Erie Setiawan
SHORT MUSIC SERVICE
Copyright (c) 2008 Erie Setiawan
Penyunting
Fahd Djibran
Penata Letak
Huda Albanna
Perancang Sampul
Fahd Djibran
Diterbitkan oleh
Prophetic Freedom
Jln. Cilengkrang 2 No. 467
Bandung telp. +62 813 2265 6523
http://www.propheticfreedom.co.nr
E-mail: pfproject@yahoo.co.id
_____________________________________________________________
Setiawan, Erie
Short Music Service / Erie Setiawan, — cet. 1 —
Bandung: Prophetic Freedom, 2008
244 hlm; 21 cm
ISBN 978-979-16818-9-6
Pengatar Penerbit – xi
Pengantar Sabrang Mowo Damar Panuluh – xiii
Prolog: Sebuah Perjalanan Musikal – xv
Ucapan Terima Kasih – xix
Tradisi? – 171
18. Aneh, Musik Serius Jadi Guyonan! – 177
19. Rieko Suzuki : “Tak Cukup Memahami Notasi” – 181
20. Sekali Klik Dengar Musik – 187
21. Karya Baru Musik Keroncong – 193
22. Disco-nya Kaum Spiritualis – 197
Fahd Djibran
Direktur Prophetic Freedom Project
Catatan Pengantar
Sabrang Mowo Damar Panuluh
dan kontemplasi.
Dari sudut pandang seorang scholar musik, sebentuk
alunan adalah representasi social standing seseorang di
tengah society-nya.
Dari sudut pandang seorang pemikir musik, sebentuk
alunan adalah batu bata dalam pertumbuhan sebuah
peradaban.
Dari sudut pandang seorang pelaku musik, sebentuk
alunan bisa jadi palette warna untuk menggambar hidupnya.
Dari sudut pandang seorang penulis buku ini, kita diajak
menaiki roller coaster ide, pemikiran, kontemplasi, dari
sebuah kepala yang memakai kacamata bernada.
Buku ini adalah “komposisi musik” yang indah dan
menarik, walau tanpa nada.
Ketika membaca buku ini, kita berkesempatan untuk
(sesekali) tidak hanya menikmati musik, tapi mencoba
memahaminya.
bisa menjelaskan.
“O....Ya, ya. Aku tahu”, jawab Ahmad dengan yakin.
Lalu ditambahkannya lagi pertanyaan, “Berarti kamu bisa
dong bikin musik buat iringan film kartun?”
Ahhh, dasar Ahmad! Jawaban saya yang panjang tadi
seperti jadi bumerang.
Saya menjawab terus terang saja, “Tidak bisa.”
Ahmad menimpali, “Lha, terus buat apa kamu kuliah
musik?”
Ahhh, sekali lagi, dasar orang Madura satu ini!
Tapi saya tidak menyerah untuk menjawab pertanyaannya
yang makin seru. “Ya buat cari duit kalau sudah lulus.”
Ahmad mengangguk tapi mukanya dikecuti rona
penasaran. “Berarti kamu jadi artis saja, duitnya bakalan
banyak!”
Haha. Saya ketawa sendiri.
“Bukan, bukan, saya tak mau jadi artis. Saya mau jadi orang
biasa saja, kok.”
Ahmad sedikit ketawa, dilanjutkannya lagi obrolan.
“Lha, terus, kalau kamu belajar musik klasik dan tidak bisa
bikin musik klasik seperti musik Tom & Jerry itu, terus kamu
bikin musik apa?”
Pertanyaannya ringan tapi menggigit.
Saya jawab lagi, “Ya saya bikin musik yang bukan klasik.”
“Loh...”, Ahmad kaget. “Katanya tadi kamu belajar musik
klasik, kok malah bikin musik yang nggak klasik? Gimana tho
kamu ini?”
Saya jawab lagi, “Musik klasik itu kan musik kuno, seperti
yang saya bilang tadi Mad. Lha zaman sekarang kan bukan
kuno lagi. Jadi nggak ada musik klasik, yang ada pop,
keroncong, disco, dangdut, jazz, hip-hop, rock, metal, punk,
grunge, death-metal, cong-dut, dan lainnya!”
Melihat jenis-jenis kelamin musik yang saya sebutkan itu,
Ahmad malah semakin bingung. Saya berdosa padanya tidak
SMS: Short Music Service 19
Yogyakarta, 2007
Beethoven,
Aku Mencintaimu
Ya apa?
Yang satu punya jiwa seni yang kuat: kreatif dan tidak stagnan,
Yang satu punya jiwa seni yang tidak kuat: tidak kreatif dan
stagnan
Yang satu lemah namun punya semangat: tidak peduli kritik,
Yang satu bagai filsuf: apa pun lahap sampai ke akar,
Yang satu penghibur sejati: lagu apa pun yang di-request
selalu bisa,
Yang satu seni untuk uang: tidak berpikir otak kanan-kiri,
apalagi idealisme,
Yang satu seperti superman: sering terbang ke luar negeri
sambil bawa seruling,
Yang satu mirip nasi rames: apa pun masuk, semakin campur
SMS: Short Music Service 38
semakin asyik
Yang satu disiplin di satu rel: punya satu tujuan, tak pernah
terpengaruh
Yang satu tidak pandai: (namun) sekali genjreng dan nyontong
satu juta
Yang satu cuma gaya doang: main musiknya biasa, malah
nggak bisa
Yang satu pemikir sejati: malah kurang bisa main musik
dengan baik
Yang satu pembohong sejati: live show kok rekaman, pura-
pura nyanyi: lip sing
Yang satu tak tahu ilmu: namun segudang musik dia tahu
Yang satu perfeksionis: salah senada cocokin di undang-
undang
Yang satu cuma iseng: aslinya dokter gigi, bagusnya kalau
nyanyi Killing Me Softly
Yang satu penyakitan: main tanpa bayaran nggak mau
Yang satu cakep: main musik bagus, dandan bagus, ini boy's
band
Yang satu sudah tua: tetap pingin perang ama yang muda,
padahal jaman udah lain
Yang satu pintarnya minta ampun: ratusan ilmu musik bisa
apal
Yang satu maniak alat: semua ingin dipelajari tanpa
perhitungan anatomi
Yang satu all around: pop, jazz, rock, keroncong, klasik, rock
and roll, ora masalah...
Yang satu dandan rapi: mainnya musik klasik doang
Yang satu rambutnya pirang: cuma nyanyi di kafe, tidak berani
di lapangan bola
Yang satu udah terlanjur kaya: tidak bisa bercerita tentang
SMS: Short Music Service 39
Saya yang waktu itu masih “sangat kecil” sungguh tak tahu
menahu apa maksud tulisan itu. Apalagi terhadap karya Mas
Yas yang dimainkan rekan saya di kelompok Sarang Damelan
itu. Saya hanya suka jalan-jalan lihat (dengar) musik, wong
rumah saya waktu itu dekat sekali dengan STSI Solo (sekarang
ISI Solo). Tinggal jalan kaki, sampai. Terus terang, saya tetap
nggak ngerti. Sinopsis itu tak baca berulang-ulang, saya hanya
menangkap satu maksud, betapa luasnya musik itu.
Lalu sampailah saya pada kebencian-kebencian pada
pikiran saya sendiri, yang tak kunjung memahami maksud-
maksud karya-karya aneh yang muncul di zaman saya ini. Jika
saya mengamini teori Sussane K. Langer, pakar filsafat dan
estetika, saya tidak perlu repot memahami dan mengerti
maksud karya-karya baru. Karena Sussane berpesan, bahwa
“simbol seni adalah satu dan utuh, karena itu ia tidak
menyampaikan “makna” (meaning) untuk “dimengerti”,
melainkan “pesan” (import) untuk “diresapkan”. Terhadap
“makna” orang hanya dapat mengerti atau tidak mengerti,
tetapi terhadap “pesan” dari seni orang dapat tersentuh
secara lemah dan secara intensif. Di sini terdapat elastisitas
SMS: Short Music Service 51
Komponis
Melewati hari-hari tanpa orang-orang ini bakalan sepi.
Mereka adalah ahlinya musikyang berpikir teliti dan detail.
Yang disiplin masalah harmoni, melodi, ritme, tensi, frekuensi,
sampai tak bisa sembarangan meletakkan nada. Mereka
orang-orang jeli yang melintasi rel sejarah. Kepada merekalah
kreativitas musik itu paling bertumpu. Kehidupan musik
menjadi punya gairah dan tidak statis. Mereka melakukan
dengan penuh keikhlasan, dedikasi, sampai menjajaki musik-
musik paling baru yang berkembang. Ijinkanlah saya
menyebut 3 orang sahabat saya ini, yang melintasi rel sejarah
penciptaan komposisi. Mereka masih muda-muda.
Yang pertama kali harus saya catat adalah bujang Bandung
Tony Maryana: sahabat karib—orang aneh yang pinternya
minta ampun. Saya sangat menghormatinya. Pernah suatu
ketika saya punya acara. Saya minta dia mengisi acara itu.
Saya tak perlu mengundangnya secara formal, pakai
SMS: Short Music Service 56
Musikolog
Tanpa sosok Musikolog, wawasan tidak terbuka, tidak ada
“parade nama”, tidak ada analisis, tidak ada penulisan, tidak
ada penelitian, tidak ada kritik, tidak ada polemik, tidak ada
gairah, tidak ada pemikiran, tidak ada benih-benih yang
membongkar cakrawala musik hingga nun jauh di sana.
Ijinkanlah juga saya menyebut nama sahabat yang mencintai
musikologi secara lahir batin.
SMS: Short Music Service 57
Performer
Tanpa mereka tidak bakal ada panggung, cahaya lampu,
energi, pesona, standing ovation, album musik. Kehadirannya
menghibur, sekaligus representasi atas segala kebekuan yang
tak tersalurkan—kecuali lewat keberanian mental di
panggung, pentas, stage, dan berbagai kesempatan tatap
muka menyaksikan keindahan-keindahan. Komponis dan
performer adalah seperti dua sisi mata uang, tak bisa dipisah.
Barangkali (sementara) orang-orang inilah: Setyawan
Jayantoro, Ika Sri Wahyuningsih, Nino Ario Wijaya.
Mereka (menurut pengetahuan saya) punya latihan rutin
harian, pentas-pentasnya direncanakan, punya rencana dan
tujuan-tujuan tertentu yang diusahakan. Semoga panggung
menghidupinya kelak. Reputasi rekaman membuatnya
membuka link ke mana saja. Membuat suatu gerakan kultural
yang menghidupi kesenian. Musik membuatnya kaya raya.
Syukur-syukur bisa ke luar negeri, habis itu kembali lagi ke sini,
membangun musik (di) Indonesia saja biar tidak pamali.
Pedagog
Tanpa mereka, moral tidak dibicarakan. Apalagi sampai
SMS: Short Music Service 58
Penutup
Untuk sebuah dedikasi, yang dibutuhkan adalah
keikhlasan berkarya tanpa tendensi dan motif apa-apa, selain
memperjuangkan musik itu sendiri. Semua bertugas memberi
kontribusi. Apa pun dedikasi haruslah menjadi semacam
panggilan hidup, demikian pendapat Christianto Hadi Jaya,
seorang komponis.
Gejala Baru:
Semacam Kepungan Audio
Kritik Seni
Secara teoritis, menurut C.J. Ducasse, dalam bukunya Art :
The Critics and You, ada tiga aktivitas manusia dalam
kehidupan seni. Pertama: aktivitas kreasi seni, kedua,
aktivitas penghayatan atau kontemplasi estetik dan yang
ketiga, aktivitas kritik seni.
Semula kritik seni dibangun dari konsep filsafat-metafisis.
SMS: Short Music Service 68
Kritik Musik
Musik, di luar konteks pengkajian atas berbagai latar
belakang yang melingkupinya, seringkali hanya merupakan
persepsi manusia terhadap bunyi (sound) yang bersifat
auditif-afektif. Ketika musik hadir sebagai wacana yang harus
dimengerti (mutlak) secara ilmu pengetahuan, sesungguhnya
ini kurang pada tempatnya—berat sebelah. Namun, kritik
bukan berbicara atas kondisi faktual yang merekayasakan
penikmatan inderawi. Kritik justru menjadi atmosfir yang
berusaha melengkapi berbagai dimensi yang terpendam
untuk dikuak menjadi sebuah wacana yang koheren.
Mudji Sutrisno menulis artikel menarik, 'Dalam budaya
mutakhir dimana produksi komoditas bersanding dengan
produksi simbolik makna dan penggairahan provokatif lewat
iklan yang merangsang basic instinct untuk mengkonsumsi
terus-menerus dan menuruti selera yang diciptakan oleh
SMS: Short Music Service 69
memperjuangkan kesenian.
Dalam musik, tabiat pola pikir kritis yang keras seperti yang
dipunyai sosok yang saya kagumi semacam Halim HD, Suka
Hardjana, Sutanto Mendut, Agus Bing, adalah bagian indikator
adanya dinamika kehidupan seni. Tanpa mereka seolah dunia
musik menjadi kering tak ada gairah. Kata-kata yang mereka
lontarkan kadang-kadang sarkastis, menyiksa batin, namun
sungguh, kata Agus Bing, tidak ada maksud apa-apa di balik
itu, selain mencoba memunculkan tegangan demi perjuangan
mencari hakikat seni yang ideal. Karena wujud perhatian dan
cinta, sama-sama peduli untuk membawa ke kehidupan lebih
baik. Keberadaan mereka membuat decak kagum yang cukup
menggugah saat otak saya sedang tumpul.
Demikianlah, jika beberapa pelaku kritik musik yang saya
contohkan di atas dianggap selalu mewakili lintas diskusi
untuk penggairahan provokatif, maka sebaiknya pikiran
mereka dipelajari dan disaring untuk melakukan
pemahaman-pemahaman lebih dalam lagi. Sekalipun, banyak
sekali orang yang masih bisa ditemui sebagi gudangnya
bahasa kritik.
Sejauh saya menyimak berita koran, membaca ratusan
buku dan ulasan musik, para kritikus musik sepertinya malu
menyebut diri mereka sebagai kritikus. Hanya satu orang yang
berani mencantumkan label Kritikus Musik, dia adalah
Yohanes Bintang Prakarsa, saat menulis Amir Pasaribu,
Riwayatmu Kini (Kompas, 2003). Pertanyaan saya, apakah
memang dunia kritik musik tidak menjejakkan kakinya di
tanah seni yang pasti? Apakah profesi ini memang tidak begitu
menjadi prioritas, karena semua lahan sudah ada di tangan
seniman (komponis) ? Mungkin demikian adanya. Akan
sangat berbeda ketika kita mencoba membandingkannya
SMS: Short Music Service 76
Penuh Ketakterdugaan
Musik, dalam wilayah penikmatan akan bunyi, tentu bukan
persoalan baru. Wilayah auditif yang sengaja/bisa dihasilkan
oleh idiom apapun yang (kadang-kadang) tidak masuk akal
justru menjadi re-presentasi simbolis untuk menghasilkan
sound yang unik. Seperti itulah yang saat ini banyak dicari
komponis experimental music.
Karya Tony, pemuda asal Bandung ini, mengolah keunikan
timbre, tekstur, kompleksitas pengolahan tema, rhythm and
duration, aktualisai ide dalam mewujudkan komposisinya.
Meski tampak sangat 'jor-joran' dan boros dalam
memanfaatkan segala kemungkinan bunyi perkusif, biarkan
itu terjadi pada sosok yang selalu ber-eksplorasi dengan
kreativitas ini. Demikian penting dan dihormatinya alat musik
sebagai medium penyampaian bahasa ekspresi diri sehingga
boleh dikatakan bahwa instrumen adalah sebuah privilege
yang sangat pribadi bagi pemainnya (Suka Hardjana: 2003).
Ternyata, justru inilah yang menarik perhatian dan akan
menjadi sebuah permasalahan estetika musik yang penting
untuk dicermati.
Komposisi ini tidak lahir sebagai karya yang melodius atau
harmonis. Juga, bukan diciptakan untuk memperindah
suasana atau berimajinasi dengan keteraturan kalimat musik
yang bisa diprediksi sebelumnya. Menyaksikan karya Tony
berarti harus bersiap untuk ketegangan dan ketakterdugaan
SMS: Short Music Service 79
Bukan Kebaruan
James R. Brandon pernah meneliti relief yang ada di Angkor
(abad ke-13) dan menemukan sejumlah pahatan alat perkusi
yang bermacam-macam. Karya Tony mencoba membaca
SMS: Short Music Service 80
Yogyakarta, 2005
Jagad Perbukuan Musik
di Indonesia
dari murid. Interaksi yang kondusif antar guru dan murid akan
menyebabkan pendidikan berjalan dengan dinamis. Satu
sekolah adalah satu tubuh, satu kerja, dan satu penggerak.
Apa yang diyakini sebagai penggerak, adalah terletak pada
kekonsistenan masing-masing elemen sekolah dalam
merealisasikan pengajaran dengan profesional, memberikan
pendidikan yang betul, dan berupaya keras mewujudkan cita-
cita masa depan.
Salah satu bahaya yang muncul di Jurusan Musik sekarang
ini, adalah semakin berkurangnya guru, karena baru saja ada
PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) bagi mayoritas guru (GTT)
yang ada. Yang telah berlalu, tahun ke-1 sampai ke-7,
perkembangan Jurursan Musik belum mampu dibaca secara
gradual (tidak selalu ada peningkatan berarti setiap
tahunnya), atau cenderung statis. Hal ini adalah sorotan yang
harus segera dibenahi, mumpung belum terlanjur. Memang,
usia Jurusan ini baru seumur jagung. Keterbatasan guru,
kesejahteraan yang kurang mencukupi bagi para guru (yang
mayoritas GTT), juga salah satu penyebab, perkembangan
jurusan itu terasa seret, selain terbatasnya fasilitas yang ada.
Tentu, kita tidak bisa dengan mudahnya menilai bahwa
semua guru yang menjadi penentu laju pendidikan adalah
orang yang kesemuanya berkompeten dan profesional. Kita
perlu memberdayakan kewaspadaan agar kontinuitas
profesional kerja selalu terjaga dengan menilik kompetensi
para pengajar pula. Lebih berbahaya lagi, apabila orientasi
para pengajar hanyalah bekerja sambil lalu, tanpa menilik
beberapa “cedera” yang menempel di Jurusan Musik selama
ini dan berusaha memperbaikinya secara kontinu. Kita tentu
jelas ingin menghindari cedera-cedera yang ada, dengan
berorientasi mencetak serta menghasilkan lulusan yang
SMS: Short Music Service 97
Catatatan: Esai ini ditulis tahun 2005, saat penulis masih menjadi GTT
di SMK N 8 Surakarta. Saat ini Jurusan Musik SMKN 8 Surakarta
mengalami peningkatan yang cukup berarti. Memiliki sekitar 100-an
murid. GTT yang dulu di-PHK sudah diganti para PNS baru, yang lebih
berkualitas daripada sebelumnya. Berbagai event musik unggulan skala
lokal maupun nasional juga selalu diikuti oleh siswa-siswi.
Jazz dan Selera Wong Solo
Titik Berangkat
Berawal dari Explo Jazz yang digagas pemusik Yasudah,
berlanjut lewat Jazz in Sriwedari, Segaran, Museum, Sar Gede,
dll., adalah contoh adanya gairah jazz yang mulai merangkak.
“Jazz adalah kebebasan persepsi yang harus diserahkan
sepenuhnya kepada pendengar dan musisinya, biarkan publik
dan musisinya berpendapat”, demikian pendapat Yasudah.
Kendati demikian, upaya komponis kontemporer Solo ini patut
dihargai. Lewat ajang rutin yang digelar Mataya Production
tersebut, lahirlah band-band jazz baru yang anggotanya masih
tergolong muda-muda, semisal Mid Session, Siku 4X4,
Arcadea, Blue Skin, Foggy, Bagaskara, Hat n' Friends, dan
lainnya.
SMS: Short Music Service 103
Selera
Jazz tidak begitu saja diterima oleh wong Solo. Kendatipun
jazz termasuk salah satu genre musik populer, di Solo ini—tak
bisa dipungkiri—jazz masih menjadi sesuatu yang terasing.
Sering sekali pertanyaan seperti ini muncul: mengapa musik
jazz susah dinikmati? Mengapa jazz hanya instrumental saja,
(kok) tanpa vokal?
Selama ini jazz dianggap musiknya orang eksklusif
(padahal tidak), yang sering ke kafe dan hotel, jadi orang
awam susah menerimanya, tidak mampu bayar(?) Yang lebih
ironis, mengapa jazz tidak menjadi cepat membumi dengan
masyarakat seperti musik Samsons, Letto, Nidji, Ratu, dsb.
Seperti kita tahu, MTV adalah ikon musik pop yang setiap
detik menayangkan musik pop, bukan jazz. Stasiun TV yang
lain, kecuali Metro TV atau TVRI (yang ada serpihan jazznya),
selalu menayangkan acara pop yang luar biasa fantastis.
Konser ini, konser itu, lomba ini lomba itu, sinetron ini itu yang
ilustrasinya pop, yang semuanya serba pop. Penonton dipaksa
untuk duduk diam (setiap saat) di depan TV dengan nikmat,
SMS: Short Music Service 104
populer saja, yang turun langsung dari Amerika itu, yang dulu
dikatakan Bung Karno sebagai musik ngak-ngik-ngok. Seperti
halnya jazz, campur sari adalah pop. Satu hal yang musti kita
pahami sungguh-sungguh adalah, hampir sebagian besar
masyarakat Solo adalah penggemar Didi Kempot dan Cak
Diqin, yang kental campur sarinya. (Mantan Walikota Solo,
Slamet Suryanto aja pernah bikin album campur sari!).
Selebihnya, wong Solo adalah penggemar keroncong,
dangdut, pop, rock, jazz, klasik, reggae, country, dan puluhan
musik lain.
Untuk mengharapkan jazz sampai ke telinga pendengar
yang luas, di Solo ini, adalah kerja keras yang kesannya
(memang) masih babat alas. Permasalahan selera dan latar
belakang budaya ternyata menjadi faktor utama. Karena, kita
murni mengadopsi Amerikana minded—karena jazz adalah
serpihan budaya Amerika. Selera bisa mempengaruhi
perkembangan.
Kita bisa mengidentifikasi perkembangan jazz di Solo dari
beberapa faktor. (1) ada musisi plus pengamatnya, (2) ada
media yang memberitakannya, (3) ada komunitas sekaligus
penikmatnya, (4) ada album rekaman dari para kreatornya, (5)
ada pentas, diskusi dan ada seminarnya. Semua itu harus
dengan regulasi yang stabil dan semangat yang dinamis.
Adanya event yang rutin diselenggarakan Mataya, adanya
beberapa radio di Solo (contoh: Metta, Solo Radio, RRI,
Karavan), yang menyiarkan musik jazz secara rutin, juga
adanya koran Solo Pos yang terus-menerus memberitakan
pentas jazz, juga tak ketinggalan adanya banyak musisi muda
yang sudah mulai lahir, adalah bukti nyata bahwa masih ada
harapan yang cerah untuk bersama-sama membumikan
musik jazz di Solo, yang tak boleh disertai sikap pesimis.
SMS: Short Music Service 106
a t r a k t i f , g a y a - g a y a y a n g p o p u l i s , f a m i l l i e r,
ataubahkanpenyanyi yang memiliki suara bagus seperti
Christoper Abimanyu, pastilah mendapat sambutan yang
meriah. Ketiga, setelah penonton pergi dari ruang konser, ada
sisa bunyi yang terngiang di kuping, suatu saat ada keinginan
menonton itu lagi.
Kesuksesan dapat pula diukur dari “skenario”
pertunjukan. Penyusunan urutan lagu (yang tentu sudah
diprediksikan) akan membawa penonton 'lebur' dalam
suguhan yang ditawarkan. Hal itu akan menjadi kunci pokok
selama pertunjukan berlangsung, dari awal ketika artis naik
pentas, musik berbunyi, hingga akhir lagu sampai balon
meletus, kertas warna-warni bertebaran, dan kembang api
'muncrat' dari muaranya.
Penonton yang jeli akan menilai suksesnya suatu
pertunjukan salah satunya dari segi “skenario” tersebut. Pada
saat penonton masuk ruang konser, mereka belum punya
persepsi atau gambaran apapun mengenai 'apa yang akan
terjadi di atas pentas'. Penonton hanya mengantongi satu
kegelisahan yang lebih mirip sebagai rasa penasaran. Apakah
si artis nantinya tampil memukau? Apakah Konduktor bisa
menjalankan tugas dengan baik? Apakah lagu yang
ditawarkan menarik? Siapa saja artis yang tampil? Jaya
Suprana kok tidak jadi main? Tentu menjadi satu kekecewaan
bagi penonton yang malam itu (ternyata) hanya ingin
menonton Jaya Suprana: juragan jamu, pianis, dan komponis
lulusan Jerman itu.
Sisi lain kesuksesan pertunjukan musik bisa dilihat juga
dari tidak adanya gangguan teknis maupun non-teknis saat
pertunjukan berlangsung. Persoalan sound yang sempat
membuat 'panik' selama gladi bersih menyebabkan outgoing
SMS: Short Music Service 113
memang terkesan sedih. Video Art dari lagu ini juga pernah
dikerjakan oleh Walt Disney dengan sangat apik, dengan
gambar-gambar hewan yang lucu, lincah, dan sesekali
bersedih. Jadi, apa jadinya kalau lagu ini digunakan sebagai
pengiring puisi yang bertema Ibu? Antara musik dan puisi
sudah tidak terjadi 'peleburan'. Padahal, jaman sekarang ini
musikalisasi puisi sedang dalam perbincangan hangat. Ratih
bercerita soal Ibu, sementara The Swan bercerita tentang
binatang angsa: Wah, Ibu angsa kali yee..
'Ruang kesempatan improvisasi' yang diberikan pada Banu
(gitar) pada lagu Kopi Dangdut terasa masih kurang panjang
durasinya, seharusnya bisa ditambah dua atau tiga putaran
lagi. Pertama untuk yang normal-normal saja, kedua untuk
jelajah modus dan pengembangan tema, ketiga untuk yang
speed-speed atau apapun 'sesuka hati', biar tambah 'kentèl
kopi-nya'. Jangan mau kalah sama 'Star Way To Heaven', dong!
Sudah, itu saja ya...Katanya nggak boleh dikritik. Padahal
pingin ngomong banyak, nih...
Epilog
Balon meletus, We Are The Champion tanpa lirik
berkumandang, menandai bahwa konser malam itu pun
bubar dengan tepukan, kegembiraan, kejengkelan, kelegaan,
kepuasan, kesenangan, kebahagiaan dan macam-macam
'ke-an' yang bisa disebutkan lagi. Penghargaan yang sedalam-
dalamnya untuk siapa saja yang 'bertindak, berbuat dan
bekerja' demi terselenggaranya konser ini. Terima kasih untuk
sponsor yang 'membanjir' di booklet hingga tidak ada ruang
untuk sinopsis lagu. Semua yang bekerja di belakang layar
maupun di depan layar pantas mendapat jabat tangan ucapan
selamat, pelukan, pujian, sanjungan, applaus, dan tidak
SMS: Short Music Service 121
Satu Level
Suatu ansambel, idealnya digawangi oleh pemain musik
yang 'se-level'. Artinya, untuk mencapai tingkat efektifitas
yang lebih baik antara pemain satu dan yang lainnya
sebaiknya memiliki ketrampilan yang seimbang (bukan harus
sama). Jika tidak demikian, coba bandingkan, pemain musik
yang baru belajar musik selama sebulan lalu bermain
bersama dengan pemusik yang sudah belajar lima tahunan.
Meski sama-sama bisa memainkan satu rangkaian melodi,
namun tingkat ketepatan, keakuratan, pembawaan dan
interpretasinya tentu sangat berbeda. Akibatnya, permainan
musik menjadi tidak bisa melebur untuk mencapai satu
kekuatan yang seimbang, satu kekuatan bunyi yang sonor.
Ibarat pembalap kelas Standard yang tiba-tiba bergabung
dengan pembalap kelas Tune-Up, bertarung di Road. Meski si
pembalap kelas Standard bisa menyaingi pembalap kelas
Tune-Up, namun usaha pembalap kelas Standard akan
terlampau 'ngongso' dan tidak efektif. 100 KM/jam pembalap
kelas Tune-Up tentu beda dengan 100 KM/jam pembalap
kelas Standard. Mencapai kemahiran bermusik adalah
kebiasaan latihan, mendengar, menonton pertunjukan musik
dan banyak membaca buku yang mendukung. Apabila suatu
ansambel ditemukan ketidaksetaraan level maka hal ini perlu
dicari solusi. Salah satunya adalah saling menghargai antar
sesama pemain.
SMS: Short Music Service 128
***
Hadirnya salah satu bintang tamu: Sheilla Sanjaya, ternyata
SMS: Short Music Service 129
***
Berbeda lagi apabila eksistensi (keberadaan) Amari
diamati dari sudut pandang pendidikan musik anak. Bagi A.T
Mahmud, musik anak merupakan wacana bagi anak untuk
mengungkapkan gagasan dan perasaannya sesuai dengan
ciri khas setiap perkembangan mereka. Antara anak dengan
musik (nyanyian) ada keselarasan kaitan timbal balik yang
harus dilihat dari dua sisi: sisi subjek adalah anak, dan sisi
objek adalah lagu. Dengan memperlakukan anak sebagai
subjek, anak akan menghayati nilai dan sikap yang berguna
SMS: Short Music Service 130
Musik = Komunikasi
Sejak awal naik pentas, Cak Nun tidak mengatakan Kiai
Kanjeng ini berpentas. Melainkan, seperti diakuinya, “di sini
kami tidak berpentas, dan musik Kiai Kanjeng adalah sarana
komunikasi, “ ungkapnya. Maka dari itu, jika kita mengamati
musik Kiai Kanjeng, mereka selalu fleksibel dan (selalu) bisa
diterima semua kalangan.
Fakta ini sejalan dengan apa yang diberitakan Harian
Republika (Senin, 25/07/07), bahwa sejak Juni 1998 hingga
Desember 2005 saja, Kiai Kanjeng telah mengunjungi lebih
dari 1.300 desa, 930 kecamatan, 376 kabupaten, 21 provinsi.
Kiai Kanjeng juga kerap diundang berbagai negara, semisal:
Mesir, Italia, Jerman, Belanda, Finlandia, Skotlandia,
Malaysia, dll. Sebuah peristiwa dan prestasi luar biasa dalam
sejarah (pertunjukan musik) di Indonesia.
Kehadiran Cak Nun dan Kiai Kanjeng ke berbagai wilayah di
negeri Indonesia, selalu menjadi penyejuk dan pencerahan
yang menguatkan rakyat berbagai kalangan, dari supir becak,
petani, hingga para pejabat. “Ia tokoh yang berpijak pada
rakyat dan memperjuangkan rakyat”, ungkap Budayawan
Muhammad Sobary.
Acara malam itu dimeriahkan pula oleh Novia Kolopaking,
Untung Basuki (Sanggar Bambu), Shalawatan Gedung Kiwa,
dan Paduan Suara Wilayah Kraton. Mereka memeriahkan
acara dengan dipandu MC 'dagelan' Susilo (Den Baguse), yang
penuh canda, dengan atmosfir yang meriah.
SMS: Short Music Service 135
Bukan dakwah
Cak Nun selalu beranggapan bahwa yang dilakukannya
selama ini bukan dakwah. Dakwah yang sesungguhnya
adalah perilaku yang konkrit dan riil. Ia selalu enggan disebut
Budayawan, meski pemikiran dan tindakannya berpengaruh
bagi kebudayaan. Bagi Cak Nun, ketika terjun di masyarakat,
kita berbagi, tanpa peduli kamu siapa, dari mana, agamanya
apa.
Dalam Kiai Kanjeng, kesenian hadir sebagai media
penyejuk iman, untuk menggelorakan semangat. Ini lebih
efektif dibandingkan 'dakwah' dalam pengertian verbal,
bukan auditif. Oleh sebab itu, proses komunikasi yang dicapai
melalui acara ini adalah sinergi yang take and give, dan tidak
berjalan satu arah, ada dialog dengan penonton.
Malam itu Cak Nun berpandangan mengenai teori
pluralisme, "Pluralisme yang berkembang selama ini bukan
berpenger tian bahwa orang Islam jangan terlalu
menampakkan dirinya Islam, nanti malah jadi setengah-
setengah. Saya Islam, Anda bukan orang Islam, harus dicari
celah menuju kebaikan bersama. Itulah pluralisme," jelas Cak
Nun.
SMS: Short Music Service 137
Saling Menghargai
Kesimpulan dari pertemuan antar umat beragama ini
adalah menyadarkan bahwa perbedaan itu bukan suatu
masalah. Menyusutnya toleransi antar umat beragama yang
akhir-akhir ini mencuat, dapat menjadi cambuk untuk bangkit.
Apalagi di Yogyakarta, sebuah kota yang majemuk dan dihuni
oleh beragam etnis. Jangan sampai, karena etnisitasnya, kita
jadi enggan bersatu. Pada prinsipnya, kita tetap teguh pada
benteng kita masing-masing, saling menghormati. “Yang
Islam makin kuat Islamnya, yang Katholik makin kuat
Katholiknya”, jelas Cak Nun.
Baik Kiai Kanjeng, SABU, yang membawakan Iqra',
Saudara-saudaraku, dan Lepas-lepas, maupun pengisi acara
lain, telah ikut membantu memberi pencerahan lewat
kesenian. Meneguhkan subtansi seni untuk komunikasi dan
menumbuhkan sikap saling berbagi. Acara ini pun
berlangsung sangat meriah dan sukses. Suasana humoris
yang digawangi Den Baguse maupun Cak Nun mampu
membuat hadirin betah menikmati acara itu selama kurang
lebih 4 jam.
SMS: Short Music Service 138
Agustus, 2007
***
ini stanza satu:
tambahan:
(3) Belum lama ini Emha Ainun Nadjib bilang, bahwa kekuatan
industri mengalahkan kekuatan negara. Di tahun 2100
barangkali, kekuatan perusahaan akan lebih besar dari
negara. Dr. Faruk kurang setuju dan bilang bahwa industri juga
SMS: Short Music Service 141
(4) Musik, dan seni yang lain, selalu mencoba lepas dari hasil
akhir: ia bicara proses, bisa berubah dan berganti setiap saat.
Adakah perubahan penting atas kekaryaan musik selama
kurun waktu 62 tahun? Setelah rapat besar para tokoh musik
untuk pertama kalinya (Pesta Seni 1974), Indonesia mencatat
banyak karya musik (klasik) terutama seriosa (musik vokal).
Sementara, yang pop semacam Dara Puspita, Panbers,
KoesPlus, Titiek Puspa, Bob Tutupoli juga berjalan beriringan.
Ketika itu, Slamet Abdul Sjukur masih di Paris, karena ia baru
pulang 1976. Musik Indonesia belum (jadi) kontemporer. Pak
Suka Hardjana masih 34 tahun, baru panas-panasnya
mengkritik, banyak nulis di koran-koran seluruh Indonesia.
Trisutji Kamal masih cantik, Iravati Soediarso juga demikian.
Dalam Pesta Seni itu, kalau boleh berpendapat, sebenarnya
'denyut jantung' pemikiran (masa depan) musik Indonesia
baru awal-awalnya dimulai, setelah sebelumnya beberapa
lembaga pendidikan musik (formal) berdiri.
Yogyakarta, 2005
Kepadamu
Seniman Jalanan
Hidup di Jalan
Memang hampir seluruh waktunya pengamen hidup di
jalanan. Ini merupakan alasan orang mengapa pengamen
disebut-sebut sebagai seniman jalanan. Bila dikatakan
pengamen adalah seniman jalanan, tentunya harus
memenuhi dulu beberapa kriteria yang disebut di atas. Jadi,
tidak semua pengamen dapat dikatakan mereka seniman
jalanan. Mengapa demikian?
Persoalannya sekarang, sejauh mana seorang pengamen
benar-benar menghargai profesinya sendiri. Sosok pengamen
yang bagaimanakah dapat dikatakan memiliki jiwa seni
sehingga sangat memungkinkan ia menghargai profesinya
sebagai seniman jalanan, bukan justru meresahkan
masyarakat.
Ini menjadi sebuah tanda tanya besar yang takkan mungkin
terjawab apabila tidak ada peran serta masyarakat, aparat
keamanan dan pengamen itu sendiri.
Solo, 2003
Borobudur Live in Concert:
Antara Potensi dan Politisi
***
Ketika menyaksikan Borobudur Live in Concert dengan
tema “Pesan Damai dari Satu Keajaiban Dunia” yang digelar di
Lapangan Gunadharma kompleks Candi Borobudur (Sabtu,
23/4/05), ada beberapa catatan yang bisa dicermati untuk
tidak lebih dari sekadar pesan dan kesan sepengetahuan saya
saja. Acara yang boleh disebut “spektakuler” itu menampilkan
tiga sinergi sekaligus. Pertama, Pariwisata (Candi Borobudur).
Kedua, Seni dan Budaya (Materi acara). Ketiga, Ekonomi.
Alasan dari sinergi yang ketiga itu adalah adanya sebuah
propaganda produk teknologi informasi komersial (Telkomsel)
yang mem-back up sepenuhnya acara “wah” tersebut.
Acara ini memang menarik, terutama apabila kita
menyaksikan stage yang dilatarbelakangi oleh kemegahan
Candi Borobudur warisan Dinasti Syailendra di abad ke-9 yang
SMS: Short Music Service 160
begitu dahsyat itu. Menariknya, acara itu juga bisa dilihat dari
banyaknya wisatawan asing yang datang. Potensi wisata yang
ada, dipamerkan sebagai aset ekonomi nasional, dan
kekayaan akan nilai budaya yang dimiliki Indonesia. Pemilihan
tempat untuk pergelaran telah berhasil disiasati dengan
gemilang. Namun, tidak secara keseluruhan acara itu
berhasil.
Jauh hari sebelum acara itu berlangsung, di sebuah surat
kabar nasional, Sutanto Mendut melontarkan kritik bahwa
acara itu terkesan terlalu elit. Bayangkan, konon tiket dihargai
Rp. 250.000,00. Jumlah uang yang tentunya tidak sedikit.
Lebih lanjut, hal ini akan menyebabkan rakyat kecil yang
berkeinginan menonton tidak terwujud. Jadi, acara itu
menjadi kesempatan bagi “pesta”-nya kalangan berstatus
sosial tingkat atas.
Acara itu menampilkan sederet artis yang menyandang
predikat papan atas. Antara lain, Ruth Sahanaya, Christoper
Abimanyu, Katon, Nugie, Tasya, Mollucas, Iyeth Bustami, dan
diiringi oleh Vista Simfoni Orkestra dengan konduktor Paulus
Surya. Hadir pula Gubernur Jawa Tengah H. Mardiyanto, dan
Menteri Pariwisata Jero Wacik. Acara itu diawali oleh
sambutan pembuka dari Miss Indonesia Imelda Fransisca,
dibuka oleh Gubernur, dan selanjutnya dipandu oleh Farhan
dan Astrid sebagai MC.
Acara yang berlangsung sekitar dua jam itu memang diakui
baru pertama kali digelar. Dengan bendera Vista Simfoni
Orkestra lewat ekspresi 150 musisi mudanya (dari SMM!) dan
140 vokalia, Paulus Surya mencoba membawa emosi
penonton dengan susah payah. Ada ketidakberhasilan yang
tanpa terduga muncul. Ternyata, artis yang diberi applaus
adalah artis yang sudah lebih dulu dikenal publik. Karena, di
SMS: Short Music Service 161
samping artis top, malam itu muncul juga artis lokal yang turut
menyanyi. Meraka itu tidak begitu terkenal, jadinya tidak
mendapat applaus meriah. Lho! Padahal suaranya bagus,
penampilan juga oke. Kok kalah sama Ruth Sahanaya atau
Katon Bagaskara? Emosi penonton menjadi naik turun. Habis
mendengar yang bagus (atau terkenal?) lalu mendengar yang
bagus lagi (tapi tidak terkenal?). Salah siapa ini? Paulus Surya
atau penonton? Oleh sebab itu, emosi penonton kurang bisa
dibangun secara gradual. Mungkin, konser malam itu tidak
terlalu bisa kontinu alias terputus-putus. Ketidaksigapan
sound engineer dalam mengatur keseimbangan sound-
system juga mengakibatkan sound menjadi kurang bagus.
Apalagi, desis noise mikrofon selalu muncul berkepanjangan.
Ha...ha...ha..., konduktor sudah siap-siap mengangkat tangan
tanda aba-aba lagu akan dimulai, eee...di white screen
muncul iklan Telkomsel dengan suara yang keras. Kedua
tangan Paulus Surya turun lagi. Mubazir deh...
Terlepas dari faktor musikal, seperti dituturkan Gubernur,
bahwa Candi Borobudur telah dikenal masyarakat sebagai
salah satu keajaiban dunia. Kemegahan candi yang terpantul
melalui arsitektur bangunan dan relief yang menggambarkan
kehidupan Sang Buddha dan masyarakat, menjadikan Candi
Borobudur sebagai bangunan bersejarah yang bernilai tinggi,
pusat budaya, pusat kegiatan keagamaan, tujuan wisata, dan
lain sebagainya. Memanfaatkan ikon budaya (Candi
Borobudur) sebagai tempat untuk berlangsungnya pergelaran
(juga seperti di Stage Ramayana Prambanan), adalah suatu
kesempatan berharga yang banyak mengandung manfaat.
Terutama bagi promosi pariwisata.
Bagi kesenian, setidaknya itu merupakan usaha
menanamkan fungsi tersendiri. Kemegahan Candi Borobudur
SMS: Short Music Service 162
Catatan: esai berikut ini tidak secara khusus bicara mengenai musik.
Namun, musik juga sebagai tradisi yang menjadi bagian yang tidak bisa
diabaikan begitu saja. Atas pertimbangan tersebut, esai ini turut
disertakan di buku ini.
paling depan.
Suasana memang begitu cair, hal ini disebabkan karena
masing-masing pemakalah mempunyai gaya bahasa,
pengungkapan, mimik, serta trik yang cerdas dan segar dalam
menyampaikan pembahasan; sangat terasa tidak
menjemukan. Berbeda dengan seminar atau diskusi, dalam
sarasehan ini suasana terasa lebih rileks. Tidak ada
kemungkinan yang valid untuk berusaha memecahkan
persoalan dengan teori-teori tentang tradisi yang beredar.
Persoalan tradisi memang sebaiknya tidak untuk
dibicarakan apalagi dipersoalkan. Tradisi adalah hasil dari
kebudayaan yang sedang dan terus berjalan di semua lini
kehidupan masyarakat; tradisi adalah kebiasaan yang turun-
temurun. Tidak akan ditemui rumusan yang pasti mengenai
apa yang dimaksud dengan (makna) tradisi, meski ribuan
kamus mendefinisikannya. Hingga kini, pemaknaan atas kata
'tradisi' menjadi sedemikian luas, apalagi di tanah air yang
amat plural ini, yang hampir semua kebudayaan kita adalah
hasil dari asimilasi maupun akulturasi.
Negeri Cina, India dan Arab selama ribuan tahun
mempengaruhi bahkan mewarnai kelahiran kebudayaan kita.
Jika Rene Girard, dalam buku 'Kambing Hitam' tulisan
Sindhunata, bilang bahwa differensiasi (keberagaman:
pluralitas) justru mampu menghasilkan pandangan hidup
yang cerdas, maka demikian pula di Indonesia, kata tradisi
harus dimaknai sebagai buah kultur dan budaya yang bisa
melahirkan gagasan dan pemikiran yang lebih baik, bukan
untuk saling dipertentangkan.
Menurut Mamannoor, yang ketika itu berbicara tentang
(tradisi) seni rupa, membedakan dua terminologi penting
mengenai tradisi, (1) Tradisi Seni Rupa; (2) Seni Rupa
SMS: Short Music Service 173
Kultur Tertawa
PSM (Paduan Suara Mahasiswa) ISI Yogyakarta adalah
sebuah kelompok baru yang berusaha 'babat alas' untuk
urusan musik vokal di Yogyakarta. Kehadirannya pada malam
itu kok justru menjadi guyonan yang tidak pada tempatnya (?).
Kuping penonton 'serius' menjadi merah karena beberapa
SMS: Short Music Service 178
Ideal
Beberapa kali dalam ruang pertunjukan live musik humor
SMS: Short Music Service 179
Fakta
Mau tidak mau, sekarang kita dihadapkan pada kepungan
musik (komersial) yang hadirnya nyaris tanpa sekat, di ruang
manapun, kapanpun. Dengan berbagai kemudahan yang
ditawarkan teknologi baru, semacam ponsel (dengan fasilitas
musik) atau MP 4, anytime anywhere orang bisa mendengar
musik. Bahkan di toilet sekalipun.
Pada umumnya, musik hanya menjadi pelengkap di tengah
rutinitas kerja yang padat. Taruhlah misal, saat pekerja-
pekerja proyek bangunan lelah di siang bolong, mereka
rolasan (makan siang) sambil dengar musik di radio. Para
remaja yang doyan ke mall selalu tidak lepas dari ponsel dan
headphone—sambil jalan-jalan lihat kiri kanan musik tetap
berdengung di telinga. Pagi, siang, sore, malam, dini hari,
musik mengepung telinga lewat radio atau televisi. Munculnya
berbagai kemajuan teknologi media yang menyediakan
fasilitas dengar musik membuat masyarakat menjadi
SMS: Short Music Service 188
Masalah
Pertanyaannya kemudian, lalu musik apa yang layak
SMS: Short Music Service 189
Solusi Selektif
Maka dari itu, yang diperlukan sekarang adalah sikap
selektif memilih bunyi (musik) seperti halnya sikap selektif kita
memilih sayuran ketika di pasar. Yang tidak sehat atau basi
pasti kita singkirkan. Kita harus membiasakan diri
mencermati musik yang didengar dengan sikap yang tidak
SMS: Short Music Service 191
Yogya, 2006
Bab III
Retrospeksi
Catatan: Bab 3 buku ini secara khusus berisi mengenai pengalaman
penulis ketika menempuh studi di Jurusan Musik ISI Yogyakarta.
Pemaparan yang disampaikan hanya bersifat faktual dan umum, bukan
suatu penjelasan ilmiah. Hanya merupakan suatu pengamatan, terutama
terhadap kondisi sosial dan belajar. Sekaligus, tulisan di bab ini juga
merupakan retrospeksi, renungan dari sudut pandang penulis yang lahir
atas pengalaman batin, pikiran, dan segala efek persinggungan belajar
yang pernah terjadi selama 5 tahun (2002-2007), juga disampaikan
beberapa oto-kritik. Tulisan ini merupakan studi kasus yang mencoba
memberi wacana kepada siapa saja tidak hanya di lingkup internal Jurusan
Musik. Informasi mengenai Institut Seni Indonesia Yogyakarta dapat
dilihat di www.isi.ac.id
Retrospeksi
Prolog
Ketika melangkah memasuki ruang baru bernama
kampus, adakah yang lebih mengesankan kecuali fase
perpindahan pola pikir gaya SMA (manja), kini mandiri?
Adakah yang lebih “menegangkan” selain proses adaptasi
terhadap gaya belajar yang baru, pola hubungan sosial-
komunitas yang baru, serta tantangan hidup (berkesenian)
yang baru? Karena kampus, cakrawala terbuka, bahwa dunia
ini terasa semakin luas saja. Aku bagaikan piknik keliling Asia
Eropa.
Faktanya, lini kehidupan yang memungkinkan belajar lebih
dewasa untuk saling melengkapi dan memberi kontribusi
pengetahuan satu sama lain lahir dari kampus. Lewat
pendidikan di perguruan tinggi, mahasiswa tidak boleh
terjebak dalam jeruji penjara yang tidak membebaskan
pikiran maupun kreativitas. Sebaliknya, di kampus inilah
SMS: Short Music Service 204
Kenapa Membaca?
Kemampuan membaca (sudah tentu) besar peranannya
dalam pendidikan tinggi. Sebagian besar pengetahuan
mahasiswa, misalnya, diperoleh dari media cetak, terutama
dari buku dan majalah-majalah ilmu pengetahuan (serta
jurnal ilmiah). Oleh karena itu, agar dapat belajar secara
efisien, kemampuan membaca mahasiswa perlu
ditingkatkan. Cara kita membaca ditentukan oleh maksud kita
membaca.
Ada lima alasan mengapa kita membaca, yaitu untuk
memperoleh informasi, untuk memahami informasi, untuk
mendalami bahan bacaan, untuk mengenal atau menilai dan
untuk mencipta.
Dengan membaca, sesungguhnya orang belajar
menghargai pemikiran orang lain, perjalanan hidup orang lain.
Menyimak lembar demi lembar sejarah yang berjalan.
Meluaskan cakrawala. Mendekati kisi-kisi menjadi
cendekiawan, dan tentu masih banyak manfaat lain yang bisa
kita simpulkan sendiri. Kita cuma berusaha mengingat slogan
populer: buku adalah jendela dunia.
Adanya berbagai buku (musik) yang pernah terbit,
hendaknya juga dibaca tidak hanya pada saat mau ujian
semester atau skripsi saja, namun membaca dan menulis
adalah proses yang harus dilakukan terus-menerus. Selama
S1, paling tidak mahasiswa (mampu) membaca minimal 100
buku, syukur-syukur bisa lebih, demikian nasihat Drs. Hari
Martopo, M. Sn. Membaca buku tidak harus mempunyai buku!
Perpustakaan itu maha bijaksana, di situlah mahasiswa
belajar tentang semua tanpa dipungut biaya.
Komponis, pemain, pedagog, musikolog, mereka semua
adalah jantung kehidupan musik yang tugas sama-ratanya
SMS: Short Music Service 218
Kultur Kedisiplinan
Perbincangan kian hangat ketika sampai pada masalah
sulitnya menerapkan kedisiplinan di kampus Jurusan Musik
ini. Nah, selanjutnya kita semua pasti akan berkata: ya
ampun…sulitnya minta ampun untuk menerapkan satu kata
itu.
Disiplin Waktu
Ini masalah klasik yang semua tahu. Masalah kuno, zaman
purba. Baheulak. Sampai kini susah untuk dijalankan: disiplin
waktu! Ada anekdot, Indonesia itu dalam sehari punya 25 jam
SMS: Short Music Service 222
selalu ada hasrat ingin tahu dan mencari sesuatu. Pada titik
ini, seniman memang dituntut disiplin dan kerja keras.
Pemikiran harus selalu stand by, ini barangkali susah. Dalam
kreativitas berkomposisi misalnya, komponis tidak hanya
piawai merangkai nada saja. Berbagai gejala sosial yang
melingkupinya juga harus dicermati dengan jeli sampai pada
keadaan paling up to date. Kondisi politik, sosial, negara,
konflik, sampai inovasi kemungkinkan teknologi terbaru
misalnya, akan mewarnai dinamika pikir, yang lantas
direduksi menjadi sebuah karya (ingat karya Beethoven
Shympony No.3). Kreativitas bagi para performer adalah
semangat menyulap panggung menjadi dunia yang mewakili
berbagai dimensi. Panggung adalah (juga) dimensi kultural,
humanis, sosial. Panggung tidak cukup menjadi tempat
pentas (aksi!) para pemusik, tetapi menjadi bagian dari
budaya. Bahwa di situlah performer menggantungkan nyali
dengan beribu tingkah nafas kreatifnya, berusaha menjalin
interaksi dengan berbagai lapisan masyarakat, sampai pada
titik puncak karir. Di biodatanya berjejer diskografi.
Jika kampus ini tidak ingin mandeg (statis), maka elemen di
dalamnya selalu merasa perlu melakukan inovasi. Dibutuhkan
semangat mencipta. Semangat kebaruan. Dilandasi dengan
kreativitas. Bahwa mencipta, yang dilandasai semangat
berkreativitas, bukan tugas para komponis saja. Tetapi, para
pedagog, pemain dan musikolog adalah muara adanya think
creative di kampus ini. Kreativitas adalah upaya pembaruan,
yang tidak cukup dicapai dalam kurun temporal. Kepada
kreativitaslah seni itu bertumpu, seni itu menjadi hidup.
untuk apa saya mengupas ini. Toh, sudah banyak yang bilang,
bahwa hubungan solidaritas kita satu sama lain sudah
semakin pudar karena didomplengi oleh berbagai
kepentingan yang bukan kemanusiaan lagi. Saya memilih
mempertahankan komunitas kawan beneran saja. Dalam
ruang terasing tidak menjadi masalah. Minoritas, sempit,
kerdil, kecil, tidak masalah. Asalkan kawan-kawan saya yang
satu ini memang benar-benar menjadi senasib dan
sepenanggungan. Satu gaya. Jujur. Rukun. Ikhlas. Guyub.
Lahir batin. Mengerti satu sama lain. Saling membantu. Tepa
salira. Suka menolong. Dan predikat serupa yang bisa
disebutkan. Sampai sejauh ini kawan-kawan saya itu
jumlahnya sudah 20-an orang. Bukankah ini kebahagiaan?
Alienasi
Pernahkah suatu ketika kita berpikir: apakah masyarakat
semakin bisa percaya pada Institusi ini? Percaya penuh bahwa
out-put yang dihasilkan memang menguasai bidang? Percaya
kalau Jurusan Musik ini bukan mencetak “tukang” tapi
seniman, ilmuwan, yang melakukan pemikiran dan inovasi?
Percaya bahwa dengan menyekolahkan anaknya, pakai jutaan
duit, akan mendapat pendidikan yang layak, lulus bisa
diandalkan? Percaya bahwa masyarakat menaruh harapan
penuh pada Institusi ini agar bisa memajukan kehidupan
musik di negeri ini? Mencerdaskan akhlak bangsa? Mencetak
manusia kreatif? Apakah masyarakat percaya hal itu? Atau
justru sebaliknya, kita menjadi elemen yang sama sekali tidak
diharapkan kehadirannya?
Bahwa yang harus dicatat, kita ini juga bagian dari
masyarakat itu. Hanya bedanya, kita berada dalam suatu
ruang formal yang terkonstelasi oleh sekat-sekat. Artinya, kita
SMS: Short Music Service 235
Bahan Bacaan: