Anda di halaman 1dari 32

BAB II

KAJIAN PUSTAKA TENTANG RESPON, MASYARAKAT,

MUBALIGH DAN DAKWAH

A. Landasan Teoritis

1. Respon

Respons adalah istilah psikologis yang digunakan untuk menyebut

reaksi terhadap rangsangan yang diterima oleh panca indera. Apa yang

mendukung dan menopang ukuran respons adalah sikap, persepsi, dan

partisipasi. Respons terhadap proses tersebut didahului oleh sikap seseorang

karena sikap tersebut adalah kecenderungan atau keinginan untuk

berperilaku dalam menghadapi stimulus tertentu. Jadi, bicarakan tanggapan

atau kurangnya tanggapan terlepas dari sikap diskusi. Respon juga

ditafsirkan sebagai perilaku atau sikap yang memanifestasikan dirinya

sebelum pemahaman rinci, penelitian, pengaruh atau penolakan, suka atau

tidak suka serta penggunaan fenomena tertentu (Sobur, 2003)

Menurut (Mulyani, 2007: 87) secara umum, dapat dikatakan bahwa ada

tiga faktor yang mempengaruhi respons seseorang, yaitu: a) Orang yang

berkepentingan yang melihat dan mencoba memberikan interpretasi tentang

apa dia melihat, dia dipengaruhi oleh sikap, motif, minat, dan harapan. b)

Target respons, dalam bentuk seseorang, objek atau peristiwa. Karakteristik

target umumnya mempengaruhi respons orang-orang yang melihatnya.

Dengan kata lain, gerakan, suara, ukuran, tindakan, dan karakteristik lain

dari target respons juga menentukan penampilan orang. c) Faktor-faktor

situasi, respons dapat dilihat secara kontekstual, yang berarti bahwa dalam
situasi di mana respons terjadi, ia mendapat perhatian. Situasi adalah faktor

yang berperan dalam pelatihan atau respons seseorang.

1.1. Faktor – Faktor yang membentuk respon

Seseorang dapat merespons jika penyebabnya ada. Ini harus

diketahui agar orang yang bersangkutan dapat menjawab dengan benar.

Pada proses awal, individu memegang respon tidak hanya dari stimulus

yang disebabkan oleh keadaan. Tidak semua stimuli kompatibel atau

menarik. Dengan demikian, hal itu akan direspon individu tergantung pada

rangsangannya juga tergantung pada kondisi individu itu sendiri. Dengan

kata lain, stimulus akan mendapatkan pemilihan dan individu akan

bergantung pada 2 faktor, yaitu (Bimo Walsito, 1999: 55):

1. Faktor internal

Itu adalah faktor yang ada dalam diri manusia sendiri mulai dari dua

elemen yaitu spiritual dan fisik. Seseorang yang memiliki respons terhadap

stimulus masih dipengaruhi oleh keberadaan dua elemen ini. Dalam hal

terjadi gangguan hanya pada salah satu elemen, itu akan menimbulkan hasil

tanggapan yang berbeda terhadap intensitas individu yang membuat

tanggapan atau tanggapan akan berbeda dari satu orang ke orang lain.

Elemen fisik atau fisiologis meliputi keberadaan, integritas dan cara kerja

atau mendeteksi organ, saraf, dan bagian otak tertentu. Unsur-unsur

spiritual dan fisiologis yang meliputi keberadaan dan perasaan, akal,

fantasi, perspektif mental, mentalitas, semangat, motivasi, dll.

2. Faktor eksternal

Yaitu faktor-faktor yang ada di lingkungan. Faktor ini adalah

intensitas dan jenis stimulus atau menyebutnya faktor stimulasi. Bimo

Walgito dalam bukunya menyatakan bahwa faktor-faktor psikologis yang


terkait dengan objek menimbulkan rangsangan dan rangsangan akan

mempengaruhi organ sensorik.

1.2. Jenis Respon

Istilah respons dalam komunikasi adalah bahwa kegiatan komunikasi

yang harus memiliki hasil atau setelah komunikasi disebut efek. Aktivitas

komunikasi yang memberi efek dalam bentuk respons komunikasi terhadap

pesan yang dikirimkan oleh komunikator. Menurut Steven M. Chaferespon,

yang dikutip oleh para peneliti dari (Jalaludin Rahmat, 2013: 166) dibagi

menjadi tiga bagian: a) Kognitif: apa yang dimaksud dengan respons

kognitif adalah respons yang terkait erat dengan pengetahuan seseorang dan

informasi tentang sesuatu. Tanggapan ini terjadi ketika ada perubahan

dalam apa yang dipahami oleh publik. b) Afektif: apa yang dimaksud

dengan respons emosional adalah respons yang terkait dengan emosi, sikap,

dan menilai seseorang dalam kaitannya dengan sesuatu. c) Konatif

(psikomotor): apa yang dimaksud dengan psikomotor adalah respons yang

dikaitkan dengan perilaku nyata yang mencakup tindakan atau kebiasaan.

Sebagaimana menurut Agus Sujanto (2004: 31-32), jenis-jenis

respons dibagi menjadi tiga bagian, yaitu : 1) Respon sesuai dengan

indera yang mengamati, yaitu: a) Respon pendengaran, yaitu respon

terhadap apa yang telah didengarnya, baik dalam bentuk suara, kekuatan

dan lain-lain. b) Respons visual, respons terhadap sesuatu yang dilihat. c)

Rasakan respons, yaitu respons terhadap sesuatu yang telah mereka alami.

2) Respon tergantung pada kejadiannya, yaitu: a) Respon terhadap memori,

yaitu respon terhadap sesuatu yang diingat. b) Respons yang fantastis, yaitu

respons terhadap sesuatu yang dibayangkan. c) Respons pikiran, yang

merupakan respons terhadap sesuatu yang dipikirkan seseorang. 3) Respons


sesuai dengan lingkungannya, yaitu: a) Respons objek, yaitu tanggapan

terhadap objek yang mendekati atau berada di dekatnya. b) Respons kata,

yaitu respons terhadap kata-kata yang telah didengar atau dilihat.

1.3. Macam – Macam Respon

Secara umum akibat atau hasil mencakup tiga aspek, yaitu:


Kognitif, Afektif, Konatif. Efek kognitif berhubungan dengan
pengetahuan yang melibatkan proses berfikir, memecahkan masalah, dan
dasar keputusan. Efek afektif berhubungan dengan rasa suka atau tidak
suka, opini, sikap. Sedangkan efek konatif berhubungan dengan perilaku
atau tindakan.Berdasarkan teori yang dikutip dari psikologi komunikasi
karangan Jalaluddin Rahmat. Respon di bagi menjadi tiga yaitu :

1) Respon kognitif terjadi bila ada perubahan pada apa yang


diketahui, dipahami, atau dipersepsi khalayak. Respon ini
berkaitan dengan dengan tranmisi pengetahuan, keterampilan,
kepercayaan atau informasi.

2) Respon afektif timbul bila ada perubahan pada apa yang


dirasakan, disenangi atau dibenci khalayak. Respon ini ada
hubungan dengan emosi, sikap, atau nilai.

3) Respon behavioral merujuk pada perilaku nyata yang dapat


diamati yang meliputi pola-pola tindakan, kegiatan, atau
kebiasaan perilaku.
Pembentukan pola hidup (characterization by a value or value
complex), mencakup kemampuan untuk menghayati nilai-nilaikehidupan
sedemikian rupa, sehingga menjadi milik pribadi(internasionalisasi) dan
menjadi pegangan nyata dan jelasdalam mengataur kehidupannya sendiri.
Dari beberapa respon diatas yang diartikan sebagai tanggapandapat
dibedakan berdasarkan alat indera yang digunakan, menurutterjadinnya
maupun menurut lingkungannya.
2. Teori (Teori SOR)

Teori S-O-R sebagai singkatan dari Stimulus – Organism –


Response ini semula berasal dari psikologi. Kalau kemudian menjadi juga
teori komunikasi, tidak mengherankan, Karena objek material dari
psikologi dan ilmu komunikasi adalah sama, yaitu manusia yang jiwanya
meliputi komponen-komponen: sikap, opini, perilaku, kognisi, afeksi, dan
konasi.

Menurut stimulus response ini, efek yang ditimbulkan adalah reaksi


khusus terhadap stimulus khusus, sehingga seseirang dapat mengharapkan
dan memperkirakan kesesuaian antara pesan dan reaksi komunikasi jadi
unsur-unsur dalam model ini adalah :
a. Pesan (stimulus, S)

b. Komunikasi (Organisasi, O)

c. Efek (Response, R)

Dalam proses komunikasi berkenan dengan perubahan sikap adalah

aspek “how” bukan “what” dan “why”. Jelasnya how to communicate,

dalam hal ini how to change the attitude, bagaimana mengubah sikap

komunikan.

Dalam proses perubahan sikap tampak bahwa sikap dapat berubah

hanya jika stimulus yang menerpa benar-benar melebihi semula.

Prof. Dr. Mar’at dalam bukunya “Sikap Manusia, Perubahan serta

pengukurannya, mengutip pendapat Hovland, Janis, dan Kelly yang

menyatakan bahwa dalam menelaah sikap yang baru ada tiga variable

penting yaitu :

a. Perhatian

b. Pengertian

c. Penerimaan
Apabila digambarkan teori SOR adalah sebagai berikut :

Stimulus Organisme

(Pesan) a. Pengertian
b. Perhatian
c. penerimaan

Response
(perubahan sikap)

Gambar 2.1 Teori SOR

Gambar di atas menunjukan bahwa pesan yang disampaikan


kepada komunikan dapat juga ditolak, komunikasi akan
berlangsung jika komunikan akan menaruh pehatian setelah itu
pengertian, lalu kemampuan komunikan menerima dan mengelola
inilah yang pada melanjutkan ke proses berikutnya yang kemudian
melahirkan respon.
Komponen dalam model S-O-R:
a. Pesan (Stimulus, S)
Stimulus, yaitu berupa rangsangan yang didalamnya
mengandung pesan- pesan atau gagasan.
b. Komunikan (Organisme, O)
Organisme, yaitu individu atau komunikan yang akan menjadi
objek proses komunikasi persuasif. Organisme merupakan
mengolah stimulus tersebut sehingga terjadi kesediaan untuk
bertindak demi stimulus yang telah diterimanya (bersikap).
stimulus atau rangsangan yang akan diterima serta dianggap
oleh khalayak dan diproses melalui tiga tahapan, yaitu:

1) Perhatian (attention)
Perhatian merupakan penyesuaian organ-organ
penginderaan dan sistem syaraf sentra bagi stimulasi
maksimal. Perhatian juga merupakan suatu proses
mereaksi secara istimewa terhadap suatu rangsangan atau
sederet perangsang.
2) Pengertian (understanding)
Pengertian berarti proses memahami atau kemampuan
individu memahami makna atau arti. Seperti, perasaan
suka terhadap titik pandang orang lain.
3) Penerimaan (acceptance)
Penerimaan merupakan pengakuan atau penghargaan
terhadap nilai- nilai individual, tanpa menyertakan
pengakuan terhadap tingkah lakunya atau tanpa
keterkaitan emosional yang terdapat dipihak terapis yang
berangkutan dan biasanya ditandai dengan sikap positif
atau menolak.

c. Efek (Response, R)

Respon, yaitu berupa efek yang akan terjadi sebagai


sebuah akibat dari adanya stimulus. Menurut Djalaludin
Rakhmat, respon adalah suatu kegiatan (activity) dari organisme
itu bukanlah semata-mata suatu gerakan yang positif, setiapjenis
kegiatan (activity) yang ditimbulkan oleh suatu perangsang
dapat jugadisebut respon. Secara umum respon atau tanggapan
dapat diartikan sebagaihasil atau kesan yang didapat (ditinggal)
dari pengamatan tentang subjek,peristiwa atau hubungan-
hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan
menafsirkan pesan-pesan

Jadi, hubungan antara teori S-O-R dengan respon adalah


media massa (televisi) menimbulkan efek yang terarah, segera
dan langsung terhadap komunikan bisa berlangsung secara
positif atau negatif.
3. Masyarakat

3.1. Pengertian Masyarakat


Salah satu definisi dari masyarakat pada awalnya adalah " a union

of families" atau masyarakat merupakan gabungan atau kumpulan dari

keluarga-keluarga. Awal dari masyarakat pun dapat kita katakan berasal

dari hubungan antar individu, kemudian kelompok yang lebih membesar


lagi menjadi suatu kelompok besar orang-orang yang disebut dengan

masyarakat (Khairuddin, 2008).

Masyarakat adalah suatu kesatuan yang selalu berubah yang hidup

karena proses masyarakat. Masyarakat terbentuk melalui hasil interaksi

yang kontinyu antar individu. Dalam kehidupan bermasyarakat selalu

dijumpai saling pengaruh mempengaruhi antar kehidupan individu dengan

kehidupan bermasyarakat (Soetomo, 2009).

Istilah Masyarakat (Society) artinya tidak diberikan ciri-ciri atau

ruang lingkup tertentu yang dapat dijadikan pegangan, untuk mengadakan

suatu analisa secara ilmiah. Istilah masyarakat mencakup masyarakat

sederhana yang buta huruf, sampai pada masyarakat-masyarakat industrial

moderen yang merupakan suatu negara. Istilah masyarakat juga digunakan

untuk menggambar kelompok manusia yang besar, sampai pada kelompok-

kelompok kecil yang terorganisasi (Soekanto, 1983).

Definisi Masyarakat adalah golongan besar atau kecil yang terdiri

dari beberapa manusia yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara

golongan dan pengaruh-mempengaruhi satu sama lain. Istilah Masyarakat

kadang-kadang digunakan dalam artian "gesellaachafi" atau sebagai

asosiasi manusia yang ingin mencapai tujuan-tujuan tertentu yang terbatas

isinya, sehingga direncanakan pembentukan organisasi- organisasi tertentu

(Soekanto, 1983). Masyarakat adalah kelompok manusia yang sengaja

dibentuk secara rasional untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu.

Suatu totalitas dari orang-orang yang saling tergantung dan yang

mengembangkan suatu kebudayaan tersendiri juga disebut masyarakat.

Walaupun penggunaan istilah-istilah masyarakat masih sangat samar-

samar dan umum, akan tetapi hal itu dapat dianggap indikasi dari hakikat
manusia yang senantiasa ingin hidup bersama dengan orang-orang lain.

Bagaimanapun juga penggunaan istilah masyarakat tak akan mungkin

dilepas dari nila-nilai, norma-norma tradisi, kepentingan-kepentingan, dan

lain sebagainya. Oleh karena itu pengertian masyarakat tak mungkin

dipisahkan dari kebudayaan dan kepribadian (Soekanto, 1983).

Berdasarkan pengertian menurut pendapat diatas maka dapat

disimpulkan masyarakat adalah hubungan satu orang/sekelompok orang-

orang yang hidup secara mengelompok maupun individu dan berinteraksi

satu sama lain saling pengaruh dan mempengaruhi menimbulkan

perubahan sosial dalam kehidupan.

3.2. Ciri – Ciri Masyarakat

Suatu masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan bersama

manusia, yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

Manusia yang hidup bersama sekurang-kurangnya terdiri dari

dua orang.

a. Bergaul dalam waktu cukup lama, sebagai akibat hidup bersama

itu, timbul sistem komunikasi dan peraturan-peraturan yang

mengatur hubungan antar manusia.

b. Adanya kesadaran bahwa setiap manusia merupakan bagian dari

suatu kesatuan.

c. Menghasilkan kebudayaan yang mengembangkan kebudayaan

Soekanto, 1983)

3.3. Syarat Fungsional Masyarakat

Suatu masyarakat akan dapat dianalisa dari sudut syarat-

syarat fungsionalnya, yaitu :

a. Fungsi adaptasi yang menyangkut hubungan antara masyarakat


sebagai sistem sosial dengan sub - sistem organisme perilaku dan

dengan dunia fisiko organik. Hal ini secara umum menyangkut

penyesuaian masyarakat terhadap kondisi-kondisi dari lingkungan

hidupnya ( Soekanto, 1983).

b. Fungsi integrasi hal ini mencakup jaminan terhadap koordinasi

yang diperlukan antara unit-unit dari suatu sistem sosial,

khususnya yang berkaitan dengan kontribusi pada organisasi dan

berperannya keseluruhan sistem.

c. Fungsi mempertahankan pola hal ini berkaitan dengan hubungan

antara masyarakat sebagai sistem sosial dengan sub - sistem

kebudayaan. Hal itu, berarti mempertahankan prinsip - prinsip

tertinggi dari masyarakat. Oleh karena itu diorientasikan pada

realita yang terakhir.

d. Fungsi pencapaian tujuan. Hal ini menyangkut hubungan antar

masyarakat sebagai sistem sosial dengan sub - sistem aksi

kepribadian. Fungsi ini menyangkut penentuan tujuan - tujuan yang

sangat penting bagi masyarakat, dan mobilisasi masyarakat untuk

mencapai tujuan- tujuan tersebut.

3.4. Pembagian Masyarakat

Cara terbentuknya masyarakat mendatangkan

pembagian dalam :

a. Masyarakat paksaan, umpamanya negara, masyarakat tawanan,

masyarakat pengungsi atau pelarian dan sebagainya kedalam

(kelompoknya) bersifat Gemeinschaft keluar bersifat

Gesellschaft.

b. Masyarakat merdeka yang terbagi dalam :


1. Masyarakat alam yaitu yang terjadi dengan sendirinya. Suku

golongan atau suku yang bertalian karena darah atau

keturunan umumnya yang masih sederhana sekali

kebudayaannya dalam keadaan terpencil atau tak mudah

berhubungan dengan dunia luar umumnya bersifat

Gemeinschaft.

2. Masyarakat budidaya terdiri karena kepentingan keduniaan

atau kepercayaan (keagamaan) antara lain kongsi

perekonomian, koperasi, gereja dan sebagainya umumnya

bersifat Gessellsechaft (Shadily, 1993).

4. Mubaligh dan Mubaligoh


4.1. Pengertian Mubaligh
Di dalam bahasa arab, kata tablig berasal dari kata kerja ballagha -

yuballighu - tablighan yang berarti menyampaikan sesuatu pengertian

kepada orang lain. Dalam hal ini tentu penyampaian ajaran Islam yang

bersumber dari Al-Quran dan Hadits kepada segenap manusia. orang yang

menyampaikan ajaran tersebut disebut dengan mubalig 9 Secara

gramatikal, kata mubalig merupakan isim fa'il, yang berarti orang yang

menyampaikan ajaran Allah dan rasul kepada orang lain. Subandi

mengemukakan yang dimaksud tabligh adalah penyampaian dan

pemberitaan ajaran Islam kepada umat manusia. 10 Dengan penyampaian

itu maka pemberita menjadi terbebas dari kewajibannya (menyampaikan)

dan pihak penerima menjadi terikat.

Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa

mubalig mempunyai dua arti “(1) pengantar dalam salat berjamaah, yaitu

mengundangkan takbir agar kedengaran oleh makmum (2) orang yang

menyiarkan (menyampaikan) ajaran agama Islam Pemahaman mengenai


mubalig pada dasarnya tidaklah asing bagi kita, selain kita pun terlebih

dahulu banyak tahu mengenai definisi mubalig, kita pun merupakan

seorang yang diperintahkan Allah SWT untuk menyampaikan ajaran Islam

kepada segenap manusia lainnya. Jadi pada intinya kita adalah seorang

mubalig. Mubalig dalam arti luas mempunyai pengertian setiap orang yang

mampu menyampaikan ajaran kepada orang lain.

4.2. Peranan dan Fungsi Mubaligh

Peranan secara umum dapat diartikan bagian yang dimainkan

seorang pemain atau tindakan yang dilakukan seorang dalam suatu

peristiwa Menurut Abu Ahmadi peranan adalah suatu kompleks

pengharapan manusia terhadap caranya individu harus bersikap dan

berbuat dalam situasi tertentu berdasarkan status dan fungsi sosialnya.

Begitu pula bila dikaitkan dengan mubalig berdasarkan status dan fungsi

sosialnya di masyarakat yaitu menyampaikan ajaran Islam kepada umat,

agar umat mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Menurut Helmy, ada 3 faktor yang menjadi peranan mubalig, yaitu:

a. Seorang mubalig ibarat seorang pedagang yang untuk mencapai

kesuksesannya harus; mengetahui dan menguasai keadaan dan

sifatsifat masyarakat dan memiliki kecakapan dalam

menyampaikan apa yang akan ia sampaikan.

b. Seorang mubalig harus berperan sebagai dokter dimana dia

harus mengetahui nama penyakit pasien, menentukan obat yang

tepat, dan mengerti cara menggunakan alat kedokteran.

c. Mubalig di ibaratkan sebagai seorang petani, ia harus

mengetahui macam dan sifat tanah yang akan ditanami memilih

benih yang sesuai dengan tanah, dan mengetahui cara


menyebar, menanam dan memelihara.

Disamping adanya peranan mubalig yang harus dijalankan, ia pun

mempunyai fungsi yang sangat menentukan. Menurut Yaqub fungsi

mubalig itu antara lain:

a) Meluruskan i'tikad. Tidak sedikit dalam kepercayaan

masyarakat adanya I'tikad yang menyalahi tuntunan Allah dan

Rasul-Nya seperti kepercayaan syirik atau menduakan Allah

serta hal-hal lain yang keluar dari ajaran Islam. dalam hal ini

mubalig bertugas untuk mengembalikan kepercayaan umat atau

membersihkan syirik di hati mereka.

b) Mendorong dan merangsang untuk beramal. Seseorang akan

terdorong hatinya untuk melaksanakan shalat, zakat, puasa atau

ibadah yang lainnya. Jika ia menyadari betul betapa nikmatnya

ibadah itu dan nikmatnya melaksanakan perintah- perintah

Allah itu. Dalam hal ini mubalig harus mengemukakan

argument yang mantap, ramah dan juga terarah yang dapat

menimbulkan gairah untuk beramal.

c) Membersihkan jiwa. Tidak cukup manusia disebut baik dalam

lahiriahnya saja, sedangkan batinnya kotor. Karena itu mubalig

bertugas memberikan santapan rohani untuk kebersihan jiwa

umat dari berbagai penyakit, seperrti hasud, iri, dengki dan lain

sebagainya yang merupakan penyakit hati.

d) Mengokohkan pribadi. Kepribadian adalah psychis yang

dimanifestasikan oleh individu dalam berhubungan dengan

lingkungannya. Tujuan mubalig mengokohkan kepribadian

adalah untuk mengisi atau mengisi kepribadiannya agar


diwarnai dengan nilai-nilai agama.

e) Mengokohkan pribadi. Kepribadian adalah psychis yang

dimanifestasikan oleh individu dalam berhubungan dengan

lingkungannya. Tujuan mubalig mengokohkan kepribadian

adalah untuk mengisi atau mengisi kepribadiannya agar

diwarnai dengan nilai-nilai agama.

f) Membina persatuan dan persaudaraan. Membina persatuan dan

persaudaraan dalam masyarakat adalah kebutuhan primer bagi

umat untuk menjamin ketentraman dan mencapai kemajuan.

g) Menolak kebudayaan yang datang dari luar Islam yang akan

mengakibatkan hancurnya etika umat Islam, karena sedikit

budaya yang mampu membuat budaya orang Islam lupa akan

siapa dirinya.

Disamping itu, Helmy menguraikan bahwa mubalig adalah sebagai

juru penerang yang meliputi :

a) Mubalig dengan tablighnya yang terarah merupakan alat yang

ampuh untuk menimbulkan partisifasi masyarakat dalam

meyakinkan mereka.

b) Sesungguhnya mubalig menghadapi masalah-masalah yang

lebih sulit sehingga bagi mereka diperlukan syarat-syarat

khusus yang disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi

c) Mubalig sudah semestinya menjelaskan tentang hakikat Islam

d) Mubalig sebagai pemimpin agama memegang peranan penting

dalam menghidupkan dan menumbuhkan partisifasi umat yang

didasarkan atas kesadaran dan keyakinan.


5. Dakwah

5.1. Pengertian Dakwah

Dakwah adalah upaya memanggil, menyeru dan mengajak manusia

menuju jalan Allah SWT atau ajakan kepada agama-Nya yaitu Islam.

Pemahaman ini sejalan dengan penjelasan Allah dalam Q.S Yusuf ayat 108

ِ َ‫ض َّل فَِإنَّ َما ي‬


‫ضلُّ َعلَ ْيهَا‬ ُّ ‫قُلْ يَآَأيُّهَا النَّاسُ قَ ْد َجآ َء ُك ُم ْال َح‬
َ ‫ق ِمن َّربِّ ُك ْم فَ َم ِن ا ْهتَدَى فَِإنَّ َما يَ ْهتَ ِدى لِنَ ْف ِس ِه َو َمن‬

ٍ ‫َو َمآَأنَا َعلَ ْي ُك ْم بِ َو ِك‬


‫يل‬

"Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang

mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata,

Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik."

(Depag RI 2007: 248)

Dalam pandangan Ibn Taimiyah, dakwah dalam arti seruan kepada

al-Islam itu adalah seruan untuk beriman kepada-Nya dan pada ajaran yang

dibawa para utusan-Nya, membenarkan berita yang mereka sampaikan, dan

menurutiti perintab Nya.

Sedangkan dalam pandangan Syaikh Ali Mahfuzh Muhammad

Abduh dalam buku Quanturm Dakwah (Sukayat, 2009. 1-3) memberi

batasan mengenai dakwah sebagai: "membangkitkan kesadaran manusia di

atas kebaikan dan bimbingan, menyuruh berbuat makruf dan mencegah

dari perbuatan yang keberuntungan, mungkar, supaya mereka memperoleh

kebahagiaan di dunia dan di akhirat".

Dalam pendekatan psikologi komunikasi melihat aktivitas dakwah

sebagai proses membangkitkan motivasi untuk melakukan sesuatu tindakan

yang dinilai benar menurut ajaran. Aktivitas dakwah menargetkan terjadinya

perubahan, baik individu, maupun kelompok penggunaan berbagai saluran,


termasuk pemilihan bahasa dan logika yang digunakan, pemanfaatan media

cetak ataupun elektronik, serta beragam media sosial lainnnya, dimaksudkan

untuk mempermudah proses perubahan tersebut. Proses dakwah sendiri pada

dasarnya merupakan komunikasi sosial yang dilakukan untuk melakukan

perubahan. (Muhtadi, 2012: 45)

Dakwah mempunyai tujuan umum, yaitu sesuatu yang hendak

dicapai dalam seluruh aktivitas dakwah, salah satunya adalah

tersampaikannya pesan atau gagasan kepada khalayak. Untuk mencapai

tujuan tersebut, maka seorang juru dakwah harus memiliki metode atau

teknik. Pada zaman seperti saat ini, dipandang perlu untuk melakukan

inovasi dalam teknik dakwah salah satunya berdakwah menggunakan

melalui Sinetron.

a. Pengertian Pesan Dakwah

Pesan menurut kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1999: 761),

memiliki arti perintah, nasihat, permintaan, amanat yang disampaikan lewat

orang lain. Sedangkan dalam sudut pandang komunikasi pesan diartikan,

“apa yang dikomunikasikan oleh sumber kepada penerima. Pengertian ini

berdasakan kepada lima unsur komunikasi Lasswell yang salahsatu unsur

tersebut adalah pesan” (Deddy Mulyana, 2005:63). Pesan disini merupakan

seperangkat symbol verbal atau nonverbal yang mewakili perasaan, nilai,

gagasan dan apa yang dimaksud oleh sumber.

Dalam sudut pandang ilmu dakwah, pesan (maudhu) adalah suatu

materu atau segala sesuatu yang disampaikan da’i (subjek dakwah) kepada

mad’u (objek dakwah), yang mana pesan tersebut berisi keseluruhan ajaran

Islam yang ada di dalam kitabullah maupun sunnah Rasulullah. Atau disebut

juga al-haq (kebenaran yang hakiki) yaitu al-Islam yang bersumber dari Al-
Qur’an (Enjang AS dan Aliyudin, 2009: 80). Dalam Al-Qur’an Allah SWT

berfirman mengenai makna pesan dalam QS. Al-Isra ayat 105 :

َ z‫ ا‬zَ‫ ن‬z‫ ْل‬z‫ َس‬z‫ر‬zْ ‫ َأ‬z‫ ا‬z‫ َم‬z‫ َو‬zۗ z‫ َل‬z‫ َز‬zَ‫ ن‬zِّz‫ ق‬z‫ح‬zَ z‫ ْل‬z‫ ا‬zِ‫ ب‬z‫و‬zَ zُ‫ه‬z‫ ا‬zَ‫ ن‬z‫ ْل‬z‫ َز‬z‫ َأ ْن‬zِّz‫ ق‬z‫ح‬zَ z‫ ْل‬z‫ ا‬zِ‫ ب‬z‫َو‬
z‫ ا‬z‫ ًر‬z‫ ي‬z‫ ِذ‬zَ‫ ن‬z‫و‬zَ z‫ ا‬z‫ ًر‬z‫ ِّش‬zَ‫ ب‬z‫ ِإ اَّل ُم‬z‫ك‬

Dan Kami turunkan (Al Quran) itu dengan sebenar-benarnya dan Al Quran

itu telah turun dengan (membawa) kebenaran. Dan Kami tidak mengutus

kamu, melainkan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi

peringatan. (Depag RI, 2012: 283).

Kata dakwah sendiri, secara bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu

dari kata da’a – yad’u – da’watan, yang berarti seruan, panggilan, undangan

atau do’a. sedangkan untuk memahami pengertian dakwah secara istilah,

dapat mengambil isyarat dari salahsatu ayat Al-Qur’an surat An- Nahl ayat

125 :

z‫ ِإ َّن‬zۚ z‫ن‬zُ z‫ َس‬z‫ح‬zْ ‫ َأ‬z‫ي‬


zَ z‫ ِه‬z‫ ي‬zِ‫ ت‬zَّ‫ل‬z‫ ا‬zِ‫ ب‬z‫ ْم‬zُ‫ ه‬z‫ ْل‬z‫ ِد‬z‫ ا‬z‫ج‬zَ z‫و‬zَ zۖ z‫ ِة‬zَ‫ ن‬z‫ َس‬z‫ح‬zَ z‫ ْل‬z‫ ا‬z‫ ِة‬z‫ظ‬
َ z‫ع‬zِ z‫و‬zْ z‫ َم‬z‫ ْل‬z‫ ا‬z‫ َو‬z‫ ِة‬z‫ َم‬z‫ ْك‬z‫ح‬zِ z‫ ْل‬z‫ ا‬zِ‫ ب‬z‫ك‬
َ zِّz‫ ب‬z‫ َر‬z‫ ِل‬z‫ ي‬zِ‫ ب‬z‫ َس‬z‫ى‬zٰ zَ‫ ِإ ل‬z‫ع‬
ُ z‫ ْد‬z‫ا‬

z‫ َن‬z‫ ي‬z‫ ِد‬zَ‫ ت‬z‫ ْه‬z‫ ُم‬z‫ ْل‬z‫ ا‬zِ‫ ب‬z‫ ُم‬zَ‫ ل‬z‫ َأ ْع‬z‫و‬zَ zُ‫ ه‬z‫و‬zَ zۖ z‫ ِه‬zِ‫ل‬z‫ ي‬zِ‫ ب‬z‫ َس‬z‫ن‬zْ z‫ َع‬zَّz‫ ل‬z‫ض‬
َ z‫ن‬zْ z‫ َم‬zِ‫ ب‬z‫ ُم‬zَ‫ ل‬z‫ َأ ْع‬z‫ َو‬zُ‫ ه‬z‫ك‬
َ zَّz‫ ب‬z‫َر‬

“serulah manusia kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran

yang baik, dan bantahlah dengan cara yang baik pula. Sesungguhnya

Tuhan-mu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari

jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui tentang orang-orang yang

menadapat petunjuk”

Berdasarkan ayat diatas, dipahami bahwa pesan dakwah adalah apa

yang dikomunikasikan kepada khalayak untuk mengajak manusia tersebut

kepada jalan Allah (sisitem Islam) secara menyeluruh, baik dengan lisan,

tulisan maupun dengan perbuatan sebagai ikhtiar seorang muslim

mewujudkan nilai-nilai ajaran Islam dalam realitas kehidupan pribadi,

keluarga dan masyarakat dalam semua segi kehidupan secara menyeluruh


sehingga terwujud khairul ummah (masyarakat madani). (Enjang AS. dan

Aliyudin, 2009: 5)

Berdasarkan dari uraian diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

yang disebut pesan dakwah yaitu seluruh ajaran Islam yang sering disebut

juga syari’at Islam. Ajaran Islam sebagai kebenaran hakiki yang diturunkan

Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Dan pada ayat

diatas, dalam QS. An-Nahl ayat 125, pesan dakwah disebut sebagai sabili

rabbika (jalan Tuhan). (Enjang dan Aliyudin, 2009: 81)

b. Unsur-Unsur Pesan Dakwah

Menurut Wahyu Illahi, dalam komunikasi dakwah pesan terdiri atas

lambang, akan tetapi lambang yang digunakan dalam komunikasi dakwah

bisa bermacam-macam. Lambang yang biasa digunakan ialah bahasa,

gambar visual dan lain sebagainya.

Seperti halnya pesan dakwah dalam sebuah dongeng, penyiar

dongeng menuangkan pesan-pesan tersebut dalam symbol-simbol verbal

berupa kata-kata dan bahasa yang diucapkan. Dalam hal ini symbol

terpenting adalah bahasa, karea hanya bahasalah yang dapat

mengungkapkan pikiran dan perasaan, fakta dan opini, dan hal yang konkret

maupun abstrak.

Dakwah dalam prosesnya akan melibatkan unsur-unsur dakwah itu

sendiri yang berbentuk secara sistematik, dalam arti akan berkaitan antara

unsur yang satu dengan unsur yang lainnya. Unsur dakwah artinya berbagai

elemen penting yang harus ada sebagai proses dakwah itu sendiri. Secara

sederhana, Enjang dan Aliyudin (2009: 73) merumuskan unsur-unsur

dakwah tersebut kedalam skema sebagai berikut :

1. Da’i (subjek dakwah)


2. Pesan dakwah (maudhu)

3. Metode dakwah (uslub)

4. Media dakwah (wasilah)

5. Mad’u (objek dakwah)

Berikut adalah penjelasan dari masing-masing unsur dakwah tersebut :

1) Da’i (Subjek Dakwah)

Dalam Kamus Bahasa Indonesia (KBBI), da’i diartikan sebagai

orang yang memiliki kegiatan berdakwah, pendakwah, melalui kegiatan

para da’i menyebarluasakan ajaran Islam. Jadi da’i adalah orang yang

mengajak orang lain kepada jalan Allah baik secara langsung ataupun tidak

langsung, melalui lisan, tulisan dan perbuatan untuk mengamalkan ajaran-

ajaran Islam atau menyebarluaskan ajaran Islam. Da’i dalam posisi ini

disebut subjek dakwah, yaitu pelaku dakwah yang sennantiasa aktif

menyebarluaskan misi teologis Islam. (Enjang dan Aliyudin, 2009, 74)

Moh. Ali Aziz mengatakan bahwa pendakwah adalah orang yang

melakukan dakwah. Dalam ilmu komunikasi da’i adalah komunikator, yaitu

orang yang menyampaikan pesan komunikasi kepada komunikan atau

penerima pesan. Karena dakwah dapat dilakukan dengan tulisan, lisan,

maupun perbuatan, maka penulis keislaman, penceramah, mubaligh, guru

ngaji dan sejenisnya bisa dikatakan sebagai Da’i.

Keefektifan komunikasi dakwah tidak saja ditentukan oleh

kemampuan berkomunikasi, tetapi juga oleh diri komunikator. Fungsi da’i

sebagai komunikator dalam mengutarakan pemikiran dan perasaannya

dalam bentuk pesan untuk membuat mad’u sebagai komunikan menjadi tahu

dan berubah sikap, pendapat, dan perilakunya. (Wahyu Ilahi, 2010 : 77)

2) Maudu (Pesan Dakwah)


Dalam konteks Ilmu komunikasi pesan dakwah adalah message,

yaitu symbol-simbol yang verbal dan nonverbal. Pada dasarnya yang

menjadi materi atau pesan dakwah adalah al-Islam itu sendiri, sebab

semuanya ajaran Islam dapat dijadikan pesan dakwah. Maka maudu atau

pesan dakwah adalah seluruh ajaran islam yang lajim disebut syari’at Islam.

(Ali Aziz,2004:318)

3) Uslub (Metode Dakwah)

Menurut Nasrudin Razak sebagaimana dikutip Tata Sukayat

(2009:35), bahwa berdakwah tidak akan efektif tanpa adanya metode yang

pas untuk digunakan. Secara teoritis Al-Qur’an menawarkan metode yang

tepat dalam menegakan dakwah, yaitu dengan cara bijaksana (hikmah),

nasihat yang baik (al-mauidzah al-hasanah) dan berdiskusi yang baik

(mujadalah). Metode ini merupakan cara ampuh dalam menjalankan

dakwah bagi seorang da’i yang profesioanal dan objektif.

Metode dakwah pada dasarnya berpijak pada dua aktivitas, yaitu

aktivitas lisan/tulisan dan aktivitas badan/perbuatan. Dalam tataran teknis

aktivitas lisan dalam menyampaikan pesan dakwah dapat melalui ceramah,

diskusi, debat, dialog, petuah, nasihat, wasiat, ta’lim, peringatan, dan

sejenisnya. Sedangkan dalam melakukan dakwah melaui tulisan dapat

melalui media cetak seperti buku, majalah, Koran, pamphlet, dan

sejenisnya. Selanjutnya dalam menyampaikan pesan dakwah melalui badan

dapat berupa aksi amal sholeh, contohnya menolong, pengobatan,

pemberdayaan sumber daya manusia, lingkungan, penataan organisasi atau

lembaga keislaman.

4) Washilah (Media Dakwah)


Yaitu alat dalam menyampaikan pesan dakwah yang dilakukan da’i

kepada mad’u. ketika media dakwah adalah alat dakwah, maka bentuknya

adalah alat komunikasi. Akan tetai ada sarana lain selain alat komunikasi

tersebut, seperti tempat, infrastruktur, mesin, tempat duduk, alat tulis dan

sebagainya (Ali Aziz, 2012: 405-406)

Sekarang ini media dakwah semakin beragam, dari media tradisional

sampai ke media modern. Media tradisonal semisal mimbar, kentongan,

beduk, pagelaran seni dan sejenisnya. Sedangkan media dakwah modern

misalnya; surat kabar, majalah, buku, radio, film, televise, sinetron dan

sejenisnya. Semua itu dapat diklasifikasikan sebagai media dakwah baik

tulisan atau cetak, visual, audio, maupun audiovisual (Wahyu Ilaihi, 2010:

104).

Pada prinsipnya media dakwah adalah berbagai alat, sarana yang

dapat digunakan untuk pengembangan dakwah Ilam yang mengacu pada

kultur masyarakat dari yang tradisional sampai modern (Enjang dan

Aliyudin, 2009: 95-96).

5) Mad’u (Objek Dakwah)

Mad’u artinya objek dakwah yang diajak oleh da’i menuju jalan

Allah. Secara Istilah, menurut Al-Bayanuni seperti yang dikutip Tata

Sukayat (209:28), mengatakan bahwa: “Mad’u adalah objek dakwah, yaitu

manusia universal baik dalam jarak dekat maupun jauh, baik muslim

ataupun kafir, baik laki-laki maupun perempuan”

Karena Islam bersifat universal, maka objek dalwahpun adalah

manusia secara universal termasuk diri da’i itu sendiri. Manusia tidak hidup

sendiri tetapi membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya.


Dalam arti, manusia selalu membutuhkan orang lain dalam memenuhi

kebutuhan hidupnya sebagai makhluk yang beradab dan berbudaya.

c. Tujuan Dan Fungsi Pesan Dakwah

Dakwah hendaknya diarahkan pada pembentukan masyarakat baru

yang lebih relevan dengan ajaran Islam. Artinya mampu merubah

masyarakat yang mempunyai pemikiran sekuralis kapitalistik menjadi

masyarakat yang menganut agama Islam.

Dalam Al-Qur’an yang menyebutkan tentang tujuan pesan dakwah

terdapat dalam QS. Yusuf ayat 108

zِ zَ‫ ب‬z‫ى‬zٰ zَ‫ ل‬z‫ َع‬zۚ zِ ‫ هَّللا‬z‫ ى‬zَ‫ ِإ ل‬z‫ و‬z‫ ُع‬z‫ َأ ْد‬z‫ ي‬zِ‫ل‬z‫ ي‬zِ‫ ب‬z‫ َس‬z‫ ِه‬z‫ ِذ‬zَ‫ ٰه‬z‫ل‬zْ zُ‫ق‬
z‫ ا‬z‫ َم‬z‫و‬zَ zِ ‫ هَّللا‬z‫ن‬zَ z‫ ا‬z‫ح‬zَ z‫ ْب‬z‫ ُس‬z‫ َو‬zۖ z‫ ي‬zِ‫ ن‬z‫ َع‬zَ‫ ب‬zَّ‫ت‬z‫ ا‬z‫ ِن‬z‫ َم‬z‫ َو‬z‫ ا‬zَ‫ َأ ن‬z‫ ٍة‬z‫ َر‬z‫ ي‬z‫ص‬

z‫ َن‬z‫ ي‬z‫ ِك‬z‫ ِر‬z‫ ْش‬z‫ ُم‬z‫ ْل‬z‫ ا‬z‫ن‬zَ z‫ ِم‬z‫ ا‬zَ‫َأ ن‬

“Katakanlah, Inilah jalan (Agamaku)Ku, aku dan orang-orang yang

mengikutiku mengajak kamu kepada Allah dengan hujjah yang nyata, maha

suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik.” (Depag RI,

2012: 238)

Menurut ayat diatas, salahsatu tujuan dakwah membentangkan jalan

Allah diatas bumi agar dilalui umat manusia. Dari ayat diatas Abdul Rasyid

Shaleh membagi tujuan dakwah menjadi dua bagian, yaitu tujuan utama

dakwah (ultimate goal) dan tujuan depertemental (intermediate goal).

(Enjang dan Aliyudin, 2009:98).

Sedangkan menurut Syukriadi Sambas yang dikutip oleh Enjang dan

Aliyudin (2009 :100) menjelaskan tujuan dakwah yang mengacu kepada Al-

Qur’an yaitu sebagai berikut :

1. Membebaskan manusia dari kegelapan hidup (zhulumat) kepada

jalan yang terang (nur).


2. Menegakan Shibghah Allah (celupan hidup dari Allah) dalam

kehidupan makhluk, yaitu suatu hidup yang dilandasi dengan

iman kepada Allah.

3. Menegakan fitrah insaniyah (kesucian manusia) yaitu berupa

tauhidullah, menjalankan fungsi manusia sebagai hamba dan

khalifah Allah.

4. Mengutamakan ibadah manusia sebagai hamba Allah yang

menjadi aktualisasi fitrahnya.

5. Meneruskan estafeta kenabian dan kerosulan.

6. Menegakan dan memelihara agama, jiwa, akal, generasi dan

sarana hidup.

Sementara fungsi dari dakwah itu sendiri yaitu memberikan jalan

agar manusia tidak tersesat dalam kehidupan didunia ini. Tanpa adanya

Islam umat Islam akan kehilangan arah dalam hidup ini. Dengan diutusnya

nabi Muhammad SAW. sebagai rahmat bagi seluruh alam, tidak hanya umat

Islam saja, Nabi Muhammad menunjukan jalan keselamatan bagi seluruh

makhuk seluruh manusia yang ada di muka bumi ini. Pertama, fungsi

dakwah sabagai sebuah petunjuk, mutlak dilakukan berdakwah agar umat

manusia khususnya umat Islam tidak tersesat dan juga penyejuk dalam

hidup. Karena Isla mengajarkan kedamaian dan kebenaran. Kedua, dengan

berdakwah maka ajaran Islam atau syariat Islam akan menyebar kesuluruh

penjuru dunia. Jika dakwah tidak dilakukan, maka tidak menutup

kemungkinan agama Islam akan lenyap di muka bumi ini. Ketiga, jika

dakwah terus dilakukan maka otomatis meregenerasi da’i selanjutnya.

Karena dakwah Islam berfungsi sebagai estafet bagi peradaban umat

manusia. (Ali Aziz, 2012: 113-116).


d. Dakwah dengan Media Televisi

Ketika media dakwah berarti alat dakwah, maka bentuknya adalah

alat komunikasi.. akan tetapi ada sarana lain selain alat komunikasi tersebut,

seperti tempat, infrastruktur, mesin, tempat duduk, alat tulis, alat

perkantoran, dan sebagainya. Sarana-sarana tersebut dapat dikelompokan

sebagai logistik dakwah. Logistik dakwah juga mencakup keuangan

dakwah. (Ali Aziz, 2012: 405).

Dakwah, pada dasarnya dimaksudnya untuk mempengaruhi orang

lain agar mampu melakukan perubahan, baik pikiran, perilaku, ataupun

kegiatan lainnya. Dalam hal ini cara berdakwah harus bisa efektif dan

efisien, salahsatunya yaitu berdakwah melalui media televisi.

Televisi memiliki kelebihan dalam menyampaikan pesan dakwah

yaitu sebagai berikut :

1) Dapat dilihat dan didengar oleh kelompok yang relative banyak.

2) Dapat mencapai lapisan masyarakat tertentu.

3) Jangkauan yang sangat luas.

4) Proporsi waktu untuk show lebih banyak.

Kelebihan lain yang dimiliki telivisi lainnya yaitu kemampuan menyajikan

berbagai kebutuhan manusia baik hiburan, informasi, bahkan pendidikan

dengan hasil yang memuaskan.

B. Landasan Filosofis tentang Dakwah

Dakwah merupakan kewajiban bagi seluruh kaum muslim, dengan

mengacu kepada perintah Allah dalam Al Qur‟an dan Sunah Rasulullah

adapaun landasan kewajiban melaksanakan dakwah itu tertera dalam

AlQur‟an:. Dasar hukum kewajiban dakwah tersebut banyak disebutkan

dalam Al Qur`an dan Al Hadits.


a. Qs Surat Ali Imran ayat 104

Artinya: ”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang

menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah

dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.”

b. Qs Ali Imran Ayat 110

Artinya: “kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untu manusia,

menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan

beriman kepada Allah SWT. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih

baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan

mereka adalah orang- orang yang fasik (Qs Ali Imran 110)

c. Hadist Nabi Riwayat Bukhori

Artinya: “Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat.” (HR. Al

Bukhari).

Maksud kalimat ‫ ولو آية‬adalah walau hanya satu ayat, hendaknya setiap

orang yang mendengarnya bersegera menyampaikan ilmu yang dia


terima walaupun sedikit, agar semua ilmu yang datang dari Nabi

shallallahu alaihi wa sallam terus bersambung.

d. Hadist Nabi Riwayat Muslim

Artinya: “Dari Abu Sa‟id Al-Khudri radhiyallahu „anhu, ia berkata, “Aku

mendengar Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, „Barangsiapa

dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak

bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya,

dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim, no. 49)

Dengan demikian dapat difahami bahwa berdakwah merupakan

kewajiban bagi setiap muslim baik secara individu maupun kelompok sesuai

dengan tingakat kemampuannya masing-masing.

C. Landasan Teologis Tentang Dakwah – Kewahyuan

a. Qs Annahl ayat 125


Artinya: ”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan

pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.

Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang

tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang

yang mendapat petunjuk. (Qs Annahl 125).

Kata ud`u yang diterjemahkan dengan seruan dan ajakan adalah fi`il amr

yang menurut kaidah ushul fiqh setiap fi`il amr adalah perintah dan

setiap perintah adalah wajib dan harus dilaksanakan, selama tidak ada

dalil lain yang memalingkannya dari kewajiban itu kepada sunnah atau

hukum lain. Jadi,

melaksanakan dakwah hukumnya wajib karena tidak ada dalil – dalil

lain yang memalingkannya dari kewajiban itu dan hal ini disepakati oleh

para ulama.

Ayat tersebut biasanya dikategorikan sebagai ayat metode dakwah.

Di dalamnya menancapkan prinsip-prinsip metodelogi dakwah karena

memberikan kerangka normatif bagaimana metode dakwah sebaiknya

diterapkan. Kata ‘hasanah’ maupun ‘ahsan’ mengisyaratkan bahwa seorang

dai harus menjunngjung tinggi norma kebaikan, kepatutan dan kepantasan

dalam menggunakan metode dakwah. Adanya ciri hasanah yang melekat

pada metode dakwah merefleksikan bahwa mungkin saja dakwah seorang

dai nasihatnya tidak baik, terasa terlalu keras, menyinggung, merendahkan

atau gaya berdebatnya agak emosional, berorientasi pada mencari

kemenangan bukan mencari kebenaran.

Dalam menerapkan suatu metode dakwah, etika menuntut agar

seorang dai memperhatikan standar kebaikan apa yang perlu diacu dalam

dakwahnya. Misalnya dalam mauizhah, dikatakan baik bila dengan nasihat


itu mampu mengenai sasaran. Ini tidak mudah, kecuali ucapan yang

disampaikan disertai dengan pengalaman dan keteladanan dari yang

menyampaikannya. Kalau tidak, hal tersebut merupakan suatu yang buruk,

yang seharusnya dihindari. Disisi lain, karena mauizhah biasanya bertujuan

mencegah sasaran dan sesuatu yang kurang baik, dan ini dapat mengundang

emosi, baik dari yang menyampaikan maupun yang menerimanya, maka

mauizhah sangat perlu untuk mengingatkan kebaikannya.

Demikian pula dalam mujadalah, dapat diklasifikasikan menjadi tiga

kategori: (1) Mujadalah yang Buruk, yaitu yang disampaikan dengan

kasar, mengundang kemarahan lawan, serta yang menggunakan dalil-dalil

yang tidak benar. (2) Mujadalah yang Baik, adalah yang disampaikan

dengan sopan serta menggunakan dalil-dalil atau dalil yang diakui oleh

lawan. Sedangkan (3) Mujadalah yang Terbaik, adalah yang disampaikan

dengan baik, dengan argumentasi yang benar, serta membungkam lawan.

b. Contoh kaidah Dakwah para Rosul

Berikut adalah beberapa kaidah dakwah para Rasul menurut Aziz

(2010: 136), yakni:

1. Menjelaskan dengan argument bukan dengan kekerasan, dengan bukti

bukan dengan paksaan, dengan yang baik bukan dengan gertakan.

2. Menghadapi berbagai tuduhan yang disebarkan dengan memfungsikan

akal dan menegakkan dalil, dengan berbagai cara dalam bentuk yang

beragam sesuai dengan tingkat pemikiran audiens, hingga tidak ada satu

sisipun yang diragukan.

3. Menggunakan metode targhib (membuat senang) dan tarhib

(menakutnakuti) di dalam dakwah dengan penyampaian yang mantap.


4. Menampakkan keteladanan yang baik dan menyampaikan contohcontoh

dari Al-Qur’an, agar akhlak seseorang sesuai dengan nilai-nilai yang

tercantum di dalamnya.

c. Tujuh kode etik dalam berdakwah

Pada 1996, Ittihadul Muballighin, organisasi para mubaligh yang

dipimpin KH Syukron Ma’mun menyelenggarakan musyawarah nasional

(munas). Salah satu keputusan penting yang diambil dalam munas itu

adalah merumuskan kode etik dakwah untuk para dai. Keputusan ini

diambil karena pada waktu itu mulai muncul dai walakedu (ju[w]al

agama kejar duit). Rumusan kode etik itu diharapkan dapat menjadi

pedoman para dai atau mubaligh dalam menjalankan dakwahnya

sehingga mereka dapat mewarisi tugas para nabi, bukan justru mendapat

laknat dari Allah SWT dalam berdakwah.

Berikut adalah rumusan kode etik dalam berdakwah menurut Prof

KH Ali Mustafa Yaqub MA:

Kode etik pertama, tidak memisahkan antara perbuatan dan

ucapan. Kode ini diambil dari Alquran surah al-Shaff ayat 2-3. “Hai

orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan hal-hal yang

kalian tidak melakukannya? Amat besar murka di sisi Allah SWT karena

kalian mengatakan hal-hal yang tidak kalian kerjakan.” Kode pertama ini

juga diambil dari perilaku Rasulullah SAW di mana secara umum beliau

tidak memerintahkan sesuatu, kecuali beliau melakukannya.

Kode etik kedua, tidak melakukan toleransi agama. Toleransi

antarumat beragama memang sangat dianjurkan sebatas tidak

menyangkut masalah Aqidah dan ibadah. Dalam masalah keduniaan

(muamalah), Islam sangat menganjurkan adanya toleransi. Bahkan, Nabi


SAW banyak memberikan contoh tentang hal itu, sementara toleransi

dalam Aqidah dan ibadah dilarang dalam Islam. Hal itu berdasarkan

firman Allah SWT dalam surah al-Kafirun ayat 6, “Bagi kamu agama

kamu dan bagiku agamaku.” Dalam Hadis Riwayat Imam ibn Hisyam

juga disebutkan, “Orang-orang Yahudi Kabilah Bani Auf adalah satu

bangsa bersama orang-orang mukmin, bagi orang-orang Yahudi agama

mereka dan bagi orang-orang mukmin agama mereka.”

Kode etik ketiga, tidak mencerca sesembahan agama lain. Ini

diambil dari surah al-An’am ayat 108. “Dan, janganlah kamu memaki

sesembahan yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan

memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”

Kode etik keempat, tidak melakukan diskriminasi. Ketika Nabi

SAW masih berada di Makkah dan mengajarkan Islam kepada orang-

orang miskin, antara lain, Bilal al-Habsyi, Shuhaib al-Rumi, Salman al-

Farisi, dan lain-lain, tiba-tiba datang kepada Nabi SAW sejumlah tokoh

bangsawan Quraisy yang juga hendak belajar Islam dari beliau. Namun,

bangsawan Quraisy ini tidak mau berdampingan dengan rakyat kecil.

Mereka minta kepada Nabi SAW untuk mengusir Bilal dan

kawankawannya itu. Nabi kemudian menyetujui permintaan tersebut,

namun akhirnya Allah menurunkan ayat yang mengkritik perilaku Nabi

itu, yaitu surah al-An’am ayat 52. “Dan, janganlah kamu mengusir orang-

orang yang selalu menyembah Tuhannya pada pagi hari dan petang

sedangkan mereka menghendaki keridaan-Nya. Kamu tidak memikul

tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatan mereka dan mereka tidak

memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatan kamu yang


menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, Sehingga kamu termasuk

orang-orang zalim.

Kode etik kelima, tidak memungut imbalan. Kode ini diambil

antara lain dari Alquran surah Saba’ ayat 47. “Katakanlah, upah apa pun

yang aku minta kepadamu maka hal itu untuk kamu (karena aku pun

tidak minta upah apa pun kepadamu). Upahku hanya dari Allah. Dia

Maha Mengetahui segala sesuatu.” Demikian pula perilaku para Nabi,

termasuk Nabi Muhammad SAW dalam berdakwah, mereka tidak pernah

memungut imbalan, apalagi pasang tarif, tawar-menawar, dan lain

sebagainya.

Kode etik keenam, tidak mengawani pelaku maksiat. Para dai yang

runtang-runtung, gandeng renceng dengan pelaku maksiat, mereka

menjadi tidak mampu untuk melakukan amar makruf dan nahi mungkar.

Akhirnya, justru Allah SWT melaknat mereka semua. Hal itulah yang

telah terjadi atas kaum Bani Israil seperti diceritakan dalam surah al-

Maidah ayat 78-79. “Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil

dengan lisan Daud dan ‘Isa bin Maryam. Hal itu karena mereka durhaka

dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain tidak melarang

perbuatan mungkar yang mereka lakukan. Sesungguhnya, sangatlah

buruk apa yang mereka lakukan itu.”

Dan, kode etik ketujuh, tidak menyampaikan hal-hal yang tidak

diketahui. Kode etik ini diambil dari surah al-Isra ayat 36. “Dan,

janganlah kamu mengikuti apa yang tidak kamu ketahui. Karena,

sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan

dimintai pertanggungjawabannya.

Anda mungkin juga menyukai