi Daerah, serta dihapusnya Dwi Fungsi
ABRI.

Semasa Kuliah
Ada banyak orang yang saya sebut sebagai guru, melebihi
dosen formal yang dikenal selama ini. Ya, memang lebih. Mereka
menyuntik dosis motivasi melebihi dosen yang saya kenal secara
formal. Misalnya, Sheiful Yazan, ia memberi tantangan kepada
mahasiswanya agar menulis di media massa. “Jika tulisan anda
tayang di koran, tak usah kuliah lagi sama saya. Nilainya sudah
saya berikan otomatis. Menulislah!” Kira-kira begitu tantangan
Kang Ipul, demikian ia mau disapa. Ya, tentu saja saya sodorkan
kliping opini, artikel, puisi, cerpen, feature, berita dan berita foto,
kepada jebolan Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran itu. Ia
akan menceritakannya di depan kelas.
Tentu saja, dari puluhan mahasiswa angkatan 1995, misalnya,
Ridardon (Aktivis Desa Wisata), Elfiyon Julinit (Riau Mandiri),
Bonar Harahap (Metro TV) dan Irsad Sati (Bisnis Indonesia),
Said Sirajuddin (Batam Pos), Jasriman (SINGGALANG) dengan
besar hati menyodorkan karya tulis yang sudah tayang. Ridardon
dan Irsad beberapa kali cerpen dan artikelnya dimuat di Haluan

xii
Minggu, sementara Elfiyon Julinit melesat menjadi tukang resensi
yang mahir. Jumlah buku di kamar kosnya meledak. Dikirim oleh
penerbit-penerbit ternama.
Saya mengiringi mereka dengan mengirim karya juga.
Ditayangkan dan dapat honor. Tentu saja, ini menjadi reputasi awal
yang manis di tingkat mahasiswa.
Kang Ipul, sosok yang banyak memberi kesadaran akan
kekaryaan, kesungguhan, serta mental tanding. Saking manianya
mendengar ciloteh Kang Ipul, nyaris jadwal kuliah dengannya tak
pernah luput. Tak sekalipun absen. Walaupun ia jarang membaca
presensi. Hanya koordinator kelas saja cek absen teman-teman.
Mereka yang ada keperluan, biasanya titip absen. Tertulis tetap
hadir. Bagi saya, itu merugikan. Bukan karena hadir atau tidak,
tapi ilmu yang keluar dari Kang Ipul itu yang harus dipungut. Saya,
selalu hadir walau sudah mendapat kebebasan untuk tidak kuliah,
karena telah menyodorkan tulisan yang dimuat di koran.
Akhirnya banyak sekali terlibat proyek dengan Kang Ipul.
Menjadi tumpuan tempat bertanya banyak hal. Misalnya suatu
malam, tim kerja Tabloid Suara Kampus tak dapat mengakali cara
mencetak halaman yang sudah posisi layout. Itu terjadi dini hari.
Kami dapat mengontak Kang Ipul pukul 02.00 WIB. Ia datang
dengan vespa butut yang kini masih bisa ada.
“Tentu ini menjadi pembeda Kang Ipul dengan dosen-dosen
lain yang kami kenal,” ujar Rinal Sagita, sejawat saya yang kini di
Tribun Pekanbaru, media cetak berbendera Kompas Groups.
Pada proyek lain, Majalah Mahasiswa Fakultas Dakwah Al
Fitrah, dana tidak ada untuk mencetak master. Kang Ipul turun
tangan. Dibawanya file ke rumah. Printer Kang Ipul ikut mengukir
sejarah pula. Kami juga terlibat mengetik naskah hingga tengah
malam. Mengetik dengan word star. Layar hijau.

xiii
Kang Ipul menulis apa saja. Semuanya menarik. Esai, cerpen
dan novel karyanya paling enak dibaca. Nakal dan tajam. Ada pula
novel silat yang ditayangkan bersambung. Selain Sheiful Yazan, ada
Effendi Koesnar, Pasni Sata, Mafri Amir, Meiliarni Rusli. Ini sang
guru yang sangat inspiratif. Karena mengajarkan dunia baru, dunia
jurnalistik. Semenjak dari akar sejarah, filosofi, juga teknis dan
praktis.
Effendi Koesnar, sipil di tubuh militer. Ia pegawai kehumasan
di Korem. Banyak menulis dan bekerja di keredaksian Harian
Semangat. Harian yang dimiliki oleh ABRI, waktu itu. Juga Mafri
Amir, redaktur di koran ini, bersama Wiztian Yoetri yang kelak,
ketika Semangat diakusisi Jawa Pos Groups, melalui Riau Pos, akan
bergabung ke Harian Pagi Padang Ekspres. Ia menjadi Pemimpin
Redaksi di koran yang berkembang pesat itu. Mafri Amir lain lagi,
ia memilih jalan menjadi dosen. Sejarah ternyata berputar pada
rotasi yang sama, menguntit para senior. Saya akhirnya ikut jalan
Mafri Amir.
Sementara, Pasni Sata, dari Harian Haluan. Ia mengajari
kami menulis berita sekaligus praktek. Bicaranya khas, ceplas-
ceplos. Belajar dengan beliau sungguh mengasyikkan. Sayangnya,
cuma 2 SKS belajar dengan beliau ini.
Di luar ruang kuliah, saya mengenal Yulizal Yunus, pembina
Suara Kampus. Seorang bapak yang hanya mau dipanggil Abang.
Padahal ia seorang pemangku adat di Banda Sapuluh, Pesisir
Selatan, dosen di Fakultas Adab, juga aktif di ruang pertemuan
budaya, sastra dan agama di Sumatera Barat. Bapak yang pendiam
ini sangat banyak menyeret kami dalam berpikir tentang dunia
kreatif. Kalau datang ke redaksi Suara Kampus, pertanyaan
pertamanya, “sudah makan kalian?” Jawaban yang paling banyak
tentu saja, belum! Hahaha.

xiv
Ada senior yang juga menjadi inspirasi penting bagi saya
yang sedang kuliah dulu, kini ia dosen di Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Syekh Jamil Jambek Bukittinggi, Dr. Silfia Hanani,
M.Hum., juga Abdul Salam, kini dosen di Universitas Negeri
Padang (UNP). Tulisan kedua orang ini sering menjadi bacaan.
Karena begitu dekat, bisa membaca karyanya lalu bertemu dengan
mereka di Suara Kampus, saya banyak bertanya dengan mereka.
Selain dua nama ini, ada nama Maifil Eka Putra (MEP), yang ketika
kuliah yang sudah patantang-petenteng bawa kamera dengan lensa
panjang. Senior lain, saya selalu ingat, seperti Agus Salim, Adek
Sudarmaji, Abdul Halim dan Muhammad Rahmad.
Selain itu ada nama lama, yang menjadi dosen dan kolega
saya akhirnya, mereka adalah Anwar Syarkawi, M.Ag., Dr. Danil
Mahmud Chaniago, M.Hum, dan Dr. Shofwan Karim Elha, MA.
Ada nama lain yang fenomenal, seperti Emma Yohanna,
Fachrul Rasyid, Zaili Asril (alm.), Herman L, Adi Bermasa, Rifki
Yunarfi, Prof. Dr. Salmadanis, M.Ag., dll. Saya tidak pernah
bertemu di masa kuliah tapi ketika menjalani profesi jurnalis,
bertemu dan banyak bercerita.
Misalnya, H. Sutan Zaili Asril. Setelah menjadi wartawan
Harian Pagi Padang Ekspres, baru ketemu dengannya. Selain
sering memuji, juga tak jarang main marah. Seperti seorang guru,
ia kepada saya memang sedikit beda kalau sedang naik pitam.
Apalagi kalau ada kesalahan fatal menurut pandangannya. Bisa
dipanggil ke ruangan dan dicerca banyak hal. Hebatnya, saya tidak
merasa sakit. Saya anggap didikan. Kadang-kadang gusar sekali,
sudah lelah tapi kena damprat juga. Tidak sekali dua kali juga, di
depan orang lain, ia memuji kinerja dan karya saya.
Menjadi karyawan dari seorang senior seperti pak Zai,
demikian beliau disapa, akan merasakan pahit manis dunia media.

xv
Didikannya benar-benar berisi dan kadang terasa perih. Bagi yang
tidak kuat mental memang biasanya minggir dan mundur. Saya
tidak, karena saya tahu, apa yang dikatakannya adalah ilmu yang
patut dicuri.
Lain Pak Zai, lain pula Shofwan Karim, Fachrul Rasyid,
Emma Yohanna, Adi Bermasa, juga Herman L. Semuanya saya
bertemu setelah tak lagi di Suara Kampus. Tapi mereka semua telah
memberi warna baik langsung maupun tidak langsung.
Secara praktis, dunia lapangan, saya diajarkan Wiztian
Yoetri. Pak Cici, demikian kami memanggilnya. Jika dengan Ibu
Meiliarni Rusli mendapat banyak teori-teori jurnalistik praktis,
maka bersama Pak Cici, dunia praktisnya terlaksana. Misalnya,
bagaimana mengkoordinatori sebuah liputan hingga menata nilai
berita. Pembagian kerja liputan, administrasi hingga penguasaan
materi liputan.

Sepuluh Tahun
Lebih kurang sepuluh tahun saya berada di bawah bendera
Jawa Pos Groups dengan segenap suka duka, enam tahun di
Harian Pagi Padang Ekspres, dengan posisi terakhir sebagai
Penanggung Jawab Edisi Minggu atau Wakil Pemimpin Redaksi,
yang sebelumnya sudah menjadi redaktur di seluruh halaman yang
ada. Menjadi Koordinator Liputan, Litbang, hingga dinobatkan
menjadi Ketua Panitia HUT Padeks V yang bekerja sama dengan
Lintang Enam.
Satu tahun lebih di Padang TV bersama dengan 12 orang
lainnya. Mendirikan sebuah televisi dengan modal pengetahuan
pertelevisian yang sangat terbatas. Tim ini belajar ke Riau TV,
Pekanbaru. Saya banyak membaca buku televisi. Di Padang TV,
menjadi Manajer Program & Produksi. Jadi presenter Detak

xvi
Sumbar, tiga orang paling awal itu. Dua orang lainnya, Budi
Syahrial dan Tommy Setia Beta. Tak lama. Hanya aktif selama 9
bulan, akhirnya sudah ada rekrutmen anak-anak baru. Umumnya
presenter dan reporter perempuan.
Baru setahun jadi orang televisi, saya ditugaskan lagi
ke Harian Pagi Posmetro Padang, koran hukum dan kriminal,
menyandang jabatan Wakil Pemimpin Redaksi. Sedangkan
Pemimpin Redaksi dijabat Yulius Putra. Redaksi koran ini
umumnya muda-muda. Semuanya di bawah 40 tahun. Paling tua,
wartawan senior, Mardefni Zainir. Terakhir mengabdi sebagai
Hakim Tipikor di Ternate dan Aceh, setelah menamatkan Magister
Hukum di Universitas Bung Hatta (UBH).
Satu tahun koran hukum dan kriminal itu, tugas selanjutnya
ditempatkan sebagai Pemimpin Redaksi Portal Berita PadangToday.
Com, sebuah lembaga persiapan menghadapi kemungkinan
kepindahan media cetak ke online. Persiapan ini melihat gejala
di Amerika Serikat dan Finlandia yang mengalami kemorosotan
penikmat media cetak setelah mengalami konvergensi ke media
online. Ada banyak faktor di dunia negara itu, membuat teknologi
online harus digunakan. Sekadar misal, produksi kertas yang
menurun serta ketersediaan teknologi sudah memungkinkan.
“Nanti. Suatu waktu, entah kapan, dunia bisnis akan
memasuki ranah virtual. Di mana kantor tak perlu besar, hanya diisi
seorang sekretaris dan menjadi alamat resmi beberapa perusahaan,
sementara pimpinannya berada di mana saja. Online di mana saja,
bisa di cafe, di taman, di hotel,” begitu kata CEO Riau Pos, Rida K.
Liamsi, dalam sebuah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Rida K. Liamsi adalah mantan wartawan Majalah Berita
TEMPO, yang mengambil memilih mengembangkan Riau Pos
pada tahun 90-an. Riau Pos menaungi koran-koran wilayah barat

xvii
dari Jawa Pos. Biasanya jajaran jajaran Riau Pos akan dilibatkan
untuk mendirikan sebuah koran di Sumatera Utara, Batam, Aceh
dan Padang.
Selain wartawan, mantan guru sekolah ini, juga menulis
sastra. Di jajaran Riau Pos, selain Rida K. Liamsi, ada Kazzaini,
Surianto, Ramon Damora, Hasan Aspahani, dll. Ikut meramaikan
khazanah sastra. Pemegang Gelar Sastrawan Utama dari Majalah
Sastra dan Budaya, Sagang, Rida K. Liamsi juga melirik teman-
teman sesama penulis sastra dan budaya. Perhatiannya akan lebih
khusus kepada personal redaksi yang mencintai sastra. Hal ini juga
berlaku untuk redaksi-redaksi di Jawa Pos Group dan di Padang
Ekspress.
Fenomena migrasi media cetak ke online memang mengalami
musim. Kesadaran produksi kertas yang terus anjlok, daya beli
masyarakat, hakikat informasi yang pada dasarnya adalah gratis,
seperti media cetak di negara-negara maju sana, telah membuat
perusahaan sadar akan sebuah perubahan segera terjadi. Walau
akhirnya, media online mengalami takdir kehidupan sendiri.
Ini seiring dengan sejarah panjang di mana setiap ada model
media baru, media lama tetaplah bertahan. Kekhawatiran media
cetak dengan hadirnya radio, televisi, dan juga online tidak perlu
didengungkan lagi. Semuanya bisa berjalan beriringan, saling
mendukung, saling melengkapi.
Umat manusia memasuki era banjir informasi. Semuanya
bisa menjadikan diri sebagai mediator, sungguhpun sebenarnya
posisi komunikator berada di mediator. Kerancuan serupa ini
membutuhkan kecerdasan publik dalam memahami dunia pers.
Cerdas bermedia itu sebuah kebutuhan di abad ini, sebagai
keselarasan tumbuh berkembangnya media informasi.

xviii
Dinamika Redaksi
Benar apa yang dikatakan Bill Kovack dan Rosientel dalam
buku Sembilan Elemen Jurnalisme (Pantau, 2011), di redaksi tidak
ada lagi kesempatan untuk belajar secara filosofi jurnalisme.
Reporter baru dihadapkan pekerjaan dan bisa learning by doing. Itu
pun ilmu-ilmu praktis yang cepat saja. Tanpa perlu terlibat berpikir
dan menganalisa secara tajam. Karena deadline juga beban tugas
akan terus datang.
Redaksi yang sibuk, selalu memberi warna baru dan tentu
saja memiliki dinamika kantoran secara umum. Ada suka dan
duka. Senang tidak senang. Baik terhadap sistem maupun terhadap
personal yang ada pada tim kerja. Pada pimpinan, teman sejawat,
juga bawahan nantinya.
Pengalaman ini memberikan pelajaran, dinamika kantoran,
apalagi redaksi yang begitu tinggi dan tajam. Suka tidak suka,
harus dijalani. Jika tidak kuat, minggir dan memilih keluar. Pada
kondisi itulah, peran pemimpin redaksi yang arif dan bijaksana
sangat menentukan. Redaksi yang mapan biasanya mendapatkan
pemimpin redaksi yang mampu mengelola dinamika komunikasi
kelompok pada redaksi yang dinamis.
Secara teoritis, redaksi membutuhkan orang-orang yang
berasal dari berbagai aliran pemikiran. Butuh banyak orang
yang berasal dari perguruan tinggi berbeda, kejuruan ilmu yang
berbeda, hobi yang berbeda dan seterusnya. Produk redaksi seperti
ini akan memperlihatkan karya jurnalisme yang beragam tetapi
terpadu. Kaya dan dinamis. Tapi jika seorang pemimpin redaksi
tidak pandai mengelola dinamika, arus tarik menarik pemikiran
akan bisa mengacau iklim kerja di redaksi.
Berkecimpung menjadi jurnalis, hidup di lapangan,
mengikuti alur aktualitas informasi, bukan berarti berhenti belajar.

xix
Ini penting. Mengingat informasi memiliki watak yang nisbi. Ia bisa
mematikan dan bisa menghidupkan. Membutuhkan kejernihan
berpikir agar tidak terbawa arus informasi yang menyesatkan.
Atau yang lebih berbahayanya, para jurnalis tidak peduli terhadap
hanyut atau tidak hanyut. Mereka larut saja dalam kenikmatan
dunia dan lupa atas tanggung jawab profesi.
Banyak terjadi, mereka datang dan pergi menjalani profesi
jurnalis bukan karena hobi atau karena idealisme. Apalagi
sekarang, nuansa redaksi, untuk satu dua koorporasi media lebih
memilih jurnalis pada posisi kontributor, pihak kedua, pihak
yang tidak menjadi inti perusahaan. Jurnalis hanya diberikan
kesempatan upah dan bonus dari kinerjanya. Ada juga, pemimpin
lembaga media massa yang mengerti nasib jurnalis memilih untuk
memaknai, jurnalis adalah aset yang harus ditempatkan dengan
porsi profesionalitas. Tidak hanya sekadar buruh.
Jika ingin menjadi jurnalis profesional, memilih media
massa tempat berlabuh sangatlah penting agar terjaminnya masa
depan dalam hal kesejahteraan. Pengalaman menunjukkan, ada
jurnalis secara kompetensi sangat bagus tapi mendapat salary yang
tidak banyak karena ia berada di media kecil dan tidak mampu
menggaji secara layak. Sebaliknya, ada pula jurnalis yang biasa-
biasa saja karena koneksi ia mendapat salary besar dari media massa
tempatnya bekerja, sungguhpun secara kapasitas dan kompetensi,
biasa-biasa saja.
Menjadi jurnalis semestinya sedari awal menjadi pilihan
utama, bukan alternatif atau karena kecelakaan sejarah, itu
idealnya. Namun demikian, bisa saja seseorang berlabuh ke profesi
ini karena dibawa nasib, lalu ia belajar dan mendalaminya dengan
baik dunia jurnalistik dari filosofi hingga teknis. Banyak yang
serupa ini, namun banyak juga yang menganggap jurnalistik hanya

xx
sebuah keterampilan teknis tidak membutuhkan pengetahuan
jurnalisme yang memadai secara filosofis dan ideologis. Akibatnya,
tidak tertanam dalam dirinya sejatinya tugas seorang jurnalis. Ia
menjadikan profesi ini semata-mata sebagai ladang untuk mencari
uang tanpa peduli dengan fungsi jurnalistik dan pengaruh profesi
ini terhadap kemajuan umat. Dampaknya luar biasa, hedonisme
dan pragmatisme tanpa ia sadari sudah menjadi agama barunya.
Tidak itu saja, kekuasaan publik yang melekat pada profesi ini,
sering pula disalahgunakan.
Munculnya oknum wartawan tanpa surat kabar, wartawan
amplop dan wartawan preman suka memeras, karena hanya
memahami jurnalisme dari satu sisi enaknya saja. Inilah fenomena
profesi jurnalistik yang mesti dibersihkan oleh generasi baru
nantinya, yang melakoni kegiatan jurnalistik sesuai kaedah, hukum
positif, juga norma agama.
Begitulah pengalaman menjadi orang media, tukang kata-
kata. Berawal dari hobi lalu menjadi profesi. Tentu, pahit manis
dan getir terasa indah setelah semua dijalani. Hidup, ternyata apa
yang kita pikirkan dan kita lakukan. Tidak lebih.

Perihal Buku Ini


Buku ini, kumpulan esai yang mencakup banyak hal.
Karangan bebas yang masih termasuk dalam ragam jurnalistik.
Esai-esai ini lahir sebagai respon dari informasi yang terbaca dan
melintas secara datang dan pergi sesuai dengan aktualitasnya.
Bagi saya, menulis adalah nafas kehidupan yang sudah menjadi
kebutuhan. Pada maqam ini, sebenarnya suntikan awal kuliah
masih terasa: katakan, tuliskan, bicarakan, diskusikan. Zaman
terus berubah, tetapi sebagai bagian dari masyarakat informasi,
adalah keharusan setelah menerima informasi mesti mengolah

xxi
ulang menjadi informasi baru yang memiliki perspektif. Itulah
yang terjadi hingga lahir kumpulan esai ini.
Esai-esai pendek ini telah dimuat di Harian Umum
Independen SINGGALANG, Suara Kampus, Padang Ekspres, juga
majalah AmalBakti Kanwil Kemenag Sumbar. Setelah diperiksa satu
persatu, dibagi menjadi beberapa babak, hingga menjadi sebuah
kumpulan yang tentunya tidak akan pernah tuntas bahasannya.
Namun demikian, buku ini bisa menjadi penanda rekam jejak
sejarah dalam perspektif yang unieqly, dari seorang kolomnis.
Sebagai penulis esai, pengaruh bacaan baru dan klasik
tidak dapat dielak. Saya mengutipnya secara terang-terangan,
sebagai bagian dari proses kreatif kepenulisan. Beberapa esai
sangat kentara terasa, misalnya Jangan Robohkan IAIN Kami,
ini mengambil spirit judul Cerpen A.A. Navis, Robohnya Surau
Kami. Ada lagi, Tenggelamnya Kapal Ikan Asing, lagi-lagi ide Buya
Hamka digeser dari judul Novel, Tenggelamnya Kapal Van der
Wijck. Begitu juga Reformasi Berhenti di Kaki Pelangi, tentu saja
mencomot dan mengkreasikan buku hasil liputan investigasi karya
Bondan Winarno, Bre-X: Sebongkah Emas di Kaki Pelangi (Jakarta:
Inspirasi Indonesia, 1997).
Ini buku kumpulan esai kedua, menyusul buku pertama,
Di Bawah Kuasa Media Massa (Padang: IAIN Press, 2014). Buku
pertama ini, mengambil semangat judul novel Buya Hamka, Di
Bawah Lindungan Ka’bah. Lagi-lagi, saya mengambil semangat
dari khazanah lama, yang diracik menjadi baru. Bagi saya, ini baik,
asalkan disebutkan secara jujur. Jangan asal ambil saja, itu plagiat
namanya. Ambil dan pungutlah, tapi perlihatkan proses kreatifnya,
sehingga ada pembeda dan khazanah lama itu berdaya kembali.
Tidak hilang ditelan waktu.

xxii
Teologi Informasi
Kenapa diberi judul Teologi Informasi? Jangan berharap
akan bertemu jawaban yang tuntas dari buku ini. Buku ini hendak
mengantarkan hidangan yang tidak pernah benar-benar siap saji.
Ini bukan buku akademis yang bisa diharapkan mendapatkan
detail tentang Teologi Informasi. Teologi adalah ilmu-ilmu yang
membicarakan tentang ketuhanan yang berhubungkait dengan
alam semesta, manusia serta makhluk-makhluk lainnya. Semua itu
adalah hasil pemikiran-pemikiran para cendekiawan terdahulu baik
lahir dari penafsiran dogma-dogma agama maupun pengalaman
empirik bidang spiritualitas. Semua itu adalah material dalam
bentuk informasi. Sedangkan informasi tiada lain adalah segala hal
ihwal seputar kehidupan yang dikabarkan melalui berbagai kanal
dan medium. Informasi adalah kebutuhan batiniah bagi setiap
orang. Setiap orang butuh informasi.
Maka lahirlah media massa, disusul media sosial. Informasi
menjadi barang, dikonsumsi, menghidupkan industri. Industri
informasi. Media massa merupakan lembaga industri informasi
yang banyak menyedot keuntungan karena kebutuhan publik
atasnya tak pernah habis. Apapun peristiwa, melalui pendekatan
news value theory, dengan menggunakan seperangkat alat bernama
jurnalisme, informasi disebar ke penjuru dunia. Adagium yang
paling lekat di sanubari para jurnalis soal ini adalah, “ketika anjing
menggigit manusia, itu bukan berita. Sebaliknya, ketika manusia
menggigit anjing, itulah berita.” Berita adalah produk jurnalistik
yang memiliki prosedur ditopang dengan peraturan perundang-
undangan dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), diproduksi untuk
khalayak. Pada perkembangannya, pada sebuah buku, Bill Kovack
dengan satir menyebutkan kegundahan kecepatan informasi
dilayangkan lembaga media massa. “Ketika kebohongan menyebar

xxiii
ke seluruh penjuru dunia, kebenaran baru saja memakai celana.”
Sebuah ungkapan yang kuat untuk menyatakan, “kebenaran” bisa
dibuat untuk berbohong melalui mekanisme jurnalistik. Seterusnya,
kebenaran-kebohongan adalah persoalan nilai, salah-benar, baik-
buruk. Pada titik ini, kita masuk ke wilayah teologis. Kebenaran
faktual, kebenaran jurnalisme, memiliki hubungkait dengan
teologi yang diusung oleh para jurnalis. Klop, ada kepentingan
teologis pada level spiritualitas individu yang ikut andil dalam
proses sebuah produk jurnalistik. Hiruk-pikuk produksi hoax,
fakenews, merupakan persoalan teologis bagi orang-orang di
balik mekanisme informasi yang disebarkan ke publik. Publik
bisa terkecoh, karena berhubungkait pula dengan kecerdasan
dalam menerima informasi. Informasi mengalami bias yang luar
biasa kumuh di tangan mereka yang memiliki kepentingan untuk
mendapatkan keuntungan lebih dari sekadar menyampaikan
pesan. Nah, pada posisi inilah sebenarnya judul Teologi Informasi
menjadi signifikan. Informasi bisa jadi sangat netral pada awalnya,
namun ketika memasuki berbagai medium, ia bisa rusak karena
kepentingan yang menyaru di dalamnya. Lahirnya framing dari
penyampai pesan dari satu ke tempat lain.
Di atas semua itu, akhirnya kita memang membutuhkan
pencerdasan dan kecerdasan melatih diri menerima informasi
dengan bijak. Tidak cepat terpengaruh, kebiasaan cross check,
tabayyun, hingga tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.
Demikianlah, bila nanti pembaca menemui esai demi esai di dalam
buku ini, akan bersua beberapa persoalan berhubungan dengan
“informasi dan teologi”, “teologi informasi”, “informasi teologi”.
Tiga hal itu berkelindan secara simultan dalam persoalan yang
dipaparkan sesuai dengan judul esai.

xxiv
Manusia membutuhkan informasi sebagai hak tetapi
dalam kehidupan yang serba bergegas ini, sikap teologis sangat
menentukan bagaimana seseorang menempatkan informasi yang
didapatkannya. Itu pula yang akan menjadi pandangan, sikap,
mungkin juga menjadi tindakan. Keputusan seseorang terhadap
sesuatu hal, dilandasi dengan sikap teologis yang tak terpisahkan
dengan kemampuan serapan terhadap berapa banyak informasi
tetang ketuhanan, keagamaan, ilmu pengetahuan, sistem berpikir
yang mengitari hidupnya.
Singkat kata, secara umum seseorang akan menerima
informasi apa saja yang ditemukannya, namun dalam dirinya akan
menunggu sebuah alam pikiran yang juga bermuatan pengetahuan
sebelumnya. Baik berbasis teologis maupun informasi yang lama
tentang informasi yang baru datang. Pada saat itulah, ia akan
meramu menjadi keputusan-keputusan untuk dilontarkan kembali
menjadi hasil analisa pikiran-pikiran. Sebaliknya, bila masuk
muatan informasi teologis, sikap teologisnya pula yang akan
menerima informasi tersebut, lalu menolak atau menerimanya.
Artinya, setiap orang selalu menggunakan sisi teologis
secara sadar maupun tidak sadar sesuai dengan kadar informasi
teologis dimilikinya ketika berhadapan dengan persoalan yang
datang kepadanya baik melalui media maupun secara langsung.
Begitulah. Selamat membaca. []

Padang-Ciputat, November 2019

Dr. Abdullah Khusairi, MA

xxv
Daftar Isi

PROLOG
Nasib Tata Negara di Tengah Arus Informasi ~v

PEMBUKA KATA
Pada Mulanya Tukang Kata ~ix

LITERASI MEDIA
Disrupsi Media Massa ~3
Bijak Menggunakan Media Sosial ~7
Perkembangan Radikalisme Di Media Sosial ~11
Nilai Berita Pembantu Presiden ~15
Jurnalisme Wajah Baru Di Media Cetak ~19
Tentang Idealisme dalam Sebuah Amplop ~23
Memahami Watak Media Sosial ~27
Jurnalisme Online Situs Radikal ~33
Jurnalisme Era Digital ~39

xxvii
Jurnalisme Pilpres ~45
Tragedi Tabloid Hebdo ~49
Pers Sehat Bangsa Hebat ~55
Merawat Nasib Media Cetak ~61
Cara Hebat Gardu Dahlan ~67
Seruan Sepi Dewan Pers ~73
Babak Baru AJI Indonesia ~79
Kurenah Puasa di Dunia Maya ~83
Buruk Moral di Media Sosial ~87
Cerdas Memilih Media Online ~93
Teologi Kebencian di Media Sosial ~97
Saya Bertanya Maka Saya Ada ~103

REFLEKSI DEMOKRASI
Demokrasi Jenaka 70 Tahun Merdeka ~109
Berdemokrasi di Tengah Rasa Lapar ~115
Kecamuk Perang Informasi Pilpres ~124
Siapa Gubernur Kita ~127
Lampu Kuning untuk Petahana ~133
Menari di Irama Petahana ~137
Anomali Arah Angin Shofwan Karim ~143
Membaca Langkah Baharuddin Raaban ~149
Jalan Baru Taslim Chaniago ~152
Jalan Sepi Partai Islam ~157

xxviii
Menyandar Masa Depan ke Partai Politik ~163
Satu dari Mereka Akan Jadi Pemimpin Kita ~169
Sinyal Komunikasi Politik untuk Sumbar Satu ~173
Naik Kelas ke Sumbar Satu ~179
Putus Asa dengan Negara ~185
Ego Sektoral Lembaga Negara ~191
Menunggu Kebijakan Hebat Kepala Daerah Baru ~197
Kesadaran Menduduki Jabatan Publik ~203
Dendang Akhir Tahun ~209

WACANA PENDIDIKAN
Kisah Sedih Pendidikan Kita ~217
Menteri Eksentrik dan Linearitas Ilmu ~223
Tenggelamnya Kapal Ikan Asing ~229
Mencatat Bakat, Menanam Minat ~233
Matinya Sistem Berpikir Kreatif ~239
Jangan Robohkan IAIN Kami ~245
Kampus Sungai Bangek ~251
IAIN Rusuh, Bola Mati di Tangan Siapa ~255
Gerakan Reformasi Berhenti di Kaki Pelangi ~259
Dua Kapolres di Tengah Bencana ~265
Semangat Baru Mapolda Sumbar ~269
Tendangan Zumi Zola ~273
Musik yang Mengusik ~279

xxix
Maksiat Pondok Pantai ~283
Film Pendek Tekad Apak ~287
Do’a di Kabin AirAsia Suatu Hari ~291
Bahaya Narkoba di Sekitar Kita ~297
Hukum Berat Oknum Aparat ~301

DAKWAH MEDIA
Kebenaran Atas Nama Agama ~307
Epistimologi Kaum Radikal ~311
Da’i Nagari ~317
Menu Bahagia di Hari Raya ~323
Cerdas dan Bijak di Hari Kemenangan ~331
Air Mata Hari Kemenangan ~339
Asas ISIS Usus ~343
Nalar Teologi Kabut Asap ~349
Bulan Manja dari Ayah ~355
Latihan Kecerdasan Akal dan Hati ~359
Memahami Perkara Nalar dan Wahyu ~363
Kesalehan Sosial Masyarakat Madani ~367
Jalan Sunyi Sang Sufi ~371
Kuliner Antartetangga ~375
Nafsu Kuasa Berjubah Ijtihad ~379
Bersatu dalam Ibadah Berpisah dalam Politik ~383
Daya Zikir dan Pikir Memaknai Kehidupan ~387

xxx
Ceramah Indah Menjelang Tarawih ~393
Pesan Damai dari Mimbar ~397
Dakwah Entertainment dan Sertifikasi Mubalig ~401

EPILOG
Hal Ihwal Sampah Informasi ~407

RIWAYAT NASKAH ~413


UCAPAN TERIMA KASIH ~417
TENTANG PENULIS ~419

xxxi
untuk
perempuan – perempuan
tempat rindu selalu
ingin kembali
pulang

Emakku Mahmudah, Adikku Nuraini Fadhillah


Isteriku Sriherfiani Khusairi
Anakku Meysanda Nurhayati K. Dhiyania Rafa K.
Abyatina Majda K.
LITERASI
MEDIA
Disrupsi Media Massa

Zaman kemerdekaan sampai tahun 1980-an, pemilik-pemilik


media adalah wartawan-pejuang dan pejuang-wartawan, sehingga
idealismenya sangat kuat. Hari ini pemilik media kebanyakan
tokoh-tokoh bisnis, yang banyak kepentingan dan sangat mudah
ditekan oleh kekuasaan. Qua vadis press Indonesia.
Demikian cuitan dari seorang tokoh lewat akun
@RamliRizal. Maksud pernyataan ini dapat diambil maknanya,
betapa mudah pers tunduk pada tekanan kekuasaan karena
dimiliki bukan dari kalangan wartawan-pejuang dan pejuang-
wartawan. Padahal, pers diharapkan dapat menjadi watchdog
bagi demokrasi. Penggonggong dari penyelenggara negara. Pilar
keempat demokrasi setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Itu
idealnya.
Kini, setelah pers memasuki wilayah industri informasi telah
bergesar dari perjuangan idealisme ke perjuangan komersialis.
Lembaga pers memang memiliki dua sisi itu, sebagai lembaga yang
didirikan pemiliknya untuk mendapatkan kepercayaan (trust)
publik dan hidup di tengah publik karena disokong iklan karena

3
trust. Iklan datang karena trust. Program televisi yang berkualitas
akan antri karena iklan. Media yang kritis, mengakomodasi
kepentingan dan aspirasi publik akan menjadi tumpuan bagi publik.
Tumpuan harapan menekan pihak kekuasaan untuk menjalankan
aspirasi mereka. Itulah idealnya.
Pernyataan akun @RamliRizal merupakan kesadaran yang
telah lama terasa. Ketika terjadi oligopoli kepemilikan industri
informasi di Indonesia, patronase politik kekuasaan dan ekonomi
telah membuat ruang redaksi tunduk pada keadaan. Walau masih
ada harapan tumbuhnya ruang redaksi yang kritis, membangun
jurnalisme yang berkualitas, mampu membongkar setiap
penyelewengan kekuasaan. Semua itu butuh daya tahan, daya
juang, daya kritis yang mengeras dalam kekompakan para pemilik
dan awak media untuk berpihak kepada publik.
“Orang-orang yang mengaku jurnalis, tapi hampa sikap kritis,
sudah selayaknya tidak dianggap sebagai jurnalis. Mereka lebih
cocok disebut pelantang. Sekadar buzzer yang mendengungkan
informasi sesuai order. Bagi mereka, mungkin saja news value
bukan seberapa penting informasi itu bagi publik, tapi parameter
yang dipakai; seberapa bahagia narasumber/lembaga atas berita
yang mereka terbitkan. Ini tragis.”
Kalimat ini muncul di akun FB @Bhenz Maharajo. Keresahan
pernyataan di atas lebih kepada jurnalis-jurnalis yang tidak
memiliki daya kritis. Jika @RamliRizal soal kepemilikan media
massa maka @Bhenz_Maharajo soal jurnalis, tenaga profesional
yang bekerja untuk media massa. Dua pernyataan ini mewakili
persoalan media massa secara di tengah gempuran media sosial.
Kedua pernyatan juga dilemparkan ke media sosial.
Kehadiran media sosial adalah disrupsi bagi media massa
mainstream. Publik bisa melakukan pekerjaan jurnalistik walau

4
dengan kelemahan di sana-sini namun kekuatan masif media
sosial sudah bisa menikung kekuasaan pers dalam merebut wacana
publik. Viral telah melemahkan rating. Biro iklan mengalihkan
aliran biaya iklan ke para influencer. Media massa memang masih
mendapat banyak tetapi influencer mulai dari youtuber, selebgram,
sudah mengambil bagian yang cukup banyak dengan tenaga kerja
yang sedikit.
Persoalan korporasi media massa di tangan beberapa
orang, bisa jadi kini menjadi puncaknya dan akan runtuh dengan
sendirinya bila sekadar menjadi pelantang sebab mengedepankan
sisi komersialisme dengan memadamkan sisi idealisme, membuat
korporasi tersebut berkepak sebelah sayap. Hal ini berarti tidak
menjalankan tugas alamiah media massa, melayani informasi (to
inform) yang berkualitas, memiliki sifat mendidikan (to educate)
terhadap publik, memberikan hiburan (to entertaint), serta ini
yang penting sebagai lembaga sosial kontrol (social control). Fungsi
yang terakhir adalah kunci agar media massa bisa bertahan dan
dapat dipercaya oleh publik.
Keresahan @RamliRizal dan @Bhen_Marajo hendaknya
menjadi introspeksi diri bagi pemilik dan pekerja media. Sepanjang
masih memperjuangkan hak-hak sipil, keadilan, kesejahteraan dan
kemakmuran, media massa bersama jurnalis masih dibutuhkan
namun bila sekadar pelantang, siap-siaplah tersungkur di kaki
kekuasaan. []

5
Perkembangan Radikalisme
di Media Sosial

Gerakan radikal berkembang melalui media sosial.


Perkembangan ini memiliki hubungkait dengan kecerdasan
seseorang dalam memahami watak media sosial. Mereka yang
mudah terpengaruh dan mudah terpapar, biasanya mereka
membutuhkan sandaran kebenaran yang sedang diperjuangkannya.
Ketika kebutuhan itu terpenuhi, gelora perjuangannya
menjadi-jadi hingga melewati batas kepatutan. Saat itulah gerakan
radikal bagi seseorang menjadi tindakan. Tindakan radikal itu
salah satunya adalah teror. Radikalisme akar terorisme ketika ia
menjadi aksi.
Semua orang punya sikap radikal, sebab dalam ilmu filsafat,
berpikir radikal (radix, akar) itu merupakan syarat. Berpikir sampai
ke akar persoalan. Radikal sebagai alat dalam sistem berpikir.
Pada perkembangannya, istilah radikalisme mengalami
distorsi makna. Kadang-kadang terjebak dalam makna peyoratif
sesuai dengan kehendak kalimat dari orang-orang yang

7
mengucapkannya. Apalagi dipakai oleh mereka yang hampir tak
mengerti makna asal, makna historis, makna politis di baliknya.
Radikalisme pada dasarnya adalah diksi yang netral.
Banyak diksi yang memiliki beban yang berat karena
persoalan politik. Apalagi di media sosial, orang mengucapkannya
tidak berdasarkan makna historis tetapi makna politis dan
peyoratif. Radikalisme punya persaudaraan yang dekat dengan
diksi fundamentalisme, ekstrimis, sektarianisme. Bahkan bila
menelusuri ruang-ruang sejarah, kita akan mendapatkan pola
pemikiran dan gerakan serupa ini hingga jauh ke dalam. Kini
orang tak mau berdalam-dalam, kedangkalan sedang dirayakan.
Makna mengalami abrasi, makna yang kadang-kadang terasa lucu.
Media sosial adalah kemajuan peradaban yang bersenjangan
dengan kemampuan cara adaptasi publik dengannya. Ada yang
baik, ada yang buruk di media sosial. Bagi yang cerdas, akan
menggunakannya dengan baik, bagi yang lebih cerdas, akan
menggunakan untuk kepentingan politik, ekonomi dan bisnis.
Kadang-kadang berpoles pula dengan bahasa agama. Bagi
yang tidak memahami watak media sosial sebagai alat untuk
melancarkan pengaruh, akan segera terpengaruh.
Era post-truth ini, orang sering mencari dalil, sekalipun
lemah sesuai dengan keinginan nafsu. Pada titik inilah, nalar dan
perasaannya dipaksakan untuk mengikuti hawa nafsu. Media
sosial mengakomodasi ini sehingga mendukung berkembangnya
pemikiran dan gerakan radikalisme. Ada pertemuan kepentingan
para level pemikiran yang sama dalam agama, politik, ekonomi,
kekuasaan, di media sosial. Mereka bersatu, mengeras, membangun
tembok dan siap berkonflik dengan perbedaan yang memang
alamiah dalam kehidupan ini. Pemikiran dan gerakan radikal
cenderung membunuh sifat toleransi, ketika ada perbedaan, bukan

8
persamaan pikiran yang dicari tetapi menegakkan pemikiran
sendiri, memaksa, dengan dalil yang dangkal munculah diksi-diksi
yang tak elok. Kasar, jauh dari kearifan dalam komunikasi efektif.
Pengalaman menyelesaikan program doktor sepanjang tahun
2016-2019, lalu menulis disertasi dengan judul “Diskursus Islam
Kontemporer di Media Massa; Kajian terhadap Radikalisme dalam
Artikel Populer Harian Kompas dan Republika 2013-2017” (2019),
menunjukkan bagitu banyak faktor-faktor kenapa berkembangnya
pemikiran dan gerakan radikalisme, sesuai dengan tahapan
kesusahan untuk meluruskannya. Pada satu sisi, berpikir radikal
diperlukan untuk ketajaman hasil tetapi pada satu sisi lain, orang
bisa tenggelam dalam pikiran radikal sendiri dan memaksanya
pada lingkungannya.
Catatan paling menarik, ketika radikalisme menjadi booming
dibahas melebar ke mana-mana, aparat pemerintah kadang-kadang
juga gagal paham mencari formula penyelesaian. Saya justru
bersetuju dengan Erich Fromm yang menyatakan, radikalisme
sering kali dimulai dari kehampaan kepribadian dalam ruang
sosial. Sementara, setiap pribadi butuh eksistensi, ketika eksistensi
itu tidak didapatkan, sempitnya kesempatan, membuat seseorang
mencari jalan lain untuk diakui oleh lingkungannya. Ditambah
lagi, faktor ekonomi, pendidikan, yang akhirnya memilih jalan
radikal bersandar pada agama, sebagaimana agama sebagai pokok
peradaban manusia paling aman untuk sandaran kekalahan.
Jadi, orang menjadi radikal juga karena kegagalan negara
dalam mengelola kesempatan bagi rakyatnya, juga tak sanggupnya
negara dalam mengakomodasi dan menjalankan amanat UUD 45
dan Pancasila, memberi keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran
kepada rakyatnya.

9
Radikalisme tumbuh di media sosial karena medium ini
memiliki kebebasan tanpa batas dalam menyebarkan pikiran-
pikiran kepada khalayak. Pada media massa, ada pakem jurnalistik
yang akan membatasi, sementara media sosial bisa dibuat semaunya
dan dituju bebas kepada siapa pula. Namun bagi yang cerdas
dalam bermedia sosial tak mudah menerima pikiran-pikiran
dalam bentuk apapun, termasuk pikiran radikal, dari media sosial.
Mereka akan mencerna dan menganalisis dengan baik setiap
informasi yang datang, tidak main telan dan percaya, lalu bersetuju
tanpa berpikir lebih mendalam. Media sosial adalah medium yang
netral, para penggunanyalah yang memiliki kepentingan. Semua
orang punya kepentingan, sesuai kadar akal masing-masing.[]

10
Bijak Menggunakan
Media Sosial

Tiba-tiba teman lama kita punya akun media sosial. Kita


terhubung. Kita senang. Lama-lama tidak lagi. Kenapa?
*

Setiap orang punya jiwa jurnalistik, hanya saja tumbuh atau


tidak, tergantung perkembangan selanjutnya. Jiwa itu tumbuh
berkembang bisa disadari bisa tidak. Bila disadari, ia akan menjadi
jurnalis dan mengembangkan bakat dan minat itu menjadi lebih
baik, terarah dan ia mendapat penghidupan dari situ. Ada yang
tidak disadari, seiring dengan perkembangan teknologi, jiwa itu
berkembang pula. Ketika smartphone ada di tangannya, saat itulah
perkembangan sangat signifikan terjadi.
Itulah yang terjadi dengan banyak orang yang baru punya
smartphone, sehingga hobi sekali melaporkan hal-hal di sekelilingnya
lalu diposting di linimasa yang dimilikinya. Kadang-kadang tanpa
sensor yang memadai. Misalnya, foto diri sedang pakai baju dalam,

11
sedang di dapur yang berantakan, kadang-kadang memang tak layak
lapor ke linimasa. Semuanya telah telanjang. Hampir tak ada jeda,
hampir semua tahu dia sedang di mana, sedang apa. Apalagi ada hal
baru bagi dirinya, semua orang tahu dibuatnya. Mulai naik pesawat,
hingga destinasi wisata terbaru, dijepret. Sedang kerokan, jepret.
Salahkah? Tidak, kadang-kadang terasa garing dan lebay.
Begitulah, bila tiba-tiba ada teman lama kita punya akun
media sosial. Kita terhubung. Kita senang. Lama-lama tidak lagi.
Risih.
Ada juga yang lebih ekstrem, memotret kepala korban
kecelakaan yang tergeletak di tengah rel. Memotret darah-darah
pembantaian hewan kurban. Semua itu menunjukkan seseorang,
itu mungkin teman kita, yang memiliki jiwa jurnalistik tetapi tidak
memiliki sensor-self. Latah dan tidak tahu tentang linimasa yang
memiliki sebab-akibat.
“Smartphone lebih cerdas dari yang punya,” kata wartawan
senior, Khairul Jasmi, suatu hari.
Inilah guncangan peradaban di tengah budaya yang tidak siap
menerima hal baru. Sebagian kita tidak mau belajar lebih dahulu
tentang sesuatu. Langsung pakai. Tidak baca manual. Ada juga yang
sadar, menarik diri, menghapus foto-foto yang tak perlu, mulai
menata kata-kata di linimasa. Ada juga yang pindah dan aktif di
platform lain, ketika platform sebelumnya begitu banyak hoax dan
sampah. Sudah risih. Ada pula yang terus begitu hingga kini.
Hampir satu dekade akrab dengan media sosial, sejak hanya
bisa main internet di kantor, hingga kini bisa 24 jam asal ada kuota,
pengamatan ini sangat menarik dikaji lebih mendalam secara
akademik. Semoga ada waktu untuk itu. Misalnya fokus, kurenah
orang-orang baru bermedia sosial; tahapan fenomena orang baru
bermedia sosial. Beberapa disertasi dengan mengandalkan media

12
sosial juga sudah ada. Media sosial bisa membuat seseorang jadi
bergelar doktor dan sarjana. Sekadar menyebutkan, Kontestasi
Islam di Facebook: Studi Sosiolinguistik oleh M. Wildan di Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Ciputat (Disertasi, 2017). Juga ada skripsi
berjudul: Dakwah Islamiyah Melalui Facebook: Studi Linimasa
Buya Masoed Abidin oleh Rafii Hidayatullah Nazari di Komunikasi
Penyiaran Islam (KPI) IAIN kini UIN Imam Bonjol Padang, (Skripsi,
2013).
Media sosial adalah fenomena yang tak pernah habis. Harus
terus dikaji sesuai dengan perkembangan yang akan terus ada.
Namun manusianya, itu ke itu juga, beda generasi beda guncangan
budaya. Nilainya sama, sama-sama membawa perubahan. Dulu
orang tercengang, hadirnya koran setiap bulan, setiap minggu dan
setiap hari. Dulu orang juga terkejut bisa ada foto diri. Sebelumnya
hanya ada juru tulis, juru lukis, kini saban menit bisa foto-foto, cetak
langsung juga bisa. Kini tak juga hanya koran, ada radio, televisi dan
online. Online basis media cetak. Kalau tak ada kuota internet, tak
bisa akses.
Guncangan akan reda. Kearifan muncul, ketika ada masalah
dihadapi. Begitu juga kedewasaan bersikap dan bertindak. User
smartphone kini mulai hati-hati, takut tersandung hukum. Begitu
banyak yang sudah mengalaminya. Ada juga yang takut-takut,
akhirnya minggir dari linimasa. Ada pula yang mencari akal,
membuat akun palsu, jadi buzzer. Semuanya adalah pilihan.
Media sosial, dunia maya, bukanlah dunia lain. Dibutuhkan
kearifan, berpikir dulu baru baru buat juga berlaku di situ. Semoga
kita cerdas bermedia sosial, arif dan bijaksana serupa di dunia nyata.
Media sosial juga nyata, sebab ada hukum positif, sebab akibat, yang
berlaku di dalam smartphone kita. Salam. []

13
Nilai Berita
Pembantu Presiden

“Kenapa beritanya berkutat seputar ada atau tidaknya Putra


Minang jadi menteri?” Pertanyaan ini muncul dari seorang dosen
muda, Aidil Aulia dalam suasana ngopi pagi suatu hari. Pertanyaan
ini akhirnya melebar tentang bagaimana media massa hari ini di
tengah riuh media sosial. Sehingga saya harus memaparkan, secara
santai tentunya, tentang koorporasi media massa di Indonesia
dimiliki hanya beberapa orang saja. Itulah oligopoli industri media
massa di negeri Via Vallen ini. Sehingga begitu tampak patronase
politik dan ekonomi berkelindan di media massa. Media massa
menjadi alat politik kekuasaan dan ekonomi.
Sebenarnya, hal ini lumrah saja. Toh, kepercayaan publik
terhadap media massa masih memiliki harapan walau media sosial
kini sudah menjadi tumpuan baru sebagai wadah suara liyan di
tengah suara media mainstream. Trending topik bisa berada di
depan dibandingkan rating.

15
Lalu pertanyaan di atas memang dikhususkan terhadap
fenomena lokal. Selalu seperti itu ketika ada penyusunan kabinet.
Maklum, putra terbaik minang selalu ada dalam kabinet. Pada
Kabinet Indonesia Maju (KIM) kali ini memang ada namun tidak
terlalu kentara, bahkan cenderung dikait-kaitkan berdarah minang.
Dulu, setiap periode selalu ada bahkan gubernur Sumbar berturut-
turut selalu dipercayakan jadi menteri. Azwar Anas, Hasan Basri
Durin, Gamawan Fauzi. Kini, dengan dinamika politik yang ada,
itu tidak terjadi lagi. Suara pasangan Joko Widodo - Ma’ruf Amin
di Sumbar memang paling kecil dibanding provinsi lain.
Soal media massa memberitakan tentang putra minang atau
tidak, ada atau tidak, merupakan aspirasi publik yang disalurkan
oleh para jurnalis dan media lokal. Ini merujuk teori nilai berita
(news value), proximity. Berita diproduksi berdasarkan nilai ini,
karena kedekatan antara publik tempat media itu hidup, harus
dipenuhi. Kedekatan emosional, ras, suku, itu perlu secara alamiah,
orang akan butuh. Bayangkan kalau tidak ada berita tentang itu?
Dulu, saya Koordinator Liputan (Koorlip) mendapat titah
dari pemimpin redaksi agar berita tentang Semen Padang FC harus
ada setiap hari demi pasar. Suporter Semen Padang FC adalah pasar
bagi media lokal. Mereka ingin tahu apa yang sedang terjadi di
Semen Padang FC. Begitulah kiranya teori berita berkaitan dengan
ada tidaknya menteri dari dan berdarah Minang.
“Kesannya sangat berharap dan jika tidak ada, sepertinya
ada kekalahan,” tanggap teman yang lain.
Benar. Bagi kalangan tertentu, berita dengan tone mencari-
cari seakan-akan seorang menteri baru itu adalah orang minang,
tidak begitu penting. Tetapi bagi sebagian yang lain, sangat penting.
Sesuai dengan tingkat kebutuhan terhadap berita.

16
Saya justru tertarik membahas, masuknya tokoh muda dari
media televisi, Wishnutama Kusubandio (NET.TV) dan Angela
Herliani Tanoesoedibjo (MNC Group). Masuknya dua orang
media televisi ini, terlepas dari faktor lain-lain, merupakan sejarah
berulang semata. Dulu dari kalangan wartawan, Adam Malik jadi
Wapres Soeharto, ada Harmoko jadi kader Soeharto jadi Menteri
Penerangan. Menjadi jurnalis, memang membuka jalan bagi
seseorang untuk mengembangkan diri lebih luas dan jauh. Karena
itu, banyak jurnalis bisa masuk ke lini lain, ke legislatif, ke eksekutif
dan yudikatif.
Saya sendiri, sempat dibilang tidak bersetia dengan profesi
karena beralih setelah 10 tahun berkecimpung di dunia jurnalis.
Memilih jadi akademisi, setelah menjadi praktisi. Padahal, saya
masih merasa bersetia, hanya saja pindah tempat dan lebih
menantang, menjadi guru dan melahirkan para jurnalis. Ini juga
karena ada kesempatan untuk itu. Jalan serupa ini tidak baru
karena sudah ada pendahulunya, seperti penguji ujian doktor
dan promotor saya, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, CBE, Prof.
Dr. Komaruddin Hidayat dulunya adalah jurnalis. Masih banyak
contoh lain.
Nah, kebutuhan terhadap nilai berita bagi setiap orang
tidak sama. Walaupun dengan tema yang sama, tentang menteri,
namun bisa dari berbagai sisi nilai berita ditelusuri. Seperti saya,
yang cenderung ingin membahas Wisnu dan Angela sebagai orang
media yang masuk tim kerja periode kedua, Presiden Jokowi.
Bagi media lokal, menjadi keharusan menjawab keingintahuan
masyarakat lokal, adakah bagian dari mereka yang jadi menteri.
Hanya saja, mungkin catatannya adalah; tak perlu diproduksi
dengan cara yang terlalu berlebihan.

17
Terakhir, jangankan menteri sebagai pembantu presiden,
pembantu presiden yang menyiapkan baju presiden setiap hari
juga memiliki nilai berita; prominen! Orang terkemuka seperti
seorang presiden, selalu memiliki nilai berita yang bisa diberitakan.
Termasuk si pembantu yang menyeterika bajunya. Begitulah
teori nilai berita bekerja di dalam diri wartawan sebagai sense of
journalism. Ya, siapa wartawan yang mau melacak nama pembantu
yang menyiapkan baju presiden di pagi hari itu? []

18
Jurnalisme Wajah Baru
Di Media Cetak

Media cetak sebagai sebagai medium paling tua di abad


modern, menunggu kiprah jurnalisme dengan wajah baru.
Ketika media elektronik lahir, radio dan televisi, guncangan
segera mereda karena karakter antarmedium ini masih memiliki
perbedaan (defferent) yang kuat. Media cetak bisa disimpan oleh
pembaca sebagai bukti otentik sebuah dokumen, sementara radio
dan televisi hanya mengandalkan kecepatan untuk bisa sampai ke
pendengar. Pendengar tidak bisa cepat mendapatkan dokumen
sebagai milik sendiri sebagaimana media cetak.
Media cetak memang banyak yang sudah “gulung tikar”
tetapi bukan hanya faktor kehadiran media online. Ada beberapa
faktor lain, yaitu: manajemen yang buruk; tidak ada kreativitas
baru dalam menanggapi keadaan pasar; kualitas pemberitaan yang
tidak berubah; ketiganya berkelindan saling mendukung.
Baiklah, mari kita mulai dari manajemen yang buruk. Pada
bisnis apapun, manajemen yang buruk lambat laun akan membawa

19
kehancuran jika tidak sadari sejak semula. Banyak terjadi, manajer-
manajer yang mapan tidak mau menyingsingkan lengan bekerja
keras untuk menghadapi persoalan. Leadership yang lemah diduga
masalah utama dari manajemen yang buruk. Leadership yang kuat
akan selalu mampu dan tajam melihat setiap gerak-gerik yang
buruk seperti kemampuan kapten kapal di tengah lautan yang
mampu melihat ke depan dan ke belakang. Pada kasus-kasus media
cetak yang tutup, kaku dan lamban dalam mengambil keputusan
terbukti menjadi alasan kuat bagi pemiliknya untuk menutup cepat
media cetaknya.
Manajemen yang buruk itu juga berhubungkait dengan
tumpulnya kreativitas dalam menanggapi keadaan pasar. Media
massa membutuhkan orang-orang kreatif dalam menanggapi
pasar yang berubah cepat. Orang-orang kreatif harus dipelihara
sebagai aset. Manajemen yang buruk sering menguburkan impian-
impian orang kreatif karena dianggap sering keluar dari jalur
berpikir mainstream. Kreativitas seperti apa yang dibutuhkan
pasar, membutuhkan kajian terus menerus di ruang diskusi. Jika
ruang diskusi ditutup, pola instruksional dibuat, maka media akan
mengalami stagnasi dalam produktivitas hal baru. Sedangkan watak
media massa adalah selalu membawa hal baru. Ia harus menjadi
trensetter, bukan follower. Kini banyak isi media cetak adalah
follower dari medium lain, hal inilah membuat ia ditinggalkan.
Apapun medium informasi hari ini harus mampu menyita
perhatian publik melalui berita-berita yagn diproduksinya, bukan
mengikuti medium lain.
Manajemen yang buruk, tumpulnya dan mungkin juga
matinya kreativitas, ditambah lagi dengan kualitas pemberitaan
yang tidak berubah. Pola berita straight news yang sudah diproduksi
oleh media online masih diproduksi oleh media cetak, merupakan

20
kegagalan manajemen membaca keadaan. Media cetak yang cakap
akan mencari celah perbedaan yang kuat melalui kekuatan kata-
kata, riset data, serta kelangkaan-kelangkaan lain yang tak pernah
didapatkan media online. Tetapi hal ini belum terjadi begitu masif,
hanya media-media cetak yang besar sudah paham membaca
keadaan, sementara media-media kecil, di lokal, masih berkisar
model straight news, feature, yang kadang-kadang masih garing.
Tidak basah oleh ilmu pengetahuan.
Terakhir, pasar media cetak masih ada jika dikelola dengan
jurnalisme baru dan membuat perbedaan mencolok dengan media
online, media sosial, dengan cara meningkatkan kreativitas para
awak redaksi. Memproduksi berita yang lebih kuat, kokoh, dalam
hal data, logika, bahasa, grafis, foto, serta hal-hal yang mendukung
kualitas lainnya.
Kini justru keadaan kian membahayakan, “tauhid jurnalisme”
yang dipakai sudah jauh menyimpang. Ruang redaksi yang mesti
dipisah dengan pagar api sesuai dengan teori telah dipadamkan
dengan kewajiban redaksi harus memiliki pendapatan. Mencari
iklan, meminta para jurnalis menekan narasumber agar beli koran.
Ini kecelakaan bagi jurnalisme yang memegang kepentingan
publik. Tanggung jawab kepada publik yang dikebiri seperti itu,
tak ubah pejabat negara yang berkhianat dengan bertindak korup.
Semoga ada ledakan perubahan dalam jurnalisme kita, salam. []

21
Tentang Idealisme dalam
Sebuah Amplop

Hampir setiap semester, hingga di berbagai pelatihan, selalu


ada pertanyaan tentang amplop untuk wartawan. Saya harus menjelas
panjang lebar tanpa lelah. Seperti melawan tembok kenyataan yang
begitu tebal.
Wartawan itu ditakuti dan disegani karena mata pena yang
tajam. Inilah kekuasaan publik yang sulit dimiliki orang biasa. Menjadi
wartawan berarti bisa memberitakan, hal itu bisa menakutkan bagi
orang yang tak siap. Kenapa tak siap? Beragam sebab tentunya, salah
satunya ada sesuatu yang harus disimpan, mungkin itu kesalahan
dan kejahatan dsb. Bagi yang tidak pun, wartawan juga bisa mencari
kesalahan. Apalagi bagi yang tidak mengerti tentang dunia wartawan,
akan lebih takut lagi.
Inilah masalah awalnya, ketidakmengertian dan ketidaktahuan.
Kini dengan terbukanya akses ilmu pengetahuan, tak perlu takut dan
tak ada alasan untuk tidak tahu tentang dunia wartawan dan dunia
media. Akses internet memberi ruang untuk bacaan-bacaan tentang

23
dunia wartawan. Jika sudah tahu, apakah harus ada amplop bagi
wartawan? Sekali lagi, tidak ada kewajiban bagi narasumber dan
panitia manapun yang mesti memberi amplop berisi uang kepada
wartawan. Titik.
Namun ada budaya uang transportasi bagi wartawan. Ada biaya
publikasi oleh pemerintah dan panitia acara. Uang inilah biasanya
menjadi rebutan bagi sebagian kalangan wartawan yang bekerja
tanpa gaji oleh medianya. Perkembangan lebih lanjut, teraktual, justru
banyak pula pegawai-pegawai kehumasan yang membuat online
sendiri sehingga dana publikasi di kantornya diambil oleh mereka
sendiri. Lucu sekali.
Inilah dinamika dunia informasi yang sulit dicegah.
Perkembangan lebih cepat dari aturan-aturan. Peraturan tinggal
peraturan. Wartawan datang dan pergi. Ada yang meminggirkan diri,
seperti saya, ada pula yang bertahan. Berbagai latar belakang ilmu
pengetahuan, adat, budaya, agama, dsb. Pertanyaannya, apakah amplop
buat wartawan masih tersedia? Apakah masih ada wartawan amplop?
Jawabannya, apapun profesi yang mengedepan profesionalisme, akan
selalu ada godaan. Semuanya kembali kepada kesetiaan terhadap
profesi yang dicintainya. Jika ia ingin melacurkannya, bukan saja citra
profesi yang hancur tetapi juga dirinya, keluarganya, kampungnya,
dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
Sebanyak yang buruk, sebanyak itu pula yang baik. Ada
wartawan yang buruk di lapangan, menggertak, menyipak, menekan,
merampas, mengompas, setiap saat mengintai kesempatan.
Narasumber akan menandainya, mengklasifikasi, memberi cap
dipunggung kepada seseorang wartawan.
Di balik itu, ada juga wartawan yang baik, tak pernah meminta,
tak pernah menyipak, bahkan sering pula menolak pemberian
narasumber.

24
Pelajaran penting saya pernah aktif di Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) Padang, menunjukkan, menolak pemberian justru
menunjukkan semangat dan sikap yang terpuji terhadap profesi.
Menolak bukan berarti menolak rezeki. Ada jalan lain, yang lebih
bermartabat untuk diterima. Sebab rezeki telah dijamin yang Maha
Pemberi Rezeki. Menolak dan menerima dua hal yang berbeda, apalagi
dengan meminta. Wartawan bermartabat akan selalu menjaga diri,
sekalipun bertahan lapar tetapi rezeki memang urusan Maha Kuasa.[]

25
Memahami
Watak Media Sosial

Kini kita telah tiba pada era yang telah mengubah cara
berkehidupan. Kita telah jarang berceloteh di lapau-lapau. Kini
kita tak perlu bersua sembari minum kopi, bertatap muka sekaligus
dapat saling bersitatap mata. Kalaupun masih terjadi, kita justru
autis dengan gadget di tangan. Hingga kita lupa dengan teman di
satu meja. Alangkah dahsyat perubahan itu terjadi.
Kita bertemu di dunia maya. Melalui fasilitas media sosial
dalam berbagai nama dan jenisnya. Entah di mana kolega, sahabat,
saudara, kita bisa berkomunikasi langsung dengan teknologi yang
tersedia. Tanpa kita sadari, kita telah hanyut jauh dalam dari tepian
budaya yang kita miliki.
Lalu tiba-tiba kita disentakkan oleh rasa terhina. Kita heboh.
Seterusnya melaporkan ke polisi, tindakan penghinaan di dunia
maya masuk ke wilayah paling nyata. Ini membuktikan, dunia
maya tak lagi maya. Ia nyata.

27
Jauh sebelum ini terjadi, Marchal McLuhan sudah menyebut
ini akan terjadi. Ia menyebutnya, pada suatu masa dunia akan jadi
global village. Dunia adalah desa kecil saja. Ini telah terjadi ketika
jejaring komunikasi massa telah membalut dunia. Dalam bahasa
lain, Samuel Huntington mengingatkan, dunia akan menjadi tanpa
jarak dan batas. Teritori negara boleh saja ada, tapi komunikasi bisa
setiap waktu. Inilah yang ia sebut borderless world. Namun ingat,
masalah bermula dari sini, ketika kita belum siap untuk masuk ke
fenomena tersebut.

Gagap Komunikasi
Ilmu komunikasi yang mengkaji seluruh laku komunikasi.
Sejak dari komunikator, pesan, media, metode, komunikan,
effeck dan seterusnya. Akhirnya akan ditemukan bagaimana
pengaruh, seluruh bentuk akibat dari komunikasi dan pesan yang
disampaikan. Pesan awal dari komunikator yang menginginkan
apa effeck pada dasarnya adalah perang pengaruh antara satu
pribadi dengan pribadi yang lain, antara kelompok satu dengan
kelompok yang lain. Budaya yang satu dengan budaya yang lain.
Pada akhirnya, di sinilah tujuan komunikasi itu hadir. Munculnya
common. Kesamaan maksud.
Tetapi persoalannya menjadi tidak sederhana ketika terjadi
kegagalan dalam penyampaian pesan. Ada peran media, metode
penyampaian, media penyampaian, yang bisa jadi membuat pesan
menjadi tidak sampai alias gagal. Atau lebih fatal, lain yang yang
dimaksud, lain pula yang ditangkap. Ilmu komunikasi lebih rinci
menyebut dan membedakan antara gagal dan miskomunikasi.
Ada banyak faktor yang membuat komunikasi tidak lancar
dan tidak sampai maksud. Apalagi bila dikaji secara rinci setiap
elemen komunikasi.

28
Kita jarang menyadari tentang komunikasi yang efektif.
Lebih lebih bila sudah memakai medium yang baru saja kita miliki,
kita temukan, kita pakai. Kita mencoba-coba lalu merasa hebat pula
dibuatnya. Padahal, inti dari komunikasi tentulah penyampaian
pesan secara efektif. Akan halnya, chating, pernyataan di layar
seperti di Facebook, Twitter, WhatApp, Tagged, dan puluhan
media sosial lainnya, sering sekali dipasang dengan tata bahasa
lisan ke dalam tulisan. Jika tidak hati-hati, bisa jadi kita keliru
memahaminya.
Inilah yang terjadi akhir-akhir ini. Ketika proses komunikasi
melalui media sosial melahirkan rasa terhina, menyulut emosi dan
munculnya kekeliruan persepsi dari pesan yang disampaikan.
Ada perbedaan watak yang nyata antara komunikasi
langsung antar pribadi di lapau-lapau ketika kita bandingkan
dengan komunikasi melalui media sosial. Walau pada dasarnya ia
memiliki kesamaan, semisal bisa dibaca bersama, bisa dipahami
bersama, tetapi komunikasi di media sosial memiliki keterbatasan.
Misal paling nyata adalah, jumlah kata, karakter kata, hingga cara
berbahasa.
Sebelum media sosial, masyarakat telah melakukan kegiatan
ini melalui milis. Komunikasi grup email. Belum ada muncul
masalah, karena milis memberi ruang untuk para pengguna
untuk berpanjang lebar menyampaikan pemikiran, perasaan dan
maksud. Tetapi di media sosial yang memiliki banyak keterbatasan,
memungkinkan terjadinya kesalahan persepsi dari maksud pesan.
Lebih-lebih digunakan oleh mereka yang memang cerdik untuk
memancing maksud agar orang lain terpengaruh.
Medium baru bernama media sosial, dengan jejaring yang
unik itu, ternyata tidak memberi kesan dan menghantarkan
perasaan. Sementara, ada emosi yang mesti disambut dalam suara,

29
berupa intonasi, roman muka, gestur, dsb. Pada jejaring sosial,
hanya memberi fasilitas simbol emosional. Di sinilah dasarnya,
kenapa sampai terjadi tingkat emosi yang tak dapat diukur,
ketika ada yang menyampaikan pesan ke publik pertemanannya,
langsung ada yang menyambutnya tidak sesuai dengan maksud
pesan. Apalagi bila memang pesan diniatkan untuk meresahkan
dan menyulut api permusuhan.
Akan halnya yang terjadi akhir-akhir ini, kita kadang-
kadang terhanyut oleh komunikator yang sesegera mungkin
mengambil keuntungan dari emosi yang tersulut itu. Kita tidak
membaca simbol dan maksud di balik seluruh elemen kata-kata
yang diungkapkan secara terbatas itu. Kita memaknainya dengan
emosional pula. Maka tercerabutlah kearifan dan kedewasaan
komunikasi kita dari akar budaya yang egaliter, saling pengertian,
budaya diplomatis dsb.
Tanpa bermaksud menyalahkan teknologi yang kita pakai
hari ini, patutlah akhirnya kita menyadari medium apa pun
memiliki kelemahan yang harusnya disadari. Tidak digunakan
semena-mena. Kita mesti beranjak dari pemahaman yang sama
dalam menggunakan medium baru tersebut.

Budaya Komunikasi
Miskomunikasi terjadi ketika persepsi tidak sama. Akibatnya
konflik tak terelakkan. Emosi langsung meninggi dan caci maki
akhirnya menjadi-jadi. Rasionalisasi terhadap persoalan sudah lari
dari substansi.
Teknologi tidak kita sadari telah menukar warna budaya
yang sebenarnya kita anut sejak lama. Mereka yang baru ketemu
dengan barang-barang teknologi, jarang menyadari bahwa benda
ini juga dibuat oleh manusia. Ada kecenderungan menggunakan

30
teknologi untuk kebebasan berbuat. Melompat “pagar betis”
budaya dan agama yang sebenarnya masih berlaku, termasuk
dalam menggunakan teknologi tersebut. Salah satu buktinya
adalah, membuat nama samaran. Berlindung di balik itu, secara
bebas menerabas semua pagar norma. Ini budaya kita bila bertemu
teknologi, tidak belajar dulu tentan itu secara lengkap.
Ciloteh lapau kita memang sudah berpindah ke media
sosial. Apa saja dibicarakan tanpa kecuali. Mereka yang rasional
memang mampu memberi warna tetapi yang emosional sungguh
kadang-kadang keterlaluan. Karenanya, media sosial menjadi tidak
tergunakan secara produktif jika tidak kita sadari. Hanya jadi ajang
caci maki, sekadar tempat narsis, merasa hebat sendiri. Sementara
ada pihak yang mendapat keuntungan financial dari kehadiran
jejaring sosial tersebut.
Akhirnya, kita memang tidak bisa mewakili semua emosi
melalui medium tertentu. Kita harus memahami medium
tersebut. Lalu memahami siapa yang menggunakannya, cara
menggunakannya. Kita harus tetap waspada, agar tidak terpancing
dari umpan yang sebenarnya membuat kita justru masuk ke
wilayah paling dramatis dalam hidup ini: kalah perang informasi.
Media sosial, wahana yang serius sekaligus tidak serius yang
membutuhkan keutuhan berpikir, cara berkomunikasi, juga bahasa
yang dipilih. Begitulah cara yang memungkin agar bermanfaat,
selebihnya kita bisa menjadi residu informasi yang tidak memberi
arti. Singkatnya, kita patut untuk cerdas memakainya. []

31
Jurnalisme Online
Situs Radikal

Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo)


memblokir 22 situs berita yang diduga menyebar informasi tentang
radikalisme. Kebijakan ini atas dasar rekomendasi dari Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Dipandang dari sisi
kebebasan pers, inilah langkah yang lancang. Namun bukan berarti
langkah Kemkominfo ini tak perlu diapresiasi, ketika dilihat dari
sisi ilmu jurnalistik dan standar sebuah lembaga pers yang ideal
sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Sayangnya Kemkominfo begitu cepat mengambil sikap
sebelum meminta pandangan Dewan Pers. Begitu pula Dewan
Pers, sejauh ini bisa dipandang masih begitu lemah melakukan
gerakan cerdas bermedia, dalam arti cerdas mendirikan,
profesional menjalankan, juga pencerdasan terhadap publik dalam
mengonsumsi media online.
Sejak lahirnya Undang-undang No. 40 Tahun 1999 Tentang
Pers, siapa saja bisa mendirikan lembaga pers. Asal ada kemauan,

33
semuanya diserahkan kepada keadaan pasar. Hebatnya UU ini
tidak mengenal lagi istilah breidel bagi media yang mencoba
merongrong kekuasaan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Namun memblokir media online sama halnya membreidel
media cetak.
Setelah dikekang hampir 32 tahun, pada era reformasi ini,
pers sangat bebas. Bahkan dipandang sudah kebablasan. Bebas
digunakan sebagai lembaga ekonomi yang meraup untung dari
kue iklan, bebas digunakan sebagai lembaga propaganda ideologi
dan politik. Sementara, di sisi lain, sangat minim pembinaan agar
awak lembaga pers bisa lebih profesional dan proporsional dalam
menyiarkan informasi dan propaganda.
Lebih-lebih ketika datangnya era teknologi informasi
yang menyediakan jasa online, siapa saja dapat dengan mudah
membuat media online. Tidak perlu lagi menyiapkan modal besar.
Meminjam istilah Staf Pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS),
Atmakusumah, media cetak abal-abal dan wartawan abal-abal,
kini telah banyak beralih ke media online. Pada acara-acara resmi,
sering kali datang mengaku wartawan online tetapi jauh dari kesan
sebagai seorang wartawan profesional. Kadang-kadang, menurut
beberapa pejabat Humas di instansi pemerintahan, mereka datang
tidak dengan etika umum dan etika profesi yang semestinya.
Jujur sajalah, ini merupakan wajah bopeng pers Indonesia
di tengah kebebasan pers yang dibanggakan itu. Hampir tak ada
yang bisa membenahi persoalan ini. Penumpang gelap kebebasan
pers Indonesia. Organisasi profesi seperti Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan
Jurnalis Televisi (IJTI), memang memiliki program pembinaan,
peningkatan kapasitas profesionalitas, kampanye kenaikan upah
layak, ujian kompetensi wartawan (UKW), dsb. Namun itu hanya

34
untuk anggota mereka yang secara sadar berorganisasi profesi. Di
luar keanggotaan itu, tidak ada yang memperhatikannya. Siapakah
yang bertanggung-jawab untuk membenahi persoalan pers di
Indonesia?

Situs Radikal
Kembali ke soal situs-situs yang diduga menyebar radikalisme,
apakah layak disebut media online, yang setara dengan news portal?
Secara umum dan fungsional, tentu saja layak. Karena memenuhi
unsur menyiarkan mencari, mendapatkan, mengolah, menyimpan
dan menyampaikan, informasi dan opini, untuk memengaruhi
publik. Tetapi sudahkah profesional menjalankan fungsi dalam
kaidah jurnalisme? Inilah masalahnya. Kuat dugaan, situs-situs ini
tidak menjalankan misi dan visi yang diembannya dengan syarat
dan rukun jurnalisme, yang mengacu kepada peraturan dan etika
profesi.
Siapa pula yang harus mengawasi dan mengingatkan setiap
media online yang tumbuh setiap saat dengan berbagai misi
dan visi diembannya? Sementara aturan-aturan selalu terlambat
datang dari teknologi informasi yang berlari. Pada konteks inilah,
sebenarnya, UU Pers sudah uzur. Perlu diperbaharui.
Kebijakan memblokir situs diduga menyiarkan radikalisme
tersebut mengingatkan semua pihak, tidak mudah mendirikan
lembaga pers profesional, baik media cetak, media elektronik,
maupun media online. Kalaupun masih memaksa diri untuk
memiliki media massa haruslah memiliki modal profesionalisme
yang mantap dan teguh.
Mendirikan media online, apapun alasannya, harus pula
sesuai dengan mekanisme resmi. Sekadar menyebutkan, media
online mesti berada dalam badan usaha yang terdaftar di lembaga

35
berwenang. Seperti layaknya memiliki kenderaan pribadi, maka
peraturan kepemilikan dan perundangan-undangan Lalu Lintas
haruslah dipatuhi kalau ingin selamat.
Sebagai pengguna aktif media online, aktif mengamati
perkembangan media massa tersebut, serta juga pernah
berkecimpung di semua jenis media ini, dapat mengemukakan;
mendirikan sebuah media membutuhkan landasan filosofi profesi,
peraturan perundang-undangan, pengetahuan teknis jurnalisme,
watak kemediaan, serta hal-hal yang mendukung suksesnya
sebuah lembaga pers. Tidaklah serta merta bisa membeli domain,
lalu upload seluruh berita dan opini seenaknya. Informasi yang
mengandung fitnah, berita bohong, foto sadis, pornografi, menebar
kebencian, mengandung SARA, haruslah diukur melalui teori nilai
berita dan kode etik serta hukum positif sebelum dipublikasi.

Dua Sisi Mata Uang


Secara ideal media massa, hadir memenuhi hak informasi
masyarakat. Sebuah kemestian, kehadirannya juga harus
meyakinkan pembaca, pendengar, pemirsa dan pengunjung demi
mendapatkan kepercayaan (trust) publik. Kepercayaan publik itulah
modal bagi lembaga pers yang akan ditawarkan kepada pemasang
iklan (Bill Kovach & Tom Rosenstiel, 2001). Media massa yang
ideal tentu saja mampu membuat publik membutuhkan informasi
yang disajikannya.
Namun tampaknya, situs radikal memang tidak
mengedepankan hal ideal ini. Soal kepercayaan publik tidak
menjadi target utama agar mendapatkan keuntungan dari iklan.
Mereka hanya mengedepankan idealisme dari pada komersialisme
untuk memengaruhi publik. Di sinilah watak kemediaan yang
tidak terpenuhi. Secara alamiah, media massa yang akan dinikmati

36
publik, media yang mampu memenuhi kebutuhan idealis dan
komersialis sekaligus dan seimbang. Media yang mengusung
idealis, lazimnya hanya akan dinikmati secara terbatas dan sulit
menjadi besar dan berkembang.
Media ekslusif hanya akan dibaca oleh kaum ekslusif. Dalam
konteks ini, negara pada dasarnya tidak patut memblokir media
seperti ini jika tingkat keterpengaruhannya kecil dan berlaku
khusus bagi mereka yang membutuhkan informasi dari situs ini.
Negara harus membuat gerakan agar publik cerdas memilih media
yang dikonsumsi, dengan begitu, media yang tidak profesional
dan mengandung unsur memecah belah, fitnah, menyebar berita
bohong, dengan sendirinya tidak akan dikonsumsi dan menggeser
diri.

Kebebasan Informasi
Selain UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, kebebasan
informasi diatur diatur melalui UU No. 14 Tahun 2008 Tentang
Keterbukaan Informasi Publik (KIP), juga diamankan melalui
UU No. 11 Tahun 2008 Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE),
sedangkan informasi yang disiarkan diatur dalam UU No. 32
Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Inilah hukum positif di Indonesia
yang saling melengkapi demi keteraturan arus informasi di
tengah masyarakat. Misalnya, soal penghinaan, penipuan, fitnah,
pornografi, dsb. yang diatur juga dalam KUHP dan KUHAP.
Melengkapi hal itu, masih ada kode etik profesi. Kode Etik
Jurnalistik Indonesia (KEJ) disepakati organisasi profesi yang
diwadahi Dewan Pers, sementara organisasi profesi wartawan juga
membuat kode etik organisasi tersendiri pula. Begitulah hukum
positif bagi masyarakat informasi di negeri ini.

37
Tiga catatan
Ada tiga catatan, setelah membaca dan mempelajari peristiwa
pemblokiran 22 situs oleh Kemkominfo. Pertama, main blokir
dengan tangan kekuasaan tidaklah bijak. Jauh lebih bermartabat,
sebagai negara yang menjunjung tinggi keterbukaan informasi di
tengah alam demokrasi saat sekarang ini, membina seluruh situs-
situs yang diduga tidak menghargai NKRI dan perdamaian dunia
tersebut.
Kedua, membungkam arus informasi pada dasarnya,
membungkam demokrasi. Karena salah satu pondasi penting
demokrasi itu adalah kebebasan pers, kebebasan berekspresi,
berkreasi, keterbukaan informasi dan kebebasan berpendapat.
Ketiga, secara ideal pers ikut mencerdaskan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Namun pers yang berada di tangan
mereka yang tidak profesional tentu saja akan melakukan
pembodohan dan pembohongan. Ini membahayakan kehidupan.
Di atas semua itu, itikad baik dalam menjalankan profesi
harus dijunjung tinggi. Klaim kebenaran sepihak dan menyebar
benih kebencian melalui media massa tidak akan membawa damai.
Perang besar biasanya dimulai dari sini; kegagalan komunikasi
massa karena tidak profesional menjalaninya.[]

38
Jurnalisme Era Digital

Kebohongan telah menyebar ke seluruh dunia, sedangkan


kebenaran baru bersiap-siap memakai celana. Demikian
dikatakan pelopor berita radio dan TV, Edward R. Murrow, yang
dinukilkan Bill Kovack dan Tom Rosenstiel dalam buku Blur;
Bagaimana Mengetahui Kebenaran di Era Banjir Informasi (2012).

Pernyataan itu disampaikan dalam konteks kecepatan


informasi yang tidak berbanding lurus dengan ketepatan. Sebuah
pernyataan cemooh atas kecepatan yang tidak mempertimbangkan
akurasi. Padahal, inti jurnalisme adalah verifikasi demi akurasi
kebenaran pesan. Apakah ada kesempatan verifikasi ketika
kecepatan penyampaian informasi lebih diutamakan? Bill Kovack
dan Tom Rosenstiel sedang mengajak publik memiliki kesadaran
dalam menerima kebenaran di tengah era banjir informasi.
Sadar atas nalar media ketika mencari, mengolah, menyimpan
dan menyampaikan informasi. Hendaknya, publik cerdas
menerima, mengetahui dan memahami esensi dari informasi yang
disampaikan.

39
Informasi yang hari ini berseliweran di media massa dan
media sosial semakin memperlihatkan, persoalan kebenaran
informasi harus ditelaah beberapa kali. Media massa memang
memiliki seperangkat aturan jurnalisme, mulai dari perangkat
paling filosofis, teknis dan etis. Tetapi media sosial, nyaris bebas
dari ikatan itu. Siapa saja dapat menyampaikan informasi, dibaca
siapa saja dan lepas. Mereka yang melek informasi bisa langsung
mencari informasi pembanding sementara pada sisi lain, sebagian
publik langsung percaya saja pada satu sumber yang datang.
Publik yang langsung percaya pada sumber berita lalu
menyebarkan kembali melalui media sosial. Akibatnya potongan
informasi itu berkembang sesuai dengan pepatah: titip pesan
bisa bertambah, titip uang bisa berkurang. Alih-alih menambah
pemahaman kepada khalayak, persoalan ini justru menjadi lebih
runyam. Kebenaran dalam informasi semakin kabur.

Literasi Media
Sebuah buku berjudul, Jurnalisme Era Digital yang ditulis
rekan saya, Ignatius Haryanto, menawarkan pemahaman tentang
kecerdasan bermedia massa dan bermedia sosial. Bahwa informasi
yang tersedia hari ini telah melebihi kaidah jurnalisme sejati.
Informasi sudah sedemikian tergerus oleh banyak hal yang
mengitarinya. Ketika ruang media massa makin terbuka, ternyata
kebenaran sejati itu makin sulit dicari. Informasi yang mana bisa
dipercaya? Ada banyak yang menyaru sehingga sepotong informasi
bisa tersebar ke tengah publik. Ada kepentingan politik, ekonomi,
budaya, dan seterusnya.
Tidak banyak yang bisa mengambil posisi seperti Ignatius.
Ketika kekuasaan media massa dan media sosial---ditopang
kemajuan teknologi informasi---publik terlena dan hanyut terbawa

40
arus informasi. Terbawa hingga jauh dari konteks peristiwa
sebenarnya.
Jarang yang mengamati, mempertanyakan hingga jauh
ke hulu, siapa yang telah membuat arus informasi sedemikian
deras? Kenapa terjadi banjir informasi? Pada posisi inilah, penulis
mengambil tindakan memberi otokritik terhadap pihak pemegang
kekuasaan industri informasi. Buku ini hendak memberikan
bingkai informasi terletak siapa yang berada di belakang senjata
(behind the gun) bernama media.

Kekuasaan Massa
Pers yang diharapkan sebagai pilar demokrasi, ternyata
memiliki banyak persoalan. Persoalan yang membuat ia rapuh,
roboh, dan hanyut menenggelamkan cita-cita sejati jurnalisme. Ini
seiring pula dengan keropos dengan tiga pilar lainnya, eksekutif,
legislative dan yudikatif, karena penyakit kronis korupsi.
Gagap komunikasi dan budaya dimulai dari sini. Contoh,
bagaimana akal sehat kita bisa menerima: ketika kepala yang
tergeletak di tengah rel difoto dan diupload tanpa rasa berdosa oleh
pemilik akun media sosial? Teknologi informasi di tangan orang
yang tak mengerti, sangat mengerikan! Tetapi kekuasaan massa di
media sosial telah membuat arogansi media massa makin tergerus.

Kritik Tukang Kritik


Media pada dasarnya adalah cermin dari masyarakatnya
(mirror of mass). Bagaimana wajah masyarakat, lihatlah wajah
medianya. Buku ini hendak menyebutkan wajah media yang timpang
dan ganjil di tengah cita-cita membangun kebebasan pers, tentu
saja akhirnya mengarah kepada pemilik media dan juga penikmat
media yang memiliki keterbatasan pengetahuan jurnalisme di sisi

41
idealisme. Pemilik hanya tahu satu sisi, komersialisme, sementara
penikmat media hanya bisa membenarkan tanpa bisa mengelak
kuasa pemodal.
Ignatius dalam bukunya memaparkan, Tantangan Jurnalisme
Abad 21 dan Tantangan Jurnalisme Media Digital. Kedua hal
tersebut hadir di era yang sama; era informasi. Era yang sudah
diingatkan Alvin Tofler, siapa yang menguasai informasi ia akan
menguasai dunia. Informasi yang dimaksud melingkupi, metode,
media, strategi, teknologi, juga isi pesan yang disampaikan.
Persoalan yang muncul pada bagian pertama, tiada lain
adalah tantangan kebebasan pers yang harus berjalan di tengah
kesunyian karena hiruk-pikuk pemegang modal (ownership)
industri pers lebih memilih untuk menegakkan sisi komersialis,
yang memang menggiurkan. Merebut kue iklan triliunan rupiah
dengan meriah.
Sementara, sisi idealis minggir sendiri dulu sejenak, atau
hadir seakan-akan mendukung melalui rekayasa informasi
mutakhir yang akhirnya tiada lain membohongi publik. Buku ini
juga menukilkan pendapat Bill Kovack dan Tom Rosenstiel dalam
Elemen of Journalism, bahwa, pada abad ini di Amerika, para
pemimpin redaksi sibuk dengan urusan bisnis dari pada urusan
jurnalisme. Dan kini, hal itu diduga juga merambah keseluruhan
awak redaksi. Pada media tertentu, kasus divisi redaksi diberi target
pendapatan dari adventorial, inforial dan iklan telah diberlakukan.
Sungguh ini sudah jauh bergeser dari cita-cita luhur kehadiran
jurnalisme.
Pemodal dalam dunia pers memang tidak hanya menyangkut
untung rugi semata, tetapi diperparah dengan perhatian minim
terhadap kualitas rekrutmen pekerja pers, lemahnya pemahaman
esensi jurnalisme, ditambah lagi dengan kepentingan kekuasaan

42
politik yang mempengaruhi corak berita. Persoalan terakhir
sangat sulit ditolerir, ketika media massa, khusus penyiaran, justru
menjadi ajang narsis pemodal dunia penyiaran untuk kepentingan
politik.
Pada bagian kedua, persoalan jurnalisme dihadang oleh
makhluk baru bernama media sosial. Digitalitas yang masif seiring
pesatnya teknologi smartphone, membuat jurnalisme mengalami
erosi kepercayaan di mata publik. Media massa yang sebelumnya
membangun hegemoni arus pemberitaan, jika berbeda dengan
arus kebenaran logika di linimasa bisa diobrak-abrik, dibully,
dengan cara sendiri di media sosial. Pemerintah, pejabat, politisi,
sehari-hari di media sosial menjadi bahan yang tanpa tedeng aling
langsung disasar. Keterbukaan yang bisa juga dimanfaatkan media
massa menjadi sumber awal sebuah berita.
Dunia penyiaran juga sudah memanfaatkan banyak
materi yang diupload ke dunia maya. Bahan gratis ini menjadi
perbincangan tersendiri, karena menyangkut etika penyiaran dan
hak cipta. Tetapi pemilik televisi tak peduli. Bahan gratis, jika tidak
mau disebut mencuri, bisa menyelamat jam tayang dan bisa diisi
slot iklan. Sudahlah gratis produksi, siaran dapat pemasukan pula.
Dua kali untung dengan tutup mata terhadap etika, begitulah.
Amat jarang kesadaran seperti ini hadir di tengah
masyarakat, karena memang pengamatan sedetail haruslah “dokter
spesialis” yang pernah merasakan denyut persoalan dan penyakit
yang diidap pasien. Lebih-lebih terhadap terhadap kemajuan
teknologi telah merobah sikap, persepsi dan tindakan. Teknologi
memang memiliki dua sisi mata uang yang menyakitkan jika tidak
dimanfaatkan dengan cara tepat. Buku ini menjadi kritik penting
bagi tukang kritik.

43
Kemerdekaan Informasi
Akhirnya, kita menyadari, industri media massa di Indonesia
mengalami persoalan tersendiri di tengah kemajuan teknologi dan
kebebasan berekspresi. Satu sisi, industri berkembang pesat seiring
kemajuan teknologi, sementara pada sisi lain, posisi tawar pekerja
pers lemah dan jurnalisme kian dikebiri ke arah kekuasaan industri
oleh pemodal.
Kita dihadapkan kepada kenyataan, keberadaan media
massa mencapai puncak kekuasaan informasi. Kemanapun kita
menoleh, media massa ada dan dapat kita nikmati suguhan yang
ditawarkannya. Industri informasi merebak bak jamur di musim
hujan. Kanal-kanal informasi tak lagi bisa mutlak dapat dibendung
oleh kekuasaan negara, politik, agama dan militer sekalipun.
Satu dua media massa boleh saja runtuh karena tidak mampu
bersaing dengan sesama, tetapi suburnya teknologi informasi
tetaplah membuat dunia makin gemuruh. Apalagi ditambah
dengan hadirnya kekuatan baru, media sosial. Sebuah media yang
membuat siapa saja bisa mendapat peruntungan lebih besar dari
yang ia kira sebelumnya. Artis dadakan umumnya muncul dari
sini.
Inilah persoalan-persoal jurnalisme yang terjadi di tengah
kita. Ketika pers diharapkan menjadi pilar keempat demokrasi,
ternyata di tubuh pers sendiri begitu banyak “penyakit” yang harus
diobati. Media massa kita tidak sedang kondisi sehat seperti yang
dibayangkan ketika mengumandangkan kebebasan pers. []

44
Jurnalisme Pilpres

Inilah musim jurnalisme paling mengerikan. Informasi


dilahirkan, disebarkan, melukai rasa kemanusiaan demi
kemenangan kekuasaan. Konstelasi politik kekuasaan telah
menggunakan jurnalisme sebagai senjata tanpa kaidah yang selama
ini dijunjung tinggi; verifikasi!
Maka hak atas kebenaran faktual kian terasa dipinggirkan.
Entah mana informasi yang benar entah mana pula yang salah.
Berbaur dalam riuh dalam pemberitaan yang sudah memiliki
framing dari pihak-pihak tertentu. Pihak berkepentingan.
Tentu tidak semua media begitu. Masih banyak yang
berani memikul integritas jurnalistik. Mengedepankan kualitas
dan memihak kepada kebenaran faktual dan jujur, tanpa perlu
mengikuti dua arus politik yang sedang berkecamuk.

Ujian Jurnalisme
Sesungguhnya menerbitkan tabloid partisan merupakan hal
yang lumrah. Sepanjang itikad untuk mempengaruhi secara positif.
Namun yang terjadi, justru menyerang lawan melalui tabloid. Pada
posisi ini, jelaslah, jurnalisme hanya menjadi senjata semata.
45
Kasus tabloid partisan yang mengedepankan kampanye
hitam, release berita yang dicabut karena ketahuan bohong,
keberpihakan dua televisi berita, merupakan ujian hebat kebebasan
pers dan jurnalisme di negeri ini. Sebagai pilar demokrasi, ia sedang
menghadapi tantangan berat.
Kata Akademisi Filsafat Kenegaraan, Yudi Latif,
keberpihakan adalah kodrat manusia. Hanya saja, katanya,
berpihak mestilah tidak membunuh akal sehat (common of sense)
dan rasa kemanusiaan (humans of sense).
Tetapi itulah masalahnya, betapa keberpihakan telah
menggiring akal sehat dan rasa kemanusiaan ke jurang kenistaan
paling dalam. Akal sehat dan rasa kemanusiaan itu nyaris tercerabut
dari ruang publik. Pilpres dengan hanya dua pilihan inilah
penyebabnya. Tidak ada yang tak terbelah. Semua telah terbelah.
Elemen di tengah masyarakat tidak bisa mengelak dengan kuasa
politik yang sedang terjadi. Maka terjadilah dua kutub besar yang
saling membela, menyerang, dari yang masih wajar hingga gelap
mata.

Media Sosial
Sebenarnya yang paling dahsyat terjadi di media sosial.
Sebagai senjata dalam mempengaruhi publik, inilah wahana paling
dianggap kotor. Di mana emosi dua pendukung pasangan capres
berlomba-lomba menyebar kampanye hitam. Terpinggirnya etika,
menjauhnya nalar sehat.
Dua kutub beradu kian hari seperti akan memercik api.
Ada fakta yang direkayasa demi meyakinkan massa. Ada gambar
yang sangat menghina martabat manusia, semuanya terbiarkan di
linimasa. Mengerikan dan menyedihkan tanpa ada yang berusaha
untuk meredamnya. Begitulah yang akan terjadi hingga, Rabu, 9
Juli nanti.
46
Di sinilah, jurnalisme dalam arti paling sederhana, siapapun
bisa memakainya. Melalui media sosial sekalipun, ia bisa digunakan
sedemikian rupa untuk mempengaruhi, memperkeruh, hingga
membuat persaingan tajam. Kini, pertanyaannya, siapakah yang
bertanggung jawab meredamnya?
Pemilihan Presiden (Pilpres) dengan dua calon baru kali
ini terjadi di negeri ini. Sebuah pelajaran penting harus diambil,
demokrasi ternyata acap kita jalani secara sungsang tanpa nalar,
bila kecerdasaan dalam menggunakannya tidak diasah lebih baik.
Walau sebenarnya hanya sebagai media, tetapi media sosial telah
menunjukkan kapasitas dan kapabitas pemilik akun. Termasuk
pemilik akun yang tidak mau muncul dengan terang-terangan.
Betapa buruknya kita, informasi dilempar tanpa bertanggung
jawab; seperti melempar batu sembunyi tangan. Fitnah!

Arif Bijaksana
Kaidah jurnalisme memang berada di media massa, tidak di
media sosial. Tetapi media sosial sudah membuat laku jurnalistik
tersendiri di ranah informasi. Adapun dewan pers tidak bisa
menjangkaunya dengan UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers,
apalagi UU No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Kita hanya
bisa berharap pada UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE). Itupun sulit menjangkau akun anonim.
Pada pengertian paling sederhana, semua orang adalah
jurnalis, bila ia mampu menceritakan setiap peristiwa yang
ditemuinya melalu media massa. Maka hari ini, ada berlaku
jurnalisme warga (citizen journalism). Tetapi persoalannya bukan
di situ, persoalannya adalah, media sosial juga memberi ruang
untuk menjadikan setiap orang jurnalis. Memberi informasi
menurut kadar dan pengetahuan yang sangat terbatas dari ilmu
jurnalistik yang dimilikinya.
47
Betapa berbahayanya bila pesan diterima secara cepat tanpa
bisa dicerna lalu segera percaya, seterusnya disampaikan pula
kepada yang lain. Begitulah akhirnya informasi politik dalam
pilpres ini kian hari kian banyak tanpa memberi pencerahan. Ia
hanya memberikan sisi kelam kedua pasangan calon. Sedikit
memberikan citra positif keduanya.
Mereka yang paling berkepentingan persoalan ini adalah,
praktisi pers, masyarakat informasi, kedua pendukung pasangan
capres, memberikan pemikiran baru agar masyarakat tercerdaskan
dari informasi kelam yang membuat runyam.
Media massa harus lebih giat mencerdaskan publik agar
mengkonsumsi informasi yang baik. Media massa mainstream,
baik cetak maupun elektronik, harusnya memberi ruang klarifikasi
setiap hal-hal buruk yang ada di media sosial. Dengan begitulah
media massa menjalankan peran pendidikan kepada publik, selain
peran informasi, peran hiburan dan peran kontrol sosial. []

48
Tragedi Tabloid
Charlie Hebdo

Agak sulit mencari alasan yang masuk akal atas penembakan


di sebuah kantor surat kabar seperti yang terjadi Paris, Prancis itu.
Sebab pembunuhan yang dilakukan tanpa proses hukum dengan
dalil apapun tidak bisa dibenarkan secara manusiawi. Kalaupun
akhirnya harus dikaitkan dengan produk kreatif karikatur yang
diproduksi tabloid tersebut, maka yang dapat ditarik ke ranah
analisis; keyakinan jika tidak hati-hati bisa membutakan akal!
Teror bisa terjadi kepada siapa saja dari mereka yang tersakiti
dan tidak mendapat kesempatan untuk membalas kekalahan. Teror
adalah perlawanan dalam bentuk lain ketika menyadari kekuasaan
tak terlawan. Inilah cara paling pengecut!
Kebuntuan dialog dalam konflik keyakinan telah melahirkan
permusuhan paling purba antar umat agama, maupun antar umat
dalam agama. Darah selalu tumpah ketika ketiadaan dialog dan
klaim paling benar dari yang lain. Lebih-lebih satu keyakinan
dengan keyakinan yang lain tersebut saling mencari kelemahan

49
dan menegasikan kesamaan. Di sinilah lahirnya benih kebencian
dan disemai sedemikian rupa.

Tabiat Charlie Hebdo


Tabloid Charlie Hebdo dikenal sebagai tabloid yang
menggunakan sikap satire untuk mengungkapkan ekspresi dan
apresiasi terhadap sesuatu, baik itu agama, politik, budaya, hingga
hal-hal yang kecil. Sikap satir terhadap agama inilah yang menjadi
tabloid ini paling sering dikecam oleh tokoh-tokoh agama di dunia.
Namun tabloid ini bertahan hidup dan laku di tengah pembacanya,
sebagai tanda ia memang diminati oleh publiknya.
Ada tiga hal soal ini perlu diperbincangkan, pertama soal
penembakan dan cara kekerasan yang membuat 11 orang menjadi
korban. Kedua, soal sikap segelintir teroris yang merasa disakiti
ketika simbol agamanya dihina. Ketiga, soal literasi media massa di
tengah umat beragama.
Pertama, aksi membabibuta yang menewaskan manusia
jelas sudah menyalahi hukum agama, pun agama yang dianut
teroris tersebut. Jika ada hukum perang dalam agama, tidak ada
yang membolehkan perang dengan keadaan tidak seimbang. Satu
tanpa senjata yang satu dengan senjata.
Agama menurut Sidi Gazalba, adalah seumpama tali kekang
kuda agar manusia yang menganutnya tidak tergelincir dari peran
kemanusiaan di atas dunia. Menurut bahasa, “a” berarti “tidak”,
“gama” berarti “kacau”. Arti dasarnya adalah tidak kacau! Namun
bila agama sudah membawa kekacauan, tentu saja sudah lari dari
hakikatnya. Dan ini dapat dipastikan, ada sesuatu yang menyaru di
dalamnya dalam bentuk kepentingan berjubah agama!
Sangatlah mengkhawatirkan jika humanisme yang dibangun
oleh agama sudah mati dalam retorika kepentingan. Misi agama

50
sebagai pembawa transformasi kasih sayang antar sesama tak
lagi terurai secara jelas. Klaim kebenaran sepihak telah membuat
kedamaian semakin jauh. Ini fenomena masyarakat modern,
meminjam istilah Antony Giddens era juggernaut dan era
chauvinistic menurut John Naisbit.
Kedua, sesungguhnya “mata kail” karikatur tabloid itu
begitu berhasil memancing emosi. Kecaman terhadap tabloid ini
tidak saja datang dari satu tokoh umat beragama, tapi banyak
tokoh dari berbagai agama. Karena menyangkut keyakinan, hal ini
pada dasarnya sangat wajar. Namun yang tidak wajar adalah cara
segelintir umat beragama mengekspresikan kemarahan. Karena
agama pada dasarnya membawa angin kedamaian di atas dunia.
Jika saja ditemui cara paling elegant membuat sikap tabloid
ini bisa merobah haluan, tentulah agama bisa kembali dinyatakan
sebagai lembaga suci yang mampu mendamaikan. Inilah tugas
yang perlu diusung oleh tokoh-tokoh agama di dunia, mencari
titik temu kata damai. Sejauh ini antar seagama saja sudah payah
disatukan. Perbedaan dibiarkan meruncing.
Ketiga, media massa adalah kekuasaan sipil, yang bisa jadi
tergelincir membawa kekuasaan yang didapatkannya. Kekuasaan
atas publik yang dimiliki bisa keluar dari kemestian. Misalnya,
mempermainkan dan memperolok-olok keyakinan orang lain.
Sungguhpun itu laku dijual, ini bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusiaan dan hak azasi manusia (HAM).
Tabloid itu bermain di wilayah paling rawan. Wilayah yang
tidak bisa serta merta dipermainkan, apalagi diperolok-olok.
Sebuah pilihan beresiko tinggi, yang akhirnya tim kerja menerima
resiko yang disemai sendiri. Kebencian terhadap tabloid ini sampai
ke puncak paling tinggi.

51
Media massa yang baik, memang selalu berhasil menarik
emosi massa membuat media tersebut dilirik, dibeli, dan iklan
mengalir. Sesungguhnya, itulah yang dicari oleh pemilik media
massa. Karena dengan dibeli, dipercaya, iklan akan datang, maka
keuntungan bisa dipetik. Itu lumrah, ketika media massa adalah
produk industri informasi di tengah abad informasi saat ini.
Pada konteks ini, pada dasarnya, tidak ada kepentingan agama
yang dibawa oleh media massa. Karena ciri media massa yang
mengusung agama, biasanya tidak akan pernah diminati umat di
luar agama tersebut.

Demokrasi Media
Begitulah, alam bebas demokrasi telah memberikan ruang
kepada media massa menjadi penopang kekuasaan sipil. Ini
takkan pernah terjadi di alam kekuasaan otoriter, junta militer,
hingga sistem monarki. Namun kesiapan pengetahuan, kesetaraan
pemahaman, kesamaan hak, kesamaan pendapatan, yang menjadi
kemestian tidak bisa sama. Jika saja, pengetahuan bisa sama antara
satu dengan yang lain, antara agama yang satu dengan yang lain,
persoalan media massa sudah bisa khatam. Tak akan lagi terjadi
penembakan serupa di Prancis itu. Massa yang cerdas akan arif
menanggapi media massa yang tidak cerdas memproduksi informasi.
Hukuman paling tertinggi, tidak dipercayai menjadi bagian dari
massa tersebut. Tidak dibeli, tidak didengar, tidak ditonton. Media
massa tersebut akan karam sendiri. Melakukan kekerasan terhadap
media massa yang tidak cerdas, sama halnya dengan tidak cerdas
pula.
Massa yang cerdas bermedia, akan mencari tahu, siapa
punya media, di mana diproduksi, siapa saja yang memproduksi,
bagaimana cara produksi, dsb. Dengan begitulah akhirnya paham,

52
sebuah media bisa dipercaya, disukai atau tinggalkan. Kalau sudah
demikian, bukan berarti harus dimusnahkan. Sikap ini tidak sesuai
dengan kaidah; kata dibalas kata, tablod dibalas tabloid, koran di
balas koran, televisi di balas televisi.
Terprovokasi dengan pemberitaan menunjukkan betapa
mudah terpancing emosi sehingga bisa dipermainkan. Hal ini
menunjukkan tingkat kecerdasan juga keimanan memahami
keadaan dan godaan. Itu benarlah tujuan dalang-dalang informasi
dunia saat ini. Tabayyun, inilah sikap paling penting saat menerima
informasi di era banjir informasi saat ini. Tabik! []

53
Pers Sehat,
Bangsa Hebat

“Sembako gratis ini diberikan cuma-cuma,” kata seorang


reporter manis di sebuah stasiun televisi. Pagi itu, ia memberita
tentang salah satu lembaga memberikan sembilan bahan pokok
kepada rakyat kecil.
“Adakah BW diperlakukan secara manusiawi?” tanya
presenter yang tak kalah manisnya di channel televisi lain kepada
reporter di lapangan, yang juga cantik tentunya.
Apa yang keliru di dua kalimat dari dua persenter cantik
itu? Bagi yang tidak jeli, tentu tak ada masalah. Tetapi bagi yang
peduli, amatlah miris terasa menikmati berita dengan narasi dan
pertanyaan semacam itu. Adakah yang tak masuk akal? Bacalah
sekali lagi.
Pertama, presenter cantik itu mengucapkan kalimat yang
berurusan dengan pemborosan kata. Tidak ekonomis sekaligus
tidak logis. Sudahlah gratis, cuma-cuma pula.

55
Kedua, presenter yang tak kalah cantiknya, membuat
pertanyaan tajam tapi sudah memiliki pretensi seakan-akan BW
dipukul babak belur dalam pemeriksaan. Sementara, laporan
dari lapangan, justru BW segar bugar, dengan sumringah dan
jumawa, penuh percaya diri tampil di panggung bernama televisi,
memberikan statemen usai diperiksa di Bareskrim.
Begitulah dua potret kecil wajah pers di layar televisi kita.
Ini sudah cukup memberi tanda, ada yang tidak sehat ---jika tidak
mau disebut sakit--- di dalam tubuh pers bebas pasca reformasi
ini. Betapa penting penampilan seorang presenter dari pada cara
berberita yang dilakukannya. Itulah masalahnya. Berbeda dengan
televisi di luar sana, banyak yang tua tetap menjadi reporter dan
presenter tetapi memiliki kualitas dan pengalaman yang luar biasa.

Refleksi Hari Pers


Hari Pers Nasional (HPN) baru saja diperingati di Batam,
dihadiri Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kalla (JK).
Dalam sambutannya, JK menyatakan pers sebagai mata, mulut dan
telinga bangsa. Ia berharap, pers makin profesional tentunya.
Pers bebas sudah dinikmati pasca reformasi dengan lahirnya
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Pers tidak
lagi dikekang serupa rezim sebelumnya. Namun demikian, sejak
kebebasan itu didapat, kebebasan itu sudah perlu disadari dan
dibuat gerakan agar pers tidak kebablasan sampai jauh.
Redaksi Singgalang menurunkan Tajuk Rencana Tantangan
Pers Sebagai Mata, Telinga dan Mulut Bangsa, yang mengulas
banyak hal seputar kelemahan yang harus ditutupi segera oleh
orang-orang pers. Secara garis besar ada dua tantangan, pertama,
tantangan dari luar diri pers. Kedua, tantangan di dalam pers.

56
Tantangan dari dalam, tumbuhnya teknologi informasi yang
melahirkan media sosial, portel berita, membuat orang-orang pers
harus terus meningkatkan kreativitas dalam melakukan produksi
informasi. Jika tidak dilakukan, lembaga pers akan karam sendiri.
Persaingan sangat ketat antar lembaga pers juga tak terelakkan.
Bukan hanya kualitas yang bisa membuat lembaga pers bertahan
tetapi juga seberapa banyak modal yang disiapkan. Begitulah,
ketika pers sudah menjadi alat industri. Industri informasi.

Pers Sehat, Bangsa Hebat


Ketua Dewan Pers, Bagir Manan mengibaratkan pers harus
seperti lebah yang tak hanya memberi manfaat pada dirinya, tapi
juga makhluk lainnya. Lebah makhluk yang berkoloni, berbisa,
namun menghasilkan madu yang manis dan berguna bagi manusia.
Kalimat Bagir, seperti dilansir Harian Umum Independen
Singgalang, Selasa (10/2), merupakan harapan besar semua pihak.
Sebagai pilar Keempat Demokrasi; eksekutif, legislatif, yudikatif,
pers harus tetap mengontrol dan dikontrol. Bagaimanapun juga,
pers juga kekuasaan, yang sangat besar kesempatannya untuk
berkompromi dengan pilar yang lainnya dalam hal mengelabui
publik. Dengan pers yang sudah mencapai puncak kuasanya,
kelemahan di sana-sini haruslah segera diperkuat.
Kasus dua presenter cantik di atas tadi, tiada lain adalah
kepentingan penampilan di layar kaca dari pada kualitas berita.
Penampilan lebih penting dari pada pengetahuan jurnalisme
yang seharusnya dikuasai secara baik. Akan lebih panjang lagi,
jika melihat lebih dalam, bagaimana media cetak harus berjuang
meningkatkan kepercayaan publik dengan kualitas pemberitaan.
Sayangnya, kesadaran mereka yang datang ke redaksi untuk menjadi
jurnalis bukan karena panggilan idealisme profesi namun sering

57
karena dari pada tidak ada kerja lain. Ini berbeda dengan beberapa
cerita senior, mereka datang ke redaksi, memang panggilan hati
sehingga bekerja sebagai jurnalis melebihi upah yang seharusnya.
Pengalaman beberapa kali merekrut calon reporter juga ditemui,
dari 100 pelamar, hanya 10 yang bertahan. Itupun sudah hebat.
Kini, hal ini sudah berubah. Mereka para pekerja pers yang
baru masuk, setelah tamat kuliah, rata-rata bukan panggilan hobi
dan idealisme. Umumnya mereka hanya tertarik ingin tampil di layar
kaca, biar ditakuti, dan seterusnya. Maka sudah bisa dibayangkan,
produk jurnalisme dari kapasitas mereka yang datang, apalagi
malas belajar dan berhenti belajar. Terperangkap dalam rutinitas.
Jadi jurnalis menurut Direktur LPDS, Atmakusumah, haruslah
tetap belajar, haus ilmu, haus informasi. Bukan kerjaan kantoran.

Kesadaran Bersama
Pada HPN, Wapres JK mengajak awak media mengintropeksi
diri apa yang telah dijalani sebagai bagian dari bangsa dan negara.
Ini mengingatkan agar awak media menyadari fungsi dan perannya
sesuai dengan UU No. 40 Tahun 1999.
Adakah ada perubahan dari dalam? Hal ini sangat tergantung
kekuatan dan kebersamaan awak media untuk mencoba keluar
dari kekangan sistem politik dan sistem ekonomi yang mengitari
mereka. Sebagai catatan, publik makin lama makin punya
banyak pilihan dan tentu makin cerdas dan berkembang. Hal itu
mempengaruhi, media yang diminati, ditonton dan dibaca.
Bagaimana menolak tekanan dari luar? Bila kemerdekaan
berpikir masih dijamin di negeri ini, awak pers masih leluasa
menyampaikan apa saja aspirasi, yang paling penting tetap pada
koor utama kehadiran jurnalisme seperti yang dikatakan Bill
Kovack, menyampaikan kebenaran faktual, loyalitas terhadap

58
publik, menjaga independensi, memantau kekuasaan (wacth dog),
menyediakan forum bagi publik untuk berdialog atau membuka
ruang dialog, selalu kreatif menciptakan hal penting, menarik dan
relevan, tetap siaga dengan posisi pemberitaan yang komprehensif
dan proporsional. Serta tetap harus mengikuti nurani. Karena
nurani tidak akan pernah membenci dan berdusta.
Semoga pers di negeri ini, makin lebih baik. Mampu
mengelak segala tekanan baik dari luar maupun dari dalam.
Demokrasi sangat ditentukan kualitas pers, pers yang sehat, bangsa
hebat. Mari bertanya lagi, sudah sesehat apakah pers kita hari ini.
Orang pers yang bisa menjawabnya dengan nurani. Salam. []

59
Merawat Nasib
Media Cetak

“Harusnya berita ini geser dikit, berita ini naik, ini turun, ini
dibesarkan, ini tambah liputannya. Kapan perlu buat polling,” kata
seseorang yang saya tidak kenal sama sekali, di depan ruang layout
lantai II Harian Umum Indepen Singgalang, sekitar 20 tahun lalu.
Waktu itu, saya mahasiswa semester satu yang belum terlalu
siap dikritik. Tiba-tiba ada yang mengkritisi hasil kerja tim saya,
tentu saja saya panas dingin. Karena bagi saya, yang baru bergabung
di media mahasiswa, menerbitkan koran kampus itu, nauzubillah
susahnya. Ada banyak persoalan yang harus dihadapi, mulai dari
soal birokrasi keuangan yang berbelit, mencari berita memenuhi
halaman dengan beragam liputan, ulah beberapa anggota tim yang
tak bertanggung jawab terhadap liputan dan sebagainya.
Lalu tiba-tiba ada seseorang yang tidak dikenal, beraninya
mengkritik ketika proses dari negatif film ke flat untuk naik cetak
sedang berlangsung, alangkah pedihnya hati saya. Tapi lama-lama
telinga yang memerah akhirnya mau mendengar kebajikan dari
kritik dan saran dari orang tak dikenal itu. Apalagi ia mengulur

61
rokok dari rompinya, kemudian kembali memberi masukan kepada
tabloid kami cetak malam itu. Hehehe...
Jauh waktu setelah pertemuan itu, barulah tahu, dia seorang
wartawan yang bernama Yusril Ardanis Sirompak. Wartawan senior
yang kebetulan sama-sama memiliki keperluan cetak di Bagian
Percetakan Singgalang malam itu. Ada banyak ilmu yang dibaginya
sembari menunggu proses cetak selesai. Saya akhirnya senang dan
tenang. Nyaman bertanya ini itu.
Cerita ini tiba-tiba saja muncul di kepala saya, ketika melihat
logo 46 tahun Harian Umum Independen Singgalang, di bagian kiri
atas halaman satu koran ini, beberapa hari terakhir. Sebuah angka
yang menanjak tua, menuju kepala lima. Tentu saja, sudah memiliki
pengalaman hebat, pahit manis, sebagai koran lokal yang eksis
memberi informasi kepada masyarakat Sumatera Barat.
Inilah cerita saya pertama kali mulai mendekati dunia media,
hingga hari ini. Awal yang sangat penuh makna, bermalam melihat
koran dibuat, dicetak, hingga sampai ke pembaca.

Nasib Media Nasib Kita


Apa refleksi yang patut dicatat untuk koran dengan motto
Membina Harga Diri untuk Kesejahteraan Nusa dan Bangsa ini?
Mari kita membaca keadaan media cetak di luar sana. Sebagai
cermin untuk membaca bagaimana sesungguhnya sejarah media
cetak memasuki babak demi babak kehidupannya.
Beberapa tahun lalu, banyak pakar komunikasi massa dan
orang media, menyatakan, peradaban media cetak mengalami
kemunduran. Argumen yang dikemukakan, perkembangan
teknologi kian pesat sehingga membuat informasi makin mudah
diakses dan masuknya era paperless. Ditambah lagi, produksi kertas
yang kian menurun, bisnis periklanan yang mulai melirik ke online.
Lampu kuning menuju lampu merah untuk media cetak.
62
Ada puluhan media cetak yang berumur lebih dari satu abad,
memilih pindah ke online. Sekadar menyebutkan, Rocky Mountain
News, Reader’s Digest, Tribune dan Seattle Post Intelligencer. Mereka
mengakhiri versi cetak dalam keadaan kecenderungan oplah yang
terus menurun.
“Kakek saya dulu fotografer di sini, ayah saya juga, kini saya
fotografernya. Tapi hari ini, hari yang bersejarah. Koran ini tidak
lagi dinikmati dalam versi cetak. Kami optimis, versi online akan
lebih menjanjikan untuk pembaca,” ujar fotografer Seattle PI, ketika
memotret untuk halaman muka (cover) terbitan terakhir, untuk esok
harinya. Ia memotret seluruh karyawan yang berdiri di halaman
kantor tua yang fenomenal, yang di atasnya ada bola dunia sebagai
landmark kota itu. Itulah sekelumit cerita koran tua, SattlePI (1863-
2009). Terbit terakhir, Selasa 17 Maret 2009, dengan liputan penuh
romansa, tragis dan haru biru.
Begitulah yang terjadi di belahan dunia lain, ketika kemajuan
zaman dengan segala faktor pendukungnya melanda nasib surat
kabar. Kita patut mengambil pelajaran. Akan datangkah zaman ini
ke depan rumah kita? Bisa iya bisa tidak. Atau lamban laun akan tiba
masanya.
Sebaliknya, ada pendapat yang justru memiliki sikap
optimis dan argumen yang juga sangat kuat. Bahwa setiap media
massa; cetak, elektronik, online, punya takdir hidupnya sendiri.
Konvergensi media yang didengungkan itu tidaklah perlu ditakuti.
Buktinya, sejak Johannes Gutenberg menemukan mesin cetak
tahun 1440, hingga Guglielmo Marconi (1874-1937) menemukan
gelombang radio, semua baik-baik saja. Radio berkembang dengan
watak realtime ke telinga pendengar, surat kabar dengan senang hati
datang di pagi hari ke depan pintu pembacanya. Hingga John Logie
Baird dari Skotlandia tahun 1925, mulai menemukan televisi. Semua
masih aman terkendali.
63
Dunia terus berkembang, surat kabar, radio, televisi, berjalan
bergandengan tangan dengan watak masing-masing. Sampai
dunia online hadir memperkecil dunia seperti yang dibayangkan
McLuhan (1960), dunia akan menjadi Desa Global (global village).
Perkembangan teknologi komunikasi massa telah dianalogikan
menjadi sebuah desa yang sangat besar.
Online makin nyata menyatukan karakter ketiga media
sebelumnya, realtime, terdokumentasi, juga interaksi. Serta,
teks, video dan audio, menjadi satu dalam sebuah gadget dengan
program android. Murah meriah pula harganya. Bak kacang goreng.
Pertanyaannya, adakah setiap sudut dunia sudah terakses? adakah
aliran listrik? Ternyata, masih ada celah sebagai titik lemah online
yang membutuhkan tenaga aliran listrik.

Jurnalisme Pers Daerah


Membaca keadaan demikian dengan momen ulang tahun koran
kesayangan kita ini, apapun perubahan yang menjadi keniscayaan,
Harian Umum Independen Singgalang telah membuktikan diri, bisa
eksis hingga 46 tahun berlalu. Beragam prestasi jurnalistik telah
diraih, baik skala lokal maupun nasional. Ini membanggakan.
Memang belum sebanding dengan umur koran di luar sana,
dengan umur tiga digit angka, seperti SeattlePI yang berumur
146 tahun. Namun demikian, arti penting dari usia ini adalah
pendewasaan dan matangnya sebuah lembaga pers. Wartawan
boleh saja datang dan pergi, lembaga pers yang kuat akan tetap eksis
sebagai wahana komunikasi massa.
Pada usia yang kian matang ini, harapan besar kepada media
cetak yang mandiri, yang tidak berjejaring secara nasional, semangat
jurnalisme yang diusung tidak stagnan pada titik Membina Harga
Diri untuk Kesejahteraan Nusa dan Bangsa saja. Jauh lebih dari

64
itu, tanggung jawab sebagai bagian dari Ranah Minang, terus
dan selalu menghadirkan sesuatu yang baru, memberi masukan
terhadap pembangunan daerah, menjaga marwah adat dan
budaya, serta menawarkan jurnalisme pers daerah mencerahkan,
mendidik, menghibur, juga sosial kontrol. Kian berani dan
kritis memperjuangkan kepentingan masyarakat, seperti yang
diamanatkan UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
Demikianlah, melihat angka ulang tahun Singgalang hari ini,
ada catatan sejarah yang bergumam, sebagai lembaga pers daerah
ia telah menunaikan tugasnya hingga ke angka 46 dan akan terus
berlangsung. Makin profesional, makin disegani. Eksis, bertahan,
berkembang, dalam gelombang pasang dan surut keadaan pers di
negeri ini. Makin dewasa serupa Gunung Singgalang yang kian
anggun di pagi hari. Semoga hari ini, titik dimulainya langkah
menuju 46 tahun mendatang. Pada tahun 2060, usia harian ini akan
berada pada angka 92 tahun. Mendekat ke satu abad. Pada hari itu
pula, kita bisa melihat kembali, torehan sejarah sebuah media cetak
yang mandiri, dibanggakan kehadirannya, di Ranah Minang tercinta
ini.
“Harus berani menuliskan kebenaran. Jangan pernah takut,
kalau takut jangan jadi wartawan. Tetap kritis, yang penting ada data
dan fakta,” kira-kira begitu nasihat Yusril Ardanis Sirompak, malam
itu kepada saya dan teman-teman pers kampus, sembari menatap
halaman koran yang sudah dalam bentuk negatif film. Pesan ini
masih terngiang, dan bisa berlaku bagi seluruh keluarga besar
Harian Umum Independen Singgalang, tentunya. Selamat ulang
tahun, sukses selalu. Salam. []

65
Cara Hebat
Gardu Dahlan

Sejak ditetapkan sebagai tersangka, Dahlan Iskan (DI)


meluncurkan website www.gardudahlan.com. Inilah cara hebat
menyelamatkan ratusan media massa yang lahir dari tangan
dinginnya, dari sikap berpihak kepada seorang tersangka.
Menyelamatkan “pers hebat, bangsa hebat.” Ia melarang Jawa Pos
Groups terlibat dalam pembelaan atas tuntutan hukum terhadap
dirinya.
DI “tersengat” hukum pengadaan gardu listrik di PT. PLN
Persero, ketika jadi Direktur Utama di perusahaan milik negara
tersebut. Tulisan ini tidak hendak membela DI, tetapi memberi
apresiasi atas sikap dalam menjunjung tinggi independensi pers.
DI orang media. Mengerti tentang “tauhid jurnalisme”
yang tak boleh melebur dalam kepentingan politik kekuasaan dan
politik hukum. Politik media massa hanya bisa dipercaya oleh
publik apa bila memiliki nilai loyalitas kepada publik. Loyalitas

67
kepada kaum papa dan umat yang tak memiliki akses kekuasaan.
Kaedah jurnalisme telah berlaku secara alamiah, independensi
dalam berberita.
Lagi-lagi kita harus mengulang apa yang diingatkan Bill
Kovach dan Tom Rosentiel, tentang Sembilan Elemen Jurnalisme
(2001). Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran;
loyalitas pertama jurnalisme kepada warga; inti jurnalisme adalah
disiplin verifikasi; para praktisinya harus menjaga independensi
terhadap sumber berita; jurnalisme harus berlaku sebagai
pemantau kekuasaan; jurnalisme harus menyediakan forum publik
untuk kritik maupun dukungan warga; jurnalisme harus berupaya
membuat hal yang penting, menarik dan relevan; jurnalisme
harus menjaga agar berita komprehenshif dan proporsional, para
praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka.
Pertanyaannya, apakah Jawa Pos Groups akan bertahan hati?
Mengingat DI adalah big boss yang pernah memberi arah dalam
banyak hal untuk media mereka berkembang di seluruh Indonesia?
Bisa jadi, bisa, bagi mereka yang sejalan dengan pikiran DI.
Bertahan untuk tidak ikut membela, tidak menjadi corong, tidak
menjadi media propaganda dan tidak punya agenda setting yang
terang benderang diketahui publik. Bagi mau mencoba membela,
boleh saja, tentu memiliki resiko; tidak menjalankan “tauhid
jurnalisme” dan akan menuai kritik dan krisis kepercayaan publik.
Ujung dari krisis kepercayaan publik adalah “neraka” bagi
lembaga media massa tersebut. Tidak akan diminati publik lagi.
Dijauh pemirsa, dijauhi pembaca. Sepanjang publik tidak tahu,
sebuah lembaga pers memainkan peran politik kekuasaan praktis,
mainkan saja! Tetapi jika sudah diketahui publik, alamat karamlah
kepercayaan publik yang didapatkannya. Jika itu sudah terjadi,
tidak bisa “menjual” kepercayaan tersebut kepada biro periklanan.

68
Biro iklan pun tidak akan memberi rekomendasi produk untuk
memakai jasa lembaga media massa tersebut.
Begitulah, proses alamiah media massa di tengah arus
industri informasi saat ini. Mendapat mandat publik untuk meraih
keuntungan dari iklan. Yang bermain-main dengan informasi
tunggu saja ceracau publik melalui saluran dan kanal lain, seperti
media sosial.
DI tentu sangat paham, tentang fungsi dan peran lain,
seperti diamanatkan UU No 40 Tahun 1999 Tentang Pers, pers
adalah wahana publik. Yaitu; memenuhi hak masyarakat untuk
mengetahui; menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong
terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta
menghormati kebhinekaan; mengembangkan pendapat umum
berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar melakukan
pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan kepentingan umum; dan memperjuangkan
keadilan dan kebenaran;
Sepanjang masih dalam koridor tersebut, tentu saja,
pemberitaan terhadap DI bagi Jawa Pos Groups harus tetap bersetia
dengan pesan DI dan amanat UU Pers. Ditambah lagi dengan nilai-
nilai jurnalisme dan nilai-nilai sosial absurd yang ada di tengah
masyarakat Indonesia.

Dosa Dahlan
Secara personal, DI dikenal sangat nyentrik juga baik. Boleh
percaya boleh tidak. Tetapi yang jelas, cara berpikirnya sangat
berbeda di tengah arus feodalisme dan kekakuan manajemen
ortodok baik di swasta apalagi di pemerintahan. Baik di perguruan
tinggi, maupun di partai politik.

69
DI mengajak banyak orang berpikir positif, bebas, dan
terbuka. Pada banyak tulisannya, ia membangun “manajemen
harapan” tentang sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin,
apa bila dilandasi dengan kebersamaan untuk mencapai tujuan.
Sayangnya, DI diajak ke wilayah jabatan publik. Jabatan
yang rawan bersentuhan dengan hukum. Sekalipun benar secara
substansi, tetapi kalau tidak benar secara prosedur, tetap akan
terkena dampak hukum. Malahan, di wilayah jabatan publik
di negeri ini, kadang-kadang prosedur lebih penting dari pada
substansi.
Sementara DI, sebagai profesional, lebih maju menjalankan
visi bisa jadi mendobrak wilayah-wilayah itu. Apakah prosedur
itu penting? Bagi sebagian orang, tentu saja begitu. Perdebatannya
takkan pernah habis, apalagi bila dianalogikan, kita butuh kulit
durian atau isi durian? Isi durian tentu saja penting, sepenting
isinya, agar bisa dimakan, kulit diperlukan untuk melindungi.
Bagaimana kalau kulit tanpa isi? Sudahlah, keduanya bisa sangat
penting, tergantung persepsi masing-masing.
Pada konteks ini, pada dasarnya, satu saja dosa DI sehingga
terjerat ke masalah hukum. Kenapa mau mengambil tawaran
menjadi Dirut PT. PLN Persero itu. Bagi DI tentu tak boleh ada
penyesalan. Tetapi mengambil tawaran itu, serupa Nabi Adam AS
terhipnotis untuk memakan buah khuldi. Skenario Yang Maha
Tahu sedang berlangsung.

Hibah Hidup
Pada buku Ganti Hati (2007), DI menyebutkan dirinya
mendapat jatah hidup kedua kali dari Yang Maha Kuasa. Kali kedua
ini, hidupnya akan dihibahkan untuk kepentingan umat. Tidak

70
mau ego lagi, apalagi menyiksa diri untuk bisa hidup lebih baik. Ia
berjanji akan bekerja keras demi kehidupan umat lebih baik.
Mulai hidup dengan hati remaja 27 tahun yang berfungsi
baik dalam tubuhnya, DI bisa menjalankan aktivitas seperti
semula. Dipilih SBY menjadi Dirut PT. PLN (Persero), lalu menjadi
Menteri BUMN, pilihan bagi DI untuk menghibahkan kehidupan
keduanya kali ini. Ia membawa nuansa dan corak baru dalam
kepemimpinan publik. Banyak yang suka, banyak yang mengecam
dengan gayanya. Biasalah itu.
Kini, DI akan berjuang membuktikan ia tidak bersalah
atas dugaan korupsi terhadap dirinya. Melalui corong www.
gardudahlan.com, ia akan menuliskan perjalanan proses hukum
yang akan dilalui. Ia tak memilih Jawa Pos Groups, yang sebenarnya
bisa saja dilakukannya. Ia juga berjanji terus menulis. Pembaca
setianya masih bisa menikmati sambil ngopi tanpa perlu khawatir
atas kasus yang sedang melanda penulis hebat itu.
Dapat pula diharapkan, kasus ini juga akan menjadi catatan
menarik pula nanti, seperti catatan proses transpalansi hati, 2007
lalu. Kita tunggu saja. Secara umum, ini baik dan jadi pelajaran
bagi siapapun yang memiliki media massa di negeri ini. Agar
independensi pers terus terjaga, pilihlah media saluran khusus.
Sepuluh tahun hidup di bawah bendera usaha Jawa Pos
Groups, saya merasakan denyut kepemimpinan DI yang luar biasa
itu. Sayangnya, sering kehebatan itu dimanfaatkan orang lain tanpa
disadari, untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Orang lain itu,
juga termasuk bawahan. []

71
Seruan Sunyi
Dewan Pers

Dewan Pers mengeluarkan seruan berkaitan dengan Pilkada


Serentak. Seruan itu menjelaskan agar posisi media massa dan
wartawan tetap di garis lurus UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
Seruan ini tidak terlambat, sungguhpun sangat telat. Mengingat
proses Pilkada Serentak sudah berjalan sekian bulan.
Seruan No. 01/Seruan-DP/X/2015 itu tertanggal, 23 Oktober
2015. Lengkap dengan tanda tangan Ketua Dewan Pers, Prof. Dr.
Bagir Manan, SH, MCL. Tentu seruan ini harus diapresiasi oleh
seluruh orang media. Mematuhi seruan Dewan Pers, lembaga yang
independen mengurus perkembangan pers Indonesia menjadi
lebih profesional.
Seruan itu sangat tegas, agar wartawan yang terlibat dalam
Pilkada Serentak 2015, yang mencalonkan sebagai kepala daerah
dan wakil kepala daerah harus non aktif dari profesi wartawan. Juga
yang terhimpun menjadi Tim Sukses, harus segera menonaktifkan
diri dan mengundur diri secara permanen.

73
Galibnya sebuah seruan, hanya bisa menyerukan tanpa
bisa masuk lebih jauh, tidak bisa masuk ke wilayah paling kelam
dan abu-abu. Padahal, pada wilayah itulah sebenarnya perlunya
penjelasan lebih.
Misalnya, bagi wartawan yang tidak terlibat secara langsung,
tidak tertulis, untuk menyokong salah satu calon melalui profesinya,
sungguhpun tidak bisa dibuktikan namun masih bisa dilihat;
kecenderungan pemikiran, peliputan, juga mengurus langsung peta
informasi, mungkin juga adventorial. Atau paling tidak, apiliasi
ideologi, geneologi organisasi, yang memiliki hubungan khusus
kepada sebuah partai dan calon. Wartawan dan media seperti ini
tentu tak bisa dijangkau. Publik saja yang bisa menilainya.
Sekali lagi, kekuatan seruan ini hanyalah bisa sampai pada
garis etika dan moral. Tidak memiliki kekuatan melebihi dari itu.
Bahkan, Dewan Pers tidak bisa berbuat banyak lagi, ketika melihat
kenyataan media massa hari ini. Apalagi media lokal, di tingkat
provinsi, kabupaten dan kota.
Pada tingkat nasional saja, misalnya, koorporasi media yang
kian menggurita, dari media cetak, media penyiaran hingga media
online, mengalami perkembangan luar biasa. Bersatu teguh di
bawah bendera usaha. Salahkah itu? Tentu tidak, namun betapa kita
patut meragukan urusan profesionalitas dan berjalannya UU Pers,
UU Penyiaran, dan urusan publik bisa sesuai dengan harapan.
Belum lagi, menyelinap media online, berbau oposan, agama,
yang kian hari kian bertambah tanpa tahu di mana dan siapa yang
mengendalikan. Mereka berjuang membangun persepsi sesuai
dengan kerangka pikir mereka, yang bisa diduga jauh dari urusan
menjaga keindahan berbangsa dan bernegara. Ditambah lagi
dengan kehadiran media sosial, membuat arus informasi berlari
kencang.

74
Adakah Dewan Pers membaca fenomena, media sosial,
media online abal-abal, menelikung eksistensi media massa?
Semoga ada dan mau menelaah lebih jauh dan menjadi bagian
kerja di masa depan agar marwah Pers Indonesia masih tegak
sebagai pilar demokrasi.

Tugas Berat
Dewan Pers hadir menjalankan tugas yang kian berat. Satu
sisi harus tetap menjaga marwah pers di sisi lain, media massa
berkembang pesat seiring berkembangnya kanal-kanal informasi.
Kesenjangan ini terjadi kian melebar. Bila dirunut lebih jauh, ada
tiga hal besar yang harus terus diingatkan, agar Dewan Pers terus
melangkah melakukan pembenahan wajah pers Indonesia.
Pertama, koorporasi media massa, cetak, penyiaran,
online, mengerucut ke beberapa pengusaha media saja, yang
tentunya dekat pula dengan penguasa. Sungguhpun bisa menjaga
independensi, agak sulit juga bisa keluar dari cengkraman tangan-
tangan kekuasaan. Harus ada pintu masuk agar Dewan Pers punya
kuasa penuh melakukan pembinaan.
Kedua, soal upah dari profesionalitas wartawan. Beberapa
media besar memang sudah sanggup membuat wartawan
sejahtera. Tapi itu masih sebagian kecil dibandingkan dengan
wartawan di daerah. Belum lagi masalah hubungan wartawan
dengan perusahaan, yang kerap membuat kekalahan luar biasa
bagi seorang wartawan.
Ketiga, ini yang paling krusial. Persoalan profesionalitas.
Di mana seruan di atas tadi menyangkut transparansi terhadap
profesi. Teman-teman yang tak bisa mengelak dengan lingkaran
politik lokal, harus mengundurkan diri non aktif dan permanen.
Bagi mereka yang sudah tercatat secara profesional, memiliki kartu

75
dari organisasi, sudah punya sertifikat profesi, tentulah tidak akan
berani lagi melekat ke lingkaran politik lokal.
Pada konteks ini, sebuah seruan bernasib sangat ironis.
Tidak ngaruh. Kecuali kalau ada wartawan profesional bersertifikat
yang mendeklarasikan dirinya sebagai orang yang resmi non aktif
dan mengundurkan diri permanen dari profesinya. Berat dugaan,
akan sulit itu terjadi.

Tambah Fokus
Dewan Pers sudah bekerja keras. Salah satunya menggerakkan
pelaksanaan Ujian Kompetensi Wartawan (UKW). Mereka yang
lulus, akan mendapat sertifikat. Beberapa lembaga ditunjuk untuk
melaksanakan, sekadar menyebutkan, PWI, AJI dan LPDS. Ini
sangat positif, telah mengangkat harkat martabat wartawan yang
sudah ikut di berbagai tingkatan. Walau sebenarnya, persoalan
profesionalisme tetap saja tak bisa mengukur bagaimana persoalan
etika dan moral di lapangan.
Sementara itu, begitu banyak yang mengaku wartawan
di lapangan tapi belum memegang kartu sah UKW. Lihatlah di
tingkat kabupaten kota, selain di tingkat provinsi. Untuk tingkat
kabupaten kota, ada ratusan wartawan yang biasa nongkrong di
kantor humas. Bermacam-macam lagak dan gayanya. Sudah
profesionalkah mereka? Sungguh patut diragukan, bila melihat
logat dan etika dalam bekerja yang menjadi keluhan tersendiri
bagi pejabat kehumasan. Mereka inilah yang sangat membutuhkan
pembinaan agar tidak mencoreng profesi luhur ini.
Alangkah mengerikan, memberikan ruang profesi ini kepada
mereka yang tidak profesional, mengingat “kekuasaan publik”
yang dipakai untuk memeras, menekan dan untuk mendapatkan
proyek Penunjukan Langsung (PL), demi keuntungan pribadi

76
dan kelompok semata. Tanpa bermaksud menuduh, mereka yang
menjadi penumpang gelap profesi ini harusnya juga menjadi
fokus utama bagi Dewan Pers. Jadi, tidak hanya mengingat
mereka yang sudah profesional menjalankan tugas semata. Pada
musim Pilkada Serentak 2015 ini, amat meyakinkan, mereka yang
sudah profesional akan bertindak profesional. Justru yang tidak
profesional yang banyak melakukan tindakan memalukan.
“Profesi wartawan menjadi suatu keranjang sampah tempat
menampung orang-orang putus sekolah, setengah gagal, setengah
intelektual, setengah putus asa,” kata wartawan tiga zaman, Rosihan
Anwar dalam Menulis Dalam Air, (Jakarta; Sinar Harapan, 1983,
hal. 269).
Tentu sangat kuat alasan Rosihan Anwar menulis seperti itu.
Dewan Pers harus kerja keras, orang media, awak redaksi, kita yang
mencintai profesi ini harus bahu-membahu mengusir penumpang
gelap pers Indonesia. Tentu tak bisa hanya dengan seruan! []

77
Babak Baru
AJI Indonesia

Aliansi Jurnalis Indepeden (AJI) Indonesia menggelar


Kongres IX di Bukittinggi, diiringi dengan Seminar Kewirausahaan
di Bidang Media bagi Jurnalis. Perhelatan tiga tahunan untuk
memilih pengurus baru AJI Indo ini dihadiri pengurus AJI
berbagai kota di Indonesia.
Sebagai salah satu organisasi profesi bagi jurnalis, AJI telah
membesar mengikuti kehadiran organisasi sebelumnya yang
telah ada, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Namun corak
organisasi profesi AJI hadir mengusung semangat integritas profesi,
independensi, keselamatan dan kesejahteraan bagi jurnalis.
AJI Indonesia selalu rajin mengeluarkan laporan tahunan
eksistensi kebebasan pers, kasus-kasus yang menimpa jurnalis,
hingga mengeluarkan upah layak bagi jurnalis. Garis perjuangan
AJI itu membuat organisasi satu ini diminati bagi jurnalis muda
sejak berdirinya 20 tahun silam.

79
Kelahiran AJI pun tak lepas dari protes terhadap pembredelan
beberapa media oleh rezim Orde Baru tahun 1994. Lahirnya
organisasi dari jurnalis dan aktivis yang kritis ini, ditandai dengan
Deklarasi Sirnagalih.
Waktu AJI lahir, saya masih mahasiswa yang aktif di pers
mahasiswa Tabloid Suara Kampus IAIN Imam Bonjol Padang. AJI
sempat dicap sebagai organisasi terlarang bagi Rezim Orde Baru.
Namun demikian, bagi aktivis pers mahasiswa seperti saya, justru
semangat yang diusung oleh AJI membuat kian menarik untuk
diikuti dan melahirkan keinginan yang kuat untuk bergabung
melawan kekuasaan. Apalagi ketika beberapa pentolan AJI sempat
ditahan, termasuk ketua AJI Indo yang sebentar lagi demisioner,
Eko ‘Item’ Maryadi. Dulu, semasa kuliah, membaca kisah heroik
senior di AJI dalam menjalankan roda organisasi menjadi pemicu
semangat menjadi jurnalis sebenarnya.
Demikianlah, akhirnya saya bisa bergabung setamat kuliah
setelah beberapa tahun menjadi jurnalis. Sayangnya, saya harus
mengundurkan diri ketika terbukanya jalan pengabdian baru,
menjadi akademisi. Tetapi kenangan menjadi pengurus AJI
Padang, telah memberikan pengalaman penting tentang sebuah
perjuangan yang penuh kebersamaan. Membangun daya kritis,
menjaga integritas moral dan menyebar virus jurnalisme kepada
kalangan mahasiswa. Bagi saya, pernah aktif di AJI, menjadi modal
penting untuk menebar ilmu jurnalistik dari kampus ke kampus.

Mimpi Pers Sehat


Cita-cita hadirnya kebebasan pers dan pers sehat telah lama
didengungkan, bersamaan semangat perjuangan reformasi. Salah
satu perjuangan itu adalah kebebasan pers. Kini pers telah bebas.
Namun siapakah yang menikmati?

80
Beberapa tahun silam, kritik terhadap koorporasi pers telah
terdengar. Pada dalam Seminar Kewirausahaan itu juga, Ketua
Dewan Pers, Bagir Manan masih menyinggung soal ini. Apa boleh
buat, kapitalisme memang sudah menjadi bagian budaya yang tak
dapat dielak, di berbagai sisi kehidupan kita, termasuk pers.
“Pers mandiri kian sulit, ini persaingan tidak sehat,” ungkap
Bagir Manan, yang dilansir Singgalang, Jumat (28/11).
Idealisme pers memang sedang bergeser. Wajah pers industri
telah membuat jurnalis yang mengusung idealisme pers tergeser
ke tepi. Kini, adalah hal biasa, jurnalis bersinggungan langsung
dengan garis api antara berita dan iklan. Ada media yang justru
memberi target kepada tim redaksi untuk mendapatkan iklan.
Semangat AJI Indonesia untuk memulai mencari jalan
alternatif agaknya perlu disokong, sekaligus diingatkan. Ketika pers
mandiri dan berada di daerah yang kian hari harus berjuang hidup,
sementara pers nasional bersuka cita melebar sayap bisnisnya,
perjuangan baru harus segera dimulai.
Namun demikian, tapi jangan cepat mengambil jalan
sebelum strategi ditetapkan. Sebab, urusan pembenahan kualitas
jurnalis harus seiring dengan gerakan semangat wirausaha ini.
Jangan sampai, wajah AJI yang dulunya seksi bagi kaum jurnalis
muda, justru kian tak bertaji untuk melawan kekuasaan, apalagi
sampai-sampai menumpulkan sikap kritis.
Jangan sampai pula, wajah AJI yang dikenal kritis, agresif,
progresif dalam memperjuangkan kualitas karya jurnalistik,
keadilan, kesejahteraan bagi jurnalistik, justru hilang dengan
babak baru yang mengusung kewirausahaan. Kalau ini terjadi,
tentu disayangkan.
Sungguhpun begitu, semangat kewirausahaan, memang
haruslah ditanamkan. Belum terlambat. Perlu strategi yang tepat

81
agar jurnalis tidak terjebak dalam bayang-bayang dan godaan materi
sehingga menumpulkan daya kritis. Sekadar pemikiran sederhana,
seorang jurnalis harus tetap menjalankan tugas mulia dengan
waktu yang teratur, namun ada waktu di mana ia memikirkan dunia
usaha yang dipegang oleh pihak ketiga, mungkin itu keluarga dan
mungkin juga koperasi. Jangan sampai justru jurnalis memegang
dua setir sekaligus, setir usaha dan setir tugas jurnalis. Jika begitu
nanti, maka perjuang AJI selama ini tidak memiliki arti lagi,
karena apa yang telah diperjuangkan ternyata dilanyau sendiri. AJI
harus tetap digarisnya, menegakkan integritas pers, jurnalis, dalam
menjalankan profesinya. Memperjuangkan semangat demokratis
dan kebebasan ekspresi.
Selamat AJI Indonesia! Ini babak baru yang harus didukung
tanpa perlu meninggalkan jalan juang yang pernah tercatat. Tetap
istiqamah! Teruskan dan lebarkan sayap, menanam kesadaran wira
usaha, agar jurnalis tidak tergoda melacur profesinya. Salam. []

82
Kurenah Puasa
di Dunia Maya

Entah puasa entah tidak, di dunia maya, orang-orang


mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa dengan faseh.
Sementara, pada kesempatan lain, di tengah hari yang terik,
diunggahnya pula gambar segelas es campur, yang gelasnya
berembun karena dingin. Di dalam gelas itu, warna-warni es
campur menggoda selera. Tak kepalang juga menggoda iman.
Begitulah, kalau sudah berada di dunia maya, seperti berada
di jalan tol. Seenaknya menekan gas, tak berpikir kawan-lawan
lagi. Di dunia maya, upload dulu, urusan kemudian. Tak perlu apa
akibat dan tanggapan orang, yang penting upload. Mungkin orang
sakit hati, menangis dan marah. “Itu bukan urusan gue, urusan lu!”
“Tak terasa puasa kita tinggal 29 hari lagi,” begitu salah satu
status hari pertama Ramadhan, ketika waktu berbuka tiba. Puasa baru
saja dimulai, tapi sudah dihitungnya seakan-akan begitu dekat 29 hari
itu. Atau sudah begitu lama ibadah puasa dilaksanakan. Status ini,
sebuah hiburan yang sangat sadar sedang membohongi nalar.

83
Lalu, pada bagian lain, sebuah foto sponge belum terpakai
diunggah dengan tulisan; “Ngelihat busa buat nyuci jam segini,
seperti lihat Bika Ambon.” Biasanya ini dikirim pada jam-jam yang
rawan. Antara jam 12.00 Wib sampai 14.00 Wib. Entah siapa yang
memulai, foto ini dikirim dari satu tempat ke tempat, berputar-
putar lalu mungkin kembali kepada pembuat pertamanya. Yang
jelas, sama modusnya dengan foto es campur tadi. Cari perhatian!
Ampun kita. Puasa seperti bagarah-garah saja dibuatnya.
Request adzan maghrib logat daerah, kepada penyiar radio. Biasanya
pendengar request lagu, kirim salam, kini request adzan maghrib
di tengah hari. Orang lapar memang kreatif! Mungkin begitu yang
lebih tepat. Hehehe. Otaknya encer berpikir, demi melupakan rasa
lapar dan melupakan waktu.
Selain yang tidak serius seperti di atas, banyak juga yang
serius di bulan puasa. Ada yang mengupload status tiap sebentar,
ayat suci, hadits, kisah-kisah, kiat-kiat, munasabah bermacam-
macam tema. Entah dibaca entah tidak, yang jelas, unggah saja
dulu, urusan dibaca atau tidak, itu kemudian.

Hiburan Puasa
Begitulah, dunia maya media sosial menjadi hiburan di
bulan puasa. Serupa dendang perintang waktu, kata orang-orang
tua kita dulu. Tempat jarak dan waktu dituntaskan. Tempat ide
berseliweran disampaikan. Tempat kadang-kadang seperti air bah
yang membawa banyak sampah! Hahaha.
Namun demikian, ini penting. Bermain di dunia maya itu
harus hati-hati. Harus mengerti sedang apa dan mau apa. Dunia
maya, sebagai media komunikasi tidak bisa serta merta mampu
membawa seluruh maksud yang akan disampaikan. Catat itu.
Sering kali orang hebat, orang kuat, orang berpangkat, doktor

84
mungkin juga profesor, tergelincir komentarnya di media sosial
karena tidak paham watak media sosial. Ketika ia serius, ternyata
lawan bicaranya bisa saja tidak serius-serius amat. Jadi, sinyalnya
sedang tidak sama, tidak senada. Akibatnya tujuan komunikasi
gagal dicapai.
Kadar pengetahuan tentang media sosial yang dimiliki dan
dunia maya yang diarungi haruslah dipelajari secara serius. Tidak
bisa hanya sekali lalu saja. Bisa-bisa seperti anak kecil memegang
pisau, semua mau dicatuknya! Ini berbahaya.
Kecerdasan bermedia sosial, memang tidak bisa diukur tapi
dapat dibaca bagaimana seseorang menggunakan. Kadang-kadang,
seseorang yang dikenal berwibawa bisa saja lebay. Misalnya, politisi
yang ingin mendapat simpati, seluruh foto kegiatan diunggahnya.
Mulai dari yang sederhana hingga yang paling wah, foto dengan
presiden, artis dan sebagainya. Foto dengan binatang piaran, foto
dengan kenderaan kesayangan, pakaian kebesaran dari yang resmi
sampai yang gaul.
Akibatnya, bukan simpati yang didapat tapi cemooh yang
diterima. Ingat, sekali lagi, media sosial serupa jalan tol, semua
bergegas tanpa pikir panjang. Emosi tinggi, apalagi kalau ada
lawan!
Begitulah, dunia ujung jari yang melintas batas budaya,
ruang, waktu, serta sekat-sekat normatif yang mengungkung
kehidupan. Dunia maya memberi kebebasan. Kebebasan yang
jika kurang awas, bisa tergelincir menjadi persoalan sangat serius.
Persoalan hukum.
Ramadhan di media sosial, adalah wajah realitas ramadhan
di tengah umat. Mereka yang sudah memegang teknologi, akan
kelihatan kurenahnya. Aktif di group chatt, menceracau, aktif
menulis status dan mengomentari status teman, bisa terpantau

85
jelas, apa yang dikatakannya, sedang apa dia, di mana dia.
Begitulah, pokoknya, ada uang, beli seluler android, lalu belajar
dikit, selebihnya watak personal akan kelihatan di media sosial.
Tak lagi mau dan mampu bersembunyi.

Kesadaran Komunikasi
Kesadaran komunikasi itu penting namun bila tidak ditopang
dengan kesadaran media apa digunakan, bisa juga membuat
seseorang salah kaprah mengambil kesimpulan.
Sederhananya, bila saja seseorang sangat serius, lalu dijawab
dengan tidak serius, bisa akan muncul amarah. Karena komunikasi
melalui media apapun tetap memiliki kelemahan, kecuali bila
media tersebut mampu membawa pesan emosi yang sama, nada
yang sama kepada penerima pesan. Hanya berkomunikasi secara
langsung (face to face), kegagalan komunikasi bisa diminimalisir.
Melalui media sosial sangatlah mudah terjadi prasangka,
apalagi emosi dalam komunikasi di media sosial memang kadang-
kadang tak terkendali. Kalau sudah bicara soal negara, pemerintah,
atau apalah, seakan-akan serba tahu. Padahal, yang terjadi, tahu
sedikit sudah berani mengambil kesimpulan. Ini kerap terjadi.
Selamat berpuasa di dunia nyata, di dunia maya tetaplah
pelihara etika agar pahala tetap terjaga. Amin. []

86
Buruk Moral
di Media Sosial

Sekalipun teknologi informasi paling canggih dapat dimiliki


seseorang bukan berarti mampu membuatnya berpikir secanggih
teknologi tersebut. Kadang-kadang justru sebaliknya, melalui
teknologi yang digunakan, ia kelihatan begitu gagap dalam berpikir,
emosional, beringas, jauh dari kesan arif bijaksana.
Kasus KPK vs Polri di media sosial telah memperlihatkan
potret buram pengguna teknologi informasi di negeri ini. Sepanjang
waktu kasus ini bergulir, sepenungguan publik apa sikap dan
keputusan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, kemarahan,
caci maki, kebencian, seloroh, cemeeh, telah menyebarkan cepat
melalui media sosial, facebook, twitter, linked, instagram, blackberry,
google+, dll.
Tanpa bermaksud mengenyampingkan yang masih jernih
berpikir, arif dan bijaksana dalam menyampaikan pemikirannya ke
media sosial secara positif, namun dalam kasus KPK vs Polri, porsi
negatif sangat besar. Menenggelamkan sistem berpikir yang jernih

87
dan objektif. Pada media sosial, kasus KPK vs Polri, memberi
wajah baru Keindonesiaan yang beringas, kritis, bebas dari kontrol
moral dan budaya.
Terlepas dari maksud tujuan dari user dalam menyampaikan
pesan menggunakan media sosial, entah serius entah tidak, yang
jelas pesan telah menjadi peluru ditembakkan kepada publik
melalui media sosial. Publik akan menerima pesan tersebut dengan
cara mereka pula. Jika sama dengan maksud pembuat pesan, maka
akan lebih ramai pula dukungan dari pesan tersebut. Jika tidak,
maka konflik baru akan terjadi. Diskusi hangat pro-kontra makin
hangat membakar waktu. Tidak produktif dipandang dari sisi
ekonomis, karena tidak memberi effect langsung seperti layaknya
tawar-menawar barang dagangan.

Hukum Positif
Jika saja ditimbang dengan Undang-Undang No. 11 Tahun
2008 Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta pasal-pasal
dalam KUHP tentang pencemaran nama baik, sudah banyak yang
bisa masuk penjara dan kena denda. Tetapi karena yang sedang
sibuk berkonflik ini adalah aparat hukum, serta user yang ikut
meramaikan juga orang-orang hukum dan sangat mengerti tentang
hukum tentunya, hingga kini semua baik-baik saja. Entahlah
sesudah ini.
Caci maki di media sosial akhir-akhir ini, khusus dalam
kasus KPK vs Polri sangat mengkhawatir. Tidak saja kedua lembaga,
namun juga Presiden RI, Joko Widodo serta seluruh aparat
pemerintahan dan tokoh politik. Pengguna media sosial sepertinya
tak pernah menyensor (sensor self) dengan berbagai pertimbangan
sebelum meng-upload pendapat, gambar, menanggapi dan
seterusnya dalam perbincangan di media sosial. Ini diduga karena

88
sangat emosi dengan keadaan yang sedang terjadi. Emosi biasanya
akan menutup kejernihan berpikir. Apalagi sudah terperangkap
untuk pro ke salah satu lembaga. Jika nalarnya lemah maka
emosinya tinggi.
Media sosial memang tidak diatur seperti halnya media
massa, yang memiliki Kode Etik Jurnalistik (KEJ), UU No. 40 Tahun
1999 Tentang Pers, serta kebijakan manajemen redaksi. Media
massa dengan perlindungan seperti itu, mekanisme pemberitaan,
sekalipun dapat dinilai memiliki sikap dan konflik interest, tetap
saja akan dilindungi oleh aturan tersebut. Bahayanya bagi user
media sosial yang tidak tahu apa-apa tentang aturan-aturan yang
bisa membawanya ke penjara dan denda maksimal Rp1 Miliar
seperti termaktub dalam UU ITE. Beberapa kasus yang sampai
ke tahap ini, umumnya tidak menyadari apa yang dilakukan user
memiliki implikasi hukum. Seperti yang melanda seorang remaja,
Muhammad Arsyad Assegaf alias Imen seorang asisten tukang sate
warga Ciracas, Jakarta Timur, yang ditahan Bareskim Polri atas
tuduhan pornografi dan penghinaan dengan melanggar Pasal 310
dan 311 KUHP, Pasal 156 dan 157 KUHP, Pasal 27, 45, 32, 35, 36,
51 UU ITE atas tindakannya mengunggah gambar hasil rekayasa
yang tidak saja menghina pemimpin negara tetapi juga menghina
moral dan akal sehat. Ada beberapa kasus lain yang sangat besar
dan menyita perhatian kita.
Media sosial telah menunjukkan watak dan kemampuan
seseorang kepada publik bagaimana ia berpikir tentang suatu
hal. Malahan emosi yang tunjukkan tersebut memperlihatkan
tumpulnya daya sensor baik buruk dalam diri (sensor self). Sebagai
medium baru, sepuluh tahun terakhir, perlu pemahaman tentang
media sosial melalui media literasi. Sebuah sistem pengetahuan
tentang kemediaan, dari jenis, hingga watak, juga model. Dengan

89
begitu, kecerdasan bermedia akan memberi cerminan masyarakat
pengguna yang cerdas, tidak gagap dan pincangnya peradaban
antara teknologi yang melesat maju dengan kemampuan
menggunakannya. Serta menggunakan media sosial yang
berdaya guna, efektif dan sehat. Kapan perlu, menguntungkan,
menghasilkan kebaikan spiritual dalam kehidupan.

Senjata Sipil
Menikmati media sosial yang sejak awal, sebagai jejaring
pertemanan biasa, seperti freindster, tahun 2002, hingga kini,
perkembangan kegunaannya telah melebihi ekspektasi para pendiri
media sosial ini. Selain sebagai jejaring pertemanan, tempat jual
beli barang, jual beli informasi, kini media sosial sudah menjadi
senjata kaum sipil melawan tirani kekuasaan. Dapat disebutkan,
media sosial sudah berada satu level di bawah media massa yang
mampu membuat penguasa harus mempertimbangkan suara
publik yang muncul, selain opini leader.
Runtuhnya sebuah rezim di Jazirah Arab juga dipicu oleh
kemarahan di media sosial. Namun di Amerika, seseorang bisa
menjadi presiden juga dipacu oleh media sosial. Artinya, media
sosial adalah kekuatan. Sayangnya, siapakah yang menggunakannya
kini? Istilah dalam Ilmu Komunikasi Massa, behind the gun,
seseorang di belakang senjata sangat menentukan benda mati itu
digunakan. Jika tidak cerdas melakukan attack melalui media sosial
sama juga bunuh diri. Karena itulah pentingnya media literasi.
Sehingga tidak sekadar asal bunyi alias asbun. Bela partai, bela
kelompok, tapi nyatanya bukan simpati yang didapat. Ini paling
sering terjadi.
Jika cara menggunakan media sosial jauh dari tata krama,
maka media sosial tidak lebih dari tong sampah tempat caci maki

90
ditumpahkan. Banjir informasi berbentuk caci maki itu akan sulit
membuat perubahan karena melawan kaidah kebenaran dalam
bermedia. Media apapun itu, akan diterima dengan baik, bila ia
disampaikan dengan baik pula. Kemasan yang baik, niat yang baik,
akan sampai dengan baik. Akan jadi sandungan, bila niat jahat,
dikemas baik, disampai dengan baik, diterima dengan baik. Suatu
saat akan kelihatan niat jahatnya. Perlu diingat, waktu selalu jujur
menyingkap kebenaran.
Terakhir, menggunakan media sosial sama halnya berada di
jalan raya, apapun kenderaan yang dipakai. Ada aturan lalu lintas
yang harus dipertimbangkan. Jauh lebih dari itu, keselamatan diri
sendiri dan orang lain semestinya lebih penting dari pada sekadar
mengutamakan emosi, aktualisasi, apalagi brutal, beringas, ugal-
ugalan, tanpa mempertimbangkan buruk baik bagi kehidupan.
Salam. []

91
Cerdaslah Memilih
Media Online

Zaman android yang serba mudah dan indah ini, mengakses


informasi semudah menggerakkan jari di layar sentuh seluler.
Sayangnya, kemudahan ini tidak dibarengi kesiapan literasi media
massa, sehingga informasi diterima tanpa penyaringan yang layak.
Dampaknya adalah menyebarnya informasi bohong dan
bodong. Dunia pun banjir informasi. Membawa sampah-sampah
kepentingan sesaat orang-orang tak bertanggung-jawab atas
informasi yang disebarkan. Sampah-sampah penetrasi kepentingan
politik dan ekonomi orang-orang yang memperkuda kebodohan
pengguna android. Menjadi semacam jarum hypodermic yang
menyuntik tapi tak terasa sakit dan tak disadari, demi mencapai
tujuan kepentingannya.
Bagi mereka yang tidak punya literasi media massa memadai,
akan menelan bulat-bulat informasi yang diluncurkan. Sialnya lagi,
menyebarkan kembali dengan penuh keyakinan atas kebenaran
berita yang didapatkan. Inilah yang membuat runyam.

93
Literasi Media
Literasi media adalah, kemampuan memahami, menganalisis
kebenaran informasi dan media yang menyebarkan. Kritis terhadap
siapa yang membuat informasi, di mana ia dapatkan, untuk apa
ia melakukannya, serta lalukan verifikasi setiap informasi yang
didapatkan. Apalagi media online yang simpangsiur menjadi viral
di media sosial.
Secara sederhana, setiap media, baik online, cetak
maupun elekronik, memiliki peran produksi informasi. Ada
kaidah jurnalistik yang dipakai, serta kode etik jurnalistik dalam
mendapatkannya. Setiap media yang resmi, memiliki badan
hukum, tim kerja redaksi, bertanggung jawab atas kerja jurnalistik
yang dilakukan setiap hari. Profesional dan siap melayani hak
jawab. Sebagaimana diatur dalam UU Pers No. 40 Tahun 1999.
Sementara itu, kini muncul media online yang tidak memiliki
reporter, kerjanya hanya copy paste dari media mainstream, lalu
merobah judul lebih provokatif. Nama media online yang dipakai
kadang-kadang juga mendompleng nama media cetak --- ini
sudah memerlihatkan itikad buruk. Jika tidak memerhatikan
dengan seksama, mudah sekali publik akan terbawa arus informasi
yang keliru. Itikad berberita kadang-kadang tampak jelas, hanya
menyebarkan kebencian, kedengkian, serta muatan politik yang
kental. Bagi publik yang cerdas bermedia tidak akan menggunakan
media serupa ini sebagai referensi informasinya.
Sikap kritis terhadap media online melalui literasi media
sangatlah penting agar tidak membawa kesesatan lebih lanjut.
(lihat Q.S: al Hujurat: 6)
Informasi yang menyesatkan hanya menjadi arena
pembodohan serta bisa jadi membawa petaka. Perang sering kali

94
dimulai dari kegagalan komunikasi dan informasi. Inilah yang
harus dipertimbangkan.
Kemampuan mengkonsumsi informasi memang
berhubungkait dengan kemauan, kemampuan serta kepentingan.
Artinya, setiap orang memiliki segmen informasi yang berbeda.
Namun demikian, kita akan dinilai oleh orang lain, konsumsi dari
media informasi yang salah akan membawa kekeliruan mendasar
dalam membangun konstruksi kebenaran faktual.
Mereka yang mengerti seluk beluk informasi yang diproduksi
dengan profesional akan selalu membaca dan membagikan
informasi melalui media online resmi pula. Sementara itu, bagi yang
tidak mengerti, mungkin juga karena terlibat dalam kepentingan
terhadap informasi, akan membagikan informasi sungguhpun dari
media online yang abal-abal. (Lihat Komentar, Jurnalisme Online
Situs Radikal, SINGGALANG, 6 April 2015)
Informasi adalah asupan pengetahuan untuk penalaran.
Kamu adalah apa yang kamu makan, begitu kata orang kesehatan.
Kamu adalah apa yang kamu baca, begitu pula kata orang akademik.
Media online, kini bak kecambah tumbuh di musim hujan. Bacalah
dengan seksama, tetaplah kritis terhadap informasi yang datang
dan media online yang dibaca, pilih media online yang profesional
dalam memroduksi karya jurnalistik. Jangan yang media abal-abal,
kalau tak ingin disebut sebagai pembaca abal-abal. Jangan sebar
informasi palsu, ingat UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE)
No. 11 Tahun 2008 yang selalu mengintai. Begitulah kiranya, agar
selamat dalam era banjir informasi ini. []

95
Teologi Kebencian
di Media Sosial

Kehadiran media sosial (social media) memasuki babak


kelam, membawa wabah kebencian. Paradoks dengan niat awal
kehadirannya, sebagai alat (tools) komunikasi antar persona dan
kelompok (groups). Alih-alih mampu meningkatkan hubungan
persona, media sosial justru sebaliknya, membuat jurang perbedaan
antarsesama kian dalam.
Media sosial menjadi senjata untuk saling menyerang
antarpihak yang berseberangan ideologi dan pilihan politik.
Dampaknya, intoleransi berkembang-biak di media sosial. Perang
isu Suku Agama Ras dan Antargolongan (SARA) membuat
kebencian mekar di dunia maya.

Kalah Cepat
Di tangan pengguna (user), telepon pintar (smartphone)
tidak lagi berfungsi optimal kepintarannya. Ia beralih fungsi
menjadi barang yang memproduksi ketololan. Smarthphone yang

97
kini laku bak kacang goreng, tidak menjamin bertambahnya
kecerdasan berpikir user. Ini membuktikan, kehadiran teknologi
informasi yang tidak diiringi kesadaran etik hanya membuat
wabah baru, kepincangan budaya yang berimbas pada kerusakan
alam pikiran dan persepsi publik.
Seharusnya muncul kesadaran, ketika menjalankan fitur-
fitur cerdas smartphone. Saat menggunakan smartphone berarti
telah berurusan dengan UU ITE, seperti halnya memiliki sepeda
motor yang secara sadar akan berurusan dengan UU Lalu Lintas.
Suatu hari di Kota Padang, masyarakat diributkan satu foto
kepala manusia yang tergeletak di tengah rel, diunggah entah
oleh siapa ke media sosial dan groups chating. Semua pengguna
blackberry waktu itu mengutuk, tetapi foto mengerikan itu tetap
dibagikan (share) dari akun satu ke akun yang lain. Mengerikan.
Inilah akibat kesenjangan budaya antara kecerdasan teknologi
informasi dengan penggunanya.
Kini, seiring dengan kenaikan pengguna internet di
Indonesia, berimbas kepada kenaikan pengguna fitur media
sosial. Data We Are Social, setiap tahun kenaikannya sebanyak 15
persen (2016) pengguna internet. Kenaikan ini juga diikuti dengan
naiknya pengguna media sosial, sebanyak 6 persen. Sayangnya,
kian banyak pengguna media sosial di Indonesia tidak diiringi
kepedulian negara dan pemimpin formal - non formal memberi
sosialisasi tentang kegunaan media sosial dan internet dalam
perspektif harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kampanye internet sehat kalah cepat dengan peningkatan
penggunaan di tengah masyarakat. Data yang dirilis Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), sampai saat ini
pengguna internet di Indonesia telah mencapai 88,1 juta. 48 persen
di antaranya merupakan pengguna internet harian.

98
Menurut APJII, pengguna internet menghabiskan rata-
rata sekitar 4 jam 42 menit untuk mengakses internet di PC atau
tablet dalam sehari. Data AC Neilsen terbaru, remaja usia 18-
20 tahun mengambil keputusan setelah memanfaatkan internet
dan media sosial. Aplikasi chating, BBM masih menjadi aplikasi
favorit yang digunakan oleh penduduk Indonesia. Lalu, disusul
aplikasi yang dimiliki Facebook, yakni WhatsApp dan Facebook
Messenger, di urutan kedua dan ketiga. Sementara untuk layanan
media sosial, Facebook masih menjadi layanan nomor satu yang
memiliki pengguna paling aktif di Indonesia. Facebook berhasil
mengungguli media sosial Google Plus dan Twitter. Data-data ini
tidak akan mengerikan bila persiapan panduan terhadap teknologi
informasi diberikan kepada khalayak oleh negara.
Data ini tentunya harus dipertimbangkan secara serius,
kanal baru publik ini harus mendapat perhatian untuk dibangun
menjadi sebuah tatanan yang lebih baik agar penggunaannya
sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang dianut bersama. Bukan
diserahkan kepada budaya pasar.

Fenomena Kebencian
Pra Pilpres 2014, di media sosial lahirnya para pembenci
(haters) dan para pencinta (lovers) terhadap pasangan calon.
Menjelang Pilkada serentak 2017 ini juga begitu. Perang kebencian
di media sosial lebih dahsyat berkecamuk. Kata-kata yang penuh
dengan nada intoleran membanjiri dunia maya. Tidak ketinggalan,
media online abal-abal ikut ambil peran, yang materinya di-share
pula oleh user smartphone.
Perang ideologi di dunia maya telah mencederai akal sehat.
Mereka yang tidak mengerti persoalan ikut-ikutan melakukan
berkomentar dan menyebarkan. Tingkat penalaran dan analisis

99
kritis yang rendah telah menelan mentah-mentah informasi yang
datang. Di sinilah pangkal bala dari bahaya media sosial, sehingga
menjadi wabah baru yang penuh paradoks. Media sosial telah
mengambil dan menjalankan teori jarum hipodermik (hypodermic
needle theory), yang ditulis Eluh Katz (1930). Media sosial menjadi
kekuatan baru bagi publik untuk melancarkan serangan demi
kepentingan dari dalam saku mereka. Media sosial juga telah
mendukung sebegitu kuat, hiperialitas yang disebutkan Jean
Baudrillard (1968)

Paradoks Teologi
Selain karena perbedaan pandangan politik, kebencian juga
memasuki ruang paling sakral, yaitu teologis. Ruang teologis yang
semestinya mampu membuat bumi ini damai karena kehadiran
agama sejatinya merupakan tuntutan atas keinginan untuk hidup
damai. Di media sosial, agama justru paradok. Karena klaim
kebenaran sepihak dan paling benar meniadakan pihak lain.
Era banjir informasi ini telah membawa sampah-sampah
informasi ke media sosial dan group chatt, yang membuat sengkarut
emosi massa menjadi tidak terarah. Karena reproduksi berulang-
ulang, sebuah sampahpun bisa dianggap baik dan benar.
Media sosial yang keberadaan awalnya sebagai pengikat
antar persona justru menjadi alat untuk bertentangan antar persona
dengan persona lain, juga dengan kelompok lainnya. Perbedaan
diperuncing melalui peperangan ide-ide di dalam media sosial.
Pada konteks ini, media sosial yang berbasis android memasuki
babak kelam tujuan kehadirannya.
Terma-terma teologis yang diumbar-umbar di media sosial
membangkitkan sentimen beragama di media sosial kian tinggi.
Rasa percaya diri paling beriman, paling benar, klaim sepihak atas

100
tafsir-tafsir tersebut membuat kebenaran terbentuk dari penalaran
yang dangkal. Sayangnya penyebaran semangat teologis justru
paradoks dengan tujuan beragama yang semestinya membawa
kedamaian dan harmoni kehidupan. Share semangat teologis itu
berbumbu kebencian dan klaim kebenaran.
Alih-alih mampu membawa kedamaian, sebagaimana tujuan
kehadiran agama, share isu SARA justru membuat perbedaan kian
meruncing. Pesan-pesan penuh kebencian dan sikap spiritualitas
yang buta nalar juga disebar, mencerminkan skala alam pikiran
pengguna media sosial tersebut.
Tawaran akhir pada tulisan ini, siapapun kita, yang telah
memegang benda canggih bernama smartphone itu, berapapun
harganya, ayolah belajar untuk memahami karakter komunikasi
melalui medium ini. Jangan terlalu jauh euforia, seakan-akan
menjadi manusia paling hebat dan suci di media sosial. []

101
Saya Bertanya
Maka Saya Ada

Cuitan mantan Presiden RI, Bambang Soesilo Yudhoyono


(SBY) di akun Twitter @SBYudhoyono menjadi trending topic lagi.
Tak berapa lama cuitan itu hadir, bertebaran pula cuitan bernada
sama dengan maksud yang berbeda, dari yang serius, cemeeh,
humor hingga bernada menghina. Fenomena apakah ini?
Saya bertanya kepada Bapak Presiden dan Kapolri, apakah
saya tidak memiliki hak untuk tinggal di negeri sendiri, dengan hak
asasi yang saya miliki? Demikian cuitan SBY, yang mengeluhkan
rumahnya diseruduk segerombolan massa.
Melalui perspektif kekuasaan wacana, SBY sedang
mengambil alih “bola wacana” dari tangan Basuki Tjahya Purnama
(BTP) alias Ahok. Nyaris sepanjang tahapan Pilkada DKI, Ahok
selalu berada paling atas di panggung media dengan wacana yang
dimilikinya. Maklum, ia memang petahana.
Terlepas dari posisi positif maupun negatif, Ahok telah
membuat yang lain menari di irama politiknya. Berbulan-bulan

103
Ahok menjadi news maker jauh di depan pasangan calon lain.
Hanya SBY yang hampir bisa merebut “bola wacana” di kaki Ahok,
tidak anaknya. Agus Harimukti Yudhoyono (AHY), yang baru
disodor ke gelanggang politik. Menjadi lawan Ahok-Jarot dalam
Pilkada DKI.
Ketika jutaan umat manusia hadir di Jakarta, dengan simbol
411 dan 212, sebenarnya sejarah sedang mencatat, Ahoklah yang
“membentangkan tikar wacana” untuk kesatuan umat Islam.
Walau peran yang dimainkannya dapat dipandang relatif sebagai
antagonis dari pada pratagonis.
Echo cuitan SBY kali ini sangat besar, seiring dengan
perhelatan HUT Partai Demokrat, ia kembali menyampaikan orasi
politik. Melancarkan sinyal-sinyal politik ke arah istana, tempat
yang pernah didiaminya selama 10 tahun. Hebatnya, Presiden
Jokowi yang kini menggantikan posisi SBY, tidak pernah “makan
umpan” itu. Seperti tak mau menari di irama cuitan SBY.
Ketika trending topik “Saya Bertanya Kepada Bapak Presiden
dan Kapolri” berlangsung, Jokowi justru main futsal. Kemarin sore
main futsal, lawan wartawan Istana. Lumayan, capek. Ayo, kita
rajin olahraga, biar sehat –Jkw, demikian cuitan Presiden Jokowi
di akun @Jokowi.
Pola bahasa politik Jokowi memang lain. Ketika SBY
menggelar Tour de Java, SBY mengomentari jalannya pembangunan
dan mengkritik pemerintah soal pajak yang tinggi bagi pengusaha
kecil, Jokowi justru melakukan Tour de Hambalang. Tempat di
mana lokasi Wisma Atlet yang menyeret beberapa punggawa, kader
Partai Demokrat, partai SBY ke bui. Kasus Hambalang menyita
perhatian, karena tak kurang Rp 400 miliar uang negara lesap.
Kicauan SBY sangat kuat memengaruhi jagat maya dan
politik, menjadi inspirasi kreatif bagi netizen. Bulan lalu, ia juga

104
mencuri perhatian. Ya Allah, Tuhan YME. Negara kok jadi begini.
Juru fitnah & penyebar “hoax” berkuasa & merajalela. Kapan rakyat
& yg lemah menang?
Lagi-lagi istana tidak ambil pusing. Jokowi justru ikut
turnamen memanah. “Harus fokus dengan sasaran, begitu pula
dalam menyelesaikan persoalan,” kira-kira begitu kata Jokowi ke
media meanstream menceritakan pengalaman memanahnya.
Jokowi seperti meniru gaya Presiden Amerika, Bill Clinton.
Ketika isu skandal seks di Gedung Putih yang melibatkan
perempuan cantik bernama Monica Lewinsky, Bill malah “khusuk”
main Saxophone. Foto utama media pendukung Bill mengirim
sinyal dalam bentuk lain.

Fenomena Wacana
Fenomena apakah ini? Gejala biasa dalam politik. Hanya
saja, sudah berpindah alam, dari media massa ke media sosial.
Seiring perkembangan teknologi informasi, wacana diproduksi
begitu cepat. Media sosial menjadi wahana baru melengkapi media
massa dan kadang-kadang juga menjadi antitesis. Menjadi media
perlawanan baru, ketika saluran di media massa macet.
Politik adalah persepsi. Persepsi dibangun melalui wacana,
strategi politik sebagai dalangnya. Mereka yang tak biasa membaca
sesuatu di balik informasi, sering “makan umpan” politik, ikut arus
dan hanyut. Mereka yang kritis, selalu susah dipengaruhi. Awam
tidak peduli itu, kalau ia bersetuju, benar dan salah tidak perlu.
Dukung dan bela saja, walau dengan cara membabi-buta, walau
dengan alasan yang dipaksa-paksa.
Inilah fenomena perebutan kekuasaan melalui wacana.
Kekuasaan wacana itu sangat penting, sebagai pintu masuk simpati
publik yang menjadi kunci untuk mendapatkan kesempatan

105
dalam bentuk yang paling menguntungkan. Sistem demokrasi
membutuhkan kepercayaan publik, itu hanya bisa didapatkan bila
wacana terus diproduksi untuk meraih simpati. Memenangkan
hati rakyat, begitu istilahnya.

Post-Trusth Era
Begitulah, fenomena cuitan SBY memasuki kita ke sebuah
alam yang disebut Era Post-Trusth. Seiring media sosial menjadi
wahana baru dalam politik, pencitraan diproduksi sebagai sebuah
kebenaran dari pada fakta-fakta paling objektif.
Oxford Dictionaries menerangkan, post-truth  merupakan
keadaan di mana fakta-fakta obyektif kurang berpengaruh dalam
pembentukan opini publik dibandingkan emosi dan keyakinan
pribadi.
Filosof AC Grayling menyatakan, gemuruh media sosial
merupakan salah satu kunci dalam budaya post-truth. Di mana opini
yang lebih kuat menenggelamkan bukti dan fakta. Fenomena post-
truth  bisa digambarkan “Pendapat saya lebih berharga daripada
fakta.” Pada khazanah budaya, kita mengenal babana surang. Ini
mengerikan, karena mengandung aroma narsistik, apalagi bisa
dilakukan oleh setiap orang di panggung media sosial. Mengerti atau
tidak mengerti, benar atau tidak, bukan lagi sesuatu yang penting.
Pokoknya, kalau tidak setuju lanyau saja. Kalau setuju, bela sejadi-
jadinya. Begitulah zaman setelah kebenaran diproduksi, menjadi
komoditi, walau kualitas kebenarannya perlu dipertanyakan.
Pada sisi lain, orang memang punya hak yang sama untuk
beropini, apalagi akun @SBYudhoyono milik mantan orang nomor
satu. Sebagai penanda, eksistensi, aktualisasi dan membela diri. Aku
cuitan di twitter maka aku ada, aku bertanya maka aku ada. Seperti
Rene Dercartes, aku berpikir maka aku ada (cogito ergo sum). []

106
REFLEKSI
DEMOKRASI
Demokrasi Jenaka
70 Tahun Merdeka

Ada terselip bangga ketika Ketua Komisi Pemilihan Umum


(KPU) Pusat Husni Kamil Manik menerima penghargaan Bintang
Penegak Demokrasi dari Presiden RI Joko Widodo. “Selamat, bro!”
begitu saya mengucapkannya di linimasa, jejaring sosial, bersama
sahabat lainnya.
“Penghargaan ini untuk semua jajaran yang sudah
menjalankan tugas dari pusat hingga ke daerah, dari PPL hingga
TPS,” begitu ungkap Husni di media massa. Penghargaan ini
atas suksesnya Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden
(Pilpres) 2014, lalu.
Terlepas dari kecamuk perang suksesi yang masih terasa
hingga kini dan akan mungkin terjadi lagi, yang jelas Indonesia
sudah memiliki anggota legislatif yang baru dan presiden-wakil
presiden dari perhelatan besar tahun lalu itu.
Tugas KPU belum selesai. Kini, datang pula musim Pilkada
serentak di seluruh Indonesia. Pada 70 Tahun Indonesia merdeka,
Pilkada serentak ini menjadi momenum memperlihatkan kepada

109
dunia, inilah negara yang menganut sistem demokrasi dengan
segala tetek-bengeknya.
Tentulah harapan besar kinerja KPU di setiap provinsi kian
lebih baik. Sebagai penyelenggara, tuntutan agar lebih profesional
dalam meningkatkan kualitas proses suksesi di setiap daerah sudah
lumrah adanya. Selain terjaminnya kelancaran, keamanan, juga
terpilihnya pemimpin-pemimpin terbaik untuk memimpin daerah.
Satu lagi, naiknya tingkat partisipasi publik ke tempat pemungutan
suara, kapan perlu di atas 90 persen.

Dampak Pilkada Serentak


Ada pengalaman menarik sepanjang lebaran tahun lalu yang
patut diceritakan saat saya melewati empat provinsi dan 17 kota
kabupaten. Umumnya daerah-daerah tersebut ikut menggelar
Pilkada serentak. Ini dibuktikan, sepanjang jalan selalu ada baliho
sosialisasi para bakal calon, berbagai macam model, warna,
bentuk dan ukuran. Kadang-kadang terasa jenaka, slogan yang
ditawarkan para bakal calon pemimpin itu. Jenaka, lucu dibaca
melalui kacamata semiotika.
Point of view yang ingin dikatakan adalah, betapa meriahnya
alat peraga ini di tepi jalan, di atas jalan, akankah membuat kadar
dan kualitas demokrasi di negeri ini kian baik? Kadang-kadang
terasa amat jengah, salah tingkah, di setiap perjalanan, selalu
ada foto para calon kepala daerah yang menawarkan diri untuk
menjadi pemimpin dan siap memimpin. Apakah model serupa ini
menjamin kualitas demokrasi kita kian baik? Entahlah.
Terbetik pula di pemikiran, Pilkada ini sepertinya
memperlihatkan betapa demokrasi kita sudah kian jenaka
saja. Apalagi melihat bagaimana laku politik para elit dalam
menentukan calon-calon daerah di pusat sana. Rasionalisasi yang

110
diberikan, kadang-kadang tidak bisa diterima akal sehat sebagai
bukan orang politik. Tetapi sejauh pengamatan, seperti ulasan
saya, Singgalang, Senin (13/7) lalu; Menyandar Harapan kepada
Partai Politik. Rakyat harus menerima apa saja yang sudah menjadi
dinamika politik tingkat partai-partai sehingga lahirlah calon yang
diusung ke KPU. Sungguhpun itu tidak sesuai harapan, tetap saja
akan tak bisa ditolak. Tumbangnya beberapa bakal calon yang
disebut sebelumnya sangat kuat, tampilnya calon tunggal, tiada
lain adalah dinamika politik yang jenaka. Jujur saja, inilah bukti
partai sedang mengedepankan kepentingan politik kekuasaan dari
pada kepentingan politik kerakyatan.

Bukan Catatan Pesimis


Membaca keadaan-keadaan di tengah masyarakat, laku
politik elit, aturan main dan para bakal calon pemimpin, bahkan
tim sukses, bila tak ada perbaikan sistem pemilihan pemimpin
ini di masa depan, Pilkada hanyalah pekerjaan sia-sia saja. Boleh
percaya boleh tidak.
Bukti Pilkada membawa kebaikan kehidupan memanglah
banyak namun membawa keburukan tidak pula sedikit. Bila
sedikit digeser perspektif ini, sebenarnya proses berdemokrasi ini
masih berupa pesta memilih kepala daerah saja. Belum menyentuh
inti demokrasi yang dicita-citakan; kedaulatan di tangan rakyat,
yang menentukan arah jalan pembangunan yang berpihak kepada
rakyat. Yang terjadi justru kedaulatan itu direbut dari tangan rakyat
oleh mereka yang dianggap pemimpin tetapi sesungguhnya para
pemodal yang gila kuasa!
Membaca di sepanjang jalan media sosialisasi para bakal
calon, yang ada bukanlah adu visi dan misi yang memenangkan
pembangunan yang berpihak kepada rakyat. Tetapi kelihatannya,

111
jual kekuatan kepada rakyat, berupa obral wajah yang menjauhkan
karisma kepemimpinan. Industrialisasi demokrasi sedang terjadi.
Kutubnya sudah jelas, mereka yang punya modal bisa menjadi
apa saja. Sedangkan yang punya kapasitas jika tak punya modal,
silahkan minggir!
Lihatlah, wajah-wajah calon pemimpin kita di masa depan
itu ada di mana-mana. Selain di pohon-pohon, pemasangan di
tempat yang tidak layak juga terjadi. Meletakkan media sosialisasi
di sembarang tempat itu, seperti ingin menceritakan, betapa
ambisinya para calon ingin menguasai ruang publik, ingin dikenal
dan ingin dipilih. Kadang-kadang, kian terasa tak bermartabat dan
hina, sehingga sebaliknya media sosialisasi itu menjadi sumber
kebencian publik. Sekali lagi, boleh percaya boleh tidak. Yang
jelas, semua fenomana itu memperlihatkan watak kepemimpinan
dan model pembangunan karakter dari calon-calon pemimpin
itu sendiri. Alangkah baiknya, ditentukan zona-zona strategis,
tidak seenaknya saja. Aturlah ini, bro! Kalau sudah ada aturan,
tegakkanlah.
Adakah hal di atas menjadi wacana bagi pemangku
negeri ini? Sesungguhnya, hal tersebut gejala tidak baik dalam
berdemokrasi. Banjirnya media sosialisasi di ruang publik harus
menjadi catatan, tidak saja mengacu kepada aturan kampanye yang
kaku itu, tetapi juga menimbang kepatutan adat dan budaya. Ini
perlu dipikirkan bersama, KPU, Partai, Tim Sukses, juga aparatur
pemerintah berwenang.
Bagaimana jalan keluar agar kita bisa menampilkan corak
demokrasi yang beradab, pemimpin yang tidak sekadar memiliki
modal material tetapi juga memiliki kapasitas “di atas rata-rata”
dari mereka yang dipimpinnya? Adakah pemikiran agar para calon

112
ini diberi kesempatan tampil lebih elegant, mengedepankan apa isi
kepalanya, bukan penampilan semata?
Sungguh, alam filsafat demokrasi kita memang agaknya
perlu terus diasah, sehingga berdemokrasi tidak sekadar dipahami
pergi ke TPS setiap tahun, baju kaos dan media sosialisasi.
Demokrasi, sebuah kedaulatan memilih pemimpin yang diyakini
secara mendalam dapat membawa kebaikan. Bukannya, berpindah
tangannya kekuasaan dari partai yang satu ke partai yang lain.
Wacana di atas, tentu saja menjadi pemikiran bersama,
bukan hanya untuk teman saya, Husni Kamil Manik dan jajarannya.
Sekali lagi, selamat bro Husni, Merdeka! Semoga demokrasi kita
tak lagi kelihatan jenaka di mata saya. Salam. []

113
Berdemokrasi
di Tengah Rasa Lapar

Masihkah ada harapan hidup lebih baik dan bahagia dari


suksesi demi suksesi dengan dalil berdemokrasi? Apakah Pemilihan
Kepala Daerah (Pilkada) 2017 ini membawa kemaslahatan kepada
umat? Dua pertanyaan yang bisa dipandang sangat pesimis
terhadap sistem berdemokrasi kita pada hari ini.
Sulit dibantah, di atas kertas, sistem demokrasi bak bunga-
bunga di tepi jurang. Dilihat indah diambil susah dan berbahaya.
Demokrasi menjanjikan keindahan dan harapan di masa depan,
tetapi sejauh sistem ini dijalankan, suksesi berlangsung, senyatanya
tak banyak membawa perubahan menuju cita-citanya. Alih-alih
menjadi kenyataan dari janji-janji para kontestan, yang terealisasi
hanyalah perebutan kekuasaan dan melanggengkannya.
Demokrasi saat ini berkembang biak, tiada lain berjenis
tumbuhan liar di tepi jurang itu. Indah dengan kebebasan tetapi
resiko konflik vertikal-horizontal tak terelakkan. Nafsu kuasa
telah menggelapkan mata batin. Klaim kebenaran sepihak antar
kontestan, caci maki, fitnah-fitnah, berseliweran mengguncang

115
akal sehat. Tak cukup itu, Tuhan dan agama pun dibajak untuk
kekuasaan yang akan direbut.
Hal-hal di atas mungkin terlalu ironis. Tetapi fakta-fakta
menunjukkan, apalagi pada Pilkada DKI, wajah demokrasi tak lagi
membahagiakan. Gaduh, riuh, dan menakutkan. Siapakah yang
happy dengan keadaan yang saban hari ada kekerasan verbal ini?
Kemana sikap santun dan budi pekerti luhur yang selalu ada dalam
pidato-pidato politisi?
Begini jadinya ketika sistem demokrasi dipaksakan di
tengah masyarakat yang lapar perutnya dengan penalaran yang
dangkal. Sungguh, belum ada kelihatan pendulum mengarahkan
ke titik equbilirium bernama “dinamika yang indah yang dijanjikan
demokrasi”. “Siap menang siap kalah.” Mana pula orang mau kalah,
kalah main domino saja tetap naik emosinya, apalagi kalah Pilkada.
Sistem demokrasi prosedural memang berjalan tetapi
secara substansial, tujuan demokrasi kian jauh panggang dari api.
Memang secara hukum, bisa sah seseorang terpilih tetapi belum
tentu bisa menjalankan amanat. Karena kekuasaan direbut dengan
semangat perang kawan-lawan. Menang jadi arang, kalah jadi abu.
Demokrasi berjalan bak lagu Syahrini, maju-mundur. Satu
sisi begitu hebat, demokratis, tetapi sisi lain, tujuan kedaulatan
rakyat kian jauh. Ketimpangan sosial ekonomi kian jelas, ditambah
lagi para elite memainkan peran “adu ayam” di tengah Pilkada.
Namun apakah kita harus beralih ke sistem khilafah,
sistem monarki, sistem komunis, sistem teokrasi? Tentu tidak!
Terlalu panjang harus ditempuh untuk merobah warisan dari
para pahlawan yang telah berjuang mendirikan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) ini. Mereka tentu tidak rela karena
begitu banyak yang telah dikorbankan untuk membangun sebuah
negara.

116
Namun demokrasi seperti apakah yang membuat rasa
puas, damai, bisa berlangsung? Tawarannya tiada lain, adalah
peningkatan kecerdasan melalui pendidikan demokrasi. Siapa
yang harus melakukan ini? Tentu harus dimulai dari semua lini.
Demokrasi sejatinya memang bertujuan menciptakan rasa
aman, rasa nyaman, terpenuhi kebutuhan hajat hidup rakyat. Jika
itu tidak terpenuhi, tentu sistem demokrasi patut dipertanyakan
kembali. Atau paling tidak, dikoreksi di mana kesalahan para
pelaku memahaminya.
Jika perut yang kosong, daya nalar melemah, publik tentunya
cepat marah. Beringas. Siapa yang memberi umpan, itulah yang
dipatuhi. Beda kalau penalaran sudah baik, pendapatan ekonomi
sudah mapan, orang tak mudah dipengaruhi. Diajak berpanas-
panas demonstrasi, kampanye, akan berpikir dua kali.
Susahnya, para elite maunya masyarakat mau dikebiri
kemana-mana sesuai dengan kepentingan mereka. Karenanya,
kebodohan harus dipelihara. Sudah diingatkan Karl Marx jauh-
jauh hari, kesenjangan sosial ekonomi akan mampu mencetus api
konflik. Keadaan ini sepertinya sedikit lagi terjadi di negeri yang
kaya raya ini.
Pilkada serentak 2017 hanyalah prosedur mencari kepala
daerah yang lolos menjadi kontestan secara sah tetapi belum
tentu secara kapasitas dan kapabilitas. Satu dua daerah, memang
ada tumbuh pemimpin yang penuh harapan dan terasa oleh
masyarakatnya, tetapi yang lebih banyak ternyata tumbuhnya
oligarki, korupsi sistemik dan kian melaratnya arus bawah.
Sistem demokrasi prosedural, juga memperlihatkan
perebutan kekuasaan merupakan tujuan, bukan ladang amal
untuk menoreh sejarah kepemimpinan. Alih-alih untuk membuat

117
kesejahteraan rakyat, yang terjadi justru memperkaya diri dan
kelompok di dalam lingkaran kekuasaan.
Begitu sederhana harapan rakyat, di dalam setiap suksesi
berlangsung; murahkanlah segala urusan di kantor-kantor
pelayanan publik, gratiskanlah pendidikan dan kesehatan, serta
murahkan harga segala kebutuhan. Jika ini sudah terpenuhi
tentunya cara berpikir akan berubah dengan sendirinya. Orang
ingin hidup teratur. Hidup berkualitas. Kenapa orang sulit diatur,
salah satunya belum terpenuhinya standar kehidupan yang layak.
Bila ekonomi sebuah daerah baik. Pendapatan perkapita
rakyat bisa melebihi kebutuhan hidupnya, tentulah tidak ada jerit
kelaparan. Tentulah tak ada yang mau jadi tukang parkir liar,
tukang tunggu WC, pedagang kaki lima di trotoar. Mereka itu
ada karena harus kreatif bertahan hidup. Kalau negara mampu
memberi kesempatan untuk mendapatkan kebutuhan hidup layak,
siapakah yang mau menjadi tukang-tukang seperti itu?
Pejabat-pejabat masih menutup mata dan tidak malu dengan
keadaan daerah-daerahnya yang masih carut-marut. Padahal, bila
pidato memaparkan demokrasi, prestasi, apresiasi, seperti berada
di langit saja. Sementara, di bumi, di daerah yang dipimpinnya,
masih begitu banyak yang terbengkalai.
Pada sisi lain, kaum berada membuat tembok tinggi untuk
meningkat rasa aman. Kaum papa berada di jalanan, jalanan
tidak aman dan rawan begal dan segala macam kejahatan. Di
mana negara, pejabat, pemerintah, hasil dari sistem demokrasi?
Ini pertanda pemegang amanat kedaulatan rakyat tidak berada di
depan perkembangan zaman. Selalu di belakang.
Kini, mari kita bertanya tentang realitas dari prinsip-
prinsip-prinsip demokrasi yang selalu dipelajari itu. Apakah
kebebasan, persamaan, pluralisme, toleransi, keadilan, hukum dan

118
keteraturan, akuntabilitas publik, tranparansi, penegakan hukum,
sudah berjalan secara baik? Agar pertanyaan pada alinea pertama
bisa terjawab, kita bisa mengukur prinsip-prinsip ini di lapangan.
Jika masih belum maksimal, tentunya setiap Pilkada, hanyalah
sekadar pesta suksesi lomba merebut kekuasaan. Tiada lebih dari
itu. Demokrasi di tengah rasa lapar, adalah omong kosong di siang
bolong. []

119
Kecamuk Perang
Informasi Pilpres

Pasca pendaftaran dua pasangan Capres-Cawapres ke


Komisi Pemilihan Umum (KPU), informasi kedua pasangan calon,
Prabowo-Hatta dan Jokow-JK bergerak masif di linimasa (timeline)
media sosial dan online.
Ada berita positif dan ada banyak yang berita negatif. Kita
akan sulit percaya jika tidak mencari berita pembanding. Dua
kutub berita itu beradu dan saling serang. Kadang-kadang sangat
emosional dan tak masuk akal. Mereka yang menyebar informasi
melalui media sosial mengaku pasangan calon merekalah yang
nomor satu, calon lain nomor dua. Patutkah dipercaya berita yang
disebar karena kebencian, lebih-lebih melalui media sosial, secara
personal, jauh dari itikad luhur jurnalisme?

Positif Negatif
Citra positif dan negatif yang memenuhi media sosial dan
online itu tentu sangat mempengaruhi elektabilitas nantinya.
Itulah tujuan dari para tim sukses, pendukung hingga relawan

121
yang menyebarkan informasi itu. Informasi positif untuk calon
yang didukung, informasi negatif untuk yang tidak didukung.
Tetapi yang perlu diingat, tidak melulu berita positif akan
bisa menggiring publik untuk memilih. Begitu pula sebaliknya,
berita negatif, belum tentu akan membuat publik akan menjauh,
jangan-jangan melahirkan simpati. Karena dalam pemilihan
umum, publik punya logika tersendiri. Beberapa kali pemilihan
presiden, pilkada, berlaku teori Archemedes: bola yang ditekan ke
dalam air akan melontar diri keluar sekuat tekanan dan kedalaman
yang dilakukan. Pilpres kali ini juga masih bisa terjadi.
Karena itu, keberadaan media sosial menjadi menjadi alat
propaganda, agitasi, tidaklah bisa secara utuh mampu mengejar
target pemenangan. Jika tidak hati-hati, bisa tergelincir dan kalah.
Sebab, sifat informasi pada dasarnya bisa diterima bila ia jernih
(clear), bersih (clean), juga masuk akal, juga membangun simpati.
Ingat, informasi yang terlalu sering tapi tidak rasional hanya akan
menghasilkan kebencian. Apalagi berita yang disebarkan benar-
benar menebar kebencian kepada pasangan lain. Ini tidak elok
kepada pasangan yang didukung.

Cek Ulang
Inilah saatnya publik diberi cara bermedia massa dengan
cerdas (media literasi). Termasuk bermedia sosial. Bukan berarti
selama ini tidak memilikinya, namun diingatkan agar ada sikap
tidak segera menelan mentah-mentah berita yang datang.
Kita dapat merujuk ke Q.S. Al-Hujurat 49:6: Wahai orang-
orang yang beriman! Jika datang kepada kamu seorang fasik
membawa sesuatu berita, maka selidikilah (untuk menentukan)
kebenarannya. Sementara di dalam Ilmu Praktis Jurnalistik, ada
kewajiban agar ada check and recheck. Cek ulang itu penting sekali,

122
kapan perlu terus menerus dan melakukan verifikasi semaksimal
mungkin. Begitulah jika ingin mendapatkan informasi yang bersih
dan benar di tengah banjir informasi tentang dua pasangan calon
presiden dan calon wakil presiden.
Berita negatif yang disampaikan ke media sosial jangan
pernah langsung percaya, apalagi langsung pula menyebarkannya.
Bersikaplah kritis terhadap informasi yang datang. Cari saluran
pembanding. Ingat, banjir informasi selalu membawa banyak
sampah!

Media Penyiaran
Meriahnya perang informasi di linimasa media sosial, juga
diikuti dengan meriahnya di dunia penyiaran. Dua televisi berita
senyatanya memiliki kecenderungan pemberitaan yang dapat
dirasakan dan dilihat secara kasat mata. Sungguhpun tidak ada
dinyatakan secara jelas kemana arah dukungan politik, tetapi
bergelanggang di mata publik, pemilik (owner) yang terlibat
langsung ke dalam masing-masing calon, memberi sinyal yang
sulit mengatakan tidak melakukan bisikan ke redaksi. Sungguhpun
Kode Etik Jurnalisti (KEJ) dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan
Standar Program Siaran (P3SPS) masih dijalankan secara baik.
Namun itikad pemberitaan sedari awal sudah menjelaskan kemana
arah pesan mau dicapai. Ujuang kukuaknya amat terasa.
Komisi Penyiaran Independen (KPI) yang sejak lama sibuk
mensosialisasi kualitas penyiaran yang bermartabat, hanya bisa
menikmati keruwetan ranah publik ini dipakai sebagai arena
politik. Ada banyak teguran kepada lembaga penyiaran dari KPI
tetapi tidak sangat signifikan mampu mengubah wajah televisi
dalam menyebarkan informasi dan hiburan di negeri ini. Apalagi
dalam iklim pemilihan presiden.

123
Pernyataan Edward R. Murrow juga berlaku kepada KPI.
Ketika semua persoalan penyiaran jauh lebih kusut, KPI tak bisa
berbuat banyak. Membenahi kekuatan KPI sebagai lembaga negara
saja, butuh waktu, apalagi bisa sekuat KPK. Bukankah lembaga ini
keberadaannya setara? Alih-alih ikut meredam dan membuat aksi
agar semua ini bisa berhenti, justru KPI baru mau membentuk
Forum Masyarakat Peduli Penyiaran. Mengajak masyarakat untuk
aktif melaporkan penyimpangan penyiaran, karena KPI tidak
bisa menegur, bereaksi, bergerak, jika tidak ada laporan dari
masyarakat. Semoga saja forum ini memiliki kekuatan, daya kritis,
agar lembaga penyiaran bisa menyampaikan informasi yang lebih
sehat dan segar. Jauh dari kesan membodohi. Mengurangi porsi
hiburan, menaikkan kadar pendidikan.

Aliran Alternatif
Layaknya perang, tentu akan ada kalah menang. Semua itu
telah nyata, perang informasi baik di media sosial maupun di media
massa telah terjadi. Dua pasang calon yang diusung diberitakan
sedemikian rupa. Selain ada dua kubu besar pendukung yang saling
memberikan argument dan melancarkan pesan negatif lawan, juga
muncul aliran yang mencerca kedua pasang calon. Tidak berpihak
kemanapun, dan memberi informasi yang juga tidak elok bagi
keduanya. Ini aliran alternatif.
Begitulah menjelang pemilihan beberapa waktu ke depan.
Semakin meruncing dan rawan membuat publik terpancing. Jalan
satu-satunya sebagai warga negara kita harus menyimak dengan
seksama, bagaimana tim sukses, relawan, pendukung dekat,
pendukung jauh, partai pengusung, kader partai, memainkan
peran memengaruhi logika publik. Jangan pernah langsung
tergiring sebelum seluruh informasi disaring.

124
Perang informasi ini akan usai seiring memasuki masa
tenang menjelang pemilihan yang diberikan KPU. Tetapi itu
tidak ada alasan untuk tenang bagi mereka yang berkepentingan
merebut kesempatan kekuasaan dalam Pilpres ini. Pengalaman
menunjukkan, masa tenang dalam Pemilihan Legislatif (Pileg), April
lalu, media sosial tetaplah hiruk-pikuk. Pun begitu dengan media
massa. Media penyiaran juga mengambil sisi lain pemberitaannya,
alias tetap memberitakan, walau bukan lagi bernama kampanye.
Akhirnya, kita, sebagai rakyat yang akan memilih pemimpin,
informasi tentang pemimpin haruslah lengkap. Pasangan Capres itu
harus kita pelajari semuanya, jangan satu pihak saja. Verifikasi, cek
ulang, apalagi yang bernada kebencian dan penghinaan. Kita perlu
ingat pernyataan di awal tulisan ini, kebohongan memang begitu
cepat menyebar. Awas terjebak dan hanyut dalam arus kebohongan
tersebut. Kebenaran sesungguhnya, selalu linear dengan nurani
dan kemanusiaan. Bukankah begitu, Pres? []

125
Siapa Gubernur Kita

Suhu politik suksesi Pemilihan Gubernur (Pilgub) kian


menghangat. Sinyal-sinyal koalisi kekuatan dan komunikasi
simbolik ke publik telah dimulai. Peta kekuatan dengan pendekatan
analisis politik paling mutakhir juga sudah banyak pula dituliskan
oleh ahlinya. Namun ada yang belum tersentuh, Sumbar mau
kemana dengan siapa? Pertanyaan dalam bentuk lain, siapa
gubernur kita?
Ada banyak tokoh yang berminat. Sejauh ini beberapa nama
muncul ke permukaan, dalam arti kata, telah memberi sinyal
taragak memimpin Sumbar. Nama-nama itu, sudah amat dikenal
oleh publik di Ranah Minang. Jam terbang karier politiknya juga
sudah diketahui. Persoalannya, apakah sudah takah memimpin +
5 juta penduduk Sumbar?
Bila menggunakan syarat rukun sebagai pemimpin, maka
tidak bisa mengelak dari rumus: kapasitas, kapabilitas dan
aksebilitas. Ini diduga kuat sangat berpengaruh pada elektabilitas
nantinya. Pemilih akan mengandalkan pengetahuan tentang sosok
Balon untuk dinilai dan ditetapkan untuk dipilih.

127
Seorang Bakal Calon (Balon) pemimpin memang selayaknya
dituntut multitalenta dalam rekam jejak karier kepemimpinannya.
Itulah yang akan menjadi bahan kampanye ke hadapan publik.
Artinya, reputasi seorang Balon adalah modal yang tak bisa ditawar
lagi. Selain itu ditambah dengan keterterimaan, kecocokan dan
kepantasan untuk dipilih.
Bila menggunakan istilah Takah secara kultural, ada banyak
lagi syarat dan rukun kepemimpinan yang harus dipenuhi. Secara
bahasa, takah bisa diartikan ke arah lebih positif dan faktual.
Mulai dari penampilan, sikap dan tingkah laku, cara pandang, dan
seterusnya. Ini juga akan banyak sekali turunannya, bila dirinci
lebih lanjut. Lagi-lagi bisa terjebak dalam format menggurui, jika
dipaparkan.

Duo Petahana
Setelah membaca sekian berita dan komentar tentang pola
yang akan terjadi dalam suksesi, secara sederhana dapat disebut,
begitu besar kesempatan bagi incumbent Gubernur Sumbar, Irwan
Prayitno (IP) untuk kembali memimpin Sumbar. Selain faktor
dukungan partai yang akan mengantarkannya, juga partai koalisi
yang sudah bersiap-siap bergandeng tangan, lengkap dengan
pasangan yang disiapkan. Ditambah lagi dengan kekuatan dalam
bentuk citra dan prestasi yang sudah dibangun selama memimpin
Sumbar.
Tapi tunggu dulu, ada Wakil Gubernur Sumbar, Muslim Kasim
(MK) yang juga memiliki kesempatan sama. Hingga kini, belum ada
kabar konkret dengan partai apakah MK dan pasangannya nanti akan
bersiap-siap di garis start. Jika saja sudah mendapatkan partai dan
koalisi maka MK tidak bisa dianggap remeh, bila merujuk perannya
dalam kemenangan suksesi Irwan-MK saat Pilgub 2009 lalu.

128
Namun ada yang patut dicatat, agak kecil kemungkinan
pasangan duo petahana ini akan melangkah bersama lagi. Belum
ada sinyal yang dapat dibaca sebagai penanda keduanya akan
kembali berdayung bersama pada Pilgub nanti. Justru yang terbaca
secara simbolik, keduanya akan memilih jalan masing-masing.
Begitulah.

Mesti Koalisi
Alfan Alfian menyebutkan, Pemilu Legislatif 2014
menghasilkan demokrasi telur dadar. Maksudnya, kursi legislatif
terbagi tanpa ada yang mendominasi. Seperti yang ada di DPRD
Sumbar. Kursi terbagi dalam formasi, Golkar sembilan (9) kursi,
Demokrat delapan (8) kursi, Gerindra delapan (8) kursi, PAN
delapan (8), PPP delapan (8) kursi, PKS tujuh (7) kursi, NasDem
enam (6) kursi, Hanura lima (5) kursi, PDIP empat (4), dan PBB -
PKB masing-masing mendapatkan satu (1) kursi.
Kenyataan ini memperlihatkan keharusan koalisi dua tiga
Parpol untuk meloloskan satu pasang calon gubernur - wakil
gubernur. Tidak ada parpol yang bisa melenggang sendiri. Harus
koalisi. Sebagaimana diisyaratkan dalam perundangan-undangan
yang baru saja disahkan, Undang Undang Pemilihan Kepala
Daerah Nomor 1 Tahun 2015. Lebih jelas bisa dibaca pada Bab. VII
Pendaftaran Calon Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wali Kota,
Pasal 40. Bila mengacu kepada hitungan perolehan kursi, koalisi
partai minimal 13 kursi di DPRD dan atau 25 persen perolehan
suara dari total suara sah Pileg 2014 lalu. (Lihat data, pada
Komentar M. Luthfi Munzir, Head to Head KIH-KMP, Singgalang,
Rabu, 4/3).
Artinya, komunikasi politik lintas partai memang harus
terjadi. Bisa saja turunan koalisi di DPR RI, yang dikenal dengan

129
Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP).
Namun agak kecil kemungkinan itu bisa terjadi, mengingat
perbedaan mencolok pola kepentingan politik daerah dengan yang
ada pusat. Yang jelas, beberapa waktu ke depan, akan kelihatan
dinamika koalisi ini ke hadapan publik. Kita tunggu saja.

Balon-Balon
Kembali ke pertanyaan awal, siapa gubernur kita? Ada
beberapa nama yang sudah sering disebutkan di media lokal, di
lapau-lapau, juga sudah ada baliho Balon di tempat strategis setiap
kota kabupaten yang sudah menyapa publik.
Selain IP dan MK, ada Hendra Irwan Rahim (Ketua DPRD
Sumbar), Shadiq Pasadigue (Bupati Tanah Datar), Syamsu Rahim
(Bupati Solok), Epyardi Asda (Anggota DPR) dan Fauzi Bahar
(mantan Walikota Padang), Mantan Anggota DPR RI, Taslim
Chaniago. Ini nama-nama sementara. Ada delapan (8) orang,
besar dugaan akan bertambah lagi. Misalnya, kepala daerah
yang mungkin memberi belum sinyal, Bupati Pasaman Barat,
Baharuddin Raaban dan Bupati Pesisir Selatan, Nasrul Abit.
Keduanya memiliki kans ketika dilihat dari sebaran pemilih. Atau
mungkin, keduanya bisa masuk dalam barisan Balon Wagub, yang
bisa dipertimbangkan. Sejauh ini, nama yang muncul untuk Balon
Wagub, baru satu orang, Rommi Adam.
Pada posisi sebagai pemilih, pada dasarnya, sangatlah indah
melihat banyak tokoh-tokoh terbaik yang bisa tampil menawarkan
diri untuk memimpin Sumbar. Namun bila melihat formasi modal
suara Parpol dan kursi, hitungannya tak lebih dari tiga - empat
pasang bisa melaju melalui jalur Parpol. Selebihnya, mungkin bisa
melewati jalur independen. Namun jalur terakhir ini kian sulit
dilalui, karena persyaratan dukungan makin berat harus dipenuhi.

130
Persentase dukungan lebih tinggi dalam UU No. 1 Tahun 2015 di
banding persyaratan sebelumnya.
Ada harapan dari kalangan muda agar terjadi kejutan dalam
suksesi Pilgub kali ini. Paling tidak, ada nama baru yang bisa
membuat perubahan signifikan peta politik. Harapan itu, seiring
dengan harapan terjadinya loncatan dan gebrakan kemajuan
dari pembangunan yang sudah ada sekarang ini. Meminjam
istilah Dahlan Iskan, memilih pemimpin yang membuat loncatan
kemajuan bagi daerah melalui kebijakan dan tangan dinginnya,
bukan pemimpin yang menjalankan rutinitas belaka dan cenderung
cari selamat.
Pembangunan yang diharapkan itu, pembangunan yang bisa
sejajar tumbuhnya dengan provinsi lain di Pulau Sumatera, seperti
Sumut, Riau, Jambi dan Palembang. Sejauh ini, harapan itu masih
belum terjadi. Sehingga, jawaban dari tulisan ini, siapa gubernur
Sumbar kita mendatang? Tentu saja, dari nama-nama yang ada di
atas tadi. Tak lebih, tak pula kurang. []

131
Lampu Kuning
untuk Petahana

Mendekati batas akhir (deadline) tahapan pencalonan Bakal


Calon Gubernur (Balongub)-Bakal Calon Wakil Gubernur Sumbar
(Balon Wagub) Sumbar, belum ada yang informasi pasangan Balon
yang mendeklarasikan diri. Belum ada partai yang merilis koalisi
dan pasangan calon yang diusungnya. Sepertinya, negoisasi sedang
terjadi tertutup rapi.
Apapun alasannya hingga kini belum dideklarasikan,
patut dimaklumi saja. Namun bila membaca sekian banyak opini
tentang peta kekuatan dan gerakan yang muncul, patut diingatkan,
menyalanya lampu kuning untuk duo petahana, Irwan Prayitno
(IP) - Muslim Kasim (MK). Keduanya harus segera mengambil
keputusan secepatnya.
Widya Navies selintas mengingatkan itu melalui Angin
dan Anomali Gubernur Mendatang, pada kolom ini, Senin (27/4).
Menurutnya, sosok Baharuddin R bisa menjadi batu sandungan
bagi Balongub. Mengingat kekuatan Bupati Pasaman Barat itu, di
tiga daerah, Padang, Lubuksikaping dan Simpang Ampek. Tidak

133
itu saja, ia pentolan PPP yang memang dinantikan. Satu lagi, ia
selalu mendapatkan dan mencari momenum. Kesuksesan yang
diraihnya tak lepas dari hasil keputusan yang ia diambilnya dari
membaca keadaan dan kesempatan. Lihat juga Komentar tentang
ini, Senin (9/3) Membaca Langkah Baharuddin R. Artinya, tokoh
yang hanya siap menyatakan jadi Cawagub ini segera menentukan
pilihan. Pilihan tersebut akan membuat goncangan.
Selain Widya Navies, ada Guswandi yang juga mengingatkan
incumbent tak pernah batambuah. Melalui tulisan berjudul, Makan
tak Batambuah, Komentar Singgalang, Rabu (29/4), Guswandi
ingin mengingatkan rentetan sejarah para petahana yang tidak
pernah melangkah ke periode kedua. Akankah itu terjadi pada
periode ini? Mungkin saja.
Lampu kuning juga dinyalakan Effendi melalui Komentar
Singgalang, Kamis (30/4), Jangan Terjadi Andre Rosiade Jilid
II. Effendi ingin mengingatkan, sering sekali cawan di tepi bibir
tapi tak jadi minum. Sering terjadi, balon meletus sebelum jadi
calon. Andre Rosiade mengalami hal ini dalam Pemilihan Wali
Kota Padang, tahun lalu. Ia tergeser dari percaturan menjelang
penetapan dari partai.

Masih Menimbang
Memang mengambil keputusan perlu pertimbangan. Inilah
yang sedang terjadi, selain lobi sedang berlangsung dan baliho yang
sudah tayang di jalan-jalan utama setiap kota kabupaten. Menjalin
komitmen demi komitmen belum sampai ke tahap akad yang
mengikat. Ini pekerjaan komunikasi politik paling sulit. Karena
ada tawar-menawar.
Sepanjang minggu kemarin, hanya satu yang patut patut
dibaca, hadirnya tiga balon yang selalu disebut setiap kesempatan,

134
Shadiq Pasadigue (SP), Muslim Kasim (MK), dan Baharuddin
R (BR), dalam Live KDI di MNCTV. Ini tentu menjadi sinyal
penting bagi peta kekuatan terbaru dalam Pilgub nanti. Jika saja,
yang terjadi seperti yang diprediksi Widya Navies, tiga ini bisa
menjadi kekuatan yang tak mudah dihadang. Misalnya, Muslim
Kasim menjadikan Baharuddin R (MK-BR), sebagai Balon Wagub.
Atau Shadiq Pasadigue melamar Baharuddin R (SP-BR). Atau juga
mungkin, Muslim Kasim mengajak Shadiq Pasadigue (MK-SP)
untuk berduet. Rencana pasangan terakhir agak sulit, karena SP
memang sejak awal dikabarkan menolak di posisi Balon Wagub.

Partai Adalah Kunci


Setelah mengamati kabar berkembang, baik melalui media
sosial maupun media massa, surat kabar dan televisi, semua itu
tidak bisa lepas dari tokoh partai. “Partai adalah kunci,” kira-kira
begitu, meminjam sebuah dialog, dalam sebuah film nasional, “Jawa
adalah kunci.” Sementara itu, kunci dari partai adalah ketua partai,
bukan yang di tingkat provinsi tapi di tingkat pusat. Karenanya,
“Jawa memang selalu menjadi kunci.”
Tetapi perkembangan kepartaian yang kian tidak
menemukan titik keseimbangan pasca dukung mendukung Pilpres
dan terjadinya perpecahan, seperti Golkar dan PPP, tentulah
berimbas banyak dalam peta politik Pilgub. Sementara partai lain,
PDIP, Demokrat, PKS, Nasdem, Gerindra, PAN, Hanura, PBB dan
PKB belum menggunakan kunci politik menuju Pilgub ini, masih
belum mengambil keputusan penting, selain masih basa-basi. Kita
tunggu saja.

135
Titik Temu
Mencari titik temu antar balongub-balonwagub periode ini
seperti mematut batu domino lawan. Walau jumlah batu secara
keseluruhan sudah diketahui, namun siapa yang punya batu kunci
memang sulit ditebak. Harus ada gerakan pancingan agar bisa
terbaca sinyal batu itu berada. Ada di pasangan main atau justru
di pasangan lawan.
Selain itu, titik temu antar pasangan calon juga sangat
ditentukan oleh partai-partai yang berpusat di Jakarta. Kalaupun
katanya, menjaring aspirasi dari bawah namun kehendak pusat
tetap saja harus dipenuhi. Ada adat politik yang menjadi syarat
dan rukun yang harus ditunaikan sebelum akad terikat. Kata
sepakat dalam mufakat dunia politik kadang-kadang tidak hanya
menunggu momenum tetapi juga harus menjemput momenum
tersebut.
Inilah titik temu yang sering membuat para calon gagal
berada di garis start. Termasuk petahana sekalipun. Karena itulah,
lampu kuning sudah menyala untuk petahana. Menyegerakan
pasangan calon dan partai koalisi sebagai pengusung, sangat
penting dari pada kampanye penuh selubung dilakukan. Apapun
yang sudah dilaksanakan sejauh ini untuk sosialisasi, tak punya
arti jika lampu merah menyala ketika pasangan tiada partai pun
tiada. []

136
Menari
di Irama Petahana

Basuki Tjahya Purnama alias Ahok, terus mampu berada di


depan pada lintasan pemberitaan. Ia melaju menjaga posisi atas
trending topic. Sepertinya, ia tak peduli negatif atau positif trending
topic itu, yang jelas berada di depan, walau di media sosial sedang
menjadi common enemy.
Alam bawah sadar mereka yang anti petahana sepertinya
benar-benar sedang terlena dalam posisi, serang dan serang.
Melalui seluruh kanal yang memungkinkan untuk menyerang
Ahok, dilakukan secara masif, dengan harapan persepsi publik
dapat berubah di hari pemilihan. Dalil-dalil mutakhir pun
dikeluarkan dengan cerdas dan panas.
Tetapi di balik itu, benar-benar kurang disadari, setiap
menyerang, poin trending itu akan menjadi milik Ahok. Mungkin
persepsi penyerang, seakan-akan dengan menyerang Ahok akan
membuat ia dibenci, tetapi hal itu tak mudah. Justru sebaliknya,
petahana lebih unggul dalam ingatan publik. Seakan-akan publik

137
diajak melupakan dengan dua pasang lain yang juga sebenarnya
harus mendapat tempat yang sama di pentas pemberitaan.
Namun dalam kontestasi isu, dua pasang kontestan lawan
Ahok tidak mungkin bisa masuk dan ambil alih begitu saja, apalagi
hanya nimbrung untuk meramaikan. Dampak psikologisnya sangat
tiada enak, dipandang sebagai followers. Sungguhpun akan bisa
memberi warna pada isu tersebut, tetapi tetap tidak dapat dimiliki
isu itu secara utuh. Sang kreator awal menjadi lebih terkenal. Ini
lumrah, seperti kita mengenal brand deterjen dan air minum dalam
kemasan, yang hadir lebih awal dari yang lain. Ini yang disebut top
of main brand.

Laku Isu
Ahok memang memiliki magnitute untuk menjadi
episentrum pemberitaan. Sikap dan komentar yang meledak-ledak,
kadang terkesan kasar, membuat laku untuk diberitakan. Awak
media akan mengutip cepat dan langsung menjadi bahan baru.
Bisa dirunut ke beberapa bulan belakangan, saban hari, Ahok tidak
pernah keluar dari pentas pemberitaan yang layak, sesuai dengan
Nilai Berita dalam Ilmu Jurnalistik. Misalnya, kasus pemecatan
bawahan, kasus reklamasi, penggusuran, hingga yang terakhir,
soal dugaan penistaan agama, juga demo besar yang membawa isu
melebar kemana-mana.
Walau akhirnya, mungkin, justru membuat tren elektabilitas
menurun, seperti yang dirilis beberapa lembaga survei, namun ia
tetap berada di atas. Karena memang, beberapa faktor penunjang
dan pendukung, masih bisa memertahankannya berada di situ.
Tetapi ingat, ritme permainan masih berada di posisi petahana.
Istilah lain, bola masih di kaki Ahok.

138
Sejauh ini, dua pasangan lain belum mampu mencuri
perhatian yang lebih untuk meningkatkan popularitas dan memikat
hati publik. Belum bisa merebut “bola isu” di kaki Ahok. Media
tentu saja tidak bisa serta merta mengutip keduanya, bilamana
isu yang disampaikan hanya biasa-biasa saja. Tidak masuk dalam
lingkaran Nilai Berita, misalnya, baru, besar, signifikan, aktual,
unik, dll.
Tim sukses keduanya harus membuat strategi media lebih
jitu dari permainan isu yang ada di tangan petahana, jika ingin
memikat hati publik melalui nilai berita, sehingga bisa mengejar
trending topik. Apalagi hanya bisa menari di irama petahana, ini
tentunya akan sangat disayangkan.

Isu Laku
Pertanyaannya kemudian, kenapa isu di tangan Ahok begitu
laku? Sehingga mampu mengail emosi banyak pihak? Jawabnya,
inilah politik modern dan terbuka, dengan kesadaran memainkan
panggung isu. Pertarungan persepsi hanya bisa ditentukan laku
atau tidak isu yang dimainkan. Pada konteks ini, hal-hal yang ideal
dan formal, biasanya terpinggirkan dengan sendiri.
Bukan berarti tidak bisa dimainkan, suatu waktu, dengan
momen yang tepat, semuanya akan memainkan isu tersebut.
Jarang terjadi, visi dan misi mampu mengikat secara kuat hingga
sampai ke ujung, pada hari pemilihan. Karena penilaian publik
tidak banyak bersandar pada visi dan misi. Karena visi dan misi,
sesungguhnya hanya bersifat semu.
Pada hari-hari menjelang, petahana sepertinya akan
mengeluarkan isu baru dan membersihkan seluruh isu negatif
yang memang sudah dimainkan untuk menjaga trending topik.

139
Sungguhpun bagi sebagian orang, mereka yang militan pada
pilihan-pilihan tertentu tidak akan memindahkan persepsi, namun
ini akan menyasar swing voter.

News Maker
Terlepas suka tidak suka, dipandang dari strategi komunikasi
massa, Ahok berhasil memosisikan diri sebagai news maker. Setiap
saat, hanya Ahok yang kena hujat. Setiap waktu, hanya Ahok
yang disalahkan. Apakah itu bisa menggerus elektabilitas Ahok!
Mungkin iya, mungkin tidak! Yang jelas, satu yang selalu dikuasai
Ahok, yaitu wacana! Wacana yang dilahirkan tetapi menjadi isu
utama yang dibahas setiap saat di seluruh kanal informasi di
republik ini.
Menjadi news maker membutuhkan kreativitas dan kesiapan
tim untuk tarik ulur benang agar tidak putus. Kreativitas dalam
politik sangat diperlukan untuk membangun persepsi publik.
Kreativitas membangun wacana itu juga tidak bisa serampangan.
Harus terukur baik dari segi waktu hingga segi nilai-nilai yang
dimainkan. Termasuk menjaga suspensi wacana itu ketika dilepas
ke publik.
Persepsi publik yang dapat dilihat di media sosial, sedang
diuji hingga hari pemilihan tiba. Apakah dengan menyudutkan
Ahok hingga ke sudut ring, dapat membuatnya kalah dalam
Pilgub 2017? Apakah sebaliknya, justru melahirkan simpati dan
publik akan memilihnya? Kalau yang pertama terjadi, berarti akan
lahirlah polarisasi baru tentang watak media sosial yang mampu
mengalih pilihan. Tetapi kalau yang kedua terjadi, maka benarlah
teori yang menyatakan, semakin diserang seseorang melalui media
masa dan media sosial, semakin dimungkinkan ia mendapatkan

140
simpati hingga ia dipilih, seumpama Teori Archemedes. Semakin
ditekan sebuah bola ke dalam air, semakin kuat lambung bola
keluar tersebut ketika dilepas.
Kini, dengan waktu tersisa, publik akan terus memantau,
bagaimana dua pasang ini memainkan peran menarik hati rakyat
DKI. Apakah hanya menari di irama petahana, atau justru mampu
membangun kreativitas baru agar bisa terpilih nantinya.[]

141
Anomali Arah Angin
Shofwan Karim

Kita tak bisa mengubah arah angin, tapi kita selalu punya
kesempatan untuk mengubah arah layar. Hanya dengan mengubah
layarlah seorang pelayar ulung bisa mencapai tujuan pelayarannya.
Begitulah adigium dari orang bijak tentang kehidupan.
Berlayar dalam kehidupan juga begitu. Pun dalam suksesi
politik. Kemampuan membaca arah angin sangat penting dalam
dunia politik. Politisi ulung biasanya akan mampu melewati cuaca
politik dan arah angin yang tak menentu. Itulah talenta awal sebagai
modal dalam karier politik seorang politisi agar terus melaju.

Arah Persepsi
Membaca komentar senior, Shofwan Karim di kolom ini,
yang bertajuk Arah Angin Gubernur Mendatang, Kamis (23/4),
sangat menggelitik nalar. Arah angin yang dimaksud tiada lain,
para calon yang sekarang dipasang-pasangkan mesti menyiapkan
banyak hal. Salah satunya pokok alek. Karena sesuatu bisa

143
dilaksanakan bila ada silang nan bapangka, karajo nan bapokok.
Begitulah adat politiknya.
Tapi sayangnya, komentar Shofwan Karim sepertinya
kurang meyakinkan jika ada yang lain, selain incumbent, Irwan
Prayitno (IP) dan Muslim Kasim (MK), yang siap menjadi Cagub.
Kata Shofwan Karim, yang lain sepertinya siap-siap membaca
arah angin, bersiap-siap menjadi Cawagub saja. Bisakah begitu?
Mungkin saja, karena dalam politik seribu kemungkinan bisa
terjadi dan menjadi akrobat yang sangat menarik untuk diamati.
Mari kita kembali ke suasana batin politik di tahun 2005, di
mana publik kehilangan seseorang yang sangat dibutuhkan tanda
tangannya. Siapa dia? Dialah M. Zein Gomo. Pentolan PAN yang
konon tidak bersedia menandatangani surat keputusan pada waktu
itu untuk pasangan calon yang segera diantar ke KPU Sumbar.
Hingga deadline di KPU berakhir pukul 00.00 Wib, tanda tangan
itu tak kunjung didapatkan. Akhirnya, tak jadilah pasangan calon
itu ikut ke garis start Pilkada 2005.
Begitulah politik. Pada batas akhir kemenangan sekalipun,
masih ada kemungkinan yang memungkinkan bisa membuat
seseorang bisa terpental. Dunia politik sangat dinamis sekaligus
sangat kejam. Iwan Fals, mempertanyakannya melaluI lagu
Sumbang. Apakah selamanya politik itu kejam?
Namun demikian, bagi politisi yang tajam membaca arah
angin, ia segera dapat tempat dengan cepat. Sedangkan yang tidak,
biasanya main menang di bunyi gendang yang lain. Itulah jalan
terbaik jika tak mau karam di tengah.
Sangatlah setuju dengan pernyataan, pokok alek, kecerdasan
bermedia dan turun ke masyarakat, harus dilaksanakan secara
efektif dan efisien mungkin. Namun dalam musim kampanye
politik, yang serempak datang ke masyarakat akan menciptakan,

144
dalam pandangan ilmu komunikasi adalah, gemuruh dan sorak
sorai. Apa bila tidak menemukan defferensiasi yang kuat, para
pasangan hanyalah bagian kerumunan. Ini bisa dilihat bagaimana
poster, baliho yang berserakan di setiap sudut, ketika Pemilihan
Legislatif (Pileg) yang lalu. Adakah yang melekat di benak publik?
Yang melekat, yang memiliki kekuatan kreativitas! Selebihnya,
sekali lagi, kerumunan!
Karena itulah kreativitas tingkat tinggi dalam membangun
persepsi politik sangatlah penting. Baliho tidaklah sekadar baliho.
Gambar tidaklah sekadar gambar. Apalagi kata-kata, jargon,
tidaklah sekadar omong kosong. Kesadaran terhadap pentingnya
alat peraga yang memikat adalah satu di antara faktor pendukung
pemenangan. Siapa mereka yang memiliki tingkat kreativitas di atas
rata-rata? Jawabnya, seniman! Ajaklah mereka untuk memikirkan
jargon yang kuat dan memikat. Ajaklah photografer handal untuk
mendapatkan hasil gambar terbaik.

Tiket Mahal
Namun apapun yang dibicarakan di atas, tidak akan pernah
bisa lepas dari pertanyaan siapa mengusung siapa melalui partai
apa? Siapa berpasangan dengan siapa? Kondisi ini tentunya sedang
berlangsung sengit. Sedang terjadi, lagi-lagi meminjam lagu Iwan
Fals, “Tawar-menawar harga pas tancap gas,” hingga bisa keluar
sebuah tiket mahal pasangan calon yang akan diantarkan ke KPU
Sumbar. Ini terbukti, hingga kini, belum ada pasangan calon yang
konkrit. Baik secara resmi diekspos satu partai maupun sudah
berkoalisi. Tentu saja, sedang terjadi tawar-menawar tingkat tinggi
dan tertutup. Namun bising suara politik sering kali bisa dibaca
publik.

145
Guswandi melalui Komentar bertajuk, Antara Gerindra
dan Kader, Selasa (22/4), mengungkapkan kemungkinan besar
Gerindra melakukan politik balas budi kepada IP atas raihan
tertinggi Pilpres lalu. Tetapi apakah bisa begitu saja? Bisa begitu
kalau IP sudah dapat surat sakti dari PKS. Apakah Gerindra mau
mengusung anggota baru? Entahlah. Namun sas-sus politik tingkat
lokal justru pilihan IP jatuh pada partai lain. Siapa dia? Yang jelas,
tidak ada dalam nama yang dilangsir media lokal selama ini,
termasuk yang ditulis Shofwan Karim. Kita tunggu saja kejutan itu.

Ada Calon Lain


Komentar Shofwan secara tidak langsung seperti ingin
menggiring hanya head to head IP vs MK. Namun itu tentu saja
terlalu pagi. Karena ada Shadiq Pasadigue (SP), Fauzi Bahar (FB),
Mulyadi (M), Taslim (T), Baharuddin R (BR), Hendra Irwan
Rahim (HIR), Syamsu Rahim (SR), yang tidak bisa dipinggirkan
begitu saja. Layar politik mereka sudah siap dikembangkan. Dan
tentu saja, jika hanya dua pasang saja, langkah IP menjadi berat
untuk mendapat kesempatan periode kedua.
Bisa jadi akan diadakan pasangan “calon penggembira” agar
terjadi perpecahan fokus. Secara faktual, IP akan diuntungkan jika
ada pasangan lebih dari dua. Ada pasangan ketiga dan keempat,
diprediksi akan membuat IP dengan pasangan baru yang tentu
mendongkrak pula, bisa melenggang menuju periode kedua.
Arah angin politik Pilgub Sumbar bisa saja akan berubah-
ubah hingga deadline tahapan di KPU Sumbar. Biarkan Mat
Comblang Politik (MCP) bekerja keras untuk menjodohkan
antara satu dengan yang lain. Waktu yang menjawabnya. Sekadar
mengingat, arah angin itu bisa tidak menentu dan tidak terpikirkan

146
sejak semula, bila mana ada badai yang datang serupa kasus M.
Zein Gomo di tahun 2005 lalu. Jika sudah begitu, jangankan
merobah arah layar, bisa-bisa tim sukses kocar-kacir dan mencari
kapal politik penyelamat. []

147
Membaca Langkah
Baharuddin Raaban

Bupati Pasaman Barat, Baharuddin Raaban, mengambil


langkah strategis dalam karier politiknya, Kamis (5/3). Putra Talu,
Talamau, itu mendaftar ke NasDem Sumbar sebagai Bakal Calon
(Bakal Calon) Wakil Gubernur (Wagub) Sumbar. Langkah ini
akan membuat pergeseran dinamika politik Pemilihan Gubernur
(Pilgub) beberapa waktu ke depan.
Hingga hari ini, pendaftaran Balon Wagub Sumbar di partai
belum ramai. Memang ada beberapa nama yang disebut-sebut,
tapi belum ada yang resmi mendaftar. Baru Baharuddin R, yang
mengambil kesempatan pertama di NasDem. Momen ini tentu
menjadi sinyal yang terkirim kepada Balon Wagub Sumbar lain. Ada
kabar terbaru, beberapa Balon Gub bersedia pula turun menjadi
Balon Wagub, jika duo petahana sudah mengirim sinyal siapa yang
dipilih menjadi pasangannya nanti. Dalam politik, semua bisa
terjadi dan mungkin. Sebab politik adalah art of possible.

149
Modal Sosial
Apa modal Baharuddin Raaban untuk maju jadi Balon
Wagub? Bila menyimak pernyataan dan jejak rekam karier
politiknya, ada banyak modal yang sudah dikantonginya untuk
masuk ke gelanggang tingkat provinsi ini. Ia tentunya sudah
mengukur bayang-bayang diri; kekuatan dan kelemahan. Sehingga
keputusan untuk menjadi Balon Wagub bisa dapat dinilai sangat
tepat dari pada nekad menjadi Balon Gub.
Sebagai seorang pensiunan polisi berpangkat AKBP,
perjalanan politik Drs. Baharuddin bin Raaban, MM. Tuanku
Johan Pahlawan memang sudah tidak perlu diragukan lagi. Karier
politiknya dimulai menjadi anggota DPRD Kota Padang (1997-
1999), Bupati Pasaman sebelum dimekarkan (2000-2005), anggota
DPRD Pasaman Barat (2009-2010) dan menjadi Bupati Pasaman
Barat (2010-2015).
Kini pria kelahiran 5 April 1945 itu sudah memasuki usia 70
tahun. Ia pernah menjadi Ketua DPW PPP Sumatera Barat dan kini
menjadi ketua DPC PPP Pasaman Barat. Asam-garam kehidupan
politik tentu saja membuatnya matang.
Penerima Investment Award 2011 dari Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM) ini, menempuh pendidikan di Sekolah
Rakyat Kecamatan Talamau, Pasaman Barat (1958), Sekolah
Menengah Pertama Talu, Kecamatan Talamau, Pasaman Barat
(1962), SGA/SPG Negeri Talu (1964), Sekolah Menengah Atas
Negeri Lubuk Sikaping (1966), Universitas Bengkulu, Fakultas
Sosial Politik, Sarjana (1982), Universitas Negeri Padang, Fakultas
Manajemen, Magister (2004), Lemhanas RI, Jakarta (2003), Co-
operation between School and Companies: Manheim Jerman (2003)
Membaca riwayat panjang pendidikan dan karier Baharuddin
di media online, dapat disimpulkan, ia selalu mendapatkan dan

150
mencari momenum. Kesuksesan yang diraihnya tak lepas dari
hasil keputusan yang ia diambilnya dari membaca keadaan dan
kesempatan. Entahlah kali ini, apakah masih tepat atau tidak, kita
lihat saja.

Pemimpin Pasbar
Sehari setelah pendaftaran, dilansirkan Singgalang, Jumat
(6/3), Baharuddin R menyatakan kesiapan dirinya untuk menjadi
wakil gubernur. Baginya, jadi gubernur dan wakil gubernur adalah
sama, yang paling penting, dapat menawarkan segala bentuk
pembangunan yang telah ia perbuat di Pasaman Barat.
Apa yang telah dilakukan Baharuddin R di kabupaten
berbatas dengan Sumatera Utara itu? Menurutnya, ia telah
melakukan banyak terobosan, salah satunya, Satu Nagari Satu
Miliar. Ia yang pertama, berani melakukan hal tersebut. Sejak awal
kepemimpinannya, ia memilih jargon Pasaman Barat di Bawah
Tadah Agama.
Sebagai kader PPP, Baharuddin sangat konsen untuk
membangun masyarakat Pasaman Barat dalam bidang agama.
Memperhatikan rakyat sejak dari dalam rahim ibu, lahir, hidup,
hingga sampai ke akhirat. Programnya kini masuk ke jorong, dengan
mengadakan da’i, bidan, penyuluh, majelis taklim, linmas dan
Paud, di tingkat jorong. Ada yang paling fenomenal dalam bidang
pembangunan transportasi, Baharuddin dapat menggandeng Susi
Air, untuk jalur penerbangan perintis untuk ke Pasaman Barat.
Soal ini, tentu ia patut berbangga, kabupaten yang memiliki bandar
udara atas prakarsa Pemkab Pasbar di bawah kepemimpinannya.
Melihat sepak terjang Baharuddin, ia bisa dipandang sebagai
pemimpin yang suka dengan tantangan dan terobosan. Tak sedikit
pula kasus hukum yang mengintainya selama ini sebagai resiko

151
yang harus dihadapi dari mimpi-mimpinya untuk kemajuan
daerah. Tetapi tampaknya, hingga hari ini, ia tidak terjerat. Ini
menunjukkan elegantly komunikasi politik yang dimilikinya.

Kekuatan dalam Pilgub


Sebagai kader PPP, Baharuddin memiliki modal suara dari
sebaran pemilih, Pasaman Barat dan Pasaman. Bila mengacu
kepada suara Pemilu Legislatif 2014 lalu, jumlah pemilih di
Kabupaten Pasaman + 191.117 suara dan Pasaman Barat berjumlah
+ 252.737 suara. Ini menjadi modal utama tentunya, bilamana
mampu dikelola secara baik oleh Baharuddin.
Sementara bila mengacu ke perolehan total suara Pemilu
2014, PPP Sumbar meraih 9,25 persen atau 223.287 suara yang
mengantar delapan orang kadernya ke DPRD Sumbar dan dua ke
DPR RI. Total suara sah Pemilihan Legislatif 3.622.465 suara.
Tentu saja data ini akan bergeser signifikan, sesuai keadaan
dan persepsi politik di tengah masyarakat. Namun, sebagai modal
bagi Baharuddin, paparan ini tentu saja menjadi satu faktor
kekuatan yang patut diperhitungkan bagi pasangannya nanti.
Persoalannya, siapa yang mau menggandeng Baharuddin?
Membaca modal di atas, utak-atik pasangan calon, serta Calon
Wagub yang muncul, kuat dugaan Baharuddin akan dilirik untuk
bergandeng sebagai pasangan menuju Sumbar Satu. Kita tunggu. []

152
Jalan Baru
Taslim Chaniago

Salah seorang bakal calon Gubernur Sumbar, Taslim


Chaniago (TC) masuk dalam jajaran Dewan Pengurus Pusat (DPP)
Partai Amanat Nasional (PAN). Akankah ini menjadi modal bagi
TC untuk mendapatkan tiket menuju Sumbar Satu? Bisa jadi begitu.
Sejauh ini, PAN Sumbar belum begitu memperlihatkan
geliat, bersama partai apa koalisi dijalankan dalam Pilgub 2015
ini. Apakah masih konsisten dengan pola Pilpres lalu? Sebab, PAN
bagian dari Koalisi Merah Putih (KMP). Namun Taslim jauh hari,
sudah mendaftar ke Nasdem, yang nota benenya adalah tonggak
besar bersama PDIP dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Meminjam istilah Effendi, politik memang begitu, kita maklum
saja.
Sebagai pemegang amanat untuk delapan kursi di DPRD
Sumbar, PAN tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebab dinamika
politik intern cukup aman secara nasional, pasca terpilihnya Zulkiflli
Hasan. PAN minim konflik hingga ke daerah. Ini menguntungkan
bagi siapapun yang akan diusung bersama koalisi nanti.

153
Persoalannya, jika PAN memberi amanat kepada TC,
bagaimana dengan kader lain? Ada Fauzi Bahar (FB), Ketua PAN
Kota Padang. Apakah DPP akan menjatuhkan pilihan ke mantan
Wali Kota Padang dua periode itu? Hasil survei tampaknya akan
menjawab duo kader partai pemenang Pemilu 1999 di Sumbar ini.
Seterusnya surat sakti dari DPP PAN.

Figur Muda
TC adalah figur muda, yang Pileg 2014 lalu gagal melangkah
kembali ke senayan. Walau sebenarnya, Pileg 2009 sebenarnya,
TC sangat cemerlang sebagai salah seorang politisi daerah yang
dihantarkan masyarakat Sumbar, daerah pemilihan II, ke senayan.
Sayangnya, Pileg 2014 situasi sangat berbeda untuknya.
Tak lama setelah Pileg, anak Sungai Angek Simarosok
Kabupaten Agam itu menyatakan kesiapan dirinya memimpin
Sumbar. Beberapa komunitas dan Ormas sudah pula menyatakan
dukungan untuk Ketua alumni FMIPA Unand Jabodetabek
ini. Hanya saja, beberapa waktu terakhir, tidak tampak aksi
sosialisasinya. Sehingga dalam konstelasi politik, TC tidak begitu
signifikan disebut bakal bisa melangkah lebih jauh hingga ke
garis start Pilgub nanti. Atau memang, ini hanyalah langkah TC
untuk tetap menjaga ritme permainan politiknya. Walau sempat
menghadiri beberapa pertemuan penting, yang jelas, baliho TC
belum kelihatan seperti yang lain.
Duduknya TC bersama politisi asal Sumbar lain, seperti
diberitakan Singgalang, (7/5), di panggung politik nasional tentu
menambah daya tawar politik TC. Sebagai orang muda, jalan
politik TC masih panjang. Apalagi melalui pengalaman sebagai
anggota DPRD Sumbar dua periode, anggota Komisi III DPR RI.

154
Pertanyaannya adalah, akankah TC mendapat restu untuk
terjun ke gelanggang? Agak rugi jika dikaitkan dengan kepentingan
Sumbar secara umum. Karena Sumbar membutuhkan banyak
politisi yang bermain di tingkat nasional, guna memberikan
konstribusi terhadap pembangunan daerah. Pentas TC sudah
nasional. Agak sedikit menurun, bila ia ikut arus dalam konstelasi
yang kian mengerucut ke beberapa pasang calon saja.
Saat usai mendaftar ke Nasdem, kepada publik Taslim
menyatakan, kesiapannya untuk ikut Pilgub. Soal kalah dan
menang, baginya adalah lumrah. Ini sinyal penting membaca
keseriusan TC ketika mendaftar ke Nasdem.
Mantan Ketua Barisan Muda PAN Sumbar ini, kini menjabat
sebagai Ketua Bidang Hukum dan HAM DPP PAN. Jabatan strategi
secara nasional. Begitu banyak persoalan Bidang Hukum dan
HAM di Indonesia, sekarang. Taslim bisa jadi akan menjadi tokoh
muda nasional, ketika ia berhasil memainkan irama politiknya.
Ada baiknya juga, tak perlu serius menguras energi dalam Pilgub
Sumbar 2015 ini, jika mengacu pada konstalasi politik menjelang
penetapan para calon di tingkat partai.
Menjadi jajaran penting di DPP PAN di waktu muda, dapat
diprediksi membawa TC lebih kuat dan berkibar di pusat. Talenta
politik dan pengalaman sebagai aktivis akan menambah lebih jam
terbang politiknya. Pernah dua kali duduk di DPRD Sumbar, lalu
terpilih sebagai anggota DPR RI 2009-2014, makin populer setelah
acap tampil di layar kaca, TC adalah harapan banyak kalangan.

News Maker
TC pernah menjadi berita besar, ketika mengambil langkah
kontroversi, mengundurkan diri dari Badan Anggaran DPR RI.
Ini bentuk protes ketika anggota DPR, ngotot untuk membangun

155
gedung di tengah kepentingan keuangan pembangunan sedang
disorot publik. Padahal, berada di Banggar bagi sebagian yang lain
adalah impian. TC justru mengundurkan diri.
TC dicari para jurnalis. Jadi news maker, sumber berita.
Diwawancarai di sana-sini. Jawabannya waktu itu, tak mungkin
bisa menerima keadaan dan perbedaan. Bekerja sama lintas
fraksi untuk menentukan anggaran pembangunan, memang
membutuhkan kompromi yang kadang-kadang melibas segala
bentuk idealisme. Apalagi TC sebagai anak muda yang sering
turun ke daerah terpencil. Terasa tidak masuk akal, miliar rupiah
hanya untuk gedung yang sebenarnya tingkat kepentingannya
tidak begitu signifikan.
Membaca kiprah politik TC hingga menjadi Ketua Bidang
Hukum dan HAM DPP PAN dan dihubungkan dengan konstelasi
Pilgub Sumbar hari ini, agaknya perlu diberi usul kepadanya.
Amanah DPP ini lebih menantang dari pada menjadi kepala
daerah yang di ujungnya, sering menggiring seorang politisi ke
balik jeruji. Inilah jalan baru itu.
Mumpung masih muda, lebih strategis apa bila fokus
merintis karier kepemimpinan di DPP PAN dibandingkan ikut
turun gunung berkecamuk di Pilgub Sumbar. Hingga sampai
waktunya untuk ikut dengan modal kepemimpinan yang besar.
Sungguh pun begitu, kalau sekadar mencoba, tak apalah! []

156
Jalan Sepi
Partai Islam

Membaca realitas politik menjelang hari pemilihan


presiden, 9 Juli 2014, kita dihadapkan peningkatan isu sentimen
agama sebagai bahan kampanye dua pasang Capres-Cawapres. Isu
ini langsung menyentuh persoalan paling sensitif, yaitu, aqidah. Ia
mengemuka dengan segenap kekuatan nalar agama yang dimiliki
penyampai pesan politik, sebagai bahan kampanye memenangkan
hati umat.
Karena isu ini sangat sensitif dibandingkan Pilpres 2004 dan
2009, ditambah lagi dengan hanya dua calon yang tampil, Pilpres
2014 amatlah rawan memecah umat dalam skala kontras yang
teramat tinggi. Jika tidak ke kiri, ya tentu ke kanan. Mudah ditebak.
Tapi apakah benar bisa begitu? Apakah dengan bersatunya partai-
partai Islam ke salah satu pasangan calon akan mampu menggiring
umat Islam? Inilah pertanyaan-pertanyaan mendasar yang akan
terjawab usai perhitungan suara nanti.
Menurut Azyurmardi Azra dalam Islam dan Pilpres 2014
di kolom Resonansi Republika, (Kamis, 5/5), penggunaan Islam

157
pada politik Pilpres mengisyaratkan tetap masih kuatnya faktor
Islam (Islamic card) dalam proses politik demokrasi Indonesia.
Secara demografis, pemeluk Islam yang mencapai 88,7 persen
dari penduduk Indonesia sekitar 240 juta merupakan blok besar
kekuatan pemilih yang sangat menentukan untuk memenangkan
pertarungan.
Lalu apakah linear antara nalar politik umat dengan jalan
politik yang diambil elit partai Islam? Fachrul Rasyid mencoba
menjelaskan melalui tulisan, Kenapa Partai Islam ke Prabowo?
(Komentar, Singgalang, (3/6). Empat alasan yang dikemukakan
bisa jadi amat kuat dalam meraup 22,35 persen, suara Pileg partai
Islam yang bergabung itu. Tetapi ini masih di atas kertas yang
begitu mudah dikoyak dinamika politik. Hal serupa juga berlaku
dengan satu partai berbasis Islam yang bergabung di pasangan
Capres-Cawapres satu lagi.

Jalan Utama
Harapan awal sebagai jalan utama adalah partai Islam dapat
bersatu, melenggang dengan baik mengusung satu pasang Capres-
Cawapres. Alangkah dahsyatnya jika itu terjadi, karena 31, 39
persen suara Pileg merupakan modal utama.
“Tapi apa hendak dikata. Masing-masing partai berkeinginan
memajukan capres dan cawapres sendiri, suatu hal yang sulit
mendapatkan dukungan bersama,” begitu tulis Fachrul Rasyid.
Pernyataan inilah membuat keraguan terhadap kekuatan politik
partai Islam kian tajam. Jangankan menyatukan beberapa partai Islam,
secara intern partai saja, sering kali terjadi perpecahan menjadi faksi-
faksi. Sebut saja, partai Islam yang mana tidak mengalami pergesekan
di dalamnya? Galibnya politik kekuasaan, lawan kawan memanglah
tiada yang abadi. Sejarah juga telah menuliskan itu.

158
Dan kenyataan politik hari ini bisa ditebak, basis ideologi
pada dasarnya sudah menjadi kabur ketika dihadapkan pada
kepentingan sesaat. Elit politik berpacu dengan waktu, membaca
arah angin. Partai-partai Islam laksana kapal-kapal sarat
penumpang di tengah gelombang besar bernama lautan kenyataan
politik. Kapal yang memang sedari berangkat sudah bocor, juga
dibocorkan dalam perjalanan, kompas rusak pula, maka yang
dihadapkan sudah jelas, karam dan tenggelamlah akibatnya.
Maka penumpang kapal bersiap-siap mencari sekoci. Mana
yang cerdik bisa mendapat pertolongan masuk ke kapal baru, mana
yang tidak akan berenang sendiri dan seperti buih terapung-apung
di tengah lautan.

Tenggelamnya Partai Islam


Agak berlebihan memang, bila nasib partai-partai Islam ini
disamakan dengan judul Novel karya Buya Hamka yang sangat
terkenal, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1938). Tetapi
kenyataannya nyaris saja sama. Politik praktis, sering kali tidak
mampu mempertemukan elit politik Islam dalam satu perahu,
sekalipun satu ideologi. Karena, sejarah membuktikan, satu
ideologi juga mengalami banyak sekte pula. Hal inilah membuat
berbeda sikap, tindakan, juga jalan yang ditempuh. Apalagi bila
kita bersetuju dengan pernyataan; pada saat ini, ideologi telah mati!
Akhirnya, koalisi terjadi tidak bisa mempertemukan
secara utuh partai Islam. Sungguhpun bertemu, tetapi datang
tidak serempak ke partai nasionalis. Ini agak sulit dianggap sikap
ideologis. Kita bisa menebak ada alasan pragmatis. Toh, harus
diakui, mengerucutnya dua pasang calon dalam Pilpres 2014 ini,
sama-sama beraliran nasionalis. Sekalipun ada kedekatan ideologis
ke Islam, tentu setelah memilahnya dengan rumit.

159
Potret politik partai Islam 2014 ini seperti ingin
membenarkan pernyataan, Cendikiawan Islam Nurcholis Madjid
beberapa dekade silam; Islam Yes, Partai Islam No! Pernyataan
yang mencengangkan publik di tengah situasi politik waktu itu.
Nurcholis sudah menyadari, mengusung agama dalam kancah
politik praktis di tengah kebersamaan membangun nasionalisme,
tidak realistis. Karenanya, Cak Nur, demikian ia disapa, lebih
memilih jalan dakwah kultural.
Faktanya kini, memang partai berbasis agama Islam tidak
begitu signifikan meraih suara. Cenderung merata dan bertahan
di basis pemilih yang kian mengecil. Ini diduga minimnya
pengkaderan dan hanya mengandalkan romantisme sejarah dari
pecahan dan fusi partai pasca 1955.
Begitulah, ketika harapan umat yang ditumpangkan kepada
segelintir elit partai berbasis agama, sementara pencapaian
kinerja partai tidak bisa banyak diharapkan. Ibarat kapal, inilah
kapal dengan teknologi makin ketinggalan zaman. Tidak pernah
diperbaharui agar bisa dinamis menghadapi gelombang. Akibatnya
begitu mudah terombang-ambing. Alih-alih memperjuangkan
umat, partai hanyalah menjadi perahu penyelamat segelintir elit.
Nakhodanya sering lupa dengan penumpang kapal. Keributan di
dalam kapal sering terjadi. Inilah persoalan intern yang dilengkapi
dengan minimnya pengkaderan, sering terjadi pengembosan
dari dalam, membuat betapa mudahnya elit-elit partai pecah dan
terpecah.
Apalagi melihat faktor ekstern, godaan kekuasaan dan materi
sepertinya telah meruntuhkan perjuangan ideologi. Lebih-lebih
sikap pragmatisme kian menipiskan iman. Godaan itu nyatanya
membuat lupa diri, lupa tujuan dan lupa Tuhan.

160
Buih di Laut
Begitulah, membicarakan umat Islam dan politik partai Islam
menjadi jalan tengah dalam gemuruh godaan politik kekuasaan
dan materialisme. Hanya berkutat dengan aroma sektarian. Dan
lebih menyakitkan, bila dilihat secara jernih, kesadaran kolektif
umat sering bersimpang jalan dengan elit partai Islam. Antar elit
politik saja tidak bisa bersatu, bagaimana mungkin bisa menaungi
umat secara utuh.
Soal ini, Nabi Muhammad SAW beberapa abad silam telah
mengingatkan; “Setelah aku wafat, setelah lama aku tinggalkan,
umat Islam akan lemah. Pada masa itu, mereka lebih ramai tetapi
tidak berguna, tidak berarti dan tidak menakutkan musuh. Mereka
adalah ibarat buih di laut.” (Hadits)
Tentu saja konteks dan teks bisa ditafsirkan dalam beragam
makna baru dengan dalil-dalil lainnya. Namun secara umum,
inilah peringatan yang tak boleh dilupakan dan diabaikan. Ia
memiliki maksud terbaik; agar umat bersatu dalam satu barisan
yang selalu kuat. Jangan sampai lemah dan dilemahkan.
Pilpres kali ini adalah pulau harapan tempat singgah
sementara, sebelum mengarungi kembali samudera kehidupan.
Tempat melahirkan nakhoda negara bangsa yang kita sepakati
untuk berlayar lagi. Alangkah arif bijaksana mendengar adigium
satu ini, kita bisa tidak bisa mengubah arah angin, tapi bisa
mengubah layar. Semoga elit politik Islam tidak membiarkan umat
seperti buih di lautan. Amin. []

161
Menyandar Harapan
Kepada Partai Politik

Apapun analisis politik yang muncul hingga hari ini,


akhirnya hulu dari suksesi kepemimpinan daerah tetap berada di
tangan partai politik. Tanda tangan ketua partai yang menentukan,
siapa yang bisa menjadi calon untuk diantar ke Komisi Pemilihan
Umum (KPU) Daerah.
Keputusan itulah yang dinanti-nantikan hingga kini belum
terjadi, baik di tingkat kabupaten, kota dan provinsi. Ada tangan-
tangan kekuasaan yang mengatur hal itu, terasa tapi tak tampak.
Tangan-tangan itulah yang akhirnya nanti menentukan, siapa
dipartai mana, berkoalisi dengan partai mana, berpasangan dengan
siapa untuk maju menjadi calon kepala daerah. Kabar beredar
begitu banyak tapi belum ada yang konkrit.
Sayangnya, ketua partai di tingkat provinsi, kabupaten
dan kota hanya bisa mengusulkan kepada ketua partai di pusat.
Karenanya, hanya bakal calon yang punya daya tahan tinggi, daya
lobi tinggi, layak jual, punya ongkos politik yang berlipat-lipat,
yang bisa diterima partai sebagai calon. Atau bahasa lain, mereka

163
yang punya daya ambisi tinggi untuk mengabdilah yang bisa
mendapatkan tiket mahal itu.
Gonjang-ganjing di tingkat lokal boleh saja terjadi, tetapi
negoisasi takkan pernah putus di daerah. Semuanya harus
menghadap ke ketua partai. Ya, ketua partai. Mekanisme yang
masih, mau tak mau disebut, membutuhkan seseorang yang
menentukan. Seseorang, yang kalau tidak hati-hati, jika tidak
memiliki kemampuan pendengaran di atas rata-rata atas aspirasi
publik, akan memberikan mandat kepada calon yang jauh dari
harapan publik.
Ada pun alasan, hasil survei, hasil pengamatan mendalam,
hasil ini dan itu, semuanya bisa dicari rasionalisasinya. Persoalannya
justru bukan di situ, tetapi pada harapan publik yang sering kali
tidak sejalan dengan harapan partai. Harapan publik tentunya,
mendapatkan pemimpin yang bijak bestari membawa arah
pembangunan yang terasa hingga ke akar rumput, peningkatan
ekonomi masyarakat benar-benar terasa, tidak sekadar angka-
angka absurd keberhasilan yang kalau diuji di lapangan justru jauh
panggang dari api.
Perbedaannya sangat jelas, satu sisi partai mempertimbangkan
kemenangan pertarungan atas politik kekuasaan, sementara publik
mengharapkan pemimpin yang mampu menerobos seluruh sekat
pembangunan yang cepat, tepat, jauh dari kemandegan.
Hasilnya, boleh jadi akan mendapatkan calon yang diusung
partai akan sama dengan harapan publik. Tetapi sering terjadi
pasang paksa dengan rasionalisasi politik yang dicari-cari membuat
publik nantinya tak bisa banyak berharap. Karena pasangan ideal
itu hadir atas persepsi partai politik dengan membuat rekayasa
politik secara sepihak untuk diterima publik.

164
Yudi Latif menyebutkan, kini yang berkembang adalah
demokrasi prosedural bukan demokrasi substansial. Demokrasi
prosedural, lebih banyak berada di wilayah hal-hal prosedur dan
menjauhkan substansi. Sementara, demokrasi substansi itu sudah
lama, meminjam istilah Buya Syafi’i Maarif, menjadi piatu. Atau
lebih tepatnya, yang substansi hanyalah semacam packaging saja.
Sistem politik praktis yang kian menjauhkan akal sehat
serupa ini tidak bisa dielak, karena memang mekanisme ini
dibangun oleh kehendak di lembaga politik.

Membaca Analisa
Membaca analisa Asrinaldi, IP-NA vs Mulyadi-FB
Mungkinkah? Rabu (8/7), di Singgalang, sangat terasa aroma
pertarungan sudah kian dekat. Jika saja analisa ini terjadi, maka
benarlah ada tangan-tangan kekuasaan yang lebih besar ikut ambil
bagian untuk menanamkan cakar-cakar kekuasaannya di daerah.
Pesta suksesi kepemimpinan daerah, 9 Desember 2015 secara
serempak nantinya akan mengulangi kisah dua arus besar Pilpres,
KMP-KIH.
Sungguhpun terjadi perubahan pola, namun semua ini tiada
lain adalah arah kemauan partai lebih segera terbaca yang kian jauh
dari harapan publik atau paling tidak harapan aktivis civil society.
Harapan pesta Pilkada bisa terpenuhinya kuota pasangan calon
dari ketersediaan kursi dan persyaratan lainnya, harus dipinggirkan
dulu. Mengacu peta kekuatan partai yang mengerucut, seperti yang
dipaparkan Asrinaldi, maka pemilihan ini sepertinya sudah selesai
sebelum pesta dimulai. Itu ke itu saja.
Demokrasi yang berkembang ini, kian memperlihatkan
perjuangan kesejahteraan ekonomi, kemakmuran daerah,

165
kehidupan yang berkeadilan, hanyalah dongeng menjelang terpilih
saja. Karena susunan konspirasi yang terjadi dari hari ke hari tiada
lain, bidang bagi kekuasaan makin memperlihatkan batas-batas
kelompok-kelompok elit kekuasaan.
Pada dasarnya, ini semua sudah terjadi sejak lama. Namun
kini, pergesekan dan domainnya sudah melebar dalam banyak hal.
Mengikis akal sehat dan menjauhkan rakyat dari harapan-harapan
agar berkehidupan lebih baik. Dampaknya bisa ditebak, kian jauh
rasa percaya publik atas perilaku politik praktis. Sesungguhnya, ini
berbahaya bagi masa depan demokrasi.
Bayangkan, kita menyerahkan semua keadaan ini dengan
sekelompok kekuatan yang memainkan peran melalui kecanggihan
lobi dan kapitalisasi politik yang kian mahal. Mesin industri politik
yang mengitari secara sistemik ini tidak hanya terus melukai rasa
keadilan publik tetapi juga akan makin terbiasanya laku politik
tingkat tinggi menutup akses dan kesempatan bagi mereka yang
sebenarnya memiliki kans menjadi pemimpin.
Pada titik ini, konteks demokrasi yang ideal diidam-idamkan
selama ini makin terasa tinggi untuk dijangkau. Hanya dapat
menikmati bayang-bayang yang tak dapat diraba sama sekali.
Sistem rekrut kepemimpinan di tingkat partai serupa sekarang ini,
ditambah lagi dengan keadaan ekonomi masyarakat yang kian sulit,
tentunya memiliki dampak tersendiri terhadap kualitas demokrasi
yang diagung-agungkan ini. Salah satu yang sangat tampak
nantinya, tingkat apatisme dan keengganan partisipasi dari publik,
sangat menguntungkan satu pihak tertentu dan melemahkan
legitimasi politik. Ujung semua ini tentulah harga demokrasi yang
mahal ini, hanyalah pekerjaan sia-sia.
Namun dengan apa semua ini bisa dikoreksi? Bagaimana
sistem ini bisa membaik dan bisa diuji lebih tajam? Kita menunggu

166
sebuah kemungkinan, lahirnya keinginan bersama untuk
memperbaiki setiap kelemahan baik di tingkat partai maupun pada
peraturan. Sayangnya, peraturan ini juga produk dari partai politik.
Ujung pertanyaannya, siapa yang kini berada di partai-partai itu?
Tak perlu diteruskan, apalagi jika membayangkan tokoh-tokoh
hebat serupa Soekarno, Hatta, Natsir, Sjahrir, dll.
Sungguh, kepada mereka kita menyandarkan harapan, tak
ubah menyandar badan ke pohon yang tak lagi rindang. Inilah
fase demokrasi sedang di jalan terjal berliku menemukan sistem
sejatinya yang dicita-citakan. []

167
Satu dari Mereka
Akan Jadi Pemimpin Kita

Satu dari dua pasangan capres-cawapres akan menjadi


pemimpin kita, lalu kenapa kita saling menghujat karena keduanya?
Kenapa kita mesti menebar kebencian untuk sebuah kemenangan?
Bukankah kemenangan dengan cara begitu tidak bermartabat? Atau
jangan-jangan menghujat bagian dari strategi pula?
Sepertinya, tak ada yang dapat menghentikan black campaign
ini hingga hari pencoblosan, 9 Juli 2014 nanti. Himbauan Bawaslu,
KPU hingga Presiden, dianggap angin lalu saja. Fitnah menyebar di
media sosial dan online. Berseliweran tiada henti. Sudah kabur batas
antara benar dan salah.
Begitukah kebebasan? Begitukah demokrasi? Begitukah
ada adat ketimuran? Entah. Semua seperti telah lebur dalam debu
pertempuran. Dua seteru politik membelah apa saja. Komunitas,
organisasi, profesi, adat, agama, suku, budaya, membelah diri
memilih di antara dua.

169
Kita berharap pada media massa, yang mengedepankan
independensi. Satu dua memang masih ada, tetapi lagi-lagi media
massa juga terbelah dua. Pro kanan dan pro kiri. Ketua KPU Pusat,
Husni Kamil Manik dalam pidato Pemilu Berintegritas mengingatkan
agar aparat pelaksana tetap netral, jangan-jangan juga telah berbelah
bagi pula.
Kecurigaan seperti ini amatlah lumrah, mengingat realitas
politik hanya menghadirkan dua pasang calon. Jika tidak ke kiri, ya
ke kanan. Pada sisi lain, ada yang tak memilih sikap apapun karena
memang apatisme terhadap politik sudah lama ada. Sejak politik
dianggap kotor dan kejam. Pada kenyataannya, di media sosial dan
online memang begitulah adanya. Entah berapa pula yang berdiam
di antara dua (manzila manzilatain).
Menurut pakar politik, negatif campaign itu lumrah.
Menyerang titik lemah lawan di seberang dengan fakta yang
dapat dipertanggungjawabkan. Tetapi yang terjadi lebih banyak
black campaign, menebar fitnah, bukan fakta. Kalaupun fakta, ia
dibuat-buat. Seakan-akan nyata adanya. Penyebar fitnah bukan
tim sukses yang resmi. Tetapi dari sumber yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Sayangnya, tim pendukung, relawan,
menggunakan itu sebagai bahan untuk mempergunjingkan lawan di
seberang.

Literasi Media
Kini saatnya perlu aksi literasi media kepada khalayak.
Pengetahuan yang cukup cara menerima informasi secara benar,
mengenal saluran informasi secara baik, verifikasi informasi dan
semua hal menyangkut media. Media massa maupun media sosial.

170
Kecerdasan memahami media sebagai saluran yang
menyampaikan pesan sangat penting diberikan kepada khalayak.
Saluran yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, sekalipun ada
kebenaran yang disampaikan, patutlah dicurigai. Inilah yang
dipakai para muhaditsin dalam menverifikasi hadist. Melihat lebih
terang kepada siapa yang menyampaikan kembali hadits dari nabi
Muhammad SAW. layakkah seseorang itu meriwayat hadits? Ilmu
ini disebut, Jarah waat Ta’dil, Sementara dalam ilmu komunikasi,
disebutkan man behind the gun! Pesan sangat ditentukan siapa yang
menyampaikannya.
Pesan disalurkan melalui media seumpama peluru yang bisa
mematikan akal sehat, jika berada di tangan orang-orang yang
tidak mementingkan perdamaian, kemakmuran dan kesejahteraan.
Bahkan bisa membunuh. Karena informasi bisa saja lahir menjadi
fitnah bagi yang lain, bukankah fitnah lebih kejam dari pembunuhan?
Para ahli ilmu komunikasi massa menyebutkan, media massa
melancarkan informasi sebagai peluru untuk menembak pesan
kepada khalayak dengan harapan dapat membuat kesamaan persepsi
(common). Inilah yang dimaksud dalam dalam Bullet Theory, yang
disusul dengan Hypodermic Needle Theory. Keduanya memberikan
pemahaman, massa dalam posisi menerima tanpa merasa sakit.
Seperti jarum hipodermik, masuk ke tubuh tanpa disadari. Di
situlah kekuatan informasi, menyuntik, menembak, pesan yang
diinginkan ke “tubuh kehidupan” kita melalui media massa. Tanpa
disadari pula, memengaruhi pandangan, sikap, tindakan, yang tak
pernah kuasa dielakkan. Agar kita tidak bisa seenaknya dipengaruhi,
literasi media sangat dibutuhkan. Semacam kekebalan (imun) untuk
diserang dan kritis menerima setiap informasi yang datang.

171
Berhentilah Saling Hujat
Di tengah situasi politik yang kian melukai akal sehat,
hendaknya tim sukses yang resmi mengedepankan seluruh daya
jual pasangan calon masing-masing. Lalu meredam seluruh emosi
dan mengklarifikasi seluruh black campaign yang telah membanjiri
linimasa. Tidak ada yang lebih ampuh mempengaruhi orang lain,
selain mendekatkan mata hati. Saling hujat tidak memperlihatkan
citra politik yang bermartabat.
Taklid politik, fanatisme, memang menjadi kenyataan bagi
sebagian kita. Namun melancarkan sesuatu yang tidak memiliki
argumentasi, hanya mengandalkan emosi dan kekuatan urat leher
saja, tidak akan mampu mempengaruhi hati. Sesuatu akan sampai
ke hati, bila dimulai dari hati.
Ia hanya akan menghasilkan kekecewaan serupa bumerang.
Membalik. Alangkah arifnya, menang tanpa hasil dari menghujat.
Meminjam istilah Kepala Cabang Dompet Dhuafa Singgalang,
Musfi Yendra, dalam broadcast blackberry-nya, kita harus merawat
Indonesia. Indonesia bermartabat tanpa menghujat.
Semoga kita makin jernih berpikir hingga bisa memilih calon
pemimpin kita dengan ketetapan dan kemantapan hati yang paling
dalam. Guru Besar Hukum Islam, Prof. Dr. H. Makmu Syarif, SH,
M.Ag, menyarakan, jika hendak menjatuhkan pilihan, hendaklah
berdoa dan shalat istikharah pada malamnya.
Ingat, satu dari dua pasangan capres-cawapres nanti adalah
pemimpin kita. Tetaplah pelihara akal sehat. Kalah menang sudah
ada di Lauhil Mahfuz, tempat takdir dituliskan! []

172
Sinyal Komunikasi Politik
untuk Sumbar Satu

Perdebatan pemilihan langsung atau tidak langsung kepala


daerah masih berlangsung sengit. Beberapa hari ke depan kita akan
mendapat kabar, mana yang akan ditetapkan. Kita tunggu saja.
Jika terjadi pemilihan langsung, maka kemeriahan demokrasi
akan kembali terasa di tengah-tengah masyarakat secara langsung.
Baliho dan perhelatan kampanye merebut hati rakyat akan terasa
di setiap sudut daerah kota, kabupaten, nagari hingga ke jorong.
Bisnis survei, digital printing, kembali prospek.
Sedangkan jika terjadi pemilihan tidak langsung, konsentrasi
kemeriahan politik ada di lembaga legislatif. Maka partai akan
“bagadang ati” menentukan siapa pemimpin daerah. Tak perlu
amat survei, juga baliho, tanya saja langsung 45 - 60 orang wakil
rakyat yang terpilih itu. Hitung jumlah anggota fraksi, hitung
jumlah koalisi. Selesai.
Walaupun dalam pemilihan langsung tetap melalui partai
politik, namun pemilihan langsung DPRD yang memilih, tentu
saja anggota legislatif dari partai-partai itu akan memainkan

173
peran pemilihan yang luar biasa. Kita pernah menikmati proses
politik seperti itu. Bisa kita bayangkan kembali, satu orang wakil
saja yang abstain, bisa memenangkan pasangan calon. Beda satu
suara, sudah menentukan nasib seseorang, terpilih atau tidak jadi
gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan
wakil wali kota.
Pada dasarnya, cerita politik di daerah-daerah masih
memiliki hubung kait dengan peristiwa Pilpres. Pasca Pilpres,
harusnya kita move on, tetapi harus kembali mengitari peristiwa
politik kekuasaan yang kadang-kadang mencemaskan. Dua kutub
yang selalu beradu mengedepankan politik kepentingan partai
membuat masa depan demokrasi kita makin berdebu saja.

Tontonan Politik
Terlepas dari persoalan langsung atau tidak langsung dipilih
oleh rakyat, seiring akan berakhirnya periode kepemimpinan
Gubernur Sumbar, sinyal menuju Pemilihan Gubernur sudah mulai
terasa. Kesiapan dan pemanasan diam-diam sudah dilakukan. Lobi
politik sudah berlangsung dan kian intens. Kita akan menikmati
peristiwa politik yang kian menarik.
Tentu saja pengaruh keputusan pemilihan langsung oleh
rakyat atau dipilih oleh wakil rakyat sangat besar dalam peta politik
di daerah-daerah. Namun untuk soal figur yang tampil, tentulah
tidak akan jauh-jauh. Mereka yang sudah berminat dan secara
implisit telah muncul ke permukaan akan bisa dibaca dan juga
telah menyiapkan diri, atas dua pilihan tersebut. Sebab, merujuk
hasil dari perolehan kursi di DPRD provinsi, kota, kabupaten,
kemungkinan yang akan terjadi tidaklah jauh dari koalisi satu
dua partai. Jika memang pemilihan melalui wakil rakyat di DPRD,

174
maka koalisi sewaktu Pilpres juga masih bisa berjalan. Kondisi
terakhir memperlihatkan kristalisasi peta politik kian kuat hanya
menjadi dua kutub.

Sumbar Satu
Membaca tulisan Isa Kurniawan, Menakar Pilkada Sumbar
2015 dan Darman Moenir, Gubernur Mendatang, di kolom ini
seputar suksesi Pilgub, dapat diperkirakan kemeriahan politik
sebentar lagi akan sangat menarik, serupa Pilpres yang baru saja
berlalu. Memang peluang besar masih berada di tangan petahana,
Irwan Prayitno. Disusul momenum yang bisa diraih Muslim
Kasim. Tetapi bukan tidak mungkin jika terjadi keajaiban sebab
politik tidaklah selalu bisa diprediksi matematis.
Bisa kita lihat. Ada Shadiq Passadique, bupati Tanahdatar
yang berkibar setelah hasil survei sempat menempatkannya
salah seorang yang diunggulkan. Shadiq punya kesempatan bila
ia memiliki perahu untuk ikut dalam Pilgub nanti. Apalagi jika
bertemu dengan pasangan, mungkin itu para bupati yang lain
maupun berpasangan dengan petahana.
Hal ini bisa juga terjadi dengan Syamsu Rahim, bupati
Kabupaten Solok, Baharuddin R, bupati Pasaman Barat, Alis
Marajo, bupati 50 Kota, juga Nasrul Abit, Bupati Pesisir Selatan.
Mereka punya kesempatan yang sama, juga kekuatan yang harus
diperhitungkan dengan seksama. Tak bisa ditiadakan. Selain
memiliki prestasi kepemimpinan di daerah masing-masing,
mereka memiliki telah memiliki modal suara daerah, walau belum
tentu menentukan dalam kontek Pilgub. Waktu dan persepsi
sudah berbeda. Namun demikian, mereka sangat mengerti, maju
ke gelanggang level Sumbar Satu, tentulah punya kesiapan yang
matang.

175
Sementara itu, Bupati Kabupaten Agam, Indra Chatri, masih
punya peluang satu periode lagi di Agam. Namun bukan tidak
mungkin akan mengambil bagian jika memiliki jalan untuk ikut.
Sekali lagi, momenum sangat menentukan.
Di luar itu, ada tokoh muda yang mencuat mengirim sinyal
menuju Sumbar Satu. Mereka adalah, Marzul Veri, mantan anggota
dan ketua Komisioner Pemilihan Umum (KPU) Sumbar. Ketua
Persatuan Pergerakan Indonesia (PPI) Sumbar sempat menjadi
Ketua Relawan Tuah Sakato Sumbar, yang mendukung pasangan
Jokowi – JK dalam Pilpres lalu.
Nama lain yang muncul, Rommi Adam, mantan calon DPD
RI daerah pemilihan DKI Jakarta. Ia mengirim sinyal melalui
beberapa baliho ucapan selamat Idul Fitri di setiap kota kabupaten.
Beberapa waktu lalu, anggota DPR RI, Taslim juga mencuat
didukung beberapa elemen masyarakat. Kader PAN ini kini
menjadi ketua Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Unand Jabodetabek.
Satu nama lagi, yang tak boleh luput, Hendra Irwan Rahim,
ketua DPD Golkar Sumbar, yang kini juga duduk di DPRD Sumbar.
Sinyal politik melalui baliho yang terpasang di sudut kota dan
kabupaten dapat dibaca sebagai pemanasan menuju gelanggang.
Sinyal ini bisa didasari pula pada peta kekuatan masing-
masing nama di atas. Bila dirujuk pada peta suara dalam pemilihan
langsung, bisa berlaku kepentingan primordialisme. Sedangkan
bila dirujuk kepada suara partai maka akan dihembus semangat
ideologis. Di atas semua itu, faktor figur, partai, pengalaman, juga
kekuatan finansial, sangat berlaku. Finansial dalam arti ongkos
politik yang harus disiapkan. Ini berlaku baik pemilihan langsung
oleh rakyat, maupun oleh wakil rakyat.
Sinyal penting perlu dibaca, jika pelaksanaan pemilihan
tetap secara langsung, yang terjadi adalah, faktor petahana

176
sangat menentukan karena keterkaitan dengan popularitas dan
elektabilitas. Lumrah, jika makin banyak pasangan calon yang
lolos mengikuti pemilihan, maka petahana bisa jadi melenggang
duduk kembali.
Secara normatif, tentulah memiliki harapan besar, setiap
suksesi dapat menghasilkan pemimpin yang mampu memimpin,
menjalani amanat, menuntaskan janji kampanye dan membawa
masyarakat lebih baik, kesejahteraan dan kemakmuran seperti
yang diamanatkan undang-undang. Berkaca kepada yang sudah-
sudah, seorang kepala daerah yang memiliki prestasi fenomenal
akan dipilih kembali, dibanggakan dan dielu-elu sepanjang masa.
Kini, adakah dari nama-nama di atas tadi seperti itu? Waktu yang
akan menjawabnya. Salam. []

177
Naik Kelas
ke Sumbar Satu

Presiden RI terpilih Joko Widodo berangkat dari Kota Solo


sebagai wali kota yang fenomenal, lalu terpilih menjadi gubernur
DKI Jakarta. Pengusaha meubel itu akhirnya menjadi presiden
Republik Indonesia, sebelum merampungkan kepemimpinannya,
di tempat sebelumnya.
Terlepas dari setuju atau tidak, bagaimana bisa Joko Widodo
terpilih, patutlah diapresiasi jenjang kepemimpinan yang dilaluinya
itu. Sebab, menjadi pemimpin melalui pemilihan langsung oleh
rakyat, selain banyak faktor pendukung, akhirnya memang prestasi
fenomenal dan dicatat sejarahlah yang bisa membuat ia dapat
diusung dan dipilih kembali.
Jauh sebelum Joko Widodo, kita di Sumbar, sudah melalui
dan menikmati secara seksama, ada pemimpin idola yang melesat
sejak dari bawah. Misalnya, Pamong Senior, Aristo Munandar,
sejak dari Lurah, hingga menjadi Bupati, lalu sempat menjadi
calon wakil gubernur. Sayangnya tak terpilih.

179
Lihat pula karier Gamawan Fauzi, pegawai kantor Gubernur,
dengan jabatan terakhir sebelum ia tinggalkan sebagai Kabag
Humas. Ia terpilih menjadi Bupati Kabupaten Solok. Namanya
harum dalam bidang good governance and good govermance, ia
terpilih menjadi gubernur Sumbar. Lalu kini menjadi Mendagri,
yang sebentar lagi akan selesai pula.
Melihat karier jabatan dan politik seseorang, kita bisa
bertanya, kenapa bisa begitu? Jawaban sementaranya tiada lain,
ada prestasi yang patut diapresiasi dan kemampuan yang terbukti.
Mengharapkan jenjang karier seseorang bisa menanjak
seperti itu, kita sepertinya berpikir terlalu struktural. Bisa saja,
orang berasal dari mana saja, yang penting ada kemauan dan
kemampuan. Silahkan maju dan hadir di gelanggang. Ya juga, tetapi
akhirnya, kita harus melihat track record kepemimpinan seseorang,
kenyataan politik dan juga jalan takdir.

Suksesi Sumbar
Menelisik suksesi Sumbar yang sebentar lagi dihelat, kita
perlu melihat bagaimana sebenarnya peta yang akan terjadi. Apakah
ada kesempatan para bupati wali kota se-Sumbar menjadi gubernur
Sumbar? Tentu saja bisa, terbuka dan memiliki kesempatan yang
sama. Sungguhpun akhirnya, kita tak bisa mengelak keberadaan
petahana, yang kini dipegang Irwan Prayitno (IP). Juga Wakil
Gubernur Muslim Kasim, yang sebelumnya dua periode menjadi
Bupati Kabupaten Padangpariaman.
Kuat dugaan, keduanya akan mencari pasangan baru setelah
lima tahun berjalan bersama. Sedikit sekali kemungkinan bisa
menjadi pasangan calon untuk periode kedua mereka. Pengalaman
menunjukkan, pasangan calon kepala daerah yang sudah

180
mengakhiri dan kembali mendapat kesempatan untuk periode
kedua, amat jarang bisa kembali.
Kemungkinan kecil, seperti Gamawan Fauzi, gubernur
Sumbar kali ini ditarik menjadi menteri. Karena hasil Pilpres
menunjukkan, partai pengusung tidak berada dalam barisan
pendukung pemenang Pilpres. Namun itu bisa saja terjadi,
mengingat beberapa periode gubernur Sumbar selalu ditarik jadi
menteri.

Tokoh Muda
Di luar dua petahana ini, nama-nama muncul dari elit
daerah, baik tokoh tua maupun muda. Ada tokoh muda Kader
PAN, Taslim Chaniago (TC). Anggota DPR RI periode 2009-2014
ini, disebut beberapa elemen masyarakat untuk diusung menjadi
gubernur Sumbar. Putra Agam ini, pernah duduk di DPRD Sumbar,
juga aktivis muda Muhammadiyah.
Nama lain, ada Marzul Veri, mantan Ketua Komisi Pemilihan
Umum (KPU) Sumbar. Dua kali periode di KPU, ia sempat menjadi
Relawan Tuah Sakato Sumbar, pendukung pasangan capres Jokowi-
JK.
Selain itu, ada Romi Adam. Mantan calon DPD RI, daerah
pemilihan DKI Jakarta. Romi tampaknya mencoba peruntungan di
kampung halaman, mumpung masih muda. Jalan politiknya sudah
mulai tampak melalui baliho, ia telah menyapa publik di seluruh
kota kabupaten di Sumbar.
Di luar tokoh muda itulah, kita bisa membicarakan wali kota
dan bupati se-Sumbar. Bisa jadi, menjadi pasangan antar bupati,
antar wali kota, antar bupati-wali kota, atau dua petahanan di atas
menggaet salah satu wali kota maupun bupati. Semua bisa terjadi,

181
yang paling penting, ada yang naik kelas, dari wali kota atau dari
bupati menjadi gubernur atau wakil gubernur. Siapa di antara
mereka yang beruntung? Kita lihat nanti.
Beberapa waktu lalu, nama Shadiq Pasadique mencuat
dibicarakan sebagai calon kuat yang akan berhadapan dengan
petahana, Irwan Prayitno. Ini terjadi setelah salah lembaga survei
menyebut bupati Tanahdatar itu menempati urutan tertinggi
sebagai harapan para tokoh masyarakat untuk menjadi Sumbar
Satu.
Selain Shadiq, ada kepala daerah yang memang sudah
dua periode yang tidak mungkin lagi mencalonkan kembali di
daerahnya. Kecuali memilih menjadi wakil, itu bisa pula terjadi.
Setelah menjadi bupati, menjadi wakil bupati, apa salahnya.
Mereka yang memasuki dua periode dan memungkinkan
naik kelas menuju Sumbar Satu itu, selain nama-nama di atas tadi,
ada deretan nama seperti, Bupati Kabupaten 50 Kota, Alis Marajo.
Namun belum ada sinyal yang dikirimkan ke publik. Begitu juga
dengan Bupati Pesisir Selatan, Nasrul Abit yang sudah dua periode.
Bupati Pasaman Barat, Baharuddin R, juga belum memperlihatkan
diri, kemanakah setelah tak lagi menjadi bupati daerah pemekaran
Pasaman itu. Kita berharap ia segera memperlihatkan untuk naik
kelas, maju ke gelanggang lebih tinggi, suksesi pemilihan Sumbar
Satu.
Kalaupun tidak sudah dua periode tetapi memiliki selera
untuk naik kelas, sepertinya peluang itu juga terbuka. Tentu
saja dengan mengukur bayang-bayang, dalam arti kekuatan,
kemampuan dan kesempatan. Misalnya, Bupati Agam Indra Chatri,
ia memiliki kans untuk ikut. Lagi-lagi kita belum melihatnya,
begitu pula bupati Padangpariaman, wali kota Pariaman.

182
Tidaklah terlalu dini untuk mendorong para politisi sukses
di daerah masing-masing untuk mulai membaca arah angin peta
Pilgub Sumbar. Sembari menunggu, apakah pemilihan langsung
oleh rakyat ataukah pemilihan melalui wakil rakyat di DPRD.
Sudah waktunya bersiap-siap untuk menata jalan, agar bisa naik
kelas. []

183
Putus Asa
dengan Negara

“Kami sudah tak tahan lagi,” tulis Wakil Ketua DPRD


Riau, Noviwaldy Jusman di akun media sosialnya. Ia mohon izin
kepada ketua umum partainya, untuk ikut mendeklarasikan keluar
dari NKRI. Inilah pernyataan paling frustasi selain pernyatan-
pernyataan keras dan sarkas pada akun-akun publik lainnya, ketika
asap tak kunjung pergi dalam tiga bulan terakhir.
Hampir mirip dengan pernyataan sastrawan NH Dini,
sepuluh tahun lalu. “Saya putus asa dengan Indonesia,” kata NH
Dini, seperti dikutip Buya Syafii Maarif. “Inilah pernyataan jernih
dan jujur seorang sastrawan,” sambung Buya. Tentunya hampir
senada dengan puisi Taufik Ismail, Malu Aku Jadi Orang Indonesia!
Pernyataan Noviwaldy Jusman dan NH Dini nyaris mirip
karena berakar dari rasa yang sama. Tentulah sama pula dengan
amarah publik yang sudah sampai ke ubun-ubun. Banyak foto selfie
dengan beragam ungkapan pada kertas yang dipegang, semuanya
dapat disimpulkan dalam satu kata; Kecewa!

185
Sayangnya, ada kekecewaan dan amarah dilontarkan secara
berlebihan. Sudah melompat garis demarkasi moral dan etika.
Bersiliweran setiap saat, dari yang paling menyedihkan hingga
yang paling lucu. Ada. Apakah menyelesaikan persoalan? Tidak,
asap tak hilang dengan sekadar amarah. Asap kian tebal pula
kiranya. Aliran listrik juga begitu, walau terus naik harga per Kwh,
bukan berarti akan normal saja tiba ke rumah kita.

Otonomi Pendek Akal


Kata Buya Syafii dalam tulisan bertajuk Putus Asa dengan
Indonesia?, sejak otonomi daerah dilaksanakan, telah melahirkan
raja-raja lokal yang pendek akal. Otonomi daerah menjadi salah
kaprah, sebagai bukti sangatlah payah menjalankan amanah karena
begitu banyak godaan. Terutama materialisme.
Kasus asap satu dari sekian banyak dampak dari kekuasaan
dari raja-rajal lokal yang pendek akal. Menahun dibiarkan hingga
pekik nurani rakyat kian parau terdengar. Kini, akhirnya, ramai-
ramai marah kepada presiden, sementara pemerintah daerah kian
gagap menanggapi. “Pemerintah Lalai,” begitu headline Singgalang,
Sabtu (24/10). Pemerintah cenderung lamban.
Tanpa meniadakan usaha para anggota pasukan TNI yang
berjibaku di lapangan melawan api, hingga hari ini, kita sudah
melihat, inilah dampak di mana ketika sikap kritis dibungkam dan
tidak didengar penguasa. Penguasa tutup mata, tutup telinga dan
bersimpuh di kaki pengusaha. Ini pula dampak dari pemimpin
daerah yang membiarkan semuanya diatur oleh pengusaha,
termasuk mulut, surat menyurat, birokrasi pemerintahan yang
dipimpinnya.
Ini pula dampak dari kekeliruan dalam memilih pemimpin.
Terpilih pemimpin yang dengan mudah dan menjual murah hanya

186
karena godaan materi. Menyingkirkan suara kaum idealis, civil
society, aktivis lingkungan, seniman budayawan, karena dianggap
merongrong kekuasaan. Dianggap lawan, musuh, karena beda
partai dan dukungan sejak pemilihan!

Pilkada Serentak
Kini pun kita harus berpilkada pula, Desember nanti. Mencari
pemimpin daerah, yang diharapkan mampu membawa perubahan
hebat, besar dan mendasar dalam kehidupan masyarakat. Tidak
sekadar pemimpin yang mampu menjalankan rutinitas keuangan
dan birokrasi. Namun pemimpin yang sadar atas tugas berat harus
dilaksanakan. Menerobos dan mendobrak segala dinding birokrasi
yang kerap membodohi nurani.
Tetapi adakah partai-partai telah memberikan para
pemimpin serupa itu tampil untuk kita pilih? Mungkin saja ada,
tapi sejujurnya, dari sini juga putus asa itu berawal. Suara partai
bersimpang jalan dengan suara rakyat. Suara jernih dari rakyat
sulit dimenangkan. Kalaupun didengar, dipertimbangkan, tidak
pernah dijalankan. Akhirnya, yang tersedia, calon-calon kehendak
partai dengan beragam alasan polesan.
“Laku politisi yang sedang berkuasa di eksekutif dan legislatif
masih berselera rendah dan instans telah membawa negeri ini
menukik tajam,” ungkap salah seorang guru petani organik, Uwo
Gazali.
Begitulah, ketika tak mau belajar dari sejarah. Ketika
kemalasan mencari kearifan dari budaya bangsa tentang teori
kepemimpinan yang membawa kemakmuran dan kesejahteraan.
Teori kepemimpinan dan sistem demokrasi yang dipakai, nyatanya
diekspor dari belahan dunia lain.

187
Alih-alih lahirnya pemimpin harapan, sebaliknya yang
terjadi, berebut kuasa dengan ambisi walau tidak memiliki
kemampuan. Rebut dulu kekuasaan, setelah itu, terserah bagaimana
cara memimpin. Sekalipun pakai jurus mabuk! Ini tak hanya terjadi
di pemerintah daerah tetapi juga di level-level tertentu seperti di
partai, di ormas dan juga di kampus!

Dilarang Putus Asa


Sayangnya, agama melarang seseorang putus asa, apalagi
sampai bunuh diri. Berjuang itu mesti sampai pada titik darah
terakhir. Apalagi memperjuangkan kebenaran. Katakanlah
kebenaran itu, sekalipun pahit (qulil haq walau kan na murron).
Tegakan keadilan sungguhpun langit runtuh (fiat justitia ruat
caelum). Galibnya perjuangan, membutuhkan pengorbanan.
Maukah berkorban? Inilah yang sulit. Mau menikmati harapan
tapi tak mau berkorban. Payah.
Bisa jadi, Pilkada Serentak adalah jalan kecil menuju
perubahan. Karenanya, kita harus ke TPS. Sekalipun pilihan-
pilihan yang tersedia itu pahit! Tetaplah menjaga sikap kritis,
gunakan secara tepat dan berani. Emosi itu manusiawi tapi harus
terkendali.
Frustasi, putus asa dan kecewa adalah bahasa lain dari
kekalahan. Padahal, kita belum kalah tetapi sempat salah, keliru
memilih pemimpin dan membiarkannya berjalan sendiri tanpa
diawasi. Pilih pemimpin yang mau mendengar, diawasi juga
mau menjalankan amanat. Dan penting sekali, kesadaran untuk
bersatu melawan pemimpin yang zalim. Seperti Sajak WS. Rendra,
Bersatulah Pelacur-pelacur Jakarta!
“Kecuali sastrawan partisan, sastrawan di manapun berada di
muka bumi ini, ia pasti menyuarakan nurani rakyat paling dalam,

188
karena keadilan yang dinanti tidak kunjung datang, sementara
politisi asyik dengan retorika vulgar dan dangkal,” tulis Buya Syafii.
Emosi yang verbalistik mengandung kedalaman banalitas dan
bebalitas bukan kedalaman makna dan nilai.
Nah! Bahasa putus asa sastrawan ternyata bermakna beda
dengan bahasa frustasi seorang politisi. Salam. []

189
Ego Sektoral
Lembaga Negara

Pada musim Pilpres lalu, Jusuf Kalla (JK) pernah


menjawab pertanyaan tentang ego sektoral antar lembaga negara
maupun pemerintah. Waktu itu, sebagai contoh yang diajukan,
antara Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) dan
kementerian non pendidikan yang mengelola lembaga pendidikan
khusus seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama,
Kementerian Hankam, dan seterusnya. Persoalan pendidikan
memang domain Kemendiknas namun demikian dukungan
kementerian non pendidikan tidak bisa dipandang sebelah mata.
Sayangnya, satu dua kebijakan pendidikan nasional kadang-kadang
tidak berpihak kepada kementerian non pendidikan.
“’Kan sudah ada aturannya, dari atas ada Undang Undang
dan seterusnya ke bawah, peraturan pemerintah, peraturan
menteri dan seterusnya. Kini tinggal lagi peningkatan koordinasi
dan komunikasi antar lembaga,” kata JK di hadapan anggota
Forum Editor (Fed), di Rattan Room Harian Umum Independen
Singgalang, waktu itu.

191
Saya yang mengajukan pertanyaan dalam acara yang
dimoderatori Pemimpin Redaksi Khairul Jasmi, mencoba
memahami jawaban yang sebenarnya masih klise. Sayangnya,
pertemuan tersebut sangat singkat sehingga tidak ada kesempatan
feedback, ada banyak pertanyaan yang mesti dijawab oleh JK.
Sementara, rang sumando, harus keliling Kota Padang untuk
menemui massa pendukung.

KPK-Polri
Menyimak peristiwa yang terjadi antara KPK-Polri, jawaban
JK waktu itu kini kian terasa. Kata kuncinya, sudah ada aturan
yang mengatur sebagai mekanisme komunikasi dan koordinasi
antar lembaga.
Hal yang senada juga dikatakan Mantan Ketua KPK,
Taufiqurachman Ruki, lembaga penegakan hukum harus mampu
membangun komunikasi dan melakukan rapat koordinasi.
“Bukan berarti kompromi. Namun berbagai masalah harus
dibahas untuk supervisi. Sayangnya, pada periode ini tidak terjadi,”
ungkap Ruki.
Persoalan KPK-Polri yang terjadi saat ini, salah satunya
karena minimnya koordinasi dan komunikasi antar lembaga.
Pemimpin di lembaga-lembaga negara sepertinya mempertahankan
ego sektoral. Berlindung di balik aturan masing-masing kemudian
menjatuhkan wibawa lembaga negara lain.
Kegagalan komunikasi dan koordinasi telah membuat
runyam penegakan hukum. Klaim paling benar, paling menaati
hukum, menjalankan perintah undang-undang, jadi alasan.
Namun ada yang lupa, meminjam istilah Buya Syafii Maarif, yang
ditunjuk menjadi Tim Independen oleh Presiden RI, Joko Widodo,
“gunakanlah akal sehat.”

192
Setelah melihat persoalan kian ramai dan keruh, akhirnya
tidak dapat lagi secara jernih melihat kebenaran. Apapun
alasannya, kecurigaan penetapan tersangka baik terhadap Budi
Gunawan (BG) maupun Bambang Wijayanto (BW), tiada lain
karena sesuatu di baliknya. Apapun itu, dua lembaga telah gagal
melakukan komunikasi dan koordinasi yang baik sebagai lembaga
negara yang harus menegakkan wibawa bersama.
Seyogyanya, kasus korupsi haruslah dipikul secara personal,
melalui proses yang elegan tanpa ada celah untuk curiga bagi
publik bahwa penetapan tersangka bisa dilakukan by order. Ini
gawat. Ada banyak tersangka yang sudah ditetapkan namun sering
kali molor proses hukumnya, sehingga ini menjadi preseden buruk
bagi penegakan hukum.

Kunci Komunikasi
Ketika bangsa ini dihadapkan persoalan penegakan hukum
dan pemberantasan korupsi, maka yang harus diluruskan, korupsi
kolusi dan nepotisme (KKN), disepakati musuh bersama. Karena
itu setiap lembaga negara, pemerintah, harus memerangi bersama.
Bukan melindungi demi nama baik lembaga.
Setiap lembaga, dalam ilmu komunikasi di sebut dalam
sebuah kelompok, akan memiliki beberapa hal ciri personal
dalam kelompok. Misalnya, baik-buruk, diam-ribut, profesional-
tidak profesional, dan seterusnya. Macam-macam model personal
tersebut menjadi dinamika komunikasi yang harus dikelola seorang
pemimpin komunikasi, atau pemimpin kelompok. Pemimpin
kelompok menjadi dirigent memainkan dinamika kelompok. Jika
ia gagal, ia gagal memimpin.
Melihat persoalan KPK-Polri dari sisi ilmu komunikasi, bisa
dilihat betapa arogan komunikasi yang dibangun selama ini oleh

193
keduanya. Seakan-akan pendekar yang tidak pernah salah. Kedua
lembaga ini akhirnya memperlihatkan sendiri titik lemah masing-
masing, setelah terjadi konflik.
Inilah yang disebut Clark C. Hull (1943), komunikasi
yang didorong oleh motif, tujuan, maksud, aspirasi dan ambisi.
Bukannya mencari titik temu sebagaimana tujuan komunikasi;
mencari kesamaan (common). Sayangnya kesamaan itu tidak bisa
begitu saja hadir, harus ada proses saling memahami. Bukan dengan
pemaksaan. Karena dengan pemaksaan hanya akan melahirkan
konflik demi konflik.

Save Indonesia
Sayang, jawaban JK pada waktu itu tidak bisa dikejar
hingga lebih dalam. Bagaimana teknis agar antar lembaga negara
bisa membangun harmoni agar dinamika komunikasi itu indah
dirasakan publik.
Kini, payung kebersamaan atas nama negara makin
terasa kumal. Apalagi menyangkut kepentingan citra, dana, dan
kekuasaan. Bukti lain sudah banyak terhampar, sekadar misal,
antar aparat bentrok karena persoalan sepele. Masih hangat dalam
ingatan, bagaimana saling serang antara Brimob dengan Anggota
TNI di Batam. Jujur saja, lemahnya komunikasi dan koordinasi
juga terjadi pada lembaga-lembaga sipil walau tidak kentara dan
menjadi konflik yang membesar. Api dalam sekam yang sewaktu-
waktu bisa membara.
Harapan yang lebih memungkinkan saat ini, dengan tagar
#SaveIndonesia, lebih tepat dari pada hanya mendukung satu
dari antara dua, tiga, hingga empat lembaga yang pada dasarnya
memiliki kelemahan di sana-sini.

194
Menyingkirkan korupsi tidak bisa dengan kesemena-
menaan. Haruslah total dengan moral dan etika yang telah
diatur dalam kode etik. Jika saja ada kepentingan yang menyaru
di dalamnya, tentulah akan runyam gerakan yang dicita-citakan;
Indonesia yang bersih berkilau, jauh dari busuknya aroma korupsi.
Komunikasi dan koordinasi antar lembaga, antar pemimpin,
sangat penting dari pada sekadar membangun citra tetapi keropos
ketika serangan balik datang menghantam. Salam. []

195
Menunggu Kebijakan Hebat
Kepala Daerah Baru

Proses sangketa Pilkada banyak yang ditolak Mahkamah


Konstitusi (MK), hanya beberapa yang diterima. Artinya, pasangan
calon pemenang Pilkada Serentak 2015, sudah bersiap-siap untuk
dilantik. Penetapan dari Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD)
sudah menandakan, cawan di tepi bibir.
Ada banyak harapan yang disandangkan ke pundak pasangan
calon pemenang, baik yang meneruskan periode sebelumnya,
maupun yang benar-benar baru mendapatkan kesempatan. Jika
tidak terpenuhi harapan itu, rakyat akan menghukum pada Pilkada
berikutnya. Bukankah kita baru saja melihat bagaimana incumbent
bertumbangan?
Karenanya, pemimpin baru, harus segera menitikberatkan
mana program yang harus didahulukan pada tahun pertama, mana
yang akan dikerjakan tahun kedua. Pengalaman menunjukkan,
tahun pertama tak banyak yang diperbuat. Masih seputar hal-
hal teknis, belum bisa masuk ke wilayah strategis. Sementara itu,
publik sudah berharap. Kekecewaan mulai berkecambah.

197
Apa harapan publik yang selalu terdengar? Meningkatnya
kesejahteraan dan kemakmuran. Berkembangnya sebuah
daerah, menggeliatnya perekonomian. Jika mampu pasangan
calon menggenjot pendapatan per kapita, maka itulah kunci
keberhasilan di mata masyarakat. Kalau hanya membangun sarana
dan prasarana saja, citra ke citra saja, penghargaan ke penghargaan
saja, sementara ekonomi masyarakat terus melarat, tunggulah
cibiran publik.
Ekonomi akan tumbuh jika ada investasi baru. Ini perlu
keberanian kebijakan yang membawa perubahan signifikan di
tengah masyarakat, bukan basa-basi semata atau sebatas bumbu
pidato saja.

Wacana Leadership
Agaknya kita perlu belajar dari perusahaan-perusahaan
raksasa Jepang yang tersungkur karena ide kreatif yang didukung
dengan kecepatan dan ketepatan dari perusahaan Korea. Ini cerita
akhir tahun lalu yang miris.
Konsultan Manajemen, Yodhia Antarika, dalam tulisannya
berjudul The Death of Samurai: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp,
Toshiba dan Sanyo, menceritakan bagaimana perusahan raksasa
elektronik asal Jepang yang selama ini merajai pasar mengalami
kerugian trilunan rupiah karena munculnya inovasi teknologi
baru, murah dari Korea, seperti LG dan Samsung.
Peristiwa ini berhubungan dengan kepemimpinan dalam
sebuah lembaga. Lembaga hebat yang tumbuh berkembang selalu
ditemukan di dalamnya pola leadership yang kuat. Mendobrak
kemapanan dan menggerak sistem mencapai kapasitas putaran
paling maksimal.

198
Menurut Yodhia, ada tiga hal terjadi dalam sebuah
perusahaan-perusahaan elektronik Jepang. Yaitu, Harmony Culture
Error, Seniority Error, dan Old Nation Error.
Harmony Culture Error adalah kesalahan pada budaya yang
mengedepankan harmonisasi dan konsesus. Ini menyebabkan
kelambanan dalam mengambil keputusan, sementara kompetitor
bergerak cepat. Pada era digital saat ini, sistem yang lamban adalah
sebuah tragedi.
Sedangkan Seniority Error adalah kesalahan laku yang
mementingkan senioritas. Bungkuk tulang belakang berhadapan
dengan atasan. Ini juga membuat inovasi bisa terpendam dalam.
Sementara Old Nation Error adalah kesalahan dalam arti,
kesempatan orang muda selalu terhambat dalam sebuah negara,
lembaga dan semacamnya. Generasi tua tak memberi kesempatan
generasi muda. Kasus Jepang, begitu banyak orang manager di atas
50-an, yang sudah mapan dan berhenti berpikir kreatif. Ketiga error
ini saling berhubungan. Membuat lumpuhnya sistem kreativitas
dan innovasi.
Era digital membutuhkan kecepatan. Kecepatan adalah
kunci. Kecepatan dalam mengambil keputusan. Kecepatan
dalam produksi. Satu lagi, jangan lupa, harga murah. Inilah yang
dilakukan perusahaan Korea sehingga bisa menunduk produk-
produk Jepang di pasar elektronik di wilayah ASEAN.

Harapan Baru
Terpilihnya beberapa kepala daerah, wacana di atas patut
diingatkan kepada mereka. Sungguhpun ada yang punya pikiran,
iklim birokrasi pemerintahan tidak sebanding dengan iklim
perusahaan swasta. Boleh jadi benar, namun itu bisa dibantah pada
sisi lain. Pikiran semacam itu diduga karena malasnya birokrat

199
untuk mendobrak keadaan demi kemajuan dan kesejahteraan
rakyat.
Sebagian pemimpin daerah berdalih untuk selamat dari
jerat hukum, main aman hingga periode berakhir. Ini diduga
karena menjadi kepala daerah sebagai tujuan, bukan sarana untuk
mengukir sejarah dan perubahan.
Memasuki Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA),
beberapa hal penting akan terjadi. Ketika kebebasan barang dan
jasa di bawah naungan MEA ini berlangsung, lembaga usaha akan
keok jika tidak siap dalam persaingan terbuka. Hal ini juga akan
berlaku pada pemerintahan yang tidak siap. Pemerintahan daerah
yang siap, siap dengan kebijakan hebat, pelayanan hebat, akan
membuka kesempatan perubahan. Kasus berpindahnya kantor
wilayah ke daerah lain, bukti ketidaksiapan pemerintah daerah.
“Kita krisis pemimpin, baik di birokrasi pusat, daerah,
juga di lembaga pendidikan,” tegas Tanri Abenk, suatu waktu.
Maksudnya, pemimpin yang mau mendobrak birokrasi tanpa
nurani. Yang bajak, justru merapatkan besi birokrasi itu. Tanri
Abenk menyebutkan, seorang pemimpin haruslah memenuhi
Strategi, Struktur, Skill, Sistem dan Speed (5 S). (Lihat, Krisis
Kepemimpinan Kreatif, SINGGALANG, 22 April 2014)
Pemerintahan memang lamban bergerak karena birokrasi.
Apa yang terjadi di perusahaan jepang, sudah terjadi lama di
lembaga negara. Banyak aturan. Hanya satu dua pemimpin
berprestasi menonjol, mampu keluar dari kotak aturan tersebut.
Ini bukan kabar pertakut. Namun paling tidak menyadarkan,
soal leadership, bukan soal politik praktis antar kelompok semata.
Ada soal kapasitas, kapabilitas, akseptabilitas dan kredibilitas.
Siapapun pemimpin terpilih, di tingkat kota, kabupaten,
pemimpin lembaga pendidikan, lembaga pemerintahan, harusnya

200
memulai dengan empat hal itu dalam memilih punggawa kerjanya.
Dilengkapi dengan tiga hal dari Yodhia Antarika, ditambah dengan
syarat dan rukun kepemimpinan dari Manajer Satu Miliar, Tanri
Abenk. Mari kita tunggu kiprah pemimpin baru. []

201
Kesadaran Menduduki
Jabatan Publik

Penerangan Jalan Umum (PJU) dipungut dari masyarakat


melalui pembayaran rekening listrik. Ini pungutan resmi. Jika
ditotal per tahun, setiap pemilik rekening listrik akan terasa berat
membayarnya. Silahkan cek, jika punya rekening listrik, berapakah
harus dibayar setiap transaksi token maupun melalui pembayaran
tunai, khusus pembayaran PJU.
Ketika Rizal Ramli mengeritik persoalan Token Listrik,
seperti membuka kesadaran, betapa banyak pungutan resmi dari
pemerintah malahan tanpa disadari. Pemerintah memang memiliki
kuasa untuk itu. Sebagai warga negara, kita wajib mematuhinya.
Kontrak sosial hadirnya negara tanpa diketahui sekalipun oleh
rakyat, tetaplah harus tunduk untuk itu. Persoalannya, bagaimana
kalau negara yang tidak mematuhi kontrak itu? Misalnya, ada
banyak lampu jalanan yang tidak menyala di malam hari?
Inilah pentingnya pengawasan dari legislatif. Wakil rakyat yang
diharapkan dapat menjalankan secara maksimal fungsi pengawasan
dan budgeting.

203
Lebih dari itu, tentu saja sebagai warga negara kita punya
kewajiban untuk memberitahu, mengkritisi dan mengawasi setiap
perilaku pejabat yang telah diamanatkan. Salah satu peran civil
society adalah peduli, terus mengawasi ketika kekuasaan dijalankan
dengan kesewenang-wenangan.
Persoalannya, ternyata ada sebagian dari pejabat yang tidak
senang diawasi, tidak senang dikritik, tidak mau diberi saran, serba
tahu dan kadang-kadang juga sok tahu. Malahan ada yang tidak
siap ketika diajak berdialog. Cenderung mengelak, menutup diri
dan menyerang balik dengan beragam cara tanpa memperbaiki
substansi persoalan. Padahal, seharusnya, persoalan muncul ke
permukaan harusnya menjadi titi point untuk mengambil alih
secara cepat untuk diselesaikan. Bukankah tak seluruh tugas
memiliki persoalan?
Bagi pemimpin yang tidak siap diberi kritik dan saran, ada
baiknya menyadari lebih dahulu jabatan publik yang diemban.
Jika sudah mendapat amanat, konsekuensinya adalah harus mau
menerima resiko, diawasi dan dikritisi. Kalau tak mau kena ombak,
jangan berumah di tepi pantai. Kalau tak mau dikritik janganlah
menjabat.
Akhir-akhir ini, sering sekali ditemukan pemimpin yang
tidak siap dikritik dan diberi saran. Mau menang dan merasa benar
sendiri. Apalagi pejabat-pejabat yang baru. Sepertinya tidak tahu
bagaimana seharusnya jabatan itu ia pikul. Lalu menyerang balik
dengan cara yang tidak elegan. Misalnya, menuduh mereka yang
kritis itu iri, dengki, ada pula yang cerdik, ia merasa dizalimi. Ini
aneh sekali. Malahan mencari alasan dan melihat, siapa orang yang
mengkritik dan memberi saran. Kalau memang berbeda partai,
berbeda pandangan, itu dianggap musuh. “Itukan dia sendiri yang

204
ribut, sementara rakyat diam,” kata seorang tim sukses yang tidak
siap pemimpinnya dikritik.
Sementara, di sisi lain, ada pejabat publik yang membiarkan
dana dikembalikan ke kas negara dari pada masuk penjara. Itu
sama saja, menerima gaji dan tunjangan jabatan tapi tidak kerja.
Dana dikembalikan ke kas negara, menunjukkan pejabat tersebut
tidak bekerja, tidak mau mengambil resiko, hanya mau mengambil
gaji dan petantang-petenteng, cengengesan, pidato-pidato, tapi
tidak menampakkan kinerja yang maksimal. Menghabiskan uang
saja tidak berani, takut dianggap korupsi. Bertahan bahwa dirinya
bersih tanpa kinerja sama sekali. Apa gunanya jadi pemimpin
seperti itu?

Lampu Jalan
Kembali ke soal lampu jalan, misalnya, kepada siapakah
kita mesti komplain, ketika nyatanya ada banyak lampu jalan tidak
menyala. Bukankah itu hak dari setiap kita untuk menuntut agar
pemerintah menyediakan penerangan tersebut? Karena kita telah
membayar lampu-lampu yang harusnya menyala itu.
Sikap kritis terhadap pemerintah dari masyarakat yang
mengerti atas hak dan kewajiban antara pemerintah-rakyat
merupakan inti dari demokrasi dan transpransi yang didengungkan
di negeri ini. Namun sayangnya, tak banyak pejabat yang siap
untuk demikian. Pada konteks lain selain lampu jalan, banyak
sekali tentunya.
Susahnya, ketika persoalan kritik mengkritik ini dibawa
ke persoalan personal, bukannya menyelesaikan masalah tapi
sebaliknya, tidak selesainya substansi apa yang menjadi masalah.
Sesungguhnya, kita merindukan pemimpin yang cepat
tanggap dan responsif terhadap persoalan yang terjadi di tengah

205
masyarakat. Denyut nadi masyarakat terasa di jantungnya. Tetapi
pemimpin serupa itu sangat susah dicari, di tengah ambisi berkuasa
di atas rata-rata tapi tidak dibarengi dengan kemampuan untuk
berbuat.
Yudhi Latif, menyebutkan fakta ini sebagai kedudukan tanpa
kehormatan. Kegilaan atas kedudukan, bisa saja diraih melalui
jalan tikus dan lobi, sungguhpun merusak silaturrahmi, tetapi
tidak mendapatkan kehormatan yang layak. Karena sebenarnya
tidak memiliki kompetensi kepemimpinan yang teruji.
Menyedihkan, karena tidak memiliki kehormatan akibatnya
tidak punya kekuatan untuk mengubah keadaan. Setelah
mendapatkan jabatan, tak ada gerakan. Diam seribu basa. Puas
setelah duduk di singgasana.
Karena kedudukan tidak punya kehormatan, tidak pula ada
pembinaan, kepemimpinan jalan sendiri dalam sepi.
Masih ada cerita menarik, seorang pejabat yang masih
menenteng oleh-oleh sendiri, bayar tiket sendiri dan tuna
protokoler. Ini bukan soal rendah hati dan ingin low profil tetapi
tidak mengerti dengan simbol kedudukan dan kehormatan
yang sedang ia pikul. Pejabat serupa ini, dipandang dari ilmu
komunikasi, tidak saja meruntuhkan wibawa lembaga tetapi juga
gagalnya kepemimpinannya. Kenapa begitu, karena tidak mengerti
protokoleran dan kehumasan. Humasnya pun dibiarkan lumpuh.
Kesadaran memangku jabatan publik harusnya dimiliki
oleh pejabat yang sedang berkuasa di lini manapun. Kesadaran
itulah yang akan membuka keran komunikasi terbuka, pemikiran
terbuka, senang menerima masukan dari manapun, tidak menutup
diri dengan segala hal yang bersifat kemajuan dari manapun. Hanya
dengan demikian, di era ini, kemajuan bisa digapai dan diraih.

206
Kepemimpinan pejabat publik yang tertutup hanya akan
melahirkan kecurigaan dari publik karena kekuasaan pada
dasarnya memiliki kecenderungan disalahgunakan. Pada konteks
inilah, berkoarnya Rizal Ramli patut dibenarkan dan diikuti. Kritis
selalu dengan pejabat publik yang tidak menyadari atas jabatan
yang diembannya. []

207
Dendang Akhir Tahun

Sebentar lagi kita meninggalkan tahun 2015. Meninggalkan


sejumlah kenangan dan pencapaian. Lalu kita memasuki tahun
baru 2016 dengan segenap semangat dan harapan yang akan
digapai. Bilamana ada kegagalan di tahun ini, tahun depan masih
ada waktu untuk mencoba. Terus mencoba dan mencoba sampai
bisa, sampai berhasil.
Perpindahan tahun adalah momenum untuk kembali
merenungi perjalanan kehidupan, baik secara individu, keluarga,
maupun dalam skala yang lebih besar. Skala daerah, kota,
kabupaten, provinsi juga negara.
“Sebelum tutup buku dilakukan, sebelum dibuka buku baru,
evaluasi harus dilakukan,” kata orang manejemen. Sesungguhnya,
apapun itu, sudah sejak lama diingatkan, agar kehidupan tidak
berjalan begitu-begitu saja, itu ke itu saja. Mesti ada progres.
Kemajuan demi kemajuan.
Demi masa, sesungguh manusia dalam keadaan merugi.
Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh
dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat

209
menasihati supaya menetapi kesabaran. (Q.S: 103) Tidaklah sulit
untuk dipahami, apakah perjalanan kehidupan kita sepanjang
tahun ini sekadar menjalani rutinitas semata? Atau selalu ada
amal saleh, nasehat menasehati tentang kebenaran dan kesabaran.
Nurani kita masing-masinglah yang menjawabnya.
Akan halnya kesabaran, inilah ujian paling rumit bagi setiap
orang. Lihat saja di jalan raya, jika macet tiba. Kesabaran sering
kali menjadi cermin kurenah di tengah masyarakat. Sudahkah kita
bersabar?
Soal menasehati tentang kebenaran, tentulah banyak yang
menyampaikan, sayangnya, ada yang sabar ada yang tidak. Apalagi
bila yang diberi nasehat akan menerima dengan cemeeh. Ini juga
butuh kesabaran. Tetaplah saling menasehati, sungguhpun setiap
waktu selalu ada orang bebal. Sulit menerima nasehat. Itu ujian
juga.
Momenum akhir tahun, selalu saja kalimat ini diulang-
ulang. Barangsiapa yang harinya sekarang lebih baik daripada
kemarin maka dia termasuk orang yang beruntung. Barangsiapa
yang harinya sama dengan kemarin maka dia adalah orang yang
merugi. Barangsiapa yang harinya sekarang lebih jelek daripada
harinya kemarin maka dia terlaknat.
Kata orang Inggris, waktu adalah uang, times is money. Kata
orang Arab, waktu adalah pedang, al wakti al kassaif. Terserah,
mau pakai yang mana, yang jelas hidup tak melulu sekadar hidup.
Hidup tidak sekadar kerja, kerja dan kerja. Kata Buya Hamka (1908
- 1981), jika hidup sekadar kerja, babi di hutan juga hidup. Kalau
bekerja sekadar bekerja, kera juga bekerja. Kerja iya juga namun
tetap harus ada nilai tambah terhadap harkat dan martabat dalam
kehidupan.

210
Tahun Baru Tiba
Momenum pergantian tahun baru saban tahun, ratap yang
selalu terdengar, macet yang tak terpanai, sampah berserakan,
maksiat di objek wisata, kejar target, habiskan anggaran walau
tidak maksimal yang penting dana habis, dsb. Ini dendang akhir
tahun yang tak pernah habis. Tidak pernah berubah. Mengejar
prosedural tapi abai pada substansi. Bilamana tahun depan masih
terjadi juga, berarti berulang-ulang dan merugi.
Akhir tahun, libur panjang, ambil cuti, bertemu satu waktu.
Ini waktunya bersuka ria di jalan raya. Plat BM Serbu Sumbar, begitu
Singgalang menulis. Jangan lupa, juga BH dan BK. Jangan lupa
pula, ada juga Plat BA ke BM dan ke BK. Arus orang-arus barang
sedang berkecamuk hilir mudik membawa perasaan dan kemauan
diri ketika pergantian tahun. Maunya merayakan ke kota lain, ke
kota kelahiran, ke gunung, ke mall. Yang biasa hidup di kota, mau
ke daerah terpencil, yang biasa hidup di daerah terpencil, mau ke
kota. Bermacam-macam lagak orang, yang penting bisa merayakan
liburan. Biar ada yang diceritakan kepada kolega, ketika ditanya
kemana saja selama libur panjang.
Bagi yang sukses tahun 2015, tentulah penuh suka ria
merayakan kehidupan sembari menyambut pergantian tahun.
Sementara, yang tahambin, tak perlu mengeluh. Sungguh tak
perlu. Semua orang bisa begitu, gagal dan gagal lagi, lalu berhasil.
Bila gagal, simak puisi Chairil Anwar (1922–1949) yang energik,
/Kalau sampai waktuku/Kumau tak seorang ‘kan merayu/Tidak
juga kau/Tak perlu sedu sedan itu! Aku ini binatang jalang/Dari
kumpulannya terbuang (Aku, 1948). Sebuah puisi yang memberi
spirit agar tetap semangat. Kegagalan itu, sesuatu yang tertunda.
Setiap orang bisa gagal, kegagalan malah menjadi keharusan,
agar merasakan menghargai sebuah keberhasilan. Sesuatu yang

211
didapatkan dengan keringat, darah dan air mata, akan sangat
berharga dibandingkan sesuatu yang bisa didapatkan dengan
mudah. Sungguhpun itu, satu unit sepeda. Berjuang sepanjang
tahun, di akhir tahun dapat melihat hasilnya, tentulah patut
dirayakan. Yang penting, janganlah berlebihan.

Kepala Daerah Baru


Beberapa bulan ke depan, Tahun 2016, bagi daerah yang
menggelar Pilkada Serentak Desember 2015, akan dilantik kepala
daerah baru. Ada yang lama terpilih lagi, ada yang wakil kepala
daerah naik kelas menjadi kepala daerah. Ada pula yang benar-
benar baru.
Terserahlah, yang jelas, takdir manusia memang selalu
misteri. Hanya usaha dan doalah yang harus dilakukan apapun
yang dicita-citakan, termasuk jadi kepala daerah. Kalaupun usaha
dan doa itu tidak berhasil, jangan marah dulu kepada Tuhan.
Kadang-kadang, di balik itu, besar sekali hikmahnya. Seorang
petani sukses, terungkap, pada masa mudanya ternyata pernah
bercita-cita menjadi satuan pengamanan bank tapi tak lulus. Lalu
banting setir jadi petani, terus panen besar. Setiap ia menyetor uang
ke bank, selalu ingat cita-cita lamanya. Sementara, seorang satuan
pengamanan bank, pernah bercita-cita menjadi aparat berseragam,
mungkin polisi mungkin hansip, mungkin juga tentara, tapi tak
lulus. Ketika ia sedang patah semangat, panggilan menjadi satuan
pengamanan datang. Kini ia sudah bergaji besar, jadi pegawai
bank. Juga berseragam dengan gagahnya.
Hidup di masa depan tetaplah sebuah misteri, sungguhpun
rencana sudah ditancapkan di dinding harapan. Tapi jangan lupa
tetap mencari hikmah setiap saat; hidup harus dijalani tanpa putus

212
asa. Yang Maha Tahu akan memberi jalan terbaik setiap usaha yang
sudah dilaksanakan sepenuh hati.
Bertanyalah pada relung hati paling dalam, apa yang sudah
digapai tahun ini? Gelar sarjana, magister, doktor, menyunat anak,
menerima menantu. Atau bahkan rumah dan mobil baru, kredit
lunas, hutang lansai? Banyak lagi pertanyaan yang bisa diajukan,
lalu contenglah satu persatu. Yang tidak diconteng, gapailah di
tahun berikutnya, selamat tahun baru. Bergegaslah gapai semua
harapan dengan kerja keras, ikhtiar, dan jangan lupa berdoa, itulah
yang terpenting. Salam. []

213
WACANA
PENDIDIKAN
Kisah Sedih
Pendidikan Kita

“Kawan, di negeri kami, pendidikan itu bukan saja sebuah


kemewahan tapi juga perjuangan hidup dan mati.”

Kalimat di atas merupakan status di media sosial yang saya


unggah beberapa hari lalu, seiring Hari Pendidikan Nasional 2014.
Tak lama setelah diunggah, banyak sekali tanggapan dari sejawat.
Apalagi kalimat itu diiringi dengan foto yang memuat beberapa
orang anak sekolah sedang meniti tali melewati sungai untuk pergi
ke sekolah. Foto itu reproduksi dari media lokal. Hari itu, Hari
Umum Independen Singgalang menempatkan foto itu di halaman
utama.
Foto seperti ini bukan lagi cerita baru. Sering muncul di
media massa yang membuat nurani kita terenyuh. Batin kita seperti
ditusuk sesuatu yang kita sendiri tak mengerti kepada siapa kita
mesti marah! Kepada siapa kita mesti mengadu atas keadaan serupa
ini, siapa yang bertanggungjawab, siapa yang membuat ulah?

217
Geger Pendidikan
Hari Pendidikan Nasional 2014 yang baru saja berlalu. Tidak
hanya foto-foto para generasi baru Indonesia itu yang hangat
dibicarakan. Dunia pendidikan di Ranah Minang juga digegerkan
mutasi kepala sekolah bersama pejabat lainnya, yang teramat ganjil
di Kota Padang. Ganjil karena dinilai sarat kepentingan politik dari
pada kepentingan penyegaran. Siswa-siswi sekolah itupun mogok
belajar dan turun ke jalan.
Sementara itu, di Kabupaten 50 Kota, penanganan kasus
pemerkosaan atas siswi MTsN, juga diduga janggal. Aparat hukum
menyatakan, pelaku satu orang, sementara yang beredar di tengah
masyarakat tak kurang dari 10 orang. Entah mana yang benar, yang
jelas korban mengalami depresi hebat. Pingsan berkali-kali. Seperti
ingin membantah, bagaimana mungkin logika yang menyatakan,
pelaku satu orang dengan alasan suka sama suka!
Itu belum usai, ada kejutan terbaru, yaitu ekspos elemen
masyarakat tentang arisan seks di antara pelajar. Belum ada yang
mengaku, tapi diyakini ada komunitasnya. Sandaran logisnya,
ada beberapa peserta Ujian Nasional (UN) yang tak ikut karena
terlanjur hamil. Agak lemah memang, tetapi sudah cukup
mengambil kesimpulan yang juga memiliki kelemahan. Kecuali
ada fakta dan pengakuan baru, kita tunggu saja. Selebihnya, kita
seperti mendapat cerita tentang aroma busuk tapi tak tahu siapa
yang baru saja membuang angin! Seakan-akan ingin menutup echo
berita dugaan kasus pemerkosaan. Semoga bukan itu.

Belajar Memahami
Kasus-kasus yang terjadi dalam dunia pendidikan pada
paparan di atas tadi, mestinya menjadi agenda penting bagi para
pengambil kebijakan di Ranah Minang. Persoalan ini menampar

218
dunia pendidikan yang kita bangga-banggakan selama ini. Ranah
Minang yang kita kenal, melahirkan tokoh, ulama, industri
otak, tempat generasi baru Indonesia menuntut ilmu ternyata
menyimpan segudang masalah.
Kita meyakini sikap dan keinginan para pemimpin untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan pendidikan ini sangat baik.
Tetapi sering sekali mengalami kekeliruan ketika menerapkannya.
Kasus pemerkosaan siswi ini, sudah begitu lama terbiarkan.
Seperti diusahakan jangan sampai mencuat ke permukaan. Ada
banyak kekusutan yang membuat semuanya menjadi runyam.
Sistem penanganan hukum kita masih memiliki kesan tebang pilih.
Seperti ada kesan menyembunyikan sesuatu, karenanya konstruksi
logika yang dipakai berseberangan dengan kenyataan yang
diterima publik. Pada posisi ini tarik menarik kekuatan pengaruh,
dengan segala strategi, untuk menyatakan apa yang sebenarnya
terjadi. Perlu kita sadari bersama; kebenaran pada dasarnya tidak
bisa dikalahkan, ia hanya bisa dibungkam!
Begitu pula ketika tangan-tangan kekuasaan mencoba untuk
mencikarau kebenaran. Bisa saja dicari pembenaran, seperti pada
kasus mutasi kepala sekolah bersama pejabat-pejabat lainnya.
Kadang-kadang, pemimpin sering alpa dengan kepatutan. Hanya
berpijak pada dasar hukum positif. Padahal, mengambil sebuah
keputusan tidak bisa semata dengan landasan aturan-aturan. Harus
disertai dengan faktor-faktor di luar hukum tersebut. Pemimpin
yang arif, mau belajar dengan keadaan sosial, kearifan lokal,
sebagai bagian dari sosiokultural yang mesti dibaca. Jadi, tidak
dengan kacamata kuda!

219
Wajah Pendidikan
Sementara pada kisah lain, kita melihat para pemimpin
memberi penghargaan kepada orang-orang berprestasi dalam
dunia ketika upacara Hari Pendidikan Nasional. Mereka dipilih
melalui seleksi yang tentu saja dengan standar baku. Peristiwa
seperti ini patut diapresiasi tanpa perlu berusaha mengubur fakta
kebenaran pada sisi lain.
Kontras! Ada wajah ceria dan ada wajah buram dalam dunia
pendidikan kita. Dalam konteks inilah, kita harusnya menyatakan,
politik kekuasaan tidak boleh sekali-kali memakai tangannya
untuk mencederai dunia pendidikan, apapun alasannya. Ada
banyak kasus lembaga pendidikan hancur ketika ada tangan-
tangan kekuasaan ikut campur. Lembaga pendidikan itu tidak
diminati, tidak lagi memiliki gairah dalam membangun wajah
ceria pendidikan. Majelis ilmu dan iklim belajar dan mengajar
membutuhkan kenyamanan. Sedikit saja diterpa isu kepentingan
kekuasaan, ia akan buncah dan merobek-robek kepercayaan publik
terhadap lembaga maupun personal yang terlibat konflik.
Beberapa kasus di atas memberi jalan hikmah yang patut
ambil, ternyata nilai-nilai pendidikan karakter yang didengungkan
para pemimpin, tokoh pendidikan, belum begitu lekat dalam
kehidupan kita. Hanya baru menjadi materi pendidikan saja.
Kasus-kasus pada dunia pendidikan itu menjadi bukti yang nyata.
Ada 18 Poin Pendidikan Karakter yang selalu didengungkan
para pemimpin, pejabat, penegak hukum, tokoh pendidikan, ulama,
dsb. Yaitu, religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif,
mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta
tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar
membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggung jawab.

220
Mari bandingkan dengan kenyataan pada kasus-kasus itu?
Poin-poin pendidikan karakter itu masih banyak tersimpan dalam
saku kekuasaan yang mengitari persoalan. Ada-ada saja tangan-
tangan kekuasaan mengambil kesempatan untuk memenangkan
keadaan.
Kisah para pencari ilmu generasi baru Indonesia, yang
meniti tali di atas sungai, yang basah menyeberangi arus, yang
mencintai guru dan kepala sekolah tapi pergi sebelum waktunya,
siswi korban dugaan pemerkosaan, merupakan wajah perih
pendidikan kita yang memiliki hubungan erat dengan kekuasaan,
ia tak bisa dipisahkan. Ingat pernyataan Lord Action, Power tend
to corrupt, and absolute power corrupt absolutely (kekuasaan itu
cenderung disalahgunakan dan kekuasaan yang absolute sudah
pasti disalahgunakan).
Semoga pemimpin-pemimpin kita menyadari hal ini dan
mengambil kebijakan cepat dan tepat, dengan dilandasi nurani
yang bersih dan akal sehat. Amin. []

221
Menteri Eksentrik
dan Linearitas Ilmu

Penampilannya eksenterik, tidak tamat sekolah menengah


pertama. Memilih banting setir, sekolah di lapangan. Perempuan
itu fokus untuk bekerja demi bertahan hidup. Ia telah memilih
jalan hidupnya yang keras. Pilihan itu mengantarkannya ke tangga
kesuksesan bisnis. Kesuksesan yang membuat banyak orang
ternganga. Ia kini kaya raya.
Jatuh bangun mengawal bisnis yang menggurita. Perempuan
itu akhirnya sukses dan kini menjadi menteri Kabinet Kerja Jokowi-
JK. Demikianlah, Susi Pudjiastuti kini menjabat sebagai Menteri
Kelautan dan Perikanan. Setelah dilantik, ia dibully, karena punya
tato dan merokok. Perempuan pemilik Maskapai Susi Air itu tak
peduli, ia langsung kerja, kerja, kerja.
“Jangan salah sangka dengan anak pantai, dikuyaknya ijazah
doktor anda,” tulis Khairul Jasmi, di koran ini, Minggu (2/11).
Susi Pujiastuti memang anak pantai, yang menjalani kehidupan
kecilnya tak semanis yang kita bayangkan hari ini.

223
Ada banyak orang sukses dan nyentrik. Pada kabinet sebelum
ini, ada Dahlan Iskan, yang hanya berijazah Madrasyah Aliyah,
kuliah di IAIN tapi tak tamat kuliah. Dahlan jadi wartawan, jiwa
bisnisnya tumbuh. Akhirnya ia bisa membangun bisnis media,
menjadi raja koran dari Jawa Timur, menjadi Dirut PT.PLN, hingga
menjadi Meneg BUMN.
Masih ada lagi. Orang kaya raya, bernama Bob Sadino. Baca
saja biografinya, Mereka Bilang Saya Gila. Bob akan memaparkan
tentang sekolah lapangan yang keras, bak meraba dalam kelam,
tapi bisa bertemu dengan dunia yang terang benderang. Sukses
bisnisnya juga menjalar luas.
Baca jugalah biografi Karni Ilyas, yang tulis Feni Effendi,
berjudul Lahir untuk Berita. Akan bertemu pula bagaimana ia
meniti karier hingga ia menjadi wartawan profesional bergaji besar.
Karni Ilyas remaja, jual koran jalan kaki dari Damar ke Teluk Bayur.
Itu belum cukup, baca lagi biografi Basril Djabar, Sekali di Daerah
Tetap di Daerah. Akan bertemu, sulitnya ia menerabas birokrasi
demi mencapai sukses dalam menakhodai kapal usahanya.
Tidak puas juga? Baca biografi orang sukses dari luar
negeri sana, Richard Branson. Bos Virgin Corps. yang tiada henti
berinovasi, selalu ada yang baru demi mencapai kesuksesan.
Modalnya, kerja keras, kemauan keras, mau berkeringat, tidak
sombong, rendah hati. Karena itulah, mereka diberi kesempatan
oleh Yang Maha Kaya, meraih sukses. Mereka mengerti hukum
alam, causalitas, sunnatullah, untuk mencapai puncak dalam hal
apapun, harus bekerja keras, kemauan keras, tentu saja tak lupa
berdoa.
Bob Sadino pernah menyatakan, berhenti sekolah, langsung
saja bekerja. Agak ekstrim memang. Tapi ia sebenarnya sedang
kecewa dengan bentuk sistem pendidikan, yang hanya mampu

224
memberi tahu, tidak sampai memberi keterampilan. Satu dua
lembaga pendidikan memang mampu memberi ilmu, memberi
tahu, hingga memberi kebisaan. Bob menyebutkan, seperti
kedokteran, yang langsung memberi jarum suntik kepada peserta
didiknya. Selebihnya, hanya memberi ijazah, nihil keterampilan.
Tapi sudahlah, tak perlu diperdebatkan. Karena memang ada saja
alasan bagi akademisi, tentang penting ilmu yang dimilikinya.
Setiap ilmu punya karakter tersendiri, tidak melulu harus sampai
bisa. Ada ilmu yang sekadar sampai memberitahu.
“Ilmu itu sudah menjadi rezim yang menutup diri dengan
keadaan,” ungkap seorang akademisi, suatu hari. Maksudnya,
arogansi orang-orang berilmu, sering kali meniadakan keadaan.
Menjauhkan realitas dengan idealitas. Kaya teori tapi nihil praktek.
Padahal, bagi orang-orang sukses di atas tadi, agaknya akan sepakat
dengan adegium, satu ton teori tidak punya banyak arti dari satu
ons praktek. Ah, sudahlah, jangan diteruskan, banyak akademisi
yang marah nanti, hehehe...

Linearitas Ilmu
Kehadiran Perguruan Tinggi di Indonesia, bukan berarti
tiada arti. Lembaga inilah yang telah melahirkan banyak orang-
orang pintar, cakap dalam bidang yang tekuninya. Tidaklah
mungkin kehadiran perguruan tinggi hanya mengeluarkan ijazah
semata. Ada banyak sarjana yang bertemu talenta pada dirinya
dengan ilmu yang didalaminya. Ini membuat mereka cepat
sukses. Selain hobi, juga mencintai ilmu yang didalaminya. Inilah
pentingnya pendidikan, menemukan bakat seseorang.
Baca sajalah, UU No. 12 Tahun 2012, tentang perguruan
tinggi. Begitu idealnya, kehadirannya. Kehadirannya, berfungsi:
a). mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta

225
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa; b). mengembangkan Sivitas Akademika yang
inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya saing, dan kooperatif
melalui pelaksanaan Tridharma; dan c). mengembangkan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan memperhatikan dan
menerapkan nilai Humaniora. (Pasal 4).
Itulah yang telah berjalan. Mungkin saja, banyak tidak
puas. Kehadiran perguruan tinggi, para akademisi sudah direcoki
birokrasi, dan sistem yang membuat semuanya terkekang. Termasuk
pengembangan ilmu pengetahuan yang masih berkutat, soal linear
atau non linear. Pemahaman yang sering dijumpai, tentang ini
membuat dunia akademis menjadi sempit. Mereka yang linear
merasa pentingnya linear, demi kedalaman ilmu. Sedangkan non
linear, juga merasa penting karena keluasan ilmu. Kedalaman dan
keluasan yang sering diperdebatkan ini menghabiskan waktu untuk
berinovasi. Malahan saling menyingkirkan, dan melabrak Pasal 3
UU Perguruan Tinggi; yang berasaskan; a). kebenaran ilmiah; b).
penalaran; c). kejujuran; d). keadilan; e). manfaat; f). kebajikan; g).
tanggung jawab; h). kebhinnekaan; dan i). keterjangkauan.
Begitulah, akhirnya perguruan tinggi memang sudah berbuat
banyak tapi belum bisa membuat puas banyak pihak. Soal linear non
linear ini, akhirnya Dirjen Pendidikan Tinggi mengeluarkan dua
Surat Edaran (SE), berturut-turut. SE 696/E.E3/MI/2014 Tanggal
11 Agustus 2014 dan SE 887/E.E3/MI/2014 Tanggal 17 Oktober
2014. Isinya menjelaskan, di mana begitu banyak keraguan dalam
menetapkan kelayakan mengajar, pangkat, hingga pengangkatan
pengajar. Isi paling penting dapat disebutkan, linieritas bukan
diartikan sebagai latar belakang ilmu dosen, pada program S1
harus sama dengan S2 atau S3. Selama ini, selalu dipakai menjadi
landasan kebijakan.

226
Pada bagian lain, dijelaskan pula, yang dimaksud dengan
linieritas yaitu kesesuaian latar belakang ilmu yang diperoleh
dosen pada program Magister atau Doktor dengan ilmu yang akan
diajarkan untuk mencapai kompetensi atau capaian pembelajaran
lulusannya pada program studi tempat dosen tersebut mengajar.

Selembar Ijazah
Akhirnya harus diakui, selembar ijazah bagi seorang sarjana,
hanyalah legitimasi untuk mengantarkannya ke batas pintu
wawancara tempatnya bekerja. Selebihnya, yang akan ditanyakan
di meja wawancara tempat ia melamar kerja adalah; bisa apa
dan keterampilan apa? Lalu dibayar berapa? Tanya Jokowi-JK,
apakah mereka bertanya dengan Susi Pudjiastuti tentang itu?
Tentu saja tidak, karena reputasi kerjanya sudah teruji di publik.
Kesuksesannya memimpin bisnis, menjadi modal utama yang
disebut Rheinal Kasali sebagai Metakognisi.
Kalau begitu, apa yang harus dibenahi dalam alam pikiran
kita dalam dunia pendidikan dan berpendidikan? Meja belajar
harus mampu membawa manfaat yang lebih banyak bagi kehidupan.
Tidak sekadar selembar ijazah tetapi lebih dari itu, kecakapan yang
membuat generasi di masa depan tidak lagi terpaku dan bagaduru
menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Mereka harus diberikan tidak
sekadar kognitif, tapi juga apektif, hingga tarap psikomotorik,
dari apa yang diajarkan. Mari kita berbenah untuk hal seperti
ini, jika tak ingin ditertawai oleh realitas kehidupan, serupa kita
ditertawakan Susi, Dahlan, juga Bob Sadino. []

227
Tenggelamnya Kapal
Ikan Asing

Ide dasar judul tulisan ini tentu saja dari Novel Haji Abdul
Malik Karim Amrullah (HAMKA), Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck (1938). Tapi ini bukan fiksi tapi fakta yang diekspos media
massa, kapal asing yang tertangkap aparat pemerintah lalu dibakar
dan ditenggelamkan karena telah melakukan penangkapan
ikan secara tidak sah (illegal fishing) di wilayah Indonesia.
Ada yang mencibir dan ada yang memuji atas tindakan
berani Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pujiastuti ini.
Mencibir karena dianggap hanya pencitraan. Katanya, bukan kapal
yang dibakar tapi perahu nelayan malang dan miskin dari negeri
lain.
Itupun hanya beberapa saja, yang lain masih dibiarkan.
Macam-macam. Selalu saja ada alasan untuk bila tidak setuju
dengan satu tindakan dari seseorang yang sudah sejak awal
memang tidak disukai.
Ada yang memuji tindakan berani tersebut. Katanya, untung
ada kebijakan berani serupa itu, selama ini tak banyak yang

229
diketahui. Sewaktu pemerintahan sebelumnya, banyak juga yang
ditangkap tapi tidak terekspos apalagi dibakar dan ditenggelamkan.
Dipuji karena berani menegakkan kedaulatan negara di laut. Walau
baru beberapa, tapi sudah melakukan sebuah tindakan demi
kedaulatan, patutlah diapresiasi.

Amanat Rakyat
Terlepas dari suka tidak suka itu, pemerintah memang sudah
diamanatkan Undang Undang Dasar (UUD) untuk menyelamatkan,
memanfaatkan, seluruh Sumber Daya Alam (SDA) dalam NKRI
untuk kesejahteraan dan kemakmuran. Air, Tanah, Udara, serta
yang terkandung di dalamnya, diatur sedemikian rupa untuk
dimanfaatkan. Artinya, tugas pemerintah tidak sekadar main
bakar semata. Jauh dari itu, mengeksplorasi kekayaan yang ada
untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.
Karena itulah pentingnya memberikan tekanan kepada
pemerintah agar memaksimalkan seluruh SDA demi kemaslahatan
rakyat. Sebab bukan cerita baru tentang kekayaan alam dikuras
tetapi dimanfaatkan segelintir orang serta bekerja sama pula dengan
pihak asing. Belum lagi soal ekspor impor yang juga dikendalikan
mafia dan tidak tersentuh aparat keamanan.
Jika saja optimalisasi SDA sektor kelautan dan perikanan bisa
dilakukan, alangkah kaya negeri ini. Bisa jadi, tidak terjadi kenaikan
harga Bahan Bakar Minyak (BBM) setiap tahun, yang membuat
merangseknya harga kebutuhan pokok. Jika saja tegaknya hukum
di laut, agaknya tidak akan ada kebocoran SDA yang harusnya bisa
dapat menambah Anggaran Pembangunan dan Belanja Nasional
(APBN). Jika saja setiap titik perbatasan negara bisa dijaga dengan
baik, aparat yang memiliki integritas, sarana yang lengkap, tentu
saja tidak akan terjadi keluar barang tanpa bea cukai.

230
Kebijakan membakar kapal, mungkin juga bernama perahu,
yang tertangkap tentu saja memberi peringatan agar jangan main-
main lagi dengan pemerintah yang ingin memperlihatkan taji.
Cita-cita Jokowi-JK agar Jalesveva Jayamahe, di laut kita jaya!
Harus didukung atas nama nasionalisme dan kedaulatan NKRI.
Waktu yang akan menjawab, apakah kebijakan menenggelamkan
maupun membakar itu hanyalah citra belaka.

Negara Kepulauan
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki luas laut
melebihi luas daratan. Perlu modal, pengetahuan, tenaga yang
besar agar SDA laut ini bisa dimanfaatkan. Harus diakui, jangankan
memanfaatkan secara optimal, menjaganya saja tidak mampu
karena keterbatasan alat, teknologi, anggaran dan yang terpenting,
terlalu lama kita memunggungi laut. Membiarkan semuanya bisa
dijarah orang lain. Tidak memokuskan kebijakan perikanan dan
kelautan serupa fokusnya menggali kekayaan lain.
Kesadaran atas sebagai negara kepulauan ini sangat penting
dengan harapan, lahirnya kebijakan yang mampu membuat
kekayaan laut bisa terpelihara, termanfaatkan untuk kesejahteraan
rakyat.
Akhirnya, harus kita pandang kebijakan berani Menteri
Perikanan dan Kelautan sebagai sesuatu positif. Berhentilah
mencemooh, jika hanya karena berbeda aliran pemikiran, aliran
politik, atau memang tidak pernah memiliki keinginan memilih
pasangan Jokowi–JK. Paling tidak, Susi Pujiastuti telah melakukan
langkah awal agar negeri ini disegani oleh negara lain. Nah, kita
apa?
Atau kita ingin negeri ini sebaliknya, serupa dalam fiksi
yang ditulis Buya Hamka itu, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.

231
Karamnya cinta dan cita-cita sebuah bangsa karena tidak mampu
berbuat apa-apa. Asyik saling serang antar sesama dalam kapal,
lupa badai melanda sampai tenggelam. Entahlah. []

232
Mencatat Bakat,
Menanam Minat

Beberapa tahun terakhir Balai Bahasa Padang menggelar


Program Bengkel Sastra di setiap kota kabupaten. Kegiatan ini
mengumpul dan mengasah bibit-bibit baru di tingkat Sekolah
Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Berharap di masa depan tumbuh
lebih subur penulis lahir di ranah ini.
Program Bengkel Sastra digelar selama tiga hari. Siswa-Siswi
dihadirkan atas utusan sekolah-sekolah, sebanyak 50 orang. Mereka
dianggap punya talenta dalam menulis di sekolah. Tahun ini, tak
kurang dari enam tempat digelar; di Kota Padang, Lubukbasung
dan Sijunjung.
Hadir memberikan bimbingan, sastrawan ternama, seperti
Darman Moenir, Gus Tf, Yusrizal KW, Zelfeni Wimra, Esha Tegar
Putra, dll. Mereka membimbing bagaimana teknik menulis dasar
dalam berkarya.
Penulis juga ikut tahun ini dan tahun sebelumnya.
Pengalaman menjadi pendamping siswa-siswi ini sangat menarik

233
dipaparkan, sebagai bahan kajian kurikulum bidang pendidikan
bahasa dan sastra di negeri ini.

Minat Baca
Biasanya mudah ditebak ketika membangun komunikasi
dengan siswa-siswi peserta Bengkel Sastra ini. Mereka umumnya
memiliki minat yang tinggi dalam membaca dan menulis. Persoalan
yang muncul ternyata, bahan bacaan yang terbatas dan bimbingan
kepenulisan terhadap mereka sehari-hari sangat minim.
Menurut pengakuan mereka, mau membaca tetapi akses
terhadap buku pustaka tidak segampang di sekolah mereka
berkecukupan. Ini terjadi di sekolah di tingkat kabupaten dan
kecamatan. Ketimpangan fasilitas pendidikan kita di daerah dan
kota sangat penting menjadi perhatian pemerintah, agar kesetaraan
antara akses informasi buku sama halnya dengan di kota.
Bisa jadi hal ini sebuah alasan klise, namun ketika ditanya
kepada peserta tentang penulis ternama, judul buku terkenal, hanya
satu dua saja yang angkat tangan dan mengaku sudah menamatkan
karya penulis tersebut. Jika ada novel yang sudah diangkat ke
layar kaca, mereka umumnya sudah menonton. Tetapi kegagalan
tontonan dengan membaca novel sudah jelas. Keterbatasan durasi
dalam menjelaskan alur dan detail.
Kehausan daya baca yang tidak terpenuhi telah melanda
mereka. Di samping itu, godaan untuk tidak mencari bacaan terus
menjajah mereka. Ujung dari semua ini, siswa-siswi tidak banyak
mengenal dunia sastra selain yang ada pada kurikulum.
Sementara, sumber petaka pendidikan kita pada
dasarnya adalah kurikulum yang memiliki kecenderungan
“menganaktirikan” sastra. Asumsinya, guru sastra yang terbatas
dan keinginan guru untuk memberi fokus kepada siswa-siswi

234
untuk bidang sastra. Kalaupun ada, itupun hanya terbatas pada
bidang linguistik. Padahal, bidang sastra harusnya diletakkan pada
posisi yang sama dengan bidang lainnya, seperti biologi dan fisika.
Keterbatasan guru dan ketidaktertarikan ini memang
membuat sastra adalah jalan sepi dan pelarian saja. Kalau ingin
jujur, dalam beberapa pelatihan yang lain, yang juga ditaja oleh
Balaibahasa, para guru mengakui sulitnya menuangkan ide ke dalam
bentuk tulisan. Padahal, para guru-guru ini diwajibkan menulis
makalah dan dipublikasi untuk laporan kegiatan akademiknya.
Lebih-lebih memenuhi laporan sertifikasi. Fenomena ini harus
ditangkap sebagai masalah yang berbahaya bagi masa depan
Bahasa Indonesia dan kemampuan penalaran serta penulisan. Baik
oleh guru, apalagi oleh siswa-siswi.

Ejaan Demi Ejaan


Ini yang paling parah. Parah sekali. Ketika proses latihan
menulis dilakukan, temuan pentingnya adalah kemampuan
taat aturan penulisan berbahasa. Kesalahan ejaan baik dari
yang sederhana hingga yang paling akut. Padahal, bahasa tulis
melambang ciri berpikir seseorang. Bahasa adalah penunjuk akal
budi yang tak terbantahkan.
Ejaan dan proses membangun kalimat ini tidak terbudaya
dengan baik. Walaupun secara knowledge diketahui tapi secara
afirmatif dan psikomotorik dalam penulisan tidak terlaksana. Ini
juga dipengaruhi tidak adanya budaya menulis di sekolah. Minim
dan sekadar saja. Kalau sudah begini, jangankan untuk sastra, untuk
menulis hal-hal biasa saja sudah bermasalah. Sementara, penulisan
sastra, tidak hanya persoalan teknis kalimat demi kalimat, tetapi
juga kemampuan olah rasa dalam kata, alur, tokoh, pertimbangan
judul, pembuka dan penutup.

235
Persoalan Teknis
Kemana sebenarnya bergerak pendulum sastra dalam
pendidikan bahasa kita? Inilah pertanyaan dalam pikiran yang
tak pernah terjawab. Akankah ilmu sastra hanyalah sekadar ilmu
untuk ilmu? Tidak membawa seseorang yang mempelajarinya bisa
cakap melahirkan karya? Atau memang hanya diarahkan kepada
arus kritik sastra? Apakah berkembang kritik sastra di negeri ini?
Sebagai penikmat yang terus mencoba mendalami hal-hal
sastra secara keilmuan, maaf, penulis mulai meragukan seluruh
operasional kurikulum yang sedang berlangsung ini.
Kelemahan rasa sastra dalam diri sebenarnya bukan
persoalan ada talenta, bakat atau minat. Tetapi terbunuhnya
kesempatan karena keadaan. Padahal, bibit sastra dalam setiap
orang selalu ada. Persoalannya, mau dikembangkan atau tidak.
Kemampuan menulis, menuangkan ide, semestinya
dibawah binaan guru Bahasa Indonesia yang juga menulis! Jangan
pinggirkan sastra, sebab sastra dibutuhkan mengisi ruang estetika
bagi pelajar kita. Jika hanya intelektual semata maka di masa depan
kita kehilangan estetika dalam budaya dan bahasa.
Temuan lain yang sangat sederhana dan teknis. Kemampuan
komunikasi intra persona dalam proses produksi. Selain ejaan yang
benar, kalimat yang hidup, atratif, tidak tumbuh di kalangan siswa-
siswi kita, juga ditemukan kemampuan dalam menguasai teknologi.
Sekadar misal, dalam menuangkan ide, mereka mengakui begitu
cepat ide datang tapi begitu lamban menuliskannya. Mereka tidak
dikenal bagaimana mengetik cepat, menulis cepat, apalagi mengetik
sistem sepuluh jari. Pengalaman menunjukkan, jika lamban
komunikasi antara ide dalam penalaran otak kepada jari yang ada
di tut maupun ditulis di tangan, akan terjadi kemacetan yang luar
biasa. Di sini, latihan sepuluh jari menjadi penting. Ini masalah

236
akut, saat menulis, kecepatan serapan apa yang dikatakan, apa yang
dipikirkan, apa yang mau ditulis, bertemu jalan buntu. Dari sini,
kemalasan datang menghajar. Membunuh budaya menulis. Ini
pula sampai ke perguruan tinggi, bila berhadapan dengan masalah
menulis skripsi. Telat tamat karena tak cakap menulis.

Peran Balai Bahasa


Program Balai Bahasa sangatlah penting mengisi ruang
kosong dari ilmu kesusteraan di sekolah kita, ketika kurikulum
beroperasi sekadar sampai di penghujung semester semata tanpa
sampai tindakan aplikatif siswa-siswi dalam menulis.
Balai Bahasa memberi ruang agar siswa-siswi
memperkenalkan ilmu teknis menulis, mengenalkan karya-karya
penulis sastra kepada siswa-siswi, menggugah minat baca dan
minat menulis serta meningkatkan wawasan. Umumnya, peserta
mendapatkan ilmu baru yang tidak didapatkan di meja belajar
selama ini. Mereka diberi pemahaman tentang perbedaan dan
kesamaan, menulis sastra, menulis karya ilmiah dan menulis
populer. Kata kuncinya, menulis!
Alangkah beruntung mereka yang menjadi peserta. Namun
tumbuh pertanyaan penulis dalam perjalanan pulang, bagaimana
nasib mereka yang tidak dapat kesempatan? Apakah ada nanti,
kebijakan kurikulum khusus Bahasa Indonesia difokuskan pada
kecakapan menulis? Menulis apa saja. Bukankah cakap menulis itu
penting, sepenting kecakapan untuk berbicara di depan khalayak?
Semoga saja, ada kebijakan lahirnya kurikulum yang bisa mengasah
kecakapan menulis dan minat tinggi dalam membaca bagi siswa-
siswi. Salam.[]

237
Matinya
Sistem Berpikir Kreatif

Inilah satu persoalan sistemik dari sekian banyak persoalan


yang terjadi dalam dunia kependidikan; Matinya sistem berpikir
kreatif! Mungkin saja masih ada yang hidup tapi semakin redup
dan sebentar lagi mati. Mungkin saja ada yang masih menggelora
tapi tak lama lagi akan padam sendiri. Kenapa itu terjadi?
Sejumlah guru Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK), di beberapa daerah mengikuti Pelatihan Menulis
Artikel Populer yang digelar Balai Bahasa Padang, November-
Desember 2015, mengakui sangat kaku untuk menulis artikel
populer untuk dimuat di media cetak maupun jurnal. Umumnya,
terhukum sejak dini dengan istilah berat, menulis karya ilmiah
populer, menulis karya ilmiah hasil kajian dan penelitian harus
dengan seperangkat aturan.
Sementara kini, karya ilmiah merupakan persyaratan penting
dalam kenaikan pangkat dan kepentingan sertifikasi bagi para guru.
Beberapa kasus, justru kepangkatan harus tertahan karena tak ada
karya. Lalu membiarkan nasib menggulung masa depan.

239
Pertanyaannya, apakah para guru tidak bisa menulis?
Jawabannya, tidak mungkin. Guru pasti cakap menulis, karena
harus membaca dan menyampaikannya kembali di depan kelas.
Mereka juga menguasai teknik pembelajaran sesuai dengan
panduan kurikulum yang berlaku.
Tetapi kenapa menulis artikel populer sangat payah? Apakah
menulis karya ilmiah sama halnya menulis artikel populer?
Apakah sama pula menulis karya sastra, catatan ringan seperti
tulisan ini dengan menulis di jurnal? Jawabannya, bisa sama, bisa
tidak. Dikatakan sama, karena sama-sama menjalankan kreatif,
membangun kalimat, mengkritisi keadaan, mengkaji persoalan,
mengamati fenomena, menuangkan ide, menyampaikan pikiran,
dsb. Dikatakan beda, modelnya saja yang berbeda. Walau ini sangat
relatif, jika dirinci secara lebih dalam. Pakem-pakem kepenulisan
apapun jenisnya, sama, menyampaikan maksud penulis kepada
pembaca melalui logika bahasa tulisan, tidak lisan.
Menulis pada dasarnya, tiada lain adalah berbicara, serupa
ceramah di masjid, pidato resmi di upacara, mengajar di kelas.
Tentu saja, sangat sederhana jika ingin sederhana, sangatlah berat
kalau ingin diperberat. Persoalannya bukanlah di situ, tetapi lebih
kepada hal lain. Hal teknis dan non teknis yang mengganggu dan
membuat malas.
Beberapa masalah yang dapat diidentifikasi, di antaranya,
kemauan dan motivasi yang minim. Dorongan untuk menuliskan
pengalaman dan pengamatan selama melaksanakan profesi yang
sudah berjalan belasan tahun bahkan puluhan tahun tidak ada.
Baru beberapa tahun terakhir, dorongan kian kuat karena lahirnya
peraturan yang mewajibkan agar guru menulis. Itu pula sejak
beberapa tahun terakhir, ada penulis artikel populer di Harian
Umum Independen SINGGALANG, disebutkan profesi penulis

240
sebagai guru di sekolah tertentu. Hanya saja, itu masih bisa dihitung
dengan jari. Itupun ada yang dasarnya pernah aktif sebagai mantan
wartawan.
Iklim penulisan di tengah tugas pengajaran memang belum
tumbuh sebagai semangat untuk memulai. Masih tumbuh sebagai
keluhan panjang tentang peraturan yang ternyata menekan keadaan.
Seiring pendapatan yang bertambah tuntutan juga meninggi, jam
mengajar yang bertambah, prosedur dan peraturan yang kian
ketat, ditambah lagi harus menulis karya ilmiah. Peraturan ini bisa
jadi terasa ringan di beberapa tempat tapi sangatlah berat di tempat
lain karena kondisi dan keadaan. Misalnya, selain akses bacaan dan
buku-buku teoritis yang sulit di daerah, juga karena bimbingan
yang minim. Bagi guru-guru yang beruntung, bisa bekerja sama,
minta pertolongan anak-anak mereka yang sudah kuliah, atau jalan
paling naif, lacak di online, kemudian copy paste dan ubah nama,
ubah judul. Yang terakhir, beberapa kasus terjadi demi persyaratan
lulus dari peraturan.
Menulis membutuhkan kreativitas. Kreativitas membutuhkan
wawasan yang luas dan pengalaman yang banyak. Bagi guru-guru
yang belasan dan puluhan tahun, tentulah memenuhi kriteria itu.
Ada banyak pengalaman dalam menghadapi siswa-siswi di kelas,
juga beberapa sekolah yang pernah disinggahi. Kenapa mereka
tidak menulis? Jawabannya, karena begitu kaku dan takut dengan
aturan main penulisan yang mereka temukan secara teoritis. Takut
melangkah out of the box! Padahal, menulis pada dasarnya tidak
sekadar teoritis, tapi juga melibatkan persoalan teknis praktis.
Persoalan terakhir ini juga membuat kemalasan tumbuh. Praktek
menulis, adalah keterampilan yang diasah. Jika malas mulai,
tentulah akan sulit menguasai keterampilan. Belum dimulai sudah
kuncun lebih dahulu.

241
Bukan tidak ada guru yang rajin menulis. Ada dan banyak
juga. Hanya saja, lebih banyak berkutat dalam penulisan tema itu ke
itu saja. Masih seputar Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Memang
hal itu menjadi keharusan, sayangnya tidak ada pengembangan
penulisan lebih jauh dan bebas. Kenapa ini terjadi? Selain karena
peraturan, juga karena terbelenggunya sistem berpikir menulis
karya ilmiah yang harus banyak referensi dan teori. Karena ini yang
menjadi standar, sehingga tak ada temuan penelitian itu sesuatu
yang baru dan besar? Tentu, sangat jarang.
Menulis, apapun jenisnya, tiada lain adalah berperannya
sistem kreatif otak kanan melihat persoalan di lapangan, lalu diolah
di otak kiri. Sistem kreatif sebenarnya, berdekatan dengan sistem
berpikir kritis terhadap persoalan. Melalui pengamatan yang
membutuhkan ketajaman pertanyaan terhadap keadaan. Inilah
yang sebenarnya terbenam, tumpul, lalu mati secara sistemik dan
membudaya.
Selain itu, terdapat keengganan berurusan dengan hasil
penelitian bila mana akhirnya menyindir, menyakitkan, lembaga
dan pemimpin lokal. Ada ketakutan tertentu bagi para guru, dari
pada berurusan yang tidak jelas, sungguhpun menulis tentang
kebenaran, lebih baik diam.
Beberapa diskusi di tengah guru-guru yang menjadi
peserta, ternyata ada pengamatan-pengamatan yang layak sekali
diungkapkan ke permukaan. Misalnya, pengaruh jauh dekat
jarak tempuh siswa-siswi ke sekolah terhadap prestasi di sekolah;
pengaruh budaya daerah dalam pendidikan siswa-siswi, peta
kemampuan dan siswa-siswi dilihat dari profesi orang tua, pola
makan, pola asuh, dll.
Semuanya terbuka untuk diteliti, ditulis dan dikemas dalam
bentuk tulisan. Lagi-lagi, para guru mengakui, terceritakan melalui

242
lisan secara ligat dan lihai namun tak tertuliskan. Pengakuan
lainnya adalah, penguasaan menulis media komputer lamban.
(Lihat opini SINGGALANG, Selasa 23 Juni 2015, Catatan Bengkel
Sastra Balai Bahasa Padang, 2015)
Selain dapat bertemu dengan para guru, utusan sekolah se
Kabupaten Pesisir Selatan di SMK 1 Painan, se Kabupaten Solok
Selatan di Mess PGRI Sangir, se Kabupaten Solok di SDN 14 Selayo
Kubung, Balai Bahasa juga memberi kesempatan bertatap muka
dengan siswa-siswi SMPN di Kota Padang. Mereka diutus dari
berbagai sekolah, lalu ditempatkan selama beberapa hari di SMPN
25, SMPN 20 dan SMPN 18. Karena level pengenalannya berbeda,
justru siswa-siswi ini antusias jika diajak membuat catatan-catatan
ringan tentang pengalaman, pemikiran, cita-cita dan hal-hal yang
mereka kuasa sebagai dunia mereka. Lincah tangan mereka menari
di kertas. Ada-ada saja yang mereka tulis. Kreatif. Sementara guru,
tidak lagi menarik untuk itu. Latihan bagi mereka adalah beban
berat.
Ada guru yang sebentar lagi pensiun. Lalu bercerita tentang
pengalaman sangat pahit pada paruh 70-an, ketika ia pertama
diangkat. Lalu diceritakannya juga pengalaman paling manis
dalam hidupnya. Sayangnya, lagi-lagi tak pernah tertuliskan.
Padahal, pengalaman puluhan tahun mengajar di setiap sekolah
yang pernah ia singgahi, tentulah bisa jadi bahan analisis sebagai
observasi bertahun-tahun. Bisa dijadikan buku, sebagai pelajaran
penting bagi guru-guru baru tapi ia tak melakukannya.
Setiap akhir pertemuan pelatihan, selalu dipesankan,
tulislah dulu apa yang dipikirkan dan dirasakan, soal sistematika,
soal jadi artikel populer, artikel ilmiah, jadi karya sastra sekalipun,
semuanya bisa diolah, yang penting, tulislah! Lupakan teori; sebab
satu ons praktek lebih penting dari pada satu ton teori. Balai Bahasa
mengharapkan, agar kebiasaan menulis berkembang di sekolah.
Jika guru cakap menulis maka tentulah siswanya akan terpengaruh
dan mengikuti. Melahirkan karya yang layak baca di kemudian
hari. Salam kreatif. []

244
Jangan Robohkan
IAIN Kami

Rektor IAIN Imam Bonjol Padang dibebastugaskan,


digantikan oleh Pengganti Sementara (Pgs). Menteri Agama R.I.,
tentunya sudah mempertimbangkan buruk baik atas keputusan
tersebut, setelah melakukan berbagai penelusuran dan klarifikasi
atas kekeliruan administrasi kependidikan pada tahun 2011/2012.
Keputusan serupa juga dialami Universitas Islam Negeri
(UIN) Sunan Gunung Djati Bandung. Artinya, ada dua jabatan
rektor di lingkungan Kementerian Agama R.I., dipimpin Pgs.
Ibarat tsunami, keputusan tersebut berdampak sedikit banyak pada
sistem keuangan, perencanaan dan perjalanan lembaga menuju visi
dan misi yang dituju. Galibnya Pgs., memiliki keterbatasan dalam
mengambil kebijakan dibandingkan rektor defenitif.
Judul tulisan ini terinspirasi dengan karya sastra A.A.
Navis (1924 – 2003) Robohnya Surau Kami. Pasca Gempa 30
September 2009, Tabloid Mahasiswa IAIN Imam Bonjol Padang,
Suara Kampus, juga terinspirasi dengan karya ini sebagai headline;
Robohnya Kampus Kami. Cerpen A.A. Navis menceritakan sebuah

245
surau yang runtuh karena pengaruh waktu dan pemikiran spiritual
yang dipahami masyarakat. Sedangkan reportase Suara Kampus,
melaporkan keadaan kampus setelah gempa. Tulisan ini berbeda
bahasan namun bisa saja akan terjadi kesamaan secara filosofis dan
ideologis.

Kabar dari Dalam


Isu dibebastugaskan Rektor IAIN Imam Bonjol Padang
memang sudah berhembus satu bulan terakhir. Seperti diberitakan,
beberapa alasan Kemenag R.I., menjatuhkan keputusan. Yaitu,
pelaksanaan lokal jauh, keterlambatan akreditasi, dll. Kekeliruan
tersebut dianggap fatal. Awalnya, isu ini mengabarkan tidak saja
jabatan rektor, tetapi juga para wakil dan direktur, serta pangkat
guru besar dari para profesor tersebut.
Semua isu itu terjawab, Kamis (19/3). Serah terima jabatan
dari Rektor IAIN Imam Bonjol Padang, Prof. Dr. H. Makmur
Syarif, SH., M.Ag., kepada Pgs, Prof. Dr. H. Asasriwarni, MH, di
Aula Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang Kampus Sudirman.
Hadir pada kesempatan tersebut, segenap sivitas akademika dan
undangan. Terutama para anggota senat.
Di hadapan civitas akademika itulah, Kepala Biro
Administrasi Umum, Akademik dan Keuangan (AUAK), Drs. H.
Dasrizal, M.M., membacakan Surat Keputusan (SK) Menteri Agama
RI, Nomor B.II/3/PDJ/00991/2015 dan Surat SK yang menetapkan
WR III Prof. Dr. H. Asasriwarni, MH sebagai Pengganti Sementara
(Pgs) Rektor berdasarkan SK Menag No. B:III/3/019891, terhitung
sejak tanggal 9 Maret 2015.
Prof. Dr. H. Makmur Syarif, SH. M.Ag., sebagai rektor yang
diberhentikan menyatakan menerima keputusan tersebut, sebagai
takdir hidupnya dalam mengemban jabatan. Serta memakna jabatan

246
sebagai amanah dan kehendak Allah SWT. Ia juga memaparkan
apa yang sesungguhnya terjadi. Hanya kekeliruan administrasi
kependidikan, tidak korupsi dan tidak pula hal amoral. Guru
Besar Fakultas Syariah itu juga menyampaikan kemajuan selama
kepemimpinannya.
Sementara itu, Prof. Dr. H. Asasriwarni, MH, dalam
sambutannya, meminta agar semua pihak membantu perjalanan
jabatan yang diembannya dalam waktu lebih kurang empat bulan
ke depan. Ia akan meneruskan kemajuan yang telah dicapai pada
masa Makmur Syarif. Serta menyatakan, kekeliruan yang terjadi
harus menjadi pelajaran dan tak boleh terulang lagi.

Demi Masa Depan


Setelah menghadiri suasana serah terima dua profesor itu,
ada banyak pertanyaan yang masih belum terjawab. Misalnya,
apa sesungguhnya yang sedang terjadi di lembaga perguruan
tinggi Islam ini? Apakah kekeliruan itu begitu fatal? Bukankah di
kementerian lain, kekeliruan semacam itu jamak terjadi? Apakah
ada alasan lain yang lebih kuat? Atau memang ada yang sedang
ingin merobohkan lembaga ini? Kalau ada, siapa dia?
Pertanyaan ini belum bisa terjawab sepenuhnya. Namun
sebagai bagian dari “rumah gadang” ada beberapa hal yang janggal
dipandang dari sisi Ilmu Dinamika Komunikasi Kelompok.
Terdapat kelemahan dalam komunikasi semua lini membuat
lembaga ini mengalami krisis sikap mental yang sangat sistemik.
Tidak hanya sering terjadi miskomunikasi tetapi juga kegagalan
komunikasi dan kebuntuan komunikasi.
Kondisi ini tidak lepas dari krisis pasca gempa, 30 September
2009. Kampus terseok-seok membenahi diri. Kondisi darurat masih
terasa dan memengaruhi semangat untuk bangkit. Ditambah lagi,

247
juga pengaruh dari kondisi pasca bencana, Rektorat sebagai simbol
pindah sebanyak dua kali. Sementara gedung Rektorat belum juga
selesai dibangun. Beberapa unit layanan juga menempati gedung
yang bukan seharusnya. Sarana prasarana bukannya bertambah,
namun terus menurun. Byar pet sudah menahun. Ini jelas
memengaruhi kondisi psikis.
Sementara itu, fokus pembangunan sudah pula mengarah ke
Kampus Sungai Bangek. Persoalan ini tindih-menindih, membuat
beban persoalan kian berat dan tak terpikul.
Agar kondisi kembali lebih baik, dibutuhkan pemimpin yang
memiliki kapasitas terpasang di atas rata-rata. Tidak pemimpin
biasa. Ia harus mampu membagi habis semua pekerjaan, mampu
mengayomi, mampu mengatur hingga selesai satu persatu.
Tugas berat pemimpin defenitif nantinya adalah
menyelesaikan kebuntuan komunikasi dalam penyelesaian
dinamika sehari-hari agar tidak menggelembung dan pecah.
Membangun komunikasi yang menumbuhkan kebersamaan dan
semangat berkemajuan.

Bingkai Besar
Sebagai salah satu lembaga pendidikan tinggi Islam telah
berusia lebih dari setengah abad. Sejak berdiri, 29 November 1966,
IAIN Imam Bonjol terus berkembang, baik dari sisi pertumbuhan
jumlah fakultas maupun perkembangan kualitas keilmuan. Namun
kondisi pasca gempa memang memiliki dampak yang luar biasa.
Terseok-seok berbenah.
Dalam pada itu, tidak lama lagi, IAIN akan memasuki
masa konversi menjadi Universitas Islam Nusantara (UIN),
akan menerapkan sistem Badan Layanan Umum (BLU), akan
ada beberapa fakultas baru. Salah satunya, Fakultas Ekonomi

248
dan Bisnis Islam (FEBI). Pembangunan Kampus Sungai Bangek
memasuki tahap peletakan batu pertama. Diharapkan wajah baru
lembaga perguruan tinggi Islam ini segera tampak. Baik secara
fisik maupun mental. Inilah pekerjaan yang mesti dilanjutkan.
Membutuhkan tenaga, pikiran, dana, juga kepemimpinan yang
cekatan memainkan peran. Jangan pernah melupakan, “Jika sebuah
urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah
kehancuran urusan itu.” (Hadits Riwayat Bukhari: 1065).
Bila dilihat dalam bingkai lebih besar, IAIN Imam Bonjol
Padang hadir di di tengah masyarakat dengan filosofi Adat
Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah (ABSSBK). Sebagai
lembaga pedidikan agama, ia menjadi bagian terpenting dalam
tali tigo sapilin dan tigo tunggu sajarangan. Lembaga pendidikan
pembangunan spiritualitas umat.
Kunci semua itu, tegaknya moral dari keruntuhan secara fisik
dan psikis yang dialami saat ini. Bangkit membangun komunikasi
yang cerdas ke dalam maupun ke luar. Ke atas ke bawah. Dengan
begitulah akan menjawab, tak ada yang mau merobohkan IAIN
baik dari dalam, dari luar, dari bawah, dari atas. Semua peristiwa
ini harus dipahami sebagai dinamika sebuah lembaga dalam
menata masa depan yang lebih baik.[]

249
Kampus
Sungai Bangek

Rektor IAIN Imam Bonjol Padang bersepakat dengan


Kerapatan Adat Nagari (KAN) Koto Tangah untuk memuluskan
jalan terwujudnya sebuah kampus di Sungai Bangek. Sebuah
kampus megah yang akan memberi multi effect terhadap kehidupan,
khususnya di Koto Tangah, umumnya di Sumatera Barat.
Itulah yang tergambar dalam berita Singgalang, Jumat
(21/11). Sebuah gambaran yang memberikan banyak harapan, baik
civitas akademika, maupun warga Koto Tangah. Dan hal ini juga,
harus dimaknai juga harapan bagi Sumatera Barat.
Cerita tentang kampus III IAIN Imam Bonjol Padang sudah
sejak beberapa tahun silam terdengar, seiring rencana perubahan
status IAIN Imam Bonjol Padang menjadi Universitas Islam
Nusantara (UIN), yang kini dalam proses. Terlepas setuju atau
tidak perubahan status ini, perubahan tetaplah sebuah keniscayaan
dalam menanggapi arus zaman. Pengusulan hadirnya kampus baru
ini sudah menjadi kebutuhan mendesak mengingat sudah sesaknya
pembangunan di Kampus Lubuklintah dan Kampus Sudirman.

251
Sudah tidak sesuainya, jumlah mahasiswa dengan kapasitas
kampus dan peruntukannya.

Bebas Lahan
Proses pembebasan lahan yang hampir selesai, kesepakatan
dukungan KAN Koto Tangah, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat
(LPM), Lurah Balai Gadang, Camat Koto Tangah sangat memberi
arti bagi lajunya proses pembangunan kampus di perbukitan
Sungai Bangek tersebut. Lebih-lebih dukungan Pemprov Sumbar
bersedia membuka akses jalan ke lokasi kampus.
Pembebasan lahan memang bukan pekerjaan mudah,
mengingat tanah ulayat yang dibeli pemerintah ini memiliki
persoalan berbeda-beda dari pemilik dan kaum. Proses yang
sempat tersendat karena berbagai persoalan ini satu demi satu
sudah dan sedang diselesaikan. Setelah tuntas semuanya, barulah
akan dilaksanakan proses pembangunan gedung yang juga akan
memakan waktu tidak sebentar pula.
Menurut keterangan Rektor IAIN Imam Bonjol Padang,
Prof. Dr. H. Makmur Syarif, SH, M.Ag, pihak Kementerian baik
Kementerian Agama, Bapenas, harus dapat keterangan dan
dukungan valid agar kucuran dana pembangunan bisa lancar. Tak
tanggung-tanggung, proposal diajukan tak kurang dari Rp1 Triliun.
Pertanyaannya, akankah kita melihat sebuah kampus baru
yang megah beberapa tahun ke depan? Tentu saja, banyak yang
berharap bisa terwujud. Namun proses panjang ini tak boleh ada
banyak kerikil yang bisa menggagalkan mimpi besar ini. Sebab,
bukan batu besar yang biasanya membuat seseorang jatuh tapi
kerikil. Sekali lagi kerikil! Batu kecil.
Pembangunan memang membutuhkan pengorbanan besar.
Pengalaman pembangunan PLTU di Teluk Sirih Bungus harus

252
menjadi pelajaran penting. Kesalahan kecil bisa membuat pejabat
publik yang melaksanakan tugas menjadi tersangka.
“Kami rindu di kampung ini berdiri sebuah kampus
megah, sejajar dengan kampus megah di daerah lain. Dampak
keberadaannya tentu akan sangat luar biasa kepada anak nagari
Koto Tangah,” ungkap Ketua KAN Koto Tangah, H. Ahlidir Datuk
Mudo.
Sebuah kampus idealnya memberi dampak positif terhadap
daerah sekitarnya. Baik secara ekonomis maupun secara budaya,
ilmu pengetahuan, juga hal positif lainnya. Namun demikian, tentu
ada dampak negatif yang harus diantisipasi jauh hari sebelum
terjadi.

Komunikasi Angin Segar


Pertemuan Civitas Akademika IAIN Imam Bonjol Padang
dengan seluruh elemen di Masjid Raya Balai Gadang Koto Tangah,
merupakan komunikasi angin segar tidak hanya terhadap Koto
Tangah tetapi juga kepada masyarakat Sumatera Barat. Karena
sebagai perguruan tinggi tua, IAIN Imam Bonjol Padang didirikan
sebagai milik masyarakat Sumbar untuk melahirkan generasi
baru yang menguasai bidang ilmu-ilmu agama dengan kombinasi
keilmuan dan kajian sosial lainnya.
Karenanya kehadiran kampus baru bagi IAIN bukan saja
kebutuhan IAIN tetapi juga kebutuhan Sumatera Barat. Pemerintah
Pusat harus memahami ini. Keberadaan IAIN melengkapi
keberadaan Unand, UNP, UBH, Unbrah, dan perguruan tinggi
lainnya, yang memiliki peran masing-masing serta punya kewajiban
untuk diperhatikan dan dikembangkan bersama.
Pertemuan pihak-pihak berkepentingan pembangunan
Kampus Sungai Bangek diharapkan dapat menyapu seluruh

253
kerikil. Memuluskan seluruh jalan pembangunan. Komunikasi
dengan intensitas tinggi harus dilakukan baik dari IAIN Imam
Bonjol Padang maupun dari KAN Koto Tangah. Selama ini, harus
diakui, agak minim sehingga muncul gejala protes dari warga Koto
Tangah yang merasa terusik karena tidak terkomunikasi dengan
baik. Menurut teori, niat baik tanpa dibarengi komunikasi yang
baik jarang menghasilkan buah yang baik.
Ketua Pengadaan Tanah Pembangunan Kampus Sungai
Bangek, Prof. Dr. H. Salmadanis, M.Ag dalam satu kesempatan
menyebutkan, proses panjang pengadaan tanah ini memang
membutuhkan perjuangan dan pengorbanan yang tidak sedikit.
Baik waktu maupun tenaga. Tidak sedikit cobaan datang, mulai
dari pengaduan dugaan korupsi juga caci maki. Tetapi niat baik ini
tak boleh mundur apalagi gagal.
“Karena kita melewati mekanisme keuangan negara,
pembelian tanah juga langsung ke rekening pribadi pemilik tanah,
maka kita meyakini melewati jalan yang benar untuk mewujudkan
mimpi besar sebuah kampus megah membanggakan Sumatera
Barat. Kita sadari tidak bisa cepat tuntas, banyak masalah, banyak
orang, maka perlu waktu, fokus, serius, hati-hati, tetap di koridor
keuangan negara,” tegas profesor kelahiran Tanahdatar ini, optimis.
Semoga saja mimpi ini segera terwujud, sehingga suatu hari
nanti, akan ada kosa kata baru, selain “kampus Limau Manih.” Ada
lagi “kampus Sungai Bangek”. Mari kita mulai. []

254
IAIN Ricuh, Bola Mati
di Tangan Siapa

Ribuan mahasiswa IAIN Imam Bonjol Padang berunjuk


rasa, Senin (11/4), setelah mendengar kabar ada rekannya digebuk
oknum Satuan Pengamanan (Satpam) akhir pekan lalu. Bukan
hanya kerugian materil yang harus ditanggung kampus di Lubuk
Lintah itu, lebih parah lagi tentunya, citra negatif sebagai kampus
yang jauh dari rasa aman. Kampus ini memang sudah lama, gagal
branding!
Banyak pihak yang menyayangkan peristiwa sepele akhirnya
membuat chaos, berhentinya proses belajar dan mengajar. Apalagi
sebagai kampus pendidikan tinggi agama, harusnya menjunjung
tinggi nilai-nilai moral, baik mahasiswa maupun oknum Satpam.
Tulisan ini tidak untuk menuding pihak mana yang salah
dan pihak mana yang benar. Semua telah selesai di atas kertas
perdamaian. Namun demikian, peristiwa ini perlu diambil
hikmah agar tidak terjadi di masa depan hal-hal serupa ini. Jika
memang akhirnya, demonstrasi adalah sebuah jalan gerakan bagi
mahasiswa, hendaknya aspirasi yang lebih besar harus diusung.

255
Karena di pundak mahasiswa, kaum intelek, elite minority, inilah
suara kritis terhadap penguasa ditumpangkan. Mahasiswa adalah
energi kaum muda yang harus bersuara lantang untuk kepentingan
umat.

Matinya Ilmu Sosial


Suasana runyam dan ricuh di kampus Lubuk Lintah menjadi
trending topic di media sosial. Kata seorang akademisi, peristiwa
ini bagian dari kematian ilmu sosial di rumah sendiri, rumah para
ilmuwan.
Persoalan sosial, memang selalu terjadi di manapun. Namun
untuk konteks kampus ini, patutlah diduga ada masalah seputar
komunikasi dan koordinasi sebagai pilar pendukung harmonisasi
kehidupan kampus. Baik antar sesama warga kampus, maupun
dengan warga sekitar. Sudah lama memang, ada konflik batin warga
kampus dengan keadaan rumah sendiri. Mulai dari persoalan
kemampuan kepemimpinan, birokrasi, hingga harapan terhadap
harmoni yang harus berjalan dan dijalankan oleh sebuah sistem
kehidupan kampus ideal. Bukan cerita baru, ada motor hilang,
apalagi helm. Adalah cerita lama, jika wisuda tiba, para orang tua
yang datang, heran melihat kampus yang centang-parenang. Parkir
mahal, macet berjam-jam. Kenyamanan hanyalah harapan yang
kian jauh meninggi.
Belum lagi sederetan persoalan yang didiamkan, mati
di tangan para pengambil kebijakan. Sungguhpun persoalan
tersebut sepele, tapi tak bisa selesai. Begitu sibukkah para pejabat
perguruan tinggi ini? Tentu saja sibuk, tetapi itu bukan alasan untuk
membiarkan hingga setiap usulan dan aspirasi mati di tangan.
Apalagi, bola aspirasi dan administrasi mati karena pejabatnya
jarang di meja. Ini ironi.

256
Sebenarnya, sudah lama ada usul, agar pejabat IAIN Imam
Bonjol Padang, memberi perhatian penuh terhadap lingkungan
sekitar. Mengaplikasikan seluruh ilmu yang ada di IAIN. Ada
puluhan jurusan keilmuwan di kampus ini, harusnya mampu
memberikan warna di lingkungan dan Lubuk Lintah sekitarnya.
Ada banyak pakar, juga ustadz yang setiap hari mengisi jadwal
ceramah.
Sekadar misal, ada gerakan membangun harmoni, para
pimpinan menurunkan tim untuk “ngopi” bersama dengan tokoh-
tokoh sekitarnya, juga dengan lurah, RT, RW, dan perangkat
lingkungan lainnya. Sejauh ini, belum ada gerakan. Dulu, paruh
1999, pasca reformasi, Senat Mahasiswa Institut (SMI) pernah
menggelar acara bersama dengan pemuda. Setelah itu, tidak ada
terdengar bagaimana program kampus terhadap lingkungan
setempat.
Hendaknya, ke depan, ada program pendampingan terhadap
lingkungan. Para sosiolog turun melihat lebih dekat, merasakan
denyut nadi warga sekitar, begitu pula pakar komunikasi, pakar
pendidikan, dsb.
Peristiwa pemukulan, Minggu hingga Senin menjadi ricuh,
adalah puncak dari segala jembatan harmoni kehidupan yang
memang tak pernah dibangun sejak semula. Komunikasi antar
jajaran, antar lingkungan, memang menjadi masalah tersendiri
bagi lembaga yang ingin meningkatkan menjadi Universitas Islam
Negeri (UIN) ini.
Semoga menjadi hikmah, agar bola tidak mati di tangan
para pemangku jabatan struktural di kampus Islami ini. Berbagi
tugaslah, beri kewenangan kepada mereka yang mampu untuk
menyelesaikan setiap persoalan yang ada. Jadikan tragedi ini
sebuah momen positif. Salam. []

257
Gerakan Reformasi
Berhenti di Kaki Pelangi

Hari itu, enam belas tahun lalu, matahari di atas kepala.


Panas menyengat. Tapi riuh demonstran yang mengelilingi
panggung kecil di tengah lapang seperti tak peduli. Mereka malah
merangsek ke depan lalu diminta duduk tertib. Sesekali mengepal
ke atas, hidup reformasi! hidup reformasi! Di panggung, orator
silih berganti menyampaikan orasi dengan nada yang marah
kepada rezim yang sedang berkuasa.
Suasana kembali lebih riuh penuh patriotisme, ketika tokoh
penting yang selalu kritis dengan pemerintah Orde Baru, Amien
Rais memegang mikropon. Amien Rais dielu-elu. Lalu ia meminta
massa tenang dan mulai orasi. Hari itu, Amien menyampaikan
tentang rezim yang disebutnya; Tanpa Usaha Tapi Untung Terus
(Tutut).
Itulah salah satu suasana demonstrasi akbar yang pernah
digelar di Padang selama Mei 1998. Pada klimaknya demonstrasi
depan kantor gubernur dan gedung DPRD Sumbar. Ribuan
mahasiswa turun ke jalan. Tumpah ruah di Kota Padang. Hal

259
serupa terjadi di provinsi lain. Waktu itu, saya mahasiswa juga.
Aktif di pers kampus.
Sehabis orasi, Amien Rais dikawal ketat ke lantai dua
rektorat IKIP, kini UNP, di belakang lapangan. Tak banyak
orang boleh masuk. Termasuk kru televisi yang lama menunggu
kedatangan Amien Rais. Bang Denny Risman, wartawan senior
yang memegang micropon SCTV pada waktu itu bertengkar
dengan teman-teman mahasiswa yang menjadi petugas keamanan
agar dapat mewawancarai Amien.
“Amien memang diagendakan untuk jumpa pers,” ungkap
Bang Denny Risman, beberapa hari lalu, di twitter.
Akhirnya para jurnalis tidak dapat masuk ke dalam diskusi
terbatas itu. Sementara, saya mendapat kesempatan menyelinap
hingga ke lantai dua melalui seorang teman Koordinator Lapangan
(Koorlap).
Sampai di ruangan, diskusi terbatas dipandu Gusrizal,
Amein Rais kembali membeberkan pemikiran pentingnya gerakan
reformasi untuk meruntuhkan orde baru. People Power salah satu
gerakan yang akan dilakukan.
“Ada yang mau bertanya dengan paparan saya, di lapangan
maupun yang sebentar ini?” kata Amien.
“Pak Amien, ketika Orde Baru turun. Apa agenda
selanjutnya?” tanya saya, setelah mendapat kesempatan bertanya.
Amien mengambil spidol dan membuat garis diagonal ke
atas di witheboard. “Begini, mas Khusairi. Agenda kita belum
selesai untuk menurunkan Soeharto. Jika itu telah terjadi, kita akan
rancang agenda selanjutnya. Kita harus turunkan rezim Orba dulu,”
begitu kira-kira kata Amien Rais, sembari menjawab pertanyaan
dari teman-teman yang lain.

260
Jawaban-jawaban itu tidak memuaskan. Harapan mendapat-
kan penjelasan tentang agenda setting reformasi akhirnya sia-sia,
hingga turunnya Soeharto dari tampuk kekuasaan, 21 Mei 1998.

Masa Rawan Reformasi


Enam belas tahun sesudahnya, Budiman Sudjatmiko menulis
dua buku tebal, Anak-Anak Revolusi (2014). Beberapa cerita
perjalanan hidupnya sepanjang gerakan reformasi sedikit memberi
jawaban. Reformasi memang tidak memiliki agenda yang jelas,
serupa revolusi di banyak tempat di belahan dunia. Akibatnya,
reformasi hanya mampu menurutkan Soeharto, sementara, akar-
akar kekuasaannya hingga kini mencengkram kuat. Banyak
bunglon kekuasaan bertahan, karena nyaris tak ada lini yang luput
dari “orang-orang Soeharto.”
Hal ini dibuktikan dengan tuntutan reformasi yang belum
banyak yang tuntas. Penegakan hukum yang belum seutuhnya,
otonomi daerah yang masih menyimpan masalah, korupsi kolusi
nepotisme (KKN) makin menjadi. Sementara itu, kebebasan pers
hanya dinikmati korporasi media, bukan para jurnalis yang masih
mendapat upah kecil.
Budiman Sudjatmiko sudah memprediksi jauh hari di balik
jeruji penjara, ketika rezim Orde Baru mulai galau mempertahankan
kekuasaan, reformasi adalah jalan kompromi. Akibatnya kian jelas,
reformasi akhirnya semu dan disajikan setengah matang.
Kini euphoria reformasi itu kian meredup terasa. Masa yang
rawan. Agenda reformasi terbengkalai. Gerakan mahasiswa hanya
parsial. Aktivis reformasi sudah mencari jalan hidup sendiri-
sendiri. Perubahan yang dicita-citakan makin meninggi. Susah
digapai dalam waktu dekat. Tiga kali Pemilu, puluhan pemilihan

261
kepala daerah (Pilkada), hanya menghasilkan pembagian
kekuasaan. Perubahan itu ada tapi masih terasa setengah jadi.
Siapa yang mesti melanjutkan perjuangan reformasi? Apakah
ada regenerasi? Tidak perlu. Toh, sejarah memang berulang,
begitu kata Ibnu Khaldun. Setiap ia datang, selalu ada yang
dimakannya tetapi ada yang dilahirkannya. Eksponen 66 boleh
jadi bangga lahirnya orde baru dengan berkuasa atasnya, dengan
tenggelamnya orde lama. Sementara itu, aktivis reformasi 98, boleh
saja mengenang romantisme enam belas tahun yang lalu. Semua
telah berlalu, akan lahir lagi sejarah baru setelah ini. Hukum alam
telah mengaturnya. Roda sejarah yang diputar oleh waktu.

Mengharap Kaki Pelangi


Proses Pemilu legislatif 2014 baru saja usai, kita segera
melaksanakan pemilu presiden. Beberapa nama calon presiden
muncul setiap hari di media massa. Kian gencar mencari
melancarkan serangan, melakukan sosialisasi, juga menawarkan
koalisi. Koalisi memang harus dilalui karena partai pengusung
calon presiden tidak ada yang menang mutlak. Inilah kemenangan
“telur dadar,” kata Alfan Alfian (2014). Tidak ada partai yang
dominan.
Pada konstalasi politik serupa itu, di mana gerakan reformasi
itu? Masih bergerak diam atau telah mati? Sungguh pertanyaan sinis
ini patut kita kedepankan ketika semua telah mengaku reformis dan
menyatakan berhak atas kekuasaan. Tuntutan reformasi bisa jadi
tinggal cerita. Hanya mampu menghantarkan perubahan hingga
setengah matang, setengah jadi. Selebihnya, kembali diambil oleh
mereka yang memiliki kekuatan dan kekuasaan.
Hal yang paling mungkin dilakukan bagi kita yang
masih ingin cita-cita reformasi berjalan walau sudah terlihat

262
tertatih, adalah memilih presiden yang memiliki semangat
untuk melanjutkan agenda reformasi. Atau paling tidak menjaga
kebebasan pers dan kebebasan berpendapat. Ini modal dasar yang
mesti terjaga. Kemudian, melanjutkan perjuangan pelaksanaan
otonomi daerah diperluas, tidak setengah-setengah. Penguatan
sistem hukum dan penegakan hukum, yang tak boleh lagi dipakai
hanya untuk melanggengkan kekuasaan, tebang pilih dan tajam ke
bawah tumpul ke atas.
Sayangnya justru, nama-nama calon presiden dan wakil
presiden itu belum ada yang melemparkan visi dan misi ke
permukaan. Mereka belum menjual ide-ide kemajuan. Lebih
banyak show kekuatan dan sudah merasa di atas angin. Karenanya,
saya jadi ingat sebuah judul laporan investigasi Bondan “maknyus”
Winarno, Sebongkah Emas di Kaki Pelangi (1997). Dan reformasi
sepertinya akan bernasib serupa emas itu. Terhenti di kaki pelangi.
Salam. []

263
Dua Kapolres
di Tengah Bencana

Kapolres Limapuluh Kota bersampan di tengah bencana


banjir dan berdiam semalam bersama para korban. Hari itu,
tongkat komandonya sangat berarti bagi korban bencana untuk
mengarahkan pasukan untuk membantu korban di wilayah
hukumnya.
Sedangkan Kapolres Payakumbuh bersepeda dari nagari
ke nagari yang dilanda banjir. Melihat dan merasakan dari dekat
hati para korban. Mengkoordinir pasukan, menyapa dan memberi
bantuan yang dibutuhkan para korban banjir.
Reportase Muhammad Bayu Vesky di halaman Payakumbuh
SINGGALANG, Senin (15/2) membuat hati terenyuh dan
berempati. Kapolres Limapuluh Kota, AKBP Bagus Suropratomo,
S.Ik dan Kapolres Payakumbuh, AKBP Yulianis, turun langsung ke
lokasi bencana guna mengomandoi anggotanya untuk membantu
masyarakat.

265
Tanpa mengecilkan arti pucuk pimpinan pada lembaga lain
yang setingkat, reportase ini mengingatkan sosok ideal pemimpin.
Pemimpin yang sigap dan cepat turun ke tengah persoalan
masyarakat. Menghibur hati yang sedang sedih, mendamaikan hati
yang sedang galau, menjawab semua keluhan dengan tindakan-
tindakan yang menyelesaikan. Satu lagi, pemimpin yang dekat dan
tidak ada jarak dengan masyarakat. Bukan pemimpin yang harus
selalu dengan seremoni dan karpet merah.
Entah kenapa, bilamana aksi ini dilakukan kepala daerah,
seolah-olah terasa biasa-biasa saja dan begitulah semestinya.
Mungkin ini distorsi terhadap pandangan politik pencitraan yang
sudah kian masif dilakukan. Apalagi, jika sehari setelah melawat ke
lokasi bencana, ekspos foto dan berita terkesan dipaksakan.
Bagus dan Yulianis tentu tidak sedang bermain-main
dengan citra. Buat apa itu? Mereka tak begitu memerlukan, jika
dipandang untuk kenaikan karier di lembaga tempatnya mengabdi.
Karier di lembaga kepolisian tidak terlalu banyak ditentukan oleh
pencitraan. Lembaga kepolisian punya mekanisme yang sudah
ditentukan dengan penilaian kinerja kepemimpinan, masa jabatan
dan kepangkatan, juga punnish and reward, yang terukur.
Namun yang jelas, derap langkah dua Kapolres di hari
bencana itu telah menarik minat untuk dibaca. Wartawan
SINGGALANG, Muhammad Bayu Vesky tentunya tidak pula
sedang asal-asalan, dalam memilih materi feature tema sisa-sisa
bencana. Ia sudah melakukan pemindaian dengan seksama melalui
sensor self dan kelaikan berita dalam ilmu jurnalistik.
Sekian banyak berita hari itu, membaca tulisan aksi dua
Kapolres di bawah judul “Bagus Bermalam di Pangkalan, Yulianis
Sisir Halaban” terasa melunaskan rasa dahaga tentang kerja

266
jurnalisme kemanusiaan yang hari-hari terakhir terasa lebih
banyak mengeksploitasi korban bencana.
Selain itu, juga melunaskan rasa dahaga tentang pemimpin
yang hadir tanpa pamrih di balik bencana. Karena itulah, karya
jurnalistik satu ini maupun dua pucuk pimpinan kepolisian ini
patut diapresiasi.

Memahami Polri
Aksi dua Kapolres ini bagi lembaga kepolisian hendaknya
bisa ditingkatkan dan ditularkan ke setiap daerah. Sehingga secara
tidak langsung bisa membantah persepsi negatif lembaga ini di
hadapan publik selama ini.
Pandangan negatif tersebut hadir, tentunya sangat beralasan.
Adanya ulah oknum. Satu dua orang dari aparat yang memang
harus ditertibkan. Lihatlah bagaimana foto-foto dan video-video
di media sosial, tentang ulah nakal oknum yang diunggah oleh
masyarakat. Sulit dibantah, begitu adanya. Namun itu tidak bisa
diambil menjadi kesimpuan menyeluruh.
Sebab, kerja polisi saban hari di bawah tongkat komando
tidaklah sesederhana yang diperkirakan. Sekadar misal, ada cerita
tentang anggota antihuru-hara yang harus siap dalam kondisi
apapun, termasuk ketika formasi menghadapi demonstrasi. Kalau
terdesak buang air kecil, ia akan bertahan atau lakukan dalam
celana. Inilah resiko pekerjaan.
Atau lihatlah dari dekat, bagaimana di pagi hari di jalan
raya Kota Padang, pada daerah-daerah tertentu tidak hanya
yang berlogo Polantas saja yang turun mengatur jalan, ketika
masyarakat serempak turun dari rumah untuk berangkat kerja.
Penuh kesabaran para anggota polisi mengatur para pengendara

267
yang tergesa-gesa dan kadang-kadang tidak menghargai kehadiran
polisi. Mereka yang tergesa-gesa, tak mematuhi arus lalu lintas
selalu membuat repot dan kemacetan yang luar biasa. Para aparat
ini, di tengah debu pagi, harus mengurainya sesegera mungkin.
Pada konteks ini, benar apa yang dikatakan petinggi Polri
suatu hari. “Jangan benci pada Polisi, jangan takuti. Polisi milik
rakyat dan melayani rakyat.” Suatu pernyataan yang punya
kemestian, serupa dua Kapolres yang sangat mencintai rakyat.
Punya kemestian ke dalam lembaga, menyelesaikan bengkalai
karena ulah oknum rusak selembaga. Kata lain dari pepatah, ulah
nila setitik rusak susu sebelanga.
Terakhir, terima kasih Muhammad Bayu Vesky, terima kasih
dua Kapolres. Pak Bagus Suropratomo dan Ibu Yulianis. Teruslah
mengabdi pada kebajikan. Salam. []

268
Semangat Baru
Mapolda Sumbar

Markas Polisi Daerah (Mapolda) Sumbar diresmikan


pemakaiannya oleh Kapolri Jenderal Badrodin Haiti yang diwakili
Kepala Badan Pemelihara Keamanan (Kabarham), Komjen Putut
Eko Bayuseno.
Menurut SINGGALANG Rabu (16/3), gedung ini dibangun
dengan dana senilai Rp161 miliar. Gedung megah di Jalan
Sudirman ini tentunya kini hadir sangat membanggakan jajaran
kepolisian di Sumbar. Mereka kini telah memiliki kantor yang
representatif, termegah baik di Sumbar, maupun dibandingkan
banyak gedung Mapolda di setiap provinsi. Secara sekilas memang
paling mentereng di antara gedung pemerintah yang ada Jalan
Sudirman.

Harapan
Gedung ini juga dilengkapi dengan shelter untuk darurat
gempa dan tsunami. Bilamana ada serene darurat, secara otomatis
bisa diakses untuk penyelamatan dini dari ancaman tsunami. Soal

269
satu ini, diharapkan pemegang kunci shelter siap sedia setiap saat.
Tidak pula harus ada prosedur normal mesti dilalui di dalam
keadaan tidak normal sebagaimana biasa warga Kota Padang alami.
Inilah harapan bagi warga sekitar maupun masyarakat
yang kebetulan sedang berada di sekitar gedung megah itu, ketika
bencana gempa terjadi dan peringatan tsunami terdengar.
Selain itu, sosialisasi terhadap kehadiran Shelter kepada
masyarakat hendaknya juga dilakukan, agar tidak terjadi kelabakan
yang luar biasa sebagaimana terjadi akhir bulan lalu. Sehingga
kemacetan di mana-mana dan membuat jajaran Polantas harus
bekerja ekstra, hingga malam tiba.

Citra Polisi
Gedung mentereng yang dilengkapi dengan lift dan dengan
tingkat kenyamanan kerja yang tinggi itu, tentunya diharapkan
bisa memacu semangat. Lalu membangkitkan gairah kerja dan
meningkatkan kinerja, sesuai tugas yang mengacu kepada UU No.
2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Citra polisi itu sangat penting, sungguhpun kinerja sudah
bagus tapi kadang-kadang, masyarakat yang tidak mendapat
informasi lengkap. Lalu masyarakat berpendapat sumir terhadap
kinerja polisi.
Apalagi di tengah keterbukaan informasi hari ini, betapa
mudah masyarakat berpendapat di media sosial, setelah mendapat
perlakuan buruk oleh segelintir oknum. Soal ini, suatu hari
Wakapolri terang-terangan membolehkan masyarakat melaporkan,
merekam via video, mengirim email, ketika mendapat hal buruk
dari petugas kepolisian. Tetapi sesungguhnya, memang ada pula
segelintir masyarakat yang memang melanggar dan mencoba main
mata dengan petugas. Ini tak bisa dipungkiri.

270
Segelintir itulah yang biasanya merusak citra. Padahal, begitu
banyak petugas yang bekerja sesuai prosedur. Begitu banyak yang
punya prestasi baik dalam kekaryaan karier maupun pekerjaan.
Prestasi ini satu dua saja diekspos, karena umumnya, berita baik
sering kali kalah seru dengan berita buruk. Watak media massa
selalu mengacu pada nilai berita, yang salah satunya memakai,
bad news is good news. Betapa tidak adil, ketika ada aparat polisi
yang memiliki keahlian khusus, prestasi khusus, pengabdian sosial
khusus, tapi tidak maksimal diekspos.
Apresiasi terhadap kinerja polisi memang minim
dibandingkan cercaan ketika anggota polisi diduga salah prosedur
dan melanggar hukum. Pentingnya kepolisian terus mengekspos
prestasi tanpa perlu sungkan. Misalnya, yang sudah rutin adalah
ekspos tentang tingkat tindak kriminal dan kecelakaan jalan raya.
Sebenarnya, saban waktu, selalu ada penangkapan pengedar
dan pemakai Narkoba, baik dalam skala kecil maupun besar. Yang
menyentak, bulan lalu, tiga mucikari remaja yang ditangkap sedang
traksaksi bisnis lendir di Kota Padang. Apresiasi terhadap kerja
serupa ini amat tinggi. Hendaknya, aksi serupa ini dapat diteruskan
untuk membuat jera pelaku kejahatan. Satu lagi, apresiasi tinggi
terhadap berita gembira, ketika Polwan sudah boleh berjilbab
tanpa perlu lagi menjadi persoalan dalam kariernya.
Terakhir, selamat bekerja di kantor baru, bapak-bapak
polisi. Semoga kinerja bisa meningkat dan kehadiran polisi sebagai
pengayom masyarakat memang dapat terasa lebih dalam di hati
sanubari Masyarakat Sumbar. []

271
Tendangan Zumi Zola

Gubernur Provinsi Jambi Zumi Zola berang. Menendang


tong sampah ketika mendapati layanan kesehatan yang buruk
terhadap warga miskin. Aktor film itu marah karena petugas
kesehatan di RSUD Raden Mattaher Jambi, masih pilih kasih untuk
melayani. Ini bukan cerita baru.
Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo juga pernah
disorot kamera sedang murka di timbangan truk. Karena petugas
pelayanan masih terus melakukan pungutan liar kepada sopir truk,
walau sudah diperingatkan berkali-kali.
Gubernur mana lagi yang berani serupa ini? Membiarkan,
diam dan tak peduli atau terus tegak di depan membuat perubahan?
Memang selalu ada pandangan sinis. Mengganggap hal-hal serupa
ini sebagai akting. Cari popularitas. Biar jadi bahan berita. Tapi
tunggu dulu, tidak mudah menjadi news maker. Awak media bukan
orang yang mudah tertipu, catat itu. Zumi Zola sudah terkenal
sejak dulu, buat apa untuk cari popularitas?
Ia memang belum genap satu tahun duduk di kursi gubernur.
Tetapi sudah harus melunaskan janji-janji kampanye. Janji-janji itu
harus mendobrak kemapanan raja-raja kecil di bawahnya.

273
Pada sisi lain, awak media itu bekerja selalu punya cara
strategis. Misal, selalu stand by di posko yang telah ditentukan,
termasuk di UGD sebuah rumah sakit. Selain itu, di Mapolda,
Mapolres, serta kantong-kantong sumber berita lainnya. Jadi,
menganggap sepele gebrakan Zumi sebagai pencitraan adalah
sikap sinis yang tak elok sama sekali. Juga tidak beralasan kuat.
Bagi pemimpin yang sadar atas tugas berat untuk memastikan
seluruh sistem pelayanan publik berjalan baik, memang harus
bekerja keras. Karena begitu berkarat dan kumuhnya pelayanan
publik di tingkat provinsi juga kabupaten. Memang tidak semua,
namun ini jamak terjadi. Masyarakat saja tak mau melaporkan
karena malas berurusan lebih dari itu. Paling kuat, mereka hanya
mengeluh di media sosial.
Pemimpin yang sadar, ia akan ditulis dengan tinta emas
atau dengan tinta hitam dalam sejarah kepemimpinannya, akan
terus membuat pola perubahan secara cepat. Mencari strategi dan
kreativitas agar masyarakat puas atas kepemimpinannya. Mendapat
catatan dengan tinta hitam sejarah adalah bencana bagi seorang
pemimpin.
Tetapi memang, setiap pemimpin ada model kepemimpinan.
Ada yang tak butuh sorotan, yang penting bekerja saja. Lihatlah,
Gubernur NTB, Dr. TGH. Muhammad Zainul Majdi tidur
bermalam-malam di lokasi banjir, di Bima. Tuan Guru Zainul,
demikian ia akrab disapa, merasakan denyut napas terjangan banjir
dua kali dalam seminggu itu. Ia bekerja saja sehingga Lombok kian
berkibar di dunia pariwisata hingga menyamakan Wisata Pulau
Dewata.
Memang menjadi seorang pemimpin itu berat. Harus
berjibaku bersama barisan yang loyal untuk mengubah keadaan.
Kalau tak ada barisan, sendiripun jadi.

274
Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini dengan semangat tiada
henti menutup lokalisasi pelacuran Gang Dolly. Pada banyak kasus,
ia berani turun sendiri, diam-diam, lalu mengambil keputusan
setelah pulang dari lapangan. Dia pemimpin perempuan yang kuat
membawa perubahan Kota Surabaya. Selalu hadir tidak terlambat
dalam setiap persoalan yang dihadapi warga kotanya. Termasuk
macet.
Lain lagi cerita Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil, yang
menjadikan media sosial sebagai sarana komunikasi dengan warga
Bandung. Ada laporan, langsung sampaikan, langsung diselesaikan.
Cepat dan tangkas, hingga membuat warga puas. Di tangannya,
Bandung menjadi kota yang terus berbenah. Kenyamanan,
keamanan, juga ketertiban.
Ganjar Pranowo, Tri Rismaharini, Ridwan Kamil, TGH.
Muhammad Zainul Majdi, menyusul Zumi Zola, adalah sosok
pemimpin yang mencoba mendobrak kemapanan. Ada beberapa
yang lain, yang belum disorot kamera, tetapi ada juga terkesan
dipaksa-paksakan agar disorot media Jakarta.

Soal Zumi
Tanggal 12 Februari 2017 nanti, Zumi Zola genap satu
tahun sebagai Gubernur Provinsi Jambi. Anak mantan gubernur
dua periode, Zulkifli Nurdin ini sedang mencoba untuk membuat
perubahan sikap dan mental pejabat di Provinsi Jambi.
Mantan Bupati Tanjab Timur itu sudah gerah menerima
laporan buruknya pelayanan kesehatan. Agar ada fakta, sebelum
membuat keputusan, ia harus turun langsung, mendengar
dan memahami masalah. Di mana-mana, soal layanan publik
di berbagai lembaga pemerintahan, sering tidak memuaskan.
Malahan kadang-kadang jauh di bawah standar layanan yang

275
sering disebut pejabat ketika berpidato. Butuh perhatian serius
dan evaluasi agar ada perubahan. Karena arogansi petugas, apalagi
di bidang kesehatan sering bukannya memberi pertolongan tetapi
sebaliknya. “Mereka yang sakit dibawa ke rumah sakit, justru lebih
cepat wafatnya,” seloroh teman saya.
Apa yang dilakukan Zumi, harus diapresiasi sebagai tindakan
untuk mendobrak keangkuhan petugas yang merasa selalu lebih
tinggi dari publik yang harus mereka layani. Sikap mental yang
sombong, angkuh, cerewet, harus diubah.
Sudah rahasia umum, kesadaran melayani aparatur
pemerintahan sangat rendah kepada publik. Mereka menganggap
dirinya yang mesti dilayani. Melayani masyarakat, seperti jatuh
wibawa seragam mereka. Belum lagi soal pungutan liar, kalau ingin
cepat, bayar. Sudah lama, birokrasi rusak karena uang. Kalau tidak
ada uang, ogah-ogahan dan bermuka masam. Boleh cek.
Banyak cerita pengalaman mengurus surat menyurat, KTP,
di kantor-kantor kelurahan hingga kecamatan. Ini sebenarnya
ulah oknum, ulah dari aparatur tidak diberi secara terus menerus
tentang kesadaran peran sebagai aparatur pelayanan masyarakat.
Tendangan Zumi Zola tidak begitu menyentak namun
ini perlu, agar ada perbaikan. Karena watak birokrasi yang tidak
pernah dikontrol selalu merasa berkuasa. Apalagi kalau sedari
awal rekrutmen, sudah bermasalah pula. Masuk jadi PNS melalui
pungli, bukan panggilan pengabdian
Sikap mental dari pelayan yang bermasalah ini harus bisa
dikoreksi secara rutin. Tidaklah mungkin selalu dengan cara
inpeksi mendadak (Sidak). Harus ada sistem yang bisa mengukur
sehingga pelayan-pelayan tidak cakap harus diparkirkan dulu.
Bukankah itu sudah ada, tetapi tentu tidak jalan secara efektif, bila
masih sesama aparatur yang melakukannya.

276
Perubahan di lembaga pemerintahan, tiada cara lain,
selain mencari pemimpin yang benar-benar sadar akan tugas
dan pengabdiannya untuk kepuasan masyarakat. Jika akhirnya
memiliki effect menjadi prestasi dan apresiasi politik, tentunya
bukan tujuan utama. Hanya bonus, sebagaimana layaknya seorang
pemimpin disanjung dan dipuja atas kepemimpinannya. Zumi,
teruskan bro! []

277
Musik yang Mengusik

Beberapa waktu terakhir ini saya membenci hingar


bingar musik dalam sebuah pesta pernikahan. Ini pula
membuat saya kadang-kadang malas untuk datang ke sebuah
pesta. Naif memang, di tengah kebahagiaan orang-orang
menggelar hajatan pernikahan, khitanan, ulang tahun, tiba-
tiba saya membenci. Bukan saya benci musik, bukan tak suka
seni, tapi hingar bingar musiknya sudah sangat mengganggu
suasana yang harusnya indah dan nyaman.
”Bagaimana menghilangkan budaya seperti ini? Kalau
dilarang secara resmi, bisa menelungkupkan periuk nasi
sebagian saudara kita?” Saya bertanya dengan lengking suara
di tengah dentam suara dari sound speaker berkapasitas
ratusan watt tinggi.
”Susah, banyak orang yang menyukainya. Sepertinya
sudah diamini perangkat adat dan agama, apalagi budayawan,”
begitu jawab seorang akademisi ilmu sosial yang sempat
bersama saya dalam sebuah pesta pernikahan.

279
Bisnis organ tunggal memang marak, seiring dengan
permintaan setiap pesta pernikahan. Kualitas suara penyanyi,
musik yang ditawarkan, juga kapasitas speaker menjadi
ukuran untuk harga kepada tuan rumah. Sedangkan tuan
rumah, merasakan sebagai hukum sosial, belumlah lengkap
bila tak mengundang organ tunggal.
Ini satu dari sekian banyak budaya yang tumbuh di
tengah masyarakat yang sedang berkembang. Apa boleh buat,
perangkat adat, perangkat pemerintahan, sepertinya belum
menyentuh hal-hal begini. Seperti tak ada yang salah saja.
Padahal bila ditilik lebih jauh, betapa kacaunya sebuah pesta
bila dipandang dari sudut kenyamanan lingkungan. Mungkin
sudah masuk ke angka 500 dB. Mendekati tingkat suara deru
pesawat yang akan landas. Kapasitas loud speaker untuk dua
lapangan bola kaki, dinyalakan di sebuah komplek.
Peradaban memang berkembang, sesuai dengan
hukum alam, berkembangnya daya pikir manusia. Namun,
berkembangnya budaya seperti ini patut ”dicurigai” ke arah
mana massa dibawa olehnya. Sekadar hiburankah? Atau ada
kepentingan terselubung untuk membius generasi dengan
segenap ”pintu” dosa-dosa.
Sudah sering berita muncul menonton organ tunggal,
terjadi cakak banyak karena sudah teler. Lihatlah bagaimana
botol minuman keras berserakan di pagi hari. Lihatlah
organ tunggal jika sudah larut malam. Apa bedanya dengan
diskotik?
Diam-diam saya merindukan di masyarakat kita,
setiap acara pesta pernikahan, musik mengalir lembut tanpa

280
dentum yang menggelegar. Diam-diam saya ingin menikmati
piano saja, atau alat musik tradisi lainnya, baik siang maupun
malam. Tanpa memindahkan diskotik ke dalam pesta
pernikahan.
Tentu saja, tulisan ini akan membuat pengusaha musik
elektronik akan mencibir. Karena mengganggu ”kenyamanan”
usaha yang sudah dimodali dengan ratusan juta. Namun,
bila dilirik dari berbagai sisi, ada manfaatnya untuk pemilik
maupun untuk tuan rumah yang punya hajatan sebagai
konsumen.
Manfaatnya, tuan rumah tidak perlu mengurus soal
aliran listrik untuk menambah daya lebih ketika pesta akan
digelar. Pengusaha musik tak perlu harus menggunakan
banyak peralatan dan mahal. Seterusnya, kenyamanan dalam
sebuah pesta akan terasa tanpa mengurangi meriahnya pesta.
Acara baralek, sunatan, atau apalah namanya, setiap
hari minggu menjadi enak untuk didatangkan. Tidak lagi
harus berpekik-pekik bicara melawan suara dari ratusan watt
di benda elektronik itu saat bercerita dengan tamu-tamu yang
kebetulan satu meja, atau bertemunya kawan lama di tempat
tersebut. Kecuali, jika kesukesan, kemeriahan, sebuah pesta
dinilai seberapa besar speaker yang dibunyikan. []

281
Maksiat
Pondok Pantai

Saya sangat sering bersama keluarga menikmati pantai Pasir


Jambak dengan pondok-pondok yang dibuat sederhana itu. Bahkan
Minggu, (24/5), masih ke sana. Apakah saya berbuat maksiat?
Saya memang Maksiat ke sana. Makan siang dan istirahat.
Setelah makan siang menu gulai lauak pukek segar yang berada di
luar kawasan objek wisata, biasanya, saya akan mencari kopi siang.
Di pondok itulah kami sekeluarga menikmati angin dan ombak
pantai hingga sore tiba.
Itulah salah satu rutinitas jika liburan tiba. “Liburan kecil
kaum kusam,” meminjam istilah Iwan Fals. Murah meriah, tak
jauh, tak ada shopping ke Mall. Hemat. Anak-anak saya memang
suka laut. Selain Pantai Pasir Jambak, kami sekeluarga juga sering
ke pantai sekitar Padangpariaman, yang juga banyak pondoknya.
Saya perhatikan, banyak juga keluarga seperti kami. Roda
empat, roda dua, diparkirkan tersusun. Mereka duduk di pondok,
makan bersama, foto selfie, ada juga yang bawa gitar. Memesan

283
minuman kelapa muda, kopi, dan berbagai minuman lainnya.
Menikmati angin pantai dan deru ombak hingga senja menyapa.

Pondok Dibakar
Membaca berita Singgalang, Jumat (29/5) dengan foto utama
pondok baremoh itu dibakar, saya sedih sendiri. Semoga saja, yang
dibakar itu, memang yang dipinggir dan jauh dari pantauan umum
dan memang sering dipakai untuk maksiat.
Menurut aparat, pembakaran ini dilakukan dalam rangka
menjalankan program Kota Padang bersih dari maksiat. Tentu saja
niat baik ini harus disambut positif. Apalagi menurut pemaparan
Kasatpol PP, Firdaus Ilyas, banyak ditemukan kondom bekas.
Nauzubillah!
Tapi tunggu dulu, ada beberapa pertanyaan belum terjawab
atas berita pembakaran itu. Bagaimana dengan nasib para keluarga
yang biasa menikmati laut seperti kami? Apakah tidak boleh pakai
pondok lagi? Apa benar ada kondom? Kapan para pezina itu
beraksi? Malam hari? Adakah petugas pariwisata di malam hari?
Kenapa tidak ditutup akses ke pantai ini di malam hari?
Pertanyaan ini penting dijawab oleh Pemko Padang,
mengingat kemandegan pariwisata selalu berasal dari kebijakan
memberantas maksiat. Kontradiksi antara kampanye peningkatan
arus wisata dengan kampanye kota bersih dari maksiat.
Apakah memberantas pondok baremoh itu bisa memberantas
maksiat? Belum tentu. Perlu kajian dan penelitian pula.
Bagaimanapun juga, akibat pemberitaan itu, tentu saja pendapatan
petugas parkir resmi dan tiket masuk objek ini akan berkurang.
Saya selalu membayar dan meminta karcis resmi.
Memang, pada siang hari ada muda-muda berpasangan
datang ke objek wisata. Di mana saja itu terjadi. Namun apakah

284
bisa dituduhkan kepada mereka berbuat maksiat? Agak bahaya
juga logikanya, jika begitu.

Maksiat Wisata
Pariwisata memang sejak lama, bagi sebagian pendapat,
dekat maksiat. Namun pendapat ini sebenarnya bisa saja dibantah,
apabila ada profesionalitas dalam tata kelola. Misalnya, memberi
pemahaman kepada setiap pengunjung, dengan kampanye anti
maksiat dan budaya malu. Ini bisa dilakukan dengan serius dan
fokus. Tanpa harus main bakar.
Program serupa ini, memang tidak mengeluarkan biaya dan
tidaklah menjadi proyek besar. Walau pun begitu, ini sangat elegan
dengan program membangun jiwa, sikap mental, masyarakat
dari pada program menghancurkan kreativitas masyarakat untuk
meningkatkan tarap ekonomi mereka.
Pemberantasan maksiat, tentu saja sangat setuju. Apalagi bila
membaca berita tentang penangkapan para Pekerja Sek Komersial
(PSK) di Kota Padang. Tidak mungkin tidak didukung. Ini kerja
mulia. Membersihkan kota dari segala maksiat.
Sayangnya, apakah sudah ada penelitian sebelum kebijakan
dibuat? Misalnya, dampak buruk dari program pemberantasan ini?
Apakah dengan jalan main razia seperti itu memberi efek positif
terhadap pemberantasan? Pondok baremoh itu, seperti diakui
aparat akan tumbuh lagi. Begitu juga setelah razia, PSK masih tetap
ada. Pun begitu dengan pedagang kaki lima (PKL). Digusur satu,
tumbuh seribu.

Efek Jera
Menelaah banyak pemberantasan penyakit masyarakat
yang telah dilakukan Pemko, kita harus memberi apresiasi. Tetapi

285
rutinitas program seperti ini dari tahun ke tahun, bukankah itu
sudah sangat sia-sia. Menghabiskan dana tetapi tidak memiliki
progres hingga ke tahap akhir. Sementara, program ini tentu saja
menghabiskan Anggaran Pembangunan Belanja Daerah (APBD).
Sangat diperlukan sinergi dan komunikasi antar dinas
dalam mengelola pariwisata, pemberantasan maksiat, peningkatan
ekonomi, agar ada efektivitas program kerja Pemko. Kekuatan
sinergi dan komunikasi ini, bagi sebagian pihak mungkin saja
merugikan, karena berkenaan dengan serapan dana yang dipakai.
Tetapi, sebagai warga kota, harapan agar Pemko menjalankan
program yang tepat guna dan tepat sasaran harus didorong terus.
Pemberantasan maksiat menjelang Ramadhan tiba sangatlah
kerap dilaksanakan. Sayangnya, terjadi pembiaran terjadi setelah
Ramadhan usai. Begitulah sepanjang tahun. Program yang sudah
terbingkai dalam rutinitas.
Perlu kiranya pemikiran agar pemberantasan maksiat yang
lebih baik, efektif dan efisien. Bukan saja rutin tetapi menyelesaikan
ke akar-akarnya. Menutup akses dan kesempatan berbuat maksiat
di objek wisata dan di manapun.
Penataan objek wisata dari tahun ke tahun hendaknya bukan
sekadar fisik semata. Namun juga memberi pemahaman kepada
pengunjung untuk tetap menjaga moral dan etika. Lebih dari itu,
perlu pengawasan baik dari aparat maupun sesama pengunjung.
Jadi, bukan pondoknya dibakar tetapi peringatan dan
pengawasan yang ketat setiap sikap perilaku di objek wisata.
Baik kepada pengunjung, juga aparat dan warga setempat. Selagi
tindakan seperti ini saja yang dilakukan Pemko dalam menjalankan
program, sesungguhnya yang terjadi adalah kesia-siaan. Sayang
sekali. []

286
Film Pendek
Tekad Apak

“Manitiak aia mato awak bang,” tulis Novia Azmi Amira,


salah seorang mahasiswi saya di kelas Script Writing, semester ini.
“Mantap filmnya, Bang,” tambah Romi, mantan mahasiswa saya,
yang sudah bekerja, di sebuah Show Room mobil terkenal.
Dua komentar itu mewakili komentar-komentar lain, setelah
diberi viral youtube sebuah film pendek, berjudul Tekad Apak, karya
Jombang Santani Khairen. Film pendek yang sedang bertarung
dengan puluhan karya serupa yang digelar oleh perusahaan Gojek
ini, berdurasi 9:57 menit. Hampir 10 menit. Sebuah cerita rasa
minang yang sangat kental.
Selamat pada Jombang, telah melewati capaian baru dan
capaian kami. Jika generasi saya, hanya bisa mencapai cerpen dan
novel, Jombang melompat hingga ke film. Semoga ini menjadi film
pertama yang dilanjutkan menjadi film yang benar-benar berdurasi
layaknya sebuah film.
Jombang Santani Khairen, salah seorang anak muda Minang
yang bernaung di bawah bendera Rumah Perubahan pimpinan

287
Rheinal Kasali. Ia jebolan Universitas Indonesia (UI), telah menulis
novel dan sudah melanglangbuana dengan banyak kegiatan kreatif.
Ia juga pernah menulis di kolom ini. Novelnya, Karnoes, sangat
enak dibaca.
Bagi saya, Tekad Apak tentulah diharapkan bisa
memenangkan ajang lomba film pendek. Namun di atas semua itu,
menang atau tidak, tidaklah penting. Kalau menang, alhamdulillah.
Tidak menang, bukanlah sebuah kegagalan. Membuat film itu saja
sudah susah, disamping mahal. Kalau mudah dan murah semua
orang bisa saja membuatnya. Galibnya sebuah karya kreatif, dalam
bentuk apapun, ia akan bertahan dan hidup di tengah penikmatnya.
Begitu juga Tekad Apak.

Berpikir Kreatif
Pada setiap pertemuan mata kuliah Script Writing, di
tengah mahasiswa yang punya talenta atau tidak, cerita tentang
proses melahirkan naskah hingga ke film selalu diuraikan secara
detail. Sebanyak lebih kurang 16 kali pertemuan, biasanya hanya
melahirkan naskah-naskah yang dibuat karena tugas kuliah. Bukan
karena serius dan berkeinginan. Seterusnya, pada akhir kuliah,
hanya nilai-nilai dikeluarkan sesuai kemampuan kreatif mahasiswa
yang telah dipancing untuk itu. Satu dua memang ada talenta,
selebihnya sekadar melepas ikatan keilmuan semata.
Pada tahun-tahun sebelumnya, mata kuliah Script Writing ini
juga dibarengi dengan menonton film bersama dan mendiskusikan
film dari berbagai sisi. Semester ini begitu juga, akan nonton Tekad
Apak. Tentu saja, kali ini agak lain, karena film ini baru saja selesai,
juga dibuat oleh anak muda yang tak jauh generasinya dengan
mahasiswa yang saya ajarkan. Semoga ini menjadi pukulan buat
mereka. Akan saya beritahu, butuh tekad berlipat-lipat untuk

288
melahirkan sebuah karya. Tidak bisa berpikir dan hidup di dalam
kotak kenyamanan semata.
Saya tentunya, sangat berharap lahir Sineas muda dari
Ranah ini. Sungguhpun memang, keterbatasan biaya dan peralatan
sangatlah sering menjadi kendala. Tapi di sini pulalah nilai sebuah
perjuangan untuk memenangkan ide kreatif. Harus bisa dilahirkan,
tak boleh patah. Mana ada sebuah ide lahir begitu saja. Kita saja,
waktu dilahirkan, membutuh perjuangan hidup mati oleh ibu kita.
Menonton cerita tentang Tekad Apak, juga beberapa film
pendek dengan tema yang sama di youtube, film karya Jombang
tidak bisa dianggap sepele. Ia memiliki keunikan tersendiri.
Lokalitasnya tinggi, di tengah film pendek yang serupa dengan
mengambil setting budaya urban. Justru beberapa karya kontestan
ini, terpahami agak terlalu garing. Tapi biarlah juri yang menilai
lebih lanjut. Kita menikmati saja, sembari berdoa agar Tekad Apak
masuk nominasi dan bisa meraih juara.
Inilah abad yang berlari, kata seorang penulis dalam sebuah
bukunya. Anak muda yang mau keluar dari manstream, berpikir
bebas, kreatif, akan segera tumbuh melewati siapapun. Mereka yang
tenggelam dalam permainan zaman, akan hanyut sehanyutnya. Satu
dua anak muda yang memilih dunia kreatif, apapun bidangnya,
sudah tumbuh dan berkembang didukung teknologi informasi
yang mumpuni. Tergantung, mau atau tidak. Siap atau tidak. Kini
tidaklah heran lagi, tiba-tiba kita dikejutkan, orang bisa populer
cepat, langsung dibayar mahal, karena kerja iseng yang diupload
ke youtube. Walaupun ide sederhana tapi kreatif mampu membuat
dunia menoleh kepadanya.
Kerja kreatif, seperti membuat film, adalah kerja keras
menunaikan ide-ide. Merujuk adigium, orang sukses selalu
menjalani dua hal, berpikir dan bertindak. Beda dengan orang

289
gagal, hanya berpikir tidak bertindak, atau yang lebih berbahaya,
bertindak saja tapi tidak berpikir.
Mahasiswa hari ini, mungkin sudah waktunya, digiring
berpikir kreatif untuk melahirkan kebaruan. Keluar dari cara
berpikir itu ke itu saja. Misal, tamat kuliah harus jadi pegawai
negeri. Harusnya, sejak mahasiswa sudah menekuni satu bidang
yang ketika tamat, tinggal meneruskan dan mendalami serta
mengembangkannya.
Terakhir, selamat Jombang! Semoga menang. Ini jalan baru
penuh sejarah untuk masa depan. []

290
Do’a di Kabin AirAsia
Suatu Hari

Menjelang berlabuh di Kuala Lumpur International Airport


(KLIA), pramugari mengingatkan para penumpang agar tetap
berada di tempat duduk. Cuaca amat buruk. Pesawat beberapa kali
berguncang hebat. Kota Kuala Lumpur tampak dari atas, gemerlap
dalam hujan.
Malam itu, di kabin, para penumpang berdoa dengan wajah
yang pasi. Ada pula yang menangis histeris, ketakutan sudah sampai
ke ubun-ubun. Tiga kali sang pilot mencoba untuk landing di tengah
hujan badai dan petir, namun tak berhasil. Akhirnya, ia memutuskan
untuk kembali ke Penang Internasional Airport.
Demikian sekelumit pengalaman naik pesawat AirAsia, dalam
sebuah perjalanan jurnalistik atas undangan Malaysia Tourism Board
(MTB), 21-24 July 2005, lalu. Sudah lama sekali, namun kembali
teringat sejak Minggu (29/12) pagi, seiring kabar lost contact pesawat
AirAsia QZ8501 dalam perjalanan Surabaya-Singapura.
AirAsia menjadi sponsor acara akbar, Malaysia Mega Sale
Familiarisation Programme 2005. Maskapai ini bertugas mengangkut

291
para undangan, yang terdiri dari pebisnis, pengusaha, jurnalis, dari
berbagai negara untuk ikut dalam sebuah perhelatan, mengenal
lebih dekat dunia pariwisata negeri jiran itu. Malaysia menggapai
sebuah visi, sebagai surga asia (trully asia).
Sebagai salah satu undangan, bersama beberapa orang
jurnalis dari Padang, saya merasakan langsung terbang bersama
AirAsia Padang-Kualalumpur-Penang, pulang pergi. Naik maskapai
yang mengusung motto now everyone can fly, tidak berbeda rasanya
dengan maskapai lain. Walau dikenal dengan maskapai, low cost
carrier.
Hanya saja, dengan brand sebagai pesawat harga tiket murah,
pelayanan di kabin memang terbatas. Tidak seperti yang dulu
dikenal, naik pesawat dengan fisik tiket bak sebuah buku. Dicetak
lux. AirAsia merobahnya, hanya selembar kertas, kursi pilih sendiri
setiba di dalam pesawat, di kabin, pesanan makanan dikenakan
biaya.
Awalnya, merasakan cuaca buruk di angkasa raya, adalah
biasa walau ada ketakutan. Namun pengalaman malam itu, sangatlah
menakutkan. Hingga kini masih terasa. Lebih-lebih ketika melihat
di layar televisi proses evakuasi korban QZ8501. Kematian begitu
dekat, tetapi maut tetaplah sebuah misteri.
Pada kesempatan lain, tahun yang sama, saya kembali terbang
bersama AirAsia. Langsung bertemu dengan sang CEO AirAsia,
Tony Fernandes, di Cengkareng, 11 Desember 2005, dalam acara
Launching PT. AirAsia Indonesia dan Airbus AirAsia, yang menjadi
sponsorship kesebelasan Munchester United (MU). Pada kesempatan
itu, Tony kembali menjelaskan maskapai yang dipimpinnya, sebagai
penerbangan yang bisa membawa siapa saja terbang, karena berani
memberi biaya murah.

292
AirAsia kini berduka, begitu juga dunia penerbangan.
Sejak Basarnas bersama tim pencari pesawat AirAsia QZ8501
menemukan titik terang keberadaan pesawat, tak henti air mata
keluarga yang berduka disorot di layar kaca. Kita pun merasakan
sabak, betapa perih keluarga yang ditinggalkan menunggu evakuasi
satu demi satu korban dari Selat Karimata, melalui Pangkalan Bun
itu. Semoga semua berjalan sesuai rencana, amin.

Membaca Tragedi
Banyak juga yang memiliki pengalaman dengan suasana
dalam kabin menegangkan serupa cerita di awal tadi. Ketika
ketakutan sampai ke ubun-ubun, kematian begitu dekat, rasa
ketuhanan waktu itu amatlah tinggi. Doa-doa dipanjatkan, tangis
histeris melengking dengan wajah dan telapak tangan yang pasi.
Begitulah, kematian memang senantiasa dekat dengan
makhluk hidup. Allah Swt telah mengatakan, setiap makhluk
hidup akan menemukan maut.
Pelajaran yang kembali teringat, empat hal dalam hidup ini
memang tidak pernah akan tersingkap secara pasti. Menjadi misteri
dalam kehidupan; Rezeki, Jodoh, Pertemuan dan Maut. Empat hal
ini milik Yang Maha Kuasa. Rahasia Ilahiyah, yang memegang
otoritas qudrah iradhah. Tidak dapat sedikitpun campur tangan
manusia. Mungkin saja, ada satu dua orang yang bisa diberi ilmu
untuk itu tetapi tidak pernah bisa secara pasti. Tetap saja memiliki
sifat relatif.
Tragedi QZ8501 menyisakan pelajaran, tidak saja persoalan
teknis ilmu penerbangan dan segala bentuk kesiapan keselamatan
di udara. Ada sekelumit tentang spiritualitas, hubungan antara
makhluk dengan sang Khalik.

293
Sang Khalik, memberikan kebahagiaan, kesedihan,
ketakutan, kemarahan, merupakan permainan hidup yang hadir
silih berganti. Mereka yang akhirnya direnggut dalam tragedi itu,
sudah sampai hisabnya. Ditakdirkan hanya sampai di ujung 2014,
meninggalkan rona duka untuk kita yang ditinggalkan.
Sementara, yang tidak sempat naik QZ8501, karena alasan
teknis hingga terlambat ke bandara Juanda, tiada lain adalah
suratan belum sampai hisabnya.
Pelajaran lain, nalar kita sangat terbatas untuk memaknai
antara hidup dan mati yang sudah ditetapkan di lauhil mahfuz. Tak
perlu berhenti naik pesawat, jika kematian tiba, janji sudah sampai,
di kasur pun maut menjemput juga.
Artinya, bukan karena pesawatnya tetapi karena ada takdir
yang tak bisa dinalarkan hanya sebatas naik pesawat atau tidak.
Buktinya, ada penumpang terlambat datang ke bandara untuk ikut
terbang bersama AirAsia QZ8501, siapakah yang menggerakkan
hingga ia bisa terlambat dan lepas dari tragedi? Itulah misteri
kehidupan, maut, pertemuan, jodoh dan rezeki. Manusia hanya
punya usaha paling maksimal, selebihnya doa dan pasrah dengan
hukum Allah (sunnatullah) dalam bingkai kosmologi dan hukum
alam. Sementara, manusia berputar-putar pada nalar yang sangat
terbatas dalam hukum akal.

Penuh Syukur
Setelah mendarat di Penang International Airport, bertahan
satu jam di bandara, penerbangan ke Kuala Lumpur kembali
dilakukan. Cuaca buruk telah reda. Sang pilot berhasil mendarat
mulus di Kuala Lumpur International Airport, dini hari. Para
penumpang senyum sumringah, berdiri dan bertepuk tangan
(standing applaus), penuh syukur pada Ilahi. Saling berpelukan dan

294
bersalaman. Memberi apreasiasi yang tinggi kepada pilot malam
itu. Sebuah usaha maksimal seorang pilot menyelamat perjalanan,
berhasil atas izin Yang Maha Kuasa. Masih diberikan kesempatan
untuk meneruskan kehidupan di alam milik-Nya.
Tak ada yang luput dari perhatian Yang Maha Kuasa, apa yang
terjadi di alam ini. Pun begitu sebuah tragedi. Memang banyak air
mata yang tumpah atas kepergian mereka yang tragis itu namun
siap yang bisa menebak, sebahagia apakah mereka yang pergi itu?
Lagi-lagi nalar kita amat terbatas. Wallahua’lambissawab. []

295
Bahaya Narkoba
di Sekitar Kita

Operasi Berantas Sindikat Narkoba (Bersinar) 2016 Polda


Sumbar, berhasil menangkap 100 tersangka, disertai 158 gram
sabu-sabu, ribuan gram ganja dan 14 butir ekstasi. Habiskah
sindikat ini?
Sepanjang hanya jajaran Kepolisian yang bekerja keras,
sulit agaknya memberantas persoalan Narkoba ini. Begitu
kompleks yang harus diselesaikan. Sebab sindikasi barang haram
yang menjerumuskan generasi masa depan sudah begitu kuat.
Butuh gerakan dan kesadaran seluruh elemen, agar setiap sudut
kehidupan ini diintai seumpama CCTV yang canggih itu.
Tetapi bagaimana mungkin bisa mengadakan barang mahal
itu dalam jumlah banyak. Hanya tempat-tempat tertentu saja ada
CCTV, di ruang publik dan rumah orang kaya yang ingin aman
dari maling. Lalu apakah yang paling tepat?
Kontrol keluarga paling kecil, keluarga besar, lingkungan,
juga di ruang publik, harus benar-benar terjadi. Pada keluarga
kecil, di rumah-rumah kita, harusnya ada standar moral yang terus

297
ditanamkan. Baik melalui pengajaran maupun dengan kesadaran
orang tua untuk selalu mengingatkan anak.
Sementara, di keluarga besar, peran seorang penghulu, ninik
mamak, dan seterusnya. Pola kekerabatan harusnya berperan.
Susahnya, itupun sudah mulai menipis dan kempis. Apalagi justru
pemimpin sistem kekerabatan ikut pula terlibat dalam bisnis
barang haram itu.

Aparat Kian Sigap


Operasi Bersinar 2016 tentu tidak berhenti seperti
program kerja. Sudah menjadi kewajiban jajaran Polri untuk
selalu melakukan penangkapan setiap laporan tiba. Tetapi siapa
pula yang peduli mau melaporkan, jika tidak bermain jebakan
dengan pemain barang haram itu? Polisi tentu sangat profesional.
Susahnya, justru jika masih ada oknum polisi yang berani bermain
barang haram itu. Kalau ada, sikat sajalah.
Ini bisnis menggiurkan bagi para pengedar, yang sudah
terlanjur memilih jalan hidup yang dibayangkan akan mudah
menjadi kaya dan bahagia. Nyatanya, hidup terus diintai hukum.
Sepandai-pandai tupai melompat, sesekali akan jatuh juga.
Sepandai-pandai pengedar main aman, sesekali akan
diamankan. Sekali diamankan, alamat akan terus menjadi incaran.
Sekalipun bisa bebas dari jeratan satu pasal, pasal lain menunggu
pula. Satu kasus bisa segera selesai tapi kasus lain segera menyusul.
Hidup akan selalu berkelindan dari sidang ke sidang, penjara ke
penjara. Inilah akhir jika seseorang telah memilih jalan sebagai
bagian dari sindikat jaringan, bandar, kurir, pemodal, peracikan,
pengguna, serta penyalahgunaan narkoba.

298
Imajinasi Kebahagiaan
Akhirnya, memang kontrol sosial menjadi sebuah
kepentingan yang sangat besar demi masa depan generasi. Kontrol
sosial yang lemah hanya akan menghancurkan sendi kehidupan
dan sendi sosial. Kekerabatan adalah kunci. Selebihnya, peran
pendidikan, peran pergaulan, sangat menentukan.
Lebih utama lagi, penanaman pengertian arti kebahagiaan
dan kasih sayang sesungguhnya. Pendidikan agama sedari dini
amatlah penting, bila dilihat dari kasus-kasus yang ada, senyatanya,
peran keluarga dan pendidikan agama sudah tak ada. Para pelaku,
sepertinya memiliki imajinasi kebahagiaan yang keliru. Manajemen
spiritual yang tak ada dalam diri, membuat lost control. Umumnya,
hal ini juga didukung dengan faktor pendukung lainnya. Jika saja,
setiap keluarga mengingatkan anggotanya tentang bahaya, tentulah
Narkoba menjadi barang yang kian asing dan jauh. Tetapi nyatanya,
peran itulah yang gagal hadir pada diri pelaku.
Mengingatkan anggota keluarga, itu kewajiban. Tentunya
dengan strategi yang jitu, sesuai kasus. Ayolah, jagalah keluarga
tercinta dari bahaya Narkoba laknat itu. Ia sudah ada di sekitar
kita, mengerikan sekali.
Kita telah diperintahkan, agar selamatkan diri, keluarga,
dari ancaman kehidupan yang menyengsarakan, baik dunia
maupun akhirat. (Q.S: 66:6) Kecuali memang tidak beriman, tidak
beragama, juga tidak membutuhkan Tuhan, dalam hidup ini.
Sayangnya, fitrah manusia, ketuhanan dalam dirinya itu selalu ada.
Keliru dan salah kaprahlah yang terjadi. Menuhankan Narkoba
untuk kebahagiaan hidup. Betapa ironis! []

299
Hukuman Berat
Oknum Aparat

Mendapatkan kabar tentang oknum polisi diduga menjadi


pelaku perampokan, bukanlah hal baru. Seumpama, musang
berbulu ayam, oknum itu justru membuat gaduh. Pepatah lain
menyebutkan, pagar makan tanaman.
Oknum polisi seperti ini, layak dihukum berat. Karena telah
melanggar sumpah setia pengabdiannya, ketika ia dilantik menjadi
aparat hukum. Aparat hukum yang melanggar hukum harus
dihukum berat. Seharunya ia menegakkan hukum tetapi ternyata
ada pula yang melanggarnya.
Memang tidaklah banyak, hanya satu dua oknum yang
menjadi pelaku perampokan, backing dari preman dan pengedar
narkoba. Umumnya terjerumus karena desakan ekonomi, kurang
pembinaan mental.
Tak ada jalan lain, hukuman berat harus dilaksanakan
untuk aparat yang seharusnya menegakkan hukum. Untuk apa
melindungi anggota yang tidak setia? Pada satu kondisi, justru
yang “murtad”, lari dalam perang, justru harus tembak ditempat.

301
Berkhianat dengan etik oleh anggota adalah pukulan
telak bagi para jajaran Polri. Apalagi di tengah kesadaran atas
pelayanan prima yang dituntut masyarakat. Saat sebagian yang
lain memelihara, membangun, mengobarkan semangat dan citra
polisi yang bersahabat, melindungi, melayani, justru ada yang
mencorengnya.
Berkali-kali Kapolri meminta agar jajaran Kepolisian bisa
bekerja dengan optimal. Sejauh ini, satu dua anggota masih ada
yang berkhianat. Ada apa?
Bila melihat dari kronologis peristiwa di Sawahlunto, awal
bulan lalu, juga beberapa daerah provinsi lain, seperti di Bogor dan
Medan, umumnya anggota bekerja sama dengan sesama dan juga
beberapa pendukungnya, bukan anggota Polri. Mereka berotak
penjahat semua.
Sejauh ini, patut disadari, sekian ribu anggota Polri di tanah
air, tentunya hanya segelintir yang tega berbuat salah begitu. Pada
konteks ini, tentunya adalah penting disadari sebagai sesuatu
yang wajar. Mengingat apapun profesi, di bawah nol persen, selalu
memiliki kesempatan menyimpang. Tak ada profesi yang utuh,
anggotanya bisa berada di track luruh etik.
“Dalam satu tandan calon buah, biasanya ada yang gagal
sampai matang,” begitu paling tidak kita kenal sebuah adagium.
Bagi masyarakat, hal ini tidak ada maaf. Kecuali, terus
diekspos perkembangan kasus hukumnya. Harus dihukum, agar
ada efek jera kepada anggota yang lain. Bersetia kepada profesi
dan mencintainya sepenuh hati, adalah kemuliaan dan amal
pengabdian.
Apa yang membuat dorongan oknum anggota Polri
melakukan pelanggaran etik berat seperti perampokan? Tiada
lain adalah godaan kehidupan yang kian masif di hadapan kita.

302
Ketika iklan menyerang hingga ke kamar tidur kita. Ingin cepat
kaya, memiliki barang berharga, kurangnya pertimbangan antara
kebutuhan dan keinginan yang tinggi, itulah dorongan yang harus
kuat di lawan.
Materialisme sangat berkembang di tengah masyarakat kita.
Tuntutan agar hidup lebih dari yang lain, sangat tinggi. Harusnya
ini menjadi perhatian. Kesadaran atas posisi, profesi, moral,
hukum, sebagai aparat negara harus terus didengungkan ke telinga
aparat. Tugas aparat juga kepada masyarakat.
Jawaban dari persoalan ini tiada lain adalah terus memberi
pencerahan mental spiritual terhadap anggota Polri. Pencerahan
mental spritual ini bisa terus menjaga kesadaran akan tugas dan
pengabdian.
Pilihan menjadi abdi negara adalah sangat mulia. Soal rezeki,
sudah ada yang mengatur. Di sinilah peran agama, bagi anggota
Polri sangat penting. Jangan hanya mengedepankan keangkuhan
ketika berseragam aparat. Sesungguhnya, apapun seragammu,
tak ada yang patut disombongkan. Semoga ini menjadi catatan
penting bagi para petinggi Polri, untuk selalu memberi penyadaran
terhadap jajarannya. Kita menyayangi Polri, sebagai aparat yang
diberi amanat oleh rakyat, untuk rakyat, dari rakyat. Salam. []

303
DAKWAH
MEDIA
Kebenaran
Atas Nama Agama

Ketika kepentingan politik kekuasaan menyelinap


menggunakan kebenaran atas nama agama, umat manusia bisa rela
dan tega untuk menumpahkan darah sesama. Klaim kebenaran atas
nama agama membuat umat akan menegasikan tawaran kebenaran
dengan logika apapun. Kenyataan ini sebenarnya patut diperiksa,
di balik itu, ada kepentingan lain, ia berada di wilayah perut.
Peter L. Burger (1967) dan Karen Amstrong (1993)
sependapat menyatakan, agama selalu menjadi alat efektif legitimasi
kebenaran untuk dibawa untuk menekan pihak lain. Perang perang
suci (Holy War) antar umat agama berangkat dari sini, dari benih-
benih perbedaan kecil, yang sebenarnya lebih kepada persoalan
sosial politik, lalu diseret ke ranah aqidah. Inilah benih-benih
konflik sewaktu-waktu bisa tumbuh, mekar dan pecah menjadi
perang berkepanjangan.

307
Tentang Kebenaran
Manusia mencari kebenaran dan memertahankan untuk
menjalani kehidupannya. Pada kebenaran itu ia berdiri, bersifat,
bersikap, berpendapat dan bertindak. Namun setiap kebenaran
yang didapatkan selalu bisa dipatahkan, ketika berhadapan dengan
waktu dan logika baru.
Teori kebenaran bisa saja datang bertumpuk, termasuk
kebenaran menurut agama. Namun logika yang dibangun atas
nama kebenaran tidak bisa lepas dari kemampuan subjek menelaah
dan menganalisis persoalan yang dihadapi. Sedikit saja terpeleset,
subjek akan terjerumus dalam pendapat, sikap dan tindakan yang
dianggapnya benar dan baik tetapi senyatanya ia sedang dalam
keadaan pincang berpikir.
Para filosof mengungkapkan paling tidak ada tiga teori
kebenaran yang telah dipakai umat manusia. Yaitu, Corespondence
Theory, Consistency Theory, dan Pragmatic Theory.
Menurut teori korespondensi (Corespondence Theory),
kebenaran adalah perbandingan realita, informasi, fakta, peristiwa
dan pendapat dengan apa yang ditangkap oleh subjek. Kebenaran
menjadi kesan dan ide dalam dirinya. Teori ini hanya membutuhkan
lima unsur saja, pernyataan, persesuaian, situasi, kenyataan dan
putusan.
Sedangkan menurut Teori Konsistensi (Consistency Theory),
kebenaran adalah suatu usaha pengujian berturut-turut hingga
mendapatkan kesan. Menurut teori ini, untuk menetapkan suatu
kebenaran bukanlah didasarkan atas hubungan subyek dengan
realitas obyek. Alasannya, apabila didasarkan atas hubungan
subyek dengan obyek, pastilah ada subyektivitasnya. Oleh karena
itu pemahaman subyek yang satu dengan yang lain tentang sesuatu
realitas akan mungkin sekali berbeda.

308
Sementara menurut Teori Pragamatis (Pragmatic Theory),
kebenaran didapat melalui pengujian dan memecahkan masalah-
masalah. Sesuatu itu benar, jika pribadi subjek kembali ke dalam
keseimbangan setelah melakukan pengujian dan penyesuaian dari
tuntutan lingkungan hidupnya.
Pada teori-teori di atas, manusia meyakinkan diri dan orang
di sekitarnya tentang kebenaran yang dimiliki, walaupun setiap
kebenaran dengan logika yang dipakainya memiliki kelemahan-
kelemahan. Manusia akan selalu kesulitan untuk menyatakan
kebenaran hakiki. Di sinilah menyaru emosi, nafsu untuk memaksa
agar kebenaran harus diterima dengan oleh yang lain. Pemaksaan
melahirkan konflik.

Kebenaran Agama
Di atas teori-teori kebenaran yang dilahirkan para filosof
setelah melihat laku hidup umat manusia, teori kebenaran yang sulit
dibongkar oleh kebenaran lain, adalah kebenaran atas nama agama.
Karena ada superindividual yang disebut keyakinan. Kebenaran
tak bisa diukur dengan rasio semata karena berhubungkait dengan
ego ilahiyah dalam diri subjek.
Sungguhpun hasil dari hasil tafsir yang berbeda-beda karena
universalitas wahyu serta ketidakmampuan nalar dapat mengambil
maksud sesungguhnya, kebenaran atas nama agama menutup
keran kesempatan kebenaran lain bisa masuk.
Umat beragama bisa saja menihilkan teori kebenaran dari
para filosof dan mungkin juga memanfaatkannya untuk menguatkan
kebenaran atas nama agama. Pada konteks ini, kebenaran sulit
dikompromikan dengan keadaan. Apalagi kebenaran atas nama
agama sering kali menyaru ke dalam kepentingan politik kekuasaan
dan ekonomi.

309
Sebagai makhluk politik (zoon politicon), manusia
menggunakan klaim kebenaran itu untuk mendapatkan keuntungan
materi dan imateri. Realitas sosial akhir-akhir ini begitu banyak
memberi fakta, agama dibajak untuk mendapatkan keuntungan
duniawi semata. Jangan heran, bila disuguhkan keadaan seakan-
akan paling agamis tapi senyata paling bengis.

Konflik di Publik
Ketika klaim kebenaran atas nama agama dibawa ke ruang
publik, lalu dipaksakan, di sinilah sering lahirnya konflik. Baik
sesama umat beragama maupun antar agama. Sesama umat
beragama, sering muncul karena perbedaan latar belakang ilmu
pengetahuan tentang agama. Tak terelakkan pula, soal suka tidak
suka dan pandangan personal terhadap objek. Sedangkan konflik
antar agama, karena cara pandang dan keyakinan yang berbeda,
dilengkapi oleh faktor pendukung, seperti sosial ekonomi.
Pada ruang-ruang akademik, kebenaran diungkapkan sebagai
barang yang begitu relatif. Kebenaran seumpama kaca cermin yang
utuh di langit, lalu jatuh ke bumi terpecah-pecah. Setiap orang bisa
mendapatkan kepingan cermin itu, lalu menyatakan diri paling
benar. Padahal, ia hanya mendapatkan satu dari sekian ribu pecahan
cermin yang memang berserakan.
Jurgen Habermas dalam Religion in the Publik Sphere (2011),
menawarkan agar agama di ruang publik melepaskan klaim sebagai
satu-satunya otoritas kebenaran. Namun ini tentunya menumbuhkan
konflik baru, ada yang setuju ada yang tidak. Habermas tentunya
setelah melihat agama dari perspektif sumber konflik. Bila melihat
dari sisi paling dalam setiap agama, tentunya agama manapun hadir
untuk keteraturan hidup. Sayangnya, interpretasi dan kepentingan
umat membuat wajah agama menjadi berbeda. []

310
Epistimologi
Kaum Radikal

Seseorang yang masuk ke jalan gerakan radikalisme, tidaklah


secara tiba-tiba. Ada proses dan momenum yang kadang-kadang
tidak disadarinya hingga terbawa ke alam pikiran demikian. Hal
itu didukung oleh perkembangan pemikiran dan persepsi dalam
memandang kehidupan dari sudut pemahaman agama yang
dimiliki.
Manusia secara fitrahnya diberi daya spiritual, yang menjadi
sandaran keyakinan ketika ia memutuskan sikap dan tindakan.
Sederhananya, pada daya ini bersandar pengakuan terhadap takdir
ilahiyah, penyerahan nasib, daya juang, daya bertahan, kehadiran
Tuhan.
Di samping daya spiritual, ada daya intelektual dan daya
emosional. Daya intelektual, kekuatan untuk menangkap ilmu
pengetahuan menjadi bahan penalaran. Sistem berpikir yang
logis, sistematis, rasional, objektif, berada di daya intelektual
ini. Sedangkan daya emosional, perangkat kekuatan sandaran
perasaan. Marah, benci, suka ria, malu, berada di daya ini.

311
Ketiga daya ini berkelindan di dalam diri sebagai perangkat
kerja ketika memilih keputusan-keputusan, yang menjadi sikap,
tindakan, pikiran dan gerakan bagi seseorang. Tiga daya ini
pula membuat manusia dipandang oleh manusia lainnya sebagai
makhluk yang sempurna (al-insan al-kamil), jika menggunakannya
dengan baik. Sebaliknya, bisa menjadi makhluk paling hina jika
keliru menggunakannya.
Daya-daya ini berkembang seiring asupan pengetahuan dan
pengalaman dalam kehidupan. Kebutuhan asupan ini, sejatinya
seimbang didapatkan. Sayangnya, manusia cenderung mengisi
ruang daya intelektual semata. Sedangkan daya emosional dan daya
spiritual, dibiarkan berkembang begitu saja, seiring pertumbuhan
usia secara alamiah. Di sinilah awal, kecenderungan pola pikir
seseorang mulai terbentuk.

Hidup Itu Pilihan


Sering kita dengar, hidup adalah apa yang dipikirkan. Di
luar apa yang kita pikirkan, juga ada kehidupan. Tetapi manusia
punya ruang dan waktu, punya batas. Di luar yang dipikirkanya,
bukanlah kehidupannya.
Ungkapan yang terkenal soal ini, muncul dari filosof
Rene Descartes (1596-1650), aku berpikir maka aku ada (cogito
ergo sum). Ungkapan ini menunjukkan peran penalaran sangat
menentukan seseorang dalam memilih jalan hidup untuk
eksistensi seseorang. Manusia tidak mungkin memilih dan melalui
banyak jalan pikiran dalam satu kesempatan. Ia harus memilih dan
memutuskan satu jalan. Makanya ada juga ungkapan, hidup itu
pilihan. Setiap pilihan ada dampak, seseorang yang sudah memilih
biasanya punya seperangkat argumen-argumen yang kuat untuk

312
dipertahankan. Di sinilah peran daya spiritual mempertahankan
argumen, mendukung daya intelektual.
Biasanya, ada momenum, daya intelektual sangat dominan,
sehingga menjadikan seseorang beraliran sekuler dan liberal. Lalu
ada juga momenum, daya spiritual lebih dominan, yang membuat
seseorang menjadi berpikir di atas pijakan keyakinan, sungguh pun
tidak rasional, jumud dan fanatik. Sedangkan bila daya emosional
yang lebih kuat, maka muncullah militansi, kebencian, kecintaan,
yang semuanya kadang-kadang berlebihan.
Ketiga daya ini membutuhkan modal untuk menganalisis
sebelum menjadi keputusan. Modal itu adalah pengetahuan baik
secara pengalaman empirik maupun perangkat ilmu-ilmu. Jika
pengetahuan seseorang luas dan dalam tentang hal yang akan
diputuskannya, biasanya analisisnya akan tepat dan bijak. Kalau
sedikit, tidak mencukupi, biasanya analisis penalarannya biasa-
biasa, bahkan bisa jadi sangat dangkal.
Begitulah jalan seseorang, sadar tidak sadar, telah sedang
dan akan dilalui. Menjadi radikalis, liberalis dan moderat, biasanya
tidak pernah ia sadari sejak awal. Ia akan beralih, dinamis, jika ada
pembanding dan hal baru. Orang yang awalnya berpikir sangat
liberal, bisa sangat radikal jika ada kegagalan di saat berpikir
liberal. Ada juga yang sangat liberal setelah kecewa dengan cara
berpikir moderat dan radikal.

Jalan Radikal
Hasil pengamatan dari berbagai kasus, baik secara personal
maupun kelompok, seseorang menjadi radikal, liberal, moderat,
dalam pandangan hidup, sikap dan gerakannya, sangat ditentukan
oleh ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Begitu juga

313
dalam kasus radikalisme dalam beragama. Asupan pengetahuan
dan pengalaman itulah yang akan dianalisis menjadi pandangan
hidupnya.
Ada lima faktor, seseorang menjadi radikalis agama; Pertama,
pilihan ideologi dari pendidikan yang didapatkan. Sedari awal
memang sudah mendapatkan pendidikan agama yang beraliran
radikal. Tidak mendapatkan pendidikan pembanding dan tidak
bersentuhan dengan realitas dalam bentuk lain. Radikalis seperti
ini muncul diciptakan oleh sistem kehidupan yang mengitarinya.
Sistem ini memang sudah lama hadir di tengah umat beragama,
menjadi progam transnasional dalam memperjuangkan
pemahaman radikal. Inilah yang disebut radikalisasi.
Kedua, kemiskinan. Setiap orang ingin pengakuan dan
aktualisasi dalam hidupnya. Di tengah materialisme yang meraja,
seseorang yang kalah dalam kancah sosial akan memilih jalan
spiritual untuk dianggap “ada” dalam lingkungannya. Kemiskinan
membuat akses pendidikan terbatas, jalan pintas untuk mendapat
pengakuan dan perhatian di lingkungannya adalah bersikap beda
selain sikap materialis yang merebak.
Ketiga, belajar agama setelah dewasa. Seseorang yang
berpendidikan tinggi dalam salah satu disiplin ilmu biasanya
hanya mendapatkan asupan lebih pada daya intelektual semata.
Sementara, daya spiritual masih minim. Ketika puncak intelektual
itu di raih, ia mengalami suasana jenuh. Kekeringan batin. Saat
itulah ia mencari jawaban untuk dahaga batin tersebut. Ketika
dahaga itu lepas, ia mengalami proses euforia. Rasa beragama
dan berimannya langsung meninggi. Saat itulah radikalisme lahir
dalam dirinya. Lahir dari sistem berpikir yang timpang, satu
sisi baru mendapatkan dasar-dasar agama tetapi sisi lain sudah

314
memiliki tingkat intelektual yang tinggi. Karena baru, biasanya
belum terjadi peresapan yang memadai.
Keempat, kebutuhan spiritual. Maksudnya, hampir sama
dengan yang ketiga. Seseorang yang awalnya sangat kering
siraman rohani bila mendapatkan siraman rohani, akan sangat
cepat terjebak dalam pikiran radikal. Kehidupan yang sebelumnya
tidak pernah menyentuh hal demikian, lalu jenuh, merasa berdosa,
seterusnya ingin menebus dosa itu dengan pengakuan-pengakuan
kesalehan di lingkungannya. Seseorang membutuhkan pengakuan
sebagai orang yang baik, saleh, santun, dsb. Biasanya, seiring usia,
seseorang akan mengalami perjalanan spiritual seperti ini. Alim di
ujung usia senja.
Kelima, pelarian dari kegagalan hidup. Hidup yang gagal
bertarung di tengah kancah materialisme dan hedonisme, cenderung
mencari pelampiasan dan kompensasi. Seseorang bisa gagal, patah
hati, bisa bunuh diri. Kasus bunuh diri, umumnya karena tidak ada
tempat pelarian kecuali satu jalan, menghabiskan nyawa sendiri.
Salah satu jalan selamat paling mungkin dalam kondisi seperti
jiwa yang guncang adalah spiritualitas, menyandarkan kegagalan
itu kepada kekuatan di luar alam nyata, kepada Tuhan. Ketika ia
mendapatkannya, seperti besi panas diberi air. Radikalisme juga
lahir dari sini.
Lima faktor di atas, bisa berlaku bersamaan, keseluruhan,
atau satu saja kepada seseorang. Tergantung proses dan momenum
dalam hidupnya. Masih ada yang menjadi faktor seseorang menjadi
radikal, yaitu faktor-faktor pendukung di luar dirinya. []

315
Da’i Nagari

Pemerintah Kabupaten Pasaman Barat merancang


pembangunan di Bawah Tadah Agama. Menyiapkan generasi masa
depan, sebelum lahir ke dunia hingga kembali ke alam baka.
Salah satu rancangbangunnya, direkrut Da’i Nagari. Para
mubalig ini diberi pelatihan khusus untuk melaksanakan tugasnya
di setiap jorong. Satu Da’i, satu jorong pula. Selain itu, juga ada
satu jorong satu bidan, pendidikan usia dini, majelis taklim juga
dihadirkan di jorong. Semua elemen ini difasilitasi Pemkab untuk
melancarkan kegiatannya.
Ketika mendapat kesempatan untuk bertatap muka dengan
para Da’i Nagari dalam sebuah sesi, Media dan Dakwah, betapa
terasa semangat mereka atas tugas luhur menyampaikan pesan-
pesan dakwah begitu besar. Hanya saja, para Da’i Nagari menghadapi
tugas berat. Memberi, membuka, hingga menanamkan nilai-
nilai agama di tengah masyarakat yang kian hari kian berubah.
Perubahan sebagai sebuah kemestian, di tengah abad yang terus
berlari, didukung teknologi informasi dan media massa.

317
Forum diskusi pada sesi memberi cakrawala kemediamassaan
ini, muncul pula kekhawatiran yang teramat gawat. Di mana nilai-
nilai agama, moral, adat, budaya, makin bergeser ke tepi. Peran
tokoh agama sudah tergerus dengan adanya teknologi informasi.
Sementara di sisi lain, para Da’i Nagari juga tetap optimis
memainkan peran di tengah masyarakat, memberi penyadaran dan
menanamkan nilai-nilai agama agar generasi masa depan tidak
terjerumus dalam kegelapan moral. Media massa dan teknologi
informasi harus dimainkan, dimanfaatkan, bukan ditakuti atau
malah meninggalkannya.

Niat Luhur Pemimpin


Kehadiran program pengadaan Da’i Nagari tentu saja
berangkat dari niat luhur para pemimpin daerah tersebut. Paling
tidak, Bupati Kabupaten Pasaman Barat, Drs. H. Baharuddin
Raaban MM. Tuanku Johan Pahlawan, mengetahui posisi strategis
membangun negeri yang dipimpinannya. Putra Sinuruik, Talamau
itu tentu saja memiliki cita-cita untuk Pasaman Barat yang lebih
baik di masa depan.
Dakwah merupakan kegiatan yang diwajibkan kepada kaum
muslimin, sesuai dengan kapasitasitas masing-masing. Dakwah
Islamiyah, berarti menyeru umat ke jalan yang benar, menurut al-
Quran dan Hadits sebagai landasan kehidupan (way of life). Da’i
dalam arti yang lebih luas, orang yang menyeru ke jalan Allah SWT.
Apapun profesi yang dijalaninya, ia harus menyerukan walaupun
satu ayat, begitu Nabi Muhammad SAW. menyatakan dalam
sebuah hadits shahih. Pada konteks itulah, salah satu jalan dakwah
itu harus dilaksanakan melalui kepemimpinan. Karena hakikatnya,
pemimpin itu juga da’i (rijal al dakwah), yang berperan memberi
arah kemana umat dibawa, melalui kebijakan yang diambilnya.

318
Padah hadits lain, diriyawatkan, cegahlah kemungkaran
dengan tangan, jika tidak mampu lakukan secara lisan, jika tak
mampu cukup dengan di dalam hati. Muhaditssin, mengartikan
tangan merupakan kepemimpinan dan kekuasaan yang dimiliki
oleh siapapun sedang menjabatnya.
Para Da’i Nagari ditunjuk karena dipandang cakap melakukan
kegiatan dakwah dari jorong ke jorong. Kiprah ini hendaknya tidak
sekadar menjalankan tugas dari pemimpin mereka, tetapi benar-
benar panggilan jalan amal untuk mendapatkan redha Allah SWT.
Lain di Kabupaten Pasaman Barat, lain pula di Kabupaten
Solok. Pemerintah Kabupaten Solok dengan Program Pembangunan
Jendela Agama, melakukan revitalisasi perangkat Syara’. Bupati
Kabupaten Solok, Drs. H. Syamsu Rahim memiliki keinginan yang
amat kuat untuk mengubah cakrawala berpikir kaum agama dan
adat dalam menjalankan roda kehidupan. Penguatan perangkat
yang menunjang hadirnya Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi
Kitabullah, tidak lagi sebagai tebu yang tumbuh di bibir.
Melalui program itu, digalilah potensi setiap nagari untuk
mendapatkan gambaran penting tentang keadaan masyarakat dan
seluruh unsur yang ada di dalamnya. Di Solok, beberapa nagari
merancang penulisan monografi nagari, membuat peraturan
nagari tentang maghrib mengaji, pandai baca tulis al-quran, jumat
khusu’ dan hening, majelis tigo tunggu sajarangan (MTTS), dan
sebagainya. Program ini sedang berjalan di setiap nagari yang
sedang menjadi pilot project. Semua itu, seperti ingin menyatakan;
kembalikan peran besar urang ampek jinih.
Beberapa kali dialog di Kantor Wali Nagari dan Kantor
Kerapatan Adat Nagari, para penghulu, ninik mamak, perangkat
nagari memiliki keresahan yang sama. Peran mereka di tengah
masyarakat membutuhkan penguatan. Perangkat Syara’ juga adat

319
mesti diberi kesempatan dan dukungan moral, agar tegaknya sendi
adat dan agama. Sejak dicanangkan kembali ke nagari, otonomi
daerah, mengembalikan peran besar yang pernah ada pada masa
silam makin sulit. Tranformasi dalam bentuk baru harus dilakukan,
karena peran seperti pada masa dahulu kian sulit dijemput.
Dua kabupaten ini memiliki kesadaran atas investasi sumber
daya manusia di masa depan. Ketika dominasi media massa dan
teknologi informasi sudah mengepung, membuat perubahan yang
amat signifikan, pemerintah kabupaten mulai bergerak melakukan
revitalisasi pemahaman nilai-nilai, norma. Tentu saja diharapkan
lahirnya transformasi adat budaya agama dalam bentuk yang lebih
kekinian tanpa melenceng jauh dan bergeser ke tepi.

Catatan Buat Dua Kabupaten


Sistem pemerintahan otonomi di tingkat kabupaten dan
kota di Indonesianya, agaknya telah memberi ruang yang sangat
besar untuk merancang perubahan kehidupan di masa mendatang.
Dua pemerintah kabupaten di atas, Pasaman Barat dan Solok itu,
sedang melakukannya.
Tanpa meniadakan rancang bangun di kabupaten dan kota
yang lain di Sumbar, dua kabupaten ini tentu akan meraih hasilnya
belasan tahun ke depan. Inilah investasi sumber daya manusia, adat
budaya dan agama, di masa depan. Ibarat tanaman, ini investasi
tanaman tuo, seperti pohon jati, yang dapat dilihat lima hingga
sepuluh tahun setelah ditanam. Investas sumber daya manusia,
bukanlah investasi tanaman muda seperti jagung, cabe, dst, yang
bisa dipanen tiga bulan ke depan.
Mari kita mengingat persoalan beberapa tahun silam, ketika
Peraturan Daerah Kota Padang tentang Berpakaian Muslim digugat
habis-habisan oleh banyak orang. Tetapi kini, lihatlah, jilbab telah

320
menjadi budaya yang lekat dengan Kota Padang. Agak aneh terasa
bila ada perempuan separuh baya di Kota Padang tidak berjilbab.
Begitulah, hasil dari sebuah proses panjang peraturan-peraturan
yang melahirkan budaya di tengah masyarakat.
Hendaknya, peraturan dan rancangbangun program
kegiatan pembangunan sumber daya manusia dua kabupaten,
Pasaman Barat dan Kabupaten Solok di atas tadi, akan memanen
sesuatu yang indah di masa depan. Lahirnya generasi yang memiliki
moral dan martabat serta menjunjung tinggi adat dan budaya yang
berdasarkan agama. Amin. []

321
Menu Bahagia
di Hari Raya
“Oi mak, langkueh bukan dagiang!” Wajahnya memerah
seketika. Segera ia menyambar gelas air putih, direguknya hingga
tandas. Tapi aroma lengkuas tidak pergi begitu saja dari mulutnya.
Selera makan pun hilang entah kemana.
Siapa yang pernah mengalami hal ini? Bagi yang pernah,
inilah tragedi paling mengerikan bagi lidah ketika selera sampai di
ujungnya. Saat selera sedang tinggi untuk makan rendang masakan
orang tercinta di hari raya Idul Fitri, pada saat itu pula yang tergigit
bukan daging. Lengkuas! Bumbu yang tak berbeda dengan daging-
daging dalam balutan serbuk cokelat kehitam-hitaman itu.
Peristiwa ini juga diabadikan pada banyak foto-foto yang
ada di jejaring sosial dan dunia maya, seperti di Facebook, Twitter,
BBM, Linked, Path, Instagram, dll. Dikirim dari akun yang satu
ke akun yang lain, mungkin sebagai hiburan. Bagi mereka yang
pernah mengalaminya, akan senyum-senyum melihatnya. Senyum
dikulum-kulum.

323
“Ondeh mandeh, indak ba saka!” Suaranya tertahan.
Mulutnya penuh. Berbuka puasa hari itu, ia menggerutu. Aroma
onde-onde yang sejak dihidangkan sangat menggoda selera tetapi
saat dikunyah satu, ternyata terpilih yang indak ba saka. Pada saat
itu, bermacam-macam reaksi orang. Yang jelas, menggerutu dan
sakit hati. Selera makan onde-onde tertahan di lidah. Termakan
sudah, terasa sudah, tapi ada yang kurang. Tak bergula di dalamnya!
Minuman dingin segera diraih, agar onde-onde segera masuk
ke perut. Lalu ambil yang satu lagi dengan segenap harapan onde-
onde pakai gula di dalamnya. Terbayang, betapa menderitanya
mereka yang meneguk paksa onde-onde itu. Wajahnya tentu
masam ketika itu.
“Oi ayai... tagigik lado...” Ini di peristiwa lain lagi. Wajahnya
memerah. Matanya menyipit. Peluh mengucur. Tangannya
menggapai-gapai gelas plastik berisi air. Ia baru saja tergigit lado
kutu di dalam sayur. Sayur kangkung itu dimasak bercampur
cabe rawit hijau yang diiris-iris. Berbaur dengan kangkung segar
berenang-renang di dalam kuah.
Ini ulah anggota Pramuka yang piket di tenda. Mereka
mendapat giliran memasak menjelang anggota lain yang ikut
kegiatan di lapangan. Ketika pasukan pulang dari kegiatan dengan
selera dan penat memuncak, langsung sikat nasi dan sayur yang
terhidang. Satu dua di antara sayur yang tersedia dalam piring-
piring itu, ditambah khusus oleh oknum iseng dengan cabe rawit
lebih banyak. Oknum anggota yang piket itu, segera mendengar
kabar siapa yang bernasib sial, makan lado kutu dan harus minum
banyak. Kali ini, mereka tersenyum puas, menikmati satu dua
orang yang mengamuk karena kepedasan.

324
Menyingkap Nasib
Pernahkah terpikirkan, kenapa di antara banyak daging itu,
yang terpilih adalah Lengkuas? Kenapa tangan memilih onde-onde
yang tak diisi gula? Kenapa mengambil piring sayur yang memang
ditambah cabe rawitnya? Siapa yang mengatur hal-hal demikian?
Bagi sebagian orang, persoalan ini sangat sepele, kebetulan
dan tak perlu dibahas, menghabis waktu dan biarlah semua itu
berlalu sebagai nasib naas yang tak perlu dikenang. Tapi tunggu
dulu, ini bisa jadi persoalan serius. Tak bisa dibawa angin lalu. Ini
dibawa ke persoalan hukum. Hukum akal, hukum sebab akibat,
hukum alam dan tentu saja hukum Tuhan.
Mari kita simak pendapat dua kutub pemikiran keagamaan
yang selalu membuat kening berkerut. Ada Kutub Ekstrem, yang
menyatakan, hidup ini sudah ada yang mengatur. Sekecil apa
pun peristiwa yang terjadi di alam ini, tak akan pernah luput dari
pengaturan tersebut. Kutub ini dalam kajian Ilmu Kalam, diwakili
oleh paham Jabariyyah. Paham patalis, minimnya akal manusia
dalam menguasai dirinya. Hidup ditakdirkan oleh Yang Maha
Hidup. Harus siap menerima kenyataan apa pun. Termasuk tergigit
lengkuas!
Ada kutub lain, yang berlawanan dengan Kutub Ekstrem,
yaitu Kutub Liberal. Kutub ini menyatakan, semua yang dilakukan
oleh manusia karena hasil dari oleh nalar sendiri. Akal yang berdiri
sendiri, berpikir merdeka untuk berbuat sesuatu. Kutub ini dalam
kajian Ilmu Kalam, diwakili oleh paham Mu’tazilah. Paham yang
berpendapat, hukum alam sudah diturunkan Yang Maha Pencipta,
Allah SWT, ke dunia. Karena itu, manusia berbuat sekehendak akal
yang telah diberikan. Adapun wahyu, hadir sebagai tuntunan.
Sekarang, kembali ke persoalan Lengkuas, Onde-onde, sayur
pakai lado kutu? Karena ditakdirkan seseorang mendapatkannya

325
atau karena hanya pilihan akal semata? Ada banyak jawaban yang
akan diungkapkan, namun dua kutub ini bisa kelihatan bagaimana
cara berpikir seseorang. Boleh setuju boleh tidak, dua hal di atas
juga sering dihadapkan menjadi pilihan dalam kehidupan ini.
Benarlah kata orang, hidup adalah pilihan.
Bagi yang berpikir ekstrim, terpilihnya Lengkuas dari sekian
banyak daging, onde-onde tak bergula dari sekian banyak di dalam
piring, sayur pakai cabe rawit khusus, semua itu adalah karena
nasib yang harus diterima. Sekalipun sudah dipilih, nyatanya masih
terkena juga. Sementara, bagi yang berpikir liberal, ini karena
ketidakjelian akal dalam memilih. Tidak awas dan tidak sampai
sama sekali akal memikirkannya. Akal bekerja punya garis batas.
Hal di atas peristiwa kehidupan yang tampak sederhana. Tak
ada yang luar biasa. Tapi bagaimana, misalnya, cerita seseorang
yang tak lulus masuk menjadi Satpam di sebuah Bank. Ia patah
hati. Lalu mengambil jalur lain, jadi pedagang saja. Lalu, 15 tahun
kemudian ia kaya raya. Suatu hari ia mengenang, seandainya ia
diterima jadi Satpam. Tentu saja, jalan hidupnya akan berbeda.
Pada kasus lain, ada seseorang yang menjadi sopir dengan
kemampuan akal sederhana, jika ia cekatan akan mendapat
penumpang banyak. Makanya ia fokus menyetir dan mencari
penumpang. Setiap hari, setiap waktu. Modal pemikiran seperti ini
membawanya banyak dapat uang, ia bahagia.
Sementara sopir yang lain lagi, ia berpendapat, soal rezeki
ia serahkan kepada Allah. Ketika datang waktu zhuhur dan ashar
tiba, ia shalat. Walau pada jam tersebut, penumpang sedang ramai-
ramainya. Ia tak peduli. Rezeki sudah ada yang mengatur. Modal
pemikiran seperti ini, ternyata ia tak kekurangan uang, ia juga
bahagia.

326
Pilihan Hidup
Hidup kita memang selalu dihadapkan pada pilihan demi
pilihan. Ada pilihan sederhana, ada pilihan tidak sederhana, ada
pilihan penuh resiko, ada pilihan tidak beresiko. Ada yang harus
mengadu kepada Allah SWT. Tahajud di tengah malam. Ada yang
langsung saja, menurut kadar pikiran yang dimiliki. Tak perlu
mengadu. Akal sudah bisa membantu untuk memilih.
Namun dalam kajian spiritual, wacana ini tidaklah bisa
sesederhana itu. Apalagi dalam filsafat. Kutub-kutub pemikiran
selalu memberi corak tersendiri bagi kesuksesan seseorang. Mereka
yang dinamis, biasanya mampu melewati setiap gelombang, seperti
pemain selancar pada gelombang di lautan. Ada pula yang harus
melalui sarat dengan jatuh bangun. Begitulah. Kata-kata bijak yang
selalu memberi pencerahan; kita memang tidak bisa mengubah
arah angin tapi kita bisa mengubah arah layar. Pertanyaannya,
bagaimana dengan hal-hal prinsip dalam agama? Di sini sering
tergelincir, kadang-kadang anggapan prinsip dalam agama ternyata
tidak begitu prinsip. Di sini pula, senyatanya, pengetahuan agama
sangat menentukan, termasuk teologi.
Hal-hal di atas tadi menggambarkan suasana pemikiran
ekstrim dan liberal di tengah umat. Wacana ini merupakan dasar
kajian yang penting namun jarang menjadi pendekatan. Karena
memang menjadi kajian yang dianggap paling rawan. Tidak semua
orang bisa masuk ke wilayah ini. Apalagi di tengah masyarakat yang
mulai serba praktis. Kalau diajak berpikir agak sedikit mengerut
kening, mereka cenderung tak mau. Tak ada gunanya.
Wacana ekstrim-liberal tidak akan pernah habis. Meminjam
istilah Harun Nasution (1919-1998), tradisional-rasional
merupakan dua kutub yang selalu ada dalam kehidupan. Apalagi
dalam pemahaman keagamaan, khususnya dalam area Filsafat

327
Islam dan Teologi Islam. Ilmu ini memang mengajak olah pikir
yang selalu menggiring seseorang untuk tetap kritis dengan
keadaan. Bukan berarti harus menjadi pegangan antara satu
dengan yang lainnya, tetapi sebagai alat agar tetap menggunakan
akal dan wahyu yang tepat. Karena keduanya adalah Rahmat Allah
SWT kepada umat Manusia.
“Jan pakai tarompa kida sado e,” kata teman saya yang lebih
memilih moderat. Berada di tengah. Walau ia sendiri tidak begitu
mengerti bagaimana harus memaknai dalam bentuk konseptual.
Namun yang jelas, alam pikiran memang dipengaruhi oleh keluasan
pengetahuan dan pengalaman. Dua kutub ini menjadi kemestian
ketika memilih jalan kebahagiaan dunia dan akhirat. Jalan bahagia,
serupa kata pepatah dari Hindi; aku menggerutu karena tak punya
sepatu hingga aku melihat orang yang tidak punya kaki! Sederhana
sekali, kecuali kalau sudah diprovokatori oleh hawa nafsu. Alam
pikiran akan mengajak berpikir di luar keadaan dan diluar
kemampuan. Itulah jalan penderitaan. Keinginan memang sumber
penderitaan!

Bahagia Idul Fitri


Idul Fitri adalah segenap cerita bahagia. Bersalam-salaman,
serupa orang pulang menang perang. Terpancar kebahagiaan pada
hari nan fitri. Perang batin melawan hawa nafsu satu bulan penuh
sudah dilewatkan. Tahun depan berharap masih bisa bertemu
kembali. Ini juga pilihan. Keharusan di hari nan fitri.
Hari-hari berikutnya, kita kembali diganyang nasib yang
mengitari jalan hidup. Kita mesti memilih agar selamat, agar
bahagia. Alam pikiran kita memang menjadi tuas yang akan
mengambil jalan. Namun apakah alam pikiran yang menjadi
penalaran itu selalu ditambah dengan pengetahuan? Adakah

328
iman di dada akan diajak serta? Apakah semata hanya nafsu dan
keinginan dari perut saja? Kembali kita menjalani sebuah renungan
bijak usai lebaran ini. Hidup akan selalu mengantarkan pilihan-
pilihan untuk dijalankan. Sebagai menu kehidupan.
Menu bahagia adalah pilihan tetapi tidak bisa serta merta
mendapatkan bahagia. Selalu ada jalan berliku lebih dahulu,
selalu ada pahit sebelum manis. Selalu apa yang kita pikirkan,
kita rasakan, tak semudah dijalankan. Tetapi yang perlu, hidup
kita, kita yang pikirkan. Hidup itu apa yang kita pikirkan. Semua
itu membutuhkan spiritualitas. Tidak bisa lepas. Serupa kita
menjalankan ibadah puasa, berlapar-lapar hingga berbuka. Manis
dan indah terasa ketika berbuka dan ketika Idul Fitri tiba.
Selamat hari raya Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin.
Pilih jalan dan menu kehidupan yang paling membahagiakan.
Awas tagigik langkueh! Salam. []

329
Cerdas dan Bijak
di Hari Kemenangan

Hari Raya Idul Fitri 1437 H di Ranah Minang terasa berbeda,


di Kota Padang. Presiden R.I. Ir. Joko Widodo bersama keluarga
dan rombongan, menunaikan ibadah shalat tarawih di Masjid
Nurul Iman dan Shalat Ied di Masjid Raya Sumbar. Tentu sangat
ini menjadi lebaran spesial. Kenapa?
Pada Pilpres 2014 lalu, hasil Pleno KPU Sumbar, pasangan
Jokowi-Kalla hanya meraih 23,1 persen (539.308) suara. Sementara,
pasangan Prabowo-Hatta, meraih 76,9 persen (1.797.505) suara.
Pasangan Prabowo-Hatta pesta suara di 18 kota dan kabupaten
di Sumbar. Fakta politik ini tak bisa dibantah, menunjukkan
masyarakat tidak memilih Jokowi. Sayangnya, fakta politik secara
nasional, justru pasangan Jokowi-Kalla yang unggul.
Begitulah politik. Prabowo-Hatta sangat berterima kasih
dengan masyarakat Sumbar, yang bila dibandingkan dengan
pencapaian raihan suara secara nasional, Sumbar paling
tinggi. Kisah dua tahun lalu itu, seakan-akan lupa, masyarakat
berbondong-bondong ke Masjid Nurul Iman dan Masjid Raya,

331
melumpah ruah ke jalan dari halaman, lalu secara bebas terkendali
bersalaman dan berfoto dengan orang nomor satu di negeri ini.
Orang tak perlu lagi ingat dengan deretan angka yang tertera hasil
Pilpres. Beberapa kegiatan Jokowi di seputaran Kota Padang, juga
berjubel rakyat ingin mendekat. Orang yang selama ini hanya
dapat dilihat melalui media televisi, kini ada di hadapan mereka.
Ini magnetute luar biasa bagi masyarakat.
Namun di balik itu, di media sosial, groups chat, juga masih
ada yang nyinyir, menebar kebencian dan kekesalan. Misal,
akibat kedatangan rombongan Presiden, jalanan jadi macet dan
menyusahkan rakyat. Memang, Pilpres 2014, memunculkan
fenomena yang hingga hari ini masih eksis. Haters dan Lovers.
Pembenci dan Pencinta. Ada juga, yang menyebutnya, Jokower,
untuk pencinta Jokowi. Tapi tidak terdengar pencinta Probowo,
menjadi Prabower. Tetapi pasukan pencinta duo pasangan
kontestan dalam Pilpres ini sangat militan hingga ke akar rumput.
Mereka yang masih berada di posisi ini, biasanya orang yang tidak
bisa berobah cepat mengikuti keadaan. ”Tidak move on,” demikian
sering disebutkan. Kalau sudah cinta, apa saja bisa dipandang indah,
kalau sudah benci, sebaik apapun akan dianggap buruk. Artinya,
tidak ada alasan lagi untuk menilai secara objektif. Begitulah laku
politik sebagian dari kita, sesuai dengan kadar pengetahuan yang
ada dalam kepala masing-masing. Yang jelas, ini bukan politik
sejati, yang kita kenal. Sebab politisi ulung biasanya menggunakan
jalur paling dinamis; tak ada teman yang abadi, tidak ada musuh
yang abadi. Yang abadi, adalah kepentingan!

Duka Lara
Hari-hari menjelang lebaran tiba, kita selalu disibukkan
arus mudik yang membuat miris setiap tahun. Di Jawa, orang-

332
orang mengutuk keadaan karena macet tak beranjak. Di layar
kaca, kita menikmati lampu kenderaan bersusun rapi ke belakang
panjang. Tidak sebaris dua baris, delapan baris, sebanyak lajur
jalan tol. Kerinduan kepada sanak keluarga dan kampung halaman,
merobah wajah Indonesia menjadi tumpukan kenderaan di jalan
raya. Pemerintah seperti alfa berada di sana. Seterusnya, kampung
halaman Jokowi, Solo, meledak pula bom. Mercon besar.
Soal macet, juga kita rasakan di ranah minang, dalam
suasana lebaran. Macet seakan-akan menjadi kutukan yang
menakutkan. Kenderaan bertambah banyak, lebar dan panjang
jalan hanya bertambah sedikit. Berjam-jam, menunggu giliran
jalan. Bertemunya banyak maksud dan tujuan dalam waktu
bersamaan, telah membuat jalan padat tak bergerak. Sudah banyak
orang pintar mengkaji persoalan ini, melahirkan solusi, tetapi
tidak pernah selesai. Moda transportasi umum tidak diperkuat,
pasar kenderaan dibiarkan bebas menjual, orang-orang memilih
memiliki kenderaan, walau pajak mahal dan resiko tinggi, tetap
dipilih. Pilihan yang harusnya mampu diantisipasi oleh pemerintah
secara bijak. Tetapi pemerintah memikirkan pajak, pajak sebagai
pemasukan untuk negara.
Macet adalah kabar duka. Duka lara orang-orang di jalanan
untuk melunaskan kerinduan. Duka bagi mereka yang merindukan
aroma dapur dan masakan emaknya. Tetapi haruskah setiap lebaran
tiba? Mungkin ini pula yang harus dipikirkan, kenapa setiap
lebaran, kenapa tidak pada hari lain. Atau pertanyaan lain, kenapa
merantau? Sehingga harus ada mudik. Seorang teman, menyebut,
inilah negeri penuh dengan horor sejarah yang sunsang. Misal,
mudik harusnya berlawanan dengan hilir, tetapi berubah menjadi
arus balik.

333
Duka lara, di hari bahagia, hari kemenangan, orang-orang
tercinta pergi ke haribaan ilahi. Karena sakit, karena kecelakaan
lalu lintas karena arus mudik, hingga sakit mendadak seperti Ketua
KPU Pusat, Husni Kamil Manik, Seorang teman sejawat yang
pernah di KPU Sumbar. Juga mantan menteri, mantan gubernur
Sumbar, Hasan Basri Durin. Dua tokoh beda zaman, yang pergi
di hari nan fitri. Kepergian tokoh, siapapun dia, dari mana pun
dia, adalah tragedi. Begitu juga masyarakat badarai, yang pergi
dari orang-orang tercinta. Mereka bukanlah sekadar angka-angka
kematian semata. Ada air mata yang mengiringi mereka. Pelajaran
paling bijak adalah, siapapun kita, apapun jabatan, apapun jalur
politik yang dilalui, akan kita tempuh sebuah jalan, bernama
kepergian paling perih, paling perih, meninggalkan orang-orang
tercinta ke tempat di mana setiap tingkah laku akan dihisab dengan
akurat.

Masa Depan Umat


Setelah peperangan hawa nafsu satu bulan penuh, lalu
merayakan kemenangan di hari nan fitri? Akan kemanakah
kehidupan akan dihanyutkan? Apakah masih sama seperti tahun-
tahun sebelum ini? Ataukah ada perubahan paling radikal di masa
depan? Baik secara paling pribadi hingga dalam skala paling besar,
misalnya negara? Pada skala apapun itu, perubahan membutuhkan
niat baik untuk memiliki hubung kait ke Ilahi. Percuma saja, bila
sikap pribadi berubah tetapi kepada kepada kehidupan di luar diri,
masih bertindak seperti tahun sebelumnya. Karena perubahan
harus dilakukan secara pelan, terus menerus, dari segala lini.
Pencapaian sifat insan al kamil, tidak bisa hanya pada batas
pribadi semata. Karena, sebagai pemimpin, umat manusia harus

334
juga mempertanggung jawabkan apa yang dipimpinnya. Islam
mengajarkan begitu.
Pertanyaan lebih jauh lagi, akankah masih setia dengan
dukungan politik, memikul kebencian dan menebarkannya? Kapan
sesungguhnya ada terasa perbedaan itu menjadi rahmat?
Ajaran Islam bersifat universal. Islam agama yang sempurna
(Q.S.5:3) di atas dunia, sesuai zaman dan tempat (likulli zammany
likully makany). Tetapi dalam implementasi, sejarah membuktikan,
perbedaan pemahaman telah membuat pergesekan antar umat,
hingga menumpahkan darah ke tanah. Kalau ingin jujur, perbedaan
itu, bukan karena iman tetapi sering sekali terselip motif politik
ekonomi. Untung dan rugi.
Karena begitu universal, teramat sulit menyamakan
pemahaman. Jurang perbedaan amatlah lebar adanya. Hal ini
disebabkan latar belakang kepentingan, pendidikan, daerah,
suku, dsb. Klaim paling benar dalam pemahaman telah menutup
bentuk interpretasi yang lain. Pengakuan paling sempurna dalam
pemahaman (al kaffah) telah menutup bentuk ijtihad dan model
pemahaman zaman yang lebih baru. Hingga hari ini, titik temu
untuk bersatu, tetap saja sulit dapatkan. Inilah sumber konflik
berkepanjangan di tengah umat Islam. Selain pengaruh dari luar
dirinya. Menyamakan pemahaman, seumpama mengadu ujung
jarum.
Nabi Muhammad SAW. sudah mengingatkan; umatku akan
terpecah belah hingga tujuh puluh tiga golongan. Beberapa dari
umatku akan dikendalikan oleh hawa nafsunya. Mereka banyak
tapi seumpama buih di lautan.
Semenjak peristiwa perang Siffin, antara kelompok Ali
bin Abi Thalib r.a. dan kelompok Muawiyah bin Abu Sufyan,

335
perpecahan demi perpecahan terus terjadi. Klaim paling benar
dan lahirnya komunitas pemahaman baru, sepertinya sudah
menjadi kurenah umat Islam. Ini dibenarkan Ibn Khaldun (1332–
1406), menurutnya, persoalan ashabiyah (kelompok) meruncing
membuat sulit bersatu.
Ada secercah harapan dalam gegap gempita zaman, umat
Islam bisa memegang tampuk dunia seperti dulu kala. Salah
satunya, kesadaran terhadap perbedaan senyata bukan karena
hal-hal pokok ajaran Islam. Harapan itu, kadang menyala kadang
meredup.
Cendikiawan Islam, Muhammed Arkoun menyatakan,
modernitas pasca revolusi Prancis (1795) juga telah ikut campur
dalam kekacauan semantik umat. Tanggung jawab sosial intelektual
Islam harus terus digerakkan di tengah krisis umat modern ini.
“Jika modernitas adalah proyek yang tidak lengkap, yang
mendorong manusia kian jauh, kini ia harus mengarahkan
globalisasi kepada integrasi yang lebih baik pada nilai-nilai,
agama-agama. Telah begitu lama dipinggirkan, suara para nabi,
orang-orang suci, teolog, filosof, seniman dan penyair.”
Pernyataan Arkoun, dapat dipahami, pengaruh dari luar,
pengaruh nafsu kepentingan politik dan kekuasaan, merupakan
musuh besar yang biasanya mampu membelokkan visi kesatuan
umat. Godaan imaji hidup indah membuat kita sering lupa agar
tetap berada di jalan spiritual.(Q.S: 3:103), (Q.S: 4.103)
Sejauh ini, secara ibadah, umat Islam jarang sekali terlibat
konflik sesama. Tetapi jika sudah terlibat dalam kepentingan
politik, perbedaan pandangan ibadah pun menjadi alasan.
Kenapa? Atas persoalan ini, dua hal sangat penting; Pertama,
perlunya kesetaraan pendidikan dalam arti taraf pendidikan umat

336
harus diperjuangkan agar tidak jauh timpang. Kedua, perlunya
kesejahteraan umat yang setara. Juga tidak jauh timpangnya.
Sejarah menunjukkan, mereka yang mapan dalam bidang
pendidikan dan kesejahteraan, akan berpikir jernih dan jauh
dari konflik. Kebodohan dan kemiskinan, pintu masuk paling
mungkin bagi kepentingan lain untuk membuat perpecahan umat.
Mari kaji terus perkembangan umat dan pemimpin, tak guna
menebar kebencian lagi. Pada Shawal ini, kita patut merenungi,
politik kekuasaan sering mencederai kejernihan berpikir sendiri,
sementara, pemimpin-pemimpin cerdas dan bijak selalu mampu
memainkan peran strategis memenangkankan keadaan. Selamat
Hari Raya Idul Fitri. Minal Aidin wal Faidzin. []

337
Air Mata
Hari Kemenangan

Hari kemenangan segera tiba, Idul Fitri 1435 Hijriah. Suasana


batin kemenangan itu sudah terasa sejak seminggu belakangan.
Kita berkemas menyambutnya. Ada yang mengecat rumah, ada
yang membersih pekarangan. Setiap pasar ramai dikunjungi,
aneka pakaian, aneka kue, dibeli. Tidak afdhal rasanya jika tidak
dipenuhi budaya serupa ini. Demi menyambut hari bahagia, hari
nan fitri itu.
Setelah menunaikan ibadah puasa, kita merayakan
seumpama kemenangan kembali dari medan peperangan. Kata
Nabi Muhammad SAW, sesungguhnya inilah perang paling berat
dibandingkan perang yang paling berat yang pernah ia jalani.
Perang melawan hawa nafsu. Tanpa peluru, tanpa musuh, melawan
diri sendiri. Karenanya, amatlah lumrah sebuah kemenangan
disambut gembira.
Puasa bulan Ramadhan adalah ibadah yang sangat pribadi.
Memiliki kedalaman arti bagi mereka yang bersungguh-sungguh
menjalankan segala sunnah di dalamnya. Mulai dari itikaf di

339
masjid, shalat malam, membaca al-Quran, serta memaknai hikmah
kehidupan.
Antara Ramadhan tahun kemarin dengan tahun ini, juga
Ramadhan sebelumnya, amatlah berbeda. Pengalaman batiniyah
yang tak pernah bisa dijabarkan dengan nalar semata karena ia
berada dalam wilayah yang sangat pribadi. Hanya seorang Makhluk
dengan Sang Khalik saja yang tahu tentang apa yang sedang
diamalkan. Disinilah letak nilai-nilai kejujuran, kepasrahan dan
keimanan diuji. Lulus tidak lulus, juga tak ada yang tahu. Kalau
pun dapat diceritakan, hanya sebagian saja.

Air Mata Bahagia


Ramadhan tahun ini, kita menikmati kemenangan pada
Piala Dunia 2014. Jerman membawa pialanya. Malam itu, dunia
menyanjung kesebelasan besutan Joachim Loew itu, setelah
meruntuhkan harapan kesebelasan Argentina. Kemenangan yang
telah diperjuangankan bertahun-tahun sebelumnya. Berlatih
dengan segenap ilmu sepakbola yang mereka gali dengan sungguh-
sungguh.
Sementara itu, pada kesempatan lain, kita memenangkan
pilihan rakyat. Presiden baru telah tiba. Siapapun yang terpilih,
kita bahagia, presiden kita pilih disaat menjalankan ibadah puasa.
Semoga pilihan berkah dan membawa kemajuan bagi bangsa dan
negara. Yang tidak terpilih, hendaknya tetap memilih ladang amal
yang lain untuk ikut membangun negeri.
Kini, akankah dua kemenangan itu diiringi dengan
kemenangan pribadi-pribadi yang telah berjuang di bulan suci ini?
Kita berharap, di hari nan fitri nanti, kita menikmati kemenangan
bersama. Amin.

340
Air Mata Duka
Tunggu dulu, hari kemenangan yang kita nanti, juga dihiasi
dengan duka lara saudara kita yang keluarganya menjadi korban
pesawat MH17 yang jatuh diduga kena tembak di udara Ukraina.
Air mata mereka berderai, orang tercinta pergi tanpa perpisahan
sebelumnya. Tanpa bisa melihat jasadnya secara utuh. Subhanallah,
betapa pahit hari kemenangan bagi mereka.
Sementara itu, di Jalur Gaza, di negeri yang kaya minyak dan
selalu di bawah desing peluru, saudara-sudara kita jauh dari rasa
bahagia. Mereka justru dalam ketakutan yang setiap menit terasa.
Khawatir tiba-tiba peluru nyasar ke rumah mereka. Apakah masih
berarti makna hari kemenangan serupa yang kita tunggu ini? Tentu
saja sulit kita mengatakan mereka bisa sama seperti kita di sini.
Jadi, apa makna kebahagiaan itu ketika hari nan fitri datang
di depan pintu rumah? Apa ada rasa iba, ketika melihat kaum papa
masih ada di sekitar kita, walau zakat sudah ditunaikan? Maka
kebahagaiaan makin terasa nisbi. Antara air mata kebahagiaan dan
air mata yang sesungguhnya. Sedih, perih.
Begitulah kehidupan. Kita memang tidak dianjurkan
berlebih-lebih dalam hal apapun. Bahagia, sedang-sedang
saja. Sedih, jangan terlalu larut. Menang Pilpres, jangan terlalu
tersanjung pula, tugas berat sudah menunggu. Tidak terpilih
jangan pula terlalu lama berduka. Sebab, terpilih atau tidak, pada
dasarnya tetaplah anugrah terindah dari Allah SWT. Selalu ada
hikmah dalam hidup yang indah ini.
Kata Nabi Muhammad SAW, khairul umur au sautuha; sebaik-
baik perkara yang tengah-tengah. Maksudnya, tidak berlebihan.
Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang berkelebihan untuk
hal-hal yang mubazir dalam merayakan kemenangan. Silahkan

341
menangis sedih, mengenang orang-orang tercinta yang telah pergi
meninggalkan batu nisan. Silahkan menangis bahagia, atas segala
nikmat yang ada. Jangan berlebih-lebihan. Tidak elok.
Selamat hari raya Idul Fitri 1435 H. Minal aidin wal faidzin.
Mohon maaf lahir dan batin. Salam. []

342
Asas ISIS Usus

Setiap ada sekelompok umat yang mapan


di dalamnya ada yang belum mapan
itulah benih pemberontakan

Apakah dapat dibenarkan akal sehat, ketika manusia


membunuh manusia? Dapatkah dibenar dalam agama, ketika
pembunuhan itu direkam lalu dipublikasi? Kepala yang lepas
setelah ditebas menggelinding bersamaan darah yang muncrat.
Sungguh sadis dan mengerikan.
Apapun dalil yang menjadi alasan pembenaran atas
perbuatan sadis itu, tetaplah akhirnya membuat kita mengutuk
perlakuan tidak berperikemanusiaan tersebut. Sama halnya kita
mengutuk perbuatan militer membunuh kaum ibu dan anak-anak,
ketika perang berkecamuk di sebuah negeri. Tetapi apakah semua
itu selesai hanya dengan mengutuk? Apalagi kita bukanlah ibu
Malin Kundang, yang bisa mengutuk menjadi batu.

343
Asal Usul Asas
Kecenderungan sikap, cara pandang dan tindakan
seseorang maupun kelompok dipengaruhi oleh pengetahuan,
budaya, juga paham yang dianutnya. Itulah menjadi asas dalam
seluruh tindakan yang dijalaninya. Sebagai landasan filosofis, ini
tidaklah mudah dipengaruhi dan disanggah. Apalagi jika tidak
pernah mendapatkan pengalaman hidup dengan toleransi dalam
perbedaan. Klaim sepihak, sebagai pengusung dari kebenaran
Tuhan, bermula dari sini.
Karen Amstrong (2006) dalam dalam buku Sejarah Tuhan,
menguraikan banyak peristiwa perang suci (holy war) atas nama
Tuhan. Saling bunuh atas saling klaim pembawa kebenaran. Ini
terjadi tidak hanya antar umat beragama, juga terjadi sesama umat
beragama.
“Firman Tuhan telah membentuk sejarah kebudayaan kita.
Kita harus memutuskan, apakah kata Tuhan masih tetapi memiliki
makna bagi kita pada masa sekarang ini?” Tanya Karen Amstrong,
setelah menguraikan Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan
Orang-orang Yahudi, Kristen dan Islam selama 4000 tahun.
Itulah pertanyaan yang mengemuka atas peristiwa sejarah
umat manusia yang mempertahankan kebenaran. Serta memaksa
kepada yang lain dan tidak mengakui kebenaran selain apa yang
digenggamnya. Bahkan mempersalahkan dan menutup semua
kemungkinan jalan sebagai titik temu kedamaian. Padahal, esensi
agama adalah tali kekang dari moral dan keadaban manusia, agar
tidak lari dari jalan Tuhan yang dipercayainya. Lalu di manakah
melesetnya logika beragama serupa itu?
Secara alamiah, setiap manusia yang bersatu, baik dalam
naungan firman Tuhan maupun dalam negara dan dalam skala
lebih bebas, akan tetap memiliki perbedaan individual. Ada ego

344
yang selalu hadir. Walaupun ia memasuki dalam sebuah bingkai
kelompok, tetapi corak pemikiran individunya tetap saja masih
ada. Ego sulit lebur.
Realitas menunjukkan, seseorang dalam berkelompok,
bisa menjadi primordial, radikal, liberal dan moderat untuk
menunjukkan eksistensi individunya. Ini sesuai dengan pendapat
Duski Samad (2014), dalam tulisannya berjudul Mewaspadai
ISIS yang merujuk bingkai aliran pemikiran Islam paling klasik;
khawarij, mu’tazilah, jabbariyah dan ahlussunnah. Tipologi
ini sejalan dengan Harun Nasution (1983) dalam Teologi Islam
Aliran Pemikiran dalam Islam yang secara garis besar disebutkan,
corak rasional dan tradisional, serta pemikiran moderat di antara
keduanya.
Begitulah kecenderungan dinamika kelompok dalam
skala besar dan kecil, baik berlandasan agama, negara, suku, dan
seterusnya. Akan selalu ada, paling tidak dua kutub, radikal dan
liberal serta moderat, di antara keduanya.

Posisi Komunikasi ISIS


Sudah begitu banyak diperdebatkan kehadiran ISIS. Juga
banyak yang mengutuk kehadirannya, setelah ada video sadis yang
diunggah ke youtube. Sadisme yang ditayangkan itu, mencederai
akal sehat dan rasa kemanusiaan. Gerakan serupa ini bukanlah hal
baru.
Bila merujuk asas dari setiap dinamika sosial, patutlah
dikemukakan, sebuah teori, setiap ada masyarakat yang mapan,
di dalamnya ada yang belum mapan. Selalu ada riak-riak
pemberontakan atas kemapanan yang tercipta. Setiap kelompok
manusia, dalam bentuk negara, komunitas, lembaga, selalu ada
yang moderat, liberal, juga radikal. Tiga elemen ini menjadi

345
fitrah dalam dinamika kelompok umat manusia. Sekalipun dalam
keluarga dan kekerabatan yang kita miliki.
Nah, dalam konteks itu, ISIS dapat dibenarkan secara
sosiopolitik, ketika ada saluran komunikasi politik ekonomi
masyarakat yang tertutup. Orang akan ribut, rusuh, jika ada yang
sangat kaya dan berpesta pora, sedangkan yang lain miskin dan
kelaparan. Atas alasan perut, perang bisa terjadi. Lebih-lebih jika
sudah mendapatkan logika pembenaran sepihak atas nama agama
dan Tuhan.
ISIS hadir mencoba mengimbangi kebrutalan kekuasaan
yang terlegitimasi mengenyampingkan perbedaan dan kelakuan
tamak kaum kapitalis. Ini saluran baru ketika saluran lama sudah
buntu, tidak memberi ruang lagi kepada mereka yang terus
ditindas. Pemimpin, dalam skala dunia maupun lokal, sering
abai persoalan ini. Menekan sekelompok orang, berarti memberi
mereka kesempatan membangun saluran baru untuk memiliki
legitimasi pemberontakan.
Tanpa menyetujui kebiadaban yang dilakukan ISIS terhadap
sesama, kita patut belajar, menyadari fitrah kehidupan sosial
keberagamaan, yang juga membutuhkan ruang lapang bagi
sesama. Tidak menutup, apalagi membunuh kesempatan bagi
yang lain. Sayangnya, politik kekuasaan dan ekonomi dunia selalu
mengharuskan untuk berebut aset di bumi ini. Itulah sebenarnya
yang dilawan oleh ISIS, memberontak atas hegemoni negara
adikuasa, serupa Amerika Serikat.

Di Balik Sinyal Teologi


Agama sering sekali menjadi alasan kebenaran yang tak
terbantahkan. Padahal, bila dikaji lebih dalam, sebenarnya di balik
jubah agama alasan paling realistis dapat dilihat secara nyata. Jika

346
saja kaum radikal dapat menutup alasan ekonomi, alasan perut,
ketika ia bertindak, kecurigaan ini dapat dipadamkan. Sayangnya,
selalu saja tersingkap di balik radikalisme, ada alasan ekonomi
yang terselip dari jubah kebenaran yang dipakainya. Lalu mencari
dalil seakan-akan semua bisa dilakukan. Sering sekali hal serupa
ini menjadi jebakan yang membuat substansi tujuan beragama jadi
lenyap.
Terakhir, berkembang atau tidaknya ISIS, itu persoalan sekuat
apakah energi yang terpakai untuk membuka saluran baru dalam
peradaban yang kian hari kian membentur rasa kemanusiaan kita.
Tetapi terlepas dari itu, kita haruslah menanam modal teologi yang
bisa membawa bingkai damai kepada umat yang teramat dinamis
untuk dibonsai dalam satu corak pemikiran.
Yang jelas, kekuasaan, dalam bentuk apapun membuka satu
celah pemberontakan, sesuai dengan sekuat apakah kekuasaan itu
menutup serta membunuh kesempatan, lalu mengubur kesempatan
dari sebuah perbedaan. Ini berlaku di mana saja, dalam bentuk
yang berbeda. Inilah sebenarnya yang terjadi pada ISIS, tak jauh-
jauh. Ada asas yang berkaitan dengan usus, yang memaksa mereka
harus eksis bertahan. Ruang komunikasi yang tertutup meniadakan
dialog memaksa peluru dan senjata bicara. Perang selalu dimulai
dari sini. []

347
Nalar Teologi
Kabut Asap

Apa yang lebih membahagiakan di tengah kabut asap yang


menyelemuti kita saat ini? Selain keinginan hari yang cerah, udara
segar, bersegeralah umumkan nama perusahaan pembakar lahan
lengkap dengan nama pemimpin serta jajarannnya. Beranikah hal
tersebut dilakukan aparat negeri ini?
Sejak lebih sebulan yang lalu, nafsu amarah publik belum
sampai juga ke puncaknya. Sejak kabut asap muncul, sudah lenyai
Presiden RI Joko Widodo kena katai-katai di media sosial. Jerit
tangis publik ini sebuah fenomena yang tak bisa dihindari di
tengah gemuruh teknologi informasi.
Sudah banyak pakar telah menulis tentang kabut asap,
mulai dari bidang kebijakan publik, bidang lingkungan hidup,
bidang kesehatan, hingga ekonomi. Semuanya tuntas dengan nalar
keilmuan di atas rata-rata. Namun jika akhirnya kabut asap tidak
hilang juga, ada hal yang patut dipertanyakan lebih jauh dan lebih
dalam. Adakah persoalan kepemimpinan semata yang membuat
asap selalu ada? Adakah persoalan ketamakan semata yang

349
membuat pengusaha terus membakar lahan? Adakah kelemahan
penguasa semata yang membuat asap justru menjadi-jadi? Tunggu
dulu.
Manusia hidup memiliki sumber persepsi yang mengkristal
sebagai ideologi tanpa ia sadari. Kepentingan, cara pandang,
sikap dan tindakannya, berdasarkan apa yang menjadi asupan
penalarannya. Sekadar mengingat, umat manusia akan selalu
mendapatkan basis persepsi itu dari pengetahuan yang bersumber
dari akal sehat, intuisi, logika murni atau filsafat, sceintifick dan
wahyu. Wahyu berhubungan dengan spiritualitas yang disebut
sebagai sumber ajaran agama.
Bilamana jawaban atas persoalan kehidupan tidak lagi bisa
didapatkan dari akal sehat, intiuisi, logika filsafat, ilmu pengetahuan
(knowledge), maka sebuah kemestian adalah kembali ke wahyu.
Walau sebenarnya wahyu harusnya menjadi sumber utama,
tetapi selama ini tidaklah begitu. Manusia hanya akan melakukan
pengakuan, kepasrahan, dan kembali ke spiritual apa bila semua
langkah pada basis selain wahyu tadi tidak dapat mampu lagi.
Misalnya, dalam hal ketakutan dan kematian.
Padahal, seberapa hebat pun ilmu pengetahuan, logika,
intiuisi, yang dimiliki, tidak akan mampu menggali kedalaman
batin dan jiwa spiritual. Wahyu selalu bersifat membimbing,
memberi petunjuk, menjadi rambu-rambu dari arus utama
ketamakan nafsu.

Membaca Asap
Riuh rendah caci maki terhadap para pemimpin, juga usulan
agar menjadi bencana nasional, semakin menjauhkan akal sehat
agar asap bisa segera hilang dari depan mata yang kian perih.

350
Karena jelas, penyelesaian persoalan ini tidak lagi mampu dengan
menggunakan logika murni; api mesti dipadamkan melalui
teknologi canggih agar asap segera hilang. Sudah diterjunkan
aparat pemadam kebakaran lengkap dengan peralatan pemadam
kebakaran, dari darat hingga dari udara. Nyatanya kini, cara itu
belum juga tuntas. Lahan gambut itu justru kian membakar, diberi
air seperti diberi minyak. Asap kian menebal.
Pada konteks inilah, persoalan asap harus dibaca secara
teologis. Ada maksud Sang Pencipta untuk terus ada asap di
sekeliling kita, untuk menjadi pelajaran dan peringatan. Asap
adalah bencana dari ulah manusia. Ulah dari ketamakan, nafsu
keserakahan untuk mendapatkan keuntungan lebih dari hasil bumi.
Atas ulah itu, manusia juga menanggung akibatnya, (Lihat. Q.S.
30:41). Bukan hanya yang berbuat tetapi juga yang tidak berbuat.
Kenapa yang tidak berbuat juga mendapat akibat? “Tidak berbuat”
adalah anggapan dari ketidakmengertian hukum sebab akibat
yang ada dalam sunatulllah. Secara sederhana, siapa yang berbuat
akan mendapatkan balasan, sekecil apapun perbuatan itu. Pada
logika lain, membiarkan keserakahan merajalela, kemungkaran
menjadi raja, hukum tidak berdaya, tiada lain adalah bagian dari
kemungkaran itu. Siapa yang melihat kemungkaran hendaklah
cegah dengan tangan, bila tak mampu cegah dengan mulut, bila tak
mampu cegahlah dengan hati, itulah selemah-lemah iman! (Hadits).
Pada konteks itu, siapapun yang merasakan perihnya kabut
asap tentulah sesuai dengan kadar pembiaran masing-masing
dan “tidak berbuat” secara langsung. Jangan emosi dulu, sudah
diingatkan dan malahan di kecam, orang-orang munafik yang
mengaku dirinya sebagai orang orang yang selalu mengadakan
perbaikan lingkungan (mushlih), padahal sebaliknya ia adalah

351
perusak lingkungan (mufsid). (Lihat di Q.S. 2: 11). Karena itulah,
secara jelas pula dinyatakan; Dan janganlah kamu membuat
kerusakan lingkungan setelah (Allah) memperbaikinya. (Q.S.7:56)
Pada dunia sufistik, manusia memiliki kewajiban atas
kehadirannya di muka bumi untuk memiliki akhlak kepada Allah
SWT, akhlak kepada sesama manusia, akhlak kepada mahkluk
hidup ciptaan Allah, baik hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Ada
banyak dalil naqli yang dijadikan kaum sufi untuk tunduk dan
harmonis dengan alam. Tiga ayat dan satu hadits di atas sudah
memberi bingkai spiritual tentang bagaimana sebenarnya kabut
asap ini hadir di tengah kita. Memberi kesempatan untuk mengaca
diri, tentang apa yang dilakukan oleh kita secara pribadi, secara
kelompok sosial, terhadap lingkungan hidup di sekitar kita. Kalau
sudah begitu, kita tentu harus meredam amarah dan mulai arif
bijaksana untuk mengukur setiap kebajikan kita terhadap alam.
Bacalah secara utuh dalam al-Quran, yang suratnya benar-benar
diberinama, asap (addukhan), (Lihat, Q.S. 44-1-59).

Surat Asap
Di tengah nalar-nalar keilmuan yang canggih umat manusia,
nalar teologis cenderung dipinggirkan. Tidak laku dan hanya
digunakan ketika ratapan kematian telah tiba. Perilaku umat
modern ini tentulah yang telah berbuah sebab akibat sehingga
disadari kaum Posmo mengakui adanya nilai-nilai spiritualitas
yang harus menjadi titik sandar sikap, persepsi dan tindakan di
dunia ini selain logika murni semata.
Tidaklah diragukan sedikitpun kemampuan umat manusia
untuk menggali ilmu pengetahuan dan mengekplorasi bumi ini.
Termasuk lingkungan hidup, pemanasan global (global warming)
dan perubahan iklim (climate challenge). Namun tidak menyertakan

352
nalar spiritualitas, lalu mengedepankan kapitalisasi atas dasar
persepsi kapitalisme, kerusakan alam tidak bisa dielakkan.
Tangan-tangan keserakahan dan tangan-tangan kekuasaan,
sudah jelas tidak banyak mengedepankan spiritualitas dalam
kehidupan sosial. Bukanlah kita ragukan kesalehan individu tetapi
selalu saja kesalehan individu tidak dapat membawa perubahan ke
dalam kehidupan sosial. Kesalehan sosial menjadi langka, seiring
menguatnya kesalehan individu. Lihatlah, sekalipun orang-orang
baik terpilih sebagai pemangku amanat negara, pemerintah,
menjadi pemimpin, menjadi pengusaha tapi tidak pernah mampu
mewarnai hingga menjadi kebajikan sosial. Ini dapat diduga, betapa
sistemik dan komplitnya kenyataan sosial yang harus diubah.
Belum menyatunya kesalehan sosial dengan kesalehan individual
dalam kehidupan kita.
Kini, berhentilah meninggi nafsu amarah. Asap tidak akan
hilang kecuali atas perintah Allah SWT. Seribu makian tidak
akan mengubah keadaan. Seribu doa harus dipanjatkan dengan
kerendahan hati (Q.S. 7:54-56), itulah satu dari sekian banyak
tanda kita beriman kepada Yang Maha Kuasa.[]

353
Bulan Manja
dari Ayah

Alhamdulillah. Kita bertemu lagi di bulan suci Ramadhan.


Bulan penuh berkah. Bulan penuh perenungan. Bulan peperangan
batin menahan hawa nafsu. Bulan penuh kasih sayang.
Soal kasih sayang, saya punya pengalaman indah tentang
kasih sayang Ayah, yang sebelumnya tak disadari. Hanya tahu,
membenci rotan di tangannya. Setelah dewasa, barulah tahu,
maksud kasih sayang itu. Ayah yang pendiam, kasih sayangnya
sangatlah dalam!
Sekitar tahun 80-an, sebagai seorang bocah Sekolah Dasar
(SD), tugas sudah didapatkan dari Ayah, yaitu mengembala sapi
dan kambing. Setiap sore, harus dihidupkan api di dalam kandang
sapi. Dengan begitu, sapi akan nyaman. Kandang sapi harus
bersih, sebelum beberapa ekor sapi itu masuk. Ayah akan inpeksi
mendadak (Sidak), sewaktu-waktu. Kalau sempat kandang sapi
kotor, kalau api padam, siap-siaplah menghadapi murkanya!
Setelah disapu dan diserakkan abu pembakaran dari kotoran
sapi pada perapian khusus di sudut kandang, sapi digiring masuk.

355
Sapi saya jinak di tangan, rajin pula pulang. Sesekali saja punya
masalah, jauh pergi mainnya dan tak mau pulang. Saya bisa
menangis sendiri, bila ada sapi jantan payah diajak pulang ke
kandang. Sapi jantan itu hanya mau pulang ke kandang betinanya,
jauh pula.
Kambing. Saya punya juga, berkeliaran tak jauh. Sering
beranak kembar. Kandangnya dibuat seperti pondok, agak tinggi.
Jauh dari tanah. Kata ayah, kambing rawan kembung. Jadi tak
boleh dibiarkan tidur di tanah. Harus di atas, lebih tinggi.
Demikianlah akhirnya bila datang Bulan Suci Ramadhan,
saya harus puasa, kata ayah. Agar lancar jaya, latihan puasa itu,
saya dibebaskan dari tugas rutin. Tugas rutin hari-hari biasa,
sebelum main sepak bola telanjang kaki hingga menjelang maghrib
di padang rumput penuh kotoran sapi dan kubangan kerbau itu.
Saya bahagia, dibebastugaskan.
Pada hari biasa, mengembala sapi dan kambing, itu keharusan
setelah sekolah dan belajar mengaji di surau, sehabis maghrib.
Belajar mengaji di surau, juga dengan Ayah. Kata teman saya, rotan
di tangan Ayah, lebih pedih dari guru yang lain. Memang. Selain
belajar mengaji, juga mengajar santri kelas bawah. Diam-diam,
itulah arahan awal yang baru hari ini dapat dimengerti.
Bukan dibebastugaskan saja yang membuat bahagia, bila
adzan Asyar tiba terdengar dari radio di sudut ruangan, selesai
shalat, ayah mengajak saya ke pasar dengan sepeda kesayangannya.
Kenangan itu sangat membekas, karena terjadi berkali-kali.
Sampai-sampai, jika hari ini adzan yang persis nadanya serupa di
radio itu, saya akan ingat masa kecil dan manja Ayah itu.
Saya akan diboncengi ke pasar, membeli batu es, karena kami
belum punya kulkas. Kulkas baru ditemukan di rumah-rumah
orang-orang mapan, kala itu. Selain batu es, saya bebas memilih

356
mau beli apa saja, misalnya, minuman kaleng, minuman kotak,
juga roti. Walau di rumah, ibu sudah memasak apa yang saya suka.
Pokoknya, beli saja, rasanya akan bisa dimakan semua, sehabis
berbuka nanti. Boleh juga, sesekali beli mercon dan kembang api,
tapi tak boleh dinyalakan waktu shalat tarawih. Kalau itu dilakukan,
kiamat kecil akan terjadi pada saya.
Cara ayah memuliakan anak yang puasa, ternyata membekas
istimewa. Selain dibebastugaskan, juga diwajibkan shalat tarawih
di surau, itu belum cukup, ditambah lagi dengan tadarus. Tadarus,
bagi saya terasa monumental. Karena pakai mikrofon, di dengar
seantero kampung. Tidak itu saja, akan ada ibu-ibu dan gadis
remaja akan mengantar makanan. Bersama teman-teman sebaya,
kami akan melahap habis makanan itu.
Begitulah, Bulan Ramadhan di masa kecil itu menjadi
kerinduan luar biasa. Puluhan tahun sesudahnya, hari ini, ketika
menulis catatan hikmah ini. Pembaca tentu juga punya hal
demikian. Kenangan manis jika diingatkan, sungguhpun waktu
itu, mungkin saja pahit.
Kini, Ayah telah tiada, 17 tahun lalu, selepas lebaran, ia
dipanggil menghadap Ilahi. Pergi untuk selamanya. Meninggalkan
saya yang sedang menggarap skripsi. Duh. Begitulah, akhirnya,
setiap Ramadhan datang, kerinduan kepada Ayah melebihi hari-
hari biasa. Lahu alfatihah! Selalu ada yang menetes dari mata saya.
Maka benar, bulan suci Ramadhan perenungan paling canggih
bagi setiap jiwa yang ingin memahami arti hidup ini. Selamat
menunaikan ibadah puasa! []

357
Latihan Kecerdasan
Akal dan Hati

Agama untuk orang-orang berakal yang berpikir. Sekalipun


punya akal (al Aqlu), jika tidak digunakan untuk berpikir, percuma!
Tapi akal saja tidak cukup, jika tidak diimbangi dengan kecakapan
mengelola hati. Di sana, ada emosi. Letaknya di hati (al Qalb). Hati
dan Akal adalah dua rel keseimbangan untuk kehidupan.
Agama tertanam dan diyakini di hati. Tapi agama harus
dipelajari dengan akal. Soal ini, kita harus menghargai local wisdom
nenek moyang; raso dibaok naiak, pareso dibawa turun! Rasa
yang hadir dari hati, dibawa ke akal untuk diperiksa. Sedangkan
hasil analisa, juga dibawa ke hati. Setelah itu baru ada keputusan
dikeluarkan melalui lisan.
Ibadah Puasa di bulan suci Ramadhan, juga puasa sunat
lainnya, adalah latihan mengelola hati dan akal. Pengelolaan yang
sesuai dengan aturan manualnya dapat membuat peningkatan
kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan intelektual (IQ).
Aturan manual dalam Islam adalah syarat dan rukun puasa serta
sunnah yang semestinya dilaksanakan.

359
Akal Kita
Menurut Guru Besar Tafsir, Nasarudin Umar (2006),
dalam tubuh manusia tersimpan benda kecil yang penuh dengan
keajaiban, otak namanya. Otak secara fisik tempat akal bekerja.
Alat ini memiliki daya kerja yang sangat canggih, di dalamnya
tersimpan 20 miliaran sel otak yang didalamnya terdapat kelenjar
otak yang kecil (neuron-neuron).
Setiap satu neuron kerjanya sama dengan satu unit komputer
yang canggih pula. Ini berarti, pada otak manusia kapasitas
kerjanya sama dengan 20 miliar unit komputer. Konon, dari 20
miliar ini yang digunakan oleh manusia yang paling cerdas hanya
5 persen. Kalaupun ada manusia cerdas menurut para pakar, ia
hanya menggunakan 6 persen dari kapasitas otak.
Ini berarti, 94 persen dari 20 miliar neuron otak manusia
masih kosong, subhanallah. Hanya menggunakan 5-6 persen
saja manusia sudah sedemikian hebat, apalagi manusia mampu
menggunakan kapasitas otaknya hingga 80 persen atau 90 persen.
Guru Besar Filsafat, Mulyadhi Kartanegara (2007),
menyatakan, kerja akal adalah penalaran. Namun di tengah
masyarakat modern yang mengedepankan penalaran semata, telah
membuat persoalan serius umat manusia. Dari sudut pandang
teologis, terjadinya penalaran yang liar tanpa komando. Orang
pintar sering kali beringas dan tidak manusiawi! “Modernitas
yang bernuansa positivistik dan materialistik telah menjadi segala-
galanya, dan keterputusan dengan Ilahi telah menjadi biang dari
segala macam krisis kehidupan,” tulis Mulyadhi.
Posmodernisme lahir atas persoalan modernisme, di
mana spiritualitas diajak serta dioptimalkan, setelah sekian lama
dianggap tidak perlu oleh modernisme. Spiritualitas itu adanya di
Hati (al-Qalb).

360
Hati Kita
Pada hati, semua emosi manusia tertanam. Rasa senang,
cinta, marah, sedih, benci, takut, heran, dsb, adanya di Hati. Robert
Plutchik mengategorikan emosi dalam segmen, bersifat negatif dan
positif (they are positive and negative), primer dan campuran (they
are primary and mixed), banyak bergerak ke kutub yang berlawanan
(many are polar opposites), dan intensitasnya bervariasi (they vari in
intensity). Lebih sederhana al-Ghazali membahas al-Qalb, tempat
rasa berbolak-balik cepat. Bahasan ini sangat lengkap dalam kitab
Ihya Ulum al Din. Kitab penting dari al-Ghazali tentang jiwa dan
pembagiannya secara rinci.
M. David Hude dalam bukunya, Emosi; Penjelajahan
Religio-Psikologis tentang Emosi Manusia di dalam Al-Quran,
menyimpulkan, emosi adalah karunia Allah SWT. Yang telah
member warna dan bumbu kehidupan.
Begitulah, dengan akal dan hati sebenarnya kita menjalani
kehidupan. Namun seringkali tergelincir hanya menggunakan
satu di antara keduanya. Ibadah puasa dengan segala konsekwensi
pelaksanaannya adalah latihan agar keduanya seimbang, sejalan,
seiring, membentuk kecerdasan dan karakter kaum beriman. []

361
Memahami Perkara
Nalar dan Wahyu

Semangat keberagamaan tumbuh subur di tengah


masyarakat, seiring kesadaran dan kebutuhan kehadirat ilahiyah
dalam diri. Sayangnya, ada sebagian kecil yang terlanjur menutup
kesempatan untuk menggali lebih dalam dan hanya berdiam pada
ilmu agama yang sudah dimiliki saja.
Tentu tidak bisa disangkal, di rumah keluarga muslim akan
ada kitab suci al-Quran. Dibaca sebagai ibadah. Tetapi harusnya,
dilengkapi dengan terjemahan, kalau bisa juga didukung satu dua
Kitab Tafsir al-Quran juga.
Alangkah indah pula, ada kitab-kitab hadits, lalu dibaca
dan didiskusikan. Tentu saja, ini membutuhkan pengorbanan
sedikit, demi kedalaman ilmu dan pemahaman agama, yang terus
berproses, dimasak, melalui penalaran yang bijak. Tidak emosi
dan merasa paling tahu. Lalu menyalahkan yang lain. Di sinilah
dimulai persoalan perbedaan bisa meruncing membawa petaka di
tengah umat.

363
Penting kita baca petuah dari Guru Besar Filsafat Islam, M.
Amin Abdullah; satu hal yang tidak dapat dihindari oleh siapapun
adalah kenyataan perintah-perintah Tuhan (divine instruction)
selalu bertumpu pada teks (kitabah, qawliyyah), sedangkan teks itu
sendiri sepenuhnya bersandar pada alat perantara bernama bahasa.
“Bahasa inilah yang menjadi sumber silang pendapat
sepanjang masa, karena ia tidak lain dan tidak bukan adalah hasil
kesepakatan komunias dan ciptaan budaya manusia. Huruf, kata,
kalimat, anak kalimat, kata sifat sangat tergantung pada sistem
simbol. Sementara itu, memerlukan bantuan dan dukungan dan
asosiasi-asosiasi tertentu, gambaran-gambaran, juga emosi para
pendengar, pembaca, yang bisa berubah dari waktu ke waktu.”
Kenyataan yang dikatakan Profesor M. Amin Abdullah di
atas, memberi arti, sedangkan kita baca dan pahami secara baik
dan menyeluruh, masih saja terjadi ketidakkeutuhan, apalagi tidak
pernah sama sekali.
Agaknya, pada bulan puasa, patutlah berdalam-dalam
sedikit dengan pengkajian keagamaan yang seumpama laut ini.
Ajaran Islam laksana laut. Berapa pun diambil airnya, tak pernah
habis. Seluruh umat Islam harus mengambil “air” itu sebanyak-
banyaknya. Tak perlu dipertengkarkan, yang mana yang paling
asin. Atau klaim diri paling sah mendapatkan air laut, padahal
hanya dengan gayung. Dikit dapatnya. Sementara, ada yang lain,
mengambilnya dengan alat yang lebih canggih, pakai mesin hisap
hingga dimasukkan ke tangki.
Analogi lain datang dari Abu Yasid dalam buku Nalar dan
Wahyu, teks ajaran islam ibarat sebuah gunung es yang puncaknya
terapung di permukaan laut. Sepuluh persennya dapat dilihat
dengan jelas sebagai sumber hukum yang tak perlu diperdebatkan

364
lagi, sedangkan 90 persennya terendam di bawah air. Untuk
menyelaminya perlu seperangkat alat yagn tidak sederhana. Salah
satunya, penalaran ijtihad.
Sepuluh persen itu, dituliskan Yusuf al-Qaradhawi dan
juga pernah dipaparkan Harun Nasution, pertama, pokok-pokok
akidah seperti iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-
kitab-Nya, dan hari kemudian.
Kedua, rukun-rukun Islam yang lima. Ketiga, perbuatan-
perbuatan terkutuk yagn telah diyakini pelarangannya oleh
teks ajaran Islam. Seperti sihir, pembunuhan, zina, pencurian,
mengadu domba, menggunjing sesame, dsb. Keempat, perbuatan-
perbuatan terpuji yang telah digariskan oleh ajaran sebagai cabng
iman. Seperti perilaku jujur, terpercaya (amanah), menjaga harga
diri, sabar, menepati janji, serta jenis-jenis perangai baik (al akhlak
al karimah). Kelima, jenis-jenis ajaran yang lain dalam islam yang
pengaturannya telah dibukukan dalam nash yang jelas (qath’i).
Seperti aqad nikah, talak, rujuk, kewajiban dakwah, dll.
Kini, ada 90 persen yang membutuhkan penalaran dan
sentuhan konteks persoalan di tengah masyarakat. Karenanya,
penalaran melalui akal memang sangatlah terbuka, sehingga ajaran
Islam itu selalu bisa sesuai tempat dan waktu serta tetap bersifat
universal.
Banyak ayat dalam al-Quran, yang mendukung, agar manusia
berpikir menggunakan akal dalam menyelesaikan persoalan. Akal
diberi kebebasan menalarkan dan menemukan jalan terbaik bagi
kehidupan umat. Pada konteks itu, nalar dan wahyu tidak akan
pernah berhadap-hadapan (vis a vis), kecuali ada yang keliru
memahami kebebasan akal, yang justru mengakali setiap perintah
agama. Termasuk dalam menjalankan ibadah puasa. []

365
Kesalehan Sosial
Masyarakat Madani

Betapa risau dan emosional sebagian dari kita membaca


hasil penelitian Maarif Insitute, bulan lalu. Kota Padang Tercinta,
kota yang kita diami, hanya berada di posisi bawah dari kota lain
sebagai kota Islami. Padahal, kota ini, begitu banyak program
bidang agama. Dikenal sebagai ibu kota provinsi yang memiliki
falsafah budaya, adat basandi syara’ syara’ basandi kitabullah.
Syara’ mangato, adat mamakai.
Dulu, lebih kurang sepuluh tahun lalu, tahun 2005, Kota
Padang Tercinta pernah menjadi sorotan. Wali kota Padang waktu
itu, Fauzi Bahar menjadi news maker of mass media, lokal dan
nasional. Ini karena Pemerintah Kota Padang, di bawah komando
Fauzi Bahar mengeluarkan instruksi No. 451.422/Binsos-III/2005
Tentang Pakaian Muslim yang ditujukan kepada beberapa SKPD
dan Badan. Ada 12 point penting. Termasuk busana muslim dan
baca tulis al-Quran.
Pro kontra terjadi di level masyarakat kritis mapan kota,
juga aktivis demokrasi dan HAM. Tetapi setelah itu, hanyut dan

367
diam. Fauzi Bahar berhasil. Kini, di Kota Padang, adalah sumbang,
bila perempuan paruh baya keluar rumah tidak memakai jilbab.
Di sini, mudah mencari Lautan Jilbab, seperti yang digambarkan
dalam puisi Emha Ainun Nadjib (1989) dan lagu qasidah, Jilbab
Putih (Nasida Ria, 2000) itu.
Sudahlah, penelitian itu harus dilawan dengan penelitian
pula. Tak zaman lagi, uring-uringan lalu menuduh ini dan itu. Nanti
kita dianggap tidak intelek. Padahal, kita dikenal sebagai daerah
yang menghasilkan orang-orang intelek. Toh, sebuah penelitian
tetaplah penelitian. Ada yang keliru, mungkin saja, tetapi di dunia
akademik, sejauh ini, sepanjang ada data pendukung, metodologi
yang terukur, batasan yang pas, bisa saja dipertahankan dengan
logika. Dan ini penting, tidak semua yang logis itu benar!
Atau kita dijadikan introspeksi diri. Sebuah kota yang
Islami, tentu saja membutuhkan sebuah proses panjang. Perlunya
pendidikan peradaban dan keadaban kepada generasi masa
mendatang. Tidak bisa diharapkan bisa hadir dan jadi dalam sehari
atau tahun-tahun ke depan. Proses panjang dan terus berproses
dengan selalu mengukur progress.
Jika meninjau sejarah, agak sulit mencari bagaimana
sebenarnya kota Islami. Namun ada cita-cita tentang masyarakat
madani. Misalnya, minim maling, minim narkoba, minim
pelacuran. Pelayanan prima (hospitality manajemen) dari
pemerintahan, pergaulan yang ramah, lalu lintas tertib, kota
tertata rapi, dsb. Bilamana dilihat dari posisi demikian, memang
harus diakui, di beberapa kota di Eropa, justru mendekati tatan
demikian.
Suatu kali, Dahlan Iskan menulis tentang perjalanannya
ke China, tempat di mana komunisme berada. Sebuah kota yang
indah, teratur dan tertib tetapi tidak mengakui ada agama dan

368
Tuhan. Ia bertanya, kenapa di negerinya, yang banyak kepercayaan
agama, banyak pula nama Tuhan yang diakui pemerintah dan
masyarakatnya, tetap saja tidak tertata. Harusnya linear antara
ketakwaan dengan aplikasi dalam kehidupan dan tatanan yang
dibangun oleh negara. Pendapat yang sama, lebih ekstrem lagi,
Ulama dan Pembaharu Islam, Muhammad Abduh (1849-1905),
menyatakan, “aku melihat Muslim di Mesir tapi tidak melihat Islam
di sana. Sebaliknya, aku mleihat Islam di Prancis, meski aku tak
melihat Muslim di sana.” Artinya, kehidupan yang berperadaban,
bersih, ramah, berbudaya Islami, justru adanya di daerah yang
nyaris tidak diurus oleh dari kalangan Muslim.

Menjemput Impian
Cita-cita hidup makmur sejahtera telah lama diusung oleh
pendiri bangsa ini. Memerdekakan diri dari negara jajahan, lalu
dipimpin dari bangsa sendiri, juga cita-cita bersama. Seperti
diungkapkan dalam Preambule UUD 45.
Namun sepanjang perjalanan bangsa-negara, persoalan
sosial belum juga terkemas dengan baik. Masih banyak kaum papa,
masih ada pula daerah yang belum tersentuh kemajuan. Malahan,
kian timpang antara simiskin dan sikaya. Sudahlah, kita tak perlu
meratap kegelapan. Mari nyalakan sesuatu, mungkin itu lilin.
Ayzumardi Azra, mengutip Malik Fajar tentang ide
masyarakat madani; bertakwa dan pancasilais, demokratis
berkeadaban (democratic civility) --- ikhtilafu umati rahmah,
menjunjung tinggi HAM, punya semangat kemanusiaan global,
kehidupan yang “dari oleh untuk” masyarakat (mandiri),
menempatkan pendidikan sebagai urusan penting (ilal mahdi
minal lahdi) atau long life education).

369
Bukan itu saja, buka buku Irwan Prayitno, penulisnya sudah
jadi Gubernur Sumbar, judulnya, Pemikiran Menuju Masyarakat
Madani (2005). Baca saja, agar kita bisa mengerti tentang cita-cita
pemimpin kita untuk sebuah peradaban dan keadaban di masa
mendatang.
Puasa kali ini, tentunya punya harapan besar, jika nanti orang
meneliti tentang kita, tanpa dipesan, dibiarkan mengalir, dinilai
secara objektif, kota kita baik. Sebaik-baik kota. Beri kesempatan
pemerintah kota bekerja, kita juga harus bekerja, jika tidak ikut,
jangan mengacau dan merusaknya.
Puasa pada dasarnya meningkatkan ketakwaan, membangun
individual yang aplicate dalam kesalehan sosial dan jalan lurus
kehidupan. Jauh dari kejahatan. (Q.S: 5.53) Itu pulalah, jika
semua warga kota beriman bertakwa, saleh individu tentu akan
berdampak secara sosial, dengan begitu kota madani terbentuk.
Entahlah, jika puasa hanya sekadar kegiatan rutin tahunan semata.
Semoga tidak. []

370
Jalan Sunyi
Sang Sufi

Pemahaman sebagian kita tentang sufi, adalah jalan sunyi


individu terpilih untuk tidak lagi mencintai dunia berlebihan (al
hub al dunia). Menanggalkan dan meninggalkan semua hal yang
berkaitan dengan hawa nafsu duniawi. Bila dibaca sejarah, memang
demikianlah adanya orang-orang sufi menjalankan kehidupannya.
Menyepi di gua, gunung, hutan dan di pinggir pantai, untuk
menyendiri, suluk, menyepi, berzikir dan kontemplasi.
Di tengah masyarakat memiliki pandangan yang kian
materialis, godaan iklan-iklan di setiap saat dan setiap sudut,
memilih jalan sunyi sebagai seorang sufi adalah keajaiban. Memilih
untuk tidak tergoda dengan kehidupan yang glamour sangatlah
langka.
Ada pandangan, justru orang-orang yang memilih jalan
sunyi, beribadah saja hidupnya, hanyalah pelarian dari kekalahan
dan kemalasan untuk berbuat dan beramal saleh secara sosial.
Individu terpilih itu hanya menyibukkan untuk diri pribadi. Cerpen
AA Navis, Robohnya Surau Kami, patut terus dibaca berulang-ulang.

371
Hamka (1908-1981) dalam Tasawuf Modern, menyebutkan
pentingnya bagi manusia modern untuk menjalani kehidupan yang
sufistik. Solusi bagi kebutuhan spiritualitas dan mampu menjadi
pembinaan moral. Tasawuf sangat kaya dengan doktrin metafisis,
kosmoslogis, dan psiko religious yang dapat mengantarkan
manusia menuju kesempurnaan dan ketenangan hidup.
Tasawuf adalah program pendidikan yang fokus pada
penyucianjiwa dari segala penyakit yang menghalangi keredhaan
Allah SWT. Sekaligus meluruskan penyimpangan kejiwaan dan
tindakan yang bekaitan dengan hubungan manusia sebagai
makhluk, kepada khalik, juga sesama makhluk.
Seorang sufi yang hidup di tengah corak materialisme,
kapitalisme, tidak harus lari dari urusan dunia tetapi harus aktif
dalam masyarakat. Memberi praktek kehidupan yang berjuang
menuju manusia yang sempurna (insan kamil). Sungguhpun itu
tidak mungkin, namun mendekat dan berjuang sudah mampu
mengarahkan kebajikan. Kehidupan sufi, dijalankan dengan
mencintai dan menjalankan syariat penuh ikhlas.
Hamdan Rasyid, dalam buku Sufi Berdasi (2006),
menganjurkan kehidupan yang substantif. Apapun profesi, tetap
menjalankan ibadah melengkapi kebutuhan spiritual. Tetap
bersandar pada kekuatan dan kekuasaan Allah SWT. (al qudrah al
iradah).
Harun Nasution, menyebutkan, hal yang harus dijalankan
menuju derajat kesufian itu; hidup yang sederhana, tobat, zuhud,
ikhlas, sabar, istiqamah, tawakkal, zikir dan terus berjuang
melakukannya setiap saat, hingga mencapai puncak makrifah yang
dimaksudkan al-Ghazali dan mahabbah yang dimaksud Rabiah al
Adawiyah.

372
Ibadah puasa adalah pembuka jalan untuk menembus
kehidupan sufistik itu. Hidup yang penuh kebahagiaan, cinta dan
takwa, terhadap sang khalik. Ini sudah dijanjikan Allah SWT.
kepada kaum beriman, bilamana dilakukan, akan diberikan
kepadanya kehidupan yang lebih baik (Q.S: 16.157).
Senyatanya memang, banyak orang sukses menjalani
kehidupan, ternyata sangat rajin puasa sunnat di hari-hari biasa.
Menurut pengakuan mereka, ibadah puasa memeliharanya dari
seluruh nafsu yang membawanya ke arah yang buruk dalam
kehidupannya. Itu dampak nyata disamping niat ikhlas untuk
mengabdi kepada Allah SWT (Q.S: 51.56 )
Sekadar catatan, kini banyak yang menjalankan kehidupan
yang sufi, paling tidak menurut pengakuan mereka dan symbol-
simbol yang mereka pakai. Sayangnya, kehidupan sufi bukanlah
berada pada simbol-simbol. Apa guna simbol tapi senyatanya,
sikap kemaruk, korup dan tamak, masih menghiasi kehidupannya.
Paradoks baru ini sudah menyaru, berjubah agama namun masih
memerlihatkan haus kekuasaan dan haus kebendaan. Semoga kita
tidak begitu. Selamat menunaikan ibadah puasa. []

373
Pesta Kuliner
Antartetangga

Bulan suci ramadhan dalam kenangan masa kecil, ketika


belum banyak tahu tentang pasar pabukoan, adalah pesta kuliner
antartetangga. Saling berbagi masakan dari dapur rumah yang satu
ke meja rumah yang lain.
Tentunya, emak, ummi, ibu, kaum perempuan kita sudah
mendengar dan belajar tentang hadits; Wahai Abu Dzarr, jika
engkau memasak masakan berkuah, maka perbanyaklah kuahnya
dan perhatikanlah tetanggamu.” (HR Muslim)
Aroma makanan waktu proses masak-memasak, akan pergi
ke tetangga. Tetangga akan mencium aroma itu dan membayangkan
nikmatnya makanan yang sedang dimasak itu. Pemilik masakan
harus membagikan ke tetangga yang mencium aroma masakannya.
Begitulah keharusan dalam ajaran Muhammad SAW.
Masihkah ada budaya ini di kampung halaman kita? Ataukah
masih terjadi di kota-kota besar yang rumah masyarakatnya sangat
tinggi temboknya? Atau memang sudah berobah bentuknya, dengan
berbuka gratis di masjid, di kantor pemerintah, di kantor partai,

375
dsb? Tapi, samakah hal itu dengan konsep berbagi antartetangga?
Yang jelas, bentuknya sudah berbeda, sehingga rasa (al zauq) juga
berbeda.
Perubahan zaman telah merobah banyak hal. Begitu juga
sistem kekerabatan. Waktu masih kecil, paruh 80-an, masih saya
rasakan, kehidupan antar mengantar makanan ke tetangga, ke
dunsanak, ke kakek, inyiak, yang pulangnya juga akan membawa
makanan kembali.
Apa yang terjadi? Di meja makan, menjelang berbuka, akan
penuh dengan kuliner bermacam-macam nama, bentuk dan rasa.
Kebahagiaan tersendiri melihat hidangan itu, sebagai seorang
bocah yang sedang belajar puasa.
Kini, adakah anak-anak kita merasakannya? Tentu saja
ada, dalam bentuk yang berbeda. Jauh berbeda, ketika semua bisa
dibeli, di pasar pabukoan.
Kini, apa saja selera, bisa didapatkan dengan berbelanja
berbuka. Menurut penelitian, pada bulan puasa, urusan belanja,
putaran keuangan, lebih tinggi dari pada hari biasa. Artinya,
pengeluaran lebih besar dari hari biasa. Padahal, logikanya, kalau
puasa, ya semestinya berkurang. Paradoks, puasa pada dasarnya
adalah menahan nafsu, tentunya juga nafsu memiliki, berbelanja,
yang ujung-ujungnya, banyak mubazir. Tidak semua bermanfaat.
Faedah paling terasa, ketika terapan hadits Nabi Muhammad
SAW, menjadi budaya di tengah masyarakat muslim, indahnya
berbagi dengan tetangga, yang mengikat silaturrahmi, sistem
kekerabatan, yang tak ternilai dengan uang seperti yang terasa
pada hari ini, di tengah kehidupan.
Pesta kuliner di bulan puasa itu, juga akan terjadi ketika
malam peringatan Nuzul Quran di surau dan masjid. Kaum
perempuan akan membawa makanan, seusai acara pengajian,

376
kembali bisa memilih, mau makan apa lagi, tersedia melimpah
ruah. Makan bersama alangkah nikmatnya.
Inilah budaya kehidupan dari ibadah puasa Bulan
Ramadhan yang tak pernah terlupakan, terbentuk dari sebuah
kesadaran untuk berbagi antarsatu ke yang lain. Ikhlas, sebagai
ibadah. Berbahagialah mereka yang pernah merasakan hal ini,
merindukannya dan mungkin saja, masih merasakannya, bertahan
hingga saat ini. []

377
Nafsu Kuasa
Berjubah Ijtihad

Sering terjadi tanpa disadari, awalnya dianggap perjuangan


menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, tapi senyatanya di
tengah jalan, berubah menjadi nafsu untuk berkuasa atas sesuatu.
Pernyataan ini tentu sangat hebat kalau diperdebatkan.
Tetapi yang jelas, faktanya, meminjam istilah Aristoteles,
sebagai makhluk politik (zoon politicon) manusia sering lupa diri.
Ketika mendapat amanah, akan berjanji amanah tapi di tengah jalan,
entah siapa yang membelokkannya. Ia menjadi tidak lagi amanah
menjalankan tugas. Cendikiawan Islam, Yudi Latif dan Amien Rais
menyadari hal ini. Kedua pernah senada menyebutkan, perbuatan
baik apapun bentuknya, bisa menyaru kejahatan terselubung.
Juga, kadang-kadang dikatakan sebagai kegiatan dakwah,
tapi beda dengan Ilmu Dakwah, yang ada pernah dipelajari.
Dugaan dakwah hanya diperkuda sebagai alat politik kekuasaan,
semakin jelas! Tentu ada yang keliru dalam pemahaman dan itikad
yang dibangunnya.

379
Akar masalah ini tiada lain, ketika agama dipahami hanya
dengan teks, menegasi konteks dan historis, sehingga sempit dan
kerdil. Atau bisa juga, konteks dan historis yang dipahami hanya
satu poros, sehingga kacamata kuda susah lepas dari kepala.
Terikat kuat oleh geneologi kepentingan kekuasaan. Pada
konteks itulah, akhirnya rahmatal al amin, kian sulit tercapai.
Begitu banyak yang berlindung di balik jubah agama tapi
sebenarnya merebut kekuasaan. Setelah dapat, tetap saja tamak dan
rakus melipat harta ke dalam sakunya. Bagaimana tidak, kecintaan
terhadap harta benda duniawi (al hub al duniya) masih kuat. Kedok
aja semua berlindung dalam simbol agama. Kelihatan seperti paling
agamis tapi paling bengis, rakus, dan tamak. Nauzubillahiminzaliq!

Manejemen Nafsu
Dua tokoh sufi, Imam al Qusyairi (986-1074 M) dalam Risalah
Qusyairiyah dan Imam al Ghazali (1058-1111) dalam Ihya Ulum
ad Din, bersepakat tentang hal ini. Nafsu adalah perbuatan tercela
jika tidak dipandu dengan baik. Ada dua nafsu, muthmainnah dan
lawwamah. Yang baik dan yang buruk. Tetapi sering pula yang
buruk, kita sangkakan baik karena ada kepentingan di dalamnya.
Inilah yang harus terus diperiksa setiap waktu. Karena keduanya,
dalam al-Quran sangat jelas disebutkan (Q.S: 89.27-30). Paling
tidak, ada tujuh tingkat nafsu yang patut dipelajari lebih dalam
diri; nafsu amarah, nafsu lawwamah, nafsu mulmahah, nafsu
muthmainnah, nafsu radhiah, nafsu madrhiyah dan nafsu kamilah.
Allah menerangkan agar manusia selalu ingat hal ini. (Q.S: 79.40)
Sebagai mahkluk yang diciptakan secara sempurna (ahsani
taqwim), manusia bisa menjadi makhluk paling hina (asfala safilin)
karena digoda oleh nafsu.

380
Atas semua itu, apakah kita harus lari dari kenyataan? Tidak
mau menjadi pemimpin dan berkuasa? Logikanya tidaklah begitu.
Pemimpin yang ideal, biasanya tumbuh dari talenta, jam terbang,
juga kemampuan mengendalikan diri, sehingga tak pernah tersirat
ada ambisi. Malahan, ia mendapatkan atau didapuk jadi pemimpin
atas dampak setiap amal kesalehan sosial yang tanam. Bukan dari
mereka yang berambisi tapi sebenarnya tidak mampu. Publik acap
tertipu di situ.
Puasa itu mengendalikan seluruh jenis nafsu yang ada
dalam diri. (Q.S:12.53) Peperangan antara baik – buruk yang harus
dimenangkan atas nama ibadah kepada Allah SWT. Bilamana
keluar dari konteks itu, ibadah puasa sekalipun, kadang-kadang
melenceng ke arah konsumtif, riya’, juga mubazir!
Ada banyak amal yang bisa menjadi benteng agar terhindar,
menjaga ucapan dan perbuatan. (Q.S: 4. 114). Menyibukkan diri
dengan melakukan suatu pekerjaan atau mengkaji suatu ilmu yang
nermanfaat. Memperbanyak dzikir. (Q.S: 13: 28 ) Bersikap adil
dan bijak dalam bergaul. (Q.S: 76: 9) Dengan demikian, kita bisa
jernih berpikir dan melihat secara kritis, agar terhindar dari nafsu
yang berkedok kebaikan dalam diri kita (tazkiyah annafs). Selamat
menunaikan ibadah puasa! []

381
Bersatu dalam Ibadah
Berpisah pada Politik

Ajaran agama Islam bersifat universal. Islam agama yang


sempurna (Q.S.5:3) di atas dunia, sesuai zaman dan tempat (likulli
zammany likully makany). Tetapi dalam implementasi, sejarah
membuktikan, perbedaan pemahaman telah membuat pergesekan
antar umat, hingga menumpahkan darah ke tanah.
Karena begitu universal, teramat sulit menyamakan
pemahaman. Hal ini disebabkan latar belakang kepentingan,
pendidikan, daerah, suku, dsb. Klaim paling benar dalam
pemahaman telah menutup bentuk interpretasi yang lain.
Pengakuan paling sempurna dalam pemahaman (al kaffah) telah
menutup bentuk ijtihad dan model pemahaman zaman yang lebih
baru. Hingga hari ini, titik temu untuk bersatu, tetap saja sulit
dapatkan. Inilah sumber konflik berkepanjangan di tengah umat
Islam. Selain pengaruh dari luar dirinya.
Nabi Muhammad SAW. sudah mengingatkan; umatku akan
terpecah belah hingga tujuh puluh tiga golongan. Beberapa dari

383
umatku akan dikendalikan oleh hawa nafsunya. Mereka banyak
tapi seumpama buih di lautan.
Semenjak peristiwa perang Siffin, antara kelompok Ali
bin Abi Thalib r.a. dan kelompok Muawiyah bin Abu Sufyan,
perpecahan demi perpecahan terus terjadi. Klaim paling benar
dan lahirnya komunitas pemahaman baru, sepertinya sudah
menjadi kurenah umat Islam. Ini dibenarkan Ibn Khaldun (1332–
1406), menurutnya, persoalan ashabiyah (kelompok) meruncing
membuat sulit bersatu.
Ada secercah harapan dalam gegap gempita zaman, umat
Islam bisa memegang tampuk dunia seperti dulu kala. Salah
satunya, kesadaran terhadap perbedaan senyata bukan karena hal-
hal pokok ajaran Islam.

Indah Bersatu
Umat Islam kini bersatu. Disatukan dalam ibadah suci Bulan
Ramadhan. Lebaran nanti, akan terasa sekali hari kemenangan
nan fitri. Apalagi pada bulan haji, begitu hebat dilihat kekuatan
umat. Pada saat itulah, terasa begitu kuat sebenarnya bila mana
persatuan dan kesatuan umat terpelihara dengan baik. Inilah cita-
cita Organisasi Konferensi Islam (OKI), sebuah organ gerakan
Islam yang didirikan 25 September 1969, berdasarkan Deklarasi
Rabat (Maroko) atas prakarsa Raja Hussein.
Pemuka-pemuka agama memang terus mengajak umat
untuk bersatu, tetapi antar pemuka agama, pemuka negara, jarang
bisa mengambil inisiatif ketika berbicara kepentingan. Jazirah Arab
sulit sekali mencari titik temu, saat harus berbicara kepentingan
Negara (nation). Hebatnya, hal politik di Jazirah Arab, menjadi hal
ideologis di Nusantara.

384
Suka tidak suka, perbedaan dalam hal cabang-cabang
pemikiran Islam yang lahir atas dasar interpretasi ayat-ayat al-
Quran dan Hadits, telah membuat kelompok demi kelompok hadir.
Pergerakan Islam di mana-mana dimulai atas dasar kecintaan
terhadap agama. Salah satunya pergerakan pemurnian. Paling
tidak, menurut penggeraknya. Sayangnya, pergerakan sering kali
tidak membuka keran perbedaan dan toleransi. Lalu terjadilah
permusuhan, api dalam sekam di tengah umat.
Cendikiawan Islam, Muhammed Arkoun menyatakan,
modernitas pasca revolusi Prancis (1795) juga telah ikut campur
dalam kekacauan semantik umat. Tanggung jawab sosial intelektual
Islam harus terus digerakkan di tengah krisis umat modern ini.
“Jika modernitas adalah proyek yang tidak lengkap, yang
mendorong manusia kian jauh, kini ia harus mengarahkan
globalisasi kepada integrasi yang lebih baik pada nilai-nilai,
agama-agama. Telah begitu lama dipinggirkan, suara para nabi,
orang-orang suci, teolog, filosof, seniman dan penyair.”
Pernyataan Arkoun, dapat dipahami, pengaruh dari luar,
pengaruh nafsu kepentingan politik dan kekuasaan, merupakan
musuh besar yang biasanya mampu membelokkan visi kesatuan
umat. Godaan imaji hidup indah membuat kita sering lupa agar
tetap berada di jalan spiritual.(Q.S: 3:103), (Q.S: 4.103)
Sejauh ini, secara ibadah, umat Islam jarang sekali terlibat
konflik sesama. Tetapi jika sudah terlibat dalam kepentingan
politik, perbedaan pandangan ibadah pun menjadi alasan.
Kenapa? Atas persoalan ini, dua hal sangat penting; Pertama,
perlunya kesetaraan pendidikan dalam arti taraf pendidikan umat
harus diperjuangkan agar tidak jauh timpang. Kedua, perlunya
kesejahteraan umat yang setara.

385
Sejarah menunjukkan, mereka yang mapan dalam bidang
pendidikan dan kesejahteraan, akan berpikir jernih dan jauh dari
konflik. Kebodohan dan kemiskinan, pintu masuk paling mungkin
bagi kepentingan lain untuk membuat perpecahan umat. []

386
Daya Dzikir dan Pikir
Memaknai Kehidupan

Empat hal yang selalu menjadi rahasia dalam kehidupan


umat manusia; pertemuan, jodoh, rezeki dan maut. Keempat ini,
miliki Sang Khalik. Dia yang berkehendak atas apapun yang terjadi
pada alam ini (qudhrah iradhah). Sungguhpun sudah diturunkan
ilmu pengetahuan dan dikembangkan oleh akal pikiran orang-
orang pintar, tetapi empat hal itu sulit dibongkar. tidak pernah bisa
tersingkap. Ini domain Allah SWT. (Q.S: 17.85)
Empat hal itu pula, membuat kita hidup penuh tantangan.
Menjalankan kehidupan dengan menggunakan akal pikiran. Tetapi
tidak semua bisa tembus dengan pikiran, karena itu adanya dzikir.
Selalu ingat selalu atas kehadirat Allah SWT., yang telah memberi
kesempatan untuk hidup di alam ini. (Q.S:51:56)
Alam pikiran manusia terus berkembang. Mencoba menggali
seluruh hukum alam, sunatullah dengan ilmu pengetahuan. Banyak
yang tersingkap tetapi tidak semua bisa tersingkap. Kata Albert
Enstein, tak semua yang bisa dihitung, bisa diperhitungkan. Tidak

387
semua pula yang bisa diperhitungkan, bisa dihitung. Ilmu pasti
memang berhasil merangsek maju, hingga ke detail kehidupan.
Begitu pula ilmu sosial, berputar-putar menyelami setiap sudut
kehidupan. Hingga pada puncak penemuan, kebahagiaan paling
hakiki umat manusia, yang paling dicari, hingga kini kian tiada.
Apa yang dicari dalam hidup ini? Aristoteles menyebutkan,
manusia ingin kebahagiaan. Namun kebahagiaan seperti apakah
itu? Filosof yang lain menyebutkan, kebahagiaan dan kebenaran.
Dapatkah itu? Selagi masih hasil daya nalar, semua itu nisbi dan
relatiflah adanya.

Membaca Pertemuan
Allah SWT, mengangkat manusia yang beriman dan berilmu
beberapa derajat dari yang lain (Q.S: 58.11). Mereka yang selalu
belajar, menambah ilmu pengetahuan, selalu terbukti berkembang
dan membuat perubahan. Memang menuntut ilmu itu sebuah
perjuangan. Kata Imam Syafii (767-820), jika kamu tidak sanggup
menahan lelahnya belajar maka kamu harus sanggup menahan
perihnya kebodohan.
Demikianlah ilmu, sebagai modal dasar untuk mendorong
akal pikiran manusia menentukan jalan hidup dan perjalanannya.
Perubahan terhadap masa depan, tentunya sangat ditentukan
pilihan-pilihan yang tersedia, dengan modal ilmu pengetahuan yang
dimiliki, nalar akan bekerja mencari pilihan terbaik. Karenanya,
jangan heran jika ada perjalanan kehidupan ini membuat kita
merasa ajaib, aneh, kadang juga tidak masuk akal. Tentu karena
ada bimbingan ilmu pengetahuan.
Siapa yang menyangka, pria dekil, rambut gondrong, kaos
oblong, mahasiswa UGM pada tahun 1983 bersama rombongannya
melakukan ekspedisi ke Gunung Kerinci, 30 tahun sesudahnya, ia

388
menjadi orang nomor satu di negeri ini. Dialah, Presiden Republik
Indonesia Ir. Joko Widodo. Foto itu dapat dilihat di media sosial.
Juga siapa menyangka, bocah kecil yang pernah masa
kecilnya bermain di kawasan Menteng, Jakarta, Ternyata dia kini
kita kenal, Obama, yang kini menjadi orang nomor satu di negara
adikuasa, Amerika Serikat. Ruang kerjanya di Capitol Building
atau sering disebut Gedung Putih, di Amerika Serikat sana.
Siapa pula yang menyangka, anak pengantar minum dan
juadah para anggota DPRD Kota Padang ketika rapat, ternyata
menjadi anggota DPRD Kota Padang belasan tahun kemudian.
Dialah Aprianto bin Khairul, yang baru saja dilantik Pengganti
Antar Waktu (PAW) dari Fraksi PDIP.
Saya termasuk saksi, ketika tahun 2000-2001 menjadi
reporter di gedung Sawahan, Aprianto kecil dengan mata sembab,
yang tak mau pergi sekolah. Hari itu, Da Rul, demikian kami akrab
menyapa, tampak kesal sekali. Marah sejadi-jadinya, kepada bocah
berseragam sekolah itu. Bandingkan dengan wajah Da Rul, ketika
hari pelantikan Aprianto, belasan tahun sesudahnya, beberapa
waktu lalu. Tentu sangat berbeda.
Mungkin bagi sebagian kita, tiada ada yang aneh. Biasa-biasa
saja. Tetapi bagaimana kalau Aprianto kini rapat komisi, lalu Da
Rul menanyakan apa pesanan minum kepada anggota dewan yang
sedang rapat, yang di dalamnya ada putra tercinta? Tentu ceritanya
akan berbeda. Juga sangat filmis, kalau mau difilmkan. Kantin
Da Rul, kantin di Gedung Dewan itu, bersejarah bagi sebagian
wartawan yang berposko di sana.
Saya baru beberapa tahun saja jadi staf pengajar, tetapi ada
banyak mahasiswa yang sarjana dan langsung melesat. Ada juga
beberapa yunior reporter yang kini juga tak kepalang prestasinya.
Melewati batas apa yang diberikan kepadanya. Begitulah

389
kehidupan, cepat sekali memberi kesempatan bagi mereka yang
siap menjemputnya.
Point of view paparan di atas adalah, waktu adalah pedang
(al wakty al kasyayif) yang siap menebas mereka yang lamban
menerima perubahan dan lamban memikirkan masa depan.
Lamban belajar menyelami arti kehidupan. Lamban menggunakan
daya zikir dan pikir untuk menebas waktu. Apalagi yang menyerah
begitu saja, mengalir saja, tanpa mau menetapkan dan meminta
kepada Sang Khalik, mau jadi apa nanti lima tahun, sepuluh tahun,
hingga tiga puluh tahun mendatang. Allah SWT. Menjanjikan,
mintalah kepada-Ku, akan aku berikan (Q.S: 40.60). Tentu saja,
meminta dengan sungguh-sungguh, serta menjalankan dan
mengikuti sunnatullah dengan sungguh-sungguh pula.
Empat hal di atas tadi, tiadalah mungkin bisa digapai semata
dengan akal. Harus disertakan iman, sebuah kekuatan yang sempat
dilupakan kaum postivism dan sekularism. Sebagian motivator
menyebutnya; itulah kekuatan doa.

Membaca Hikmah
Ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, kesempatan
mengutak-atik pembendaharaan ilmu pengetahuan, agama, iman
di dada, zikir dan pikir secara internal, secara personal. Ketika
semua cepat berlalu, hanya renungan malam bisa mengembalikan
seluruh perjalanan kehidupan dan mengolahnya menjadi hikmah
demi hikmah untuk masa depan. Dengan begitu, kita bisa
mengembalikan spirit kehidupan sebagai modal untuk masa depan.
Tidak ada yang tak mungkin, selagi ada usaha untuk menggapai
seluruh cita-cita.
Empat hal di awal tadi, domain pikir yang dipandu dengan
zikir. Tanpa keduanya, sulit digapai. Kita tak mungkin mengubah

390
arah angin, tapi masih ada kesempatan mengubah arah layar, begitu
kata pepatah dari seorang pelaut ulung. Selamat menunaikan
ibadah puasa. []

391
Ceramah Indah
Menjelang Tarawih

Islam agama dakwah. Dakwah dalam pengertian yang


sangat luas. Menyeru kepada kebaikan dan menyeru jauhkan
kemungkaran. Sederhananya, menyerukan kepada umat agar selalu
berbuat baik sesuai dengan ajaran Islam dan mengingatkan agar
jauhkan semua hal yang membuat kerugian individu, kelompok,
umat manusia dan alam. (amar ma’ruf nahyi mungkar)
Sayangnya, pengertian dakwah bergeser dalam pemahaman
sehari-hari. Dakwah diartikan hanya sekadar berada di atas
mimbar. Itu benar juga, namun dalam artian lebih sempit. Padahal,
dakwah, pengertiannya amat luas.
Menurut kamus Lisan al Arab, Ibn Manzur Jamal al Din
Muhammad Ibn Mukarram al Ansari, da’a asal kata dakwah, berarti,
permohonan doa dan juga diartikan pengabdian. Bila dilihat di
dalam al-Quran, paling tidak ditemukan sepuluh pengertian. Yaitu,
menyeru, memanggil, doa, dakwah, harap, meminta, keluhan,

393
mengadu, menyembah dan berteriak. Perbedaan ini dimaklumi
karena perbedaan konteks bahasa arab yang digunakan.
Ayat-ayat dakwah dalam al-Quran, banyak menjelaskan
tentang kewajiban untuk berdakwah (Q.S:3.104,110,159). Tidak
hanya sebatas di atas mimbar, tapi juga dalam kehidupan sehari-
hari, dalam segala lini kehidupan yang tidak bertentangan dengan
ajaran Islam. Mengajak berbuat baik, kepada diri, kepada keluarga,
kepada teman dekat, menasehati, mengajarkan, mengingatkan,
juga bagian dari kegiatan dakwah. Apalagi mengingatkan agar
selamat dunia dan akhirat (Q.S:66:6). Bahkan membuang duri dari
jalan.
Kegiatan menulis, menyerukan tentang kebaikan, juga
kegiatan dakwah. Dakwah bil qalam, namanya. Dakwah melalui
pena. Selain itu melalui lisan, dakwah bil lisan. Atau berbicara
langsung kepada umat (mad’u). juga dakwah bil hal, atau dengan
tindakan dan tingkah laku yang benar.
Allah SWT, juga menjelaskan agar dalam berdakwah
tetap berkata dengan lemah lembut. Artinya, ada strategi dalam
berdakwah, menyampaikan pesan agar bisa memengaruhi
(Q.S:3.159), agar materi dakwah bisa sampai maksudnya. Strategi
dan metode Dakwah (Q.S: 16. 125), telah banyak dibahas oleh
pakar Ilmu Dakwah merujuk dalil naqli sebagai sumber utama.
(Q.S: 12. 108).

Sebelum Tarawih
Menjelang Shalat tarawih berjamaah di masjid, sudah biasa,
ada ceramah dari ustadz yang diundang pengurus masjid. Daftar
nama ustadz, tema ceramah dan nomor kontak para ustadz sudah
jauh hari sudah disusun. Biasanya berdasarkan data ramadhan

394
sebelumnya, kalau ada perubahan, mungkin sedikit pergeseran.
Beberapa masjid juga ditampilkan di Harian Umum Independen
SINGGALANG.
Kegiatan ceramah agama sebelum tarawih, sudah menjadi
budaya yang sangat indah tentunya. Hal serupa juga disusun
pengurus, pada hari-hari biasa, untuk khatib Jumat. Ini sudah rutin,
sehingga kadang-kadang sudah sangat motorik. Jarang ada kejutan
dari tahun ke tahun. Karena sudah begitu, ia tidak pula kelihatan
indah. Sekadar menjalankan tugas, pengurus menjalankan tugas,
ustadz menjalan tugas, jamaah menjalankan tugas. Setelah itu,
pulang ke rumah masing-masing.
Beberapa materi dakwah, tentunya belum bergeser, mulai
dari ayat yang mewajibkan ibadah puasa (Q.S: 2: 185), hingga
hikmah-hikmah puasa, serta tidak lupa, halal-haram, surga neraka
dan seterusnya. Agaknya, memang dibutuhkan pembaruan material
dalam arti luas, tidak materi inti, tetapi cara menyampaikan, materi
tersusun menarik, teraktualkan, juga hal-hal yang perlu menjadi
minat perhatian jamaah.
Suatu hari, Khairul Jasmi menuliskan di koran ini, tentang
parasaian mendengar ceramah dari itu ke itu saja. Juga ustadznya
marah di mimbar. Mikroponnya juga melengking di atas kapasitas
ruangan dan juga hingga jauh ke langit. Tetapi, isinya marah-marah
saja. Ini satu dari sekian banyak fenomena ceramah agama yang
masih bisa dilihat. Perlu juga agaknya, ada perbaikan sisi ustadz,
dalam arti penguatan kapasitas, agar ada pembaruan sehingga
jamaah akan merindukannya.
Sekadar usul, di mimbar jamaah memiliki harapan, materi
disampaikan secara singkat, padat, menarik, sedikit menghibur,
mendamaikan kehidupan dalam rangka mengajak umat ke pelukan
Islam rahmat al amin. Seterusnya menambah iman kepada Allah

395
SWT. Serta diharapkan terejawantahkan ke dalam kehidupan
sehari-hari, materi tabligh yang disampaikan.
Jauhkan marah-marah, panjang dan lama, kaku, apalagi
sampai tak ada senyuman dari mubalig. Semoga tulisan ini
tidak menggurui para ustadz kita tercinta. Nabi Muhammad
SAW, menyatakan, “Sampaikanlah sesuai dengan kadar akal
(daya tangkap akal) yang menerimanya” (khatibunnasi qadri ‘ala
uqulihim). Alangkah indahnya, jika akhirnya para ustadz mengerti
apa kemauan, kebutuhan, jamaahnya. Salam. []

396
Pesan Damai
dari Mimbar

Jika kita rutin ke Masjid di bulan Suci Ramadhan ini, untuk


shalat berjamaah, kita akan banyak mendapat pencerahan dara
para ustadz dari mimbar. Pengajian rutin, kalau lengkap diikuti
selama puasa ini, paling tidak ada 60 kali pertemuan pengajian.
Pada saat akan tarawih dan shubuh. Ini belum termasuk bagi kaum
bapak, yang juga akan mendapat pencerahan dari empat khutbah
khatib Jumat.
Pertanyaannya, apa saja yang biasa dibawa dari pertemuan
pengajian itu? Adakah membekas di hati dan menjadi pengetahuan
yang bisa ditunaikan dalam kehidupan sehari-hari? Dua pertanyaan
ini penting sekali dikemukakan, mengingat kegiatan tahunan
setiap Ramadhan tiba, semestinya tidak begitu-begitu saja. Harus
ada pengembangan dan perkembangan secara teknis dan praktis.
Biar efektif dan membawa perubahan. Tidak angin lalu semata.
Dipandang dari soal materi pengajian ceramah, tentunya
tidak akan pernah terlewatkan tentang, wasiat takwa, keutamaan
bulan suci ramadhan, tentang kesucian jiwa, kehidupan yang fitri,

397
tentang pelaksanaan ibadah, muamalah, serta hari akhirat, pahala
dan dosa, dsb.
Persoalannya, kadang-kadang bukan pada yang materi
disampaikan, tetapi lebih kepada persoalan metode. Misalnya,
mikropon yang terlalu pelan dan mungkin juga terlalu kuat.
Beberapa masjid memang membiarkan suaranya tersiarkan secara
kuat keluar masjid. Sehingga terasa semarak. Namun kesadaran
mubalig tidak menyadari ia sedang didengar dari luar, bukan hanya
di dalam masjid. Apa jadinya? Terdengar bahasa, kata-kata, yang
kadang-kadang tidak pada tempatnya. Apalagi, kedengarannya,
dari luar, sepertinya sedang kencang sekali urat lehernya.
Pada bagian lain, sering pula metode dan nalar yang
dibangun, dari dua tiga ayat yang dipakai, bisa terbantahkan
dengan ayat lain. Ini tentunya jarang ada protes, orang di bulan
puasa, banyak belajar mendengar. Tetapi mubalig hendaknya juga
memertimbangkan pendengar. Bisa jadi, ada Sosiolog, Profesor,
para ahli bidang-bidang tertentu, sementara mubalig dengan logika
dua tiga ayat, langsung membantai dengan pendapat sepihak.
Apalagi tidak ada pula datanya.
Hal yang paling sering terdengar, para mubalig kita dengan
lantang mengatakan kebenaran sepihak dengan bersandar pada
logika yang sangat perlu diperiksa ulang. Sekadar misalnya, tentang
fakir miskin, tentang kemiskinan, jarang ada mubalig yang bicara
data kemiskinan, jarang membaca hasil-hasil pencarian keilmuan,
mungkin juga penelitian tentang itu, yang ada hanya langsung
memaki kemiskinan yang sebenarnya jelas-jelas sangat sistemik
oleh keadaan serta keadaan pendidikan pada masyarakat tertentu.
Sesungguhnya, tidaklah yang salah, penalaran dari sepotong
ayat dibangun oleh para Mubalig selama ini. Hanya saja, jika
ingin ada kemajuan, ada pencerahan baru, semestinya didukung

398
data baru. Misalnya, angka kemiskinan, faktor kemiskinan, juga
hubungkait dengan takdir Ilahiyah. Sehingga, pencerahan yang
didapatkan para jamaah tidak sekadar, makna ayat, logika ringan,
contoh, dan mungkin juga hujatan dari mubalig.
Jamaah tentunya memilih harapan, ada yang dibawa pulang
dari ceramah yang didengar. Selain pengetahuan juga menjadi
jalan amal yang akan dilakukan sehari-hari. Paling penting dari
itu, pesan damai dari para mubalig tentang kehidupan di atas
dunia, yang tidak melulu pahala dan dosa. Kerinduan paling nyata,
mubalig memberikan pemahaman tentang konsekuensi beragama
secara kaffah, tidak setengah-setengah.
Jujur saja, beberapa kasus ditemukan, tidak satu dua
orang, jamaah bila pulang bersama, sering mencemeeh pengajian
karena memang tidak dekat dan menyambung dengan kebutuhan
(disconnected) jamaah. Pengajian yang jauh di langit. Sementara,
mereka butuh yang sebenarnya sesuatu yang mendalam tapi ringan
disampaikan, bahasa sederhana, kapan perlu teknis dan praktis.
Lebih-lebih ketika kepincangan logika yang disampaikan
mubalig yang tidak memiliki bahan baru, aktual, apalagi tidak
dengan metode yang menghibur, mendamaikan dan pencerahan.
Kredibilitas seorang mubalig memang ditentukan dari hal-hal
demikian.
Agama sesungguhnya dalam arti secara bahasa, dikatakan
Sidi Gazalba, a (tidak) gama (kacau) berarti tidak kacau. Orang
beragama tentunya tidak kacau, teratur hidupnya. Menurut Hamka,
agama itu seumpama tali kekang bagi kuda, yang dipegang kusir.
Kalau mubalignya, tidak berpandai-pandai dengan metode
dakwah justru agama seakan-akan bisa membuat beragama
menjadi berat dan menakutkan. Jauh dari damai dan keindahan.
Salam. []

399
Dakwah Entertainment
dan Sertifikasi Mubalig

Menteri Agama Republik Indonesia, Lukmanul Hakim


melempar wacana sertifikasi bagi mubalig. Sertifikasi dimaksud
agar mimbar-mimbar masjid tidak menjadi tempat menebar
kebencian dan caci maki. Mereka yang naik ke mimbar-mimbar
harus terseleksi. Bukan sembarang orang saja.
Sebenarnya ini adalah wacana lama, yang sudah
diperbincangkan berkali-kali di kalangan praktisi, pengamat
dan akademisi di ruang seminar-seminar Ilmu Dakwah. Namun
wacana ini belum pernah mencapai titik temu, sehingga belum
bisa membentuk sistem sertifikasi dan lembaga mana saja yang
punya kompetensi untuk melakukannya. Ada pikiran, organisasi
keagamaan seperti MUI, Muhammadiyah, NU, Perti, Persis, yang
mengelola. Ditambah dengan lembaga pendidikan, seperti Fakultas
Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan Fakultas Ushuluddin. Lagi-lagi,
semua itu masih belum terealisasi.
Lukman memaparkan, pemerintah mengakomodasi aspirasi
soal sertifikasi ini. Menjadi fasilitator atas usulan dari publik.

401
Kepentingan pemerintah, pengaturan agar sesuatu hal menjadi
lebih baik sudah menjadi tugasnya. Hanya saja, momenum
munculnya wacana sertifikasi mubalig di tengah kebencian, caci
maki, serta kepentingan politik ideologis berbenturan, menjadi
tidak produktif. Justru sebaliknya, ia termasuk menjadi bahan
olok-olok yang tidak produktif oleh mereka yang tidak mengerti
persoalan.

Dakwah Normatif
Siapa mubalig itu? Bukankah yang perlu sertifikasi itu untuk
jasa profesional? Apakah mubalig itu profesi? Benar. Mubalig bukan
profesi, ia adalah jalan dakwah. Ibadah yang memunggungi kiblat.
Tetapi tidak sedikit yang menjadikannya jalan profesi sekaligus
ibadah. Mereka populer di tengah umat, ada juga yang populer di
televisi, jadi selebritis.
Dulu kita mengenal, K.H. Zainuddin MZ, yang khas. Metode
penyampaiannya selalu mengena untuk semua kalangan. Tegas
tapi tidak marah, lembut tidak berarti lemah. Lalu ada Abdullah
Gymnastiar, muncul pula ustadz-ustadz seleb lainnya. Dakwah
sedikit bergeser menjadi entertainment dan lifestyle di layar kaca.
Karena bersentuhan dengan sisi bisnis, rating, iklan dan honor,
dakwah menjadi hiburan. Dakwah dijauhkan dari tujuannya.
Islam adalah agama dakwah. Setiap muslim wajib berdakwah
sesuai dengan kemampuan dirinya, penyeru (da’i) untuk kebaikan
dan menegah kerusakan, (amar ma’ruf nahi mungkar). Ayat-ayat
dakwah dalam al-Quran, banyak menjelaskan tentang kewajiban
untuk berdakwah (Q.S:3.104,110,159). Tidak hanya sebatas di atas
mimbar, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari, dalam segala lini
kehidupan yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

402
Mengajak berbuat baik, kepada diri, kepada keluarga,
kepada teman dekat, menasehati, mengajarkan, mengingatkan,
agar selamat dunia dan akhirat adalah bagian dari kegiatan dakwah
(Q.S:66:6).
Kegiatan menulis, menyerukan tentang kebaikan, juga
kegiatan dakwah. Dakwah bil qalam, namanya. Dakwah melalui
pena. Selain itu melalui lisan, dakwah bil lisan, berbicara langsung
kepada umat (mad’u) di mimbar. Ada juga dakwah bil hal, dakwah
dengan tindakan dan tingkah laku yang benar.
Allah Swt menjelaskan agar dalam berdakwah tetap berkata
dengan lemah lembut. Artinya, ada strategi dalam berdakwah,
menyampaikan pesan agar bisa memengaruhi (Q.S:3.159), agar
materi dakwah bisa sampai maksudnya. Strategi dan metode
Dakwah telah banyak dibahas oleh pakar Ilmu Dakwah merujuk
dalil naqli sebagai sumber utama. (Q.S: 16. 125: Q.S: 12. 108)
Begitu luasnya ilmu dakwah itu, sedangkan mereka yang
di mimbar di sebut mubalig, khatib, penceramah, ustadz, syekh,
dll. Mereka yang di mimbar inilah yang mendapat sorotan, agar
disertifikasi dulu baru naik mimbar. Guna mempertimbangkan
kualitas penyampaian, tidak menebar benci dan caci maki. Kita
yakin, tidak semua mubalig seperti itu. Hanya mubalig yang
terlanjur terpengaruh dengan fenomena banjir informasi saja yang
berbuat begitu. Oknum mubalig. Mungkin belum belajar tentang
Ilmu Dakwah.
Saya dua kali menuliskan di kolom ini dengan tema yang
sama dalam judul berbeda. Keduanya memakai perspektif ilmu
dakwah yang pernah dipelajari. Lihat SINGGALANG, Pesan Damai
dari Mimbar, Selasa 21 Juni 2016 dan Ceramah Indah Menjelang
Tarawih, Sabtu 18 Juni 2016. Dua tulisan ini mencatat fenomena
sisi lain metode dan materi ceramah yang disampaikan khatib

403
jumat dan penceramah di bulan puasa. Khairul Jasmi juga pernah
menulis soal ini, ketika metode dan materi ceramah mengalami
pendangkalan nalar. Serta materi yang tidak pernah dikreasi dalam
kemasan yang baru dan menarik.
Sampaikanlah walau satu ayat (baligh ‘anni walau ayah),
hadits ini sangat populer di kalangan mubalig. Hadis lain, Ketika
kamu melihat kemungkaran, hendaklah mencegahnya dengan
tangan. Jika tidak mampu, cegahlah dengan lisan. Jika tak mampu
juga, cegahlah dalam hati saja, itulah selemah-lemah iman.
Namun ada yang penting, selain materi dakwah, ada strategi.
Haditsnya, sampaikanlah (amar ma’ruf dan nahi mungkar) sesuai
dengan kadar akal orang yang menerimanya. Begitulah anjuran
berdakwah dalam Islam.

Dakwah vs Negara
Mubalig berasal dari bahasa arab, dengan akar kata
balagha. artinya menyampaikan. Mubalig artinya orang yang
menyampaikan. Tabligh, salah satu sifat nabi yang menyampaikan
risalah ilahiyah.
Mubalig, Khatib, Da’i, mereka yang terpanggil untuk
menyampaikan risalah ilahiyah, sesuai dengan kemampuan ilmu
pengetahuan agama yang dimilikinya. Persoalannya, kemampuan
itu harus juga melihat kepentingan lain, yaitu keberadaan
pemerintah dan negara. Mubalig yang cerdas tentu saja memberi
pencerahan dalam kehidupan.
Mari kita lihat di Malaysia, para penyuluh agama disertifikasi,
dilatih dengan seksama oleh sebuah badan sehingga tidak semua
bisa naik mimbar dan bicara seenaknya. Lihat pula profesi lain,
di Singapura, seorang pengamen juga diuji kompetensinya. Harus

404
ada surat izin mengamen. Harus hapal ratusan lagu. Harus cakap
dan profesional.
Beralih ke profesi-profesi lain di Indonesia, misalnya dokter.
Melalui organisasinya, ketat sekali seorang dokter harus diakui
profesional. Wartawan, advokat, guru dan dosen, juga mengalami
hal yang sama. Sertifikat pengakuan dari badan-badan yang
ditunjuk mengukur kompetensi, agar terjaga kualitas profesi.
Fenomena mubalig yang memiliki kelemahan, harus disadari.
Lebih-lebih ketika kepincangan logika dalam menyampaikan pesan
dakwah, tidak memiliki bahan baru (aktual), tidak dengan metode
yang menghibur, mendamaikan dan pencerahan. Kredibilitas
seorang mubalig memang ditentukan dari hal-hal demikian.
Kini, butuhkah sertifikasi mubalig itu? Satu sisi, harus ada,
bila mengharapkan ada perubahan sosial menuju lebih baik, sebab
peran mubalig sangat penting memberi materi yang mendidik
umat. Jika kualitas mubalig baik, umat akan menerima ajaran yang
baik.
Pada sisi lain tentu saja tidak perlu sertifikasi itu. Karena
seorang muslim adalah penyeru (da’i) kebaikan. Apapun
profesinya, wartawan, polisi, jaksa, hakim, pengacara, pns, ia harus
menyeru dan melaksanakan kehidupan yang sesuai dengan ajaran
agama (dakwah bil hal). Lain persoalan, jika masih ada perbedaan
melihat kebaikan dari pandangan kepentingan-kepentingan.
Itulah sebenarnya yang terjadi, sehingga dakwah belum efektif
disampaikan sebagai ibadah dan ladang amal. Bukankah begitu,
Pak Menteri? []

405
EPILOG

Hal Ihwal Sampah


Informasi
Dr. Sheiful Yazan, M.Si

Kegiatan jurnalistik tak ubahnya seorang ibu yang pergi ke


pasar untuk belanja kebutuhan dapur. Dia akan belanja apa yang
terasa, murah dan berguna, sesuai dengan keperluan dapurnya,
dan isi kulkasnya. Ia membayangkan resep dan selera kesukaan
keluarga, lalu menyesuaikan dengan barang-barang yang akan
dibeli. Dia akrab dengan para pedagang, akrab dengan pemilik
kedai tempat ia belanja keperluannya.
Dia suka belanja, pelesiran kecil-kecilan yang menggairahkan.
Kadang ia tidak ke pasar kala malas, dan cukup menunggu tukang
sayur yang datang ke depan rumahnya setiap pagi.
Santapan di meja makan tidak hadir sendiri. Ada proses
panjang, ketika si ibu, mungkin juga dengan para pembantu, dari
ide masakan, seleksi bahan, peralatan dapur, proses memasak,
hingga dihidang di meja makan. Begitu pula yang terjadi di Rumah
Makan Padang, atau restoran dari kelas kaki lima sampai kelas
manca negara. Ada proses hingga masakan bisa terhidang di atas
meja, di hadapan penikmat.

407
Demikianlah, kegiatan jurnalistik memproduksi informasi
hingga sampai ke publik. Informasi dalam media yang standar,
tidak bisa serta merta hadir ke publik tanpa proses. Tidak
sederhana. Ada prosedur bertingkat harus dilalui. Hal ini untuk
menjaga kepercayaan publik tentang informasi yang dihidangkan.
Sebuah media bisa hidup karena kepercayaan publik kepadanya.

Ragam Jurnalistik
Buku Kumpulan Esai Dr. Abdullah Khusairi, MA ini
merupakan ragam karya jurnalistik. Esai-esai yang reflektif
terhadap peristiwa-peristiwa yang mengemuka dalam suatu waktu.
Esai bukan berita. Ia bagian dari proses kegiatan jurnalistik yang
diproduksi dengan sebuah perspektif dan perenungan. Sedangkan
berita, ditulis harus apa adanya.
Jurnalis bagaikan ibu-ibu yang ke pasar. Berbelanja sebanyak
mungkin. Tetapi, seorang jurnalis tidak bisa membuat berita
dengan seluruh hasil belanja atau hasil wawancaranya. Banyak
yang tertinggal di buku catatan dan di kepala. Jurnalis yang tidak
menulis esai dan feature, banyak mendiamkan berita di kepalanya.
Jurnalis yang baik, tidak akan membiarkan “rimah-rimah” berita
tercampak tiada guna.
Seorang ibu bijak dan kreatif, ada-ada saja yang akan
dibuatnya jika ada kelebihan bahan masakan. Jurnalis yang menulis
berita semata, bagai ibu yang hanya memasak nasi, sambal dan
gulai saja. Padahal, ada ribuan jenis penganan yang harusnya juga
tercipta dari tangan ibu kreatif.
Jurnalis yang kreatif akan merambah rimba raya karya tulis
lain yang berbeda. Ada sekeranjang jenis “penganan” lain yang
harusnya lahir dari tangan jurnalis kreatif, seperti: analisis, kolom,

408
komentar, esai, feature, atau ragam fiksi seperti cerpen, puisi,
sampai novel, dll.
Banyak penulis esai yang lahir karena sudah lama di
lapangan. Mereka menulis karena merasa perlu menjelaskan
kembali, menjelaskan dalam bentuk lain, pengalaman lapangan
dan persoalan-persoalan yang masih tersisa dalam kepala mereka.
Beberapa esais, misalnya, Syirikit Syah, Media Massa di Bawah
Kapitalisme (1999), Parni Hadi, Introspeksi Badak Jawa (1996),
Sinansari Ecip Komunikasi dan Pembangunan (1985), Rosihan
Anwar Menulis dalam Air (1983), Seno Gumira Adjidarma, Ketika
Jurnalisme Bungkam Sastra Harus Bicara (1998), melakukan hal
itu.
Mereka menulis sebagai cendekiawan, bukan lagi sebagai
wartawan. Sedangkan menggabungkan artikel-artikel menjadi
sebuah buku, bukanlah kegiatan baru. Emha Ainun Nadjib, Syafii
Maarif, Anas Urbaningrum, Gus Dur, sekadar contoh yang telah
melakukannya. Karya-karya penulis ini dikumpulkan oleh editor-
editor yang punya selera pasar, lalu dibukukan. Hasilnya, lahirlah
sebuah buku yang layak baca.

Kesadaran Zaman
Mencermati berbagai semua karya AK dalam kumpulan
esai, ini memberi kesan mendalam tentang kesadaran zaman. AK
mengungkapkan persoalan melalui jarak tembak yang pas terhadap
persoalan, bagai seorang fotografer membidik sasarannya.
AK bagai fotografer profesional, yang mampu memotret
dari segala sudut yang ideal. Kadang di dalam, kadang di luar,
kadang meneropong, kadang menukik, kadang juga mendaki.
Kadang melihat keseluruhan dengan lensa wide angle, di lain saat
menggunakan pandangan mikro, menelisik detail secara njelimet.

409
Perspektif dasarnya, kesadaran terhadap informasi harus
dikelola, lalu diproduksi lagi. Kesadaran agar tidak menjadi
tong sampah informasi. Informasi harus dikemas ulang dengan
mencantumkan argumen-argumen baru dengan dasar keilmuan,
pengalaman, perenungan, mungkin juga adu peristiwa.
Menariknya, ada banyak khazanah lama yang diungkapkan
menjadi judul-judul baru. Judul esai yang menggugah untuk dibaca,
bagi mereka yang pernah bertemu dengan khazanah lama tersebut.
Inilah kepiawaian bagi mereka yang memiliki banyak bacaan.
Jurnalis yang baik memang harus banyak membaca. Wawasan
yang luas adalah modal. AK melakukan itu, mengikuti tradisi para
jurnalis yang tetap menulis dalam bentuk lain, misal puisi, cerpen,
biografi, dll. Semacam pelarian dan plesiran di tengah gemuruh
arus informasi yang datang. AK mengikuti para senior yang sudah
lama menjalani hal seperti ini, seperti Zaili Asril, Khairul Jasmi,
Hasril Chaniago, Yurnaldi, yang menulis dalam berbagai jenis
karya tulis.

Kaki Pelangi
Pada satu esai, ada soal kaki pelangi. Tentu tak ada kaki
pelangi itu. Begitu pula kebebasan. Tentu tidak ada kebebasan
tanpa batas. Kata John Dewey, manusia pada dasarnya dilahirkan
dalam keadaan bebas. Namun, ketika baru saja keluar dari rahim
ibunya, seperangkat hukum alam telah menantinya.
Buku ini hendak memberi kita kesadaran atas hak dan
kewajiban sebagai manusia biasa di tengah arus informasi yang
membuat orang sering lupa diri. Apalagi sejak media sosial mulai
mengambil alih posisi media massa. Literasi media sangat penting.
Buku ini bagian dari literasi media untuk publik.

410
AK kini seorang akademisi, setelah menimba dan meneguk
pahit manis dunia praktisi jurnalistik. Kenyang dan matang di
lapangan membuat AK senantiasa menjemput dan mengemasi
kembali remah-remah yang kadang terabaikan jurnalis lain. AK
telah sampai pada empat hal yang menjadi puncak kehidupan
jurnalis; dipercaya menjadi pemimpin redaksi, punya karya-
karya dalam bentuk buku, penghargaan dalam lomba menulis dan
jaringan relasi yang luas.
Buku ini justru lahir setelah de facto dia tak lagi banyak
aktif secara fisik sebagai jurnalis. Namun, sebagai anggota aktif
masyarakat informasi, ia tetap menyimak persoalan-persoalan
di panggung media massa. Membaca buku ini, kita dibawa
bertamasya, membaca berita itu perlu, tapi jangan tergesa untuk
percaya. Banyak dari esai ini memberikan pemahaman, bahwa,
sikap paling baik di tengah arus informasi adalah mengkritisi,
hingga memiliki tingkat kematangan yang baik. Setelah itu, boleh
ambil sikap dan keputusan.
Begitulah, perihal buku ini. Layak dibaca para jurnalis
pemula maupun profesional, para aktivis, mahasiswa komunikasi
dan jurnalistik, juga masyarakat yang ingin mendalami sisi lain
dunia informasi hari ini. []

411
RIWAYAT NASKAH

LITERASI MEDIA
• Disrupsi Media Massa, bakaba.co, 2019
• Bijak Menggunakan Media Sosial, bakaba.co, 2019
• Perkembangan Radikalisme Di Media Sosial, bakaba.co, 2019
• Nilai Berita Pembantu Presiden, bakaba.co, 2019
• Jurnalisme Wajah Baru Di Media Cetak, bakaba.co, 2019
• Tentang Idealisme dalam Sebuah Amplop, bakaba.co, 2019
• Memahami Watak Media Sosial, bakaba.co, 2019
• Jurnalisme Online Situs Radikal–SINGGALANG, Senin, 5 April
2015
• Jurnalisme Era Digital–Padang Ekspres, Minggu, 6 Juli 2014
• Jurnalisme Pilpres–SINGGALANG, Sabtu, 28 Juni 2014
• Tragedi Tabloid Hebdo–SINGGALANG, Kamis, 22 Januari 2015
• Pers Sehat Bangsa Hebat–SINGGALANG, Rabu, 11 Februari 2015
• Merawat Nasib Media Cetak–SINGGALANG, 19 Desember 2014
• Cara Hebat Gardu Dahlan–SINGGALANG, Senin 22 Juni 2015
• Seruan Sepi Dewan Pers–SINGGALANG, Senin, 4 November 2015
• Babak Baru AJI Indonesia–SINGGALANG, Sabtu, 29 November
2014
• Kurenah Puasa di Dunia Maya–SINGGALANG, Senin, 29 Juni 2015
• Buruk Moral di Media Sosial, SINGGALANG, Kamis, 24 Februari
2015
• Cerdaslah Memilih Media Online–SINGGALANG, Kamis 14 April
2016
• Teologi Kebencian di Media Sosial, SINGGALANG, Kamis, 25
Januari 2017
• Membangun Citra Polisi di Media Sosial, makalah kehumasan
Mapolda Sumbar
• Aku Bertanya Maka Aku Ada, belum pernah dimuat

413
REFLEKSI DEMOKRASI
• Demokrasi Jenaka 70 Th Merdeka–SINGGALANG, Sabtu,15
Agt2015
• Berdemokrasi di Tengah Rasa Lapar–SINGGALANG, Senin, 23
Januari 2017
• Menang Melawan Kotak Kosong–SINGGALANG, Selasa, 21
Februari 2017
• Kecamuk Perang Informasi Pilpres–SINGGALANG, Sabtu 24 Mei
2014
• Siapa Gubernur Kita, SINGGALANG, 5 Maret 2015
• Lampu Kuning untuk Petahana–SINGGALANG, 6 Mei 2015
• Menari di Irama Petahana, belum pernah dimuat
• Anomali Arah Angin Shofwan Karim–SINGGALANG, Sabtu, 5
April 2015
• Membaca Langkah Baharuddin R–SINGGALANG, Rabu, 9 Maret
2015
• Jalan Baru Taslim Chaniago–SINGGALANG, Rabu, 20 Mei 2015
• Jalan Sepi Partai Islam–SINGGALANG, Kamis 12 Juni 201
• Menyandar Masa Depan ke Parpol–SINGGALANG, Senin, 13 Juli
2015
• Satu dari Mereka Jadi Pemimpin Kita–SINGGALANG, Jumat, 6 Juni
2014
• Sinyal Komunikasi Politik–SINGGALANG, Kamis, 17 September
2014
• Naik Kelas ke Sumbar Satu–Padang Ekspres, Selasa 16 September
2014
• Putus Asa dengan Negara–SINGGALANG, Selasa, 29 Oktober 2015
• Ego Sektoral Lembaga Negara–SINGGALANG, Jumat, 30 Januari
2015
• Kebijakan Hebat Kepala Daerah Baru, SINGGALANG, Jumat 29 Jan
2016
• Kesadaran Menduduki Jabatan–SINGGALANG, Rabu 30 Sept 2017
• Dendang Akhir Tahun–SINGGALANG, Selasa, 15 Desember 2015

414
PENDIDIKAN
• Kisah Sedih Pendidikan Kita–SINGGALANG, Rabu, 7 Mei 2014
• Menteri Eksentrik dan Linearitas Ilmu–SINGGALANG, Rabu, 5
Nov 2014
• Mencatat Bakat, Menanam Minat–SINGGALANG, Minggu, 21 Juni
2015
• Matinya Sistem Berpikir Kreatif–SINGGALANG, 21 Januari 2016
• Tenggelamnya Kapal Ikan Asing–SINGGALANG, Selasa, 9 Sept
2014
• Kampus Sungai Bangek–SINGGALANG, Sabtu 22 November 2014
• IAIN Ricuh, Bola Mati di Tangan Siapa–Haluan, Selasa, 12 April
2016
• Jangan Robohkan IAIN Kami–SINGGALANG, Senin , 23 Maret
2015
• Gerakan Reformasi Berhenti di Kaki Pelangi– SINGGALANG,
Selasa 13 Mei 2014
• Semangat Baru Mapolda Sumbar–SINGGALANG, Sabtu 21 Maret
2016
• Dua Kapolres di Tengah Bencana–SINGGALANG, Selasa, 19
Februari 2016
• Tendangan Zumi Zola–Jambi Ekspres Kamis, 2 Februari 2017
• Musik yang Mengusik–Tabloid Suara Kampus, Edisi 1122 Agustus
2010
• Maksiat Pondok Pantai–SINGGALANG, Rabu 3 Juni 2015
• Film Tekad Apak–SINGGALANG, Selasa, 29 Maret 2016
• Do’a di Kabin AirAsia Suatu Hari–SINGGALANG, Selasa, 6 Jan
2015
• Bahaya Narkoba di Sekitar Kita–www.tribratanews.com
• Hukum Berat Oknum Aparat–belum pernah dimuat

415
JEJAK SPIRITUAL
• Kebenaran Atas Nama Agama–SINGGALANG, Senin 16 Jan 2017
• Jalan Nalar Kaum Radikal–Belum pernah dimuat
• Da’i Nagari–SINGGALANG, Kamis 30 Okt 2014
• Menu Bahagia di Hari Raya–AmalBakti, Edisi No.7. Juli 2015
• Cerdas dan Bijak di Hari Kemenangan–AmalBakti, Edisi No 7. Juli
016
• Air Mata Hari Kemenangan–SINGGALANG, Senin 21 Juli 2014
• Asas ISIS Usus–Tabloid Suara Kampus, Edisi 131. September 2014
• Nalar Teologi Kabut Asap–SINGGALANG, Kamis, 8 Okt, 2015
• Bulan Manja dari Ayah–SINGGALANG, Kamis, 16 Juni 2016
• Latihan Kecerdasan Akal dan Hati–SINGGALANG, Jumat 17 Juni
2016
• Memahami Perkara Nalar dan Wahyu–SINGGALANG, Senin 19
Juni 2016
• Kesalehan Sosial Masyarakat Madani–SINGGALANG, Rabu 22
Juni 2016
• Jalan Sunyi Sang Sufi–SINGGALANG, Kamis, 23 Juni 2016
• Kuliner Antartetangga–SINGGALANG, Jumat, 24 Juni 2016
• Nafsu Kuasa Berjubah Ijtihad–SINGGALANG, Sabtu 25 Juni 2016
• Bersatu dalam Ibadah Berpisah dalam Politik, belum pernah dimuat
• Daya Zikir & Pikir Memaknai Hidup–MetroAndalas, Rabu 22 Juni
2016
• Ceramah Indah Menjelang Tarawih–SINGGALANG, Sabtu 18 Juni
2016
• Pesan Damai dari Mimbar–SINGGALANG, Selasa 21 Juni 2016
• Dakwah Entertainment dan Sertifikasi Mubalig–SINGGALANG
Senin, 6 Februari 2017

416
TERIMA KASIH

Muhammad Nasir | Zelfeni Wimra | Riki Saputra | Nofel Nofiadri


Muhammad Taufik | Abrar Dt. Gampo | Rifki Abror Ananda
| Faizin | Fuad Mahbub Siraj | Jamal Rahmat
Abdul Rahman | Masrial | Awiskarni | Gusril Kennedi | Sheiful Yazan
Yurisman | Welhendri Azwar | Yulizal Yunus | Yasrul Huda
Baharuddin Raaban | Fadlan Maalip | Danil Chaniago
Wakidul Kohar | Huriyatul Akmal | Fauzan | Rizal Ferdinal
Syafrizal Tanjung | Andri El Faruqi | Muhammad Rasyid
Babil Gufron | Adil Wandi | Nuzul Iskandar | Muhammad Jamil
Roni Andespa | Zulfikar Effendi | Abel Tasman | Nurushalihin
Nofi Candra | Leonardy Harmainy | Irdinansyah Tarmizi
Indra Catri | Wendra Yunaldi | Benny Wendri | Khairul Jasmi |
Sawir Pribadi | Shofwan Karim | Taslim Chaniago | Hasriel Chaniago
Darman Moenir | Eko Yanche Edrie | Wiztian Yoetri | Yusrizal KW
Bobi Lukman Suardi | Nasrul Azwar | Yurnaldi | Syamsu Rizal
Yuliandre Darwis | Andre Rosiade | Maidestal Hari Mahesa
Rino Zulyadi | Marzul Veri | Ardyan | Isa Kurniawan | Benny Okva
Yul Akhyari Sastra | Rahmatul Akbar | Joni Syah Putra
Nashrian Bahzein | Heri Sugiarto | Hendra Makmur | Roni Paslah
Islahil Umam | Rof ’il Khair Noor | Rinaldi Fuadi | Suardi Sikumbang
Muhammad Fadlan Arafiqi | Asad Isma | Ijlan Nur | Maifil Eka Putra
Anuar Awang | Zawawi bin Awang | Tularji Alpapali
Hasan S. Lamanepa | Aidul Anhar | Rafii H. Nazari
Abd. Hamid | Fakhrurrozi | Usman | Kartika Roni | Firdaus Diezo
Ulfatmi Amirsyah | Sastri Y. Bakri | Emma Yohanna | M. Rifki
Wanda Fitri | Risnawati | Vinna Melwanti | Yetti A.Ka
Miftahul Hidayati | Silfia Hanani | Ade Faulina | Maya Lestari GF
Ka’bati | Mahmudah Noorhayati

Atas semua waktu untuk diskusi dan kopi


saya ucapkan terima kasih
tiada hingga

417
TENTANG PENULIS

ABDULLAH KHUSAIRI, jurnalis yang


memilih kembali ke ranah akademis, setelah
10 tahun sebagai pekerja media. Menjadi dosen
Fakultas Dakwah & Ilmu Komunikasi
Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol
Padang sejak 2010.

Lahir di Sarolangun, 16 April 1977. Lahir sebagai seorang


sulung empat bersaudara, dari pasangan Abu Hasan (alm.) dan
Mahmudah. Ayahnya seorang petani dan kuli bangunan di siang
hari, malamnya menjadi guru mengaji. Sang ibu seorang pedagang
kecil yang ulet.
Menamatkan pendidikan dari SDN II Sarolangun dan
Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Sarolangun (1983-1989).
Menjadi santri di Pondok Pesantren al-Hidayah Sarolangun (1989-
1993). Melanjutkan pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri (MAN)
I Sarolangun (1993-1995). Aktif di Kepengurusan Osis dan Gudep
Pramuka MAN I Sarolangun. Bergabung dengan Saka Wana Bakti,
Dinas Kehutanan Sarolangun dan Saka Kencana Sarolangun,
BKKBN Sarolangun.
Menyelesaikan Strata 1 (S1) di Jurusan Komunikasi
Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang (Tamat 1995-2000) menulis
karya akhir; Pemberdayaan Pers sebagai Media Dakwah dalam
Membangun Ummat Islam (Skripsi; 2000). Semasa kuliah, aktif di
pers mahasiswa, bergabung di Tabloid Mahasiswa Suara Kampus

419
dan Majalah Mahasiswa Fakultas Dakwah, al-Fitrah. Penulis lepas
di Harian Haluan Edisi Minggu. Setamat kuliah menjadi jurnalis,
asisten redaktur, redaktur, koordinator liputan, redaktur pelaksana
di Harian Pagi Padang Ekspres, Group Jawa Pos terbit di Padang
(2000-2006); merintis pendirian Padang TV (2007) sebagai
Manajer Program dan Produksi, menjadi presenter berita Detak
Sumbar, Dialog Malam di awal televisi ini berdiri; menjabat Wakil
Pemimpin Redaksi Harian Pagi Posmetro Padang (2008), setahun
kemudian menjadi Pemimpin Redaksi News Portal www.padang-
today.com, General Manager Media Online Padang Ekspres Groups,
Manager Research and Development (R&D) Riau Pos Groups
Divisi Regional Padang (2009-2010), dan sempat menjadi Humas
Tim Pendukung Teknis (TPT) Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) Rehab Rekon Sumbar Pascagempa 2009.
Di tengah kesibukan sebagai pekerja media, mengajar di
almamater, dan kuliah Strata 2 (S2) pada Program Pascasarjana
(PPs) Magister Konsentrasi Pemikiran Islam (2006-2008); menulis
Karya Akhir, Pemikiran-Pemikiran Islam di Rubrik Opini Harian
Pagi Padang Ekspres 2006-2007 (Tesis; 2008); Tahun 2010 mulai
meninggalkan dunia profesi jurnalis; Tahun 2011 aktif menulis
artikel populer di Harian Singgalang, Harian Haluan, dan aktif
sebagai presenter lepas TVRI Sumbar, untuk Program Dialog Pers
dan Dialog Khusus (2012-2013).
Aktif menjadi pengurus Organisasi Profesi Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) Padang (2005-2010), Forum Groups Diskusi
Majelis Sinergi Agama dan Tradisi (Magistra) Indonesia, dan
SarangIde Institut (SI).
Selain dunia jurnalistik, menulis sastra juga digemari. Karya
dalam bentuk cerpen, esai, puisi, dan buku bersama; La Runduma

420
(Jakarta: CWI-Kepmenpora, 2005); Opera Zaman (Yogyakarta:
Grafindo, 2006); The Regala 204 B (Yogyakarta: Grapuraja, 2006);
Kumpulan Cerpen Khas Ranesi, (Jakarta: Grasindo, 2007); Taufik
Ismail di Mata Mahasiswa (Jakarta: Horison, 2008); Sebilah
Sayap Bidadari (Yogyakarta: Fahima, 2010); Upaya Memulihkan
Ranahminang Pasca Gempa (Padang: Kimpraswil Sumbar-BNPB,
2010); Akar Anak Tebu (Padang: Pusakata, 2012); Talu Indonesia,
Biografi 70th Fadlan Maalif Tuanku Bosa XIV (Padang: Irsecd,
2012); Pesona Jilbab dari Padang, (Padang: Pemko Padang, 2012),
Perti untuk Ummat (Padang: PERTI Sumbar, 2012); Memenangkan
Hati Rakyat; Biografi M. Shadiq Pasadigue, Bupati Tanahdatar Dua
Periode 2005-2010 dan 2010-2015 (Padang: Irsec, 2015); Editor
buku Rindu Baitullah Menikam Ulu Hati, Perjalanan Spiritual ke
Tanah Suci karya Khairul Jasmi, (Jakarta: Republika Press, 2018);
Sulteng Bangkit! (Jakarta: BNPB RI, 2019).
Cerpen, esai, dan resensi buku pernah dimuat di Kompas,
Singgalang, Padang Ekspres, Haluan, Jambi Ekspres, Jambi
Independen, Sumatera Ekspres, Batam Pos, Sumut Pos, Riau Pos,
Metro Balikpapan, Radar Cirebon, Minggu Pagi, Jawa Pos, Sumut
Pos, Bolasport.com.
Aktif menulis karya ilmiah di Jurnal Ilmiah dan Profesi Acta
Diurna, Jurnal Ilmiah dan Profesi Dakwah al-Munir; Jurnal Ilmu
Sosial dan Pengembangan Masyarakat Tathwir; Jurnal Ilmiah &
Profesi Dakwah al-Hikmah UIN Imam Bonjol Padang dan Jurnal
Komunika, UIN Raden Intan Lampung. Karya dalam bentuk buku
kumpulan artikel populer, Di Bawah Kuasa Media Massa, (Padang:
IAIN Press, 2014), Buku Kumpulan Cerpen, Orang Meru (Padang:
Rumahkayu, 2017). Juara I Journalist Writing Competitions Tentang
Terumbu Karang Dinas Perikanan dan Kelautan (DPK) Sumbar 2009.

421
Laporan Penelitian, Pola Nagari Beradat dan Dinamika
Kehidupan Masyarakat 50 Kota; Peranan Ninik Mamak
Sungai Naniang (Puslit, 2011), Tipologi Merantau Masyarakat
Minangkabau; Studi Kasus Keluarga Ahmad Tunggal, (Puslit IAIN
IB Padang, 2011); Pemikiran-Pemikiran Islam dalam Rubrik Opini
Harian Pagi Padang Ekspres 2010-2012 (Puslit IAIN IB Padang,
2012); Jejak Islam dalam Naskah-Naskah Tambo Minangkabau;
Corak Keberagamaan Penulisan Tambo (Puslit IAIN IB Padang,
2015).
Menyelesaikan Program Doktor Pengkajian Islam dengan
Konsentrasi Pemikiran Islam Sekolah Pascasarjana (SPs)
Universitas Islam Negari (UIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat (2016-
2019) dengan menulis karya akhir, Diskursus Islam Kontemporer di
Media Cetak; Kajian terhadap Radikalisme dalam Artikel Populer
Harian Kompas dan Republika 2013-2017 (Disertasi; 2019).
Suami dari Sriherfiani, S.Pd.I, ayah tiga putri; Meysanda
Nurhayati Khusyairi (Meysa), Dhiyania Rafa Khusairi (Nia),
Abyatina Majda Khusairi (Majda). Email: abdullah.khusairi@
gmail.com; Twitter: @abd_khusairi, IG. @abdullahkhusairi.[]

422

Anda mungkin juga menyukai