Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah
Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah
BAB I
PENDAHULUAN
C. Tujuan
1. Menjelaskan pengertian kaidah ushuliyah dan kaidah fiqhiyah
2. Memahami apa itu ‘aam dan khas serta dapat membedakannya
3. Mengetahui hukum berhujjah dengan lafadz ‘am
4. Mengetahui takhsis mukhassis dan macam-macamnya
5. Menjelaskan pengertian amar dan nahyu
6. Mengetahui bentuk-bentuk amar dan nahyu
BAB II
PEMBAHASAN
Contoh Ma’syara:
.س َألَ ْم يَْأتِ ُك ْم َر ُس ٌل ِّم ْن ُك ْم يَ ْقضُوْ نَ َعلَ ْي ُك ْم أيتِ ِه َويُ ْن ِذرُوْ نَ ُك ْم لِقَا َءيَوْ ِم ُك ْم ه َذا
ِ يَا َم ْع َش َر ْال ِجنِّ َواِإل ْن
“Hai sekalian jin dan manusia! Tidakkah sampai kepadamu utusan-utusan yang menceritakan
ayat-Ku kepadamu? Serta menakuti kamu akan pertemuan hari ini” (Q.S al An’am Ayat 12).
Selain ke-4 lafadz diatas, سائرjuga termasuk lafadz ‘aam.[7]
Contoh Saairun:
.أمسك اربعا وفارق سائرهن
“Pegangi yang empat dan ceraikan selebihnya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
b. Isim Syarat (Man, Maa, dan Ayyun)[8]
Contoh Man (barang siapa):
.َم ْن يَ ْع َمل سُوْ ًء يُجْ َزبِ ِه
“Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan
itu” (Q.S an Nisa’ Ayat 123).
Contoh Maa (apa saja):
َّ َو َما تُ ْنفِقُوْ ا ِم ْن خَ ي ٍْر يُ َو
ف اِلَ ْي ُك ْم
“ Apa-apa yang kamu belanjakan berupa kebaikan, maka bagi dirimu faedahnya” (Q.S al
Baqarah Ayat 272).
Contoh Ayyun (yang mana saja):
.اَيًّا َّما تَ ْد ُعوْ ا فَلَهُ اَأل ْس َمآ ُء ْال ُحسْن َى
“ Sembarang nama kamu bermohon, maka bagi-Nya nama-nama yang baik” (Q.S al Isra’
Ayat 110).
c. Isim-isim istifham (Maa, man, Aina, Mata)[9]
Contoh Man(siapa):
.َم ْن َذاالَّ ِذى يُ ْق ِرضُ هللا قَرْ ضًا َح َسنًا
“Siapakah yang mau berpiutang kepada Allah dengan piutang yang baik ?” (Q.S al Baqarah
Ayat 245).
Contoh Maa(apa):
.َما َسلَ َك ُك ْم فِى َسقَ ٍر
“Apa sebab kamu masuk neraka ?” (Q.S al Mudatsir Ayat 42).
Contoh Aina(dimana):
اَ ْينَ تَ ْس ُك ْن ؟
Contoh larangan:
.َواَل تَ ْق َربُوا ال ِّزنَا
“dan janganlah kamu mendekati zina” (Q.S al Isra’ (17): 32).
Ayat ini memberi peringatan bahwazina itu haram, selama tidak terdapat dalil yang
memalingkan dari keharaman itu.
Jumhur ulama’ sepakat bahwa ‘am itu dibangun dari khas, oleh karna itu, khas itu lebih
kuat dari ‘aam dalam penggunaannya. Maka, penggunaan ‘aam dapat gugur jika ditemukan
khas. Adapun khas tidak dapat digugurkan oleh ‘aam.[14]
“dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin yang lain, kecuali karena
salah (tidak sengaja), dan barangsiapa yang membunuh orang mukmin karena salah, maka
hendaklah ia memerdekakan budak yang mukmin” (Q.S an Nisa’ Ayat 92).
Lafadz“Raqabah” adalah lafadz umum yang meliputi sekaalian budak, dengan adanya lafadz
“mukminah” sebagai sifat dari raqabah, maka tidak termasuk didalamnya budak yang tidak
beriman.[22]
Contoh sifat setelah jumlah:
“Aku berwakaf kepada anakku dan aku berwakaf kepada temanku yang ‘alim keduanya”.
Lafadz anak dan teman adalah umum, sedangkan lafadz ‘alim sebagai sifat keduanya
merupakan pengkhususan, maka termasuk didalamnya yang ‘alim saja.
c. Ghayah
(batas maksimalitas), adakalanya ghayah dengan (ila) dan (hatta). Yang dimaksud ghayah
dengan (ila) ialah kesudahan-kesudahan sesuatu sampai (masuk) pada batas yang telah
ditentukan (batas akhir).
Contoh ghayah dengan ila:
ِ ِصاَل ِة فَا ْغ ِسلُوْ ا ُوجُوْ هَ ُك ْم َواَ ْي ِد ْي ُك ْم اِلَى ْال َم َراف
.ق َّ اِ َذا ُك ْنتُ ْم اِلَى ال
“Bila kamu akan melaksanakan sembahyang, maka basuhlah muka kamu dan tanganmu
sampai kedua mata siku” (Q.S al Maidah Ayat 6).
Dalam ayat diatas bahwa mata siku merupakan batas akhir yang harus dibasuh juga.[23]
Contoh ghayah hatta:
ْ ََواَل تَ ْق َربُوْ ه َُّن َحتَّى ي
. َطهُرْ ن
“jangan kamu dekati perempuan-perempuan yang dalam keadaan haidl, hingga ia suci” (Q.S
al Baqarah Ayat 222).
Kata hingga pada ayat tersebut mentakhsis kalimat umum sebelumnya, memberikan
pengertian bahwa semua perbuatan (mendekati) dilarang, maka dengan kalimat ghayah
(hatta) tidak berlaku lagi hukum yang umum.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Istinbath adalah menggali hukum syara’ yang belum ditegaskan secara langsung oleh
nash Al-Qur’an atau Sunnah. Dilihat dari segi cakupannya, ada pernyataan hukum yang
bersifat umum dan ada juga yang bersifat khusus, ada yang berupa perintah dan ada pula
yang berupa larangan. Sasaran hukum dalam pernyataan hukum yang umum adalah tanpa
pengecualian, sedangkan pernyataan khusus mengandung pengertian tunggal atau beberapa
pengertian yang terbatas.
Berbicara tentang kehujjahan lafadz ‘Aam, dibedakan menjadi dua, yaitu ketika lafadz
‘am telah ditakhsis, maka akan tetap menjadi hujjah bagi yang lain. Karena lafadz ‘am
tersebut menunjukkan keseluruhan yang termasuk didalamnya, dengan adanya takhsis tidak
berarti lafadz ‘aam tersebut tidak berlaku lagi bagi yang lain. Sedangkan beramal dengan
yang umum sebelum ditakhsis (diteliti) tidak diperbolehkan, hal ini dilakukan untuk
menjauhkan kita dari taqlid, karena taqlid menurut agama tidak diperbolehkan.
[1]Miftahul A, A. Faishal Haq, Ushul Fiqh: kaidah-kaidah Penetapan hokum Islam,
(Surabaya: CV. Citra Media, 1997), h. 170
[2] Ade Dedi Rohayana, Ilmu Ushul Fiqih, (Pekalongan: STAIN Press, cet.2, 2006), h. 206-207
[3] Proyek pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi, 1986, h. 181
[4] Sapiudin shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenata media, 2011), h. 160
[5] Nazar bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), h. 184
[6]Ibid, hlm. 185-186
[7] Miftahul A, A. Faishal Haq, Ushul Fiqh: kaidah-kaidah Penetapan hokum Islam,
(Surabaya: CV. Citra Media, 1997), h. 212
[8] A. Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1961), h. 51
[9] Nazar bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), h. 187
[10] Sapiudin shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenata media, 2011), h. 161
[11] Ibid, hlm. 164
[12] Miftahul A, A. Faishal Haq, Ushul Fiqh: kaidah-kaidah Penetapan hukum Islam,
(Surabaya: CV. Citra Media, 1997), h. 223
[13] Abd. Syaikh Muh. Al Khudhori Biek, Terjemah Ushul Fiqih, (Pekalongan: Raja Murah,
1982), h. 239
[14] Abdullah Hamid, Al- Bayan, (Jakarta: Sa’adliyah Putra, 1983), h. 71
[15] A. Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1961), h. 62
[16] Miftahul A, A. Faishal Haq, Ushul Fiqh: kaidah-kaidah Penetapan hukum Islam,
(Surabaya: CV. Citra Media, 1997), h. 217
[17] kata yang disebutkan setelah adatul istisna’ (huruf istisna’) untuk menyelisihi hukum kata
sebelum adatul istisna’.
[18] Kata yang terletak setelah huruf istisna’.
[19] Abd. Syaikh Muh. Al Khudhori Biek, Terjemah Ushul Fiqih, (Pekalongan: Raja Murah,
1982), h. 221-222
[20] Nazar bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), h. 198
[21] A. Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1961), h. 64-65
[22] Sapiudin shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenata media, 2011), h. 166
[23] Miftahul A, A. Faishal Haq, Ushul Fiqh: kaidah-kaidah Penetapan hukum Islam,
(Surabaya: CV. Citra Media, 1997), h. 218
[24] Abd. Syaikh Muh. Al Khudhori Biek, Terjemah Ushul Fiqih, (Pekalongan: Raja Murah,
1982), h. 220
[25] Nazar bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), h. 204
[26] Sapiudin shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenata media, 2011), h. 167-168
[27] Adanya tergantung pada syarat (balasan dari syarat)
[28] A. Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1961), h. 68
[29] Nazar bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), h. 205
[30] A. Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1961), h. 70-71
[31] Sapiudin shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenata media, 2011), h. 168-169
[32] Satu wasaq = 60 sha’
Satu wasaq = 200 kg
Lima wasaq = 1000 kg
[33] Ibid, hlm. 171
[34] A. Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1961), h. 72
[35] Mengikuti dan menerima perkataan orang lain dengan tidak mempunyai alasan
[36] Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana perguruan Tinggi Agama, 1986, hlm. 25
[37] Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, (Damaskus: Daar al-Fikr, 1958), h. 176
[38] Miftahul A, A. Faishal Haq, Ushul Fiqh: kaidah-kaidah Penetapan hukum Islam,
(Surabaya: CV. Citra Media, 1997), h. 239
[39] Ibid, hlm. 239
[40] Nazar bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), h. 175
[41] A. Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1961), h. 37
[42] Sapiudin shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenata media, 2011), h.173-174
[43] Miftahul A, A. Faishal Haq, Ushul Fiqh: kaidah-kaidah Penetapan hukum Islam,
(Surabaya: CV. Citra Media, 1997), h. 245
Diposting oleh Dzurotus Stimaril Fuadil Ula di 10.20
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest
Posting Komentar
Mengenai Saya
Dzurotus Stimaril Fuadil Ula
Lihat profil lengkapku
Arsip Blog
▼ 2014 (12)
o ▼ Oktober (10)
Mutlaq dan muqoyyad
Mutlaq dan muqoyyad
Qiyas
ijma'
BAB IPENDAHULUAN<!--[if !supportLists]-->A. <!--...
Kaidah ushuliyah dan fiqhiyah
Hukum Mukhtalaf
hadits dan sunnah
Pertumbuhan dan Perkembangan Ushul Fiqh Masa Rasul...
Hukum dan pmbagiannya
o ► September (2)