Anda di halaman 1dari 17

JOURNAL READING

Epilepsy in Children : From Diagnosis to Treatment with Focus on


Emergency

Pembimbing :
dr. Khonita Adian Utami, Sp. N

Oleh :
Siti Mardiana
2018730104

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya pada
penulis sehingga dapat menyelesaikan laporan journal reading dengan judul “Epilepsy
in Children : From Diagnosis to Treatment with Focus on Emergency” ini tepat
pada waktunya.
Laporan journal reading ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas penilaian
kegiatan kepaniteraan klinik stase mata. Penulis menyadari ketidaksempurnaan laporan
journal reading ini. Untuk itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik untuk
perbaikan penyusunan laporan selanjutnya.
Terimakasih penulis ucapkan kepada pembimbing laporan journal reading ini
dr. Khonita Adian Utami, Sp. N yang telah membimbing dalam penyusunan laporan
ini. Semoga laporan journal reading ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan
bagi instansi kepaniteraan klinik Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Jakarta dan RSIJ Pondok Kopi pada umumnya.

Wassalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.

Jakarta, 9 November 2022

Penulis
Epilepsy in Children : From Diagnosis to Treatment with Focus on
Emergency

Carmelo Minardi 1 , Roberta Minacapelli 1 , Pietro Valastro 1 , Francesco Vasile 1 , Sofia


Pitino 1 , Piero Pavone 2 , Marinella Astuto 1 and Paolo Murabito 1,*
1 Department of Anesthesiology, AOU Policlinico—Vittorio Emanuele, University of Catania
Via S. Sofia, 78, 95123 Catania, Italy; minardi.carmelo@virgilio.it (C.M.);
robertaminacapelli@gmail.com (R.M.);
2 Department of Pediatrics, AOU Policlinico—Vittorio Emanuele, University of Catania Via
S. Sofia, 78, 95123 Catania, Italy; ppavone@unict.it
* Correspondence: paolomurabito@tiscali.it; Tel.: +39-3293412022; Fax: +39-0953781117
Received: 5 October 2018; Accepted: 26 December 2018; Published: 2 January 2019

ABSTRAK
Kejang didefinisikan sebagai kejadian sementara dari tanda dan gejala akibat aktivitas
saraf yang abnormal, berlebihan, atau sinkron di otak yang ditandai dengan aktivitas
otot rangka yang tiba-tiba dan tidak disengaja. Diagnosis dini, pengobatan, dan
dukungan medis khusus harus dilakukan untuk mencegah Status Epileptikus (SE).
Onset kejang, terutama pada populasi anak, terkait dengan faktor risiko spesifik
seperti riwayat keluarga yang positif, demam, infeksi, komorbiditas neurologis,
kelahiran prematur, penyalahgunaan alkohol ibu, dan merokok dalam kehamilan.
Risiko kematian dini pada anak-anak tanpa komorbiditas neurologis serupa dengan
populasi umum. Diagnosis umumnya didasarkan pada identifikasi kejang terus
menerus atau berulang tetapi evaluasi Electroencephalogram (EEG) dapat berguna
jika kondisi SE dicurigai.

Tujuan utama terapi adalah untuk melawan mekanisme patologis yang terjadi pada
SE sebelum sel saraf rusak secara ireversibel. Menurut Pedoman dan Rekomendasi
Internasional terbaru penyakit terkait kejang, pendekatan farmakologis dan diagnostik
skema dan multi-tahap diusulkan terutama dalam pengelolaan SE dan penyebab
terkaitnya pada anak - anak. Tindakan pertama harus fokus pada pemberian obat awal
dan tepat pada dosis yang memadai, manajemen jalan napas, pemantauan tanda-tanda
vital, masuk Pediatric Intensive Care Unit (PICU), dan manajemen kecemasan orang
tua.

Kata kunci:kejang; status epileptikus; anak-anak


PENDAHULUAN

Unit gawat darurat umumnya adalah tempat di mana anak-anak yang terkena kejang
menerima perawatan pertama dan dukungan medis. Keterampilan dokter yang tepat
sangat penting untuk diagnosis dini, pengobatan, dan komunikasi yang memadai
dengan orang tua. Kejang didefinisikan sebagai kejadian sementara dari tanda dan
gejala akibat aktivitas saraf yang abnormal, berlebihan, atau sinkron di otak yang
ditandai dengan aktivitas otot rangka yang tiba-tiba dan tidak disengaja. Status
epileptikus (SE) adalah suatu kondisi yang dihasilkan baik dari kegagalan mekanisme
yang bertanggung jawab untuk penghentian kejang atau dari inisiasi mekanisme, yang
menyebabkan kejang berkepanjangan yang abnormal (untuk jangka waktu 5 menit
atau lebih). Merupakan suatu kondisi, yang dapat memiliki konsekuensi jangka
panjang (terutama jika durasinya lebih dari 30 menit) termasuk kematian saraf, cedera
saraf, dan perubahan jaringan saraf, tergantung pada jenis dan durasi kejang. Kejang
demam didefinisikan sebagai kejang yang terjadi pada anak berusia antara 1 bulan
dan 6 tahun dengan kenaikan suhu lebih dari 38◦C dan tanpa tanda-tanda penyakit
menular pada sistem saraf pusat (SSP).

Pada tahun 2014, International League Against Epilepsy (ILAE) mengusulkan


definisi klinis operasional (praktis) epilepsi, adalah penyakit otak yang di tandai oleh
salah satu dari kondisi berikut :

 Setidaknya dua kejang yang tidak diprovokasi (atau refleks) terjadi > 24 jam
terpisah
 Satu kejang yang tidak diprovokasi (atau refleks) dan kemungkinan kejang
lebih lanjut serupa dengan risiko kekambuhan umum (setidaknya 60%)
setelah dua kejang yang tidaj diprovokasi, terjadi selama 10 tahun ke depan
 Diagnosis sindrom epilepsy

Insiden epilepsi bervariasi antara negara industri dan negara berkembang. Di negara-
negara Barat, kasus baru per tahun diperkirakan 33,3-82/100.000, berbeda dengan
insiden maksimum 187/100.000 yang diperkirakan di negara berkembang. Penelitian
terbaru menunjukkan bahwa insiden maksimum terjadi pada usia tahun pertama
dengan tingkat 102/100.000 kasus per tahun, seperti rentang usia dari 1 hingga 12
tahun. Pada anak-anak dari 11 sampai 17 tahun insiden adalah 21-24/100.000 kasus.

Klasifikasi kejang berdasarkan ILAE :

Bangkitan/seizure dapat dibedakan menjadi :

Tipe Bangkitan Keterangan


Focal Berasal dari jaringan satu hemisfer. Sumbernya bisa terlokalisasi

dengan jelas atau tersebar ke sekelilingnya


General Berasal dari suatu titik lokasi yang menyebar dengan cepat ke kedua

hemisfer.
Automatism Aktivitas motorik yang terkoordinasi, sering menyerupai gerak
volunter. Biasanya muncul dengan gangguan kesadaran sehingga
setelahnya pasien tidak ingat.
Atonic Hilang atau berkurangnya tonus otot mendadak tanpa adanya
mioklonik atau tonik sebelumnya. Berlangsung 1-2 detik, melibatkan
kepala, tubuh, rahang, atau ekstremitas atas dan bawah
Epileptic Spasm Gerakan mendadak berupa fleksi, ekstensi, atau gabungan ekstensi dan

fleksi otot proksimal dan otot batang tubuh .


Myclonic Gerakan involunter tiba-tiba, singkat (<100 milidetik) berupa
kontraksi otot tunggal atau multipel pada anggota gerak proksimal,
distal, atau aksial.
Tonic Peningkatan kontraksi otot yang berlangsung beberapa detik - menit.
Clonic Gerak menghentak-hentak (jerking), simetris/asimetris, berulang

secara regular.
Tonic-Clonic Bangkitan berurutan berupa bangkitan tonik diikuti bangkitan klonik.
Myclonic-Tonic- Bangkitan mioklonik diikuti dengan bangkitan tonik-klonik.

Clonic
Myclonic-Atonic Bangkitan mioklonik diikuti dengan bangkitan atonik
Nonmotor tanpa disertai aktivitas motorik yang menonjol
Autonomic Perubahan sistem saraf otonom yang melibatkan kardiovaskular, pupil,

gastrointestinal, sudomotor, vasomotor, dan termoregulasi


Behavior arrest Henti aktivitas sesaat, freezing, imobilisasi.
Cognitive Berhubungan dengan proses berpikir dan fungsi kortikal, seperti

bahasa, persepsi spasial, memori, dan praksis.


Emotional Emosi sebagai tanda awal yang menonjol, seperti rasa takut, suka cita
spontan atau euforia, tertawa (gelastic), atau menangis (dacrystic).
Sensory Persepsi rasa yang tidak disebabkan oleh adanya stimulus eksternal.

Typical Absence Terhentinya aktivitas yang sedang dilakukan secara mendadak, tatapan
kosong, dapat disertai deviasi mata ke atas. Biasanya pasien tidak
berespons saat diajak bicara. Durasi bangkitan beberapa detik -
setengah menit dengan pemulihan yang sangat cepat.
Pada Status epileptikus, penyebab paling umum pada anak-anak adalah demam dan
infeksi SSP. Penyebab lain termasuk hiponatremia, konsumsi agen toksik yang tidak
disengaja, kelainan SSP, kelainan genetik dan metabolisme (fenilketonuria,
hipokalsemia, hipoglikemia, hipomagnesemia).

KLASIFIKASI STATUS EPILEPTIKUS

Status Epileptikus diklasifikasikan menurut pedoman International League Against


Epilepsy (ILAE) ] menjadi empat kategori yaitu : semiologis, etiologi, pola EEG,
terkait usia

A. Klasifikasi Semeiologic Status Epileptikus


.

B. Klasifikasi Etiologi Status Epileptikus

Penyebab yang mendasari status epilepticus disebabkan oleh kelainan yang diketahui,
yang dapat bersifat structural, metabolic, inflamasi, infeksi, toksik, atau genetic.
Berdasarkan hubungan temporalnya, subdivisi akut, jauh, dan progresif dapat
diterapkan. Penyebab yang belum diketahui atau kriptogenik.

C. Korelasi Elektroensefalografik dengan klasifikasi Status Epileptikus


 Lokasi : digeneralisasi, lateralized, bilateral independent, multifocal
 Nama pola : pelepasan periodic, delta berima aktivitas atau subtipe
 Morfologi : ketajaman, jumlah fase (misalnya : triphasic morfologi),
amplitude absolut dan relative, polaritas
 Fitur terkait waktu : prevalensi, frekuensi, durasi, onset (mendadak dan
bertahap), dan dinamika (berkembang, berfluktuasi, atau statis)
 Modulasi : stimulus diinduksi vs spontan
 Pengaruh intervensi (obat) pada EEG

D. Klasifikasi Kejang sesuai Usia


a) Status epilepticus pada sindrom epilepsy neonatal dan infantile
 Status tonik (misalnya, pada sindrom Ohtahara atau sindrom West’s
 Status mioklonik pada sindrom Dravet
 Status dokus
 Status epilepticus febrile
b) Status epilepticus yang terjadi pada masa kanak – kanak dan remaja
 SE otonom pada epilepsy oksipital anak jinak dengan onset dini
(sindrom Panayiotopoulos)
 NSCE pada sindrom dan etiologi epilepsy anak tertentu (misalnya
kromosom cincin 20 dan kelainan karotipe lainnya, sindrom Angelman
 Epilepsy dengan kejang mioklonik-atonik
 Ensefalopati mioklonik masa kanak-kanan lainnya
 Status tonik pada sindrom Lennox-Gastaut Status mioklonik
 Epilepsy mioklonus profresif ststus epilepticus
 Pada gelombang tidur lambat status afasik
 Sindrom Landau-Kleffner
c) SE terjadi pada masa remaja dan dewasa
 Status mioklonik pada epilepsy mioklonik juvenil
 Mioklonik pada sindrom Down
d) SE terjadi pada orang tua
 Status mioklonik pada penyakit Alzheimer
 Status epilepticus non konvulsif pada penyakit Creutzfeldt-Jakob
 Status absen de novo (atau relaps) dikemudian hari

FAKTOR RISIKO

Faktor risiko utama kejang pada anak-anak berkorelasi dengan : adanya riwayat
keluarga, demam tinggi, kelainan mental, kelahiran prematur, penyalahgunaan
alkohol ibu dan merokok pada kehamilan meningkatkan risiko kejadian kejang .
Selain itu pada 30% anak-anak dengan episode pertama kejang memiliki
kemungkinan mengalami episode berulang. Faktor risiko kejang demam berulang
meliputi : usia muda dan durasi episode pertama kejang, Riwayat keluarga
dengankejang demam,, dan onset kejang.

Pasien dengan semua faktor risiko tersebut menunjukkan lebih dari 70%
kemungkinan episode kejang berulang, sebaliknya pasien yang tidak memiliki
satupun dari mereka memiliki kemungkinan episode kejang berulang lebih rendah
dari 20%.

KEMATIAN

Angka kematian pada orang yang terkena epilepsi adalah 2-4 kali lebih tinggi dari
populasi lainnya, dan 5-10 kali lebih tinggi pada anak-anak. Risiko kematian dini
pada anak-anak tanpa komorbiditas neurologis serupa dengan populasi umum dan
banyak kematian tidak terkait dengan kejang itu sendiri tetapi dengan kecacatan
neurologis yang sudah ada sebelumnya. Penyebab kematian lainnya dapat berupa
penyebab alami terkait (tumor otak) dan penyebab non-alami (bunuh diri atau
kematian karena kecelakaan). Angka kematian global antara 2,7 dan 6,9 kematian per
1000 anak setiap tahun; Kematian terkait SUDEP pada anak-anak adalah sekitar 1,1-2
kasus / 10.000 anak per tahun.

PATOFISIOLOGI

Mekanisme yang tepat dari onset kejang tidak diketahui. Mungkin ada defisit
penghambatan saraf atau kelebihan rangsangan. Sebagian besar penulis menyebutkan
bahwa timbulnya kejang tergantung pada defisit penghambatan saraf, khususnya
defisit asam -Aminobutyric (GABA). Penelitian lain dengan menggunakan model
hewan percobaan, menunjukkan bahwa asam N-metil-D-aspartat (NMDA) dan asam
alfa-amino-3-hidroksi-5-metil-4-isoksazol-propionat, yang merupakan reseptor
gultamat. terlibat dalam patofisiologi kejang. Anak-anak lebih sering terkena infeksi
seperti : infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, infeksi virus di mana anak-anak
menunjukkan suhu tinggi, Model hewan menunjukkan peran sentral mediator
inflamasi seperti IL-1 yang dapat menyebabkan peningkatan stimulasi saraf dan
timbulnya kejang demam. Infeksi virus tampaknya terlibat dalam patogenesis kejang.
Studi terbaru menunjukkan bahwa HHSV-6 (Human herpes simplex virus-6) dan
Rubivirus dapat ditemukan pada 20% pasien yang terkena kejang demam untuk
pertama kalinya.

DIAGNOSA

Diagnosis didasarkan pada identifikasi kejang terus menerus atau berulang. Literatur
menunjukkan bahwa pada usia anak, pemeriksaan serologi tidak dibenarkan, karena
frekuensi rendah nilai abnormal. Satu-satunya tes abnormal pada lebih dari 20%
pasien adalah hipoglikemia. Pada pasien dengan status epileptikus dan suhu tubuh di
atas 38,5◦C, pungsi lumbal dapat dipertimbangkan, ketika etiologi infeksi dicurigai.
Suhu, leukositosis, dan pleositosis dalam cairan serebro-spinal mungkin ditemukan
pada SE bahkan jika infeksi pada sistem saraf pusat tidak ada. Pedoman American
Association of Pediatrics (AAP) dalam manajemen medis pasien anak dengan kejang
demam tidak menyarankan melakukan tes diagnostik secara rutin, termasuk pungsi
lumbal, kecuali jika diminta oleh keadaan kondisi. Pungsi lumbal sangat dianjurkan
pada semua pasien di bawah usia satu tahun dengan kejang. Pedoman American
College of Emergency Physician (ACEP) menyarankan bahwa pungsi lumbal harus
dilakukan dalam kasus penurunan kekebalan (imunocompromized), tanda-tanda
klinis meningitis, kejang persisten, dan infeksi SSP.

Computerized Tomography (CT) dilakukan pada kejang pertama dan dalam kondisi
klinis yang dapat meningkatkan risiko komplikasi. CT ensefalik tanpa media kontras
adalah pemeriksaan pertama yang direkomendasikan untuk mendiagnosis neoformasi,
cedera kepala, perdarahan, dan/atau infark serebral. CT dengan media kontras
mungkin diperlukan untuk mengkonfirmasi dugaan diagnosis tumor otak atau
hematoma subdural. EEG harus dipertimbangkan setiap kali dicurgai adanya status
epilepticus.

PENGOBATAN STATUS EPILEPTIKUS

Tujuan utama pada pengobatan status epileptikus adalah untuk menghentikan kejang
sebelum sel-sel saraf rusak secara permanen. Status epilepticus sulit dikendalikan
karena durasinya meningkat,sehingga penting untuk memulai pengobatan
farmakologis target awal. Hal terpenting dalam pengobatan farmakologis adalah
penerapan protokol yang jelas secara cepat, menyesuaikan dosis dengan berat badan
pasien. Oleh karena itu, dalam kasus SE refrakter pengobatan harus secepat mungkin.

Rekomendasi ILAE 2017 menghubungkan pengobatan farmakologis dengan waktu.


Terdapat tiga titik waktu, yaitu :

 T1 adalah periode di mana perawatan darurat SE harus dimulai.


 T2 adalah periode setelah kejang dapat mengakibatkan kematian sel saraf,
modifikasi jaringan saraf, dan defisiensi fungsional.
 T3 ditandai dengan SE refrakter: SE berlanjut meskipun pengobatan. Dalam
hal ini, rawat inap dan masuk PICU dianjurkan.
 T4 ditandai dengan SE super refraktori, yang berlanjut selama lebih dari 24
jam. Dalam hal ini, diperlukan bantuan hidup lanjutan.

Tindakan Dukungan Umum

Pendekatan pertama di SE harus fokus pada manajemen jalan napas dan ventilasi
dan sirkulasi yang memadai. Penting untuk melindungi pasien dari cedera yang
disebabkan oleh gerakan yang tidak terkendali. Penting juga untuk menempatkan
pasien dalam posisi lateral untuk mencegah inhalasi, dan menempatkan kateter
vena perifer. Pemantauan tanda-tanda vital (denyut jantung, tekanan darah,
saturasi oksigen, dan suhu) sangat penting untuk mengevaluasi perjalanan SE.
pemeriksaan darah harus dilakukan untuk mengenali hipoglikemia atau
keracunan. Sebagian besar obat yang digunakan untuk mengobati SE menekan
dorongan pernapasan. Oleh karena itu, penting untuk mengambil tindakan
pencegahan untuk mengenali dan mengobati efek sampingnya.

Obat Antikonvulsan dalam keadaan darurat

Pedoman dalam pengobatan SE memberikan dasar untuk mengelola SE secara


optimal di ruang gawat darurat; 80% pasien dengan kejang sederhana merespon
pengobatan awal, termasuk mereka yang akan mengembangkan SE. Faktor yang
paling penting adalah menggunakan obat yang efektif dengan dosis yang tepat.
Terapi dapat dioptimalkan dengan memilih urutan obat yang benar.
Benzodiazepin dianggap sebagai pilihan pertama dalam pengobatan awal kejang
dan SE dalam perawatan darurat pra-rumah sakit. Benzodiazepine meningkatkan
penghambatan reseptor GABA, memiliki onset yang cepat dan efektif pada 79%
pasien SE. Barbiturat meningkatkan penghambatan reseptor GABA. Fenobarbital
adalah salah satu yang paling umum digunakan. Namun, sulit untuk dikelola
karena waktu paruhnya yang panjang. Fenobarbital dan Fenitoin dianggap obat
kelas dua untuk mengobati kejang dan SE, dan biasanya diberikan ketika
benzodiazepin gagal. Efek sampingnya adalah: sedasi, depresi pernafasan, dan
hipotensi. Jadi manajemen jalan napas dan perawatan kardiovaskular harus
dipertimbangkan sebagai prioritas

Fenobarbital adalah obat antiepilepsi yang sering digunakan pada kejang


neonatus, meskipun Fenitoin sama efektifnya. Asam valproat penting dalam SE
refrakter (tahap 2 pada rekomendasi ILAE 2017). Propofol adalah agen anestesi
dengan aktivitas antikonvulsan yang digunakan dalam SE refraktori. Kerugiannya
adalah waktu paruh yang pendek dan metabolisme yang cepat yang dapat
memperburuk kejang. Efek samping utama adalah depresi pernafasan dan
hipotensi karena depresi miokard. Propofol dosis tinggi dalam infus kecepatan
terus menerus harus dibatasi untuk waktu yang singkat, umumnya tidak lebih dari
24-48 jam untuk mencegah sindrom infus Propofol.
KETERANGAN TENTANG KEJANG DAN STATUS EPILEPTIKUS
PADA ANAK

Pasien anak dengan cedera kepala dan 3-8 Glasgow Coma Scale (GCS) berisiko
mengalami kejang dan dianjurkan untuk mencegahnya dengan profilaksis.
Kebanyakan kejang pada pasien anak dan remaja dapat diobati dengan asam
valproat oral. Dewasa muda yang kurang tidur dan minum alkohol dapat
menunjukkan kejang umum di pagi hari. Pada pasien ini, asam valproat adalah
obat yang sangat baik untuk digunakan dalam keadaan darurat.

PELATIHAN ORANG TUA UNTUK MASA DEPAN

Orang tua harus siap untuk mengetahui apa yang harus dilakukan jika anak-anak
mereka menunjukkan kejang. Mereka harus menghubungi nomor darurat jika
kejang berlangsung lebih dari 10 menit, dan jika keadaan pasca kejang
berlangsung lebih dari 30 menit. Orang tua harus memberikan perhatian khusus
kepada anaknya, karena penelitian telah membuktikan bahwa kejang demam
cenderung berulang dalam keluarga.

KESIMPULAN

Kejang dan Status Epileptikus adalah keadaan darurat yang membutuhkan


pengobatan dini dan efektif. Studi lebih lanjut harus fokus pada pengelolaan
kejang pasien anak atau SE melalui perbaikan pengobatan dengan
mempertimbangkan bahwa manajemen jalan napas adalah prioritas pada pasien
anak dengan kejang atau SE. Anak dengan kejang demam pada anamnesis harus
dievaluasi melalui pemeriksaan neurologis dan pemantauan perkembangan
mental, penyebab demam harus selalu diselidiki dan diobati, penyebab kejang
lainnya harus disingkirkan, dan kecemasan orang tua harus dikendalikan.

Anda mungkin juga menyukai