MODUL PRAKTIKUM
FARMASI FISIKA
(20N01120201)
Nama :
NIM :
Kelompok :
Golongan :
PENYUSUN
ACHMAD HIMAWAN
ANDI ARJUNA
ABD. MUZAKKIR REWA
ANDI DIAN PERMANA
RANGGA MEIDIANTO ASRI
NURHASNI HASAN
LABORATORIUM FARMASETIKA
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
TA 2020/2021
iii
MODUL PRAKTIKUM
FARMASI FISIKA
PENYUSUN
ACHMAD HIMAWAN
ANDI ARJUNA
ABD. MUZAKKIR REWA
ANDI DIAN PERMANA
RANGGA MEIDIANTO ASRI
NURHASNI HASAN
MAKASSAR
2021
iv
KATA PENGANTAR
Modul Praktikum Farmasi Fisika disusun untuk memenuhi kebutuhan dan sebagai
panduan mahasiswa dalam mengikuti praktikum Farmasi Fisika di Laboratorium
Farmasetetika. Topik-topik percobaan dalam penuntun ini telah disesuaikan untuk
menunjang pemahaman mahasiswa terkait materi yang diajarkan di perkuliahan dan
materi suplemen untuk menunjang materi dalam perkuliahan. Manual laboratorium ini
berisi tahapan eksperimen setrta lembar kerja yang akan digunakan selama proses
praktikum.
Modul Praktikum Farmasi Fisika ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritikan dan saran dari pemakai buku ini sangat kami harapkan untuk penyempurnaan
pada penerbitan selanjutnya.
Penyusun
v
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ........................................................................................................................ iii
Daftar Isi .................................................................................................................................. iv
Alfabet Yunani, Besaran dan Konstanta ................................................................................... v
Identitas Mata Kuliah ............................................................................................................... 1
Petunjuk Umum Praktikum ..................................................................................................... 2
Pengantar Praktikum ............................................................................................................... 6
Eksperimen 1 Wujud Zat dan Sifat Fisika Bahan Obat ......................................................... 8
Eksperimen 2 Sistem Multikomponen ................................................................................ 22
EKsperimen 3 Mikromeritik dan Sifat Turunan Serbuk ....................................................... 38
Eksperimen 4 Dispersi Molekuler dan Fenomena Distribusi ............................................... 64
Eksperimen 5 Fenomena Antarmuka dan Dispersi Koloid .................................................. 77
Eksperimen 6 Dispersi Kasar dan Fenomena Pembasahan ................................................. 97
Eskperimen 7 Emulsifikasi dan Fenomena Ketidakstabilan Emulsi ..................................... 116
Eksperimen 8 Viskositas dan Reologi .................................................................................. 136
Eksperimen 9 Kinetika Kimia dan Stabilitas Obat ................................................................ 160
Eksperimen 10 Difusi dan Disolusi Obat ................................................................................ 185
Lampiran 1 Daftar Persamaan ................................................................................................. 213
Lampiran 2 Nomor Mesh Ayakan dan Diameter Lubang Ayakan ............................................. 217
Lampiran 3 Pembuatan Suspensi ............................................................................................. 218
Lampiran 4 Tabel Konversi Viskositas (Viskometer Brookfield) ............................................... 219
Lampiran 5 Daftar Peralatan Standar ....................................................................................... 220
Lampiran 6 Susunan Minggu Praktikum .................................................................................. 221
Lampiran 7 Rubrik Penilaian .................................................................................................... 222
vi
Ηη Θθ Ιι Κκ Λλ Μμ
Eta Theta Iota Kappa Lamda Mu
Νν Ξξ Οο Ππ Ρρ σ/ς
Nu Xi Omikron Pi Rho Sigma
Στ Τυ Φφ Χχ Ψψ Ωω
Tau Upsilon Phi Hi Psi Omega
Satuan SI
Besaran Satuan Lazim Satuan SI Lainnya
(Besaran Pokok)
Energi, Kerja, Panas Joule (J) kg.m2.s-2 N.m = Pa.m3
Konstanta
Nama Simbol Nilai Satuan
G. Permukaan meja kerja laboratorium harus selalu dibersihkan sebelum dan setelah praktikum
dengan air.
H. Kenali semua simbol bahaya pada reagen/bahan dan perlakukan semuanya dengan hati-hati
I. Jangan meletakkan benda apapun di daerah lalulintas personel dan pintu keluar
J. Ikuti prosedur penanganan limbah yang berlaku
K. Pastikan setiap wadah berisi bahan diberi identitas dengan benar
L. Pastikan semua wadah beiris bahan tertutup rapat sebelum dan setelah digunakan untuk
menghindari tumpahan
M. Jangan pernah melakukan proses pemanasan tanpa pengawasan dan jangan biarkan kompor
menyala tanpa dipakai
N. Dilarang mengacaukan perhatian orang yang sedang bekerja dilaboratorium
O. Gunakan peralatan sesuai dengan peruntukannya
P. Jika ada tumpahan bahan, laporkan pada pengawas dan tangani sesuai dengan standar
operasional prosedur yang berlaku
Eye Safety
A. Pastikan anda telah mengetahui posisi eyewash terdekat di laboratorium
B. Gunakan pelindung mata ketika dipersyaratkan dalam safety check, khususnya ketika
berhubungan dengan bahan/reagen/pelarut kaustik, menangani asam atau basa tertentu,
menangani prosedur yang mungkin menghasilkan cipratan, bekerja dengan reagen bertekanan,
atau memanaskan dengan kompor listrik dan melakukan pengamatan jarak dekat terhadap
bahan-bahan tertentu
C. Tidak disarankan menggunakan lensa kontak selama berkegiatan di laboratorium
Manajemen Limbah
A. Limbah yang dihasilkan selama praktikum adalah Limbah B3 dan harus ditangani sesuai dengan
cara penanganan Limbah B3 yang benar
B. Limbah praktikum Farmasi Fisika terbagi atas Limbah Pereaksi, Limbah Sampel Cair, Limbah
Sampel Padat Non-Antibiotik, Limbah Sampel Padat Antibiotik, Limbah Asam, Limbah Pelarut
Organik, Limbah Syringe dan Jarum Suntik, dan Limbah Pecahan Kaca
C. Setiap limbah ditangani sesuai standar operasional prosedur laboratorium
D. Dilarang keras meninggalkan limbah tanpa penanganan di ruang laboratorium
E. Dilarang keras membuang limbah ke dalam saluran pembuangan/wastafel/kamar mandi
F. Sebelum mencuci peralatan, semua limbah harus ditangani terlebih dahulu
G. Sebelum praktikum, setiap mahasiswa sudah harus memahami standar operasional prosedur
penanganan limbah yang beraku di Laboratorium Farmasetika
Kontrak Praktikum
A. Berpakaian rapi, nyaman dan aman
B. Menggunakan baju lab bersih dan papan nama setiap masuk praktikum
C. Menggunakan APD sesuai tata tertib dan safety measure yang berlaku
D. Menyiapkan area kerja sebelum memulai praktikum
5
E. Datang tepat waktu dan masuk ke ruang laboratorium setelah dipersilahkan masuk
F. Praktikan yang datang terlambat setelah responsi tidak diperbolehkan mengikuti respon dan
boleh masuk ke ruang lab setelah responsi selesai
G. Praktikan yang datang terlambat paling lambat 15 menit setelah praktikum berjalan tanpa
alasan yang jelas tidak diperkenankan untuk masuk praktikum
H. Setelah responsi selesai, kelas dibuka oleh dosen dan penanggung jawab, setelah itu praktikan
dipersilahkan untuk mengambil tempat sesuai dengan kelompoknya masing-masing
I. Alat komunikasi dapat diletakkan di saku celana/baju dalam keadaan silent.
J. Jika ingin menjawa telepon/pesan penting, praktikan dipersilahkan untuk minta izin kepada
pengawas praktikum dan keluar ruangan untuk menjawab telepon/pesan penting tersebut
K. Praktikan harus hadir minimal 80% dari total pertemuan di luar ujian. Jika tidak, praktikan tidak
berhak mengikuti ujian praktikum
L. Praktikan memberi keterangan sakit atau izin berupa surat tertulis (dari dokter/wali atau surat
dari WD3 untuk kegiatan kemahasiswaan)
M. Untuk praktikan yang sakit, izin atau tidak hadir tanpa keterangan, nilai pada hari itu adalah 0
dan diperhitungkan dalam kalkulasi nilai akhir
N. Praktikan yang tidak hadir karena sakit atau izin dapat mengajukan tugas tambahan untuk
mendapatkan tambahan nilai yang tidak ada
O. Sakit dan izin tetap diperhitungkan dalam kalkulasi jumlah kehadiran
P. Penilaian dilakukan berdasarkan rubrik dan proporsi penilaian dapat dilihat pada lampiran
modul praktikum ini
Q. Susunan minggu praktikum dan jadwal praktikum dapat dilihat dalam lampiran modul
praktikum ini
R. Sampel rusak diperlakukan limbah limbah
S. Sampel tidak rusak yang terkontaminasi diperlakukan sebagai limbah
T. Sampel tidak rusak yang tidak terkontaminasi dikembalikan ke wadah asalnya
6
PENGANTAR PRAKTIKUM
PENGUKURAN, SIMPANGAN BAKU DAN STANDARD ERROR OF MEAN
Pengukuran
Sama halnya dengan ilmu pengetahuan lain, Farmasi Fisika di dasarkan atas eksperimen,
observasi dan pengukuran. Besaran-besaran yang diikur dalam eksperimen farmasi fisika
adalah besaran terkait fenomena fisis suatu sistem farmasetik. Pengukuran memberikan
kita informasi tentang sifat-sifat dari suatu objek. Pengukuran dapat memberikan kita
informasi tentang, misalnya, sebearapa berat massa suatu benda, seberapa lama suatu
radioisotop meluruh atau seberapa panas suhu suatu larutan. Pengukuran memberikan
nilai atas sifat-sifat objek yang sedang kita amati dan dilakukan dengan menggunakan
suatu alat ukur (misalnya neraca, stopwatch atau jangka sorong).
Pengukuran tidak pernah memberikan suatu nilai yang eksak atas objek yang diukur. Setiap
pengukuran, bahkan dengan alat yang sangat canggih sekali pun, selalu memiliki batas
kesalahan. Untuk itu di dalam suatu eksperimen, penting sekali untuk menyatakan
seberapa besar keraguan atas hasil pengukuran yang kita lakukan. Ketidakpastian
pengukuran adalah besarnya keraguan yang ada dari suatu hasil pengukuran dan
umumnya dinyatakan dalam rentang “kurang lebih” terhadap hasil pengukuran. Dalam
pengukuran metrologi, suatu metode sistematis digunakan untuk menentukan sebearapa
besar ketidakpastian yang bersumber dari berbagai faktor sepert kalibrasi alat, kepekaan
alat dan seterusnya. Tetapi dalam eksperimen yang kita lakukan kita hanya akan
menggunakan dua jenis nilai yang umum digunakan untuk menyatakan batas keraguan
atas hasil pengukuran yaitu simpangan baku (standard deviation) dan standard error of
mean.
Simpangan Baku
Simpangan baku atau standar deviasi mendeskripsikan sebaran nilai-nilai hasil pengukuran.
Nilai standar deviasi dari sampel adalah nilai yang acak tetapi ketika jumlah sampel
ditingkatkan nilainya akan tetap sama secara rata-rata. Dua jenis simpangan baku yang
sering dijumpai adalah simpangan baku populasi dan simpangan baku sampel. Kedua
simpangan baku tersebut dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:
𝑁
1
𝜍 𝑝 = √ ∑( 𝑥 𝑖 − 𝑥 ) 2
𝑁
𝑖=1
Standar deviasi dan SEM dapat disajikan dalam grafik sebagai error bar. Contohnya dapat
dilihat pada grafik berikut:
8
EKSPERIMEN 1
WUJUD ZAT DAN SIFAT FISIKA BAHAN OBAT
Teori Singkat
Wujud zat, secara klasikal, dibagi menjadi padat, cair, gas dan plasma. Bahan obat dapat berupa
padatan, cairan atau gas. Wujud Zat (State of Matter) berbeda dengan Fase (Phase). Sebuah
campuran bahan farmasi dapat memiliki campuran zat dengan wujud yang sama tetapi fase yang
berbeda (misalnya campuran air dan minyak, sama-sama berwujud cair tetapi terdapat dua fase
dalam campuran). Mengetahui wujud zat dan sifat fisika yang menyertainya merupakan hal
penting dalam menunjang sebuah proses formulasi obat menjadi bentuk sediaan farmasi yang
stabil. Karena sebagian besar bahan obat berada pada wujud padat dan cairan, maka bagian ini
akan fokus membahas wujud zat padat dan cairan serta sifat fisikanya.
Terdapat gaya-gaya yang bekerja pada suatu zat sehingga zat tersebut dipertahankan dalam
wujudnya yaitu gaya antarmolekul. Gaya antarmolekul terdiri atas:
- Gaya van der Waals (interaksi non-ionik antarmolekul) terdiri atas : (1) Gaya Keesom/interaksi
dipol-dipol, (2) Gaya Debye/interaksi dipol-dipol induksi, (3) Gaya London/interaksi dipol
induksi-dipol induksi.
- Interaksi Ion-Dipol, Ion-Dipol Induksi dan Ion-Ion
- Ikatan Hidrogen
9
Sebagian besar bahan farmasi (bahan aktif dan bahan tambahan) yerwujud padat atau cair
sehingga dalam percobaan ini akan lebih banyak dibahas tentang bahan farmasi padat dan cair.
Contoh bahan farmasi dalam berbagai wujud antara lain:
- Padat: Mentol, kamfer, timol, salol, asam salisilat, asam borat, parasetamol, kloramfenikol,
teofilin, eritromisin, kafein, indometasin, prokain, lidokain, metil paraben, propil paraben,
tiamin HCl, ampisilin, asam askorbat, aspirin, benzokain, dll.
- Cair: Air, etanol, gliserol, propilen glikol, etilen glikol, simetikon, oleum cocos (minyak kelapa),
oleum sesami (minyak wijen), oleum olivae (minyak zaitun), oleum arachidis (minyak kacang),
oleum ricini (minyak jarak), dll.
- Gas: Gas nitrogen, berbagai anastesi inhalasi dan gas medik.
Bahan obat padat dapat berupa padatan kristalin dan padatan amorf. Molekul pada padatan
kristalin tersusun dalam bentuk geometrik yang teratur sedangkan pada padatan amorf, molekul
tersusun dalam bentuk tidak teratur. Salah satu sifat fisika yang penting dari bahan padat adalah
titik leburnya. Padatan kristalin memiliki titik lebur tertentu dan profil termalnya umumnya
menunjukkan puncak tajam pada saat terjadi peleburan. Padatan amorf tidak memiliki titik leleh
tertentu dan memiliki kecenderungan untuk mengalir ketika diberikan tekanan yang cukup selama
periode waktu tertentu. Profil termal padatan amofr umumnya menunjukkan jarak lebur yang
lebar dan adanya titik transisi gelas. Hal inilah yang menjadi salah satu sifat yang membedakan
antara padatan amorf dan padatan kristalin.
nya gerakan molekul). Suatu kristal yang terikat oleh gaya-gaya yang lemah pada umumnya
memiliki panas peleburan dan titik leleh yang rendah, vice versa. Fenomena ini menjelaskan
tentang:
1. Perbedaan titik leleh polimorf suatu bahan
2. Peningkatan titik leleh hidrokarbon jenuh
3. Hidrokarbon dengan jumlah atom karbon genap memiliki titik leleh yang lebih tinggi dibanding
hidrokarbon dengan jumlah atom karbon ganjil
Beberapa bahan dapat memiliki lebih dari satu bentuk padatan. Fenomena ini dikenal dengan
nama polimorfisme. Polimorf mempunyai kestabilan yang berbeda-beda dan dapat berubah secara
spontan dari bentuk meta-stabil ke bentuk stabilnya pada suhu tertentu. Polimorf juga memiliki
sifat fisika berbeda yang salah satunya adalah titik lebur. Bentuk-bentuk polimorf memiliki susunan
molekul yang berbeda sehingga gaya antar molekul dalam tiap bentuk berbeda.
Bobot jenis adalah salah satu sifat fisik yang penting diketahui dalam menangani suatu bahan cair.
Densitas berbeda dengan bobot jenis. Densitas (atau kerapatan) dapat didefinisikan sebagai massa
per satuan volume pada suhu dan tekanan tertentu. Densitas memiliki satuan dan dinyatakan
dalam gram per sentimeter kubik (g/cm3) atau kilogram per meter kubik (kg/m3). Bobot jenis dapat
didefinisikan sebagai perbandingan densitas suatu bahan terhadap bahan lain (dalam hal ini adalah
air) dan densitas kedua bahan tersebut ditentukan pada suhu dan tekanan yang sama. Bobot jenis
merupakan bilangan murni tanpa satuan. Bobot jenis dapat juga didefinisikan sebagai densitas
relatif. Bobot jenis juga didefiniskan sebagai perbandingan massa suatu bahan dengan air dengan
volume yang sama pada suhu 4°C atau pada suhu lain yang ditetapkan. Notasi suhu sering dijumpai
pada pembacaan bobot jenis seperti 25°/25°, 25°/4° atau 4°/4°. Angka pertama menunjukkan suhu
udara saat zat ditimbang dan angka kedua menunjukkan suhu air yang digunakan. Bobot jenis
dapat ditentukan dengan menggunakan piknometer, higrometer, neraca Mohr-Westphaldan alat-
alat lainnya.
Pra-Praktikum
Bahan pre-reading:
Buku Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika (2011) Bab 2, hal. 26-60
Bahan respon untuk percobaan ini adalah:
1. Gaya Antar Molekul
a. Gaya Van der Waals (Gaya Keesom, Gaya Debye, Gaya London)
b. Interaksi Ion-Dipol, Interaksi Ion-Dipol Induksi, Interaksi Ion-Ion
c. Ikatan Hidrogen
2. Padatan Kristalin dan Padatan Amorf
3. Polimorfisme
4. Sifat-Sifat Fisik Bahan Obat (Titik Lebur, Titik Didih, Flash Point, Indeks Refraktif, Kerapatan)
5. Densitas dan Densitas Relatif
6. Titik Lebur dan Metode-Metode Analisis Termal
7. Metode-Metode Penentuan Kerapatan Bahan Cair
8. Perhitungan Densitas Bahan Cair, Perhitungan SD dan RSD
Sebelum praktikum, mahasiswa harus melengkapi data pada lembar “Prerequisite Data”
Safety Check
Safety Level: Level 2
Check
No. Nama APD Keterangan
(�)
Gunakan sebelum masuk dan selama berada di dalam
1 Jas Praktikum □
laboratorium
Sepatu Gunakan sebelum masuk dan selama berada di
2 □
Tertutup laboratorium
ksperimental
Alokasi Waktu : 180 menit
Jumlah Sampel : 1 sampel bahan obat padat (EKSP0101), 1 sampel bahan cair (EKSP0102 dan
EKSP0102)
Tempat : Lab Farmasetika, Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin
Pengaturan : Setiap 3 kelompok mengerjakan sampel yang sama, data dikumpulkan sebagai
data kolektif untuk dirata-ratakan.
12
3. Masukkan sampel ke dalam piknometer hingga terisi penuh dan bersihkan jika ada luapan
bahan, kemudian timbang piknometer pada neraca analitik yang sama dan catat bobot
piknometer isi (b)
4. Hitung bobot jenis dari sampel tersebut dengan menggunakan persamaan (1.2)
5. Catat hasilnya pada lembar observasi
6. Hitung SEM pengujian dari data kolektif yang diperoleh
EKSP0103 Penentuan Kerapatan Bahan Farmasi Cair Dengan Hidrometer
1. Sebelum memulai percobaan, catat suhu ruangan tempat percobaan dilakukan
2. Ukur suhu sampel yang akan ditentukan kerapatan dan berat jenisya dan catat hasilnya ke
dalam tabel pengamatan
3. Sediakan gelas ukur volume 500 ml
4. Masukkan cairan (aquadest, gliserin, etanol, dan tween) yang akan diukur bobot jenisnya
sampai ± 500 ml
5. Masukkan hidrometer yang telah dibersihkan ke dalam gelas ukur tersebut secara perlahan
6. Catat angka pada skala yang tepat sejajar dengan permukaan cairan dengan catatan
hidrometer tidak menyentuh dasar gelas ukur (melayang) dan permukaan cairan berada dalam
rentang skala hidrometer yang dipilih
7. Catat hasilnya pada lembar observasi
8. Hitung SEM pengujian dari data kolektif yang diperoleh
PREREQUISITE DATA
EKSP0101 Penentuan Titik Lebur Bahan Farmasi Padat
Nama Sampel
RM BM RB
Pemerian
Kelarutan
Titik Lebur
ΔfusH°
Sistem Kristal
Gambar SEM Profil Termal (DSC)
Referensi:
15
PREREQUISITE DATA
EKSP0102 Penentuan Kerapatan Bahan Farmasi Cair Dengan Piknometer
EKSP0103 Penentuan Kerapatan Bahan Farmasi Cair Dengan Hidrometer
Nama Sampel
RM BM RB
Pemerian
Kelarutan
Titik Didih
Kerapatan
Indeks Refrkasi
Referensi:
16
LEMBAR OBSERVASI
PRAKTIKUM FARMASI FISIKA
Nama Mahasiswa
NIM/Kelompok
Golongan
Perhitungan
(Perhitungan Tr, rata-rata, perhitungan SEM)
LEMBAR OBSERVASI
PRAKTIKUM FARMASI FISIKA
Nama Mahasiswa
NIM/Kelompok
Golongan
Vp a b ρ 𝒙
No. Nama Sampel SEM
(cm3) (g) (g) (g/cm3) (g/cm3)
Range Hasil 𝒙
Hidrometer Pembacaan (g/cm3) SEM
Perhitungan
(Perhitungan ρ, rata-rata, perhitungan SEM)
EKSPERIMEN 2
SISTEM MULTIKOMPONEN
Teori Singkat
Suatu sistem dapat berupa sistem komponen tunggal, sistem dua komponen, sistem tiga
komponen dan seterusnya. Sistem dengan lebih dari satu komponen dapat disebut sistem
multikomponen. Sistem multikomponen memiliki sifat-sifat tertentu terkait dengan sifat
bercampur komponen-komponen didalamnya. Aturan Fase yang dirumuskan oleh J. Willard Gibbs
dapat digunakan untuk menentukan jumlah terkecil variabel intensif yang dapat diubah tanpa
mengubah keadaan kesetimbangan sistem atau dengan kata lain, jumlah minimum variabel yang
dibutuhkan untuk menentkan wujud sistem. Persamaannya yaitu
𝐹 =𝐶−𝑃+2 … Persamaan (B.1)
Dalam persamaan di atas, F adalah derajad kebebasan, C adalah jumlah komponen dan P adalah
jumlah fase.
Sistem yang dibahas di dalam bagian ini adalah sistem kondensasi. Sistem Kondensasi adalah
sistem dimana fase uap diabaikan dan hanya fase cair dan padat yang dipertimbangkan. Sistem ini
sesuai untuk sediaan padat dan cair dimana bentuk sediaan farmasi paling banyak dalam wujud ini.
Sistem dua komponen (disebut juga sistem biner) dapat lebih jauh dibagi menjadi: (1) sistem dua
komponen yang mengandung satu fase cair dan (2) sistem dua komponen yang mengandung fase
23
padat dan fase cair. Contoh dari sistem (1) adalah Fenol-Air, Anilin-Air, Karbon Disulfida-Metanol,
Isopentana-Fenol, Metanol-Sikloheksan, Isobutilakohol-Air, Trietilamin-Air, Nikotin-Air.
dalam salol. Titik ini disebut titik eutektikum. Titik eutektikum adalah perbandingan komponen
yang menunjukkan titik leleh terendah yang teramati. Sistem eutektik dapat diaplikasikan pada
pembuatan dispersi padat.
Sistem tiga fase atau dapat juga disebut sistem terner, terdiri atas tiga fase baik cairan maupun
padatan. Jika kita mereduksi derajad kebebasan (F) dalam suatu sistem tiga komponen dengan
menganggapnya menjadi sebuah sistem kondensasi (mengabaikan fase gas) dan menjaga suhu
tetap konstan, sistem tersebut dapat digambarkan dalam sebuah diagram planar segitiga yang
disebut diagram terner (ternary diagram) karena derajad kebabasan sistem direduksi menjadi 2
(Sebelumnya 4). Contoh sistem terner yang terdiri atas komponen cair yang komponen
penyusunnya mengandung sepasang cairan yang bercampur sebagian adalah Sistem Air-Benzen-
Alkohol, Sistem Air-Kloroform-Asam Asetat, Sistem Air-Toluen-Alkohol dan Sistem Air-Butanol-
Asam Asetat.
Kaidah Diagram Segitiga (dikutip langsung dari dengan tambaahan penjelasan):
1. Masing-masing sudut/puncak segitiga sama sisi menunjukkan 100% proporsi berat salah satu
komponennya
2. Ketiga garis yang menghubungkan titik-titik sudut (yang dimaksud di sini adalah sisi segitiga)
menunjukkan campuran dua komponen dari tiga kemungkinan kombinasi
3. Titik, garis dan area didalam segitiga menunjukkan semua kombinasi seluruh komponen yang
mungkin untuk menghasilkan sistem tiga komponen.
4. Jika suatu garis digambarkan dari sudut tertentu menuju satu titik pada sisi yang berlawanan
(garis pink), semua sistem yang ditunjukkan oleh titik-titik pada garis tersebut mempunyai
perbandingan dua komponen yang konstan.
5. Setiap garis yang digambarkan sejajar dengan salah satu sisi segitiga (garis hitam)
menunjukkan sistem terner dengan perbandingan satu komponen bernilai konstan
Konstruksi diagram terner dapat membantu dalam pekerjaan-pekerjaan formulasi. Salah satu
contohnya adalah untuk menentukan komposisi sebuah sistem mikroemulsi (seperti gambar
disamping) yang terdiri atas tiga komponen yaitu fase air, fase minyak dan fase campuran surfaktan
dan ko-surfaktan.
Pra-Praktikum
Bahan pre-reading:
Buku Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika (2011) Bab 2 hal. 60-73
Bahan respon untuk percobaan ini adalah:
1. Aturan Fase
2. Suhu Konsulat Atas dan Suhu Konsulat Bawah
3. Titik Eutektikum
4. Kaidah Diagram Segitiga
5. Membaca Diagram Segitiga
6. Perhitungan dalam Sistem Tiga Komponen
7. Pengaruh Suhu Pada Sistem Tiga Komponen
Sebelum praktikum, mahasiswa harus melengkapi data pada lembar “Prerequisite Data”
Safety Check
Safety Level: Level 2
Check
No. Nama APD Keterangan
(�)
Gunakan sebelum masuk dan selama berada di dalam
1 Jas Praktikum □
laboratorium
Sepatu Gunakan sebelum masuk dan selama berada di
2 □
Tertutup laboratorium
Eksperimental
Alokasi Waktu : 180 menit
Jumlah Sampel : 1 sampel bahan obat padat (EKSP0101), 1 sampel bahan cair (EKSP0102 dan
EKSP0102)
Tempat : Lab Farmasetika, Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin
Pengaturan : Setiap 3 kelompok mengerjakan satu seri data dengan dua replikasi
EKSP0201 Penentuan Titik Eutektik dan Konstruksi Diagram Biner pada Sistem Dua Komponen
1. Sebelum memulai percobaan, catat suhu ruangan tempat percobaan dilakukan
2. Timbang sampel dengan perbandingan bobot 0:10, 1:9, 2:8, 3:7, 4:6, 5:5, 6:4, 7:3, 8:2, 9:1 dan
10:0.
3. Sampel digerus menjadi serbuk yang sangat halus dalam lumpang. Untuk sampel yang
diprediksi memiliki titik lebur dibawah suhu ruang, lakukan proses penggerusan dalam tangas
es.
4. Ratakan sampel yang telah dikeringkan sesuai prosedur farmakope menjadi
5. Pipa kaca kapiler (yang salah satu ujungnya tertutup) diisi dengan serbuk kering secukupnya
hingga membentuk kolom di dasar tabung dengan tinggi 3 mm
27
6. Setelah diisi, sampel dalam pipa kapiler dimampatkan dengan cara mengetukkan pipa kapiler
pada permukaan padat
7. Tempel kapiler (dengan bantuan cairan tangas) pada termometer utama dengan bagian
terbuka menghadap ke atas dan dasar pipa kapiler sejajar dengan bagian tengah pencadang
raksa
8. Panaskan silikon cair dalam gelas beaker menggunakan kompor listrik hingga suhu mencapai
lebih kurang 10°C dibawah suhu lebur yang diperkirakan
9. Termometer utama dicelupkan kedalam tangas hingga ujung bawa termometer berada
kurang lebih 2 cm dari atas dasar wadah cairan.
10. Termometer pembantu dicelupkan hingga pencadang raksa tepat berada di tengah-tengah
permukaan cairan dan dasar wadah
11. Lanjutkan pemanasan dengan pengadukan tetap secukupnya hingga suhu naik sekitar
3°C/menit hingga kurang lebih mencapai suhu 3°C di bawah suhu lebur dan lanjutkan
pemanasan dengan laju kenaikan suhu 1°C/menit
12. Suhu pada saat fase cair mulai muncul dalam pipa kapiler didefinisikan sebagai suhu awal
peleburan dan suhu ketika seluruh zat uji telah berubah menjadi cairan didefinisikan sebagai
suhu akhir peleburan (suhu ini dicatat sebagai suhu lebur. Kedua suhu tersebut berada dalam
jarak lebur.
13. Catat hasilnya pada lembar observasi
14. Hitung suhu lebur dengan menggunakan persamaan (1.1)
15. Plot hasilnya pada diagram biner (Suhu lebur vs komposisi salah satu fase)
16. Beri label untuk area saat sampel berada pada kondisi (1) 100% cair, (2) Fase A Padat + Cairan,
(3) Fase B Padat + Cairan dan (4) Fase A dan B padat.
PREREQUISITE DATA
EKSP0201 Penentuan Titik Eutektik dan Konstruksi Diagram Biner pada Sistem Dua Komponen
Nama Sampel 1
RM BM RB
Pemerian
Kelarutan
Titik Lebur
Nama Sampel 1
RM BM RB
Pemerian
Kelarutan
Titik Lebur
Suhu : °C
Titik Eutektik Menurut Literatur
Komposisi : % bobot …
Referensi:
29
PREREQUISITE DATA
EKSP0202 Konstruksi Diagram Terner pada Sistem Tiga Komponen
Nama Sampel 1
RM BM RB
Pemerian
Kelarutan
Kerapatan
Nama Sampel 2
RM BM RB
Pemerian
Kelarutan
Kerapatan
Nama Sampel 3
RM BM RB
Pemerian
Kelarutan
Kerapatan
Referensi:
30
LEMBAR OBSERVASI
PRAKTIKUM FARMASI FISIKA
Nama Mahasiswa
NIM/Kelompok
Golongan
EKSP0201 Penentuan Titik Eutektik dan Konstruksi Diagram Biner pada Sistem Dua Komponen
Nama Sampel :
Jarak Lebur (°C)
Titik Lebur 𝒙
*
No. Perbandingan
Awal Akhir (°C) (°C)
T: T: T:
t : t : t :
Tr : Tr: Tr:
1 (10:0)
T: T: T:
t : t : t :
Tr : Tr: Tr:
T: T: T:
t : t : t :
Tr : Tr: Tr:
2 (9:1)
T: T: T:
t : t : t :
Tr : Tr: Tr:
T: T: T:
t : t : t :
Tr: Tr: Tr:
3 (8:2)
T: T: T:
t : t : t :
Tr: Tr: Tr:
T: T: T:
t : t : t :
Tr: Tr: Tr:
4 (7:3)
T: T: T:
t : t : t :
Tr: Tr: Tr:
T: T: T:
t : t : t :
Tr: Tr: Tr:
5 (6:4)
T: T: T:
t : t : t :
Tr: Tr: Tr:
31
Nama Sampel :
Jarak Lebur (°C)
Titik Lebur 𝒙
*
No. Perbandingan
Awal Akhir (°C) (°C)
T: T: T:
t : t : t :
Tr : Tr: Tr:
6 (5:5)
T: T: T:
t : t : t :
Tr : Tr: Tr:
T: T: T:
t : t : t :
Tr: Tr: Tr:
7 (4:6)
T: T: T:
t : t : t :
Tr: Tr: Tr:
T: T: T:
t : t : t :
Tr: Tr: Tr:
8 (3:7)
T: T: T:
t : t : t :
Tr: Tr: Tr:
T: T: T:
t : t : t :
Tr: Tr: Tr:
9 (2:8)
T: T: T:
t : t : t :
Tr: Tr: Tr:
T: T: T:
t : t : t :
Tr: Tr: Tr:
10 (1:9)
T: T: T:
t : t : t :
Tr: Tr: Tr:
T: T: T:
t : t : t :
Tr: Tr: Tr:
11 (0:10)
T: T: T:
t : t : t :
Tr: Tr: Tr:
Perhitungan
(Perhitungan Tr dan rata-rata untuk sampel yang dikerjakan oleh kelompok)
32
LEMBAR OBSERVASI
PRAKTIKUM FARMASI FISIKA
Nama Mahasiswa
NIM/Kelompok
Golongan
Nama Sampel :
𝒙
*
No. Perbandingan Fase A Fase B Fase C
(Fase C)
V: V: V: XA :
(10:0) XB :
V: V: V: XC :
V: V: V: XA :
(9:1) XB :
V: V: V: XC :
V: V: V: XA :
(8:2) XB :
V: V: V: XC :
V: V: V: XA :
(7:3) XB :
V: V: V: XC :
V: V: V: XA :
(6:4) XB :
V: V: V: XC :
V: V: V: XA :
(5:5) XB :
V: V: V: XC :
V: V: V: XA :
(4:6) XB :
V: V: V: XC :
34
Nama Sampel :
𝒙
No. Perbandingan Fase A Fase B Fase C 𝒙𝒊
(Fase C)
V: V: V: XA :
(3:7) XB :
V: V: V: XC :
V: V: V: XA :
(2:8) XB :
V: V: V: XC :
V: V: V: XA :
(1:9) XB :
V: V: V: XC :
V: V: V: XA :
(0:10) XB :
V: V: V: XC :
Perhitungan
(Perhitungan rata-rata dan fraksi bobot sampel yang dikerjakan oleh kelompok)
35
EKSPERIMEN 3
MIKROMERITIK DAN SIFAT TURUNAN SERBUK
Teori Singkat
Istilah mikromeritik diperkenalkan oleh Dalla Vale dan didefinisikan sebagai ilmu dan teknologi
tentang partikel kecil yang didalamnya juga termasuk mempelajari tentang sifat-sifat fundamental
dan turunan dari partikel individu maupun kumpulan partikel. Pengetahuan tentang mikromeritik
erat kaitannya dengan farmasi. Hal ini karena diberbagai aspek farmasi, khususnya formulasi,
pengendalian ukuran partikel merupakan hal yang sangat fundamental. Ukuran partikel
berpengaruh besar terhadap sifat fisika, kimia dan farmakologi bahan obat. Dalam hal formulasi
bahan padat, ukuran partikel sangat berpengaruh dalam aliran serbuk dan granul. Dalam formulasi
suspensi, ukuran partikel berpengaruh besar terhadap laju pengendapan sediaan. Sediaan-sediaan
farmasi mempersyaratkan ukuran partikel tertentu sebagai salah satu karakteristiknya, misalnya
derajad halus granul kering berada dalam rentang mesh ayakan 4 hingga 12, ukuran partikel dalam
suspensi oral berkisar antara 10 sampai 50 µm. Tabel 3.1 menunjukkan dimensi partikel dalam
sistem farmasetik.
39
menyatakan distribusi ukuran partikel yaitu dengan distribusi jumlah maupun distribusi berat. Hasil
yang diperoleh dari penentuan distribusi jumlah atau berat dapat dipertukarkan satu sama lain
dengan menggunakan rumus. Tergantung dari penggunaan dan tujuannya. Kedua bentuk
penyajian ini memiliki keunggulan masing-masing. Data tentang distribusi ukuran partikel disajikan
dalam bentuk grafik distribusi normal (Frekuensi vs Ukruan partikel; %Frekeunsi vs Ukuran Partikel)
Mempelajari mikromeritik tidak dapat lepas dari mempelajari sifat turunan serbuk sebagai suatu
kumpulan partikel. Sifat turunan serbuk yang penting bagi farmasi diantaranya kerapatan,
keruahan, porositas dan sifat alir.
- Porositas Serbuk. Porositas serbuk didefinisikan sebagai rasio volume rongga (void) serbuk
terhadap volume ruah. Secara teoritis, serbuk yang tersusun atas partikel bulat sempurna yang
seragam dapat tersusun dalam bentuk closest packing ataupun most loose packing dan
porositasnya secara teoritis adalah 26-48%. Pada kenyataannya, kebanyakan massa serbuk
memiliki porositas antara 30-50%. Secara teoritis, serbuk yang tersusun atas partikel bulat
sempurna yang seragam dapat tersusun dalam bentuk closest packing ataupun most loose
packing dan porositasnya secara teoritis adalah 26-48%. Pada kenyataannya, kebanyakan
massa serbuk memiliki porositas antara 30-50%. Pada sistem serbuk nyata, sebuah massa
serbuk kristalin dapat memiliki porositas <1% setelah pengempaan.
- Kerapatan serbuk dapat dinyatakan sebagai (1) Kerapatan nyata, (2) Kerpatan Granul dan (3)
Kerapatan Ruah dan sebagai tambahan, kerapatan mampat (tapped density) yang dapat
digunakan untuk menentukan indeks kompresibilitas suatu massa serbuk/granul. Dalam
praktikum ini akan dibahas kerapatan nyata, kerapatan ruah dan kerapatan ketuk.
o Kerapatan Nyata atau True Density ditentukan dengan metode pemindahan cairan. Cairan
yang digunakan adalah cairan yang tidak melarutkan bahan yang sedang diuji. Piknometer
biasa dapat digunakan dalam metode ini.
o Untuk menentukan kerapatan ruah terlebih dahulu harus diketahui volume ruah. Volume
ruah diukur dengan memasukkan massa serbuk ke dalam gelas ukur secara berhati-hati
dan meratakan permukaannya tanpa memampatkannya. Volume yang ditempati oleh
serbuk dicatat sebagai volume ruah (Vb). Keruahan berbeda dengan kerapatan ruah.
Keruahan berbanding terbalik dengan kerapatan ruah. Umumnya, keruahan meningkat
dengan berkurangnya ukuran partikel.
o Untuk menentukan kerapatan mampat terlebih dahulu harus diketahui volume mampat.
Serbuk yang telah dimasukkan ke dalam gelas ukur diketuk sebanyak 10, 100, 500 dan 1250
kali (ketukan dengan tinggi konstan dan interval konstan). Volume yang diperoleh pada
ketukan ke 1250 (jika tidak dinyatakan lain)dicatat sebagai volume mampat (Vt)
- Sifat aliran serbuk dapat dinyatakan dalam beberapa bentuk, dalam praktikum ini yang akan
dibahas adalah kecepatan alir dan sudut istirahat yang nilai dari keduanya saling berkorelasi
erat dalam penentun sifat aliran dari serbuk.
o Metode ini dilakukan dengan mengalirkan massa serbuk melewati sebuah corong yang
dasar corongnya diposisikan pada ketinggian tertentu. Selanjutnya massa serbuk yang
diketahui bobotnya dibiarkan mengalir seluruhnya melewati corong dan waktu yang
dibutuhkan untuk mengalir dihitung.
o Saat melakukan pengujian kecepatan alir, massa serbuk yang mengalir akan membentuk
sebuah gundukan kerucut. Dengan menghitung tinggi dan jari-jari kerucut tersebut kita
bisa menentukan sudut istirahat dari massa serbuk yang diuji dengan menggunakan rumus
41
o Indeks Kompresibilitas dan Rasion Hausner adalah metode yang sederhana, cepat dan
populer untuk menentukan karakteristik aliran serbuk. Indeks kompresibilitas adalah suatu
tolak ukur tidak langsung dari kerapatan ruah, bentuk dan ukuran, area permukaan,
kandungan lembab dan sifat kohesif dari bahan karena hal-hal tersebut merupakan faktor
yang mempengaruhi indeks kompresibilitas yang teramati.
Pra-Praktikum
Bahan pre-reading:
Buku Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika (2011) Bab 19, hal. 670-704
Bahan respon untuk percobaan ini adalah:
1. Definisi-Definisi dalam Mikromeritik
2. Ukuran Partikel Sistem Farmasetis
3. Diameter Statistik Partikel
4. Distribusi Ukuran Partikel
5. Persamaan Hatch-Choate
6. Metode-Metode untuk Menentukan Ukuran Partikel
7. Penyajian Data Distribusi Ukuran
8. Sifat Turunan Serbuk (Porositas, Kerapatan, Keruahan, Sifat Aliran)
Sebelum praktikum, mahasiswa harus melengkapi data pada lembar “Prerequisite Data”
Sebelum praktikum, mikrometer telah dikalibrasi pada pembesaran yang sesuai.
42
Safety Check
Safety Level: Level 1
Check
No. Nama APD Keterangan
(�)
Gunakan sebelum masuk dan selama berada di dalam
1 Jas Praktikum □
laboratorium
Sepatu Gunakan sebelum masuk dan selama berada di
2 □
Tertutup laboratorium
Eksperimental
Alokasi Waktu : 180 menit
Jumlah Sampel : 1 jenis sampel serbuk (EKS0301
Tempat : Lab Farmasetika, Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin
Pengaturan : Setiap 3 kelompok mengerjakan sampel yang sama, data dikumpulkan sebagai
data kolektif untuk dirata-ratakan oleh tiga kelompok. Untuk EKS0302, setiap
kelompok masing-masing menghitung 100 partikel
EKSP0301 Penentuan Distribusi Ukuran dan Diameter Rata-Rata Partikel dengan Sieve Analysis
1. Timbang sebanyak 25 g sampel serbuk. Untuk sampel yang memiliki keruahan besar, jumlah
sampel dikurangi hingga minimal 10 gram.
2. Tentukan nomor mesh ayakan terakhir dan tentukan nomor mesh ayakan di atasnya dengan
prinsip √2 (Lihat lampiran 2).
3. Timbang masing-masing ayakan kosong dan pan, catat bobotnya pada tabel pengamatan
4. Pasang ayakan pada sieve shaker dengan nomor mesh ayakan terbesar berada paling bawah
5. Sampel yang telah ditimbang 25 g ditempatkan pada pengayak paling atas, tutup rapat sieve
shaker, kemudian mesin dijalankan dengan kekuatan vibrasi pada skala 5.
6. Ayak sampel sesuai waktu yang telah ditentukan sebelumnya melalui proses optimasi.
7. Timbang kembali ayakan bersama fraksi serbuk yang tertinggal di atasnya. Pan dan fraksi
serbuk yang melewati ayakan terakhir juga ditimbang.
8. Catat data yang diperoleh ke dalam lembar observasi
9. Plot data yang diperoleh pada kertas log-probit (diamter ayakan pada skala log dan persen
tertinggal pada skala probit)
10. Plot data %Kumulatif vs Diameter Rata-Rata Partikel
11. Tentukan estimasi diamter rata-rata partikel dengan menentukan nilai ςg dari grafik log-probit
12. Tentukan diameter rata-rata partikel dengan metode 1 menggunakan persamaan (3.1a)
13. Tentukan diameter rata-rata partikel dengan metode 2 serta simpagan baku, area permukaan
dan jumlah partikel per gramnya menggunakan persamaan (3.1b-3.1e)
43
EKSP0302 Penentuan Distribusi Ukuran dan Diameter Rata-Rata Partikel dengan Mikroskop Optik
1. Lekatkan sekitar 300 partikel diatas kaca objek dan tempatkan pada mikroskop
2. Ukur diameter partikel (di sepanjang garis tetap tertentu) dan dipilih secara sembarang,
biasanya dibuat horizontal melewati pusat partikel.
3. Hitung diameter partikel berdasarkan hasil kalibrasi mikrometer okuler
4. Tentukan jumlah kelas, rentang, batas kelas dan nilai tengah berdasarkan prinsip statistik
dasar
5. Catat data yang diperoleh pada lembar observasi
6. Tentukan diameter statistik rerata panjang-jumlah (dln), rerata permukaan-jumlah (dsn), rerata
volume-jumlah (dvn), rerata permukaan-panjang (dsl), rerata volume-permukaan (dvs), rerata
berat-momen (dwm) dengan persamaan-persamaan (3.2a-3.2f)
EKSP0305 Penentuan Kerapatan, Mampat, Porositas, Keruahan, Indeks Carr dan Rasio Haussner
1. Timbang sampel sebanyak 100 gram (atau kurang jika sampel memiliki keruahan yang besar)
2. Masukkan sampel ke dalam gelas ukur 250 ml dengan bantuan corong
3. Catat volume awal pada lembar observasi sebagai volume ruah
4. Pasang corong pada alat tap density tester dan ketuk sebanyak 1250 kali dengan kecepatan
250 ketukan/menit
5. Catat volume ke 10, 500 dan 1250 pada lembar observasi. Jika selisih antara V500 dan V1250 ≤ 2
ml, V1250 adalah volume mampat. Jika selisihnya > 2 ml, ulangi 1250 ketukan lagi hingga selisih
antar pengulangan ≤ 2 ml dan catat volumenya sebagai volume mampat pada lembar
observasi
6. Hitung kerapatan ruah, kerapatan mampat, porositas, keruahan, Indeks Carr dan Rasio
Haussner dengan menggunakan persamaan (3.5a-3.5e) menggunakan data kerapatan sejati
dari EKSP0304
PREREQUISITE DATA
EKSP0301 Penentuan Distribusi Ukuran dan Diameter Rata-Rata Partikel dengan Sieve Analysis
EKSP0302 Penentuan Distribusi Ukuran dan Diameter Rata-Rata Partikel dengan Mikroskop Optik
EKSP0303 Penentuan Laju Alir dan Sudut Istirahat (Angle of Repose)
EKSP0304 Penentuan Kerapatan Sejati (True Density)
EKSP0305 Penentuan Kerapatan Ruah, Mampat, Porositas, Keruahan, Indeks Carr dan Rasio Haussner
Nama Sampel 1
RM BM RB
Pemerian
Kerapatan
Ruah :
Mampat :
Sejati :
Distribusi Ukuran
Diameter Partikel
Gambar SEM
Referensi:
46
LEMBAR OBSERVASI
PRAKTIKUM FARMASI FISIKA
Nama Mahasiswa
NIM/Kelompok
Golongan
EKSP0301 Penentuan Distribusi Ukuran dan Diameter Rata-Rata Partikel dengan Sieve Analysis
Nama Sampel :
Nomor Mesh dm BT
%R %Rkum %R x BT
Ayakan (mm) (g)
-/
/
/pan
Total (∑)
di Wi Wi x log di – BT x (log di
# Mesh %R Log di Dgw – log Dgw)2
(mm) (g) log di log Dgw
pan
Total (Σ)
Dgw total SA
Sgw PPG
di = Nilai tengah ayakan
Wi = Berat tertahan di ayakan
%R = Persentase berat tertahan di ayakan
Dgw = Diameter partikel yang tertahan di ayakan
Sgw = Standar deviasi Dgw
SA = Surface Area/area permukaan
PPG = Partikel per gram
Perhitungan
(Perhitungan Dgw total, Sgw, SA dan PPG)
48
49
Nama Sampel :
dav
Dgw total
ςg
LEMBAR OBSERVASI
PRAKTIKUM FARMASI FISIKA
Nama Mahasiswa
NIM/Kelompok
Golongan
(Lanjutan)
A B A B A B A B A B
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
n k Kelas Ke IKelas Batas Kelas dtengah
dmin dmax
R c
LEMBAR OBSERVASI
PRAKTIKUM FARMASI FISIKA
Nama Mahasiswa
NIM/Kelompok
Golongan
Nama Sampel :
m t v 𝒙
SD RSD
(g) (s) (g/s) (g/s)
h r θ 𝒙
tan θ SD RSD
(mm) (mm) (°) (°)
v= g/s
3
Nilai Referensi (g/cm )
θ= °
LEMBAR OBSERVASI
PRAKTIKUM FARMASI FISIKA
Nama Mahasiswa
NIM/Kelompok
Golongan
Nama Sampel :
Vpikno a b c d ρ 𝒙
SD
(ml) (g) (g) (g) (g) (g/cm3) (g/cm3)
RSD
LEMBAR OBSERVASI
PRAKTIKUM FARMASI FISIKA
Nama Mahasiswa
NIM/Kelompok
Golongan
EKSP0305 Penentuan Kerapatan Ruah, Mampat, Porositas, Keruahan, Indeks Carr dan Rasio Haussner
Nama Sampel :
CI HR ε B
Vbulk = Vtap =
Nilai Referensi CI = HR =
ε = B =
EKSPERIMEN 4
DISPERSI MOLEKULER DAN FENOMENA DISTRIBUSI
Teori Singkat
Sistem dapat diartikan sebagai sesuatu yang terbatasi oleh ruang atau sejumlah substansi materi.
Berbagai substansi materi dapat dicampur untuk membentuk suatu campuran farmasetik seperti
larutan sejati, dispersi koloid dan dispersi kasar. Suatu dispersi tersusun atas setidaknya dua fase,
yaitu fase internal/fase terdispersi dan fase eksternal/fase pendispersi
Larutan sejati adalah campuran antara zat padat / zat cair (sebagai fase terdispersi) dengan zat cair
(sebagai medium pendispersi). Pada larutan sejati, fase terdispersi larut sempurna dengan medium
pendispersi sehingga dihasilkan campuran yang homogen, sehingga antara fase terdispersi dengan
medium pendispersinya tidak dapat dibedakan lagi. Molekul-molekul fase terdispersi tersebar
merata ke dalam komponen medium pendispersi, sehingga larutan disebut juga dispersi molekuler.
Kelarutan didefinisikan dalam besaran kuantitatif sebagai konsentrasi zat terlarut dalam larutan
jenuh pada temperatur tertentu, dan secara kualitatif didefinisikan sebagai interaksi spontan dari
dua atau lebih zat untuk membentuk dispersi molekuler homogen. Kelarutan obat dapat
dinyatakan dalam beberapa cara. Menurut U.S. Pharmacopeia dan National Formulary, definisi
kelarutan obat adalah jumlah ml pelarut dimana akan larut 1 gram zat terlarut. Tabel berikut
memuat istilah kelarutan yang dipakai dalam kompendial.
65
dan
∆𝐺 = −1𝑅𝑇 ln 𝐾 … Persamaan (D.3)
Keterangan Persamaan:
∆G adalah perubahan energi bebas
∆H’ adalah perubahan entalpi
∆S adalah perubahan entropi
T adalah temperature
K adalah konstanta kesetimbangan
Dari hukum kedua termodinaika, kita mengetahui bahwa syarat suatu proses dianggap proses yang
spontan adalah proses tersebut harus memiliki nilai ∆G negatif. Ingat bahwa proses melarutnya
suatu bahan adalah proses yang spontan. Agar suatu zat dapat melarut maka nilai ∆G sistem harus
negatif. Nilai ini dipengaruhi oleh perubahan entalpi (∆H’) dan perubahan entropi (∆S) sistem. Jika
suatu sistem memiliki ∆H’ negatif dan ∆S positif maka proses pelarutan bahan pada sistem tersebut
akan terjadi karena nilai ∆G akan negatif.
Ada beberapa faktor yang berpengaruh pada kelarutan, antara lain adalah pH, suhu, jenis pelarut,
bentuk dan ukuran partikel zat, kosolvensi, konstanta dielektrikum bahan pelarut, adanya zat-zat
lain seperti surfaktan/pembentuk kompleks/ion sejenis dan modifikasi kimia obat. Adakalanya
suatu zat lebih mudah larut dalam pelarut campuran dibandingkan dengan pelarut tunggalnya.
Fenomena ini dikenal dengan istilah co-solvency. Bahan pelarut di dalam pelarut campur yang
mampu meningkatkan kelarutan zat disebut co-solvent. Etanol, gliserin dan propilen glikol
merupakan contoh-contoh kosolven yang umum digunakan.
Jika suatu cairan atau padatan berlebih ditambahkan pada campuran dua cairan tak bercampur,
zat itu akan mendistribusikan diri diantara kedua fase sehingga masing-masing fase menjadi jenuh.
Jika jumlah zat yang ditambahkan pada pelarut tidak bercampur tidak cukup untuk menjenuhkan
67
larutan, zat tersebut tetap akan terdistribusi diantara kedua lapisan dengan perbandingan
konsentrasi tertentu.
Jika suatu bahan obat ditambahkan dalam jumlah berlebih kedalam dua pelarut yang tidak saling
becampur maka molekul obat tersebut akan terdistribusi ke kedua pelarut tersebut hingga
konsentrasinya mencapai jenuh pada kedua pelarut tersebut. Jika suatu bahan obat ditambahkan
ke dua pelarut yang tidak saling bercampur tetapi jumlahnya tidak cukup untuk membentuk
larutan jenuh, maka molekul obat tersebut akan terdistribusi ke kedua pelarut tersebut dalam rasio
yang konstan. Rasio ini umumnya sama dengan rasio kelartan obat dalam pelarut tersebut.
Mempelajari fenomena distribusi suatu bahan obat penting karena banyak fenomena yang
melibatkan peristiwa partisi ini diantaranya:
1. Partisi obat antara fase air dan biofase lipid
2. Pengawet dalam sediaan dengan basis emulsi berpartisi antara fase air dan fase minyak
3. Partisi antibiotik ke dalam sel mikroorganisme
4. Partisi obat atau pengawet ke dalam wadah plastik atau wadah lainnya.
Log P atau log koefisien partisi dan log D atau koefisien distribusi umumnya disamakan untuk
keperluan generalisasi di buku-buku teks farmasi fisika dan dinyatakan sebagai K. Dalam penentuan
Log P dan Log D, pelarut 1 yang umum digunakan adalah n-oktanol dan pelarut 2 yang digunakan
adalah air. Khusus untuk penentuan Log D, buffer fosfat pH 7,4 digunakan sebagai pelarut 2 dan
hasilnya dinyatakan sebagai Log D7,4.
Log P menyatakan nilai logaritma perbandingan konsentrasi obat dalam bentuk tidak
terdisosiasi/tidak terion dalam fase n-oktanol dan air. Rumus yang digunakan adalah:
[𝑠𝑜𝑙𝑢𝑡]𝑜𝑐𝑡𝑎𝑛𝑜𝑙
log 𝑃 = log ( ) … Persamaan (D.4)
[𝑠𝑜𝑙𝑢𝑡]𝑢𝑛−𝑖𝑜𝑛𝑖𝑧𝑒𝑑
Log P = 0 menunjukkan bahwa bahan obat terdistribusi dengan konsentrasi yang sama diantara
kedua fase. Log P = 5 menunjukkan bahwa bahan tersebut lipofikik sedangkan Log P = -2 dimiliki
oleh bahan yang hidrofilik. Nilai Log P anatara 1-3 menunjukkan absorbsi yang baik sedangkan nilai
Log P >6 atau <1 menunjukkan karakteristik transport yang buruk.
Log D menyatakan nilai logaritma perbandingan konsentrasi obat dalam baik dalam bentuk tidak
tidak ter-ion maupun ter-ion dalam fase n-oktanol dan air yang didapar. Hal ini signifikan karena
sebagian obat memiliki gugus-gugus fungsi yang dapat terionkan. Sangat penting mencantumkan
pH yang digunakan saat mengukur nilai Log D. Pengukuran Log D banyak dilakukan dengan dapar
pH 7,4 sehingg hasilnya dinyatakan dalam Log D7,4. Rumus yang digunakan adalah:
[𝑠𝑜𝑙𝑢𝑡]𝑜𝑐𝑡𝑎𝑛𝑜𝑙
log 𝐷 = log ( ) … Persamaan (D.5)
[𝑠𝑜𝑙𝑢𝑡]𝑢𝑛−𝑖𝑜𝑛𝑖𝑧𝑒𝑑 + [𝑠𝑜𝑙𝑢𝑡]𝑖𝑜𝑛𝑖𝑧𝑒𝑑
𝑤𝑎𝑡𝑒𝑟 𝑤𝑎𝑡𝑒𝑟
Pra-Praktikum
Bahan pre-reading:
Buku Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika (2011) Bab 10, hal. 292-336
Bahan respon untuk percobaan ini adalah:
1. Definisi dan Istilah Kelarutan
2. Mekanisme Kelarutan
3. Interaksi Solven-Solut
4. Termodinamika Larutan
5. Contoh-Contoh fenomena yang melibatkan peristiwa partisi
6. Log P dan Log D
7. Perhitungan-Perhitungan
Sebelum praktikum, mahasiswa harus melengkapi data pada lembar “Prerequisite Data”
Buret dan larutan baku telah disiapkan.
Safety Check
Safety Level: Level 2
Check
No. Nama APD Keterangan
(�)
Gunakan sebelum masuk dan selama berada di dalam
1 Jas Praktikum □
laboratorium
Sepatu Gunakan sebelum masuk dan selama berada di
2 □
Tertutup laboratorium
Eksperimental
Alokasi Waktu : 180 menit
Jumlah Sampel : 1 jenis sampel serbuk (EKS0301
Tempat : Lab Farmasetika, Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin
69
PREREQUISITE DATA
EKSP0401 Kosolvensi dan Penentuan Kelarutan Bahan Obat
EKSP0402 Penentuan Koefisien Partisi dan Log P
Nama Sampel
RM BM RB
Pemerian
Kelarutan Air :
Et-OH :
Me-OH :
Gliserol :
PG :
Oktanol :
%Kadar*
Referensi:
LEMBAR OBSERVASI
PRAKTIKUM FARMASI FISIKA
Nama Mahasiswa
NIM/Kelompok
Golongan
0%
5%
10%
15%
20%
25%
Nilai Referensi*
LEMBAR OBSERVASI
PRAKTIKUM FARMASI FISIKA
Nama Mahasiswa
NIM/Kelompok
Golongan
Nama Sampel :
Ko/w
Nilai Referensi
Log P
EKSPERIMEN 5
FENOMENA ANTARMUKA DAN DISPERSI KOLOID
Teori Singkat
Daerah antarmuka adalah daerah dimana dua fase yang tidak saling bercampur bertemu. Terdapat
beberapa tipe antarmuka bergantung pada fase yang saling bersinggungan. Tipe-tipe antarmuka
dirangkum dalam tabel 5.1. Tegangan antarmuka gas-cair dan gas-padat selanjutnya disebut
tegangan permukan. Tegangan permukaan padat-padat tidak banyak dikaji karena kurannyaa
aplikasi dan data-data untuk ini.
Dalam keadaan cair, gaya kohesi antara molekul terbentuk dengan baik. Molekul yang ada di dalam
cairan dikelilingi oleh molekul yang sama dengan gaya tarik yang sama. Molekul yang ada
dipermukaan hanya dapat tertarik dengan molekul dibawahnya. Meskipun molekul dipermukaan
dapat berinteraksi dengan fase gas/uap, bentuk interaksinya umumnya lebih lemah sehingga
78
molekul di permukaan tertarik “ke dalam”. Tarikan ini menyeabkan molekul dipermukaan
berkontraksi dan menimbulkan tegangan permukaan. “Tegangan” ini merupakan gaya per satuan
panjang yang harus diberikan paralel terhadap permukaan cairan untuk mengimbangi gaya tarikan
ke dalam. Gaya ini memiliki satuan dyne/cm atau N/m. Tegangan antarmuka cairan adalah gaya
per satuan panjang yang terdapat pada permukaan dua cairan yang tidak saling bercampur.
Tabel 5.1. Tegangan Antarmuka Berbagai Fase
Tegangan
Fase Tipe dan Contoh Antarmuka
Antarmuka
Tidak ada antarmuka yang terbentuk karena dua fase ini
Gas-Gas -
selalu bercampur secara homogen
Permukaan cairan, misalnya permukaan danau yang
Gas- Cair 𝛾𝐿𝑉
terpapar di udara
Gas-Padat 𝛾𝑆𝑉 Permukaan benda padat, misalnya permukaan meja
Cair-Cair 𝛾𝐿𝐿 Antarmuka cair-cair, misalnya emulsi
Cair-Padat 𝛾𝑆𝐿 Antarmuka cair-padat, misalnya suspensi
Antarmuka padat-padat, misalnya dua bahan padat yang
Padat-Padat 𝛾𝑆𝑆
saling bercampur
Energi bebas permukaan adalah energi yang berhubungan dengan gaya antarmolekul pada
antarmuka dua media yang tidak saling bercampur. Energi permukaan per luas area sama dengan
tegangan permukaan. Persamaan yang digunakan untuk menjelaskan tentang energi bebas
permukaan adalah :
𝑊 = 𝛾∆𝐴 … Persamaan (E.1)
Dalam persamaan ini, W adalah kerja yang harus dilakukan, atau energi bebas permukaan (egr), γ
adalah tegangan antarmuka (dyne/cm) dan ∆A adalah perubahan luas permukaan. Dari persamaan
terlihat bahwa energi bebas permukaan berbanding lurus dengan tegangan antarmuka dan
perubahan luas area.
Terdapat dua metode yang umum digunakan untuk menghitung tegangan permukaan bahan cair
yaitu:
- Metode Dinding Kapiler
Ketika pipa kaplier dimasukkan ke dalam Beaker yang berisi cairan, cairan akan naik ke pipa
kapiler karena gaya adhesi antara cairan dan pipa kapiler lebih besar dibandingkan dengan
gaya kohesi antara molekul zat cair. Dengan mengukur tinggi cairan dalam pipa kapiler kita
dapat menentukan tegangan permukaan cairan dengan rumus disamping.
- Metode Cincin DuNouy
Prinsip instrument ini adalah bahwa gaya yang dibutuhkan untuk melepaskan cincin platinum
iridium dari permukaan cairan sebanding dengan tegangan permukaan cairan tersebut. Gaya
yang dibutuhkan diukur terhadap torsi kabel dan direkam dalam dyne oleh dial terkalibrasi.
Rumus yang digunakan
Bahan ampifil memiliki daerah dengan afinitas terhadap pelarut berbeda dalam molekulnya dan
secara alami akan terabsorbsi ke antarmuka suatu cairan. Agar suatu ampifil dapat terjerap di
permukaan, molekulnya harus memiliki bagian hidrofilik dan hidrofobik dalam proporsi yang
79
seimbang. Jika terlalu hidrofilik maka ampifil tersebut akan tetap berada dalam air. Jika terlalu
hidrofobik, maka ampifil tidak memiliki pengaruh terhadap antarmuka.
Griffin menetapkan skala untuk mengukur nilai HLB (hydrophylic-lipophilic balance) suatu bahan
aktif permukaan (surfaktan). Berdasarkan ini, nilai HLB yang optimal ditentukan untuk tiap kelas
surfaktan. HLB untuk surfaktan non-ionik yang porsi hidrofiliknya hanya berupa gugus
polioksietilen dihitung dengan persamaan (E.1). Nilai HLB untuk senyawa ester asam lemak alkohol
polihidat diestimasi dengan rumus (E.2). Dalam persamaan ini, E adalah %b/b gugus etilen oksid, S
adalah angka penyabunan ester dan A adalah bilangan asam bagian asam lemaknya.
𝐸
𝐻𝐿𝐵 = … Persamaan (E.2)
5
𝑆
𝐻𝐿𝐵 = 20 (1 − ) … Persamaan (E.3)
𝐴
Surfaktan (dan dispersi koloid gabungan) dapat dikelompokkan berdasarkan jenis muatannya.
Klasifikasi dan contohnya di rangkum dalam tabel 5.2
Tabel 5.2. Pengelompokan surfaktan berdasarkan muatannya
Senyawa Contoh Ampifil Gegenion
Tipe
Dimetildodesilamonio-propan
Amfolitik CH3(CH2)N+(CH3)2(CH2)3OSO2- -
sulfonat
Sangat penting bagi seorang farmasis untuk memiliki pemahaman terkait teori dan teknologi
tentang sistem dispersi (molekuler, koloid dan kasar). Yang membedakan ketiga jenis sistem
dispersi ini adalah ukuran partikel terdispersinya dan bukan komposisinya. Perbedaannya
dirangkum pada tabel 5.3 di bawah ini. Pengetahuan tentang fenomena antarmuka dan
karakteristik koloid dan partikel kecil adalah fundamental untuk menguasai karakteristik suatu
sistem dispersi farmasetik.
Partikel yang ukurannya terletak dalam kisaran ukuran partikel koloid diatas, mempunyai luas
permukaan yang lebih besar dibandingkan dengan luas permukaan partikel yang ukurannya besar
dengan volume yang sama. Karena ukurannya tersebut, partikel koloid relatif lebih mudah
dipisahkan dari partikel-partikel molekular dengan cara dialisis. Dialisis yaitu proses penghilangan
ion-ion pengganggu dengan cara menyaring menggunakan membran/selaput semi permeabel.
Dialisis menggunakan membran semipermiabel kolodion atau selofan, di mana partikel koloid akan
tertahan, tapi molekul-molekul kecil dan ion dapat melewatinya.
80
Tabel 5.3. Perbedaan dispersi molekuler, dispersi koloid dan dispersi kasar.
Kisaran Ukuran
Golongan Sifat Sistem
Partikel
Partikel terdispersi tidak dapat terlihat walaupun dengan
Dispersi mikroskop elektron
< 1 nm
Molekuler Dapat melewati ultrafilter dan membran semipermeabel
Mengalami difusi cepat
Sistem koloid memiliki sifat-sifat yang khas seperti sifat optik, sifat kinetik, sifat elektrik, efek
Faraday-Tyndall, hamburan cahaya dan citra mikroskop elektronnya. Sifat kinetik koloid meliputi:
- Gerak Brown. Pergerakan partikel koloid secara acak karena “berbenturan” dengan molekul
medium pendispersi
- Difusi. Perpindahan partikel koloid dari daerah dengan konsentrasi tinggi ke daerah dengan
konsentrasi rendah. Fenomena ini merupakan implikasi langsung dari gerak brown. Hukum
Flick Pertama menjelaskan tentang fenomena ini.
- Tekanan Osmotik. Tekanan osmotik dari suatu dispersi koloid encer dinyatakan dengan
persamaan van’t Hoff.
- Sedimentasi. Laju sedimentasi partikel dalam sistem koloid dideskripsikan dengan hukum
Stoke.
- Viskositas. Persamaan Einstein dikembangkan untuk menjelaskan karakteristik viskositas
untuk dispersi koloid encer.
Sifat elektrik koloid meliputi:
- Fenomena Elektrokinetik. Pergerakan permukaan bermuatan di medium cairnya menjadi
prinsip dasar untuk empat fenomena elektrokinetik yaitu elektroforesis, elekroosmosis,
potensial sedimentasi dan potensial alir.
- Kesetimbangan Membran Donnan. Fenomena ini menjelaskan tentang kesetimbangan ion-
ion yang dapat berdifusi melewati membran semipermeabel jika disalah satu
kompartemennya terdapat partikel koloid yang tidak dapat berdifusi.
- Stabilitas Sistem Koloid. Fenomena ini menjelaskan tentang pengaruh partikel bermuatan
dengan stabilitas sistem koloid serta korelasinya dengan potensial zeta
- Sensitasi dan Kerja Koloid Pelindung. Fenomena ini menjelaskan tentang pengaruh
penambahan koloid lain ke suatu dispersi koloid yang dapat mensensitasi ataupun melindungi
suatu sistem koloid
81
Terdapat beberapa jenis dispersi koloid menurut afinitasnya terhadap medium pendispersinya yaiu
koloid liofilik, koloid liofobik dan koloid gabungan.
- Koloid Liofilik
Suatu sistem koloid yang partikel terdispersinya memiliki afinitas terhadap medium
pendispersinya disebut koloid liofilik. Jika medium pendispersinya air maka sistem tersebut
disebut sebagai koloid hidrofilik. Hal ini terjadi karena proses solvasi (atau hidrasi jika
mediumnya air) atau terikatnya molekul medium disekeliling partikel koloid. Sebagian besar
koloid hidrofilik adalah molekul organik seperti gelatin, akasia, insulin, albumin di dalam air
serta karet dan polistirena di dalam pelarut organik. Pembentukan koloid liofilik umumnya
mudah, yaitu dengan mendispersikan partikel koloid ke medium pendispersinya (misalnya saat
mendispersikan akasia ke dalam air).
- Koloid Liofobik
Jika dalam suatu sistem partikel terdispersinya tidak memiliki ketertarikan (atau memiliki
sangat sedikit ketertarikan) pada medium pendispersinya, sistem ini disebut koloid liofobik.
Koloid liofobik umumnya terdiri atas molekul anorganik seperti emas, sulfur, arsen sulfida dan
perak iodida. Pembentukan koloid liofobik memerlukan metode khusus yakni metode dispersi
atau metode kondensasi.
- Koloid Gabungan
Molekul ampifil, yaitu molekul yang memiliki bagian dengan afinitas berbeda terhadap pelarut
yang berbeda (misalnya air dan minyak) jika didispersikan dalam suatu medium dapat
membentuk dispersi koloidal.
disampig menunjukkan titik KKM suatu surfaktan. Perhatikan bahwa berbagai sifat-sifat surfaktan
berubah pada titik KKM dan hal ini dapat digunakan untuk menentukan titik KKM. Sifat-sifat yang
berubah adalah Konduktifitas dan Tegangan Permukaan dari suatu dispersi koloid.
Salah satu sifat penting dari koloid adalah kemampuan misel untuk melarutkan bahan yang kurang
larut dalam medium pendispersinya. Fenomena ini dapat dimanfaatkan untuk membantu
meningkatkan bioavailabilitas obat di dalam tubuh. Surfaktan non-ionik banyak digunkan untuk
aplikasi ini. Jumlah bahan yang dapat dilarutkan oleh surfaktan bergantung pada nilai HLB dan
molekul bahan yang ingin dilarutkan. Fenomena ini berkaitan dengan titik KKM mengingat bahan
hanya dapat meningkat kelarutannya jika dispersi surfaktan telah membentuk misel.
Pra-Praktikum
Bahan pre-reading:
Buku Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika (2011) Bab 16-17 hal. 549-627
Bahan respon untuk percobaan ini adalah:
1. Persamaan-Persamaan Hukum Termodinamika Pertama dan Kedua
2. Energi Bebas Permukaan
3. Metode Penentuan Tegangan Permukaan
4. Pengertian dan Jenis-Jenis Surfaktan
5. Jenis-Jenis Dispersi Koloid
6. Sifat Optik, Kinetik dan Elektrik Koloid
7. Sifat-Sifat Larutan Surfaktan yang Berubah Pada KKM-nya
Sebelum praktikum, mahasiswa harus melengkapi data pada lembar “Prerequisite Data”
Buret dan larutan baku dan larutan indikator telah disiapkan.
Setiap sampel cairan dan surfaktan telah ditentukan kerapatannya.
83
Safety Check
Safety Level: Level 1
Check
No. Nama APD Keterangan
(�)
Gunakan sebelum masuk dan selama berada di dalam
1 Jas Praktikum □
laboratorium
Sepatu Gunakan sebelum masuk dan selama berada di
2 □
Tertutup laboratorium
Eksperimental
Alokasi Waktu : 180 menit
Jumlah Sampel : 1 jenis sampel bahan cair (per kelompok) dan 1 seri dispersi surfaktan (per 3
kelompok)
Tempat : Lab Farmasetika, Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin
Pengaturan : Setiap kelompok mengerjakan satu sampel bahan cair dengan replikasi sebanyak
tiga kali. Untuk penentuan KKM, setiap tiga kelompok mengerjakan satu deret
konsentrasi surfaktan dengan masing-masing konsentrasi direplikasi
pengujiannya sebanyak dua kali. Data dikumpulkan sebagai data kolektif untuk
dibuat grafik oleh tiga kelompok.
EKSP0501 Penentuan Tegangan Permukaan Bahan Cair
1. Siapkan sampel cairan (yang telah diketahui kerapatannya)
2. Tempelkan kertas milimeterblok di belakang gelas beaker 100 ml
3. Tuang sampel (±20 ml) ke dalam gelas beaker dan biarkan permukaannya tenang
4. Ukur suhu sampel dan catat pada lembar observasi
5. Celupkan pipa kapiler ke dalam sampel dan pertahankan pada posisinya
6. Catat tinggi sampel yang naik ke dalam pipa kapiler ke dalam tabel pengamatan (dihitung dari
permukaan cairan)
7. Hitung tegangan permukaan sampel dengan menggunakan persamaan (5.1) dan catat hasilnya
ke dalam lembar observasi
8. Hitung SEM hasil pengukuran
PREREQUISITE DATA
Nama Sampel
RM BM RB
Pemerian
Kelarutan
Tegangan
Permukaan
Referensi:
86
PREREQUISITE DATA
EKSP0502 Penentuan KKM Berdasarkan Perubahan Tegangan Permukaan
EKSP0503 Penentuan KKM Berdasarkan Perubahan Nilai Konduktivitas
EKSP0504 Penentuan KKM Berdasarkan Fenomena Solubilisasi Misel
Nama Sampel
Surfaktan
RM BM RB
Pemerian
Kelarutan
Referensi:
87
LEMBAR OBSERVASI
PRAKTIKUM FARMASI FISIKA
Nama Mahasiswa
NIM/Kelompok
Golongan
Nama Sampel :
ρ h r g γ 𝒙
SEM
(g/cm3) (cm) (cm) (cm/s2) (dyne/cm) (dyne/cm)
Nilai Referensi*
Perhitungan
(Perhitungan γ, rata-rata dan SEM)
88
LEMBAR OBSERVASI
PRAKTIKUM FARMASI FISIKA
Nama Mahasiswa
NIM/Kelompok
Golongan
Nama Sampel :
ρ h r g γ
Konsentrasi 3 2
(g/cm ) (cm) (cm) (cm/s ) (dyne/cm) (dyne/cm)
0,00 mM
90
Perhitungan
(Perhitungan γ untuk sampel yang dikerjakan, perhitungan rata-rata)
LEMBAR OBSERVASI
PRAKTIKUM FARMASI FISIKA
Nama Mahasiswa
NIM/Kelompok
Golongan
Nama Sampel :
Konduktivitas 𝒙 Konduktivitas 𝒙
Kosentrasi Kosentrasi
(µS/cm) (µS/cm) (µS/cm) (µS/cm)
0,00 mM
Perhitungan
(Perhitungan konduktivitas)
92
LEMBAR OBSERVASI
PRAKTIKUM FARMASI FISIKA
Nama Mahasiswa
NIM/Kelompok
Golongan
Nama Sampel :
msampel
Vt (g) 𝒙 Kelarutan
Kosentrasi
(ml) (g) (g per ml)
0,5 ml 10,0 ml
0,00 mM
94
Perhitungan
(Perhitungan msampel, rata-rata dan kelarutan)
EKSPERIMEN 6
DISPERSI KASAR DAN FENOMENA PEMBASAHAN
Teori Singkat
Suatu sistem dispersi dengan ukuran partikel terdispersi > 0,5 µm disebut disperse kasar. Suspensi
dan Emulsi tergolong ke dalam sistem ini. Jika partikel terdispersi berada dalam fase padat maka
sistem tersebut disebut suspensi dan jika dalam fase cair disebut emulsi. Meskipun begitu, suatu
suspensi farmasetik dapat memiliki partikel dengan ukuran (lebih besar dari) 0,1 µm dan
menunjukkan gerak brown jika diamati dibawah mikroskop.
Usaha harus dilakukan untuk memperkecil ukuran partikel ukuran partikel bahan padat dan
mendispersikannya ke dalam medium pendispersinya. Dari sini, kita perlu meninjau kembali
konsep energi bebas permukaan pada percobaan sebelumnya. Rumus ini menjelaskan tentang
ketidakstabilan termodinamika suatu sistem suspensi:
𝑊 = ∆𝐺 = 𝛾𝑆𝐿∆𝐴 … Persamaan (F.1)
Partikel tersuspensi akan cenderung berflokulasi (atau pada kasus tertentu beragregasi) untuk
mengurangi energi bebas permukaanya.
Lingkungan ionik yang menyebabkan adanya potensial elektrostatik disetikar partikel bermuatan
yang terdispersi dapat dijelaskan dengan model Gouy-Chapman-Stern tentang electrical diffuse
double-layer yang dalam model tersebut lapisan listrik ganda terbentuk disekitar partikel untuk
menetralisir muatan partikel. Lapisan pertama, Stern layer, merupakan lapisan ion yang terikat
kuat dengan permukaan partikel. Lapisan kedua adalah lapisan ion yang terikat lemah kepada Stern
layer dan konsentrasi kounter-ion pada lapisan ini bergantung pada jarak. Semakin jauh dari
98
partikel, konsentrsi kounter-ion akan semakin menyerupai dengan bulk medium dan ketika
konsentrasinya sudah sama, lapisan ini berakhir dan muatan partikel ternetralisir.
Teori DLVO (Derjaguin, Landau, Verwey dan Overbeek) dikembangkan secara independen oleh dua
kelompok ilmuan dan menjelaskan tentang stabilitas koloid liofobik. Berdasarkan teori ini, gaya
diantara partikel koloid yang terdispersi disebabkan oleh penolakan elektrik dan gaya van der
Waals tipe London. Gaya-gaya ini menghasilkan energi potensi penolakan dan penarikan diantara
partikel terdispersi. Gaya-gaya ini mempengaruhi stabilitas partikel dalam sistem flokulasi
terkontrol. Penolakan elektrik dan gaya van der Waals bekerja secara simultan dengan proporsi
berbeda tergantung pada jarak partikel yang berinteraksi. Resultan gaya keduanyalah yang
menentukan apakah interaksi tersebut didominasi oleh gaya tarik atau gaya tolak.
Beberapa parameter sedimentasi yang digunakan untuk menilai sistem dispersi farmasetik adalah
derajad sedimentasi (F) dan derajad flokulasi (β).
- Derajad Sedimentasi (F). Volume sedimentasi didefinisikan sebagai rasio volume akhir
sedimen (Vu) dengan volume awal suspensi (Vo) sebelum proses sedimentasi. Nilai F dapat
berkisar antara <1, 1 atau >1.
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜 … Persamaan (F.3)
- Derajad Flokulasi (β). Derajad flokulasi adalah perbandingan volume sedimen ketika
terflokulasi dibandingkan dengan volume sedimen ketika terdeflokukasi sepenuhnya. Nilai β
lebih fundamental dan lebih bermakna dibandingkan dengan F.
𝑉𝑢⁄𝑉𝑜 𝑉𝑢
𝛽= = … Persamaan (F.4)
⁄
𝑉∞ 𝑉𝑜 𝑉∞
Dispersi kasar dapat dibagi menjadi sistem flokulasi dan deflokulasi. Meskipun begitu kebanyakan
sediaan farmasi berada pada kondisi “antara” yang dikenal dengan sistem flokulasi terkontrol.
Perbedaan mendasar antara sistem flokulasi dan deflokulasi dirangkum di dalam tabel berikut
Tabel 6.1. Perbedaan antara sistem flokulasi dan deflokulasi
Perbedaan Flokulasi Deflokulasi
Pembentukan
Sedimen terbentuk dengan cepat Sedimen terbentuk dengan lambat
Sediman
Pembentukan sedimen dan jenis sistem dispersi sangat dipengaruhi oleh keberadaan dan jenis ion
di lingkungan tempat partikel tersebut terdispersi. Gambar F.5 mengilustrasikan tentang zona
caking dalam dispersi kasar. Zona non-caking merupakan zona dengan konsentrasi elektrolit
optimum untuk menjaga dispersi tetap dalam keadaan terflokulasi dengan mempengaruhi
potensial zeta-nya. Perhatikan bahwa counterioin yang terjerap pada permukaan partikel di daerah
area caking di kiri.
Ketika partikel dengan ukuran tidak seragam didispersikan, partikel yang lebih kecil akan lebih
mudah terdisolusi dibandingkan partikel yang lebih besar. Ketika solut meninggalkan permukaan
partikel, solut tersebut akan kembali terdeposisi ke permukaan partikel yang lebih besar sehingga
menambah ukuran partikel tersebut. Fenomena ini disebut Ostwald Ripening. Faktor-faktor yang
mempengaruhi disolusi akan mempengaruhi peristiwa ini, seperti suhu. Penyimpanan pada suhu
fluktuatif akan mempercepat peristiwa ini karena pada suhu yang lebih tinggi partikel akan lebih
101
larut dan ketika suhu kembali turun, kelarutan berkurang dan solut akan terdeposisi pada partikel
yang lebih besar.
Gambar 6.5. Zona Caking dan Non-Caking pada Sistem Dispersi Kasar
(Sumber: Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika)
Pembasahan suatu partikel terjadi ketika cairan secara spontan menyebar ke atas permukaan.
Salah satu parameter penting yang menggambarkan derajad pembasahan adalah sudut kontak
yang terbentuk diantara permukaan padatan dengan cairan (medium). Pembasahan sempurna
terjadi bila sudut kontak bernilai 0° dan serbuk tidak terbasahi bila sudut kontak bernilai 180 °,
yaitu ketika tetesan cairan berbentuk bulat sempurna di atas permukaan padatan dan hanya
bersentuhan pada satu titik. Persamaan berikut menyatakan hubungan sudut kontak dengan
tegangan antarmuka.
𝛾𝑆𝑉 = 𝛾𝑆𝐿 + 𝛾𝐿𝑉 cos 𝜃
Gambar 6.6. Tegangan Antarmuka yang Bekerja Pada Partikel yang Terbasahi
(Sumber: Remington The Sciene and Practice of Pharmacy)
Sudut kontak adalah sudut yang terbentuk pada antarmuka padat-cair pada peristiwa pembasahan.
Besaran sudut kontak menentukan apakah suatu partikel “mudah” atau “sulit terbasahi.
Pengukuran sudut kontak dapat dilakukan dengan menggunakan metode Goniometri dan
Tensiometri. Metode goniometrik menganalisis tetesan diam suatu cairan pada substrat padat dan
mengukur sudut kontak yang terbentuk antara padatan dan tangen dari tetesan. Selain goniometer,
metode ini juga menggunakan sumber cahaya, dudukan sampel, lensa dan kamera. Piringan
Wilhemy digunakan dalam metode tensiometri untuk mengukur sudut kontak bukan nol yang
dibentuk oleh cairan dan padatan tidak berpori.Untuk metode yang kedua, pengukuran sudut
kontak menggunakan piringn Wilhemy didasarkan pada rumus:
𝐹 = 𝛾 𝑃 cos 𝜃 … Persamaan (F.5)
Keterangan persamaan:
F = gaya pembasahan
P = perimeter padatan (panjang + ketebalan)
γ = tegangan permukaan cairan
θ = sudut kontak
Pra-Praktikum
Bahan pre-reading:
Buku Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika (2011) Bab 18 hal. 628-641
Bahan respon untuk percobaan ini adalah:
1. Termodinamika Suspensi
103
Safety Check
Safety Level: Level 1
Check
No. Nama APD Keterangan
(�)
Gunakan sebelum masuk dan selama berada di dalam
1 Jas Praktikum □
laboratorium
Sepatu Gunakan sebelum masuk dan selama berada di
2 □
Tertutup laboratorium
Eksperimental
Alokasi Waktu : 180 menit
Jumlah Sampel : 1 jenis sampel bahan padat (per kelompok), 1 seri konsentrasi polimer (per 3
kelompok), dan 1 seri konsentrasi elektrolit.
Tempat : Lab Farmasetika, Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin
Pengaturan : Setiap kelompok mengerjakan satu sampel bahan padat untuk diukur sudut
kontaknya. Jumlah foto yang diambil untuk tiap kelompok sebanyak 4 foto
(diambil dari beberapa sisi). Tiga kelompok mengerjakan satu sampel yang sama
dan data dari 12 foto dikumpulkan untuk dirata-ratakan. Untuk penentuan
parameter sedimentasi karena pengaruh elektrolit dan polimer, setiap tiga
kelompok mengerjakan satu deret konsentrasi polimer dan elektrolit tanpa
replikasi. Data dikumpulkan sebagai data kolektif untuk dibuat grafik oleh tiga
kelompok.
EKSP0601 Hukum Stoke dan Pengaruh Polimer Terhadap Parameter Sedimentasi
1. Siapkan sampel bahan obat yang telah diayak
2. Buat dispersi sampel 10% (lihat komposisi dan cara pembuatannya dalam lampiran 3) di dalam
dispersi polimer dengan konsentrasi polimer 0,0%, 0,1%, 0,2%, 0,3%, 0,4%, 0,5%, 0,6%, 0,7%
dan 0,8% (Konsentrasi 0,0% dianggap sebagai sistem terdeflokulasi). Gunakan 10% gliserin dan
0,1% polisorbat 80 sebagai pembasah.
3. Amati pembentukan sedimen setelah 30 menit, 1 jam dan 24 jam.
104
PREREQUISITE DATA
EKSP0601 Hukum Stoke dan Pengaruh Polimer Terhadap Parameter Sedimentasi
EKSP0602 Flokulas-Deflokulasi dan Pengaruh Elektrolit Terhadap Parameter Sedimentasi
EKSP0603 Penentuan Sudut Kontak
Nama Sampel*
RM BM RB
Pemerian
Kelarutan
Sudut Kontak
Nama Sampel**
RM BM RB
Pemerian
Kelarutan
Sudut Kontak
Referensi:
PREREQUISITE DATA
EKSP0601 Hukum Stoke dan Pengaruh Polimer Terhadap Parameter Sedimentasi
EKSP0602 Flokulas-Deflokulasi dan Pengaruh Elektrolit Terhadap Parameter Sedimentasi
Nama Sampel
Elektrolit
RM BM RB
Pemerian
Kelarutan
Konsenstrasi*
Nama Sampel
Polimer
RM BM RB
Pemerian
Kelarutan
Konsenstrasi**
Referensi:
LEMBAR OBSERVASI
PRAKTIKUM FARMASI FISIKA
Nama Mahasiswa
NIM/Kelompok
Golongan
Nama Sampel :
0,0%
0,1%
0,2%
0,3%
0,4%
0,5%
0,6%
0,7%
0,8%
Perhitungan
(Perhitungan F dan β untuk sampel yang dikerjakan)
108
LEMBAR OBSERVASI
PRAKTIKUM FARMASI FISIKA
Nama Mahasiswa
NIM/Kelompok
Golongan
Nama Sampel :
0,00%
0,01%
0,02%
0,03%
0,04%
0,05%
0,06%
0,07%
0,08%
Perhitungan
(Perhitungan F dan β untuk sampel yang dikerjakan)
110
Zona Caking
Zona Non-Caking
LEMBAR OBSERVASI
PRAKTIKUM FARMASI FISIKA
Nama Mahasiswa
NIM/Kelompok
Golongan
Gambar 1 Gambar 2
Gambar 3 Gambar 4
Nama Sampel :
Pengukuran θ Pengukuran θ Pengukuran θ
Ke- (°) Ke- (°) Ke- (°)
1 5 9
2 6 10
3 7 11
4 8 12
𝒙(°) SEM
112
Gambar 1 Gambar 2
Gambar 3 Gambar 4
Nama Sampel :
Pengukuran θ Pengukuran θ Pengukuran θ
Ke- (°) Ke- (°) Ke- (°)
1 5 9
2 6 10
3 7 11
4 8 12
𝒙(°) SEM
Perhitungan
(Perhitungan rata-rata dan SEM)
113
EKSPERIMEN 7
EMULSIFIKASI DAN FENOMENA KETIDAKSTABILAN EMULSI
Teori Singkat
Emulsi adalah suatu sistem dispersi yang tidak stabil secara termodinamik yang terdiri dari dua fase
cair yang tidak saling bercampur dan distabilkan dengan penambahan bahan pengemulsi.
Perhatikan kembali persamaan energi bebas di bawah ini:
𝑊 = ∆𝐺 = 𝛾𝐿𝐿∆𝐴 … Persamaan (G.1)
Fase terdispersi dalam sistem emulsi berada dalam bentuk tetesan yang terbagi halus, akibatnya
luas permukaan yang kontak dengan medium pendispersi menjadi sangat besar. Suatu sistem
dikatakan stabil secara termodinamik apabila energi bebasnya 0 atau mendekati 0. Agar mencapai
kestabilan, partikel emulsi akan berusaha menurunkan luas permukaannya dengan cara
berkoalesensi kembali. Hal inilah yang kemudian memicu berbagai fenomena ketidakstabilan
emulsi. Emulsi dapat dibagi berdasarkan jenis fase internal dan bagaiamana fase tersebut
terdispersi di dalam medium. Ada dua tipe emulsi yang dikenal dan digunakan secara luas di bidang
farmasi yaitu emulsi minyak dalam air (o/w) dan emulsi air dalam minyak (w/o). Emulsi tipe air
dalam minyak dalam air (w/o/w) dan minyak dalam air dalam minyak (o/w/o) disebut emulsi ganda.
Pembentukan emulsi dapat dijelaskan menggunakan beberapa teori yaitu “surface tension theory”,
“oriented wedge theory” dan “interfacial film theory”.
117
- Surface Tension Theory. Teori ini didasarkan atas kecenderungan suatu fase cair untuk
mengambil bentuk dengan energi bebas terendah dan adanya tegangan atarmuka diantara
dua fase cair yang tidak saling bercampur. Penggunaan bahan sebagai pengemulsi dan
penstabil menurunkan tegangan permukaan dua cairan yang tidak saling bercampur,
menurunkan kekuatan gaya tolak antar cairan dan mengurangi setiap gaya tarik untuk molekul
masing-masing
- Oriented Wedge Teory. Teori ini berdasarkan pada anggapan bahwa pengemulsi tertentu
menyesuaikan diri di sekitar dan dalam cairan dengan cara merefleksikan kelarutan mereka
dalam cairan tersebut. Dalam sistem dengan dua cairan yang tidak saling bercampur (misalkan
air dan minyak), suatu molekul emulgator dengan bagian hidrofilik dan lipofilik akan
menempati atau berorientasi pada setiap fase.
- Interfacial Film Theory. Menurut teori ini, bahan pengemulsi akan teradsopbsi pada
permukaan tetesan fase dalam dan mengelilinginya sebagai lapisan film tipis. Film tersebut
mencegah kontak dan koalesensi fase internal. Semakin kuat dan lentur lapisan film yang
terbentuk, semakin stabil emulsi tersebut.
Emulsi terdiri atas dua fase cair yang tidak saling bercampur sehingga untuk membuat kedua bahan
tersebut “tercampur” dibutuhkan suatu bahan pembantu yang disebut emulgator. Emulgator
(yang banyak digunakan di bidang farmasi) dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu:
- Bahan aktif permukaan, bahan ini teradsorbsi ke permukaan tetes terdispersi dan membentuk
lapisan monomolekuler serta menurunkan tegangan permukaan.
- Koloid Hidrofilik, bahan ini membentuk lapisan multimolekuler pada permukaan tetes
terdispesi emulsi minyak dalam air.
- Partikel padat yang terbagi halus, bahan ini teradsorbsi pada permukaan tetes terdispersi dan
membentuk lapisan partikulat disekitarnya.
Menurut literatur, beberapa sifat emulgator yang ideal adalah:
- Bersifat aktif pada permukaan dan mampu menurunkan tegangan permukaan hingga dibawah
10 dyne/cm
- Dapat teradsobrsi dengan cepat pada antarmuka tetes terdispersi membentuk lapisan yang
tidak saling tertarik sehingga dapat mencegah koalesensi
- Memberikan pengaruh elektrik yang cukup pada tetes terdispersi yang terbentuk sehingga
penolakan karena muatan sejenis dapat terjadi
- Dapat meningkatkan viskositas medium
- Efektif pada konsentrasi yang relative rendah
Dalam proses emulsifikasi, emulgator bekerja berdasarkan mekanisme tertentu, yaitu:
- Pembentukan Lapisan Monomolekuler. Berdasarkan teori Gibbs, adanya penambahan
antarmuka (luas permukaan) tetes terdispersi mengharuskan adanya penurunan tegangan
antarmuka untuk menjaga sistem tetap stabil. Dalam hal emulsi, penurunan tegangan
permukaan ini bukan satu-satunya yang berkontribusi dalam stabilisasi emulsi, tetapi juga
karena emulgator membentuk lapisan molekuler tunggal disekitar tetesan dan mencegah
koalesensi partikel yang berdekatan. Ketika emulgator yang membentuk lapisan terionisasi,
emulsinya menjadi lebih stabil karena adanya penolakan ion sejenis. Emulgator nonionik tetap
membawa muatan karena adsorbsi ion spesifik dipermukaanya.
118
- Pembentukan Lapisan Multimolekuler. Koloid hidrofilik yang didispersikan di dalam air akan
teradsobsi pada permukaan tetesan minyak. Meskipun teradsobsi pada permukaan, bahan ini
tidak menurunkan tegangan antarmuka cairan dengan cukup signifikan untuk mempengaruhi
stabilitas emulsi. Emulgator ini membentuk lapisan multimolekuler yang kuat dipermukaan
tetes terdispersi dan bertindak sebagai “penyalut” tetes terdispersi dan menimbulkan
resistensi yang tinggi terhadap koalesensi yang mungkin terjadi. Selain itu, molekul yang tidak
teradsbosi akan terdisersi di fase air dan meningkatkan viskositas air sebagai fase luar, yang
juga kemudian meningkatkan stabilitas emulsi.
- Pembentukan Lapisan Partikulat. Partikel halus yang terbasahi oleh baik fase air dan fase
minyak dapat bertindak sebagai emulgator. Jika parikel terlalu hidrofilik maka mereka akan
terdispersi didalam medium air dan jika terlalu hidrofobik, partikel akan sepenuhnya
terdispersi di dalam fase minyak. Agar dapat berfungsi sebagai emulgator, partikel ini
ukurannya harus lebih kecil dibandingkan dengan ukuran tetes terdispersi fase dalam.
Proses emulsifikasi dapat dijelaskan oleh gambar G.1 di bawah ini. Pembentukan emulsi
merupakan kompetisi antara dua proses, yaitu pembentukan tetes terdispersi suatu cairan di
dalam cairan lain dan penggabungan tetes terdispersi untuk membentuk bulk fase luar. Proses
pertama meningkatkan energi bebas sistem sedangkan proses kedua terjadi untuk menurunkan
energi bebasnya. Proses kedua bersifat spontan dan terus berlanjut hingga bulk fase luar terbentuk.
Saat akan mendispersikan fase dalam, antarmuka kedua cairan harus di ganggu hingga pada
derajad terbentuknya “jari-jari” atau “benang-benang” dari salah satu fase cair ke dalam fase cair
lainnya, vice versa. Benang-benang ini tidak stabil dan selanjutnya akan mengalami proses varikosis
atau pempentukan butiran-butiran. Butiran ini kemudian terpisah membentuk tetesan tunggal.
Pada tahap ini pula tetesan besar pecah menjadi tetesan kecil. Ukuran tetesan rata-rata akan
menurun dengana cepat pada beberapa detik awal pengadukan dan ukuran optimumnya akan
tercapai setelah satu hingga lima menit. Pengadukan lebih lama tidak lagi optimal untuk
menurunkan ukuran tetes terdispersi
Emulsi yang terbentuk dapat diprediksi tipenya. Aturan umum dan empiris untuk memprediksi
tipe emulsi adalah sebagai berikut.
1. Jika ampifil pada dasarnya larut air, maka ampifil tersebut akan cenderung menghasilkan
emulsi dengan tipe minyak dalam air. Vice versa.
2. Emulsi o/w dapat dibentuk dengan volume fase dalam yang besar. Emulsi w/o dapat
dibentuk jika jumlah air <40% (pada kasus-kasus tertentu)
3. Urutan pencampuran dapat mempengaruhi tipe emulsi. Fase dalam umumnya ditambahkan
ke fase luar. Jika dicampur bersamaan, umumnya akan terbentuk emulsi tipe o/w.
4. Cairan yang lebih kental cenderung akan menjadi fase luar
Sedangkan untuk penentuan tipe, metodenya dirangkum dalam tabel 7.1.
Tabel 7.1. Jenis-Jenis Pengujian Penentuan Tipe Emulsi
Uji Pengenceran Emulsi dapat diencerkaan hanya dengan Hanya berguna untuk
fase luarnya emulsi cairan
Uji Pewarnaan Zat warna padat yang larut dalam air Bisa gagal jika ada
hanya mewarnai emulsi o/w dan pengemulsi ionik
sebaliknya. Pengamatan mikroskopis bisa
membantu.
Uji Kobalt Klordia Kertas saring dijenuhkan dengan CoCl2 Bisa gagal jika emulsi tidak
dan dikeringkan (biru) berubah menjadi stabil atau pecah dengan
merah muda bila emulsi o/w adanya elektrolit
ditambahkan
Flourosensi Karena minyak berflourosensii dibawah Tidak selalu dapat
sinar UV, emulsi o/w menunjukkan pola diterapkan
titik-titik emulsi w/o berflourosensi
seluruhnya
Daya Hantar Aliran listrik dihantarkan oleh emulsi o/w, Gagal dalam emulsi m/a
karena adanya zat ionik dalam air nonionik
Terdapat empat fenomena yang berhubungan dengan stabilitas fisik emulsi, yaitu:
1. Creaming (bergeraknya fase terdispersi ke atas) atau sedimentasi (bergeraknya fase terdispersi
ke bawah). Terjadinya creaming atau sedimentasi bergantung pada kerapatan fase terdispersi
dan fenomena ini dapat dijelaskan dengan hukum Stoke. Fenomena ini tidak langsung
menyebabkan pecahnya emulsi karena tetesan yang mengalami creaming/sedimentasi tetap
mempertahankan bentuk dan ukurannya.
2. Agregasi/flokulasi dan Koalesensi, yaitu berbisahnya fase terdispersi membentuk agregat dan
bergabungnya agregat tersebut membentuk fase yang terpisah. Agregasi bisa memicu
terjadinya koalesensi meskipun koalesensi tidak selalu didahului oleh agregasi. Agregasi dapat
mempercepat proses creaming/sedimentasi karena agregat yang terbentuk bertindak sebagai
tetesan tunggal. Agregasi dipengaruhi oleh sifat elektrik tetesan sedangkan koalesensi lebih
dipengaruhi oleh karakteristik struktur film yang berinteraksi. Koalesensi selanjutnya dapat
menyebabkan pecahnya emulsi (breaking/phase separation)
120
3. Inversi fase, yaitu berubahnya emulsi tipe o/w menjadi w/o. Vice versa. Inversi fase dapat
terjadi karena pengaruh elektrolit dan perubahan rasio fase terdispersi dan pendispersi.
4. Ostwald ripening atau pematangan ostwald adalah bertambahnya ukuran globul menjadi lebih
besar akibat deposisi tetesan cairan yang ukuranya lebih kecil. Fenomena ini disebabkan oleh
ketidak seragaman ukuran tetesan terdispersi yang terlalu besar.
Total 35 - - 10,46
Misalkan emulsi tersebut akan diemulsikan dengan Tween® 60 (HLB Surfaktan 14,9)dan Span® 60
(HLB Surfaktan 4,7). Dengan menganggap fraksi Span® 60 dalam campuran adalah “x”, maka fraksi
Tween® 60 adalah (1-x). Untuk menghitung perbandingan Tween dan Span dalam formula maka
digunakan rumus:
𝐻𝐿𝐵𝐵𝑢𝑡𝑢 = 𝐻𝐿𝐵𝑆𝑝𝑎𝑛 ∙ 𝑥 + 𝐻𝐿𝐵𝑇𝑤𝑒𝑒𝑛 ∙ (1 − 𝑥) … Persamaan (G.2)
Pra-Praktikum
Bahan pre-reading:
Buku Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika (2011) Bab 18 hal. 641-654
Bahan respon untuk percobaan ini adalah:
1. Termodinamika Emulsi
2. Tipe-Tipe Emulsi, Cara Memprediksi dan Cara Menentukannya
3. Teori-Teori Emulsifikasi
4. Jenis-Jenis dan Sifat-Sifat Emulfator
5. Mekanisme Kerja Emulgator
6. Pembentukan Tetes Terdispersi
7. Bentuk-Bentuk Ketidakstabilan Emulsi
8. HLB dan Perhitungan HLB
Sebelum praktikum, mahasiswa harus melengkapi data pada lembar “Prerequisite Data”
Sebelum praktikum, mahasiswa harus menyelesaikan perhitungan HLB
Safety Check
Safety Level: Level 1
Check
No. Nama APD Keterangan
(�)
Gunakan sebelum masuk dan selama berada di dalam
1 Jas Praktikum □
laboratorium
Sepatu Gunakan sebelum masuk dan selama berada di
2 □
Tertutup laboratorium
Eksperimental
Alokasi Waktu : 180 menit
Jumlah Sampel : 1 formula emulsi (per kelompok) yang terdiri dari tiga fase minyak dan sepasang
emulgator.
Tempat : Lab Farmasetika, Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin
Pengaturan : Setiap kelompok mengerjakan satu formula emulsi dengan kombinasi emulgator
dan konsentrasi emulgator tertentu. Tiga kelompok mengerjakan formula
dengan kombinasi emulgator yang sama tetapi berbeda konsentrasi.
123
PREREQUISITE DATA
EKSP0701 Sistem HLB dan Proses Emulsifikasi
EKSP0702 Gejala Ketidakstabilan Emulsi
Nama Surfaktan 1
RM BM RB
Pemerian
Kelarutan
HLB Butuh
Nama Surfaktan 2
RM BM RB
Pemerian
Kelarutan
HLB Butuh
Referensi:
125
PREREQUISITE DATA
EKSP0701 Sistem HLB dan Proses Emulsifikasi
EKSP0702 Gejala Ketidakstabilan Emulsi
Nama Fase
Minyak 1
RM BM RB
Pemerian
Kelarutan
HLB Butuh
Nama Fase
Minyak 2
RM BM RB
Pemerian
Kelarutan
HLB Butuh
Nama Fase
Minyak 2
RM BM RB
Pemerian
Kelarutan
HLB Butuh
Referensi:
126
PREREQUISITE DATA
EKSP0701 Sistem HLB dan Proses Emulsifikasi
EKSP0702 Gejala Ketidakstabilan Emulsi
Nama Emulgator 1
RM BM RB
Pemerian
Kelarutan
HLB
Nama Emulgator 2
RM BM RB
Pemerian
Kelarutan
HLB Butuh
Referensi:
127
PREREQUISITE DATA
EKSP0701 Sistem HLB dan Proses Emulsifikasi
EKSP0702 Gejala Ketidakstabilan Emulsi
PERHITUNGAN HLB
Total - -
Jumlah Surfaktan = %
Jumlah Surfaktan 1 ( )= %
Jumlah Surfaktan 2 ( )= %
128
LEMBAR OBSERVASI
PRAKTIKUM FARMASI FISIKA
Nama Mahasiswa
NIM/Kelompok
Golongan
Uji Tipe
Konsentrasi Prediksi
Difusi Zat Kertas Hantaran Kesimpulan
Emulgator Tipe Pengenceran*
Warna$ CoCl2# Listrik&
2%
4%
6%
Keterangan isian Tabel:
* (W) = Terencerkan oleh air; (O) = terencerkan oleh minyak
$
(MB) = Terwarnai oleh larutan Metilen Biru; (SD) = Terwarnai oleh larutan Sudan III
#
(+) = Kertas berubah warna; (-) = Kertas tidak berubah warna
&
(+) = Lampu menyala; (-) = Lampu tidak menyala
LEMBAR OBSERVASI
PRAKTIKUM FARMASI FISIKA
Nama Mahasiswa
NIM/Kelompok
Golongan
EKSPERIMEN 8
VISKOSITAS DAN REOLOGI
Teori Singkat
Viskositas adalah suatu pernyataan tentang tahanan dari suatu cairan untuk mengalir, semakin
besar viskositas suatu cairan, semakin besar tahanannya. Viskositas dalam bahasa awam dapat
diartikan sebagai kekentalan. Reologi berasal dari kata “reo” yang artinya “mengalir” dan “logos”
yang artinya “ilmu pengetahuan”. Reologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari deformasi dan
aliran suatu bahan. Marcus Reiner dan Eugene Bingham merupakan dua ilmuan yang menggagas
ilmu ini pada tahun 1920-an. Reologi dipelajari dalam banyak bidang termasuk farmasi. Reologi
farmasetik umumnya diaplikasikan pada formulasi sediaan cair dan semi padat. Dua komponen
utama reologi adalah viskositas dan elastisitas.
Grafik yang merepresentasikan hubungan antara shearing stress/tegangan geser dan rate of
shear/laju geser disebut reogram (contohnya dapat dilihat pada gambar (H.1). Umumnya, dalam
reogram shearing stress diletakkan pada sumbu x dan rate of shear diletakkan dalam sumbu Y.
Gambar disamping merupakan contoh reogram untuk cairan Newtonian. Kemiringan garis (slope)
disebut fluiditas (𝜙) dan merupakan kebalikan dari viskositas ( η). Reogram juga dapat dibuat
dengan memplot rate of shear (sumbu X) dengan viskositas (sumbu y).
Viskositas kinematik (κ) diperoleh dengan membagi viskositas absolut dengan kerapatan suatu
bahan. Rumus perhitungannya adalah:
𝜂
𝜅= … Persamaan (H.1)
𝜌
Viskositas kinematik memiliki satuan dyne/(g/cm3) atau stoke (s). Seperseratus dari stoke adalah
centistoke (cs). Jenis-jenis viskositas lain dapat dilihat di dalam tabel berikut.
Tabel 8.1. Jenis-Jenis Viskositas
Jenis Viskositas Definisi Matematis Satuan
𝐹⁄𝐴
Absolut 𝜂= Poise
𝑑𝑦⁄𝑑𝑥
𝜂
Relatif 𝜂𝑟𝑒𝑙 = -
𝜂𝑜
𝜂
Kinematik 𝜅= Stoke
𝜌
𝜂
Spesifik 𝜂𝑠𝑝 = −1 -
𝜂𝑜
𝜂𝑠𝑝
Reduced 𝜂𝑟𝑒𝑑 = Kebalikan Konsentrasi
𝑐
𝜂𝑠𝑝
Intrinsik [𝜂] = lim Kebalikan Konsentrasi
𝑐→0 𝐶
𝜂𝑟𝑒𝑙
Inherent 𝜂𝑖𝑛 = ln Kebalikan Konsentrasi
𝐶
F’/A adalah tegangan geser atau shearing stress, selanjutnya disebut F (dyne/cm2), dv/dr adalah
laju geser atau rate of shear, selanjutnya disebut G (detik -1) dan η adalah koefisien viskositas.
Dengan mensubstitusi G dan F dalam persamaan, kita peroleh rumus viskositas sebagai berikut:
𝐹
𝜂= … Persamaan (H.3)
𝐺
Aliran Newtonian adalah bentuk aliran paling sederhana di mana laju geser dan tegangan geser
menunjukkan hubungan yang linear. Cairan Newtonian tidak menunjukkan perubahan viskositas
meskipun diberi gaya agitasi yang berbeda-beda. Hal ini disebut sebagai viskositas absolut.
Beberapa bahan yang menunjukkan sifat aliran Newtonian adalah Aseton, Air, Etanol, Minyak
Zaitun, Gliserin dan Minyak Jarak. Bahan-bahan ini merupakan cairan dengan bobot molekul
rendah.
Dalam persamaan di atas, A adalah constanta dan Ev adalah energi aktivasi. Grafik ln η vs 1/T
terlihat pada gambar H.4. dan dapat digunakan untuk menghitung nilai A dan Ev.
Suatu cairan yang tidak menunjukkan hubungan linear antara perubahan gaya (shearing stress)
dengan viskositasnya disebut memiliki aliran Non-Newtonian. Sistem non-Newtonian
menunjukkan viskositas nyata dan bukannya viskositas absolut. Sediaan-sediaan farmasi umumnya
menunjukkan aliran Non-Newtonian sebagai hasil interaksi yang kompleks atas bahan-bahan
penyusun formulanya. Terdapat tiga jenis aliran Non-Newtonian yaitu aliran plastis, pseudoplastis
dan dilatan.
- Shear Thinning. Jika viskositas suatu cairan berkurang saat diberikan gaya maka cairan tersebut
mengalami shear thinning dan jenis aliran ini disebut Pseudoplastis. Dispersi polimer hidrofilik
dan berbagai sediaan farmasi seperti suspensi dan emulsi menunjukkan tipe aliran ini.
Hubungan antara shearing stress dan rate of shear suatu sistem dengan aliran pseudoplastis
terlihat pada grafik di samping. Pada keadaan istirahat polimer membentuk “badan globular”
yang memberikan struktur pada sistem. Ketika diberi gaya, badan globular tersebut terurai
menjadi “benang-benang” yang orientasinya mengikuti orientas gaya yang diberikan.
Perubahan konformasi ini menyebabkan penurunan viskositas pada sistem pseudoplastis.
- Bingham Plastic. Aliran Plastis dideskripsikan sebagai situasi ketika tidak ada aliran yang terjadi
hingga shear stress mencapai nilai tertentu yang disebut sebagai yield value (ψ). Yield value
didefiniskan sebagai tegangan geser minimum yang dibutuhkan suatu sistem sebelum sistem
tersebut mengalami deformasi dan mulai mengalir. Setelah yield value dicapai, hubungan
antara laju geser dan tegangan menjadi linear (seperti gambar di samping). Slope dari diagram
dapat digunakan untuk menghitung viskositas plastis (υ) suatu badan Bingham.
\
Gambar 8.7. Reogram Aliran Plastis
(Sumber: Applied Physical Pharmacy)
Secara teoritis, ketika kita mengukur viskositas secara progresif pada beberapa nilai laju geser dan
kemudian mengukurnya kembali ketika laju geser menurun, kurva menaik dan menurun akan
identik dan berimpit. Tetapi pada beberapa jenis aliran, kurva menurun bergeser ke sebelah kiri.
Hal ini dapat mengindikasikan bahwa terjadi pemecahan struktur yang tidak kembali dengan
segera ketika sistem kembali menuju fase istirahatnya. Gejala ini disebut tiksotropi dan
didefinisikan sebagai suatu pemulihan isotherm dan relatif lambat pada pendiaman suatu bahan
yang kehilangan konsistensinya karena pemberian geser (shearing).
Dalam memformulasi sediaan farmasi, terkadang diinginkan agar sistem tersebut memiliki
karakteristik viskositas dan aliran tertentu. Bahan-bahan tambahan yang dapat mengubah
viskositas dan aliran yang digunakan dalam sistem farmasetis antara lain:
1. Turunan selulosa (Metil Selulosa, NaCMC, HEC, HPC, HPMC)
2. Gum alami (Gum Akasia, Gum Tragakan, Gum Xantan)
3. Karagenan dan Alginat
4. Resin
5. PVP dan Poloxamer
6. Clay
Tabel H.2. Jenis-Jenis Viskometer
Jenis
Deskripsi Ilustrasi Perhitungan
Viskometer
Viskometer Ostwald (dan modifikasinya)
adalah contoh viskometer kapiler.
Viskometer Viskositas ditentukan dengan 𝜂1 𝜌 1𝑡 1
=
Kapiler membandingkan waktu yang dibutuhkan 𝜂 2 𝜌 2𝑡 2
oleh sampel melewati dua batas tanda
dengan cairan yang diketahui viskositasnya
Terdapat beberapa jenis intrumen yag dapat digunakan untuk mengukur dan mengevaluasi aliran
sediaan farmasi, diantaranya adalah (1) Viskometer Kapiler, (2) Viskometer Bola Jatuh, (3)
Viskometer Cup-and-Bob, (4) Viskometer Cone-and-Plate dan (5) Viskometer Coaxical Cylinder.
Perbedaan jenis-jenis viskometer tersebut dirangkum pada tabel H.2. di atas.
Salah satu implikasi dari viskositas dan jenis aliran pada sediaan farmasi topikal adalah adanya nilai
daya sebar. Daya sebar sering menjadi salah satu parameter evaluasi sediaan topikal yang penting.
Sediaan yang mudah menyebar tetapi tetap memilik konsitensi merupakan karakteristik yang
diinginkan dalam sediaan farmasi topikal. Daya sebar dapat diukur dengan beberapa metode, salah
satunya dengan metode plat paralel. Sampel (bisanya sebanyak 1 gram) diletakkan diantar dua plat
kaca (biasanya berukuran 20 x 20 cm). Standar berat plat kaca atas adalah 125 gram. Sampel diukur
setelah 1 menit dan selanjutnya dilakukan penambahan 100 gram beban hingga diperoleh berat
akhir plat atas sebesar 525 gram. Diameter sampel diukur setiap penambahan beban dan kurva
daya sebar dibuat dengan memplot beban terhadap luas area yang terbentuk. Luas area (S)
dihitung dengan rumus:
𝜋
𝑆 = 𝑑2 … Persamaan (H.5)
4
Peralatan dan Bahan
Setiap kelompok mahasiswa harus menyiapkan peralatan berikut:
1 Buah beaker 250 ml,
Setiap kelompok mahasiswa harus menyiapkan bahan-bahan berikut:
Aquadest 100 ml
Didalam kelas juga disiapkan
1 Unit Viskometer Brookfield (Coaxical cylinder), 1 Unit Viskometer Hoppler (Falling Ball), 3 Unit
Viskometer Ostwald.
Setiap kelompok mahasiswa akan dibekali satu jenis sampel (non-Newtonian) untuk diuji
reologinya, satu jenis sampel (Newtonian) untuk diukur viskositasnya dan satu sampel sediaan
semi padat untuk diuji daya sebarnya.
Sampel Uji Viskositas (10g/kelompok, sampel rusak):
Gliserin, Propilen Glikol, Olive Oil (Oleum Olivarum/Minyak Zaitun), Castor Oil (Oleum
RIcini/Minyak Jarak)
Sampel Uji Reologi (10g/kelompok, sampel rusak):
Natrium CMC (NaCMC), metil selulosa (MC), hidroksipropilmetil selulosa (HPMC), hidroksietil
selulosa (HEC), natrium alginat, TEA-Carbomer, Bentonit, Veegum,
Sampel Uji Daya Sebar
Berbagai sediaan seperti pasta gigi dan krim yang beredar di pasaran.
144
Pra-Praktikum
Bahan pre-reading:
Buku Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika (2011) Bab 20 hal. 706-734
Bahan respon untuk percobaan ini adalah:
1. Pengertian Viskositas, Viskositas Kinematik dan Reologi
2. Hukum Aliran Newton
3. Aliran Newtonian dan Non-Newtonian Serta Reogramnya
4. Tiksotropi, Anti-Tiksotropi dan Reopeksi
5. Viskoelastisitas
6. Jenis-Jenis Viskometer
7. Perhitungan-Perhitungan
Sebelum praktikum, mahasiswa harus melengkapi data pada lembar “Prerequisite Data”
Sebelum praktikum semua sampel sudah harus dipreparasi.
Safety Check
Safety Level: Level 1
Check
No. Nama APD Keterangan
(�)
Gunakan sebelum masuk dan selama berada di dalam
1 Jas Praktikum □
laboratorium
Sepatu Gunakan sebelum masuk dan selama berada di
2 □
Tertutup laboratorium
Eksperimental
Alokasi Waktu : 180 menit
Jumlah Sampel : 1 jenis cairan newtonian (per tiga kelompok), 1 jenis cairan non-newtonian (per
3 kelompok) dan 1 jenis sediaan farmasi
Tempat : Lab Farmasetika, Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin
Pengaturan : Setiap tiga kelompok mengerjakan sampel yang sama. Data dikumpulkan untuk
dihitung sebagai replikasi.
EKSP0801 Penentuan Viskositas Cairan Newtonian dengan Viskometer Ostwald
1. Masukkan cairan ke dalam viskometer dengan menggunakan pipet.
2. Hisap cairan dari bagian yang memiliki tanda batas dengan menggunakan pushball sampai
melewati dua tanda batas.
3. Siapkan stopwatch , kendurkan cairan sampai batas pertama lalu mulai penghitungan waktu
dan hentikan ketika cairan melewaati tanda batas ke dua
4. Catat hasilnya pada lembar observasi
5. Ulangi pengujian dengan menggunakan aquadest
6. Hitung viskositas menggunakan persamaan 8.1
145
Florence AT, et al. Physicochemical Principles of Pharmacy 4th Edition. Pharmaceutical Press. UK.
2006.
PREREQUISITE DATA
EKSP0801 Penentuan Viskositas Cairan Newtonian dengan Viskometer Ostwald
EKSP0802 Penentuan Viskositas Cairan Newtonian dengan Viskometer Hoppler
Nama Sampel
RM BM RB
Pemerian
Kelarutan
Viskositas
Referensi:
147
PREREQUISITE DATA
Nama Sampel
RM BM RB
Pemerian
Kelarutan
Viskositas Dispersi
Referensi:
148
PREREQUISITE DATA
Nama Sampel
Jenis Sediaan
Bahan Aktif
Perkiraan Jenis
Aliran
Foto Sediaan
Referensi:
149
LEMBAR OBSERVASI
PRAKTIKUM FARMASI FISIKA
Nama Mahasiswa
NIM/Kelompok
Golongan
Nama Sampel
ηair = ηair =
tair = tair =
ρair = ρair =
ηair = ηair =
tair = tair =
ρair = ρair =
ηair = ηair =
tair = tair =
ρair = ρair =
Nilai Referensi
Perhitungan
(Perhitungan ηsampel untuk sampel yang dikerjakan, rata-rata dan SEM)
150
LEMBAR OBSERVASI
PRAKTIKUM FARMASI FISIKA
Nama Mahasiswa
NIM/Kelompok
Golongan
Nama Sampel
t SB Sf B η SEM
Nilai Referensi
Perhitungan
(Perhitungan η untuk sampel yang dikerjakan, rata-rata dan SEM)
152
LEMBAR OBSERVASI
PRAKTIKUM FARMASI FISIKA
Nama Mahasiswa
NIM/Kelompok
Golongan
Nama Sampel
Nomor Spindel
Rate of Shear Shearing Stress
Persen (s-1) (mPa)
Kecepatan Faktor η
Torsi
Nilai SD Nilai SD
2.5
10
25
50
100
50
25
10
2.5
154
Perhitungan
(Contoh perhitungan η, rate of shear dan shearing stress serta rata-rata dan SD)
LEMBAR OBSERVASI
PRAKTIKUM FARMASI FISIKA
Nama Mahasiswa
NIM/Kelompok
Golongan
Nama Sampel
125
225
325
425
525
Perhitungan
(Contoh perhitungan area, perhitungan rata-rata dan SD)
157
EKSPERIMEN 9
KINETIKA KIMIA DAN STABILITAS OBAT
Teori Singkat
Konstanta reaksi (k) merupakan suatu kontanta yang merepresentasikan laju reaksi dan hubungan
kuantitatifnya dengan reaktan. Hukum aksi massa menyatakan bahwa kecepatan reaksi sebanding
dengan hasil kali kosentrasi molar reaktan yang bereaksi. Misalkan suatu proses degradasi produk
digambarkan dengan reaksi:
D + W → Produk Degradasi
Laju reaksinya dapat dinyatakan dengan persamaan
𝑑[𝐷]
− 𝖺 [𝐷][𝑊] … Persamaan (I.1)
𝑑𝑡
Untuk mengkuantifikasi pernyataan di atas, maka suatu konstanta harus dimasukkan ke dalam
persamaan tersebut, sehingga dapat ditulis sebagai
𝑑[𝐷]
− = 𝑘[𝐷][𝑊] … Persamaan (I.2)
𝑑𝑡
dengan k adalah konstanta reaksi penguraian. Konstanta reaksi dari proses degradasi obat yang
berbeda dalam orde yang sama dapat dinilai untuk membandingkan stabilitas relatif suatu obat.
Orde reaksi adalah jumlah keseluruhan eksponen yang dipangkat ke persamaan laju reaksi. Orde
reaksi tidak sama dengan koefisien stoikiometri. Orde reaksi dapat diperoleh melalui eksperimen
161
Dengan menganggab a adalah nilai dari [A] dan b adalah nilai dari [B], x adalah konsentrasi
spesi yang bereaksi pada waktu t dan dengan menulis ulang persamaan maka diperoleh:
𝑑𝑥
= 𝑘(𝑎 − 𝑥)(𝑏 − 𝑥) … Persamaan (I.12)
𝑑𝑡
Jika nilai a=b, persamaan dapat ditulis ulang sebagai
𝑑𝑥
= 𝑘(𝑎 − 𝑥)2 … Persamaan (I.13)
𝑑𝑡
dengan mengintegralkan persamaan tersebut diperoleh
𝑥
= 𝑘𝑡 … Persamaan (I.14)
𝑎(𝑎 − 𝑥)
Apabila nilai a tidak sama dengan b, maka persamaan dapat ditulis sebagai:
2.303 𝑏(𝑎 − 𝑥)
log = 𝑘𝑡 … Persamaan (I.15)
𝑎−𝑏 𝑎(𝑏 − 𝑥)
garis lurus diperoleh dengan memplot nilai 1/(a-x) terhadap t. Satuan k untuk reaksi orde kedua
adalah L mol-1 s-1. Jika dalam reaksi orde kedua hanya satu spesies yang terlibat dalam reaksi.
Persamaan orde kedua dapat diselesaikan dengan metode integrated rate law dengan
mengacu pada persamaan berikut
𝑑[𝐴]
− = 𝑘[𝐴]2 … Persamaan (I.16)
𝑑𝑡
Dengan mengintegralkan persamaan di atas, diperoleh:
1 1
= + 𝑘𝑡 … Persamaan (I.17)
[𝐴] [𝐴]0
Dalam konteks eksperimen ini, waktu paruh adalah waktu yang diperlukan oleh suatu obat untuk
terurai menjadi setengah dari konsentrasi awalnya. Rumus waktu paruh dan ringkasan integral
persamaan laju reaksinya dirangkum dalam tabel 9.1.
Tabel 9.1. Integrated Rate Law
Orde Reaksi Persamaan Laju Reaksi Persamaan Waktu Paruh
[𝐴]0
0 [𝐴]𝑡 = [𝐴]0 − 𝑘0𝑡 𝑡1/2 =
2𝑘
ln(2)
1 ln[𝐴]𝑡 = ln[𝐴]0 − 𝑘𝑡 𝑡1/2 =
𝑘
1 1 1
2 = + 𝑘𝑡 𝑡1/2 =
[𝐴] [𝐴]0 𝑘[𝐴]
0
Terdapat tiga metode yang bisa digunakan untuk menentukan orde reaksi, yaitu:
- Metode Substitusi
Orde reaksi ditentukan dengan mensubstitusi nilai-nilai hasil eksperimen ke dalam integral
persamaan berbagai orde. Jika ditemukan persamaan dengan nilai k yang konstan pada salah
satu orde reaksi, maka reaksi diasumsikan berjalan menurut orde tersebut.
163
- Metode Grafik
Orde reaksi ditentukan dengan memplot data konsentrasi terhadap waktu. Jika garis lurus
diperoleh ketika memplot konsentrasi vs waktu, maka reaksi tersebut adalah reaksi orde nol.
Jika garis lurus diperoleh ketika memplot log (a-x) vs waktu, maka reaksi tersebut adalah reaksi
orde pertama. Jika garis lurus diperoleh ketika memplot 1/(a-x) vs waktu, maka reaksi tersebut
adalah reaksi orde kedua.
- Metode Waktu Paruh
Waktu paruh diperoleh secara grafis dengan memplot a terhadap t pada dua konsentrasi awal
yang berbeda dan dengan membacanya waktu pada ½a1 dan ½a2. Nilai-nilai tersebut
selanjutnya disubstitusi ke persamaan untuk memperoleh nilai orde reaksi (n):
log (𝑡 1 ⁄𝑡 1 )
𝑛= (2)1 (2)2 … Persamaan (I.18)
+1
log(𝑎1/𝑎2)
Tiga aspek yang akan dibahas terkait stabilitas obat dalam eksperimen ini adalah pengaruh suhu,
pH dan cahaya terhadap stabilitas obat.
Pengaruh suhu terhadap reaksi penguraian suatu obat berhubungan dengan teori tumbukan.
Suatu reaksi terjadi ketika dua molekul reaktan “bertumbukan”. Karena jumlah tumbukan
meningkat dengan meningkatnya temperatur, kecepatan reaksi diperkirakan meningkat dengan
meningkatnya temperatur. Hukum distribusi Boltzman menjelaskan tentang hubungan energi
kinetik dan velositas molekul yang bertabrakan pada suatu sistem.
𝑁𝑖
𝑓 = = 𝑒−𝐸𝑖/𝑅𝑇 … Persamaan (I.19)
𝑖
𝑁𝑇
Pengaruh suhu terhadap reaksi penguraian suatu obat dapat dituliskan dalam persamaan
Arrhenius berikut:
𝑘 = 𝐴𝑒−𝐸𝑎/𝑅𝑇 … Persamaan (I.20)
atau
𝐸𝑎
log 𝑘 = log 𝐴 − … Persamaan (I.21)
2.303 𝑅𝑇
dalam persamaan di atas, Ea adalah energi aktivasi dan T adalah temperatur absolut. Nilai Ea dapat
diperoleh dengan memplot log k terhadap 1/T.
Selanjutnya, Ea dapat dihitung berdasarkan kemiringan garis atau dihitung langsung dengan
persamaan:
𝑦2 − 𝑦1
𝐸𝑎 = 2.303 𝑅 … Persamaan (I.22)
𝑥 − 𝑥1
Salah satu pendekatan praktis yang dapat digunakan untuk menentukan pengaruh suhu terhadap
stabilitas suatu sediaan adalah dengan menggunakan nilai Q10. Pendekatan ini dapat mengestimsi
pengaruh peningkatan 10° terhadap umum penyimpanan sediaan. Rumus yang digunakan adalah:
𝑘(𝑇+10)
𝑄10 = … Persamaan (I.23)
𝑘𝑇
Jika energi aktivasiny diketahui, nilai Q10 dapat dihitung dengan rumus:
𝑄 = exp [− 𝐸𝑎 ( 1 1 … Persamaan (I.24)
10 − )]
𝑅 (𝑇 + 10) 𝑇
Untuk menghitung nilai Q padata perubahan suhu tertentu, rumus yang digunakan adalah:
𝑘(𝑇+∆𝑇) (∆𝑇⁄10)
𝑄∆𝑇 = = 𝑄10
𝑘𝑇
Efek asam-basa pada suatu reaksi merupakan peristiwa katalisis. Efek ini tidak mempengaruhi
posisi kesetimbangan reaksi reversibel. Terdapat dua jenis katalisis asam-basa yaitu katalisis asam-
basa khusus dan katalisis asam-basa umum. Untuk menentukan pengaruh pH pada kinetika
degradasi obat, pengukuran laju reaksi pada berbagai rentang nilai [H+] harus dilakukan,
selanjutnya nilai log k yang diperoleh dari masing-masing reaksi di plot terhadap nilai pH dan dari
situlah rentang pH stabilitas obat ditentukan.
Pra-Praktikum
Bahan pre-reading:
Buku Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika (2011) Bab 15 hal. 498-543
Bahan respon untuk percobaan ini adalah:
1. Integrated Rate Law
2. Penentuan dan Perhitungan Orde Reaksi
3. Perhitungan Waktu Paruh
4. Perhitungan Daluarsa
5. Reaksi-Reaksi Degradas Obat
6. Studi Stabilitas Sediaan Farmasi
Sebelum praktikum, mahasiswa harus melengkapi data pada lembar “Prerequisite Data”
Sebelum praktikum semua sampel sudah harus ditentukan kadarnya.
Safety Check
Safety Level: Level 1
Check
No. Nama APD Keterangan
(�)
Gunakan sebelum masuk dan selama berada di dalam
1 Jas Praktikum □
laboratorium
Sepatu Gunakan sebelum masuk dan selama berada di
2 □
Tertutup laboratorium
Eksperimental
Alokasi Waktu : 180 menit
Jumlah Sampel : Sampel sama untuk semua kelompok
Tempat : Lab Farmasetika, Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin
Pengaturan : Untuk EKSP0901, setiap tiga kelompok mengerjakan 1 jenis perlakuan dan data
dikumpulkan untuk dihitung sebagai replikasi. Untuk EKSP0902-EKSP0904,
Setiap tiga kelompok mengerjakan 1 jenis kelompok perlakuan
(Suhu/pH/Cahaya) dan setiap kelompok mengerjakan perlakuan yang berbeda
dalam kelompok perlakuannya (misalnya kelompok 1-3 mengerjakan perlakuan
suhu, kelompo 1 suhu 25°C, kelompok 2 suhu 35°C dan kelompok 3 suhu 45°C)
EKSP0901 Kinetika Penguraian Hidrogen Peroksida
1. Siapkan es batu pada wadah
2. Ambil sebanyak 25 ml H2SO4 4N, 25 ml FeCl3 4,5% dan 2,5 ml H2O2 dalam beaker, campur
selama 15 detik dengan bantuan batang pengaduk.
3. Cuplik segera 5 ml larutan tersebut ke dalam Erlenmeyer dan tambahkan 10 ml air dingin
4. Titrasi dengan larutan baku KMnO4 0,25 N dan catat volume titrasi sebagai volume titran pada
t0
5. Pertahankan suhu campuran pada 4°C, 25°C dan 45°C
6. Setiap 10 menit, cuplik dan titrasi campuran dengan larutan baku kalium permanganat selama
rentang waktu 1 jam
7. Tentukan orde reaksi dengan menggunakan metode grafik, metode substitusi (gunakan
persamaan 9.1-9.3 untuk menentukan konstanta reaksi) dan metode waktu paruh (gunakan
persamaan 9.4) dan
8. Tentukan waktu paruhsesuai orde reaksinya.
3. Cuplik 5 ml larutan setiap 10 menit hingg menit ke 60, tentukan kadarnya dengan metode yang
sesuai
4. Catat hasilnya pada tabel pengamatan
5. Tentukan orde reaksi dan konstanta reaksi penguraian obat pada pH yang berbeda
PREREQUISITE DATA
Nama Sampel
RM BM RB
Pemerian
Kelarutan
Nama Katalis
RM BM RB
Pemerian
Kelarutan
Referensi:
170
PREREQUISITE DATA
EKSP0902 Pengaruh Suhu Terhadap Stabilitas Obat
EKSP0903 Pengaruh pH Terhadap Stabilitas Obat
EKSP0904 Pengaruh Cahaya Terhadap Stabilitas Obat
Nama Sampel
RM BM RB
Pemerian
Kelarutan
Uraian Stabilitas (Uraikan stabilitas sampel menurut data dari pustaka termasuk rentang
pH stabil, suhu degradasi dan pengaruh cahaya teradap obat)
Referensi:
171
LEMBAR OBSERVASI
PRAKTIKUM FARMASI FISIKA
Nama Mahasiswa
NIM/Kelompok
Golongan
10
20
30
40
50
60
10
20
30
40
50
60
10
20
30
40
50
60
20
30
40
50
60
Kesimpulan
Metode Kesimpulan Orde
Substitusi Konstanta Reaksi
Grafik
Waktu Paruh
Perhitungan Waktu Paruh Sesuai Orde:
LEMBAR OBSERVASI
PRAKTIKUM FARMASI FISIKA
Nama Mahasiswa
NIM/Kelompok
Golongan
Perhitungan
(Contoh perhitungan [A], log [A], 1/[A], k0, k1, dan k2)
181
182
EKSPERIMEN 10
DIFUSI DAN DISOLUSI OBAT
Sebelum masuk ke sistem sirkulasi, obat terebih dahulu harus terlepas dari matrik sediaannya.
Pada masing-masing fase, obat mengalami disolusi tetapi laju disolusinya berbeda. Disolusi paling
lambat terjadi pada saat obat masih dalam bentuk sediaan awalnya (tablet/kapsul) dan paling
cepat saat obat sudah dalam bentuk partikel yang terbagi halus.
Disolusi adalah suatu proses di mana solut padat memasuki larutan dengan keberadaan medium.
Selain sediaan larutan, obat dalam semua bentuk sediaan lain harus terdisolusi terlebih dahulu
sebelum dapat diabsorbsi ke dalam tubuh. Studi disolusi kemudian menjadi penting untuk
menentukan karakteristik obat dalam lingkungaan biologis dan mengkorelasikannya dengan
absorbsi dan bioavailabilitas.
1/3
𝑀0
1/3
− 𝑀𝑡 = 𝐾𝑡 … Persamaan (J.4)
dengan M0 adalah jumlah partikel obat awal dan Mt adalah jumlah partikel setelah waktu ke t. K
adalah konstanta laju disolusi akar kubik Hixson-Crowell.
Uji disolusi in vitro merupakan suatu pengujian yang penting yang tidak hanya digunkan saat kita
melakukan pengembangan produk, tetapi juga sebagai bentuk kontrol kualitas sediaan farmasi,
khususnya sediaan padat seperti tablet dan kapsul. Sedangkan uji disolusi intrinsik didefinisikan
sebagai laju disolusi bahan obat murni dalam kondisi luas permukaan yang konstan. Laju disolusi
intriksik dapat dinyatakan dalam mg per menit per cm2. Dalam uji disolusi, sediaan diukur
pelepasan obatnya di dalam suatu medium cair yang dibuat khusus untuk meniru kondisi fisiologis
tubuh. Kompendial seperti USP dan FI mengatur secara ketat tentang peralatan serta metode yang
digunakan dalam proses uji in vitro ini.
Dalam melakukan uji disolusi, media yang disarakan digunakan adalah media biorelevant yang
mencerminkan kondisi cairan fisiologis tempat obat akan terlepas. Meskipun begitu, beberapa
monografi mencantumkan media khusus untuk pengujian sediaan tertentu. Media yang
mencerminkan cairan lambung dan cairan usus umum digunakan di dalam uji disolusi.
Tabel 10.1. Komposisi Beberapa Jenis Media Disolusi
Media Komposisi Jumlah
Cairan lambung buatan pH 1,2 (USP 26) NaCl 2,0 g
HCl Pekat 7,0 ml
Aquadest ad 1 L
Cairan usus buatan pH 6,8 (USP 26) KH2PO4 68,05 g
NaOH 8,96 g
Aquadest ad 10 L
FeSSIF Natrium Taurokolat 15 mM
(Fed State Simulated Intestinal Fluid) Lesitin 3.75 mM
NaOH 4.04 g
Asam Asetat Glasial 8.65 g
NaCl 11.874 g
Purified Water ad 100 ml
FaSSIF Natrium Taurokolat 3 mM
(Fasted State Simulated Intestinal Fluid) Lesitin 0,75 mM
NaOH 0.174 g
NaH2PO4.H2O 1.977 g
NaCl 3.093
Purified Water ad 500 ml
FaSSGF Natrium Taurokolat 0,42 g
(Fasted State Simulated Gastric Fluid) Lesitin 1,6 g
Pepsin 1g
NaCl 20 g
DCM 1,6 ml
Purified Water ad 10 L
FeSSGF NaCl 138,5 g
(Fasted State Simulated Gastric Fluid) Asam Asetat 10 ml
Natrium Asetat 40,04 g
Purified Water ad 10 L
Terdapat tujuh aparatus disolusi yang disetujui dan dicantumkan di dalam USP. Metode-metode
ini menjadi acuan resmi untuk menentukan profil disolusi suatu sediaan farmsi yang dirancang dan
dipasarkan. Metode yang sama di adopsi ke dalam Farmakope Indonesia.
188
Kriteria penerimaan hasil uji disolusi dinyatakan dalam Q, yaitu persentasi jumlah obat yang
terdisolusi pada menit tertentu. Kecuali dinyatakan lain dalam monografi masing-masing, untuk
sebagian besar obat, nilai Q ditetapkan pada angka 75% setelah 45 menit. Untuk obat yang
terdisolusi dengan cepat, nilai Q ditetapkan pada angkaa 85% setelah 30 menit dan untuk obat
yang terdisolusi dengan lambat, nilai Q ditetapkan pada angka 75% setelah 60 menit. Hasil
pengujian disimpulkan setelah tiga kali pengujian, S1, S2 dan S3 kecuali jika hasil disolusi sudah
memenuhu kriteria pada S1 dan S2.
Tabel 10.3. Interpretasi hasil uji disolusi menurut kompendial
Seperti kita yang pahami dari fase-fase biofarmasetika tablet, sebelum obat dapat diabsorbsi oleh
tubuh, terlebih dahulu obat harus terdisolusi. Obat umumnya diserap di saluran cerna bagian atas
melalui vena porta hepatika ke sistem sirkulasi sistemik. Dalam proses disolus-absorbsi ini,
kecepatan obat mencapi sirkulasi sistemik ditentukan oleh tahap mana yang paling lambat dan
190
disebut sebagai rate-limiting step. Obat yang sangat larut air umumnya cepat terdisolusi dan proses
absorbsi merupkana rate-limiting step-nya. Karena kecepatan disolusi lebih besar dibandingkan
dengan kecepatan absorbsi, obat-obat ini biasanya terbuang oleh tubuh secara prematur. Untuk
obat-obat hidrofobik, proses disolusi merupakan rate-limiting step-nya sehingga ketersediaan
hayatinya ditentukan oleh kecepatan disolusi obat. Disolusi obat dipengaruhi oleh tiga jenis faktor
yaitu: (1) Faktor fisikokimia bahan aktif; (2) Faktor formulasi; dan (3) Faktor fisiologis.
Salah satu bentuk pengujian in vitro lain untuk sediaan topikal dan transdermal adalah uji difusi in
vitro. Uji ini didasarkan pada kemampuan suatu obat untuk berpermeasi melewati membran uji
dari kompartemen donor ke kompartemen reseptor. Uji difusi bukan merupakan pengganti uji
disolusi karena bukan merupakan uji resmi kompendial seperti uji difusi, melaikan suatu uji
komplementer yang dilakukan sebagai satu tahap dalam proses pengembangan sediaan
transdermal.
Aparatus yang digunakan dalam uji difusi in vitro adalah vertical diffusion cell (VDC). Sel difusi Franz
merupakan salah satu contoh model VDC yang banyak digunkan. Alat ini terdiri atas kompartemen
donor, tempat sampel diletakkan dan kompartemen reseptor yang berisi media difusi. Kedua
kompartemen ini dipisahkan oleh membran uji yang dapat berupa membran semipermeabel
seperti selofan.
𝐾𝑡
Kinetika log 𝐶 = log 𝐶0 +
2.303 Untuk menjelaskan profil disolusi obat larut
Orde Grafik diperoleh dengan memplot log
air dalam pembawa matriks berpori
Pertama konsentrasi kumulatif obat yang tersisa vs
waktu
𝑄 = 𝐾𝐻 𝑥 𝑡1/2
Untuk menjelaskan profil disolusi obat yang
Grafik diperoleh dengan memplot persen
Higuchi larut air dari sistem transdermal atau tablet
konsentrasi kumulatif obat yang
dengan matriks
dilepaskan vs akar waktu
𝑊01/3 − 𝑊𝑡1/3 = 𝜅𝑡
Berlaku untuk sediaan seperti tablet yang
Grafik diperoleh dengan memplot log
Hixson- proses disolusinya terjadi pada bidang yang
akar kubik persentasi konsentrasi
Crowell sejajar dengan permukaan obat jika dimensi
kumulatif obat yang tersisa dalam matrik
obat berkurang secara proporsional
vs waktu
3 𝑀𝑡 2⁄3 𝑀𝑡
𝑓1 = [1 − (1 − )= 𝑘𝑡 ]
Baker- 2 𝑀⋈ 𝑀⋈ Untuk linearisasi profil pelepasan obat dari
Lonsdale Grafik diperoleh dengan memplot mikrokapsul dan mikrosfer
[𝑑(𝑀𝑡⁄𝑀⋈)]/𝑑𝑡 terhadap kebalikan dari
akar waktu
(𝑡−𝑇)𝑏
𝑀 = 𝑀0 [1 − 𝑒− 𝑎 ]
𝑀𝑡⁄𝑀⋈ = 1 − [1 − 𝑘0𝑡⁄𝐶𝐿𝑎]𝑛
Grafik diperoleh dengan memplot log Digunakan untuk menjelaskan pelepesan
Hopfenberg akar kubik persentasi konsentrasi obat dari polimer yang tererosi untuk sistem
kumulatif obat yang tersisa dalam matrik dengan luas permukaan yang konstan.
vs waktu
Pra-Praktikum
Bahan pre-reading:
Buku Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika (2011) Bab 12 dan Bab 13
Bahan respon untuk percobaan ini adalah:
1. Hukum Fick Pertama dan Kedua
2. Difusi Melalui Membran
3. Persamaan Noyes-Whitney
4. Persamaan Akar Kubik Hixson-Crowell
5. Aparatus Disolusi I dan II
6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Disolusi
7. Model-Model Pelepasan Obat
Sebelum praktikum, mahasiswa harus melengkapi data pada lembar “Prerequisite Data”
Sebelum praktikum semua media disolusi sudah dipreparasi.
Safety Check
Safety Level: Level 1
Check
No. Nama APD Keterangan
(�)
Gunakan sebelum masuk dan selama berada di dalam
1 Jas Praktikum □
laboratorium
Sepatu Gunakan sebelum masuk dan selama berada di
2 □
Tertutup laboratorium
Eksperimental
Alokasi Waktu : 180 menit
Jumlah Sampel : Sampel sama untuk semua kelompok
Tempat : Lab Farmasetika, Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin
Pengaturan : Untuk EKSP1001, setiap tiga kelompok mengerjakan 1 jenis sampel yang sama
dan data dihitung sebagai replikasi. Untuk EKSP1002, setiap golongan hanya
mengerjakan 1 sampel.
EKSP1001 Uji Difusi Sediaan Topikal
1. Siapkan membran yang akan digunakan dengan terlebih dahulu merendamnya di dalam cairan
dapar
2. Hangatkan media difusi dan masukkan ke dalam kompartemen reseptor.
3. Siapkan alat difusi dan nyalakan magnetic stirrer nya. Atur suhu hingga suhu di dalam
kompartemen reseptor mencapai 37°C.
4. Pasang membran dan kompartemen reseptor dan aplikasikan sampel ke atas membran.
5. Lakukan uji dengan pengadukan kostan pada 100 rpm
6. Cuplik 0,5 ml sampel pada meni ke 15, 30 dan 45 serta pada jam ke 1, 2, 4, 8, 16, dan 24 ganti
volume yang dicuplik dengan medium segar.
194
PREREQUISITE DATA
Nama Sampel
RM BM RB
Pemerian
Kelarutan
Berat Etiket
Referensi:
196
PREREQUISITE DATA
Nama Sampel
RM BM RB
Pemerian
Kelarutan
Berat Etiket
Referensi:
197
LEMBAR OBSERVASI
PRAKTIKUM FARMASI FISIKA
Nama Mahasiswa
NIM/Kelompok
Golongan
0,25
0,5
0,75
10
12
16
20
24
30
36
42
48
198
Perhitungan
(Contoh perhitungan, Ca, Ma, Permeat dan J)
199
200
0,5
0,7
0,9
1,0
1,4
1,7
2,0
2,5
2,8
3,2
3,5
4,0
4,5
4,9
5,6
6,0
6,5
6,9
Perhitungan
(Contoh perhitungan, Ca, Ma, Permeat dan J serta perhitungan Jss, Kp dan D)
202
Jss TL Kp D
Waktu
Akar Waktu
Nama Asisten :
Paraf Asisten
203
LEMBAR OBSERVASI
PRAKTIKUM FARMASI FISIKA
Nama Mahasiswa
NIM/Kelompok
Golongan
10
15
30
45
60
Perhitungan
(Contoh perhitungan C, k, rata-rata dan SD)
204
205
10
15
30
45
60
Perhitungan
(Contoh perhitungan log C, k, rata-rata dan SD)
206
207
5/
2.24
10/
3.16
15/
3.87
30/
5.48
45/
6.71
60/
7.75
Perhitungan
(Contoh perhitungan Q, k, rata-rata dan SD)
208
209
Nama Asisten :
Replikasi 1 Oleh Kelompok Paraf Asisten
Replikasi 2 Oleh Kelompok
Replikasi 3 Oleh Kelompok
211
Tr : Suhu koreksi
T : Suhu termometer utama
1.1 𝑇𝑟 = 𝑇 + 0.00015𝑁(𝑇 − 𝑡) t : Suhu termometer pembantu
N : Jumlah skala termometer
ρ : Suhu koreksi
𝑏−𝑎 a : Suhu termometer utama
1.2 𝜌= b : Suhu termometer pembantu
𝑉𝑝
Vp : Jumlah skala termometer
2 0.5
Sgw : Standar deviasi
3 𝑊𝑖(log 𝑑𝑖 − log 𝐷𝑔𝑤) Dgw : Diameter partikel rata-rata
3.1c 𝑆𝑔𝑤 = 𝑙𝑜𝑔−1 [ ]
Wi : Berat partikel tertahan di ayakan
3 𝑊𝑖
di : Diameter lubang ayakan
SA : Surface area
2𝑆 ρ : Kerapatan (nyata)
𝛽 0.5 𝑙𝑛 𝑔𝑤−ln 𝐷𝑔𝑤
βs : Faktor bentuk (= 6)
3.1d 𝑆𝐴 = ( 𝑠 )
𝜌𝛽𝑣 βv : Faktor bentuk (= 1)
Dgw : Diameter partikel rata-rata
Sgw : Standar deviasi
PPG: Partikel per gram
4.5 𝑙𝑛2𝑆𝑔𝑤−ln 𝐷𝑔𝑤 ρ : Kerapatan (nyata)
1
3.1e 𝑃𝑃𝐺 = ( ) βv : Faktor bentuk (= 1)
𝜌𝛽𝑣 Dgw : Diameter partikel rata-rata
Sgw : Standar deviasi
θ : Sudut istirahat
3.3b 𝑡𝑎𝑛 𝜃 = h : Tinggi massa serbuk
𝑟 r : Jari-Jari massa serbuk
1 B : Bulkiness/Keruahan
3.5c 𝐵=
𝜌𝑏𝑢𝑙𝑘 ρbulk: Kerapatan Ruah/Kerapatan Semu
𝑉𝑢 F : Volume sedimentasi
6.1 𝐹= Vu : Volume sedimen pada jam ke-24
𝑉𝑜 Vo : Volume total dispersi
𝑉𝑢 β : Derajad flokulasi
6.2 𝛽= Vu : Volume sedimen pada jam ke-24
𝑉∞
V∞ : Volume sedimen dalam keadaan terdeflokulasi
η1 : Viskositas air
𝜂1 𝜌1 𝑡 1 η2 : Viskositas sampel yang diukur
= ρ1 : Kerapatan air
8.1 𝜂2 𝜌2 𝑡 2 ρ2 : Kerapatan sampel yang diukur
t1 : Waktu yang dibutuhkan oleh air
t2 : Waktu yang dibutuhkan oleh sampel yang diukur
η : Viskositas sampel yang diukur
t : Waktu yang dibutuhkan oleh bola untuk bergerak
8.2 𝜂 = 𝑡(𝑆𝐵 − 𝑆𝑓)𝐵 SB : Kerapatan bola
Sf : Kerapatan sampel
B : Faktor
η : Viskositas
8.3 𝜂 = %𝑇 × 𝑓 %T : Persen torsi
f : Faktor konversi
𝜋
𝑆 = 𝑑2 S : Luas area sebaran
8.6 4 d : Diameter sebaran
J : Fluks obat
𝑑 𝑀𝑎
𝐽= Ma : Jumlah obat yang berpermeasi
10.1 𝐴 𝑑𝑡 A : Luas penampang membran
t : Waktu
𝐷 1 D : Koefisien difusi
=
10.3 2 6𝑇 h : Tebal membran
𝐿 TL : Lag time
217
Nomor Spindle
Kecepatan
1 2 3 4 5 6 7
50 2 8 20 40 80 200 800
13 Sudip 1 buah
Minggu
Judul Eksperimen
Ke
1 Asistensi Umum
2 Asistensi Percobaan
3 Wujud Zat & Sifat Fisik Bahan Obat, Sistem Multikomponen
5 Mikromeritik & Sifat Turunan Serbuk, Dispersi Molekuler dan Fenomena Distribusi
6 Mikromeritik & Sifat Turunan Serbuk, Dispersi Molekuler dan Fenomena Distribusi
Bobot
Kategori Kriteria Excellent Good Fair Poor
(2.5) (1.5) (0.5) (0.0)
Preparasi dan Membaca dan mengerti manual
Manajemen laboratorium sebelum mulai
Waktu praktikum, memulai eksperimen
tepat waktu, fokus tetap pada tugas
yang diberikan, menggunakan waktu
dengan baik
Kualitas Kerja Menggunakan peralatan dengan
tepat, mampu mengikuti instruksi
tertulis dan lisan, menyelesaikan
semua tugas yang diberikan
Pemahaman Melakukan observasi dengan hati-
Materi dan hati, menyajikan data dengan jelas,
Pemecahan memberi sumbangsih berupa ide-ide
Masalah yang berguna, mampu mengandalkan
diri sendiri dalam pemecahan
masalah dalam eksperimen
Kerja Sama Berpartisipasi penuh dalam
Tim dan eksperimen, membagi beban kerja
Keamanan dan ide dengan teman kelompok,
mengikuti petunjuk keselamatan
dengan baik, membersihkan area
kerja setelah eksperimen selesai
Bobot Total (BT)
Nilai (BT x 10)
Mahasiswa yang mendapatkan predikat “excellent” adalah mahasiswa yang:
Preparasi dan Manajemen Waktu
Meminta klarifikasi dari hasil membaca manual lab sebelum praktikum
Hadir tepat waktu dan cekatan dalam mengerjakan tugas-tugas yang penting
Memiliki gambaran yang jelas tentang tugas yang akan diselesaikan dan urutan pengerjaannya ketika ditanya oleh
instruktur praktikum
Kualitas Kerja
Mengikuti instruksi lisan dan tertulis dengan benar
Meminta klarifikasi dari instruksi yang tidak begitu dimengerti
Menggunakan peralatan sesuai dengan tujuan penggunaannya atau dengan metode yang kretif dengan tidak
membahayakan baik peralatan maupun penggunanya
Menyelesaikan tugas dengan tunta, akurat dan terdokumentasi dengan baik
Kualitas Kerja
Tidak mengikuti instruksi dengan benar, baik secara lisan maupun tertulis
Tidak meminta penjelasan dari instruksi yang tidak dimengerti
Menggunakan peralatan tidak sesuai peruntukannya/tidak tepat teknik penggunaannya maupun saat menggunakan
beresiko merusakkan peralatan atau membahayakan orang sekitarnya
Tidak menyelesaikan tugas yang diberikan, atau dikerjakan dengan sembarangan atau tidak didokumentasikan dengan
jelas
RUBRIK LAPORAN
Bobot
Kategori Kriteria Excellent Good Fair Poor
(2.0) (1.25) (0.5) (0.0)
Pre-requisite Terisi dengan lengkap dengan data-
data data diperlukan, menggunakan
pustaka yang relevan
Tabel Terisi dengan rapi dan mudah dibaca,
Pengamatan data yang diisikan benar dan lengkap
dan Grafik
Perhitungan Tersusun secara sistematis, lengkap
dan jelas, menggunakan persamaan
yang benar serta hasil perhitungan
benar
Pembahasan Pembahasan yang mendalam terkait
hasil praktikum, data
diinterpretasikan dengan benar,
semua trend/nilai penting dibahas
dengan baik, disajikan dengan bahasa
yang dimengerti, disajikan dengan
dukungan pustaka yang relevan
Kesimpulan Semua kesimpulan yang penting telah
diambil, kesimpulan menunjukkan
pemahaman akan kegiatan praktikum
yang dilakukan
Bobot Total (BT)
Nilai (BT x 10)
Perhitungan
Perhitungan disajikan secara sistematis dan mudah diikuti
Perhitungan lengkap (tidak melewatkan tahapan yang penting)
Hasil perhitungan disajikan dengan satuan yang benar
Menggunakan persamaan yang benar dan hasil perhitungan juga benar
Pembahasan
Data diinterpretasikan secara tepat
Semua trend data atau poin data yang penting dibahas dengan lengkap
Pembahasan mendalam dan mempertimbangkan faktor kesalahan
Disajikan dengan tulisan dan bahasa yang mudah dimengerti
Pembahasan didukung dan diperkaya oleh literatur
Kesimpulan
Kesimpulan yang diambil telah menjawab tujuan praktikum
Kesimpulan yang diambil menunjukkan hubungan dengan pembahasan
Kesimpulan yang diambil menunjukkan pemahaman atas hasil praktikum
225
Perhitungan
Tidak menyajikan perhitungan atau disajikan dengan tidak sistematis
Banyak melewatkan tahap perhitungan yang penting
Tidak mencantumkan satuan atau mencantumkan satuan yang salah
Menggunakan persamaan yang salah atau hasil perhitungan salah
Pembahasan
Misinterpretasi data
Tidak membahas trend data atau data poin yang penting
Pembahasan hanya menyangkut hal-hal permukaan dan tidak mempertimbangkan faktor kesalahan
Bahasa dan tulisan tidak mudah dimengerti
Tidak menggunakan referensi dalam pembahasannya
Kesimpulan
Kesimpulan tidak menjawab tujuan praktikum
Kesimpulan tidak menunjukkan hubungan dengan pembahasan
Kesimpulan tidak menunjukkan pemahaman atas hasil praktikum
226
RUBRIK DISKUSI
Bobot
Kategori Kriteria Excellent Good Fair Poor
(5.0) (3.5) (2.0) (1.0)
Pemahaman Mampu menjawab pertanyaan
Materi dengan benar, mampu mengajukan
pertanyaan dengan benar, berperan
aktif dalam jalannya diskusi, mampu
mengelaborasi hasil eksperimen
dengan teori dari literatur
Sikap Proaktif, menunjukkan ketertarikan
atas jalannya diskusi, antusias
Bobot Total (BT)
Nilai (BT x 10)
Sikap
Menunjukkan ketertarikan atas jalannya diskusi
Antusias menjawab pertanyaan
Proaktif dalam menjawab dan mengajukan pertanyaan
Sikap
Tidak tertarik melakukan diskusi
Tidak antusias menjawab pertanyaan/bertanya
Pasif selama jalannya diskusi
227
10