Anda di halaman 1dari 84

Naskah Panduan Penjaminan Mutu Pendidikan SMK

Implementasi Program Penguatan Pendidikan Karakter Peserta Didik SMK

( Draf naskah terakhir disunting pada tanggal 12 November 2022. draf naskah hanya
dibaca untuk uji keterbacaan naskah pada tanggal 14 s.d. 16 November 2022,
peserta uji keterbacaan dilarang untuk menyebarluaskan naskah ini)

Direktorat Sekolah Menengah Kejuruan


Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi

1
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas terbitnya buku
Implementasi Program Penguatan Pendidikan Karakter Peserta Didik SMK. Buku ini
merupakan perwujudan dari Norma, Prosedur, dan Kriteria (NPK) dari penguatan
pendidikan karakter peserta didik SMK.

Peserta didik merupakan objek dari pendidikan. Berbagai macam upaya dilakukan
oleh stakeholder pendidikan untuk menjadikan peserta didik menjadi pelajar yang
memiliki kompetensi sesuai dengan bidangnya yang didukung oleh karakter baik
demi terwujudnya profil pelajar pancasila. Dalam kaitannya penguatan karakter
peserta didik, perlu adanya panduan bagi satuan pendidikan untuk penguatan
karakter peserta didik. Panduan ini dapat dijadikan acuan dalam menyusun program
penguatan pendidikan karakter bagi peserta didik SMK. Panduan Penjaminan Mutu
Pendidikan SMK Implementasi Program Penguatan Pendidikan Karakter Bagi
Peserta Didik SMK merupakan dokumen yang berisi konsep 3 (tiga) dosa besar
pendidik, kebekerjaan, prosedur implementasi program penguatan pendidikan
karakter, serta kriteria pelaksanaan program.

Saya mengucapkan selamat dan terima kasih kepada seluruh tim penyusun,
penelaah, dan kontributor yang telah bekerja dengan sepenuh hati untuk
menghasilkan panduan ini.

Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi

Dr. Ir. Kiki Yuliati, M.Sc

2
PANDUAN IMPLEMENTASI PROGRAM PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER

PESERTA DIDIK SMK

Pengarah
Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Kiki Yuliati

Penanggung Jawab
Direktur Sekolah Menengah Kejuruan
Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Wardani Sugiyanto

Penelaah
Eru Achmad Sutaman (Direktorat SMK)
Jahani (Direktorat SMK)
Harun Al Rosyid (Direktorat SMK)

Penulis
Noris Rahmatullah (Direktorat SMK)
Agricynthia Pratiwi Dharma (Direktorat SMK)
Ikhsan Kurnia (Direktorat SMK)

Kontributor
Tim SKM Bidang Kompetensi dan Manajemen (Kemendikbudristek)
Tim SKM Bidang Komunikasi dan Media (Kemendikbudristek)
Yufiarti (UNJ)
Gumgum Gumelar (UNJ)
Zarina Akbar (UNJ)
Tim teknis pencegahan kekerasan
di bidang pendidikan (Puspeka, Kemendikbudristek)
Fitrah Imanuddin (Praktisi Pendidikan)
Erik (UNJ)
Budi Setiadi (Direktorat SMK)
Rofiek (Direktorat SMK)
Zailendra Dwinanda (Direktorat SMK)
Galih Pradana H(Direktorat SMK)
Mariska Ambar Sari (Direktorat SMK)

Penyunting Naskah
Ikhsan Kurnia

Ilustrator
Ikhsan Kurnia

Desain dan Tata Letak


Ikhsan Kurnia

3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB 1 PENDAHULUAN 4
A. Pendidikan Karakter di Indonesia 4
B. Kebijakan Pendidikan Karakter 9
C. Program Penguatan Karakter Sekolah Menengah Kejuruan 18
BAB II PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI SMK 25
A. Perundungan (Bullying) 27
B. Kekerasan Seksual 30
C. Intoleransi 33
D. Pencegahan dan Penanggulangan 33
BAB III KEBEKERJAAN 35
A. Etika Kerja dan Etos Kerja 36
B. Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, dan Rajin (5R) / Budaya Kerja 39
C. Kesehatan dan Keselamatan Kerja 41
D. Praktik Baik Kebekerjaan 43
BAB IV PROSEDUR IMPLEMENTASI PROGRAM PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER
52
A. Desain Program 52
B. Desain Pelaksanaan Program 61
1. Penyusunan Panduan (buku atau media lainnya) 62
2. Seminar atau Workshop Penguatan Pendidikan Karakter 63
3. Kegiatan Penguatan Pendidikan Karakter 63
4. Pelatihan untuk Pelatih (Training of Trainer – ToT) 64
C. Tahapan Pelaksanaan 65
BAB V KRITERIA PELAKSANAAN PROGRAM 68
A. Peserta 68
B. Panitia 68
C. Narasumber 69
D. Instruktur 70
E. Sarana dan Prasarana 70
DAFTAR PUSTAKA 72

4
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Pendidikan Karakter di Indonesia

Pendidikan merupakan pilar kebangsaan yang memiliki peran penting dalam


menumbuhkembangkan semangat cinta tanah air dan bela negara, membangun
karakter dan meneguhkan jati diri bangsa, serta memperkuat identitas nasional.
Pendidikan karakter dan budi pekerti sebagai salah satu pusat dari proses
pembentukan kepribadian anak didik sangat diperlukan untuk membangun watak
yang baik, memupuk mental yang tangguh, membina perangai yang lembut, dan
menanamkan nilai-nilai kebajikan yang selaras dengan prinsip-prinsip moral dan
etika yang hidup di dalam masyarakat.

Kegiatan pembiasaan sikap dan perilaku positif di sekolah dapat dimulai sejak dari
hari pertama sekolah yaitu masa orientasi peserta didik baru. Adapun penilaian
karakter yang saat ini juga menjadi bagian penting dari perhatian guru ialah karakter
Pelajar Pancasila yang meliputi enam profil, antara lain (a) beriman, bertakwa
kepada Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak mulia, (b) mandiri, (c) bergotong
royong, (d) berkebinekaan global, (e) bernalar kritis, dan (f) kreatif.

Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka


Menengah Nasional Tahun 2020-2024 menyebutkan bahwa salah satu visi misi
presiden tahun 2020-2024 adalah peningkatan kualitas manusia Indonesia dan
kemajuan budaya yang mencerminkan kepribadian bangsa. Hal ini diperkuat dengan
5 (lima) arahan Presiden Jokowi yang salah satunya pembangunan sumber daya
manusia dengan 3 (tiga) strategi yaitu layanan dasar dan perlindungan sosial,
produktivitas, dan pembangunan karakter. Pembangunan karakter melalui
pemerataan layanan pendidikan yang berkualitas yang termasuk didalamnya adalah
peningkatan kualitas pengajaran dan pembelajaran. Pembangunan karakter dapat
dilaksanakan dengan integrasi soft skill dalam pembelajaran. Pembelajaran dalam
pendidikan vokasi, khususnya SMK, harus dilaksanakan dengan strategi yang
inovatif dengan penyelarasan program atau bidang keahlian yang mendukung
pengembangan sektor unggulan dan kebutuhan dari dunia kerja. Kerja sama antara
SMK dengan dunia kerja secara menyeluruh mutlak harus dilakukan agar lulusan

5
SMK berdaya saing. Tidak hanya peserta didik SMK saja yang menjadi perhatian
pemerintah, peningkatan kualitas, dan kompetensi pendidik menjadi salah satu kunci
keberhasilan pendidikan SMK. Pendidik harus dibekali pula dengan kompetensi dan
soft skill agar mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Terlebih lagi dengan
perkembangan teknologi yang semakin pesat, pendidik dituntut untuk meningkatkan
kapabilitasnya dan menguasai tantangan di abad 21, anak-anak perlu dilatih dan
dibiasakan menerapkan 6C. Konsep 6C yang terdiri dari Citizenship ,Creative, Critical
thinking, Collaboration, Communication, dan Compassion.
1. Creativity
Keterampilan untuk menciptakan sesuatu yang baru atau menciptakan sesuatu
dengan cara yang baru sebagai solusi dari berbagai permasalahan yang ada.
2. Communication
Keterampilan memberikan informasi dengan jelas, singkat dan bermakna. Tujuan
dari keterampilan ini meliputi memberi informasi, memberi arahan, memotivasi
dan membujuk.
3. Critical Thinking
Proses memilah, menganalisis dan mempertanyakan informasi/konten yang
ditemukan di berbagai media dan kemudian menerapkannya kedalam bentuk
yang bernilai bagi setiap individu pendidik, tenaga kependidikan dan peserta didik.
Keterampilan ini berguna agar peserta didik lebih memahami konten yang
disajikan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari hari.
4. Collaboration
Keterampilan dalam memanfaatkan berbagai macam bakat dari beberapa individu
untuk bekerja secara sinergi sehingga dapat menciptakan hasil nilai yang lebih
besar daripada nilai dari hasil individu.
5. Character
Keterampilan yang diperlukan untuk menciptakan penerus bangsa yang memiliki
sikap bertanggung jawab dan peduli terhadap negeri.
6. Citizenship
Citizenship merupakan sikap yang perlu ditanamkan pada anak-anak agar bisa
memiliki sikap patriotisme dalam diri yang tinggi terhadap negara dan mempunyai
identitas nasionalnya. Hal ini akan membuat anak-anak menghargai negaranya
dan membela negara dengan adanya kemahiran ini. Hal ini juga akan membuat
anak-anak bisa menghargai sesama warganya sendiri.
6
Revolusi mental yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi sebagai gerakan nasional
merupakan upaya untuk mengubah cara pandang, sikap, perilaku yang berorientasi
pada kemajuan melalui internalisasi nilai-nilai esensial revolusi mental pada individu,
masyarakat, keluarga, institusi sosial, sampai dengan lembaga negara. Revolusi
mental terfokus pada 3 (tiga) nilai yang meliputi integritas, etos kerja, dan gotong
royong yang bersumber dari nilai luhur budaya bangsa. Disiplin, etos kemajuan,
etika kerja, jujur, taat hukum dan aturan, tekun, dan gigih adalah karakter dan
sikap mental yang diperlukan agar bangsa Indonesia mampu bersaing dengan
negara lain di dunia internasional. Revolusi mental dimaknai sebagai perubahan
secara cepat dari manusia biasa menjadi manusia luar biasa yang dalam konteks
pendidikan mengubah karakter peserta didik. Revolusi mental bertujuan untuk
menanamkan nilai-nilai yang penting bagi guru, tenaga kependidikan, dan kepala
sekolah sehingga mereka mampu meningkatkan kualitas karakter peserta didik. Hal
yang menjadi titik penting pada revolusi mental adalah perubahan etos yaitu
perubahan pola dan cara berpikir individu yang menjadi perilaku dan diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari (Muhtarom, 2020). Perilaku peserta didik yang
dilakukan secara terus-menerus akan menjadi sebuah karakter dari peserta didik.
Baik buruknya karakter peserta didik merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan
dari kemampuan atau kompetensi. Kompetensi ini yang nantinya akan memberikan
dampak yang signifikan pada masa depan mereka. Dengan kompetensi unggul dan
karakter yang kuat, diharapkan peserta didik dapat menjadi Pelajar Pancasila yang
cerdas berkarakter. Dalam upaya mencapai tujuan pendidikan yang mengarah pada
perwujudan Pelajar Pancasila, bangsa Indonesia masih menghadapi berbagai
tantangan di lingkungan satuan pendidikan, termasuk perundungan, intoleransi, dan
kekerasan seksual, atau tiga dosa besar pendidikan.
Indonesia sedang menghadapi darurat kekerasan seksual, terlebih lagi di lingkungan
pendidikan. kekerasan seksual yang dialami peserta didik dapat terjadi baik
dilingkungan sekolah maupun diluar lingkungan sekolah. Menurut data dari
Kemendikbudristek pada tahun 2022, 8 (delapan) peserta didik di Teluk Naga,
Kabupaten Tangerang menjadi korban dari oknum guru yang tidak bertanggung
jawab. Di tahun yang sama, oknum guru di Kota Tarakan, Kalimantan Utara harus
berhadapan dengan hukum karena melakukan pelecehan seksual terhadap 3 (tiga)
orang peserta didik. Peserta didik yang mengalami kekerasan seksual
membutuhkan dukungan terutama dari orang terdekat. Hal ini sesuai dengan
7
penelitian yang dilakukan oleh Yudi Kurniawan dan N. Noviza yang menyebutkan
bahwa terapi kelompok pendukung sangat efektif dalam meningkatkan resiliensi
pada penyintas atau korban kekerasan pada perempuan (Kurniawan & Noviza,
2018).

Indonesia merupakan negara dengan ratusan suku, bahasa, dan budaya dengan
semboyan bhineka tunggal ika memiliki tantangan dalam menjaga kerukunan antar-
warga negara. Dari berbagai macam permasalahan berbangsa dan bernegara,
Intoleransi yang mencakup suku, agama, ras dan antar golongan merupakan isu
yang sangat sensitif di tengah masyarakat kita. Berbagai macam kasus intoleransi
yang terjadi di masyarakat kita dapat menuju ke tindak pidana menjadi salah satu
pekerjaan rumah bagi seluruh masyarakat. Dalam dunia pendidikan pun tidak luput
dari kasus intoleransi. Intoleransi di dunia pendidikan ada yang bernuansa agama
seperti yang terjadi pada tahun 2022 di Samarinda dan tahun 2021 di Sumatera
Barat yang merupakan kasus penetrasi ideologi ekstrimisme berbasis kekerasan.

Permasalahan yang dialami oleh sekolah selain kekerasan seksual dan intoleransi
adalah perundungan. perundungan merupakan tindakan atau rangkaian tindakan
negatif, agresif, atau manipulatif yang dilakukan oleh satu orang atau lebih pada satu
atau beberapa orang yang biasanya dilakukan berulang kali (Sullivan et al., n.d.).
Jadi perundungan bisa dilakukan secara individual atau berkelompok dan biasanya
tidak hanya sekali. Smith mengartikan bullying sebagai tindakan agresif secara
berulang pada orang lain yang tidak dapat mempertahankan diri mereka sendiri
(Smith, 2014). Perundungan atau bullying adalah perilaku agresif seseorang atau
kelompok terhadap orang lain. Pada satuan pendidikan atau sekolah, perundungan
dapat terjadi pada peserta didik, pendidik, maupun tenaga kependidikan yang dapat
dilakukan oleh siapapun dari dalam sekolah atau luar sekolah. perundungan dapat
terjadi antara sesama peserta didik atau guru kepada peserta didik. motif
perundungan pun bermacam-macam, mulai dari saling mengejek, dendam, hingga
percintaan yang dapat berujung kepada pembunuhan. Menurut data dari
Kemendikbudristek, pada tahun 2022 terjadi kasus perundungan di daerah Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, dan NTT.

8
Selain tiga permasalahan utama yang dihadapi oleh pendidikan, SMK masih dihantui
oleh masalah yang sudah bertahun-tahun tidak kunjung selesai yaitu pengangguran.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) angka Tingkat Pengangguran
Terbuka (TPT) menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan, lulusan SMK berada
pada kategori tinggi jika dibandingkan dengan jenjang pendidikan lainnya. Menurut
data yang diterbitkan BPS, pada bulan Agustus 2021 terdapat 2.111.338
pengangguran dengan pendidikan tertinggi SMK dari total 9.102.052 atau sekitar
23,196%. Hal ini disebabkan bukan hanya karena kurangnya kompetensi utama dari
lulusan SMK, namun kurangnya karakter kerja yang dimiliki oleh lulusan SMK.

B. Kebijakan Pendidikan Karakter

Perhatian pemerintah yang serius dalam upaya penguatan pendidikan karakter bagi
peserta didik ditegaskan dalam bentuk kebijakan tentang penguatan karakter.
Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang penguatan pendidikan karakter
menjadi salah satu landasan dari terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter
Pada Satuan Pendidikan Formal. Penguatan Pendidikan Karakter (PPK)
dipertajam melalui Permendikbud tersebut menjadi gerakan pendidikan yang
menjadi tanggung jawab satuan pendidikan untuk memperkuat karakter peserta
didik melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga. PPK
merupakan program yang melibatkan kerjasama antara satuan pendidikan,
keluarga, dan masyarakat. 18 nilai utama yang ada pada PPK diwujudkan dalam 5
nilai utama yang saling berkaitan yaitu religiusitas, nasionalisme, kemandirian,
gotong royong, dan integritas yang terintegrasi dalam kurikulum.

Penyelenggaraan PPK pada satuan pendidikan atau sekolah dilaksanakan melalui


manajemen berbasis sekolah dimana program PPK merupakan kewenangan dan
tanggung jawab kepala sekolah, guru, pengawas, serta tenaga kependidikan
bersama komite sekolah sesuai dengan kebutuhan dari sekolah. Program PPK
merupakan perwujudan dari pembinaan kesiswaan. Dalam Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 39 Tahun 2008 tentang Pembinaan
Kesiswaan menyebutkan bahwa tujuan pendidikan kesiswaan adalah:

9
1. Mengembangkan potensi siswa secara optimal dan terpadu yang meliputi bakat,
minat, dan kreativitas;
2. Memantapkan kepribadian siswa untuk mewujudkan ketahanan sekolah sebagai
lingkungan pendidikan sehingga terhindar dari usaha dan pengaruh negatif dan
bertentangan dengan tujuan pendidikan;
3. Mengaktualisasikan potensi siswa dalam pencapaian prestasi unggulan sesuai
bakat dan minat;
4. Menyiapkan siswa agar menjadi warga masyarakat yang berakhlak mulia,
demokratis, menghormati hak-hak asasi manusia dalam rangka mewujudkan
masyarakat madani (civil society).

Pembinaan kesiswaan dapat dilakukan melalui kegiatan ekstrakurikuler ataupun


kegiatan kokurikuler. Materi dari kegiatan pembinaan kesiswaan meliputi:

1. Keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;


2. Budi pekerti luhur atau akhlak mulia;
3. Kepribadian unggul, wawasan kebangsaan, dan bela negara;
4. Prestasi akademik, seni, dan/atau olahraga sesuai bakat dan minat;
5. Demokrasi, hak asasi manusia, pendidikan politik, lingkungan hidup, kepekaan
dan toleransi sosial dalam konteks masyarakat plural;
6. Kreativitas, keterampilan, dan kewirausahaan;
7. Kualitas jasmani, kesehatan, dan gizi berbasis sumber gizi yang terdiversifikasi ;
8. Sastra dan budaya;
9. Teknologi informasi dan komunikasi;
10. Komunikasi dalam bahasa Inggris;

Tujuan dan materi pembinaan kesiswaan sejalan dengan program penguatan


pendidikan karakter yang menjadi kewenangan dan tanggung jawab sekolah. Oleh
karena itu, kepala satuan pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam
pelaksanaan program PPK. Kepala satuan pendidikan harus berinovasi dan
memotivasi jajaranya serta mampu berkolaborasi dengan seluruh unsur dalam
menyukseskan program. Satuan pendidikan dapat bekerjasama dengan satuan
pendidikan lain atau lembaga lain dalam pelaksanaan PPK. Kerjasama yang
dilakukan sebaiknya tertuang dalam bentuk perjanjian kerjasama. Dalam praktiknya,
penyelenggaraan PPK harus mengoptimalkan fungsi kemitraan tripusat pendidikan

10
yang meliputi sekolah, keluarga, dan masyarakat dengan menggunakan pendekatan
berbasis kelas, budaya sekolah, dan masyarakat.

Penyelenggaraan PPK dengan pendekatan berbasis kelas dapat dilakukan dengan


cara:

1. Mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam proses pembelajaran secara tematik


atau terintegrasi dalam mata pelajaran sesuai dengan isi kurikulum.
2. Merencanakan pengelolaan kelas dan metode pembelajaran/pembimbingan
sesuai dengan karakter peserta didik.
3. Melakukan evaluasi pembelajaran/pembimbingan.
4. Mengembangkan kurikulum muatan lokal sesuai dengan kebutuhan dan
karakteristik daerah, satuan pendidikan, dan peserta didik.

Dalam pelaksanaannya, kepala sekolah sebagai pengawas program dan guru


sebagai ujung tombak program harus mampu berkolaborasi dengan baik. Guru
berperan sebagai penghubung sumber belajar, pelindung dan fasilitator bagi peserta
didik, serta berfungsi sebagai katalisator dalam pelaksanaan program.

penyelenggaraan PPK dengan pendekatan berbasis budaya sekolah dapat


dilakukan dengan cara:

1. Menekankan pada pembiasaan nilai-nilai utama dalam keseharian sekolah;


2. Memberikan keteladanan antar warga sekolah;
3. Melibatkan seluruh pemangku kepentingan pendidikan di sekolah;
4. Membangun dan mematuhi norma, peraturan, dan tradisi sekolah;
5. Mengembangkan keunikan, keunggulan, dan daya saing sekolah sebagai ciri
khas sekolah;
6. Memberi ruang yang luas kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi
melalui kegiatan literasi;
7. Khusus bagi peserta didik pada satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar
atau satuan pendidikan jenjang pendidikan menengah diberikan ruang yang luas
untuk mengembangkan potensi melalui kegiatan ekstrakurikuler.

Penyelenggaraan PPK dengan pendekatan berbasis masyarakat dapat dilakukan


dengan cara:

11
1. Memperkuat peranan orang tua sebagai pemangku kepentingan utama
pendidikan dan Komite Sekolah sebagai lembaga partisipasi masyarakat yang
menjunjung tinggi prinsip gotong royong;
2. Melibatkan dan memberdayakan potensi lingkungan sebagai sumber belajar
seperti keberadaan dan dukungan pegiat seni dan budaya, tokoh masyarakat,
alumni, dunia usaha, dan dunia industri;
3. Mensinergikan implementasi PPK dengan berbagai program yang ada dalam
lingkup akademisi, pegiat pendidikan, lembaga swadaya masyarakat, dan
lembaga informasi.

Pelaksanaan PPK di sekolah melibatkan dinas pendidikan provinsi atau cabang


dinas pendidikan provinsi sebagai pengawas program agar dapat terlaksana dengan
baik. Oleh karena itu, dinas pendidikan provinsi perlu memfasilitasi kerja sama
antara satuan pendidikan dengan lembaga, menyiapkan sumber daya manusia yang
kompeten, menyediakan anggaran, serta menyosialisasikan penyelenggaraan PPK.

Program PPK sangat penting bagi lulusan SMK terutama dalam rangka memperkuat
karakter kerja dan budaya kerja yang harus dimiliki oleh lulusan SMK. Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, fungsi pendidikan menengah
kejuruan adalah:

1. meningkatkan, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai keimanan, akhlak


mulia, dan kepribadian luhur;
2. meningkatkan, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai kebangsaan dan
cinta tanah air;
3. membekali peserta didik dengan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta kecakapan kejuruan para profesi sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
4. meningkatkan kepekaan dan kemampuan mengapresiasi serta
mengekspresikan keindahan, kehalusan, dan harmoni;
5. menyalurkan bakat dan kemampuan di bidang olahraga, baik untuk
kesehatan dan kebugaran jasmani maupun prestasi; dan

12
6. meningkatkan kesiapan fisik dan mental untuk hidup mandiri di masyarakat
dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi.

Fungsi SMK untuk membekali lulusan dengan kemampuan iptek dan kompetensi
sesuai dengan program keahliannya sejalan dengan profil lulusan SMK yang ada
pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 34 Tahun 2018
tentang Standar Nasional Pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah
Aliyah Kejuruan. Profil lulusan SMK dijabarkan sebagai berikut:

1. Beriman, bertaqwa, dan berbudi pekerti luhur;


2. Memiliki sikap mental yang kuat untuk mengembangkan dirinya secara
berkelanjutan;
3. Menguasai ilmu pengetahuan teknologi dan seni serta memiliki keterampilan
sesuai dengan kebutuhan pembangunan;
4. Memiliki kemampuan produktif sesuai dengan bidang keahliannya baik untuk
bekerja atau berwirausaha; dan
5. Berkontribusi dalam pengembangan industri Indonesia yang kompetitif
menghadapi pasar global.

Dalam profil lulusan SMK, Terdapat 9 area kompetensi lulusan SMK/MAK yaitu:

1. keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa;


2. kebangsaan dan cinta tanah air;
3. karakter pribadi dan sosial;
4. literasi;
5. kesehatan jasmani dan rohani;
6. kreativitas;
7. estetika;
8. kemampuan teknis; dan
9. kewirausahaan.

Standar kompetensi lulusan SMK/MAK dirumuskan secara menyeluruh dalam satu


kemampuan utuh dengan mengintegrasikan ke dalam dimensi sikap, pengetahuan,
dan keterampilan. Untuk dimensi sikap internalisasi nilai-nilai sikap ke dalam diri
setiap peserta didik dapat dilakukan melalui strategi:
(1) pemberian keteladanan;
(2) pemberian nasehat sesuai dengan konteks materi, waktu, dan tempat;

13
(3) penguatan positif dan negatif;
(4) pembiasaan; dan
(5) pengkondisian.

Pelaksanaan PPK yang melibatkan sekolah, masyarakat, dan pemerintah bertujuan


untuk menghasilkan lulusan yang memiliki karakter-karakter baik sebagai standar
kompetensi yang harus dimiliki lulusan SMK. Peraturan Pemerintah nomor 57
Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan dan Peraturan Pemerintah
nomor 4 tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah nomor 57
tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan menyebutkan bahwa standar
kompetensi lulusan merupakan kriteria minimal tentang kesatuan sikap,
keterampilan, dan pengetahuan yang menunjukkan capaian kemampuan peserta
didik dari hasil pembelajarannya pada akhir jenjang pendidikan. Standar kompetensi
lulusan SMK difokuskan pada:

1. Persiapan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang beriman dan


bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.
2. Penanaman karakter yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
3. Keterampilan untuk meningkatkan kompetensi peserta didik agar dapat hidup
mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.

Untuk mencapai hal tersebut, Pendidik harus memenuhi standar kompetensinya.


Standar pendidik adalah kriteria minimal kompetensi dan kualifikasi yang perlu
dimiliki pendidik untuk melaksanakan tugas dan fungsinya. Tugas dan fungsinya
antara lain sebagai teladan, perancang pembelajaran, fasilitator dan motivator
peserta didik. Kompetensi pendidik meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mengatur


bahwa guru SMK/MAK harus memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, dan
sertifikat pendidik. Kualifikasi akademik guru merupakan tingkat pendidikan minimal
yang harus dipenuhi yang dibuktikan dengan ijazah. Kompetensi guru pada
umumnya mencakup 4 (empat) kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik,
kepribadian, sosial, dan profesional yang dibuktikan dengan sertifikat pendidik.

14
Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan guru terkait perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran serta pemahaman tentang perkembangan
peserta didik. Kompetensi profesional adalah kemampuan tensi keahlian di bidang
kejuruan yang tergolong sebagai kompetensi profesional dibuktikan dengan sertifikat
keahlian yang relevan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kompetensi kepribadian adalah kemampuan guru yang sekurang-kurangnya


mencakup kepribadian yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, arif dan
bijaksana, demokratis, mantap, berwibawa, stabil, dewasa, jujur, sportif, menjadi
teladan bagi peserta didik dan masyarakat, secara obyektif mengevaluasi kinerja
sendiri, dan mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.

Kompetensi sosial adalah kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat yang
sekurang-kurangnya meliputi kompetensi untuk berkomunikasi lisan, tulis, dan/atau
isyarat secara santun, menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara
fungsional, bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga
kependidikan, pimpinan satuan pendidikan, orang tua atau wali peserta didik,
bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar dengan mengindahkan norma
serta sistem nilai yang berlaku, dan menerapkan prinsip persaudaraan sejati dan
semangat kebersamaan.

C. Program Penguatan Karakter Sekolah Menengah Kejuruan

Pendidikan karakter terus dipertahankan sebagai salah satu prioritas pendidikan di


Indonesia sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2020–2024.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendukung Visi
dan Misi Presiden untuk mewujudkan Indonesia Maju yang
berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya
Pelajar Pancasila yang bernalar kritis, kreatif, mandiri, beriman,
bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, bergotong
royong, dan berkebinekaan global.
Dalam pendidikan karakter ada 4 (empat) aspek filosofi pendidikan yang harus
ditanamkan yaitu olah hati, olah raga, olah karsa, dan olah pikir. Dalam

15
pembentukan karakter-karakter baik, ada lima nilai utama yang menjadi fokus yaitu
religiusitas, integritas, nasionalisme, gotong royong, dan kemandirian. Penguatan
pendidikan karakter dilaksanakan melalui pendekatan guru dan siswa secara
langsung melalui kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler. Visi
kemendikbud kemudian diperkuat dengan misi dalam rangka mendukung visi dan
misi presiden yaitu:
1. mewujudkan pendidikan yang relevan dan berkualitas tinggi, merata dan
berkelanjutan, didukung oleh infrastruktur dan teknologi.
2. mewujudkan pelestarian dan pemajuan kebudayaan serta pengembangan
bahasa dan sastra.
3. mengoptimalkan peran serta seluruh pemangku kepentingan untuk mendukung
transformasi dan reformasi pengelolaan pendidikan dan kebudayaan.

Berdasarkan visi dan misi presiden tahun 2020 – 2024, kemendikbud berkomitmen
menciptakan pelajar pancasila. Pelajar pancasila adalah perwujudan dari pelajar
sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan
nilai-nilai pancasila. Pelajar pancasila memiliki 6 ciri yaitu beriman, bertakwa kepada
Tuhan YME, dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri,
bernalar kritis, dan kreatif.

16
6 Ciri pelajar pancasila dijabarkan sebagai berikut:
1. Beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia.
Memahami ajaran agama dan kepercayaannya serta menerapkan pemahaman
tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Ada lima elemen kunci yaitu: akhlak
beragama, akhlak pribadi, akhlak kepada manusia, akhlak kepada alam, dan
akhlak bernegara
2. Berkebhinekaan Global
Mempertahankan budaya luhur, lokalitas, dan identitas dengan tetap berpikiran
terbuka dalam berinteraksi dengan budaya lain sehingga menumbuhkan rasa
saling menghargai dan terbentuk budaya baru yang positif dan tidak
bertentangan dengan budaya luhur bangsa.
3. Bergotong Royong
Memiliki kemampuan bergotong-royong dengan melakukan kegiatan secara
bersama-sama dengan sukarela agar kegiatan yang dikerjakan dapat berjalan

17
dengan lancar. Kunci dari gotong-royong adalah kolaborasi, kepedulian dan
saling berbagi.
4. Mandiri
Bertanggung jawab atas proses dan hasil belajarnya. Kunci dari mandiri adalah
kesadaran diri dan situasi yang dihadapi serta regulasi diri
5. Bernalar Kritis
Mampu secara objektif memroses informasi, membangun keterkaitan antara
berbagai informasi, menganalisis informasi, mengevaluasi dan menyimpulkan.
6. Kreatif
Mampu memodifikasi dan menghasilkan sesuatu yang orisinal, bermakna,
bermanfaat, dan berdampak.

Sejak tahun 2016 sampai dengan 2021, Direktorat SMK telah berupaya membuat
dan menjalankan program-program penguatan karakter. Berikut ringkasan program
penguatan karakter yang telah dilaksanakan sebelumnya

2016

Mengacu kepada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 tahun 2015


tentang Penumbuhan Budi Pekerti, Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah
Kejuruan Merespon dengan membuat Pedoman Penumbuhan Budi Pekerti.
Pedoman ini menegaskan bahwa penumbuhan budi pekerti yang ada di sekolah
dilaksanakan dengan membuat sekolah menjadi tempat yang nyaman dan inspiratif
bagi siswa, guru, tenaga pendidikan, serta warga sekolah lainnya. Pendidikan
karakter menjadi gerakan bersama dalam pembiasaan sikap dan perilaku positif
yang menjadi cerminan nilai-nilai pancasila. Panduan penumbuhan budi pekerti
dilengkapi dengan panduan penumbuhan budi pekerti untuk Guru, Siswa, dan Orang
Tua.

2017

Pedoman budi pekerti yang telah dibuat tahun 2016 disosialisasikan kepada 34
dinas pendidikan provinsi dan ketua MKKS provinsi. Sosialisasi ini bertujuan agar
Dinas Pendidikan Provinsi dan SMK yang berada dibawah naungannya dapat
memahami penerapan budi pekerti disekolah. Dalam pelaksanaan sosialisasi,

18
seluruh peserta melakukan simulasi dalam merancang rencana program
penumbuhan budi pekerti.

program lain pada tahun 2016 terkait karakter adalah pelaksanaan penumbuhan
karakter pada peserta didik SMK dari 34 provinsi yang di wakili oleh pengurus OSIS.
Pada kegiatan ini, peserta didik diberikan materi, penguatan, dan praktik baik
karakter.

2018

Program penguatan karakter yang telah dilaksanakan pada tahun sebelumnya perlu
ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitas. Perluasan program dilakukan dengan
cara memberikan bantuan pelaksanaan penguatan karakter kepada SMK. Di dalam
program tersebut, sekolah dapat membuat berbagai macam kegiatan terkait
penguatan karakter yang melibatkan peserta didik baik oleh sekolah penerima
bantuan ataupun sekolah lain yang ada disekitar penerima bantuan. Bantuan ini
memperbanyak jumlah sasaran peserta didik yang menerima manfaat dari program
penguatan karakter.

Selain bantuan kepada SMK untuk melakukan kegiatan penguatan karakter,


Direktorat SMK melakukan kegiatan pembinaan karakter kepada peserta didik dalam
bentuk Kemah Penguatan Karakter (KEPAK). Peserta KEPAK terdiri dari perwakilan
OSIS, Ekskul Keagamaan, Pramuka, dan siswa berprestasi. Hasil yang diharapkan
dari kegiatan ini adalah penguatan karakter kepada peserta didik dan peserta
KEPAK dapat menularkan karakter-karakter baik kepada teman-teman di
sekolahnya.

2019

Mengacu kepada Permendibud nomor 21 tentang Gerakanan Pembudayaan


Karakter disekolah dan Permendikbud nomor 20 tahun 2018 tentang Penguatan
Pendidikan Karakter, Direktorat Pembinaan SMK pada tahun 2019 menyusun
beberapa naskah kajian sebagai acuan dalam penguatan pendidikan karakter di
sekolah. Ada 7 (tujuh) naskah kajian yang dihasilkan oleh Direktorat Pembinaan
SMK yaitu:

1. Peningkatan Pendidikan Karakter Kerja

19
2. Pengembangan Bakat dan Minat

3. Membangun Tim Sekolah

4. Pembinaan Kedisiplinan

5. Pembinaan Kerohanian

6. Pembinaan Ketarunaan

7. Pembentukan Karakter Kerja

Tujuh buku yang telah diluncurkan oleh direktorat Pembinaan SMK ini
disebarluaskan kepada seluruh SMK di Indonesia dengan harapan menjadi acuan
dalam penguatan karakter peserta didik.

2020

Strategi pelaksanaan penguatan karakter pada tahun 2020 dilakukan dengan 2 cara
yaitu bantuan penguatan karakter melalui budaya kerja industri dan pelatihan untuk
pelatih (Training of Trainer – ToT) untuk guru sekolah. Program penguatan kerja
melalui budaya kerja industri disinkronkan dengan program utama Direktorat SMK
yaitu SMK Center of Excellence (CoE). Guru yang mendapatkan ToT merupakan
guru dari sekolah yang mendapatkan bantuan budaya kerja industri dan guru yang
berasal dari SMK CoE. Kegiatan ToT dilaksanakan secara daring dengan instruktur
nasional dari berbagai institusi seperti Forum Pengarah Vokasi, Dunia Kerja,
TNI/POLRI, BBPPMPV, dan praktisi pendidikan. Guru yang telah mendapatkan
pelatihan berkewajiban akan mengimplementasikan penguatan karakter dan budaya
kerja di sekolahnya dan mengimbas di SMK sekitarnya.

2021

Program penguatan karakter bertransformasi menjadi profil pelajar pancasila,


dimana program ini terintegrasi dalam kurikulum sekolah di seluruh jenjang
pendidikan dengan nama Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). program
ini diutamakan bagi sekolah penggerak pada jenjang SD, SMP, dan SMA. Pada
jenjang SMK, terdapat kekhususan dimana lulusan SMK diharapkan memiliki
budaya kerja sesuai dengan apa yang diharapkan dunia kerja sehingga programnya

20
menjadi Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dan Budaya Kerja (P5BK). Oleh
karena ini Direktorat SMK menyusun 4 buah modul yaitu modul budaya kerja
semester 1, modul budaya kerja semester 2, modul kebekerjaan semester 1, dan
modul kebekerjaan semester 2.

Selain menyusun modul, direktorat SMK melaksanakan sosialisasi dan ToT bagi
guru sekolah yang menerima bantuan SMK Pusat Keunggulan (SMK-PK).
Sosialisasi dilakukan dengan metode hybrid, dimana sebagian peserta datang ke
lokasi ToT dan sebagian peserta lainnya melalui daring.

21
BAB II
TANTANGAN PENDIDIKAN DI SMK

Bab ini membahas tantangan besar dalam sistem pendidikan Indonesia yang
mencakup tiga dosa besar pendidikan dalam ruang lingkup satuan pendidikan
SMK. Penyelesaian permasalahan tiga dosa besar pendidikan adalah program
yang sedang dilakukan oleh Pusat Penguatan Karakter (PUSPEKA), Kementerian
Pendidikan Riset dan Teknologi. Program ini diwacanakan oleh Menteri
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sebagai bentuk penekanan
terhadap keseriusan kementerian dalam memberantas problematika dalam
institusi pendidikan. Ruang lingkup yang akan dibahas dalam bab ini yaitu ruang
lingkup SMK.

Tiga dosa besar pendidikan terjadi pada ranah personal pada peserta didik yang
dapat menimbulkan trauma hingga kesenjangan di sekolah. Hal ini juga yang
dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental seseorang (Grace Skrzypiec,
Phillip T. Slee, Helen Askell-Williams, Michael J. Lawson, 2012). Walaupun
tindakan tersebut juga marak terjadi di luar sekolah, sebagai institusi pendidikan
yang menjunjung tinggi kesetaraan bagi setiap peserta didiknya, dibutuhkan
intervensi khusus untuk menanggulangi tiga dosa besar ini. Tiga dosa besar
pendidikan tersebut adalah perundungan, intoleransi, dan kekerasan seksual
yang akan dibahas satu-persatu.

A. Perundungan (Bullying)

Berdasarkan data yang diterima pada rentang tahun 2016-2021 oleh Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) setidaknya ada 100 orang lebih yang
melapor sebagai korban perundungan baik terjadi di sekolah maupun terjadi
secara daring (cyber bullying) (KPAI, 2020). Dalam tabel yang sama, ditemukan
data pelaku perundungan jumlahnya ternyata lebih banyak dibanding jumlah data
korban. Berdasarkan data yang diterima oleh Pusat Penguatan Karakter
Kemendikbudristek menyatakan bahwa KPAI menemukan anak mengalami
bullying di lingkungan sekolah sebesar 87.6%: 29.9% bullying dilakukan oleh
guru, 70.1% dilakukan oleh teman sekelas dan teman dari kelas lain. Berdasarkan

22
data di atas, dapat disimpulkan bahwa perundungan itu sendiri sebenarnya sudah
marak terjadi baik secara daring ataupun secara langsung. Pada SMK sendiri,
belum ada data yang menunjukan jumlah perundungan secara sistematis. Namun
jika kasus tersebut dicari pada mesin pencarian google, tidak sedikit media yang
memberitakan kasus perundungan yang terjadi di SMK.
Perundungan termasuk sebagai masalah psikososial dengan menghina dan
merendahkan orang lain secara berulang-ulang dengan dampak negatif terhadap
pelaku dan korban di mana pelaku mempunyai kekuatan yang lebih dibandingkan
korban. Perbedaan kekuatan (power) ini tidak hanya berlaku pada antar-peserta
didik namun juga bisa terjadi pada guru-peserta didik. Terlepas dari hubungan
individu antara pelaku dan korban, perundungan itu sendiri harus dilihat dari
aspek sosial yang melatarbelakangi fenomena tersebut. Iklim sosial sering
menjadi indikator beberapa fenomena yang muncul di masyarakat. Termasuk
perundungan, korban kerap mengalami kekerasan karena dianggap di luar
lingkaran sosial pelaku (Kusumasari Kartika H. D., D.K.K, 2019).

Dalam narasi lain, disebutkan bahwa perundungan merupakan perilaku agresif


yang dilakukan secara berulang-ulang dan terus menerus, terdapat kekuatan
yang tidak seimbang antara pelaku dan korbannya, serta bertujuan untuk
menyakiti dan menimbulkan rasa tertekan bagi korbannya (Astuti, 2008). Ada
beberapa kata kunci dalam kedua narasi ini untuk bisa mendefinisikan
perundungan. Pertama perbedaan kekuatan yang lebih dominan dalam hal ini
adalah pada lingkaran sosial, jumlah, kekuatan fisik, status, dsb. dan yang kedua
adalah ‘berulang-ulang’ dengan tujuan untuk memberikan dampak negatif.

Bullying menurut Schott (2014), bisa didefinisikan berdasarkan tiga pendekatan


konseptualnya, yaitu:

1. Bullying sebagai bentuk agresi individu.


Definisi pertama bullying sebagai bentuk agresi individu dirumuskan oleh Olweus.
Olweus (1993) mendefinisikan bullying sebagai bentuk perilaku intimidasi atau
viktimisasi dengan cara umum berikut: Seorang siswa diintimidasi atau menjadi
korban ketika dia terpapar, secara berulang dan dari waktu ke waktu, tindakan
negatif dari satu atau lebih siswa lain. Sebuah tindakan disebut sebagai tindakan
negatif bila sengaja dilakukan untuk menimbulkan atau mencoba menimbulkan

23
cedera atau ketidaknyamanan pada murid lain. Olweus menekankan bahwa
tindakan negatif ini adalah bentuk 'merugikan' yang sengaja dilakukan dan bahwa
bullying adalah bagian dari perilaku agresif.

Tindakan negatif ini dapat dilakukan lewat kata-kata yang diucapkan oleh satu
murid (verbal), seperti mengancam, mengejek, menggoda, dan memanggil murid
lain dengan panggilan yang tidak menyenangkan. Tindakan negatif juga dapat
berbentuk sebuah kontak fisik seperti memukul, mendorong, menendang,
mencubit, melempar dengan barang, atau menyiksa. Namun tindakan negatif juga
dapat berbentuk sebuah perilaku bullying yang tidak menggunakan kata-kata atau
kontak fisik, namun dengan mengejek orang lain dengan menirukan mimik atau
ekspresi wajah yang mengejek, dengan sengaja mengeluarkan seseorang dari
suatu kelompok belajar atau bermain secara sepihak, atau menolak untuk
memenuhi keinginan orang lain untuk tanpa alasan.

Namun meskipun Olweus menekankan kata-kata 'secara berulang dan dari waktu
ke waktu' dalam definisi perilaku bullying. Olweus juga mengatakan bahwa dalam
kondisi tertentu jika sebuah kasus kekerasan atau tindakan negatif, yang terjadi
baru satu kali namun cukup parah, juga dapat dianggap sebagai perilaku bullying.

Olweus juga menggarisbawahi bahwa bullying biasanya terjadi dalam hubungan


kekuatan yang asimetris atau tidak sama. Perbedaan kekuatan mungkin memang
ada atau hanya dirasakan oleh anggota kelompok, perbedaan kekuatan ini dapat
merujuk pada perbedaan kemampuan fisik atau mental, perbedaan tingkat kelas
di sekolah, atau bisa juga merujuk pada perbedaan jumlah anggota, seperti
beberapa murid yang mengeroyok atau melakukan tindakan bullying pada satu
murid lainnya.

Olweus juga menggambarkan pelaku tindakan bullying sebagai individu yang


agresif, impulsif, memiliki kebutuhan untuk mendominasi, memiliki kecenderungan
untuk melakukan kekerasan dan memiliki sangat sedikit empati terhadap
korbannya. Ia juga menambahkan bahwa tindakan bullying juga dapat menjadi
sebuah fenomena kelompok. Ketika terdapat murid yang menjadi pengamat netral
menyaksikan sebuah tindakan bullying, yang biasanya terjadi adalah kemampuan
mereka untuk melawan kecenderungan agresif akan melemah.

24
Secara keseluruhan, Olweus menjelaskan bahwa bullying merupakan sebuah
tindakan negatif yang terjadi secara berulang kali dan terus menerus, dilakukan
oleh pelaku dengan kecenderungan bertindak agresif, dan memiliki dinamika
hubungan antara dua tipe individu, agresor dan korban.

2. Bullying sebagai kekerasan sosial.


Menurut Schott (2014), bullying merupakan ekspresi kekuasaan yang ada pada
individu karena memiliki sebuah otoritas dalam tingkatan sosial, misalnya gender
atau otoritas birokrasi, yang berbentuk sebuah tindakan kekerasan.

Pendekatan yang mengungkapkan bahwa bullying merupakan kekerasan sosial


menjelaskan bahwa tindakan bullying tidak hanya bermula dari situasi di kelas
namun juga dinamika yang terjadi di luar kelas atau sekolah. Bullying sering
dianggap sebagai bagian dari kekerasan yang terjadi di masyarakat atau
kekerasan sosial. Bullying juga dilihat sebagai cerminan kekerasan di masyarakat
pada umumnya, dan mereka tidak fokus pada agresi individu yang biasanya
berakar dalam keluarga. Pendekatan bullying sebagai kekerasan sosial ini juga
melihat penyebab sosial dari terjadinya bullying, termasuk faktor sosial ekonomi
dan media.

Contohnya seperti yang terjadi di negara-negara berkembang di Amerika Latin,


Asia dan Afrika yang menghubungkan bullying dan kekerasan di sekolah dengan
kondisi ekonomi, budaya dan politik di wilayah mereka, termasuk kemiskinan,
pengangguran, kekurangan gizi, marginalisasi sosial, lingkungan yang padat dan,
dalam beberapa kasus, kekerasan etnis dan kondisi pasca perang saudara
(Schott, 2014).

3. Bullying sebagai bentuk dinamika kelompok yang disfungsional.


Dalam sebuah tindakan bullying, tidak hanya peran pelaku dan korban yang
merupakan elemen penting di dalam proses terjadinya, tetapi juga peran "orang
lain". Salmivalli (1996) mengatakan bahwa bullying sering terjadi di dalam situasi
kelompok, di mana beberapa anggota dalam kelompok tersebut ikut serta dalam
tindakan bullying, bahkan mereka yang tidak ikut serta secara langsung pun
biasanya menyadari apa yang sedang terjadi. Hal ini karena tindakan bullying

25
biasanya terjadi terjadi berulang kali, dan selama periode waktu tertentu. Bahkan
bila mayoritas murid-murid di kelas tidak berpartisipasi secara langsung dalam
tindakan bullying, mereka pasti melakukan sesuatu yang memungkinkan
terjadinya dan kelanjutan sebuah tindakan bullying, atau mereka tidak melakukan
apapun untuk memastikan tindakan tersebut berhenti. Bila terdapat tindakan
bullying di dalam kelas, diasumsikan bahwa semua murid di kelas entah
bagaimana pasti terlibat, atau setidaknya menyadari, terjadinya bullying, bahkan
jika mereka tidak secara langsung menyerang korban.

Di awal sudah disebutkan bahwa kita harus menarik kembali hubungan personal
antar korban-pelaku dan memandang ini sebagai sebuah fenomena sosial yang
terjadi di sekolah. fenomena sosial itu sendiri bermakna bahwa perundungan ini
sebenarnya memiliki beberapa aspek sosial yang bisa ditelusuri lebih jauh.
Perundungan ini sendiri sudah bermakna negatif karena sudah bertentangan
dengan nilai dan norma. Perundungan ini juga bisa mengakibatkan disintegrasi
serta kegelisahan. Maka, bisa disebutkan bahwa fenomena perundungan ini
termasuk sebagai masalah sosial.

Sebagai sebuah fenomena sosial, ada beberapa aspek yang bisa dilihat pada
fenomena perundungan ini. Aspek yang akan dibahas adalah aspek pemeran,
media, serta dampak dari perundungan itu sendiri. Aspek ini merupakan
pengetahuan yang bersifat definitif agar makna dari perundungan itu sendiri bisa
diketahui secara komprehensif.

Jika dilihat dari aspek peran, mata kita akan selalu tertuju pada pelaku
perundungan yang mempunyai kekuatan (power) yang lebih tinggi dari korban
perundungan. Sebagai sebuah konflik personal antar-individu, sebenarnya ada
individu lain yang ada dalam ruang lingkup tersebut. Individu ini biasanya memiliki
beberapa kecenderungan yaitu: membantu pelaku, meredamkan pelaku, atau
sekadar menonton aksi pelaku merundung korban. Individu ini disebut sebagai
bystander (Palmer, 2018). Saat fenomena perundungan terjadi dimana korban
sudah tidak bisa berkutik pada pelaku yang memiliki kekuatan (power) yang lebih,
bystander ini memiliki peran penting terhadap keberlangsungan perundungan
yang sedang terjadi.

26
Bystander, atau orang yang menyaksikan perundungan, memiliki beberapa
pilihan. Pertama menghentikan perundungan, kedua membiarkan perundungan
terjadi lalu yang ketiga ikut merundung korban bersama perundung dan menjadi
pelaku perundungan. Peluang dari perundungan bisa berhenti sebelum menjadi
lebih parah sebenarnya lebih kecil yaitu 1:3 dan yang menjadi kunci terhadap
berhentinya aksi perundungan ini adalah bystander itu sendiri. Oleh karena itu,
dalam proses pencegahan dan penanggulangan, bystander menjadi subjek yang
harus diperhatikan selain dari korban dan pelaku perundungan itu sendiri.

Banyak kasus yang terjadi di sekolah adalah perundungan secara langsung


dimana pelaku dan korban bahkan bystander berada dalam satu ruang dan waktu
yang sama atau dalam hal ini disebut sebagai traditional bullying. Beberapa
sumber menyebutkan bahwa definisi traditional bullying seringkali tumpang tindih
dengan definisi bullying pada umumnya. Definisi bullying yang diajukan
merupakan tindakan yang terjadi secara langsung yang mana definisi tersebut
juga merupakan definisi traditional bullying. traditional bullying ini meliputi
perundungan verbal (melalui kata-kata), perundungan relasional atau sosial
(memutus hubungan sosial atau merusak reputasi seseorang) dan perundungan
fisik (menyakiti korban secara fisik).

Di zaman yang berkembang ini, definisi “agresif yang merendahkan” serta


“berulang-ulang” bukan hanya yang terjadi secara langsung namun juga secara
daring. Perilaku tersebut banyak ditemukan terjadi di media sosial menggunakan
teknologi aplikasi pesan digital yang mengarah pada perundungan. Hal tersebut
disebut sebagai cyberbullying. Ada beberapa persamaan dan perbedaan antara
traditional bullying dan cyberbullying. Persamaan yang menonjol di antara
keduanya adalah mereka sama-sama tindakan bullying atau perundungan yaitu
tindakan agresif yang terjadi berulang-ulang. Tindakan ini juga sama-sama
memiliki dampak negatif bagi korban. Namun yang membedakan pada tindakan
traditional bullying dan cyberbullying adalah medianya. Traditional bullying terjadi
dimana korban dan pelaku bertemu di dunia nyata sementara cyber bullying
terjadi di dunia maya. Hal ini menjadi poros penting dimana jika traditional bullying
pelaku dan korban dapat diidentifikasi dengan mudah, pada kasus cyberbullying

27
pelaku kebanyakan bersembunyi dalam akun-akun anonim untuk melayangkan
agresinya (Kusumasari Kartika H. D., D.K.K, 2019).

Setelah mengetahui aspek peran dan media dalam perundungan, pencegahan


dan penyelesaian tindakan perundungan sendiri bisa dilakukan dengan adanya
intervensi dari sekolah. menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan dan
memberikan pemahaman terhadap perundungan merupakan salah satu langkah
awal agar peserta didik tidak melakukan praktik perundungan itu sendiri.
Pemahaman ini bukan hanya berlaku bagi peserta didik tapi juga pendidik atau
guru dan tenaga kependidikan mengingat perundungan bukan hanya terjadi oleh
peserta didik namun juga guru dan tenaga kependidikan.

B. Kekerasan Seksual
1. Data Kekerasan Seksual

Menteri PPPA mengatakan data kekerasan seksual terhadap perempuan dan


anak masih sangat memprihatinkan. Survei Pengalaman Hidup Perempuan
Nasional (SPHPN) Tahun 2021, menunjukkan prevalensi kekerasan seksual
terhadap perempuan usia 15-64 tahun oleh selain pasangan selama setahun
terakhir, naik dari 4,7 persen menjadi 5,2%. Adapun Survei Nasional Pengalaman
Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2021 menunjukkan data kekerasan seksual
dalam bentuk apapun baik kontak maupun non kontak anak usia 13-17 yang
dibagi dalam gender dan lingkungan adalah sebagai berikut.

No Korban Besaran Korban

1. Perempuan di perkotaan 8 dari 100 orang (8%)

2. Perempuan di pedesaan 8 dari 100 orang (8%)

3. Laki-laki di perkotaan 4 dari 100 orang (4%)

4. Laki-laki di pedesaan 3 dari 100 orang (4%)

sumber: Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja tahun 2021, KemenPPPA.

Berdasarkan data yang diterima oleh Pusat Penguatan Karakter, Kementerian


Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Kekerasan Seksual adalah bentuk

28
kekerasan yang paling sering terjadi di lingkungan institusi pendidikan. Sebanyak
15% dari kasus tersebut terjadi di SMA/SMK.

2. Konsep Kekerasan Seksual

Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan


Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi mendefinisikan
kekerasan seksual sebagai “setiap perbuatan merendahkan, menghina,
melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang,
karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat
berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu
kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan
pendidikan tinggi dengan aman dan optimal”. McDonald dalam J.C. Quick
menekankan pada kalimat perilaku yang tidak diinginkan dan tidak disambut
(unwelcome) yang memiliki efek mengintimidasi, merendahkan, melecehkan atau
menyinggung (Quick, 2017). Dari kedua definisi tersebut sudah jelas bahwa
kekerasan seksual adalah tindakan yang tidak diinginkan korban yang bersifat
melecehkan tubuh/reproduksi korban hingga berakibat negatif pada korban itu
sendiri. Eva Witkowska mendefinisikan kekerasan seksual sebagai perilaku
seksual yang tidak pantas dan tidak dapat diterima berdasarkan jenis kelamin
yang mengganggu hak peserta didik untuk mendapatkan lingkungan belajar yang
suportif, aman dan saling menghormati di sekolah (Witkowska, 2005).

Sama seperti perundungan, kekerasan seksual juga rentan terjadi karena adanya
ketimpangan kekuatan (power) dan relasi kuasa antara korban dan pelaku.
Jabatan dan/atau status sosial pelaku biasanya lebih tinggi dari korban sehingga
menimbulkan relasi kuasa. Relasi kuasa adalah hubungan yang terbentuk antar
aktor yang memiliki suatu kepentingan dengan tingkat kekuasaan yang berbeda.
Relasi kuasa ini pun bisa terjadi di sekolah, contohnya: guru-peserta didik, kepala
sekolah-guru, kepala sekolah-peserta didik, tenaga kependidikan-peserta didik
atau bahkan peserta didik laki-laki-peserta didik perempuan.

Kekerasan seksual ini walau banyak terjadi pada perempuan, tidak sedikit
sebenarnya kasus kekerasan seksual yang terjadi pada laki-laki. Budaya “toxic
masculinity” membuat laki-laki harus kuat menghadapi pelecehan dengan dalih

29
“bercanda” padahal kekerasan seksual itu bisa menyerang siapa saja tanpa
melihat gender korban dan pelaku. Hal ini berarti laki-laki bisa melecehkan laki-
laki dan perempuan pun bisa melecehkan laki-laki. Selama korban tidak
menyetujui atau tidak konsen atas perbuatan pelecehan tersebut, maka itu
termasuk dalam kekerasan seksual.

Sama seperti perundungan, beberapa praktik kekerasan seksual memungkinkan


adanya bystander, atau orang yang menyaksikan kejadian. Hal ini disebabkan
kekerasan seksual dapat berwujud seolah-olah bercandaan dan ini sering
dianggap biasa oleh masyarakat. Menyampaikan ucapan yang memuat rayuan,
lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada Korban adalah definisi
singkat dari istilah “cat-calling” dan ini merupakan sebuah kekerasan seksual
yang membuat beberapa korban dari cat-calling ini resah dan merasa tidak aman.
Dari tindakan yang dianggap sebagai kekerasan seksual, cat-calling ini adalah
perbuatan yang sangat memungkinkan terjadi di lingkungan umum dan sangat
memungkinkan ada orang lain yang menjadi saksi tindakan tersebut (bystander).
Oleh karena itu pemahaman akan kejadian ini harus diketahui oleh banyak orang
agar ketika suatu saat nanti menjadi bystander, mereka harus tahu apa yang
mereka harus lakukan.

3. Kebijakan Pemerintah dalam Mengatasi Kekerasan Seksual

Dalam Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015, dijelaskan perbuatan yang


dianggap sebagai kekerasan secara umum meliputi:

a. pelecehan merupakan tindakan kekerasan secara fisik, psikis atau daring;


b. perundungan merupakan tindakan mengganggu, mengusik terus-menerus,
atau menyusahkan;
c. penganiayaan merupakan tindakan yang sewenang- wenang seperti
penyiksaan dan penindasan;
d. perkelahian merupakan tindakan dengan disertai adu kata-kata atau adu
tenaga;
e. perpeloncoan merupakan tindakan pengenalan dan penghayatan situasi
lingkungan baru dengan mengendapkan (mengikis) tata pikiran yang dimiliki
sebelumnya;
f. pemerasan merupakan tindakan, perihal, cara, perbuatan memeras;

30
g. pencabulan merupakan tindakan, proses, cara, perbuatan keji dan kotor, tidak
senonoh, melanggar kesopanan dan kesusilaan;
h. pemerkosaan merupakan tindakan, proses, perbuatan, cara menundukkan
dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, dan/atau menggagahi;
i. tindak kekerasan atas dasar diskriminasi terhadap suku, agama, ras,
dan/atau antargolongan (SARA) merupakan segala bentuk pembedaan,
pengecualian, pembatasan,atau pemilihan berdasarkan pada SARA yang
mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau
pelaksanaan atas hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu
kesetaraan;
j. tindak kekerasan lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan.

pada poin A, G dan H sudah cukup jelas bahwa kekerasan yang dimaksud adalah
kekerasan seksual. Di tahun 2022 ini, kekerasan seksual sudah menjadi tindakan
pidana yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang
Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Beberapa yang dimaksud sebagai kekerasan
seksual menurut undang-undang tersebut adalah:

a. pelecehan seksual nonfisik;


b. pelecehan seksual fisik;
c. pemaksaan kontrasepsi;
d. pemaksaan sterilisasi;
e. pemaksaan perkawinan;
f. penyiksaan seksual;
g. eksploitasi seksual;
h. perbudakan seksual; dan
i. kekerasan seksual berbasis elektronik.

selain tindakan tersebut, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 juga


menyebutkan bentuk lain dari kekerasan seksual adalah sebagai berikut:

a. perkosaan;
b. perbuatan cabul;

31
c. persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan/ atau
eksploitasi seksual terhadap Anak;
d. perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak
Korban;
e. pornografi yang melibatkan Anak atau pornografi yang secara eksplisit
memuat kekerasan dan eksploitasi seksual;
f. pemaksaan pelacuran;
g. tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual;
h. kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga;
i. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan Tindak
Pidana Kekerasan Seksual; dan
j. tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana
Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
C. Intoleransi

Toleransi adalah suatu sikap saling menghormati dan menghargai antar kelompok
atau antar individu, sedangkan intoleran sebagai bentuk negasi dari toleransi
adalah tidak adanya suatu sikap tenggang rasa serta saling menghormati dan
menghargai antar kelompok maupun antar individu.
Tindakan toleransi merupakan proses pembelajaran untuk dapat menerima
adanya perbedaan atau keragaman. Tidak hanya sekedar menerima, namun juga
untuk dapat menghormati berbagai macam perbedaan yang ada. Indonesia
merupakan negara yang memiliki keanekaragaman latar belakang agama,
budaya, suku, ras masyarakatnya. Semboyan “Bhineka Tunggal Ika” merupakan
semboyan negara Republik Indonesia yang mengandung arti walaupun berbeda-
beda tetap satu. Adanya semboyan ini memiliki ekspektasi tinggi terhadap
persatuan bangsa di tengah-tengah perbedaan yang ada di masyarakatnya.
Tindakan yang tidak mencerminkan adanya toleransi disebut dengan Intoleransi.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia intoleransi adalah paham atau
pandangan yang mengabaikan seluruh nilai-nilai dalam toleransi. Intoleran artinya
tidak tenggang rasa atau tidak toleran.
Penanaman nilai-nilai toleransi dirasa sangat penting khususnya melalui proses
pendidikan. Namun apabila pendidikan hanya menekankan pada transfer of

32
knowledge, maka pendidikan dianggap kurang memberi makna efek positif bagi
peserta didik. Pendidikan kurang menyentuh sisi humanisme yang pada akhirnya
mengembangkan sikap pluralisme sebagai fondasi pemikiran multikulturalisme
(Suyatno, 2013).

Intoleransi didalam pendidikan tidak terlepas dari intoleransi yang terjadi di


masyarakat. Intoleransi merupakan lawan kata dari toleransi. Toleransi
merupakan istilah serapan dari bahasa inggris “Toleration” yang artinya kesediaan
untuk menerima atau kesediaan untuk menerima perbedaan. Michael Walzer
memberikan tingkatan terhadap toleransi (Simarmata, Sunaryo, Susanto,
Fachrurozi, & Purnama, 2017). Toleransi tingkat pertama adalah penerimaan
secara pasif terhadap perbedaan yang bertujuan untuk menjaga perdamaian.
Toleransi tingkat kedua adalah ketidakpedulian yang rendah atau lunak pada
perbedaan. Toleransi tingkat ketiga adalah pengakuan terhadap suatu hal yang
berbeda. Tingkatan terakhir adalah toleransi tingkat keempat yaitu mengakui
adanya perbedaan dan bersikap terbuka pada yang lain.
Pada masyarakat Indonesia, intoleransi paling sering muncul karena disebabkan
oleh sentimen agama, perbedaan pandangan politik, hingga fanatisme golongan
dan sekularisme (Wahyu & Sa'id, 2020). Dunia pendidikan pun tidak luput dari
praktik intoleransi, intoleransi dalam pendidikan bersumber pada perbedaan
agama atau perbedaan suku. Padahal semangat bernegara kita bersumber dari
Bhineka Tunggal Ika, dimana perbedaan justru menjadi kekuatan bangsa
Indonesia. namun hal yang sebaliknya justru terjadi dimana perbedaan menjadi
cikal bakal intoleransi. Intoleransi ini dapat memacu perundungan yang terjadi di
sekolah yang berimbas pada munculnya tindak kekerasan di sekolah. Intoleransi
sendiri bertentangan dengan undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang
sistem pendidikan nasional dimana prinsip penyelenggaraan pendidikan harus
dilakukan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai kultural, dan
kemajemukan bangsa. Pesan yang sangat jelas pada undang-undang tersebut
bahwa tidak boleh adanya diskriminatif di dunia pendidikan. perbedaan agama,
kemajemukan, dan nilai-nilai budaya justru harus dihormati dan dijunjung tinggi.
Penelitian yang dilakukan oleh Handajani dkk menyebutkan beberapa hal yang

33
dapat dilakukan oleh sekolah untuk menanggulangi intoleransi yang didasarkan
agama seperti:
1. Perumusan visi dan misi sekolah yang mendukung toleransi.
2. Kebijakan sekolah yang mendukung pluralisme dan toleransi terhadap suku
agama dan ras di sekolah
3. Pemerintah dan pimpinan sekolah mengadakan pelatihan bagi para guru
untuk memberikan pengetahuan dalam rangka mengatasi paham radikal
4. Guru mengintegrasikan kearifan lokal dalam bahan ajar mereka
5. Kegiatan peserta didik mengakomodasi keberagaman dan mendukung
toleransi terhadap berbagai agama, etnis, dan budaya
6. Pengawasan terhadap buku dan materi dari internet yang mengandung
doktrin radikal yang dilakukan oleh orang tua dan guru
Selain itu, sekolah dapat juga memanfaatkan organisasi peserta didik yang ada di
sekolah sebagai corong untuk mencegah intoleransi dan peran aktif guru dalam
memantau serta membimbing peserta didik. program-program penguatan toleransi
untuk seluruh warga sekolah perlu dibuat untuk meminimalisir intoleransi yang
terjadi di lingkungan sekolah.

D. Pencegahan dan Penanggulangan


1. Langkah Umum Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan
a. Pencegahan
Pencegahan tindakan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan dilakukan
oleh semua lapisan masyarakat yang merupakan warga sekolah baik itu
peserta didik, orang tua/wali peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan,
kepala sekolah, pemerintah kota/kabupaten, pemerintah provinsi dan
masyarakat sesuai dengan kewenangannya.

Tindakan pencegahan yang dilakukan oleh satuan pendidikan meliputi:


(1) menciptakan lingkungan satuan pendidikan yang bebas dari tindak
kekerasan;
(2) membangun lingkungan satuan pendidikan yang aman, nyaman, dan
menyenangkan, serta jauh dari tindak kekerasan antara lain dengan
melakukan kegiatan-kegiatan dalam rangka pencegahan tindak kekerasan;

34
(3) wajib menjamin keamanan, keselamatan dan kenyamanan bagi peserta didik
dalam pelaksanaan kegiatan/pembelajaran di sekolah maupun kegiatan
sekolah di luar satuan pendidikan;
(4) wajib segera melaporkan kepada orangtua/wali termasuk mencari informasi
awal apabila telah ada dugaan/gejala akan terjadinya tindak kekerasan yang
melibatkan peserta didik baik sebagai korban maupun pelaku;
(5) wajib menyusun dan menerapkan Prosedur Operasi Standar (POS)
pencegahan tindak kekerasan dengan mengacu kepada pedoman yang
ditetapkan Kementerian;
(6) melakukan sosialisasi POS dalam upaya pencegahan tindak kekerasan
kepada peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali, komite
sekolah, dan masyarakat;
(7) menjalin kerjasama antara lain dengan lembaga psikologi, organisasi
keagamaan, dan pakar pendidikan dalam rangka pencegahan; dan
(8) wajib membentuk tim pencegahan tindak kekerasan dengan keputusan
kepala sekolah yang terdiri dari:
(a) kepala sekolah;
(b) perwakilan guru;
(c) perwakilan siswa; dan
(d) perwakilan orang tua/wali.
(9) wajib memasang papan layanan pengaduan tindak
kekerasan pada serambi satuan pendidikan yang mudah diakses oleh peserta
didik, orang tua/wali, guru/tenaga kependidikan, dan masyarakat yang paling
sedikit memuat:
(a) laman pengaduan http://sekolahaman.kemdikbud.go.id;
(b) layanan pesan singkat ke 0811-976-929;
(c) telepon ke 021-5790-3020 atau 021-570-3303;
(d) faksimile ke 021-5733125;
(e) email laporkekerasan@kemdikbud.go.id
(f) nomor telepon kantor polisi terdekat;
(g) nomor telepon kantor dinas pendidikan setempat;dan
(h) nomor telepon sekolah.

35
b. Penanggulangan

berbeda dengan pencegahan, penanggulangan tindak kekerasan di lingkungan


satuan pendidikan dilakukan oleh satuan pendidikan, masyarakat, pemerintah
daerah dan pemerintah sesuai dengan kewenangannya dengan mempertimbangkan
beberapa hal sebagai berikut:
(1) kepentingan terbaik bagi peserta didik;
(2) pertumbuhan dan perkembangan peserta didik;
(3) persamaan hak (tidak diskriminatif);
(4) pendapat peserta didik;
(5) tindakan yang bersifat edukatif dan rehabilitatif; dan
(6) perlindungan terhadap hak-hak anak dan hak asasi manusia sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang- undangan.
berikut adalah tindakan penanggulangan yang bisa dilakukan oleh satuan
pendidikan:
(1) wajib memberikan pertolongan terhadap korban tindakan kekerasan di
satuan pendidikan;
(2) wajib melaporkan kepada orang tua/wali peserta didik setiap tindak
kekerasan yang melibatkan peserta didik baik sebagai korban maupun
pelaku;
(3) wajib melakukan identifikasi fakta kejadian tindak kekerasan dalam rangka
penanggulangan tindak kekerasan peserta didik;
(4) menindaklanjuti kasus tersebut secara proporsional sesuai dengan tingkat
tindak kekerasan yang dilakukan;
(5) berkoordinasi dengan pihak/lembaga terkait dalam rangka penyelesaian
tindak kekerasan;
(6) wajib menjamin hak peserta didik untuk tetap mendapatkan pendidikan;
(7) wajib memfasilitasi peserta didik, baik sebagai korban maupun pelaku, untuk
mendapatkan hak perlindungan hukum;
(8) wajib memberikan rehabilitasi dan/atau fasilitasi kepada peserta didik yang
mengalami tindakan kekerasan;

36
(9) wajib melaporkan kepada Dinas Pendidikan setempat dengan segera
apabila terjadi tindak kekerasan yang mengakibatkan luka fisik yang cukup
berat/cacat fisik/kematian untuk dibentuknya tim independen oleh
Pemerintah Daerah; dan
(10) wajib melaporkan kepada aparat penegak hukum setempat apabila terjadi
tindak kekerasan yang mengakibatkan luka fisik yang cukup berat/cacat
fisik/kematian.
2. Langkah Khusus Penyelesaian Tiga Dosa Besar Pendidikan Bagi Sekolah.

Rekognisi awal mengenai kekerasan dan pelecehan adalah sebuah bekal dan
langkah awal yang cukup komprehensif dalam melawan dan menghapuskan
kekerasan di sekolah. rekognisi ini juga termasuk mengajarkan kepada peserta didik
dan menerapkan pada warga sekolah tentang bagaimana memperlakukan rekan-
rekan di lingkungan sekolah terlebih lagi lawan jenisnya.

Peserta didik dan warga sekolah juga harus diberikan pemahaman apabila peserta
didik serta warga sekolah lain yang menjadi korban kekerasan, atau melihat kejadian
kekerasan (menjadi bystander) maka sebisa mungkin harus melapor ke sekolah.
Cara ini adalah cara yang paling efektif ketimbang melerai atau melawan pelaku
kekerasan mengingat ketimpangan kekuatan (power) yang dipunya. Sensitivitas
terhadap situasi dan kondisi pun harus segera dilatih. Jika suatu hari nanti peserta
didik melihat tanda-tanda peserta didik lain menjadi korban, Ia harus bisa segera
mengambil tindakan. Beberapa tanda yang harus diperhatikan teman sebaya
adalah: Sikap cemas yang meningkat, selalu waspada dan curiga, menyendiri,
enggan bergabung pada kelompok tertentu, ada memar atau luka fisik, kepercayaan
diri rendah, menggambarkan orang lain atau kelompok lain secara negatif, dan tiba-
tiba menghilang dalam sosial media atau menghapus akunnya secara mendadak.

Selain peka atau sensitif terhadap korban, peserta didik juga diharapkan diberi
pemahaman untuk menenangkan korban. Ini bisa dilakukan dengan cara
mendengarkan, memberi dukungan, dan melaporkan. Mendengarkan cerita korban
dengan serius tapi tidak intimidatif serta meyakinkan kalau semua ini bukan
salahnya. Memberi dukungan bisa dilakukan dengan cara mendorong korban untuk
bercerita ke teman-temannya atau keluarganya, membantu korban mengumpulkan
bukti-bukti, dan melaporkan postingan yang tidak sesuai (jika terjadi cyberbullying).

37
Melaporkan bisa dilakukan dengan cara melaporkan ke pihak yang berwajib, dalam
hal ini sekolah, atau bisa melaporkan ke ke layanan pelaporan yang tersedia seperti
Puskesmas, Rumah Sakit, Kepolisian, atau Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan
Perempuan dan Anak (P2TP2A).

Opsi lain yang bisa dilakukan oleh sekolah dalam mencegah kekerasan adalah
dibukanya jalur komunikasi khusus apabila terjadi perundungan, kekerasan seksual
dan intoleransi atau adanya indikasi korban perundungan, kekerasan seksual dan
intoleransi yang ditemukan. Sekolah juga harus fokus untuk menghentikan
kekerasan dan memproses pelaku agar berhenti menyerang korban baik pada saat
kejadian atau setelahnya (pascakejadian). Langkah selanjutnya adalah sekolah
melakukan pendampingan pada korban, besar kemungkinan terjadi trauma pada
korban dan sekolah tidak boleh menyalahkan korban karena tidak melawan atau
dengan alasan apapun. Jika dirasa korban memiliki trauma hingga mengganggu
kehidupan sosialnya, maka bisa dialihkan untuk konseling dengan guru BK, jika guru
BK tidak memiliki kapabilitas untuk konseling atau trauma yang dialami oleh korban
cukup berat, maka korban harus dibawa ke psikolog untuk menyembuhkan
traumanya. Jika korban mengalami luka-luka akibat perundungan fisik, maka luka
tersebut harus segera dirawat agar tidak menimbulkan masalah yang serius. Untuk
akses pelaporan terhadap pelanggaran yang melibatkan satuan pendidikan atau
peserta didik dapat melalui laman https://kemdikbud.lapor.go.id/ .

Korban juga harus dijaga privasinya dan diberikan perlindungan pasca kejadian. Ini
merupakan hal yang penting agar trauma yang diderita oleh korban tidak menjadi
trauma yang berkepanjangan. Pelaku juga harus diberikan sanksi administratif atas
tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku tersebut. Kekerasan dalam berbagai
bentuknya termasuk kekerasan seksual merupakan permasalahan yang perlu
dicegah dan ditangani, karena kekerasan dapat menghambat seseorang dalam
memenuhi potensi dirinya untuk berkembang ke arah yang lebih baik.

Menurut Michael Focault (Ritzer, et al., 2003), kekerasan seksual terjadi karena
adanya ketimpangan kuasa di antara pelaku dan pelapor, sehingga dalam posisi ini
pelaku memiliki “power” atau kekuatan untuk menguasai hak otoritas pelapor.
Ketimpangan relasi kuasa ini tidak hanya terjadi di institusi tertentu yang secara
formal memiliki posisi/jabatan tertentu sehingga relasi kuasa dapat terlihat sangat

38
jelas. Selain di institusi, kondisi ini juga terjadi di masyarakat patriarkal, relasi kuasa
terjadi ketika laki-laki yang secara tatanan sosial dianggap lebih atas dari
perempuan, dan sebaliknya perempuan dianggap sebagai second sex atau manusia
kelas dua, disinilah kemudian relasi kuasa sering terjadi.

39
BAB III
KEBEKERJAAN

Kebekerjaan atau employability skills pertama kali diperkenalkan pada tahun 1909
(Grip, Loo, & Sanders, 2004) dan mulai dipergunakan di berbagai penelitian pada
akhir tahun 1990 (Thijssen, Heijden, & Rocco, 2008). Kebekerjaan pertama kali
diperkenalkan oleh salah seorang arsitektur Inggris yang bernama William Beveridge
dalam bukunya yang berjudul “Unemployment: A Problem of Industry”. Dalam buku
tersebut dijelaskan bahwa istilah Kebekerjaan pertama kali digunakan untuk
mengidentifikasi perbedaan antara seseorang yang dapat dipekerjakan dan yang
tidak dapat dipekerjakan (Misra & Khurana, 2017) Kebekerjaan merupakan suatu
minat tentang bagaimana kinerja dalam melakukan sesuatu sehingga dapat
mencapai tujuan dari kerja tersebut. Menurut Hillage & Tamkin (1999) terdapat tiga
elemen penting dari keterampilan kebekerjaan yang akan dijelaskan sebagai berikut
(Tamkin & Hillage, 1999):
1. Keterampilan untuk mendapatkan pekerjaan awal.
2. Keterampilan untuk mempertahankan pekerjaan dan melakukan transisi
antara pekerjaan dan peran dalam organisasi yang sama untuk memenuhi
persyaratan pekerjaan baru.
3. Keterampilan untuk mendapat pekerjaan baru, dan jika diperlukan dengan
menjadi mandiri di pasar tenaga kerja dan mampu mengelola transisi
pekerjaan antar organisasi.
Keterampilan kebekerjaan juga memiliki definisi sebagai serangkaian prestasi yang
terdiri dari keterampilan, pemahaman, dan atribut pribadi yang membuat seseorang
lebih mungkin untuk mengamankan dan menjadi sukses dalam pekerjaan yang
dipilihnya untuk kepentingan dirinya sendiri, tenaga kerja, masyarakat, dan ekonomi
(Yorke & Knight, 2004). Kompetensi dan karakter kerja merupakan dua hal utama
yang harus dimiliki oleh lulusan SMK. Kompetensi merupakan seperangkat keahlian
yang harus dikuasai seseorang yang berhubungan dengan bidang pekerjaannya.
Kompetensi diperoleh melalui pembelajaran yang telah disusun di dalam kurikulum.
Pembelajaran dapat dilakukan baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah.
Karakter kerja merupakan nilai-nilai dasar kerja yang harus dimiliki oleh seseorang
dalam melaksanakan kerja yang dibutuhkan di dunia kerja (Supriyadi, Suryana, &
Rahayu, 2020). Karakter kerja terbagi menjadi dua dimensi yaitu dimensi

40
intrapersonal dan dimensi interpersonal. Dimensi intrapersonal adalah kualitas
rohani yang meliputi etika kerja, rasa ingin tahu, disiplin, jujur, tanggung jawab,
respek diri, kerja keras, integritas, ketekunan, motivasi kerja, keluwesan, rendah
hati, dan sebagainya. Sedangkan dimensi interpersonal adalah keterampilan yang
berkaitan dengan hubungan antar manusia. Dimensi ini mencakup tanggung jawab,
bekerja sama, hormat pada orang lain, penyesuaian diri, suka perdamaian,
solidaritas, kepemimpinan, komitmen, adil, dan sebagainya (Zamtinah, Kurniawan,
Sarosa, & Tyasari, 2011).

Siswa SMK tidak cukup menguasai hard skills, akan tetapi keterampilan kebekerjaan
juga perlu dikuasai sebagai penguat hard skills agar mampu bekerja lebih produktif,
berkualitas, berkembang, dan beradaptasi di tempat kerja. Untuk memperoleh
kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja, sekolah harus bekerjasama
dengan dunia kerja dalam menyusun kurikulum pembelajaran sehingga ada
kesesuaian antara kompetensi yang diajarkan dengan kompetensi yang dibutuhkan
oleh dunia kerja. Dalam melaksanakan aktivitasnya di dunia kerja, selain harus
menguasai hard skill lulusan SMK dituntut untuk menguasai kompetensi yang
bersifat soft skill yaitu:

A. Etika Kerja dan Etos Kerja


Etika berasal dari bahasa yunani “ethos” yang artinya tempat tinggal yang biasa,
kebiasaan, akhlak, watak, sikap, cara berfikir. Ethos dalam bentuk jamak adalah “ta
etha” yang artinya adat kebiasaan . Definisi dari bentuk jamak inilah yang kemudian
menjadi dasar definisi dari etika (Hasibuan, 2017). Etika merupakan sebuah refleksi
kritis dan rasional mengenai sebuah nilai dan norma moral yang menentukan
terwujudnya sikap serta pola perilaku hidup manusia baik secara pribadi maupun
kelompok (Keraf, 1991). Etika menurut kbbi adalah ilmu tentang apa yang baik dan
apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Etika tidak dapat
lepas dari kehidupan bermasyarakat. Etika berfungsi sebagai kontrol terhadap
tingkah laku dan perilaku bermasyarakat. Dalam dunia kerja, seluruh staf berperilaku
dan mengacu kepada etika kerja. Etika kerja merupakan nilai atau norma yang
dijadikan pedoman oleh ketika bekerja. Etika kerja diperlukan bagi institusi atau
lembaga agar dapat berjalan dengan baik dan teratur. Etika kerja menjadi perekat
perilaku dalam kebersamaan dari suatu lembaga. Etika kerja mempengaruhi
keterlibatan kerja dan kinerja (Archandar, 2010). Aspek – aspek etika kerja menurut

41
Sinamo yang dikutip oleh Hadiansyah dan Yanwar ada delapan aspek: kerja adalah
rahmat, kerja adalah amanah, kerja adalah panggilan, kerja adalah aktualisasi, kerja
adalah ibadah, kerja adalah seni, kerja adalah kehormatan, kerja adalah pelayanan
(Hadiansyah & Yanwar, 2017).

Ada beberapa prinsip dalam etika menurut Sayekti (2020) yaitu prinsip keindahan,
persamaan, kebaikan, keadilan, kebebasan, dan kebenaran. Prinsip keindahan
menjelaskan bahwa seseorang perlu memperhatikan keindahan misalnya dalam
berpakaian, penataan ruang kerja yang bertujuan untuk memberikan semangat
dalam bekerja. Prinsip persamaan menjelaskan bahwa seseorang perlu memiliki
prinsip persamaan misalnya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Prinsip
kebaikan menjelaskan bahwa seseorang harus saling menghormati satu sama lain.
Prinsip keadilan menjelaskan bahwa seseorang harus berperilaku adil dan
proporsional serta tidak mengambil sesuatu yang menjadi hak milik orang lain.
Prinsip kebebasan menjelaskan bahwa seseorang harus memiliki kemampuan untuk
berbuat sesuatu, menentukan pilihan, melaksanakan pilihan tersebut, dan
mempertanggung jawabkan perbuatannya. Prinsip kebenaran menjelaskan bahwa
seseorang harus membuktikan kebenaran atas sesuatu sebelum menyebarkannya
kepada orang lain.

Selain etika, lulusan SMK harus memiliki etos kerja yang baik. Istilah etika dan etos
dalam bekerja sering disamakan, namun sebenarnya etos kerja memiliki pengertian
yg berbeda dari etika. Pengertian etos kerja secara terminologi dapat dijelaskan
sebagai sebuah aturan umum atau cara hidup sebuah tatanan aturan tingkah laku,
penyelidikan mengenai jalan hidup, dan seperangkat peraturan perilaku. Menurut
Jansen Sinamo Etos Kerja adalah seperangkat perilaku positif yang berakar pada
keyakinan fundamental yang disertai komitmen total pada paradigma kerja yang
integral (Sinomo, 2005). Etos kerja memiliki beberapa fungsi bagi seseorang, yaitu
untuk mendorong munculnya tingkah laku, membuat seseorang bersemangat dan
menggerakkan seseorang dalam menjalankan suatu tugas tertentu.

Etos kerja sangat penting bagi perkembangan karir seseorang. Ada beberapa aspek
etos kerja yang dapat ditingkatkan untuk mengembangkan karir seseorang sebagai
berikut (Sayekti, 2020):

42
1. Disiplin merupakan wujud tekad dan komitmen terhadap pekerjaan. Contoh:
etos kerja yang tinggi yaitu tidak menunda-nunda pekerjaan dan
menyelesaikannya tepat waktu.
2. Berintegritas merupakan cara memegang teguh prinsip moral yang baik,
seperti konsisten dalam bersikap jujur, sopan dan adil pada orang lain.
Contoh: menaati aturan perusahaan, menghormati rekan kerja, serta
bertanggung jawab atas kesalahan yang dibuat.
3. Memiliki profesionalisme kerja. Contoh: memperlihatkan dan menanggapi
pekerjaan dengan serius, memperlakukan orang dengan hormat, dan
membawa diri dengan tepat dalam berbagai situasi.
4. Dapat diandalkan. Contoh: mengumpulkan pekerjaan sesuai jadwal, datang
tepat waktu ketika rapat, dan memiliki reputasi baik di hadapan rekan kerja.
5. Dedikasi pada pekerjaan. Contoh: fokus pada tugas tanpa terganggu,
menyelesaikan tugas dengan maksimal, dan loyal pada tempatnya bekerja
sehingga seringkali bertahan pada sebuah perusahaan pada waktu yang
lama.
6. Mampu bekerja sama. Contoh: selalu berusaha untuk dapat bekerja sama
dengan siapa pun, bersikap sopan, menghargai orang lain, dan siap
membantu jika dibutuhkan.
7. Bertanggung jawab. Contoh: mengakui kesalahan dan berusaha secara
proaktif untuk memperbaikinya.
8. Memiliki keinginan untuk maju. Contoh: membuka diri terhadap kritik dan
saran, berusaha untuk selalu meningkatkan kualitas diri terutama yang
berkaitan dalam hidup atau karir.
8 Etos kerja sangat penting untuk dimiliki dan ditanamkan oleh seluruh pegawai atau
calon pekerja. Bagi peserta didik atau lulusan SMK, 8 aspek ini menjadi salah satu
pertimbangan dunia kerja rekrutmen pegawai. Pegawai yang memiliki etos kerja
yang tinggi akan berkontribusi positif terhadap kemajuan suatu perusahaan atau
instansi tempat mereka bekerja (Sianipar & Salim, 2019). Penelitian yang dilakukan
oleh Fitriyani, Sundari, dan Dongoran menyebutkan ada beberapa faktor yang
mempengaruhi etos kerja yaitu gaji, agama, kondisi lingkungan, tingkat pendidikan,
dan motivasi (Fitriyani et al., 2019). Gaji menjadi faktor utama dari etos kerja
pegawai karena gaji merupakan komponen dan tujuan utama bekerja dari seorang
pegawai sehingga gaji merupakan faktor motivasi utama pegawai dalam
43
meningkatkan etos kerja. Faktor agama dapat mempengaruhi etos kerja karena
agama dijadikan sebagai pedoman hidup atau memotivasi pegawai untuk
melakukan pekerjaan dengan baik. Kondisi lingkungan kerja yang bersih, nyaman,
serta dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas dapat menunjang semangat pegawai untuk
bekerja. Motivasi pegawai baik dari internal diri sendiri maupun dari eksternal baik
dari atasan, teman kerja, bahkan keluarga mampu meningkatkan etos kerja
pegawai.

B. Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, dan Rajin (5R) / Budaya Kerja

Dunia kerja berjalan dengan menganut dan melaksanakan nilai-nilai utama yang
berlaku bagi seluruh staf atau karyawan. Nilai-nilai tersebut merupakan budaya dari
suatu organisasi atau perusahaan. Budaya organisasi yang menjadi acuan dalam
bekerja terbentuk melalui kristalisasi dari keyakinan, nilai, sikap, norma, perilaku dari
seluruh orang yang ada dalam organisasi tersebut (Sudirman, 2005). Sikap yang
didasari oleh pandangan hidup yang menjadi sifat, kebiasaan yang menjadi
pendorong dalam bekerja pada suatu organisasi atau dunia kerja merupakan
budaya kerja. Budaya kerja tercermin dari perilaku dan tindakan dalam bekerja.
Salah satu metode budaya kerja yang terkenal adalah Kaizen atau yang lebih
dikenal dengan istilah 5S atau yang dalam istilah indonesia adalah 5R (Seiri =
Ringkas; Seito = Rapi; Seiso = Resik; Seiketsu = Rawat; Shitsuke = Rajin). Istilah
kaizen mulai populer di Jepang pada awal abad ke-20 dan mulai diaplikasikan di
perusahaan di Jepang pada tahun 1950-an dan 1960 (Isao & Art, n.d.). Secara
bahasa, kaizen terdiri dari dua kata yaitu KAI yang berarti “BERUBAH” dan ZEN
yang berarti “MENJADI BENAR”. Kaizen dapat diartikan sebagai gerakan untuk
berubah atau perubahan kearah yang benar atau kearah yang lebih baik
(McLoughlin & Miura, 2017). Untuk berubah menjadi lebih baik tidak harus secara
ekstrim atau cepat namun perubahan menuju lebih baik dapat dimulai dari langkah
kecil yang konsisten. Inti dari kaizen terletak pada munculnya perubahan baik
perubahan besar atau perubahan kecil. Konsep kaizen dapat diterapkan pada
individu atau pada lingkungan kerja. Meskipun bertujuan pada perubahan terhadap
sesuatu, ternyata kaizan dan peningkatan memiliki makna yang berbeda. Pada

44
peningkatan sesuatu, kita fokus kepada produk atau material sedangkan kaizen
terfokus pada perubahan kualitas individu.

Metode 5R mampu menciptakan suasana kerja yang nyaman (Jahja, 2009). Pola
perilaku 5R merupakan kebiasaan tentang bagaimana seseorang memperlakukan
tugas, kegiatan, serta tempat kerjanya secara baik dan benar. Penerapan 5R dapat
meningkatkan efisiensi, produktivitas, kualitas, dan keselamatan kerja. Penjelasan
terkait 5R akan dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

1. Seiri atau Ringkas


Ringkas adalah memisahkan segala sesuatu yang diperlukan dan menyingkirkan
yang tidak diperlukan dari tempat kerja, mengetahui benda mana yang tidak
digunakan lagi dan mana yang akan disimpan, serta bagaimana cara
menyimpannya supaya dapat mudah diakses terbukti sangat berguna bagi Dunia
Kerja.
2. Seiton atau Rapi
Prinsip rapi adalah menyimpan barang sesuai dengan tempatnya. Kerapian adalah
hal mengenai sebagaimana cepat kita meletakkan barang dan mendapatkannya
kembali pada saat diperlukan dengan mudah. Dunia Kerja tidak boleh asal-asalan
dalam memutuskan dimana benda-benda harus diletakkan untuk mempercepat
waktu dalam memperoleh barang tersebut.
3. Seiso atau Resik
Prinsip resik adalah membersihkan tempat/lingkungan kerja, mesin/peralatan, dan
barang-barang agar tidak terdapat debu, kotoran dan bau. Kebersihan harus
dilaksanakan dan dibiasakan oleh setiap orang mulai dari pimpinan hingga
pelaksana/operator yang ada.
4. Seiketsu atau Rawat
Prinsip rawat adalah mempertahankan hasil yang telah dicapai pada (Ringkas, Rapi,
Resik) sebelumnya dengan membakukannya (Standarisasi). Prinsip ini dapat
berjalan apabila dilaksanakan oleh semua karyawan yang ada di lingkungan kerja.

5. Shitsuke atau Rajin


Rajin terciptanya dari kebiasaan pribadi karyawan untuk menjaga dan meningkatkan
apa yang sudah dicapai, rajin di tempat kerja berarti kebiasaan positif di tempat
kerja. Apa yang sudah baik harus selalu dalam keadaan prima setiap saat, prinsip

45
rajin di tempat kerja adalah kerjakan apa yang harus dikerjakan serta jangan
melakukan apa yang tidak boleh dilakukan.

C. Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Kesehatan dan keselamatan kerja (K3) atau di tempat kerja mencakup seluruh
industri, lembaga, bahkan sekolah atau institusi pendidikan. pada lembaga atau
institusi dengan resiko kecelakaan rendah, K3 dipantau atau merupakan tanggung
jawab dari seorang supervisor. Pada lembaga, institusi, atau industri dengan resiko
kecelakaan tinggi (umumnya ada pada industri besar), K3 menjadi tanggung jawab
sebuat unit khusus. Mengapa keselamatan dan kesehatan dalam bekerja atau
tempat kerja yang aman dan sehat penting? Hal ini merupakan pertanyaan
mendasar sebelum kita membahas tentang kesehatan dan keselamatan kerja.
Setiap perusahaan tentu ingin mengejar keuntungan sebesar-besarnya.
Meningkatkan kualitas produk serta kuantitas dari produk yang dihasilkan
merupakan salah satu cara untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Untuk mendapatkan kuantitas dan kualitas produk, perusahaan sangat bergantung
pada kualitas bahan baku, teknologi, serta pekerja. Kesehatan dan keselamatan
pekerja menjadi hal yang tidak bisa ditawar bagi perusahaan. Jika tempat kerja
aman dan sehat, setiap orang dapat bekerja dengan efektif dan efisien sehingga
mampu meningkatkan produktivitas.
Menurut International Labour Organization (ILO), setiap tahun ada lebih dari 250
kecelakaan di tempat kerja dan lebih dari 160 juta pekerja menjadi sakit karena
bahaya ditempat kerja (Haworth & Hughes, 2012). Selain itu dilaporkan bahwa ada
1,2 juta pekerja meninggal akibat kecelakaan dan sakit di tempat kerja. Dampak dari
kecelakaan dan sakit ditempat kerja sangat luar biasa terhadap produktivitas yang
berujung pada berkurangnya keuntungan dari perusahaan. Biaya – biaya yang harus
dikeluarkan atau yang hilang diantaranya adalah biaya pengobatan, hilangnya hari
kerja, berkurangnya produktivtias, biaya pelatihan pekerja baru, biaya pembelian alat
baru, biaya perbaikan alat, penurunan motivasi kerja, dan lainnya (Hughes & Ferrett,
2009).

46
Sebelum membahas pengertian dari keselamatan dan kesehatan kerja (k3),
disampaikan konsep atau pandangan K3 sebagai berikut:

No Konsep Lama Konsep Baru

1 Kecelakaan merupakan nasib sial dan Memandang kecelakaan bukan


merupakan risiko yang harus diterima. sebuah nasib

2 Masih banyak pengganti pekerja Kecelakaan pasti ada penyebabnya


sehingga dapat dicegah

3 Tidak perlu berusaha mencegah Penyebab: personal factors 80-85%


dan environmental factors 15 %
sampai 20 %

Secara filosofi, keselamatan dan kesehatan kerja diartikan sebagai sebuah


pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan: tenaga kerja
dan manusia pada umumnya (baik jasmani maupun rohani), hasil karya dan budaya
menuju masyarakat adil, makmur dan sejahtera. Sedangkan ditinjau dari keilmuan,
keselamatan dan kesehatan kerja diartikan sebagai suatu ilmu pengetahuan dan
penerapannya dalam upaya mencegah kecelakaan, kebakaran, peledakan,
pencemaran, penyakit, dan sebagainya
1. Keselamatan (safety)
Keselamatan kerja diartikan sebagai upaya-upaya yang ditujukan untuk melindungi
pekerja; menjaga keselamatan orang lain; melindungi peralatan, tempat kerja dan
bahan produksi; menjaga kelestarian lingkungan hidup dan melancarkan proses
produksi. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam keselamatan (safety).
a. Mengendalikan kerugian dari kecelakaan (control of accident loss)
b. Kemampuan untuk mengidentifikasikan dan menghilangkan resiko yang
tidak bisa diterima (the ability to identify and eliminate unacceptable risks)
2. Kesehatan (health)
Kesehatan diartikan sebagai derajat/tingkat kondisi fisik dan psikologi individu (the
degree of physiological and psychological well being of the individual). Tingkat
47
kondisi fisik dan psikologi dari pekerja harus dicapai setinggi-tingginya dengan cara
mencegah dan memberantas penyakit yang diidap oleh pekerja, mencegah
kelelahan dan kejenuhan kerja, dan menciptakan lingkungan kerja yang sehat.
Mangkunegara mendefinisikan keselamatan kerja sebagai perlindungan seorang
karyawan dari luka-luka yang disebabkan oleh kecelakaan yang terkait dengan
pekerjaan (Mangkunegara, 2010). Resiko keselamatan mencakup aspek-aspek dari
lingkungan kerja yang dapat menyebabkan kebakaran, ketakutan aliran listrik
terpotong, luka memar, keseleo, patah tulang, kerugian alat tubuh, penglihatan,
pendengaran. Kesehatan kerja juga merupakan usaha dan aturan-aturan untuk
menjaga kondisi perubahan dari kejadian atau keadaan yang merugikan kesehatan
dan kesusilaan, baik keadaan yang sempurna fisik, mental maupun sosial sehingga
memungkinkan seseorang dapat bekerja dengan optimal.
Suma’mur menjelaskan bahwa kesehatan kerja adalah ilmu kesehatan yang
penerapannya bertujuan untuk mewujudkan tenaga kerja yang sehat, produktif
dalam bekerja, berada dalam keseimbangan yang mantap antara kapasitas kerja,
beban kerja, dan keadaan lingkungan kerja, serta terlindung dari penyakit yang
disebabkan oleh pekerjaan dan lingkungan kerja (Suma'mur, 2009). Lingkungan
kerja yang sesuai dapat mendukung pelaksanaan kerja sehingga karyawan memiliki
semangat bekerja dan meningkatkan kinerja karyawan, sedangkan ketidak sesuaian
lingkungan kerja dapat menciptakan ketidaknyamanan bagi karyawan dalam
melaksanakan tugas-tugasnya (Parashakti, 2020).

D. Praktik Baik Kebekerjaan


Angka pengangguran yang tinggi dibandingkan dengan jenjang pendidikan lain
menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan tidak hanya oleh SMK namun
menjadi tanggung jawab seluruh stakeholder SMK. Berdasarkan data dari BPS,
sejak tahun 2015 hingga 2021, persentase TPT lulusan SMK paling besar
dibandingkan dengan tingkat pendidikan lain. Dengan jumlah sekolah sebanyak
14.464 sekolah yang sebagian besar merupakan sekolah swasta (negeri 3,685;
swasta 10,779) dengan sebaran paling banyak di provinsi Jawa Barat sebanyak
2,954 SMK (sumber: http://datapokok.ditpsmk.net/), kolaborasi stakeholder SMK
mutlak diperlukan untuk menanggulangi permasalahan pengangguran.
Tingkat Pendidikan Tingkat Pengangguran Terbuka Berdasarkan Tingkat

48
Pendidikan (persen)
2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021
Tidak sekolah/belum 2,71 2,95 2,62 2,40 2,39 3,61 3,61
tamat & Tamat SD
SMP 6,24 5,84 5,52 4,77 4,72 6,46 6,45
SMA Umum 10,27 8,63 8,32 7,90 7,87 9,86 9,09
SMK 13,02 11,49 11,38 11,18 10,36 13,55 11,13
Diploma I/II/III 7,22 5,03 6,86 6,00 5,95 8,08 5,87
Sarjana 5,98 4,54 5,25 5,88 5,64 7,35 5,98
Sumber: https://www.bps.go.id/indicator/6/1179/1/tingkat-pengangguran-terbuka-berdasarkan-tingkat-
pendidikan.html

Jumlah peserta didik SMK pada tahun 2021 sebesar 5.073.285, jika kita
mengasumsikan jumlah peserta didik tidak mengalami perubahan yang signifikan
dimana sepertiga dari jumlah total peserta didik merupakan kelas 12 yang siap lulus,
maka kita akan mendapatkan jumlah lulusan SMK yang menganggur sebesar
dengan asumsi sepertiga dari jumalh tersebut adalah siswa kelas 12, maka setiap
tahun lulusan SMK sebesar 1.691.095 orang dengan 188.218 lulusan menganggur.
Sebaran angka pengangguran lulusan SMK pun tidak merata. Ada SMK dengan
angka pengangguran lulusan yang tinggi, dilain pihak ada SMK dengan angka
pengangguran sangat rendah dan bahkan menyentuh nol persen atau tidak ada
lulusan SMK tersebut yang menganggur.

Menurut UU Sisdiknas tahun 2003, pendidikan kejuruan merupakan jenjang


pendidikan yang mempersiapkan lulusannya untuk bekerja di bidang tertentu.
Lulusan SMK dipersiapkan untuk bekerja meskipun ada sebagian lulusan SMK yang
melanjutkan pendidikan ataupun berwirausaha. Oleh karena itu, angka keterserapan
lulusan SMK di dunia kerja menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan pendidikan
SMK. Berdasarkan survey yang dilakukan kepada 34 SMK, kecederungan lulusan
SMK bekerja sangat tinggi dibandingkan dengan melanjutkan pendidikan atau
berwirausaha. Faktor yang menjadi alasan lulusan SMK mencari pekerjaan karena
mereka percaya diri terhadap kompetensi yang diperoleh selama bersekolah. Selain
itu, latar belakang ekonomi menjadikan bekerja sebagai tujuan utama setelah lulus
SMK, bahkan bekerja merupakan alasan terkuat mereka memilih SMK sebagai
tempat menempuh pendidikan setelah lulus SMP. Beberapa SMK yang telah

49
berhasil menekan angka pengangguran lulusan hingga dibawah 5 (lima) persen
ternyata memiliki beberapa strategi atau program dalam meningkatkan angka
kebekerjaan lulusan SMK.

1. Mengoptimalkan BKK
Bursa Kerja Khusus (BKK) adalah sebuah lembaga atau unit yang dibentuk oleh
SMK baik negeri atau swasta yang bertujuan untuk memberikan layanan kepada
peserta didik atau lulusan SMK terkait lowongan kerja, pemasaran tenaga kerja,
ataupun penyaluran dan penempatan tenaga kerja. Selain itu, fungsi BKK dapat
ditingkatkan sebagai pusat informasi pelatihan kerja atau pelatihan berwirausaha
bagi peserta didik dan lulusan SMK.

Beberapa hal yang harus dilakukan oleh tim BKK adalah:

a. Penyusunan database peserta didik maupun lulusan SMK dan perusahaan


pencari tenaga kerja.
b. Menghimpun informasi tentang lowongan kerja melalui iklan di berbagai
macam media, kunjungan industri, atau melalui kerjasama dunia kerja dan
SMK.
c. Memberikan informasi kepada para lulusan SMK melalui berbagai macam
media (mading, website sekolah, WAG (Whatsapaa Group), status WA,
instagram) tentang informasi tentang lowongan kerja.
d. Penyaluran lulusan SMK ke dunia usaha dan industri dan tidak lanjut melalui
penjajakan dan verifikasi. Kegiatan ini merupakan hasil tindak lanjut dari
kerjasama dunia kerja dan SMK. Kegiatan ini dapat dilaksanakan jika dalam
perjanjian kerjasama tercantum poin dimana dunia kerja bersedia
menyalurkan atau menyerap lulusam SMK yang kompeten.
e. Mengadakan program pelatihan ketrampilan tambahan/khusus bagi siswa
dan lulusan SMK seperti program bahasa asing atau pengayaan
kompetensi. Pelatihan ini dapat dilaksanakan sebagai bentuk kerjasama
dengan dunia kerja yang tertuang dalam perjanjian kerjasama. Secara
umum, program ini merupakan serangkaian kerjasama yang diawali
sinkronisasi kurikulum, pelatihan guru produktif, magang guru atau peserta
didik, dan pelatihan keterampilan khusus.

50
f. Mengadakan program bimbingan menghadapi tahapan proses penerimaan
siswa dalam suatu pekerjaan (wawancara, psikotest).
2. Kerjasama dengan Lembaga Pelatihan Kerja
Lembaga pelatihan kerja adalah instansi pemerintah, badan hukum atau perorangan
yang memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan pelatihan kerja. Dasar hukum
Lembaga Pelatihan Kerja ada pada Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13
Tahun 2003 dan Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 dimana ada
beberapa perbedaan

Undang-Undang Ketenagakerjaan Undang-Undang Cipta Kerja Nomor


Nomor 13 Tahun 2003 11 Tahun 2020
Pasal 13 (Pasal 81 No. 1) perubahan Pasal 13
1. Pelatihan kerja diselenggarakan oleh:
1. Pelatihan kerja diselenggarakan oleh a. lembaga pelatihan kerja
Lembaga pelatihan kerja pemerintah pemerintah
dan/atau Lembaga pelatihan kerja
b. lembaga pelatihan kerja swasta;
swasta
atau
c. lembaga pelatihan kerja
perusahaan.
2. idem.
3. idem
2. idem 4. Lembaga pelatihan kerja pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
3. idem
huruf a dan lembaga pelatihan kerja
perusahaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c mendaftarkan
kegiatannya kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di kabupaten/kota

Pasal 14 (Pasal 81 No. 2) perubahan pasal 14

1. Lembaga pelatihan kerja swasta


dapat berbentuk badan hukum
2. Lembaga pelatihan kerja swasta
Indonesia atau perorangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2. Lembaga pelatihan kerja swasta 13 ayat (1) huruf b wajib memenuhi

51
Undang-Undang Ketenagakerjaan Undang-Undang Cipta Kerja Nomor
Nomor 13 Tahun 2003 11 Tahun 2020
sebagaimana dimaksud dalam ayat
Perizinan Berusaha yang
(1) wajib memperoleh izin atau
diterbitkan oleh Pemerintah
mendaftar ke instansi yang
Daerah kabupaten/kota
bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di 3. Bagi lembaga pelatihan kerja swasta
kabupaten/kota yang terdapat penyertaan modal
asing, Perizinan Berusaha
3. Lembaga pelatihan kerja yang
sebagaimana dimaksud pada ayat
diselenggarakan oleh instansi
(1) diterbitkan oleh Pemerintah
pemerintah mendaftarkan
Pusat.
kegiatannya kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang 4. Perizinan Berusaha sebagaimana
ketenagakerjaan di kabupaten/kota dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
harus memenuhi norma, standar,
4. Ketentuan mengenai tata cara
prosedur, dan kriteria yang
perizinan dan pendaftaran lembaga
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat
pelatihan kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3)
diatur dengan Keputusan Menteri

Pasal 37 (Pasal 81 No. 3) perubahan Pasal 37

1. Pelaksana penempatan tenaga kerja 1. Pelaksana penempatan tenaga kerja


sebagaimana dimaksud dalam Pasal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35 ayat (1) terdiri dari: a. instansi 35 ayat (1) terdiri atas: a. instansi
pemerintah yang bertanggung jawab pemerintah yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan;dan b. di bidang ketenagakerjaan;dan b.
lembaga swasta berbadan hukum. lembaga penempatan tenaga kerja
swasta.
2. Lembaga penempatan tenaga kerja
swasta sebagaimana dimaksud 2. Lembaga penempatan tenaga kerja
dalam ayat (1) huruf b dalam swasta sebagaimana dimaksud pada
melaksanakan pelayanan ayat (1) huruf b dalam melaksanakan
penempatan tenaga kerja wajib pelayanan penempatan tenaga kerja

52
Undang-Undang Ketenagakerjaan Undang-Undang Cipta Kerja Nomor
Nomor 13 Tahun 2003 11 Tahun 2020
memiliki izin tertulis dari Menteri wajib memenuhi Perizinan
atau pejabat yang ditunjuk. Berusaha yang diterbitkan oleh
Pemerintah Pusat.

3. Perizinan Berusaha sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) harus
memenuhi norma, standar, prosedur,
dan kriteria yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat.

SMK dapat bekerjasama dengan berbagai macam LPK baik milik pemerintah
maupun yang dikelola oleh swasta. Salah satu LPK yang dikelola oleh pemerintah
adalah Balai Besar pelatihan yang dibawah koordinasi Kementerian Tenaga Kerja
dengan kekhususan masing-masing seperti (kelembagaan.kemnaker.go.id):

a. Balai Besar Pelatihan Vokasi dan Produktivitas Bekasi dengan sektor potensial
industri pengolahan (manufaktur), perdagangan, komunikasi, dan jasa. Balai
Besar ini memiliki kejuruan berupa Teknologi Informasi dan Komunikasi, Teknik
Elektronika, Refrigeration, dan Pariwisata
b. Balai Besar Peningkatan Produktivitas Bekasi dengan Kejuruan Produktivitas
c. Balai Besar Pelatihan Vokasi Dan Produktivitas Makassar dengan sektor
potensial Pertanian, Pertambangan, Industri Pengolahan
(Manufaktur), Perdagangan. Balai Besar ini memiliki kejuruan berupa Bisnis
Dan Manajemen, Teknologi Informasi Dan Komunikasi, Refrigeration, Teknik
Otomotif, Teknik Manufaktur, Teknik Las, Teknik Listrik, Teknik Elektronika,
Bangunan, Garmen Apparel, Tata Kecantikan, Pariwisata
d. BBPLK Medan (Balai Besar Pengembangan Latihan Kerja Medan) dengan
sektor potensial jasa dan kostruksi serta kejuruan pariwisata dan bangunan

Selain balai besar, untuk tempat pelatihan kerja dapat berkoordinasi dengan Balai
Latihan Kerja Dinas Tenaga Kerja yang ada di kabupaten/kota atau Unit Pelaksana
Teknis Dinas Tenaga Kerja yang ada didaerah masing-masing.

53
3. Job Fair

Job Fair atau Bursa Kerja merupakan suatu program atau kegiatan yang
mempertemukan antara pencari kerja dengan dunia kerja. Job Fair juga dapat
berfungsi sebagai seleksi awal (umumnya seleksi administrasi) dunia kerja terhadap
calon pekerja. SMK dapat mengadakan job fair dengan mengundang dunia kerja
yang telah bekerjasama atau yang belum bekerjasama dengan SMK untuk hadir.
Selain mengadakan job fair, SMK juga dapat mencari informasi tentang job fair yang
di adakan oleh institusi atau lembaga lain seperti Dinas Tenaga Kerja, Universitas,
atau Lembaga Pelatihan Kerja.

4. Penguatan Kerja Sama Dunia Kerja

Kerja sama antara SMK dan dunia kerja harus tercantum dalam Perjanjian Kerja
Sama. Perjanjian kerjasama antara dunia kerja dan SMK setidaknya memuat poin-
poin seperti penyelarasan kurikulum dan penyelenggaraan Praktik Kerja Lapangan
(PKL) atau Praktik Kerja Industri (prakerin). Jika memungkinkan dalam komponen
kerjasama terdapat poin kerja sama dalam bentuk magang guru atau peserta didik
dan penyaluran/penerimaan lulusan sebagai tenaga kerja

5. Kelas Industri

Kelas Industri merupakan program kelas khusus kerja sama antara dunia kerja
(industri) dengan SMK. Pada program ini SMK dan dunia kerja mengelola kelas
dengan diberikan kebebasan dalam hal pembelajaran baik pembelajaran didalam
kelas maupun praktik. Kelas industri merupakan perwujudan link and match antara
SMK dan dunia kerja. Kelas industri bertujuan untuk mencetak peserta didik atau
lulusan SMK yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Pada kelas
industri, SMK bersama-sama dengan dunia kerja mendesain kurikulum
pembelajaran yang diarahkan kepada penguatan kompetensi peserta didik sesuai
dengan kebutuhan dunia kerja. Beberapa contoh kelas industri seperti kelas industri
kompetensi keahlian bisnis manajemen bekerja sama dengan dunia kerja industri
ritel atau kelas industri kompetensi keahlian Teknik Bisnis Sepeda Motor dengan
industri Sepeda Motor.

6. Rekrutmen Dunia Kerja di Sekolah

54
Rekrutmen dunia kerja di sekolah merupakan salah satu program dari BKK. Pada
program ini, SMK mengundang dunia kerja untuk melakukan rekrutmen di sekolah
sehingga dunia kerja dapat menyeleksi langsung dan mendapatkan calon tenaga
kerja yang berkualitas.

7. Bursa Kerja Online

Bursa kerja online pada prinsipnya adalah sarana informasi lowongan kerja yang
dimuat secara daring baik termuat didalam laman (website) sekolah maupun
menggunakan media sosial sekolah. Bursa kerja online dirancang sebaik mungkin
untuk memudahkan lulusan SMK untuk mengakses informasi terkait lowongan
pekerjaan atau peserta didik SMK terkait hal-hal yang harus disiapkan untuk mencari
pekerjaan. Bursa kerja online dapat diisi dengan berbagai hal yang berhubungan
dengan rekrutmen tenaga kerja seperti informasi pelatihan, informasi magang,
penulisan CV, tes kesehatan, tes buta warna, dan lainnya.

8. Program Magang
Pengertian PKL dan magang sering disamakan namun pada dasarnya kedua hal ini
berbeda.
Praktek Kerja Lapangan SMK Magang
Pesertanya adalah Peserta Didik SMK Pesertanya adalah masyarakat umum
Bagian pembelajaran di SMK Bagian dari sistem pelatihan kerja
Di bawah bimbingan instruktur dan guru Di bawah bimbingan instruktur
pembimbing
Dilaksanakan sesuai dengan Bebas memilih kompetensi keahlian
kompetensi keahlian yang dipelajari di yang ingin dikembangkan
SMK
Mengacu kepada Permendikbud no 50 Mengacu kepada Permenaker no 08
tahun 2020 tahun 2008

Pada prinsipnya, PKL termasuk kedalam Kurikulum didik SMK, sedangkan magang
tidak masuk kedalam kurikulum SMK. Magang dapat dilakukan oleh guru,
masyarakat, ataupun peserta didik SMK. peserta didik SMK dapat melakukan
magang diluar program pembelajaran sekolah. Peserta didik SMK dapat melakukan

55
magang ketika dimasa libur semester, magang ketika ujian akhir selesai, atau
magang diantara waktu ujian akhir dan pengumuman kelulusan. Demikian pula guru
produktif SMK dapat magang di dunia kerja ketika liburan semester untuk
meningkatkan kompetensi atau update pengetahuan dan teknologi terbaru dari
industri.

Hasil evaluasi internal sekolah menyebutkan bahwa program-program tersebut


mampu meningkatkan angka kebekerjaan lulusan SMK rata-rata 10 – 25 %
sehingga strategi-strategi ini sangat baik diterapkan untuk meningkatkan angka
kebekerjaan dari lulusan SMK

56
BAB IV
PROSEDUR IMPLEMENTASI PROGRAM PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER

A. Desain Program
Program didefinisikan sebagai suatu rencana yang melibatkan berbagai unit yang
berisi kebijakan 3edan rangkaian kegiatan yang harus dilakukan dalam kurun waktu
tertentu (Ananda & Rafida, 2017). Kegiatan merupakan peristiwa atau aktivitas yang
dilakukan individu atau kelompok dengan tujuan tertentu. Kegiatan merupakan
bagian dari suatu program adalah Secara umum dalam menjalankan suatu program
ada beberapa tahapan yang harus dilalui yaitu:

SMK atau Dinas Pendidikan dapat melakukan tahapan-tahapan berikut dalam


merancang atau melaksanakan suatu program (program penguatan karakter atau
program lainnya).

1. Studi Pendahuluan

Studi pendahuluan banyak dilakukan pada penelitian sosial, terutama yang


menggunakan pendekatan kualitatif. Studi pendahuluan merupakan suatu cara
untuk memunculkan masalah dari berbagai banyak masalah yang dihadapi
sebagai masalah utama (Samsu, 2017). Masalah utama ini merupakan pokok
atau inti dari permasalahan yang akan dicarikan solusi atau penyelesaiannya..
Masalah yang muncul dapat berasal dari pengalaman pribadi, hasil survey, jejak

57
pendapat, atau hasil suatu kajian. Dengan melakukan studi pendahuluan dapat
diketahui berbagai informasi yang berhubungan dengan masalah utama (Yusuf,
2017). Informasi yang didapat pada studi pendahuluan digunakan untuk
merumuskan desain dari program yang akan dibuat. Studi Pendahuluan memiliki
tahapan sebagai berikut:

a. Identifikasi dan Perumusan Masalah


Bertanya dan mempertanyakan segala sesuatu terhadap sebuah
permasalahan membantu kita dalam memahami masalah yang kita hadapi.
Contoh kasus:
Sebuah SMK memiliki permasalahan dengan angka kebekerjaan yang
rendah dari lulusannya
Kepala sekolah mengidentifikasi masalah-masalah apa saja yang
menyebabkan rendahnya angka kebekerjaan lulusan SMK. Rendahnya
angka kebekerjaan yang dialami oleh SMK tersebut dikarenakan beberapa
faktor seperti, mutu peserta didik yang rendah, kurang peralatan praktik,
kurangnya disiplin dari peserta didik, hingga sulitnya mencari kerjasama
dengan dunia kerja. Setelah dianalisis, kepala sekolah merumuskan bahwa
masalah utama yang harus segera diatasi adalah rendahnya disiplin dari
peserta didik. Untuk mengatasi hal tersebut, kepala sekolah menyusun
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan kedisiplinan peserta didik.
1) Jenis Kedisiplinan apa yang paling rendah dari peserta didik?
2) Berapa banyak peserta didik yang kurang disiplin
3) Bagaimana pengawasan dari guru?
4) Apakah sudah pernah dicarikan solusi?bagaimana hasil solusinya?
b. Pengumpulan dan Pengolahan Data
Sebelum menarik kesimpulan sementara (Hipotesis) dari permasalahan
yang ada, setiap pertanyaan harus dicari jawaban berdasarkan informasi
atau data yang ada. Data dapat dikumpulkan dengan berbagai cara seperti

58
bertanya, telaah dokumen, wawancara, dan lainnya. Pada contoh kasus di
atas, untuk setiap pertanyaan kita dapat membuat daftar informasi yang
dibutuhkan.

Contoh:
1) Jenis kedisiplinan yang paling rendah.
2) Berapa banyak peserta didik yang kurang disiplin
Kedua pertanyaan diatas sangat erat kaitannya. Pertanyaan tersebut
dapat dijawab dengan data:
● Jenis-jenis disiplin yang diharapkan ada pada peserta didik.

● Data-data siswa yang melanggar kedisiplinan


Data – data tersebut dapat diperoleh dari:
● Dokumen peraturan sekolah

● Bertanya langsung kepada guru, siswa, tenaga kependidikan

● Dokumen pengawasan peserta didik (seperti presensi, daftar


pelanggaran peserta didik, laporan guru, dll)
3) Bagaimana pengawasan dari guru?
Data yang diperlukan adalah strategi pengawasan dari guru terhadap
kedisiplinan siswa. Data ini dapat diperoleh dari wawancara kepada
guru atau dari laporan (mingguan/bulanan/semester) perkembangan
peserta didik.
4) apakah sudah pernah dicarikan solusi?bagaimana hasil solusinya?
Data yang diperlukan adalah program atau kegiatan dalam rangka
meningkatkan kedisiplinan peserta didik. Data ini diperoleh dari telaah
laporan kegiatan/program tahunan sekolah

c. Analisis dan Kesimpulan Awal

Pertanyaan – pertanyaan terhadap masalah yang muncul dijawab dengan


dukungan data-data yang diperoleh. Hubungan antara masalah dan data
dapat ditarik suatu benang merah yang dianalisis sehingga menjadi
kesimpulan awal terhadap masalah. Proses analisis merupakan tahapan
penting dalam menyusun suatu program. Menurut kamus bahasa Indonesia,

59
analisis merupakan suatu penyelidikan terhadap suatu peristiwa. Analisis
merupakan proses berfikir untuk menentukan suatu atau beberapa bagian
serta keterkaitan antar bagian untuk mencari suatu pola (Sugiyono, 2013).
Analisis juga dapat diartikan suatu aktivitas dalam menarik kesimpulan dan
verifikasi dari data yang ada (Samsu, 2017). Pada tahapan analisis dalam
merancang suatu program, penyusun program menganalisis data-data yang
telah diperoleh untuk ditarik sebuah kesimpulan awal Sebagai contoh:
ketika sebuah SMK memiliki masalah pada kedisiplinan
peserta didik yang rendah, SMK tersebut mengumpulkan
data-data yang berhubungan dengan kedisiplinan peserta
didik. Setelah penelaahan secara mendalam, ditarik
kesimpulan bahwa permasalahan timbul disebabkan
karena kurangnya pengawasan terhadap peserta didik
oleh guru dan minimnya peraturan sekolah yang
berhubungan dengan peningkatan kedisiplinan.

Kesimpulan awal yang merupakan hasil analisis dilanjutkan dengan sebuat


atau beberapa usulan solusi. Pertanyaan yang muncul adalah “apakah
usulan solusi mampu mengatasi masalah?. Jawabannya dari pertanyaan
tersebut bisa ya maupun tidak. Usulan solusi tidak diketahui tingkat
keberhasilan dalam menyelesaikan masalah sebelum solusi tersebut
diterapkan atau diimplementasikan.

2. Desain atau Rancangan

penyelesaian masalah merupakan tujuan dari suatu program. tujuan program


harus harus menjabarkan beberapa hal seperti “untuk apa program
dilaksanakan” atau “siapa yang akan mendapatkan manfaat dari program”.
selain untuk menyelesaikan suatu masalah, program dapat disusun berdasarkan
turunan dari suatu kebijakan atau pengembangan dari hasil evaluasi program
(jika program sudah pernah dijalankan). Tujuan dari program diharapkan mampu
menjawab permasalahan yang ada atau merupakan implementasi dari suatu
kebijakan. Khusus analisis yang berasal dari hasil evaluasi program, tujuan
program merupakan pengembangan dari tujuan awal program setelah

60
mendapatkan rekomendasi dari hasil evaluasi. Hasil analisis ini kemudian
menjadi dasar dari perancangan program.
Desain merupakan kerangka bentuk atau suatu rancangan. Rancangan program
menurut Venugopal yang dikutip oleh A. Rusdiana merupakan prosedur yang
dilakukan dalam upaya merumuskan solusi terhadap masalah yang ada (Fikri et
al., 2014). Solusi yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah akan dijabarkan
dalam suatu rencana implementasi program. dalam merencanakan suatu
program, Penyusun program dapat membuat satu kegiatan besar atau membuat
serangkaian kegiatan baik simultan (terus menerus tanpa jeda), beberapa
kegiatan yang berhubungan, atau beberapa kegiatan secara terpisah. Desain
Program menggambarkan apa saja yang akan harus dipersiapkan dan dilakukan
dalam menjalan tujuan program. Pada tahapan ini kita harus menjelaskan
beberapa hal seperti:
a. Sasaran Program
Siapa yang menjadi tujuan dari pelaksanaan program. Sebagai contoh,
dalam peningkatan kedisiplinan, kepala sekolah atau perancang program
menentukan siapa yang akan menjadi target atau sasaran program.
Sasaran program peningkatan kedisiplinan bisa peserta didik, pendidik,
tenaga kependidikan, atau bahkan sasaran program dapat mencakup
seluruh warga sekolah.
b. Waktu pelaksanaan program
Waktu dan lini masa dalam pelaksanaan program harus ditentukan
sebelumnya. Berapa lama program akan dilaksanakan dan kapan program
akan dimulai. Sebagai contoh, sekolah ingin mengadakan kemah
penguatan karakter untuk peserta didik SMK. Kegiatan ini akan
dilaksanakan selama 5 hari dan akan dimulai pada minggu pertama di
bulan juli.
c. Materi program
Materi erat kaitannya dengan tujuan program. Untuk mencapai tujuan
program, sekolah merencanakan apa saja yang ingin disampaikan dalam
bentuk rencana materi. Rencana materi disusun secara lengkap yan
termasuk didalamnya jumlah alokasi waktu setiap materi dan siapa yang
menyampaikan materi.
d. Siapa saja yang terlibat
61
Program dapat terlaksana dengan melibatkan berbagai unsur. Pada
penyusunan program dijelaskan siapa saja yang terlibat dan apa fungsinya.
Beberapa fungsi secara umum adalah peserta, panitia, narasumber,
fasilitator, dan sponsor.
e. Metode pelaksanaan program
Metode pelaksanaan program disesuaikan dengan kondisi yang ada di
SMK atau daerah. Sebagai contoh Program seminar karakter atau program
lain yang difokuskan pada penyampaian pengetahuan dapat dilakukan
secara daring, sedangkan program yang difokuskan pada praktik langsung
dilakukan secara luring.
f. Sumberdaya apa saja yang harus disiapkan.
Sumberdaya dalam pelaksanaan program yang perlu disiapkan seperti
pendanaan, kepanitiaan, sarana, prasana, dan lainnya. Dalam menyiapkan
sumberdaya untuk melaksanakan program, SMK atau dinas pendidikan
dapat melibatkan stakeholder pendidikan.

3. Implementasi

Tahapan implementasi merupakan tahapan pelaksanaan program yang telah


dirancang sebelumnya. pada saat implementasi, pemangku kepentingan dapat
memonitoring ataupun melakukan supervisi terhadap pelaksanaan dari program
sehingga program dapat berjalan sesuai rencana. Monitoring dan supervisi
merupakan dua hal penting yang perlu dilakukan oleh pemangku kepentingan
dalam rangka memastikan program berjalan sesuai dengan perencanaan.
Beberapa dari kita kadang bingung terhadap istilah monitoring dan supervisi.
Monitoring memiliki maksud dan tujuan yang serupa namun dengan cara yang
berbeda.
Monitoring bertujuan untuk memastikan program berjalan sesuai dengan
perencanaan. Monitoring bertujuan untuk mencari data dan informasi yang akan
digunakan sebagai landasan untuk pengambilan keputusan. Monitoring
berfungsi untuk mengidentifikasi pelaksanaan program dan melakukan tindakan
sedini mungkin agar program berjalan dengan baik. Berdasarkan kegunaannya,
William Travers Jerome menggolongkan monitoring menjadi delapan macam,
sebagai berikut (Hasibuan, 2021):
62
a. Monitoring yang digunakan untuk memelihara dan membakukan
pelaksanaan suatu rencana dalam rangka meningkatkan daya guna dan
menekan biaya pelaksanaan program.
b. Monitoring yang digunakan untuk mengamankan harta kekayaan organisasi
atau lembaga dari kemungkinan gangguan, pencurian, pemborosan, dan
penyalahgunaan.
c. Monitoring yang digunakan langsung untuk mengetahui kecocokan antara
kualitas suatu hasil dengan kepentingan para pemakai hasil dengan
kemampuan tenaga pelaksana.
d. Monitoring yang digunakan untuk mengetahui ketepatan pendelegasian
tugas dan wewenang yang harus dilakukan oleh staf atau bawahan.
e. Monitoring yang digunakan untuk mengukur penampilan tugas pelaksana.
f. Monitoring yang digunakan untuk mengetahui ketepatan antara pelaksanaan
dengan perencanaan program.
g. Monitoring yang digunakan untuk mengetahui berbagai ragam rencana dan
kesesuaiannya dengan sumber-sumber yang dimiliki oleh organisasi atau
lembaga.
h. Monitoring yang digunakan untuk memotivasi keterlibatan para pelaksana.

Dalam pelaksanaan suatu program, monitoring berfungsi untuk melihat


kesesuaian seluruh komponen pelaksanaan program dengan perencanaan yang
telah dilakukan. Secara umum monitoring dilakukan oleh pihak internal
pelaksana program, namun monitoring dapat dilakukan oleh pihak diluar
penyelenggara program.
Selain monitoring, kita sering mendengan istilah supervisi. Supervisi berasal dari
istilah bahasa asing yaitu “supervision” yang menurut kamus bahasa inggris
cambridge artinya adalah suatu kegiatan mengawasi dan mengarahkan
seseorang atau aktivitas serta memastikan bahwa seseorang atau aktivitas
tersebut berjalan dengan benar. Orang yang melakukan supervisi disebut
supervisor. Supervisor suatu program merupakan orang dengan strata lebih
tinggi baik dimaknai lebih tinggi dalam hal jabatan atau lebih tinggi dalam hal
kompetensi. Dalam pendidikan, istilah supervisi sering untuk pengawasan dan
pembinaan kepala sekolah terhadap guru. Dalam pelaksanaan suatu program,

63
supervisor dapat memberikan masukan langsung atau mengarahkan langsung
sehingga pelaksanaan program berjalan dengan baik.

4. Evaluasi

Banyak pakar yang mendefinisikan evaluasi. Salah satu definisi evaluasi adalah
suatu pengambilan keputusan terhadap sesuatu yang berarti (Patton, 2015).
Evaluasi dilakukan untuk melihat ketercapaian pelaksanaan program dengan
rancangan yang sudah ditetapkan sebelumnya. jika monitoring pada saat
program berlangsung dan bertujuan memastikan pelaksanaan program sesuai
dengan perencanaan, Evaluasi bertujuan untuk menilai pelaksanaan program.
apakah sumberdaya program sudah sesuai dengan perencanaan, apakah
program dilaksanakan sesuai dengan alokasi waktu, materi program sudah
tersampaikan dengan baik, atau pertanyaan-pertanyaan lainnya. Seluruh
komponen dari pelaksanaan program akan dinilai sehingga dapat ditarik
kesimpulan dari program. kesimpulan dari evaluasi program menjadi dasar dari
rekomendasi, apakah program dihentikan? Apakah program dilanjutkan dengan
perbaikan? Ataukah program disebarluaskan? Secara teknis, evaluasi dapat
dimulai pada saat awal pelaksanaan program, pada saat program berlangsung,
atau pada saat program berakhir. Tahapan evaluasi dapat dirumuskan sebagai
berikut (Widoyoko, 2009):

a. Menentukan Tujuan Evaluasi


Pemangku kepentingan yang ingin melakukan evaluasi suatu program harus
menentukan dahulu apa tujuan dari evaluasi, apa yang ingin diperoleh dari
evaluasi. Tujuan evaluasi dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan atau
pernyataan

b. Menentukan Desain Evaluasi


Desain evaluasi program mencakup komponen-komponen evaluasi seperti
informasi yang dibutuhkan, instrumen evaluasi, indikator, metode
pengumpulan data, responden, lini masa evaluasi, dan lainnya.
c. Penyusun Instrumen
Instrumen merupakan alat bantu untuk mengumpulkan informasi. Instrumen
dapat berbentuk kuesioner, panduan wawancara, atau pedoman

64
pengamatan. Dalam evaluasi, instrumen disusun untuk memudahkan
evaluator dalam menghimpun data-data yang dianalisis sehingga dapat
diambil kesimpulan terhadap suatu program
d. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan secara objektif dan terbuka agar diperoleh
informasi yang valid.
e. Analisis dan Intepretasi
Data yang telah terkumpul dianalisis sesuai dengan kebutuhan evaluasi.
Hasil analisis yang dilakukan kemudian ditarik kesimpulan terhadap
pelaksanaan program. Hasil analisis menyimpulkan apakah program telah
berjalan dengan baik, komponen program mana yang kurang berjalan
dengan baik, atau apakah ada komponen program yang tidak efektif.
f. Tindak Lanjut
Hasil kesimpulan dari analisis kemudian menjadi saran rekomendasi
evaluator. Secara umum saran kebijakan mencakup keberlangsungan
program. Apakah program dilanjutkan?apakah program di modifikasi?
apakah program di hentikan?atau apakah program disebarluaskan atau di
perluas sasarannya?

Dalam pelaksanaan Evaluasi, evaluator terbagi menjadi dua yaitu evaluator internal
dan evaluator eksternal. Evaluator internal adalah evaluator yang berasal dari unsur
pelaksana program. Evaluator internal adalah evaluator yang berasal dari luar
pelaksana program. Masing-masing evalutor ini memiliki kekurangan dan kelebihan
masing-masing.

Jenis Kekurangan Kelebihan


Evaluator

Internal ● Adanya unsur subjektifitas ● Memahami betul program

● Ada kemungkinan evaluasi ● Pengambilan keputusan tidak


dilakukan secara tergesa- membutuhkan waktu dan biaya
gesa, karena kebutuhan akan yang banyak
hasil evaluasi

Eksternal ● Evaluator belum mengenal ● Bebas kepentingan

65
program dengan baik ● Evaluator luar akan berhati-hati
dalam mengevaluasi.
● Membutuhkan waktu yang
lebih lama dalam mempelajari
program

● Biaya yang dikeluarkan lebih


banyak

Jika pemangku kepentingan memiliki sumber daya yang cukup, evaluasi dapat
dilakukan dengan kombinasi evaluator internal dan eksternal agar hasil yang dicapai
dapat maksimal.

B. Desain Pelaksanaan Program

Penguatan Pendidikan Karakter dilaksanakan guna mendorong pendidikan nasional


untuk kembali memperhatikan olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga.
Keempat dimensi pendidikan ini sudah seharusnya dapat dilakukan secara utuh-
menyeluruh dan serentak. Penguatan Pendidikan Karakter dilakukan melalui
integrasi proses pembelajaran dalam kegiatan Intrakurikuler, Kokurikuler, dan
Ekstrakurikuler. Tiga prinsip dari Penguatan Pendidikan Karakter ini melingkupi:

a) Berorientasi pada berkembangnya potensi peserta didik secara menyeluruh


dan terpadu.
b) Keteladanan dalam penyerapan pendidikan karakter pada masing-masing
lingkungan pendidikan, dan
c) Berlangsung melalui pembiasaan dan sepanjang waktu dalam kehidupan
sehari-hari.

Adapun Penguatan Pendidikan Karakter ini perlu dilaksanakan untuk mengatasi 3


permasalahan pendidikan atau (tiga) dosa besar dalam dunia pendidikan di
antaranya intoleransi, kekerasan seksual, dan perundungan (bullying). Ketiga hal
tersebut akan menjadi fokus utama yang perlu diselesaikan dengan menanamkan 5
(lima) nilai karakter utama dalam Penguatan Pendidikan Karakter yaitu:

66
a) Nilai karakter religius.
b) Nilai karakter nasionalis.
c) Nilai karakter integritas.
d) Nilai karakter mandiri.
e) Nilai karakter gotong royong.

Kelima nilai karakter utama yang menjadi prioritas ini bersumber dari Pancasila dan
tidak berdiri dan berkembang sendiri-sendiri, melainkan saling berinteraksi satu nilai
dengan yang lainnya. Kelima nilai ini diharapkan dapat berkembang secara dinamis
dan membentuk keutuhan pribadi.

Program – program penguatan karakter yang telah dilaksanakan pada tahun-tahun


sebelumnya oleh Direktorat SMK secara umum terbagi menjadi 4 jenis kegiatan
yaitu penyusunan panduan/pedoman pelaksanaan penguatan karakter, pelaksanaan
penguatan karakter melalui seminar atau workshop, pelaksanaan kegiatan
penguatan karakter langsung kepada peserta didik, atau Pelatihan untuk Pelatih
(Training of Trainer – ToT) kepada guru.

1. Penyusunan Panduan (buku atau media lainnya)

Buku pedoman/panduan dapat menjadi sumber informasi terpadu yang menjadi


pegangan sekolah dalam melaksanakan program penguatan pendidikan
karakter sekaligus menjadi sumber materi pembelajaran. Di sisi lain, media
lainnya dapat menjadi alat pendukung bagi sekolah dalam pelaksanaan program
penguatan pendidikan karakter. Media pendukung ini dapat berupa konten visual
yang dapat dibagikan secara elektronik maupun alat peraga yang dapat
membantu siswa untuk belajar.
a) Struktur Buku (Perkenalan, cara menggunakan buku, panduan penilaian,
standar penilaian dan kompetensi, indikator pembelajaran, materi pembelajaran,
tugas pembelajaran).
Praktik baik yang telah dilakukan dapat dilihat pada Modul Pembelajaran
PeaceGen, Buku Tematik SD Kemendikbud.
b) Ragam media pembelajaran; Media audio, media audio visual, media visual,
alat peraga dll.

67
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menyusun panduan atau
pedoman:
a. Landasan atau dasar penyusunan panduan.
b. Framework dari program penguatan Karakter.
c. Siapa yang akan menggunakan panduan/pedoman (siswa/guru/sekolah).
d. Siapa yang akan menyusun panduan/pedoman.
e. Alat penunjang yang perlu dimasukkan dalam penyusunan panduan atau
pedoman seperti:
● Link buku atau materi dalam bentuk media digital

● Lembar aktivitas

● Memuat praktik baik yang telah dilaksanakan.

2. Seminar Atau Workshop Penguatan Pendidikan Karakter

Kita sering mendengar istilah seminar atau workshop, bahkan terkadang dalam
praktiknya tidak jarang kita menyamakan antara seminar dengan workshop.
Kedua hal ini merupakan sesuatu yang berbeda. Seminar adalah kegiatan yang
bertujuan untuk memberikan pemahaman atau pengetahuan kepada audiens
baik berupa teori maupun suatu konsep, sedangkan workshop merupakan
kegiatan yang ditujukan mencari solusi dari suatu masalah atau topik yang
diangkat. Umumnya, kegiatan workshop didahului dengan seminar atau
pemaparan informasi yang nantinya akan digunakan untuk mencari solusi dari
suatu masalah.

Untuk merancang kegiatan penguatan pendidikan karakter melalui seminar atau


workshop, beberapa hal yang harus diperhatikan adalah:
a. Apa tema seminar/workshop
b. Siapa peserta yang akan mengikuti seminar/workshop
c. Berapa lama kegiatan seminar/workshop
d. Tempat Seminar
e. Pembicara atau narasumber
f. Sarana dan prasarana
g. Jadwal pelaksanaan
68
3. Kegiatan Penguatan Pendidikan Karakter

Kegiatan Penguatan Pendidikan Karakter merupakan kegiatan penanaman nilai-


nilai karakter utama melalui proses pembelajaran dalam kegiatan Intrakurikuler,
Kokurikuler, dan Ekstrakurikuler. Kegiatan ini dapat dilaksanakan secara rutin,
terprogram, maupun spontan. Secara lebih rinci, perbedaan ketiga jenis kegiatan
Penguatan Pendidikan Karakter sebagai berikut:
a) Kegiatan Rutin
Kegiatan rutin merupakan kegiatan yang memiliki waktu khusus dan
konsisten pelaksanaannya. Kegiatan yang dapat dilakukan seperti kegiatan
membaca 15 menit, menyanyikan lagu kebangsaan sebelum kegiatan
belajar dan mengajar berlangsung, dan lain-lain.
b) Kegiatan Terprogram
Kegiatan ini merupakan kegiatan yang telah diprogramkan oleh sekolah bisa
dalam bentuk kegiatan untuk memperingati hari besar nasional, keagmaan,
atau kegiatan-kegiatan yang terprogram lainnya.
c) Kegiatan Spontan
Kegiatan ini merupakan kegiatan yang dilakukan sebagai tanggapan atas
situasi atau keadaan konkret dan mendesak seperti kegiatan tanggap
bencana, peristiwa duka, dan lain-lain.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menyusun kegiatan penguatan


karakter peserta didik
a. Materi apa saja yang akan diberikan
b. Bagaimana strategi penyampaian materi
c. Narasumber atau instruktur yang akan memberikan materi
d. Pemilihan lokasi
e. Sarana dan prasarana apa saja yang dibutuhkan

4. Pelatihan untuk Pelatih (Training of Trainer – ToT)

69
Pelatihan atau training adalah serangkaian pendidikan dalam jangka waktu
tertentu untuk meningkatkan keterampilan atau kompetensi secara sistematis,
terencana dan terorganisir. Dalam lingkup sekolah, pelatihan ini dapat berbentuk
pelatihan untuk pelatih (training of trainer) dengan melibatkan perwakilan
organisasi siwa atau ekstrakulikuler sebagai peserta pelatihan. Kegiatan ini
diharapkan peserta pelatihan dapat melakukan pelatihan kembali kepada teman
sebaya.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menyusun kegiatan pelatihan


untuk pelatih (training of trainer):
a. Materi apa saja yang akan diberikan
b. Bagaimana strategi penyampaian materi pelatihan
c. Narasumber/instruktur yang akan memberikan materi
d. Pemilihan lokasi pelatihan
e. Sarana dan prasarana penunjang pelatihan

C. Tahapan Pelaksanaan
1. Tahapan Pelaksanaan Penyusunan Panduan (Buku atau Media Lainnya)

Evaluasi Analisis

Implementasi Desain

a. Tahapan analisis, Lakukan analisis atau asesmen awal terkait kebutuhan dan
konten yang perlu dibuatkan panduan. Pada tahapan ini, sebaiknya
meniawab 5W+ 1H untuk perancancan pedoman.

70
b. Tahapan desain, Penyusunan outline atau struktur panduan, isi, media
pendukung lainnya serta praktik baik yang telah dilakukan sebelumnya.

c. Tahapan Implementasi, Pembuatan panduan beserta media pendukung


panduan. Presentasi hasil rancangan panduan kepada warg sekolah.

d. Tahapan Evaluasi, Evaluasi teknis terkait proses penyusunan, hambatan


serta solusinya. Evaluasi dan refleksi kepada warga sekolah terkait
penggunaan panduan. Dokumentasi proses penyusunan, penggunaan, serta
evaluasi panduan.

2. Tahapan Pelaksanaan Seminar Atau Workshop Penguatan Pendidikan


Karakter

Evaluasi Analisis

Implementasi Desain

a. Tahapan analisis, Lakukan analisis atau asesmen awal terkait permasalahan


dasar yang ingin diatas dan kebutuhan untuk seminar atau workshop. Analisis
demografi sekolah, latar belakang warga sekolah, fasilitas sekolah. Tahap
analisis in melingkupi pertanyaan 5W + 1H untuk perancangan program
b. Tahapan desain, Memetakan hasil analisis atau asesmen awal untuk
perancangan program. Menentukan nilai atau karakter yang ingin
dikembangkan melalui seminar atau workshop sesuai visi sekolah dengan 3
basis pendekatan. (Informasi lebih lanjut dapat dilihat pada Panduan Praktik
Implementasi PK Berbasis Kelas, Panduan Praktis Implementasi PK Berbasis

71
Budaya Sekolah, dan Panduan Praktis Implementasi PPK Berbasis
Masyarakat)
c. Tahapan impelementasi, Pelaksanaan seminar tau workshop yang telah
dirancang dengan melibatkan warga sekolah untuk implementasi nilai
karakter yang ingin dikembangkan.
d. Tahapan evaluasi, Evaluasi teknis terkalt proses perancangan program,
hambatan serta solusinya. Evaluasi program dengan mencocokkan
pelaksanaan program dengan perencanaan dan kriteria keberhasilan
program. Evaluasi program dapat didukung data refleksi kepada warga
sekolah.

3. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan Penguatan Pendidikan Karakter

Evaluasi Analisis

Implementasi Desain

a. Tahap analisis, Lakukan analisis atau asesmen awal terkait permasalahan


dasar yang ingin diatasi dan kebutuhan kegiatan yang perl dilakukan untuk
menanamkan nilai-nilai karakter. Analisis kebutuhan dan kelompokkan
kegiatan berdasarkan jenis kegiatan apakah rutin, terprogram, atau antisipasi
untuk situasi mendesak.
b. Tahap desain, Merancang program sesuai hasil analisis atau asesmen awal
yang sebaiknya dapat menjawab 5W + 1H seperti:
1) Mengapa kegiatan in perlu dilakukan?
2) Nila karakter apa yang ingin ditanamkan?

72
3) Apa saja kegiatannya?
4) Kapan kegiatan akan berlangsung?
5) Di mana pelaksanaannya?
6) Slapa saja yang terllbat dalam keglatan?
c. Tahap implementasi, Pelaksanaan kegiatan yang telah dirancang dengan
melibatkan warga sekolah untuk implementasi nilai karakter yang ingin
dikembangkan.
d. Tahap evaluasi, Evaluasi teknis terkait proses perancangan kegiatan,
hambatan serta solusinya. Evaluasi program dengan mencocokkan
pelaksanaan kegiatan dengan perencanaan serta kriteria keberhasilan
program evaluasi program dapat didukung data refleksi kepada warg sekolah.

4. Tahapan Pelaksanaan Pelatihan untuk Pelatih (Training of Trainer – ToT)

Evaluasi Analisis

Implementasi Desain

a. Tahap analisis, Lakukan analisis atau asesmen awal terkait permasalahan


dasar yang ingin diatasi dan kebutuhan kegiatan yang perlu dilakukan untuk
menanamkan nilai-nilai karakter. Analisis demografi sekolah, latar belakang
warga sekolah, fasilitas sekolah. Tahap analisis ini melingkupi pertanyaan 5W
+ 1H untuk perancangan program.
b. Tahap desain, Merancang program sesuai hasil analisis atau asesmen awal
yang sebaiknya dapat menjawab 5W + 1H seperti:
1) Mengapa kegiatan ini perlu dilakukan?
2) Nilai karakter apa yang ingin ditanamkan?
3) Apa saja kegiatannya?
73
4) Kapan kegiatan akan berlangsung?
5) Di mana pelaksanaannya?
6) Siapa saja vang terlibat dalam kegiatan?
7) Bagaimana tindaklanjut setelah pelatihan
8) dilaksanakan?
c. Tahap implementasi, Pelaksanaan pelatihan vang telah dirancang untuk
implementasi nilai karakter yang ingin dikembanakan.
d. Tahap evaluasi, Evaluasi teknis terkait proses perancangan pelatihan,
hambatan serta solusinya.Evaluasi program dengan mencocokkan
pelaksanaan pelatihan dengan perencanaan seta kriteria keberhasilan
program. Evaluasi program dapat didukung data refleksi kepada peserta
pelatihan atau warga sekolah

74
BAB V
KRITERIA PELAKSANAAN PROGRAM

A. Peserta
Peserta merupakan seseorang atau pribadi yang terlibat dalam suatu
kegiatan tertentu, misalnya terlibat atau mengikuti kegiatan seminar,
pelatihan, dan workshop. Menurut KBBI peserta merupakan orang yang ikut
serta atau yang mengambil bagian (misalnya dalam kongres, seminar,
lokakarya, dan pertandingan).

Peserta Penguatan Karakter Peserta Didik dalam bentuk kegiatan


Pelatihan, Seminar, Webinar, dan Workshop yang berasal dari SMK dengan
kriteria sebagai berikut:

1. Terdaftar sebagai siswa SMK dibuktikan dengan memiliki Nomor Induk


Siswa Nasional.
2. Bersedia mengikuti Penguatan Karakter Peserta Didik dalam bentuk
Pelatihan, Seminar, Webinar, dan Workshop dari awal hingga akhir
kegiatan.
3. Bersedia terlibat aktif dalam kegiatan Penguatan Karakter Peserta
Didik dalam bentuk Pelatihan, Seminar, Webinar, dan Workshop dari
awal hingga akhir kegiatan.
4. Bersedia menjadi teladan bagi siswa lain setelah mengikuti kegiatan
Penguatan Karakter Peserta Didik dalam bentuk Pelatihan, Seminar,
Webinar, dan Workshop dari awal hingga akhir kegiatan.

B. Panitia
Panitia merupakan pribadi yang tergabung dalam sebuah kelompok
yang ditunjuk untuk melaksanakan sebuah kegiatan. Menurut KBBI panitia
merupakan kelompok orang yang ditunjuk atau dipilih untuk
mempertimbangkan atau mengurus hal-hal yang ditugaskan kepadanya;
komite. Dalam proses membentuk sebuah kepanitian diperlukan beberapa

75
pertimbangan seperti kesedian, keterampilan, dan kompetensi dari seseorang
yang akan terlibat dalam sebuah kegiatan.

Panitia Penguatan Karakter Peserta Didik dalam bentuk kegiatan


Pelatihan, Seminar, Webinar, dan Workshop terbagi menjadi dua, yaitu
panitia guru dan siswa. Panitia guru dapat mengisi posisi pelindung,
pengarah, dan penanggung jawab. Syarat panitia guru dan siswa akan
dijelaskan di bawah ini sebagai berikut:

1. Panitia Guru Penguatan Karakter Peserta Didik dalam bentuk kegiatan


Pelatihan, Seminar, Webinar, dan Workshop yang berasal dari SMK
dengan kriteria sebagai berikut:
a. Terdaftar dan melakukan update pada sistem Data Pokok
Pendidikan (Dapodik) secara berkala.
b. Bersedia bertanggung jawab terhadap kegiatan Penguatan
Karakter Peserta Didik dalam bentuk kegiatan Pelatihan,
Seminar, Webinar, dan Workshop.
c. Memiliki jiwa kepemimpinan dan manajerial yang baik untuk
mengatur jalannya kegiatan Penguatan Karakter Peserta Didik
dalam bentuk kegiatan Pelatihan, Seminar, Webinar, dan
Workshop dengan baik.
2. Panitia Siswa Penguatan Karakter Peserta Didik dalam bentuk
kegiatan Pelatihan, Seminar, Webinar, dan Workshop yang berasal
dari SMK dengan kriteria sebagai berikut:
a. Terdaftar sebagai siswa SMK dibuktikan dengan memiliki
Nomor Induk Siswa Nasional.
b. Jujur.
c. Bertanggung jawab.
d. Komunikatif.
e. Bersedia menjalankan kegiatan sesuai dengan tugas dan
fungsinya.

76
C. Narasumber
Narasumber merupakan seorang pribadi yang memiliki informasi,
cakap, dan terampil dalam menyampaikan informasi tersebut. Menurut KBBI
orang yang memberi (mengetahui secara jelas atau menjadi sumber)
informasi; informan. Narasumber dapat dikaitkan dengan kebutuhan sebuah
kegiatan agar tujuan kegiatan dapat tercapai.

1. Narasumber Penguatan Karakter Peserta Didik dalam bentuk kegiatan


Pelatihan, Seminar, Webinar, dan Workshop dengan kriteria sebagai
berikut:
a. Memiliki pemahaman yang baik terhadap materi yang akan
disampaikan.
b. Memiliki metode penyampaian materi yang baik dan menarik.
c. Memiliki komunikasi yang baik dan mudah dimengerti.
d. Jujur dan Objektif.
e. Memiliki kemampuan untuk memanfaatkan kemajuan teknologi.
f. Memiliki sertifikat dalam bidang yang akan disampaikan.

D. Instruktur
Instruktur merupakan orang atau pribadi yang menyampaikan suatu
kegiatan yang ingin dicapai. Menurut KBBI orang yang bertugas mengajarkan
sesuatu dan sekaligus memberikan latihan dan bimbingannya; pengajar;
pelatih; pengasuh.

1. Narasumber Penguatan Karakter Peserta Didik dalam bentuk kegiatan


Pelatihan, Seminar, Webinar, dan Workshop dengan kriteria sebagai
berikut:
a. Berpengalaman dalam mengelola kegiatan Pelatihan, Seminar,
Webinar, dan Workshop.
b. Memiliki sertifikat berbasis kompetensi
c. Memiliki komunikasi yang baik dan mudah dimengerti.
d. Jujur dan Objektif.

77
E. Sarana dan Prasarana
Menurut KBBI sarana merupakan segala sesuatu yang dapat dipakai
sebagai alat dalam mencapai maksud atau tujuan; alat; media: sedangkan
prasarana merupakan segala sesuatu yang merupakan penunjang utama
terselenggaranya suatu proses (usaha, pembangunan, proyek, dan
sebagainya).

1. Sarana dan Prasarana Penguatan Karakter Peserta Didik dalam


bentuk kegiatan Pelatihan, Seminar, Webinar, dan Workshop yang
berasal dari SMK dengan kriteria sebagai berikut:
a. Gedung atau ruangan pertemuan yang luas.
b. Sistem pengeras suara yang baik.
c. Aksesibiltas yang baik
d. Laird dalam buku Manajemen Diklat (Sugiyono, 2002)
mengemukakan 4 kriteria yang harus dipenuhi sebuah ruangan
diklat, yaitu fleksibilitas, ventilasi, isolasi, dan pencahayaan yang
baik.

78
DAFTAR PUSTAKA

Archandar, T. A. (2010). Pengaruh Etika Kerja Terhadap Keterlibatan Kerja dan Implikasinya Terhadap
Komitmen Kerja, Kepuasan Kerja, dan Kinerja Pekerjaan Pada Karyawan Lembaga Pendidikan
TInggi. Jurnal Manajemen dan Pemasaran Jasa, 03, 27-52.

Astuti, P. R. (2008). Meredam Bullying (3 cara efektif mengatasi kekerasan pada anak). Jakarta: PT.
Grasindo.

Detik.com. (2013, Desember 13). 3 Pelecehan Seksual yang Terjadi di Lingkungan Sekolah. Diambil
kembali dari news.detik.com: https://news.detik.com/berita/d-2441059/3-pelecehan-
seksual-yang-terjadi-di-lingkungan-sekolah/1

Forum, W. E. (2020). Schools of the Future: Defining New Models of Education for the Fourth
Industrial Revolution. Cologny/Geneva: World Economic Forum.

Grace Skrzypiec, Phillip T. Slee, Helen Askell-Williams, Michael J. Lawson. (2012). Associations
between types of involvement in bullying, friendships and mental health status. Emotional
and Behavioural Difficulties , 259-272.

Grip, A. d., Loo, J. v., & Sanders, J. (2004). The Industry Employability Index: Taking account of supply
and demand characteristics. International Labour Review, 143(03), 211-233.

Haorrahman. (2017, Juli 17). Diskriminatif ke Siswa Non-Muslim, Bupati Anas Minta Kepala SMPN 3
Genteng Dapat Sanksi. Diambil kembali dari tribunnews.com:
https://www.tribunnews.com/regional/2017/07/17/diskriminatif-ke-siswa-non-muslim-
bupati-anas-minta-kepala-smpn-3-genteng-dapat-sanksi

Hasibuan, R. (2021). Bahan Ajar PErencanaan dan Evaluasi Kesehatan. Medan: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Unibersitas Islam Negeri Sumatera Utara.

Hendarman, D. (2018). Konsep dan Pedoman Penguatan Pendidikan Karakter. Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.

Jahja, K. (2009). Seri Budaya Unggulan 5R (ringkas, Rapi, Resik, Rawat, Rajin). Jakarta: PPM.

Kasih, A. P. (2021, Desember 20). Serius Tangani "3 Dosa Besar" Dunia Pendidikan, Nadiem Bentuk
Pokja. Diambil kembali dari edukasi.kompas.com:
https://edukasi.kompas.com/read/2021/12/20/191000471/serius-tangani-3-dosa-besar-
dunia-pendidikan-nadiem-bentuk-pokja?page=all

Keraf, S. (1991). Etika Bisnis. Yogyakarta: Kanisius.

https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2022/09/mengenal-peran-6c-dalam-
pembelajaran-abad-ke21

KPAI. (2020). Rincian tabel data kasus pengaduan anak bedasarkan klaster tahun 2016-2020.
Jakarta: KPAI.

79
Kusumasari Kartika H. D., D.K.K. (2019). Bullying di Sekolah: Pengertian, Dampak, Pembagian dan
Cara Menanggulanginya. Pedagogia, 55-66.

Mangkunegara, A. P. (2010). Evaluasi Kerja SDM. Bandung: Refika Aditama.

Mantalean, V. (2022, Januari 19). Pemerintah Catat 6.500 Lebih Kasus Kekerasan Seksual terhadap
Anak Sepanjang 2021 Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pemerintah
Catat 6.500 Lebih Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak Sepanjang 2021", Klik untuk baca:
https://nasional.k. Dipetik Juni 2022, dari nasional.kompas.com:
https://nasional.kompas.com/read/2022/01/19/18555131/pemerintah-catat-6500-lebih-
kasus-kekerasan-seksual-terhadap-anak-sepanjang?page=all

Naufal, M. (2021, Desember 16). Adukan Dugaan Pelecehan 3 Siswi SMK ke Orangtua, P2TP2A:
Mereka Kaget. Diambil kembali dari megapolitan.kompas.com:
https://megapolitan.kompas.com/read/2021/12/16/21054511/adukan-dugaan-pelecehan-
3-siswi-smk-ke-orangtua-p2tp2a-mereka-kaget?page=all

Palmer, S. B. (2018). Bystander responses to bias-based bullying in schools: A developmental


intergroup approach. London: UCL Institute Of Education.

Parashakti, R. D. (2020, Januari). Pengaruh Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (K3), Lingkungan Kerja
Dan Beban Kerja Terhadap Kinerja Karyawan. Jurnal Ilmu Manajemen Terapan, 01(03), 290-
304.

Permana, M. (2022, Januari 31). Guru SMA di Jember Berkata Rasis ke Siswa, Gubernur Jatim Beri
Sanksi Tak Mengajar. Diambil kembali dari merdeka.com:
https://www.merdeka.com/peristiwa/guru-sma-di-jember-berkata-rasis-ke-siswa-gubernur-
jatim-beri-sanksi-tak-mengajar.html

Quick, J. C. (2017). Sexual Harassment: Have We Made Any Progress? Journal of Occupational Health
Psychology, 286-298.

Rakib, M. (2021, Desember 16 ). Siswi SMK di Jeneponto Jadi Korban Perundungan 5 Orang,
Tubuhnya Ditarik, Didorong hingga Diseret. Diambil kembali dari tribunnews.com:
https://www.tribunnews.com/regional/2021/12/16/siswi-smk-di-jeneponto-jadi-korban-
perundungan-5-orang-tubuhnya-ditarik-didorong-hingga-diseret?page=1

Sianipar, R., & Salim, V. (2019, Mei). Faktor Etos Kerja Dan Lingkungan Kerja Dalam Membentuk
“Loyalitas Kerja” Pegawai Pada Pt Timur Raya Alam Damai. Jurnal Ilmiah Akuntansi dan
Manajemen (JIAM), 15(01), 15-27.

Simarmata, H. T., Sunaryo, Susanto, A., Fachrurozi, & Purnama, C. S. (2017). Indonesia Zamrud
Toleransi. Jakarta: PSIK-Indonesia.

Sinomo, J. (2005). 8 Etos Kerja Profesional. Jakarta: PT. Spirit Mahardika.

Salmivalli, C., Voeten, M., & Poskiparta, E. (2011). Bystanders Matter : Associations
Between Reinforcing , Defending , and the Frequency of Bullying Behavior in
Classrooms Bystanders Matter : Associations Between Reinforcing , Defending , and
the Frequency of Bullying Behavior in Classrooms. October 2011, 37–41.
https://doi.org/10.1080/15374416.2011.597090

80
Sullivan, K., Clearly, M., & Sullivan, G. (n.d.). Bullying in Secondary School, What it Looks
Like and How To Manage It. Paul Chapman Publishing.
Smith, K. S. (2014). Understanding School Bullying. Sage.
suara.com. (2021, Oktober 18). Pelajar SMK Peroleh Kekerasan Seksual sampai Meninggal, Pelaku
Diduga 12 Orang. Diambil kembali dari ayosurabaya.com:
https://www.ayosurabaya.com/hot-news/pr-781498647/pelajar-smk-peroleh-kekerasan-
seksual-sampai-meninggal-pelaku-diduga-12-orang?page=3

Sudirman, D. W. (2005, Agustus). Budaya Organisasi, Budaya Kerja, dan PEngaruhnya dalam Praktik
Manajemen. Efisiensi: Kajian Ilmu Administrasi, V(02), 89-99.

Suma'mur. (2009). Corporate Hygiene and Occupational Health. Jakarta: CV. Agung Seto.

Supriyadi, Suryana, A., & Rahayu, E. S. (2020). Pembentukan Karakter Kerja dan Kontrak Belajar.
Jakarta: Direktorat SMK, .

Tamkin, P., & Hillage, J. (1999). Employability and Employers: The Missing Piece of Jigsaw. Brighton:
Institute for Employment Studies.

Tarmy, A. (2020, Januari 20). Begini Kronologi Siswi SMA Sragen yang Diteror Gegara Tak Berjilbab.
Diambil kembali dari news.detik.com: https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-
4866820/begini-kronologi-siswi-sma-sragen-yang-diteror-gegara-tak-berjilbab

Thijssen, J. G., Heijden, B. I., & Rocco, T. S. (2008, June). Toward the Employability--Link Model:
CUrrent Employment Trasition to Future Employment Perspectives. Human Resource
Development Review, 7(2), 165-183.

Wahyu, A. M., & Sa'id, M. (2020). Semakin Religius, Semakin Intoleran? Kepercayaan Politik Sebagai
Variabel Moderator. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 09(01), 24-35.

Walton, D. (1999). Rethinking the Fallacy of Hasty Generalization. Argumentation. Argumentation,


13, 161-182.

Widoyoko, E. P. (2009). Evaluasi Program Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Winataputra, U. S. (2017). Pedoman Umum Penggalian dan Perwujudan Nilai Akhlak Mulia Bagian
Penguatan Pendidikan Karakter. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah, Kemendikbud.

Witowska, E. (2005). Sexual harassment in schools Prevalence, structure and perceptions. Stockholm:
National Institut for Working Life & authors .

Yorke, M., & Knight, P. (2004). Self-Theories: Some Implication for Teaching and Learning in Higher
Education. Studies in Higher Education, 29(1), 25-37.

Zamtinah, Kurniawan, U., Sarosa, D., & Tyasari, R. (2011, Oktober). Model Pendidikan Karakter Untuk
Sekolah Menengah Kejuruan. Jurnal Pendidikan Karakter, 01(01), 98 - 109.

Zhan, E. (2022 , Januari 03). Viral! Video Penganiayaan Siswi SMK oleh Wanita Tak Dikenal, Korban
Sampai Alami Trauma. Diambil kembali dari Kompas.tv:
https://www.kompas.tv/article/247907/viral-video-penganiayaan-siswi-smk-oleh-wanita-
tak-dikenal-korban-sampai-alami-trauma

81
Ananda, R., & Rafida, T. (2017). Pengantar Evaluasi Pendidikan (C. Wijaya (ed.)).
Perdana Publishing.

Chiani, S. H., Sulami, N., Windari, A. P., Irawan, B., & Indrayani, N. (2022). Studi
tentang Perilaku Perundungan Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di
Kabupaten Bima. JIIP - Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, 5(2), 415–418.
https://doi.org/10.54371/jiip.v5i2.444

Claudia, F., & Sudarji, S. (2018). Sumber-Sumber Resiliensi Pada Remaja Korban
Perundungan Di Smk Negeri X Jakarta. Jurnal Psibernetika, 11(2), 101–114.
http://journal.ubm.ac.id

Fikri, M., Hastuti, N., & Wahyuningsih, S. (2014). Pelaksanaan Evaluasi Program
Pendidikan. In Miftahul Fikri (Ed.), Nulis buku (Vol. 2).
https://independent.academia.edu/miftahulfikri45

Fitriyani, D., Sundari, O., & Dongoran, J. (2019). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Etos Kerja Pegawai Kecamatan Sidorejo Salatiga. Jurnal Ilmu Sosial Dan
Humaniora, 8(1), 24. https://doi.org/10.23887/jish-undiksha.v8i1.21351

Hadiansyah, A., & Yanwar, R. P. (2017). Pengaruh Etos Kerja Terhadap Kinerja
Karyawan PT. AE. JURNAL Al-AZHAR INDONESIA SERI HUMANIORA, 3(2),
150. https://doi.org/10.36722/sh.v3i2.204

Hasibuan, A. (2017). Etika Profesi Profesionalesme Kerja (A. F. H. Hasibuan (ed.);


Vol. 53, Issue 9). UISU Press.

Haworth, N., & Hughes, S. (2012). The International Labour Organization. In


Handbook of Institutional Approaches to International Business.
https://doi.org/10.4337/9781849807692.00014

Hughes, P., & Ferrett, E. (2009). Introduction to health and safety at work: the
handbook for the NEBOSH National General Certificate.
https://books.google.dk/books?
id=YhlKT43FNRAC&dq=health+and+safety&source=gbs_navlinks_s

Isao, K., & Art, S. (n.d.). Toyota Kaizen Methods Six Steps to Imporvement.
Productivity Press.

82
Kurniawan, Y., & Noviza, N. (2018). Peningkatan Resiliensi pada Penyintas
Kekerasan terhadap Perempuan Berbasis Terapi Kelompok Pendukung.
Psikohumaniora: Jurnal Penelitian Psikologi, 2(2), 125.
https://doi.org/10.21580/pjpp.v2i2.1968

McLoughlin, C., & Miura, T. (2017). True Kaizen: Management’s role in improving
work climate and culture. In True Kaizen: Management’s Role in Improving
Work Climate and Culture. https://doi.org/10.1201/9781315180373

Muhtarom, M. (2020). Implementasi Revolusi Mental Dalam Kurikulum Pendidikan


Dasar. Tatar Pasundan : Jurnal Diklat Keagamaan, 13(2), 169–180.
https://doi.org/10.38075/tp.v13i2.24

Patton, M. Q. (2015). Qualitative Research and Evaluation methods (4th ed.).

Samsu. (2017). Metode penelitian: teori dan aplikasi penelitian kualitatif, kuantitatif,
mixed methods, serta research & development. In Rusmini (Ed.), Diterbitkan
oleh: Pusat Studi Agama dan Kemasyarakatan (PUSAKA). PUSAKA.

Sugiyono, D. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Tindakan (19th


ed.). Alfabeta.

Theodore, W., & Sudarji, S. (2020). Faktor-Faktor Perilaku Perundungan Pada


Pelajar Usia Remaja Di Jakarta. Psibernetika, 12(2), 67–79.
https://doi.org/10.30813/psibernetika.v12i2.1745

Yusuf, A. M. (2017). Metode Peneliatian Kuantitatif, Kualitatif, & Penelitian


Gabungan. Prenamedia Group.

83
84

Anda mungkin juga menyukai