Seni Pasca Pandemi - Iakn Tana Toraja
Seni Pasca Pandemi - Iakn Tana Toraja
ERIE SETIAWAN
“Relasi antara Musik dan Wabah bukanlah cerita baru,
melainkan telah ada sejak 2700 tahun yang lalu...”
Tahun 1576, di Milan, Italia, terjadi epidemi ganas yang disebut oleh Alessandro Manzoni
(filsuf, penyair), sebagai Wabah Santo Charles. Dalam waktu kurang dari dua bulan, 6000
nyawa terenggut karena wabah ini.
Uskup Agung Milan waktu itu, Charles Borromeo, membuat perintah semacam Go
Lockdown ke seluruh warganya, menganjurkan setiap orang agar tetap di rumah, berdoa
dan beribadah di rumah. Ketika sebagian orang dari pemerintahan gereja berkeliling
untuk membagi-bagikan sembako kepada warga, mereka umumnya bersaksi:
Ketika wabah melanda Sparta pada Abad ke-7 SM, para pemimpin kota mengajukan petisi
kepada penyair Thaletus untuk menyanyikan lagu-lagu pujian, dan Terpander (Terpandros),
penyair Yunani Kuno yang terkenal, dipanggil saat wabah melanda Lesbos. Bahkan
Pythagoras, pencipta teorema favorit bagi setiap anak sekolah, menggunakan musik sebagai
alat terapi, ia memainkan kecapi untuk menenangkan para hooligan (penggila sepak bola)
yang mabuk!
Oh, ya, ada juga aktivitas unik di Italia pada Abad Pertengahan, dimana ketika warganya
mendengar informasi bahwa akan ada wabah dan diminta hati-hati, mereka berbondong-
bondong pergi ke tempat suci untuk bernyanyi dan berdoa secara kolektif, menyebar
frekuensi positif. Juga di tiap ruas-ruas jalan.
Plato mengaitkan musik dengan moralitas; Phytagoras menguji lebih eksplisit hubungan musik dan
matematika (maka lahirlah hukum tala sebagai rasio-logis yang mempengaruhi “ilmu frekuensi” dan
harmoni); Aristoteles juga telah berbicara tentang musik dan makna keindahan yang hidup di alam
batin manusia (psikologi, estetika); Thomas Aquinas menganggap bahwa penciptaan seni (tak
terkecuali musik) berhubungan dengan teologi, para kreator bisa berkarya dengan mengambil tema-
tema pokok yang berkaitan dengan religiositas untuk semakin memahami peran dan dimensi
Ketuhanan. Theodor W. Adorno di awal abad ke-20, mengaitkan 12 nada di dalam sistem musik
diatonis dengan kesetaraan peran dan tanggung jawab di lingkup sosial; Para Etnomusikolog pada
pertengahan abad ke-20 hingga saat ini mengaitkan musik dengan entitas keberagaman budaya yang
unik; Ahli permrograman komputer, ahli robotik, musisi, pakar teori musik, komposer, dan
sekelompok futuris, bertemu dan menciptakan “produk-produk musik” yang dapat dimunculkan dari
“aktivitas mesin”, itulah Artificial Intelligence (Kecerdasan Buatan) yang bisa berbentuk software
atau perangkat teknologi hyper-reality yang rumit, dan seterusnya...
KITA, MUSIK, BIG DATA (DI INTERNET),
DAN KOMUNITAS MAYA YANG MELIMPAH HARI INI?
Apa yang terlintas (dan perlu) kita (r)asa-kan?
sebelum memahami dan mengimplementasikan pengetahuan musik
untuk kehidupan sehari-hari?
“Para pemimpin terbaik memiliki „musik‟ di dalam diri mereka, yang
menggerakkan mereka untuk berpikir dan bertindak dengan melibatkan
imajinasi dan kemampuan emosi (rasa keindahan)”
INDRA DENGAR,
RASA, & PIKIRAN
01 Hearing
PERSPEKTIF
PENDENGAR
(dan bisa diluaskan) 02 Listening
03 Deep Listening
04 to un-Hear
AFEKTIF
KOGNITIF 01 Playing 06 Singing
PSIKOMOTORIK
PERSPEKTIF
02 Arranging 07 Conducting
PRAKTISI/PELAKU MUSIK
03 Composing dst...
04 Teaching
05 Managing
Fakta Profesi Musik dan “Produknya”, semua berhubungan dengan sumber Big Data
Kata Kunci Lainnya:
01 Musikal(itas)
02 Musicianship
Internalisasi:
03
Learning Leadership through Music?
04 Figur Musik Masa Depan?
05 Knowledge Image or “Visual” Image?
TERIMA KASIH