Makalah Studi Islam
Makalah Studi Islam
Disusun Oleh :
Lutfi Rahman
Hilman Mohamad Hamdan
Dosen Pengampu : Ani Yulianita,M.Ag
B. Burhani
Burhani merupakan bahasa Arab yang secara harfiyah berarti mensucikan atau menjernihkan.
Menurut ulama ushul, al-burhan adalah sesuatu yang memisahkan kebenaran dari kebatilan dan
membedakan yang benar dari yang salah melalui penjelasan.
Menurut al-Jabiri, epistemologi burhani merupakan cara berpikir masyarakat Arab yang bertumpu
pada kekuatan natural manusia, yaitu pengalaman empirik dan penilaian akal, dalam mendapatkan
pengetahuan tentang segala sesuatu. Sebuah pengetahuan bertumpu pada hubungan sebab akibat. Cara
berpikir seperti ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh ‘gaya’logika Aristoteles.
Nalar burhani masuk pertama kali kedalam peradaban Arab-Islam dibawa oleh al-Kindi melalui
sebuah tulisannya, yaitu al-Falsafah al-Ula. Sebuah tulisan tentang filsafat yang ‘disadur’dari
filsafatnya Aristoteles. Al-Kindi menghadiahkan tulisan ini kepadakhalifah alMakmun (218 H – 227
H). Di dalam al-falsafah al-Ula, al-Kindi menegaskan bahwa filsafat merupakan ilmu pengetahuan
manusia yang menempati posisi paling tinggi dan paling agung,karena dengannya hakekat segala
sesuatu dapat diketahui. Melalui tulisan itu pula, al-Kindi menepis keraguan orang-orang yang selama
ini menepis dan menolak keberadaan filsafat: filsafat adalah jalan untuk mengetahui kebenaran.
Meskipun al-Kindi telah berjasa dalam memperkenalkan nalar burhani ke tengah peradaban Arab-
Islam, namun menurut Abid Al-jabiri usaha al-Kindi hanya bersifat parsial. Usaha al-Kindi dengan
menulis al-Falsafah al-Ula tidak berada dalam konteksmemperkenalkan “nalar rasional” seperti yang
dicirikan dalam filsafat Aristoteles. Kepentingan al-Kindi menurut Abid Al-jabiri tidak lain adalah
menyerang kalangan fuqaha yang ketika itu menolak mati-matian filsafat. Usaha yang dilakukan oleh
al-Kindi merupakan sekedar usaha yang pragmatis.
Jadi epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan
adalah akal. Akal menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan untuk menemukan berbagai
pengetahuan, bahkan dalam bidang agama sekalipun akal mampu untuk mengetahuinya, seperti
masalah baik dan buruk.
Maksud epistimologi burhani adalah, bahwa untuk mengukur benar atau tidaknya sesuatu adalah
dengan berdasarkan komponen kemampuan alamiah manusia berupa pengalaman dan akal tanpa dasar
teks wahyu suci, yang memunculkan peripatik. Maka sumber pengetahuan dengan nalar burhami
adalah realitas dan empiris; alam, sisial, dan humanities. Artinya, ilmu diperoleh dengan hasil
penelitian percobaan, eksperimen, baik di laboratorium maupun di alam nyata, baik bersifat sosial
maupun alam. Corak yang digunakan adalah berpikir induktif, yakni generalisasi dari hasil-hasil
penelitian empiris.
Sikap terhadap kedua epistimologi bayani dan burhani bukan berarti harus dipisahkan dan hanya
boleh memilih salah satu diantaranya. Malah untuk menyelesaikan problem-problem sosial dan dalam
studiislam justru dianjurkan untuk memadukan keduanya. Dari perpaduan ini muncul nalar abduktif,
yakni mencoba memadukan model deduktif dan induktif. Perpaduan antara hasil bacaan yang bersifat
kontekstual dan hasil-hasil penelitian empiris, justru kelak melahirkan ilmu Islam yang lengkap
(kompherensif), dan kelak dapat menuntaskan problem-problem sosial kekinian dan keIndonesiaan.
Jika melihat pernyataan al-Qur'an, maka akan dijumpai sekian banyak ayat yang memerintahkan
manusia untuk menggunakan nalarnya dalam menimbang ide yang masuk ke dalam benaknya.
Banyak ayat yang berbicara tentang hal ini dengan berbagai redaksi seperti ta'qilun, tatafakkarun,
tadabbarun, dan lain-lain. lni membuktikan bahwa akal pun mampu meraih pengetahuan dan
kebenaran selama ia digunakan dalam wilayah kerjanya.
C. Irfani
Secara harfiyah al-‘irfan adalah mengetahui sesuatu dengan berfikir dan mengkaji secara dalam.
Dengan demikian al-‘irfan lebih khusus dari pada al-‘ilm. Secara istilah irfani adalah pengungkapan
atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hambanya (al-kasyf)
setelah melalui riyadah.
Irfani adalah model penalaran yang berdasarakan atas pendekatan dan pengalaman spiritual langsung
atas realitas yang tampak. bidik irfani adalah esoterir atau bagian batin, oleh karena itu, rasio yang
dugunakan hanya untuk menjelaskan pengalaman spritual. metodologi dan pendekatan irfani mampu
menyusun dan mengembangkan ilmu kesufian.
Dasar ontologis irfani yaitu wahdatul wujud. Paham wahdatul wujud ini mengenalkan bahwa realitas
itu hanya ada satu yang ditempati Allah semata, dan benda-benda selain Allah hanyalah bayangan,
yang hakikatnya bukan wujud.
Konsekuensi aksiologis dari paham wahdatul wujud akan melahirkan sikap anti dunia dan
menganggap kehidupan ini kotor. Sementara Konsekuensi epistemologisnya adalah sulit
mengembangkan sains dan teknologi. Pasalnya, sistem epistemologi yang mereka pakai dalam
memperoleh pengetahuan adalah dengan ahwal dan maqamat untuk sampai ma’rifatullah.
Sementara dalam paham Muhammadiyah, realitas itu ganda (tsunaiyatil wujud) sehingga konsekuensi
epistemologinya adalah dapat mengembangkan dan memperoleh pengetahuan dari wahyu dan alam.
Pada level aksiologisnya, melahirkan sikap bahwa dunia merupakan panggung kehidupan untuk
mencapai prestasi terbaik di akhirat. Sehingga mereka harus memaksimalkan potensi akalnya bukan
hanya untuk menciptakan kemasalahatan di dunia tetapi juga untuk keselamatan di akhirat.
Kalangan Irfaniyyun dalam dunia Islam menjadikan istilah dzahir-batin sebagai konsep yang
melandasi cara berpikirnya dalam memandang dunia dan memperlakukan segala sesuatunya. Pola
sistem berpikir yang mereka pakai adalah berangkat dari yang batin menuju yang dzahir: dari makna
menuju lafadz. Batin bagi mereka adalah sumber pengetahuan, karena batin adalah hakekat,
sementara dzahir teks adalah penyinar.
Berdasarkan literatur tasawuf, tahapan-tahapan ‘irfaniah adalah sebagai berikut :
1. Takhliyah
pada tahap takhliyah, peneliti mengkosongkan perhatiannya dari makhluk dan memusatkan
perhatiannya kepada Allah sebagai Khaliq.
2. Tahliyyah
Tahap tahliyyah, peneliti memperbanyak amal saleh dan melazimkan hubungan dengan sang Khaliq
lewat ritus-ritus tertentu.
3. Tajliyah
peneliti menemukan jawaban batiniahnya terhadap persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Sebagaimana paradigma lain, paradigma ‘rfaniah juga mengenal teknik-teknik yang khusus. Teknik-
teknik tersebut ada tiga, yaitu :
1. Riyadah
Riyadah adalah rangkaian latihan dan ritus, dengan penehapan dan prosedur tertentu.
2. Tariqah
Disini tariqah diartikan sebagai kehidupan jama’ah yang mengikuti aliran tasawuf.
3. Ijazah
Kehadiran guru sangatlah penting. Mursyid akan membimbing muridnya dari tahap satu sampai ke
tahap lainnya. Pada tahap tertentu, mursyid akan memberikan ijazah atau wewenang kepada
muridnya.
KESIMPULAN
Dengan demikian, dapat disimpulkan terdapat tiga cara atau metode dalam epistimologi islam untuk
menangkap atau mengetahui objek-objek ilmu. Pertama, melalui indra yang sangat kompeten untuk
mengenal objek-objek fisik dengan cara mengamatinya. Kedua, melalui akal yang mampu mengenal
bukan saja benda-benda indriawi, melainkan juga objek-objek non-fisik dengan cara menyimpulkan
dari yang telah diketahui menuju yang tidak diketahui. Ketiga, hati yang menangkap objek-objek non-
fisik atau metafisik melalui kontak langsung dengan objek-objek yang hadir dalam jiwa seseorang.
Dengan demikian, seluruh rangkaian wujud yang menjadi objek-objek ilmu pengetahuan yang fisik
dan non-fisik dapat diketahui oleh manusia.