Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

PENGANTAR STUDI ISLAM


PENGELOMPOKAN KEILMUAN DALAM ISLAM

Disusun Oleh :
Lutfi Rahman
Hilman Mohamad Hamdan
Dosen Pengampu : Ani Yulianita,M.Ag

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI-PUI) MAJALENGKA


LATAR BELAKANG
Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi kunci yang paling mendasar dari kemajuan yang diraih umat
manusia, tentunya tidak datang begitu saja tanpa ada sebuah dinamika atau pengembangan ilmiah.
Proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan itulah dikenal dengan istilah epistemologis.
Epistemologi membicarakan sumber ilmu pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh ilmu
pengetahuan.
PEMBAHASAN
A. Bayani
1. Pengertian Bayani
Kata bayani berasal dari bahasa Arab yaitu “al-bayan” yang secara harfiyah bermakna sesuatu yang
jauh atau sesuatu yang terbuka. Namun secara istilah ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan
al-bayan, ulama ilmu balagah misalnya, mendefinisikan sebagai sebuah ilmu yang dapat mengetahui
satu arti dengan melalui beberapa cara atau metode seperti tasybi>h (penyerupaan). Ulama kalam
mengatakan bahwa al-bayan adalah dalil yang dapat menjelaskan hukum. Sebagian yang lain
mengatakan bahwa al-bayan adalah ilmu baru yang dapat menjelaskan sesuatu atau ilmu yang dapat
mengeluarkan sesuatu dari kondisi samar kepada kondisi jelas.
Prinsip yang melandasi pemikiran bayani adalah prinsip serba mungkin (mabdau al-tajwiz) dan
prinsip diskontinuitas (mabdau al-infishal). Konsekuensinya, peran hukum kausalitas (sababiyyah)
menjadi sangat minim bahkan dalam beberapa kasus dapat mengingkari hukum sebab akibat ini.
Imam Syatibi, juris Maliki, pernah mengatakan bahwa sebab itu tidak menimbulkan akibat dengan
sendirinya, akan tetapi akibat itu terjadi secara bersamaan dengan sebab, karena sesungguhnya akibat
itu merupakan perbuatan Allah dan merupakan ketentuan Allah.
Dalam epistimologi islam bayani adalah pendekatan dengan cara menganalisis teks. Oleh karena itu,
secara langsung bayani adalah memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung
mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran. Namun secara tidak langsung bayani berarti memahami teks
sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran.
Meski demikian, hal ini tidak berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya,
tetapi tetap harus bersandar pada teks. Sehingga dalam bayani, rasio dianggap tidak mampu
memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks. Dalam perspektif keagamaan, sasaran bidik
metode bayani adalah aspek syariat.
Maka sumber epistemologi bayani adalah teks. Sumber teks dalam studi Islam dapat dikelompokkan
menjadi dua, yakni :
a) Teks nash (al-Qur`an dan Hadist Nabi Muhammad SAW)
b) Teks non-nash berupa karya para ulama.
Objek kajian yang umum dengan pendekatan bayani adalah :
a) Gramatika dan Sastra (Nahwu dan Balaqah).
b) Hukum dan teori Hukum (fiqh dan Ushul Fiqh).
c) Beberapa kasus di bidang ilmu Al Qur’an dan Al Hadis.
2. Objek Kajian Bayani Dalam Studi islam
a. Ulumul Qur’an
Ulumul Qur’an adalah Ilmu yang mempelajari tentang Al Qur’an dari segi penyusunanya,
pengumpulanya, sistematikanya serta pembahasan-pembahasan yang menyagkut Al Qur’an
Secara garis besar materi yang dapat dipelajari dalam Al Qur’an dapat diklasifikasikan diantaranya
sebagai berikut:
1) Sejarah perkembangan ulumul Qur’an dan pembagian Cabang Ilmu Al Qur’an
2) Sejarah turunya Al Qur’an dan Penulisanya
3) Fungsi dan kedudukan Al Qur’an
4) Isi kandungan Al Qur’an.
b. Ulumul Hadist
Ulumul Hadist adalah Ilmu yang membahas pokok-poko dan kaidah-kaidah yang terdapat dalam
hadis dengan berbagai aspeknya. Materi yang dapat dipelajari tentang ulumul hadis diantaranya :
1) Kehujjahan hadis
2) Kodifikasi hadis dan kitab-kitabnya
3) Ulumul hadis dan cabang-cabangnya
4) Hadis ditinjau dari segi kuantitas dan kuantitasnya
5) Keutamaan belajar hadis
c. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih
Ilmu fiqih adalah Ilmu yang mempelajari tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat ‘amaliah yang
digali dan ditemukan dari dalil-dalil tafsili.
Ilmu ushul fiqih ilmu yang mempelajari tentang kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha
merumuskan hukum syara’ dari dalilnya yang terinci” atau dalam artian sederhana adalah: “kaidah-
kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya.
d. Ilmu Bahasa Arab
Ilmu-ilmu bahasa Arab terdiri dari 12 cabang ilmu, yaitu :
1) Nahwu: Ilmu yang membahas tentang perubahan akhir kalimat.
2) Sharaf: Ilmu yang membahas tentang perubahan bentuk kata.
3) Arudh : Ilmu yang membahas tentang aturan bait syair.
4) Lughoh: Ilmu yang membahas tentang tata bahasa arab.
5) Qord: Ilmu yang membahas tentang syair bahasa arab.
6) Insya: Ilmu yang membahas tentang mengarang.
7) Khot: Ilmu yang membahas tentang seni tulis-menulis.
8) Bayan: Ilmu yang membahas tentang kata yang zhahir dan yang tersembunyi.
9) Ma’ani: Ilmu yang membahas tentang susunan kalimat.
10) Istisyqoq: Ilmu yang membahas tentang asal-usul kata .
11) Badi’: Ilmu yang membahas tentang keindahan bahasa arab
12) Qhofiyah: Ilmu yang membahas tentang kata yang terakhir dalam bait syair.

B. Burhani
Burhani merupakan bahasa Arab yang secara harfiyah berarti mensucikan atau menjernihkan.
Menurut ulama ushul, al-burhan adalah sesuatu yang memisahkan kebenaran dari kebatilan dan
membedakan yang benar dari yang salah melalui penjelasan.
Menurut al-Jabiri, epistemologi burhani merupakan cara berpikir masyarakat Arab yang bertumpu
pada kekuatan natural manusia, yaitu pengalaman empirik dan penilaian akal, dalam mendapatkan
pengetahuan tentang segala sesuatu. Sebuah pengetahuan bertumpu pada hubungan sebab akibat. Cara
berpikir seperti ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh ‘gaya’logika Aristoteles.
Nalar burhani masuk pertama kali kedalam peradaban Arab-Islam dibawa oleh al-Kindi melalui
sebuah tulisannya, yaitu al-Falsafah al-Ula. Sebuah tulisan tentang filsafat yang ‘disadur’dari
filsafatnya Aristoteles. Al-Kindi menghadiahkan tulisan ini kepadakhalifah alMakmun (218 H – 227
H). Di dalam al-falsafah al-Ula, al-Kindi menegaskan bahwa filsafat merupakan ilmu pengetahuan
manusia yang menempati posisi paling tinggi dan paling agung,karena dengannya hakekat segala
sesuatu dapat diketahui. Melalui tulisan itu pula, al-Kindi menepis keraguan orang-orang yang selama
ini menepis dan menolak keberadaan filsafat: filsafat adalah jalan untuk mengetahui kebenaran.
Meskipun al-Kindi telah berjasa dalam memperkenalkan nalar burhani ke tengah peradaban Arab-
Islam, namun menurut Abid Al-jabiri usaha al-Kindi hanya bersifat parsial. Usaha al-Kindi dengan
menulis al-Falsafah al-Ula tidak berada dalam konteksmemperkenalkan “nalar rasional” seperti yang
dicirikan dalam filsafat Aristoteles. Kepentingan al-Kindi menurut Abid Al-jabiri tidak lain adalah
menyerang kalangan fuqaha yang ketika itu menolak mati-matian filsafat. Usaha yang dilakukan oleh
al-Kindi merupakan sekedar usaha yang pragmatis.
Jadi epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan
adalah akal. Akal menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan untuk menemukan berbagai
pengetahuan, bahkan dalam bidang agama sekalipun akal mampu untuk mengetahuinya, seperti
masalah baik dan buruk.
Maksud epistimologi burhani adalah, bahwa untuk mengukur benar atau tidaknya sesuatu adalah
dengan berdasarkan komponen kemampuan alamiah manusia berupa pengalaman dan akal tanpa dasar
teks wahyu suci, yang memunculkan peripatik. Maka sumber pengetahuan dengan nalar burhami
adalah realitas dan empiris; alam, sisial, dan humanities. Artinya, ilmu diperoleh dengan hasil
penelitian percobaan, eksperimen, baik di laboratorium maupun di alam nyata, baik bersifat sosial
maupun alam. Corak yang digunakan adalah berpikir induktif, yakni generalisasi dari hasil-hasil
penelitian empiris.
Sikap terhadap kedua epistimologi bayani dan burhani bukan berarti harus dipisahkan dan hanya
boleh memilih salah satu diantaranya. Malah untuk menyelesaikan problem-problem sosial dan dalam
studiislam justru dianjurkan untuk memadukan keduanya. Dari perpaduan ini muncul nalar abduktif,
yakni mencoba memadukan model deduktif dan induktif. Perpaduan antara hasil bacaan yang bersifat
kontekstual dan hasil-hasil penelitian empiris, justru kelak melahirkan ilmu Islam yang lengkap
(kompherensif), dan kelak dapat menuntaskan problem-problem sosial kekinian dan keIndonesiaan.
Jika melihat pernyataan al-Qur'an, maka akan dijumpai sekian banyak ayat yang memerintahkan
manusia untuk menggunakan nalarnya dalam menimbang ide yang masuk ke dalam benaknya.
Banyak ayat yang berbicara tentang hal ini dengan berbagai redaksi seperti ta'qilun, tatafakkarun,
tadabbarun, dan lain-lain. lni membuktikan bahwa akal pun mampu meraih pengetahuan dan
kebenaran selama ia digunakan dalam wilayah kerjanya.

C. Irfani
Secara harfiyah al-‘irfan adalah mengetahui sesuatu dengan berfikir dan mengkaji secara dalam.
Dengan demikian al-‘irfan lebih khusus dari pada al-‘ilm. Secara istilah irfani adalah pengungkapan
atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hambanya (al-kasyf)
setelah melalui riyadah.
Irfani adalah model penalaran yang berdasarakan atas pendekatan dan pengalaman spiritual langsung
atas realitas yang tampak. bidik irfani adalah esoterir atau bagian batin, oleh karena itu, rasio yang
dugunakan hanya untuk menjelaskan pengalaman spritual. metodologi dan pendekatan irfani mampu
menyusun dan mengembangkan ilmu kesufian.
Dasar ontologis irfani yaitu wahdatul wujud. Paham wahdatul wujud ini mengenalkan bahwa realitas
itu hanya ada satu yang ditempati Allah semata, dan benda-benda selain Allah hanyalah bayangan,
yang hakikatnya bukan wujud.
Konsekuensi aksiologis dari paham wahdatul wujud akan melahirkan sikap anti dunia dan
menganggap kehidupan ini kotor. Sementara Konsekuensi epistemologisnya adalah sulit
mengembangkan sains dan teknologi. Pasalnya, sistem epistemologi yang mereka pakai dalam
memperoleh pengetahuan adalah dengan ahwal dan maqamat untuk sampai ma’rifatullah.
Sementara dalam paham Muhammadiyah, realitas itu ganda (tsunaiyatil wujud) sehingga konsekuensi
epistemologinya adalah dapat mengembangkan dan memperoleh pengetahuan dari wahyu dan alam.
Pada level aksiologisnya, melahirkan sikap bahwa dunia merupakan panggung kehidupan untuk
mencapai prestasi terbaik di akhirat. Sehingga mereka harus memaksimalkan potensi akalnya bukan
hanya untuk menciptakan kemasalahatan di dunia tetapi juga untuk keselamatan di akhirat.
Kalangan Irfaniyyun dalam dunia Islam menjadikan istilah dzahir-batin sebagai konsep yang
melandasi cara berpikirnya dalam memandang dunia dan memperlakukan segala sesuatunya. Pola
sistem berpikir yang mereka pakai adalah berangkat dari yang batin menuju yang dzahir: dari makna
menuju lafadz. Batin bagi mereka adalah sumber pengetahuan, karena batin adalah hakekat,
sementara dzahir teks adalah penyinar.
Berdasarkan literatur tasawuf, tahapan-tahapan ‘irfaniah adalah sebagai berikut :
1. Takhliyah
pada tahap takhliyah, peneliti mengkosongkan perhatiannya dari makhluk dan memusatkan
perhatiannya kepada Allah sebagai Khaliq.
2. Tahliyyah
Tahap tahliyyah, peneliti memperbanyak amal saleh dan melazimkan hubungan dengan sang Khaliq
lewat ritus-ritus tertentu.
3. Tajliyah
peneliti menemukan jawaban batiniahnya terhadap persoalan-persoalan yang dihadapinya.

Sebagaimana paradigma lain, paradigma ‘rfaniah juga mengenal teknik-teknik yang khusus. Teknik-
teknik tersebut ada tiga, yaitu :
1. Riyadah
Riyadah adalah rangkaian latihan dan ritus, dengan penehapan dan prosedur tertentu.
2. Tariqah
Disini tariqah diartikan sebagai kehidupan jama’ah yang mengikuti aliran tasawuf.
3. Ijazah
Kehadiran guru sangatlah penting. Mursyid akan membimbing muridnya dari tahap satu sampai ke
tahap lainnya. Pada tahap tertentu, mursyid akan memberikan ijazah atau wewenang kepada
muridnya.
KESIMPULAN
Dengan demikian, dapat disimpulkan terdapat tiga cara atau metode dalam epistimologi islam untuk
menangkap atau mengetahui objek-objek ilmu. Pertama, melalui indra yang sangat kompeten untuk
mengenal objek-objek fisik dengan cara mengamatinya. Kedua, melalui akal yang mampu mengenal
bukan saja benda-benda indriawi, melainkan juga objek-objek non-fisik dengan cara menyimpulkan
dari yang telah diketahui menuju yang tidak diketahui. Ketiga, hati yang menangkap objek-objek non-
fisik atau metafisik melalui kontak langsung dengan objek-objek yang hadir dalam jiwa seseorang.
Dengan demikian, seluruh rangkaian wujud yang menjadi objek-objek ilmu pengetahuan yang fisik
dan non-fisik dapat diketahui oleh manusia.

Anda mungkin juga menyukai