Toksikologi Klinik Weli
Toksikologi Klinik Weli
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap percobaan sudah dirancang seaman mungkin, namun demikian ada
beberapa cara yang harus diperhatikan untuk menghindari kemungkinan terjadinya
kecelakaan yaitu selain bekerja secara berhati – hati, seseorang yang bekerja di
laboratorium kimia harus mempunyai kesadaran untuk mentaati tata tertib dan tata
kerja keselamatan kerja. Kesadaran tersebut penting, bukan saja menjamin
keselamatan diri tetapi juga karena keberhasilan suatu percobaan sangat bergantung
pada cara kerja yang baik ( Kunsah dkk, 2019 )
Toksikologi merupakan ilmu yang sangat luas yang mencakup berbagai
disiplin ilmu yang sudah ada seperti ilmu kimia, Farmakologi, Biokimia, Forensik
Medicine dan lain-lain. Disamping itu ilmu ini terus berkembang sejalan dengan
perkembangan ilmu-ilmu lainnya, dan ini semua pada gilirannya akan menyulitkan
kita dalam membuat definisi yang singkat dan tepat mengenai TOKSIKOLOGI
( Mansyur , 2017 )
Sesuai dengan bidang pekerjaan seorang teknisi laboratorium medik, dan
seringkali bidang toksikologi sering berkaitan dengan kasus hukum, terutama terkait
penyalahgunaan obat, maka materi perundang-undangan bidang narkotika dan
psikotropika. Oleh karena itu, seorang teknisi laboratorium medik perlu mengenal
beberapa istilah yang berkaitan dengan toksikologi ( Rahayu;Solihat,2018 ).
B. Rumusan Masalah
1. Apa Yang Dimaksud Dengan Toksikologi Klinik ?
C. Tujuan Penulisan
1. Mahasiswa Diharapkan Dapat Mengetahui Apa Itu Toksikologi Klinik.
BAB II
PEMBAHASAN
1.4. Toksisitas
Dalam bidang toksikologi sudah dikenal adanya Postulat Paracelcus: “All
substances are poisons; there is none which is not a poison. The right dose differentiates a
poison from a remedy”, "Semua zat adalah racun, tidak ada yang bukan racun. Dosis yang
tepat yang membedakan racun dari obat." Apabila zat kimia dikatakan berracun (toksik),
maka kebanyakan diartikan sebagai zat yang berpotensi memberikan efek berbahaya
terhadap mekanisme biologi tertentu pada suatu organisme. Sifat toksik dari suatu
senyawa ditentukan oleh: dosis, konsentrasi racun di reseptor “tempat kerja”, sifat zat
tersebut, kondisi bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan terhadap organisme
dan bentuk efek yang ditimbulkan. Sehingga apabila menggunakan istilah toksik atau
toksisitas, maka perlu untuk mengidentifikasi mekanisme biologi di mana efek berbahaya
itu timbul. Sedangkan toksisitas merupakan sifat relatif dari suatu zat kimia, dalam
kemampuannya menimbulkan efek berbahaya atau penyimpangan mekanisme biologi
pada suatu organisme. Toksisitas merupakan istilah relatif yang biasa dipergunakan
dalam memperbandingkan satu zat kimia dengan lainnya. Adalah biasa untuk mengatakan
bahwa satu zat kimia lebih toksik daripada zat kimia lain. Perbandingan sangat kurang
informatif, kecuali jika pernyataan tersebut melibatkan informasi tentang mekanisme
biologi yang sedang dipermasalahkan dan juga dalam kondisi bagaimana zat kimia
tersebut berbahaya. Oleh sebab itu, pendekatan toksikologi seharusnya dari sudut telaah
tentang berbagai efek zat kimia atas berbagai sistem biologi, dengan penekanan pada
mekanisme efek berbahaya zat kimia itu dan berbagai kondisi di mana efek berbahaya itu
terjadi. Pada umumnya efek berbahaya atau efek farmakologik timbul apabila terjadi
interaksi antara zat kimia (tokson atau zat aktif biologis) dengan reseptor. Terdapat dua
aspek yang harus diperhatikan dalam mempelajari interakasi antara zat kimia dengan
organisme hidup, yaitu kerja farmakon pada suatu organisme (aspek farmakodinamik atau
toksodinamik) dan pengaruh organisme terhadap zat aktif (aspek farmakokinetik atau
toksokinetik) aspek ini akan lebih detail dibahas pada sub bahasan kerja toksik. Telah
dipostulatkan oleh Paracelcus, bahwa sifat toksik suatu tokson sangat ditentukan oleh
dosis (konsentrasi tokson pada reseptornya). Artinya kehadiran suatu zat yang
berpotensial toksik di dalam suatu organisme belum tentu menghasilkan juga keracunan.
Misal insektisida rumah tangga (DDT) dalam dosis tertentu tidak akan menimbulkan
efek yang berbahaya bagi manusia, namun pada dosis tersebut memberikan efek yang
mematikan bagi serangga. Hal ini disebabkan karena konsentrasi tersebut berada jauh
dibawah konsentrasi minimal efek pada manusia. Namun sebaliknya apabila kita terpejan
oleh DDT dalam waktu yang relatif lama, dimana telah diketahui bahwa sifat DDT yang
sangat sukar terurai dilingkungan dan sangat lipofil, akan terjadi penyerapan DDT dari
lingkungan ke dalam tubuh dalam waktu relatif lama. Karena sifat fisiko kimia dari DDT,
mengakibatkan DDT akan terakumulasi (tertimbun) dalam waktu yang lama di jaringan
lemak. Sehingga apabila batas konsentrasi toksiknya terlampaui, barulah akan muncul
efek toksik. Efek atau kerja toksik seperti ini lebih dikenal dengan efek toksik yang
bersifat kronis. Toksin Clostridium botulinum, adalah salah satu contoh tokson, dimana
dalam konsentrasi yang sangat rendah (10-9 mg/kg berat badan), sudah dapat
mengakibatkan efek kematian. Berbeda dengan metanol, baru bekerja toksik pada dosis
yang melebihi 10 g. Pengobatan parasetamol yang direkomendasikan dalam satu periode
24 jam adalah 4 g untuk orang dewasa dan 90 mg/kg untuk anak-anak. Namun pada
penggunaan lebih dari 7 g pada orang dewasa dan 150 mg/kg pada anak-anak akan
menimbulkan efek toksik. Dengan demikian, resiko keracunan tidak hanya tergantung
pada sifat zatnya sendiri, tetapi juga pada kemungkinan untuk berkontak dengannya dan
pada jumlah yang masuk dan diabsorpsi. Dengan lain kata tergantung dengan cara kerja,
frekuensi kerja dan waktu kerja. Antara kerja (atau mekanisme kerja) sesuatu obat dan
sesuatu tokson tidak terdapat perbedaan yang prinsipil, ia hanya relatif. Semua kerja dari
suatu obat yang tidak mempunyai sangkut paut dengan indikasi obat yang sebenarnya,
dapat dinyatakan sebagai kerja toksik. Kerja medriatik (pelebaran pupil), dari sudut
pandangan ahli mata merupakan efek terapi yang dinginkan, namun kerja hambatan
sekresi, dilihat sebagai kerja samping yang tidak diinginkan. Bila seorang ahli penyakit
dalam menggunakan zat yang sama untuk terapi, lazimnya keadaan ini manjadi terbalik.
Pada seorang anak yang tanpa menyadarinya telah memakan buah Atropa belladonna,
maka mediaris maupun mulut kering harus dilihat sebagai gejala keracuanan. Oleh sebab
itu ungkapan kerja terapi maupun kerja toksik tidak pernah dinilai secara mutlak. Hanya
tujuan penggunaan suatu zat yang mempunyai kerja farmakologi dan dengan demikian
sekaligus berpotensial toksik, memungkinkan untuk membedakan apakah kerjanya
sebagai obat atau sebagai zat racun. Tidak jarang dari hasil penelitian toksikologi, justru
diperoleh senyawa obat baru. Seperti penelitian racun (glikosida digitalis) dari tanaman
Digitalis purpurea dan lanata, yaitu diperoleh antikuagulan yang bekerja tidak langsung,
yang diturunkan dari zat racun yang terdapat di dalam semanggi yang busuk. Inhibitor
asetilkolinesterase jenis ester fosfat, pada mulanya dikembangkan sebagai zat kimia untuk
perang, kemudian digunakan sebagai insektisida dan kini juga dipakai untuk menangani
glaukoma. Toksisitas adalah pernyataan kemampuan racun menyebabkan timbulnya
gejala keracunan. Toksisitas ditetapkan di laboratorium, umumnya menggunakan hewan
coba dengan cara ingesti, pemaparan pada kulit, inhalasi, gavage, atau meletakkan bahan
dalam air, atau udara pada lingkungan hewan coba.
Toksisitas dapat dinyatakan dengan peristilahan sebagai berikut:
A. Karsinogen
Zat karsinogenik dikaitkan dengan penyebab atau peningkatan kanker pada
manusia dan hewan. Contoh: benzena, vinil klorida, formaldehid, dioksan, dan
akrilamida.
B. Mutagen
Mutagen adalah zat yang mengubah informasi genetik suatu organisme,
biasanya dengan mengubah DNA. Mutagen biasanya juga karsinogen karena mutasi
sering menyebabkan kanker. Contoh mutagen termasuk etidium bromida,
formaldehid, dioksan, dan nikotin.
C. Teratogen
Teratogen adalah zat yang menyebabkan kerusakan pada janin atau embrio
selama kehamilan, yang menyebabkan cacat lahir sementara ibu tidak menunjukkan
tanda toksisitas. Teratogen umum meliputi etanol, senyawa merkuri, senyawa timbal,
fenol, karbon disulfida, toluena dan xilena.
Toksisitas juga dapat dinyatakan berdasarkan waktu hingga timbulnya
gejala keracunan (onset), yaitu:
1. Toksisitas akut, jika efek timbul segera atau paparan durasi pendek dalam
hitungan jam sampai hari setelah terpapar bahan toksik. Efek akut dapat reversibel
atau tidak dapat dipulihkan.
2. Toksisitas sub akut, jika gejala keracunan timbul dalam jangka waktu setelah
sedang (minggu sampai bulan) setelah terpapar bahan toksik dalam dosis tunggal.
3. Toksisitas kronis, jika akibat keracunan baru timbul setelah terpapar bahan toksik
secara berulang-ulang dalam jangka waktu yang panjang (dalam hitungan tahun)
atau bahkan dekade. Efek kronis terjadi setelah terpapar dalam waktu lama (bulan,
tahun, dekade) dan bertahan setelah paparan telah berhenti.
BAB III
PENUTUP
1.1. Kesimpulan
Toksikologi merupakan ilmu yang sangat luas yang mencakup
berbagai disiplin ilmu yang sudah ada seperti ilmu kimia, Farmakologi, Biokimia,
Forensik Medicine dan lain-lain. Dalam lingkup toksikologi sering digunakan
beberapa istilah yaitu racun , toksin, venom , Toksikan , Toksoid , dan
Xenobiotik. Toksisitas memiliki beberapa peristilahan yaitu : Karsinogen ,
Mutagen , dan Teratogen.
1.2. Daftar Pustaka
Kunsah dkk ,2019. Modul Praktikum Toksikologi Klinik. Laboratorium Kimia
Kesehatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Mansyur , 2017. Toksikologi , Keamanan , Unsur dan Bidang-Bidang
Toksikologi. digitized by USU digital library.
Rahayu;Solihat,2018. Bahan Ajar Teknologi Laboratorium Medik ( TLM )
Toksikologi Klinik. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
1.3. Lampiran