Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMAKOTERAPI I
ACARA II
PENGEKANGAN HEWAN DENGAN OBAT

Disusun oleh:

Nama : Jevon Benedicto Umbu Pundi


NIM : 20/455276/KH/10438
Kelompok : 8
Asisten : Leonita Sephira Soebagio

DEPARTEMEN FARMAKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2022
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam melaksanakan tugas dokter hewan, penting untuk memperhatikan
keamanan dan keefektifan kerja dokter hewan serta penting juga untuk
memperhatikan kesejahteraan hewan. Ilmu atau teknik pengekangan hewan sangat
penting dalam proses pengobatan hewan, salah satunya teknik pengekangan
menggunakan obat (kimia). Penggunaan sedativa dalam pengekangan hewan
berperan untuk restrain hewan, transportasi, anastesi, serta premedikasi hewan.
Pada praktikum ini juga akan dipelajari jenis-jenis sedativa, yaitu sedativa
tranquilizer dan sedativa hipnotika serta manfaatnya masing-masing dalam
pengekangan hewan.

B. Tujuan Praktikum
1. Melihat efek sedativa terhadap kesiagaan mencit. Mencit yang tetap siaga akan
lebih lama berjalan pada batang berputar dibanding dengan mencit yang
kurang siaga.
2. Membandingkan efek sedativa tranquilizer (Acepromazine) dengan sedativa
hipnotika (Diazepam).

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Pengertian Sedativa
Sedatif merupakan substansi yang memiliki aktifitas yang memberikan efek
menenangkan, obat yang mengurangi gejala cemas, dengan sedikit atau tanpa efek
terhadap status mental atau motorik. Obat-obatan sedatif adalah istilah untuk obat-
obatan yang mampu mendepresi sistem saraf pusat dan mampu memberikan efek
terhadap penderita insomnia (Aliwu et al., 2020).
Sedativa adalah obat yang menghasilkan efek depresi terhadap sistem saraf
pusat (SSP), mengurangi iritabilitas dan kegirangan pada hewan, dan digunakan
untuk menenangkan hewan yang memiliki semangat atau energi berlebih (Romich,
2020).
Obat sedatif merupakan golongan obat yang menekan susunan saraf pusat. Obat
sedatif menekan aktivitas mental, menurunkan respon terhadap rangsangan emosi
sehingga menenangkan (Aziza, 2019).

B. Fungsi Sedativa
Tjay dan Rahardja (2015), menyatakan bahwa sedativa berfungsi untuk:
• Menurunkan aktivitas
• Mengurangi ketegangan
• Menenangkan penggunanya
Sedativa biasa digunakan dalam dunia kedokteran hewan untuk menangkan
hewan, untuk melakukan restrain secara kimiawi, dan sebagai bahan tambahan
untuk anastesi umum (Riviere & Papich, 2018).
C. Perbedaan Sedativa Tranquilizer dan Sedativa Hipnotika
Perbedaan Sedativa Tranquilizer Sedativa Hipnotika
Dosis Tinggi Memberikan efek tenang, Dapat berfungsi sebagai
Menyebabkan masih ada kesadaran. anestesi, jika jumlah
Sedikit depresi pernafasan terlalu banyak dapat
dan hewan mengalami menyebabkan kematian.
penurunan mobilitas. Adanya depresi
(Malamed, 2010) pernafasan.
(Sharma, 2006)
(Malamed, 2010)
Efek antiemesis Ada (berpengaruh pada Tidak ada, beberapa
CTZ di CNS) digunakan sebagai obat
(Riviere dan Papich, 2018) emetic pada kucing.
(Riviere dan Papich, 2018)
Efek antikonvulsi Tidak ada Ada, diazepam dapat
(Riviere dan Papich, 2018) digunakan sebagai
antikonvulsan pada anak-
anak.
(Riviere dan Papich, 2018)
Dosis Umumnya dengan dosis Umumnya dengan dosis
lebih rendah lebih besar
(Tjay dan Rahardja, 2015) (Tjay dan Rahardja, 2015)
Penggunaan jangka Ketergantungan dan Ketergantungan dan
panjang kecanduan ringan. kecanduan.
(Tjay dan Rahardja, 2015) (Tjay dan Rahardja, 2015)

D. Penggolongan Sedativa Tranquilizer


1. Golongan Phenotiazine
Phenotiazine memblokir reseptor dopaminergic di system saraf pusat
dan reseptor α1-adrenergic di sel otot polos pembuluh darah perifer.
Dopamin mengatur perilaku, kontrol motorik halus, dan sekresi prolactin.
Oleh karena itu, memblokir reseptor ini menghasilkan efek menenangkan
dan anxiolytic (antianxiety) pada hewan. Ada efek antiemetic biasanya untuk
mencegah mabuk perjalanan pada hewan. Phenotiazine tidak memberikan
efek analgesi. Penggunaan utama phenotiazine pada anjing dan kucing
termasuk memberikan penenang yang baik untuk memungkinkan
pengekangan, untuk pemeriksaan fisik, atau transportasi, menghasilkan
sedasi sebelum prosedur minor, atau sebagai agen preanestesi untuk
mengurangi jumlah induksi dan agen anestesi inhalan diperlukan.
Contoh: acepromazine, chlorphromazine, prochlorperazine, promazine.
(Romich, 2020)
Gambar Acepromazine (Romich, 2020)

2. Golongan Butyrophenon
Mekanismenya mirip dengan phenotiazine. Butyrophenone bekerja
melalui penghambatan cathecolamine pada system saraf pusat (dopamin dan
norepinefrin), menghasilkan penurunan aktivitas motorik dan efek
antiemetic. Contoh: azaperone dan droperidol.
(Romich, 2020)

Gambar Droperidol (Schad dan Stromberg, 2020)

3. Golongan Alkaloid
Alkaloid berasal dari akar tumbuh-tumbuhan. Obat ini dapat digunakan
untuk mengobati peningkatan tekanan syaraf dengan cara mengontrol impuls
saraf yang berasal dari pembuluh darah dan jantung. Efek yang ditumbulkan
oleh golongan alkaloid antara lain analgesic, anti-hiperglikemik, anti-bakteri,
anti-kanker, gela alergik, serta hipotensi.
(Hussain et al., 2018)
Contoh: reserpine dan scopolamine
Gambar Reserpine dengan merek dagang NexGen (NexGenVet, 2020)

E. Penggolongan Sedativa Hipnotika


1. Golongan α2-Agonist
Golongan α2-Agonist adalah obat yang mengikat reseptor α2
adrenergik, yang menyebabkan penghambatan pelepasan neurotransmitter
NE. Karena NE bekerja mengatur kewaspadaan, sehingga ketika
pelepasannya terhambat akan menghasilkan efek sedasi. α2-Agonist
menghasilkan efek menenangkan, beberapa analgesia dan relaksasi otot, dan
depresi system saraf pusat yang menurunkan kemampuan hewan untuk
merespons rangsangan. Contoh: xylazine, detomidine, romifidine.
(Romich, 2020)

Gambar Xylazine (Romich, 2020)

2. Golongan Benzodiazepine
Pada hewan, benzodiazepine banyak digunakan sebagai obat anxiolytic
(anti-anxiety). Obat ini memiliki efek antikonvulsan, menghasilkan otot
relaksasi, dan mengurangi kecemasan pada hewan sementara tetap sadar.
Benzodiazepine bekerja dengan meningkatkan GABA, neurotransmitter
penghambat di otak. Benzodiazepin memiliki manfaat menyebabkan depresi
kardiovaskular dan pernapasan minimal serta memiliki risiko minimal
toksisitas ginjal. Contoh: diazepam, midazolam, zolazepam.
(Romich, 2020)
Gambar Diazepam (Romich, 2020)
F. Mekanisme Kerja Acepromazine
Mekanisme kerja menurut Apritya & Ardiani (2015), acepromazine
terdistribusi ke seluruh tubuh dan memblok postinapsis dopamine yang berfungsi
menghambat aktivitas otak, sehingga hewan menjadi tenang. Mula kerja
acepromazine pada kucing adalah 5-10 menit.
Acepromazine memiliki aksi antimuskarinik dan memblokir norepinefrin pada
reseptor adrenergic. Hal ini menyebabkan pembuluh darah mengalami vasodilatasi.
Pada saat anestesi memungkinkan terjadinya penurunan daya tahan pembuluh
darah yang kemudian menurunkan tekanan darah (Papich, 2002).

G. Mekanisme Kerja Diazepam


Diazepam bekerja dengan meningkatkan pelepasan neurotransmitter inhibitorik
(GABA dan glisin) serta efek hiperpolarisasi pada membran sel.
(Rock, 2007)
Diazepam termasuk dalam golongan benzodiazepine. Mekanisme kerja
golongan ini adalah dengan meningkatkan ikatan antara GABA dengan reseptor
GABAA serta menguatkan konduktansi ion klorida. Hal ini dipicu oleh interaksi
antara GABA dan reseptor GABAA yang menyebabkan kanal klorida terbuka
sehingga banyak ion klorida yang masuk ke dalam sel, yang kemudian
mengakibatkan hiperpolarisasi. Terjadinya hiperpolarisasi ini membuat
kemampuan sel untuk menerima rangsangan berkurang.
(Eugene, 2009) (Katzung et al., 2007)
III. MATERI DAN METODE
A. Materi
NO. Alat/ Bahan Fungsi
Mencit

3 ekor mencit sebagai


1
probandus

NaCl Fisiologis

NaCl fisiologis (D = 0,1ml/10g


2 BB) sebagai perlakuan pada
variabel kontrol

Acepromazine

Acepromazine (M = 1,5 mg/ml;


D = 5 mg/kg BB) sebagai obat
3
sedative tranquilizer golongan
phenotiazine

Xylazine

Xylazine (M = 2 mg/ml; D = 10
mg/kg BB) sebagai obat
4
sedative hipnotika golongan
α2-Agonist
Gelas Beaker

5 Sebagai wadah mencit

Jam Tangan

Stopwatch digunakan untuk


menghitung waktu yang
6
dibutuhkan untuk mencit jatuh
dari putaran rotarod

Timbangan

Sebagai alat pengukur berat


7
tubuh mencit

Rotarod

Sebagai alat untuk memutar


8 mencit untuk menguji efek
sedasi dari obat

Spuit 1 cc Untuk mengambil cairan obat


(acepromazine dan xylazine)
serta NaCl fisiologis dengan
9
ukuran yang telah ditentukan
dan menginjeksikan pada
mencit
Kawat Ram

Alat bantu untuk merestrain


10
mencit
B. METODE
1. Merestrain mencit
Pegang 1/3 ujung ekor mencit, angkat, dan
letakkan mencit diatas ram

Mencit menggenggam ram lalu tarik ekor ke


belakang secara perlahan dan tekan pangkal ekor

Jepit daerah subkutan dengan jari


jempol dan telunjuk

Genggaman kuat namun jangan


sampai mencit tercekik

Jepit ekor dengan kelingking

Restrain benar apabila mencit tidak


bisa menggerakkan kepalanya

2. Uji Sedativa
3 ekor mencit masing-masing ditimbang

Catat hasil penimbangan pada kertas dan kembalikan


mencit pada gelas beaker masing-masing

Menghitung volume NaCl fisiologis, Acepromazine,


dan Xylazine sesuai dengan berat mencit

Mencit direstrain
NaCl fisiologis, Acepromazine, dan Xylazine
diinjeksikan secara intraperitoneal pada masing-masing
mencit

Mencit ditaruh kembali pada beaker


glass dan ditunggu selama 15 menit

Masing-masing tikus ditaruh di rotarod,


dihitung waktu hingga mencit jatuh

IV. HASIL PRAKTIKUM


1. Perhitungan Dosis
No Perhitungan dosis

1. NaCl Fisiologis
Diketahui: BB mencit 1 = 36.9 gr
Dosis = 0.1 ml/10 gr BB
Ditanya: volume NaCl fisiologis = ?
Jawab:
𝐵𝐵 𝑥 𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠
V = 𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖
0.1 ml
= 36.9 gr x = 0.369 ml ≈ 0.37 ml
10 𝑔𝑟

Jadi dosis NaCl fisiologis yang diberikan kepada mencit 1 sebanyak 0.37 ml
diberikan secara intra peritoneal (IP)

2. Acepromazine
Diketahui: BB mencit 2 = 39.7 gr = 0.0397 kg
Dosis = 5 mg/kg BB
Konsentrasi = 1.5 mg/ml
Ditanya: volume acepromazine = ?
Jawab:
𝐵𝐵 𝑥 𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠
V=
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖
0.0397 𝑘𝑔 𝑥 5 𝑚𝑔/𝑘𝑔
V= 1.5 𝑚𝑔/𝑚𝑙

= 0.13 ml
Jadi dosis Acepromazine yang diberikan kepada mencit 2 sebanyak 0.13 ml
diberikan secara intra peritoneal (IP)

3. Xylazine
Diketahui: BB mencit 2 = 38.7 gr = 0.0387 kg
Dosis = 10 mg/kg BB
Konsentrasi = 2 mg/ml
Ditanya: volume xylazine = ?
Jawab:
𝐵𝐵 𝑥 𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠
V = 𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖
0.0387 𝑘𝑔 𝑥 10 𝑚𝑔/𝑘𝑔
V= 2 𝑚𝑔/𝑚𝑙

= 0.1935 ml ≈ 0.19 ml
Jadi dosis Xylazine yang diberikan kepada mencit 3 sebanyak 0.19 ml diberikan
secara intra peritoneal (IP)

2. Hasil Rota Rod


Waktu (detik)
No. Group Mencit
NaCl Acepromazine Xylazine

Kelompok 5 126 6 10

Kelompok 6 90 3 60

Kelompok 7 80 34 5

Kelompok 8 270 12 5

3. Hasil Analisis SPSS


Setelah dilakukan pengolahan data dengan total sampe 12 sampel, didapatkan
tabel hasil Tests of Normality diatas. Karena jumlah sampel adalah 12 (<50), nilai
signifikansi yang digunakan ialah Shapiro-Wilk. Karena ada nilai signifikansi yang
<0,05 maka data tersebut terdistribusi tidak normal.

Pada uji kali ini, terdapat 3 kelompok dan data berdistribusi tidak normal
sehingga uji selanjutnya adalah uji Kruskal-Wallis. Hasil dari uji Kruskal-Wallis
diatas menunjukkan bahwa Asymp. Signifikansinya bernilai 0.025 (<0.05) yang
berarti H0 ditolak dan H1 diterima sehingga dapat dinyatakan bahwa ada pengaruh
jenis obat dengan lamanya mencit berputar pada rotarod.

4. Latihan Soal

1. Sapi potong yang digunakan untuk kurban seberat 440 kg akan dikirimkan ke
beberapa kota dari salah satu peternakan sapi di Pamekasan, Madura. Untuk bisa
dikirimkan, sapi tersebut memerlukan restrain kimiawi menggunakan
azepromazine yang diinjeksikan sebanyak 0.55 ml secara intramuskular. Apabila
konsentrasi acepromazine yang digunakan sebesar 4%, maka berapakah dosis
sediaan tersebut agar cukup untuk membuat sapi tersedasi?

Diketahui: BB = 440 kg

V azepromazine = 0.55 ml

M = 4% → 40 mg/ml

Ditanya: berapa dosisnya?

Jawab:
𝐵𝐵 𝑥 𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠
V = 𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖
𝑚𝑔
440 𝑘𝑔 𝑥 𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 ( )
𝑘𝑔
0.55 ml = 40 𝑚𝑔/𝑚𝑙

0.55 𝑚𝑙 𝑥 40 𝑚𝑔/𝑚𝑙
Dosis (mg/kg) = 440 𝑘𝑔

Dosis = 0.05 mg/kg


Jadi dosis yang tepat agar sediaan tersebut cukup untuk membuat sapi tersedasi
adalah 0.05 mg/kg BB.

2. Kambing peranakan etawa dengan berat 60 kg memerlukan dosis 0.2 mg/kg BB


obat sediaan intermectin. Obat tersebut diberikan secara injeksi subcutan dengan
kandungan aktif ivermectin sebanyak 10 miligram tiap ml. Berapakah volume yang
harus diberikan pada kambing tersebut agar dapat memberikan efek terapi?

Diketahui: BB = 60 kg

Dosis = 0.2 mg/kg BB

M = 10 mg/ml

Ditanya: volume obat yang harus diberikan?

Jawab:
𝐵𝐵 𝑥 𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠
V = 𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖

60 𝑘𝑔 𝑥 0.2 𝑚𝑔/𝑘𝑔
V= 10 𝑚𝑔/𝑚𝑙

V = 1.2 ml

Jadi volume yang harus diberikan pada kambing tersebut agar dapat memberikan
efek terapi adalah 1.2 ml

3. Seekor anjing ras sheltie bernama Cartier dengan berat badan 15 kg dilarikan
ke RSH karena mengalami diare. Apabila anjing tersebut membutuhkan dosis 60
mg/kg BB obat attapulgite, sedangkan sediaan tablet tersedia adalah 600 mg/tablet,
maka berapakah jumlah tablet yang dibutuhkan anjing tersebut?

Diketahui: BB = 15 kg

Dosis = 60 mg/kg BB

Dosis tersedia = 600 mg/tablet

Ditanya: berapa jumlah tablet yang diperlukan?

Jawab:
𝑚𝑔
𝐵𝐵 𝑥 𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑙𝑢𝑘𝑎𝑛 ( )
𝑘𝑔
Jumlah tablet = 𝑚𝑔
𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑑𝑖𝑎 ( )
𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒𝑡

15 𝑘𝑔 𝑥 60 𝑚𝑔/𝑘𝑔
Jumlah tablet =
600 𝑚𝑔/𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒𝑡
Jumlah tablet = 1.5 tablet

Jadi jumlah tablet yang dibutuhkan anjing tersebut adalah 1.5 tablet.

4. Krist memiliki kucing ras munchkin bernama Muffin. Muffin membutuhkan


asupan glukosa dengan konsentrasi 12% sebanyak 60 ml. Apabila digunakan
aquadest sebanyak 30 ml, berapa konsentrasi larutan glukosa awal?

Diketahui: M1 = 12%

V1 = 60 ml

V2 = 30 ml

Ditanya: berapa konsentrasi larutan glukosa awal?

Jawab:

M1 x V1 = M2 x V2

12% x 60 ml = M2 x 30 ml
12 % 𝑥 60 𝑚𝑙
M2 = 30 𝑚𝑙

M2 = 24%

Jadi konsentrasi larutan glukosa awal adalah 24%

V. PEMBAHASAN
Pada praktikum ini, dilakukan uji coba sedativa menggunakan 3 ekor mencit
dengan perlakuan yang berbeda. Uji coba dilakukan dengan menginjeksikan 3 larutan
pada mencit. Larutan yang digunakan adalah NaCl fisiologis sebagai kontrol,
acepromazine, dan xylazine. Sediaan acepromazine dan xylazine pada praktikum kali
ini diencerkan 10x terlebih dahulu sebelum siap digunakan karena konsentrasi awalnya
terlalu besar. Sehingga jika tidak dilakukan pengenceran akan mengakibatkan volume
obat yang harus diberikan kepada mencit terlalu sedikit/kecil untuk diambil. Setelah
diinjeksikan masing-masing larutan, mencit dibiarkan terlebih dahulu selama 15 menit
agar tersedasi. Menurut Yunani et al. (2015), lama mula kerja anestesi (onset) pada
tikus jantan yang dianastesi ketamin-acepromazine berkisar antara 3-15 menit. Jadi
diasumsikan mencit yang sudah diinjeksi dan ditunggu selama 15 menit pada praktikum
kali ini sudah mengalami efek sedasi. Hal ini sesuai dengan literatur, Romich (2020),
yang menyatakan bahwa onset dari acepromazine adalah 15-20 menit jika diinjeksikan
melalui intravena atau intramuscular dan xylazine selama 5-15 menit jika diinjeksikan
melalui intramuscular. Mencit yang telah disedasi kemudian diletakkan pada rota rod
lalu dicatat berapa lama waktu yang dibutuhkan mencit hingga akirnya terjatuh dari
rotarod. Penggunaan xylazine dan bukan diazepam pada praktikum kali ini dikarenakan
menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 9 Tahun 2015, diazepam termasuk obat
Psikotropika Golongan IV yang peredarannya di Indonesia dibatasi oleh pemerintah.
Berdasarkan hasil percobaan kelompok 8, mencit yang diinjeksi dengan xylazine
jatuh paling cepat dengan waktu 5 detik. Kemudian disusul oleh mencit yang diinjeksi
dengan acepromazine dengan waktu 12 detik. Mencit yang paling lama terjatuh adalah
mencit yang diinjeksi dengan NaCl fisiologis dengan waktu 270 detik atau 4 menit 30
detik. Menurut Isnaeni (2006), hal ini dapat terjadi karena larutan NaCl fisiologis adalah
larutan yang telah dibuat sedemikian rupa agar dapat menyesuaikan dengan kondisi
tubuh sehingga pemberian larutan tersebut tidak memberikan efek samping pada hewan
coba. Sedangkan acepromazine dan xylazine merupakan obat sedativa. Menurut
Romich (2020), acepromazine tergolong dalam golongan phenothiazine dan xylazine
termasuk dalam golongan α2-Agonist, yang dimana golongan α2-Agonist memiliki
efek muscle relaxant sedangkan golongan phenothiazine tidak. Hal ini menyebabkan
mencit yang diinjeksi dengan xylazine lebih lemah dan lebih mudah terjatuh. Selain itu,
menurut Yuanita et al. (2019), acepromazine yang merupakan sedative tranquillizer
hanya menyebabkan respon fisik dan mental mencit menghilang tapi tidak membuat
mencit kehilangan kesadaran, berbeda dengan sedativa hipnotika yang dapat
menghilangkan kesadaran mencit. Karena kesadaran mencit tidak hilang, maka mencit
dapat bertahan lebih lama di rotarod.
Setelah dilakukan pengolahan data dengan total sampe 12 sampel, didapatkan
tabel hasil Tests of Normality. Karena jumlah sampel adalah 12 (<50), nilai signifikansi
yang digunakan ialah Shapiro-Wilk. Karena nilai signifikansi menunjukkan angka
0.110, 0.210, dan 0.010 yang dimana terdapat nilai yang <0,05 maka data tersebut
terdistribusi tidak normal.
Selanjutnya adalah uji Kruskal-Wallis karena kelompok yang digunakan lebih
dari 2 kelompok yaitu 3 kelompok. Hasil dari uji Kruskal-Wallis diatas menunjukkan
bahwa Asymp. Signifikansinya bernilai 0.025 (<0.05) yang berarti H0 ditolak dan H1
diterima sehingga dapat dinyatakan bahwa ada pengaruh jenis obat dengan lamanya
mencit berputar pada rotarod. Menurut Brander, dkk. (1991), golongan sedativa
hipnotika memiliki efek sedativa yang lebih besar dibandingkan sedativa transquilizer.
Sedativa hipnotika membuat penggunanya hingga kehilangan kesadaran sedangkan
sedativa transquilizer hanya menimbulkan efek imobilitas dan penggunanya masih
dapat tersadar. Oleh karena itu, hasil praktikum ini sesuai dengan literatur, yaitu efek
sedasi yang ditandai dengan cepatnya mencit terjatuh dari rota rod tergolong lebih
tinggi pada pemberian obat xylazine (sedativa hipnotik) dibandingkan dengan
acepromazine (sedativa transquilizer).
VI. KESIMPULAN
1. Sedativa memberi efek terhadap kesiagaan mencit. Mencit yang paling siaga
adalah mencit kontrol yang hanya diberi NaCl fisiologis. Mencit yang diinjeksikan
dengan xylazine (sedativa hipnotika) lebih cepat terjatuh dari rotarod dibandingkan
dengan mencit yang diinjeksikan oleh acepromazine (sedativa tranquillizer).
2. Golongan sedativa (xylazine/diazepam) hipnotika memiliki efek sedativa yang
lebih besar dibandingkan sedativa transquilizer (acepromazine). Sedativa hipnotika
dapat memberi efek kehilangan kesadaran sedangkan sedativa transquilizer hanya
menimbulkan efek imobilitas dan penggunanya masih dapat tersadar.

VII. DAFTAR PUSTAKA


Aliwu, I., Rorong, J., dan Suryanto, E. (2020). SKRINING FITOKIMIA DAN UJI EFEK
SEDATIF PELARUT DARI DAUN TAKOKAK (Solanum turvum Swartz)
PADA TIKUS PUTIH GALUR WISTAR. Chem.Prog, 13(1): 6-10
Apritya D, dan Ardiani T. (2015). Perbandingan Mula dan Lama Kerja Anestesi Umum
dengan Premedikasi antara Acepromazine dengan Kombinasi Acepromazine-
Atropine Sulfat pada Kucing Lokal (Felis Domestica). VITEK : Bidang Kedokteran
Hewan, 5(1): 1-6
Aziza, W. (2019). PENGARUH INTERVENSI AROMATHERAPI PALA TERHADAP
LAMA WAKTU TIDUR MENCIT. Global Health Science, 4(2): 85-89
Brander, G. C., Pugh, D. M., Bywater, R.J., dan Jenkisn, W. L. (1991). Veterinary
Applied Pharmacology and Therapeutics 5th Edition. London: The English Book
Society Belliare Tindal.
Eugene, T. (2009). Benzodiazepines used primarily for emergency treatment. Innsbruck:
Wiley Blackwell.
Hussain, G., Rasul, A., Anwar, H., Aziz, N., Razzaq, A., Wei, W., Ali, M., Li, J., dan Li,
X. (2018). Role of Plant Derived Alkaloids and Their Mechanism in
Neurodegenerative Disorders. International Journal of Biological Sciences, 14 (3):
341-357
Isnaeni, W. (2006). Fisiologi Hewan. Jakarta: Kanisius
Katzung, B. G., Masters, S. B., dan Trevor, A. J. (2007). Farmakologi dasar dan klinik
(10th ed.). Jakarta: EGC.
Malamed, S.F. (2010). Sedation: A Guide to Patient Management. Missouri: Mosby
Elsevier
NextGen. (2020). Reserpine 2,5 mg/ml, Injectable Solution 30 ml. Diakses pada 1
September 2022, dari https://nexgenvetrx.com/reserpine-2-5-mg-ml-injectable-
solution-30ml/
Papich, M. G. (2002). Saunders handbook of veterinary drugs (4th ed.). USA: Saunders
Company.
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9
TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN PENGGOLONGAN PSIKOTROPIKA
Riviere, J. E., dan Papich, M. G. (2018). Veterinary pharmacology & therapeutics (10th
ed.) Iowa: Wiley Blackwell.
Rock, A. H. (2007). Veterinary pharmacology: A practical guide for the veterinary
nurse. UK: Elsevier.
Romich, J. (2020). Fundamentals of Pharmachology for Veterinary Technicians. Boston:
CENGAGE
Schad, J. L., & Stromberg, P. (2020). Droperidol: Magic bullet or toxic tincture? Diakses
pada 1 September 2022, dari https://epmonthly.com/article/droperidol-magic-
bullet-or-toxic-tincture/
Sharma, B.K. (2006). Analytical Chemistry. Dehli: Krishna Prakashan Media.
Tjay, T. H., dan Rahardja, K. (2015). Obat-obat penting: Kasiat, penggunaan, dan efek
sampingnya. Jakarta: Gramedia.
Yuanita, Y., Effendi, E. M., dan Firdayani, E. M. (2019). Sedative effect of citronella
(Cymbopogon nardus (L.) Rendle) towards male mice (Mus musculus). Indonesian
Journal of Pharmaceutical Science and Technology, 1(1): 16-23
Yunani, R., Mudji, E., dan Apritya, D. (2015). PERBEDAAN EFEKTIVITAS
ANESTETIKUM ANTARA ZOLETIL-ACEPROMACIN DAN KETAMIN-
ACEPROMACIN PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus). Jurnal Kajian
Veteriner, 3(2): 113-119
VIII. LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai