Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMAKOTERAPI

ACARA VI

ONSET KERJA OBAT PADA BEBERAPA JALUR PEMBERIAN

Disusun oleh:

Nama : Jevon Benedicto Umbu Pundi

NIM : 20/455276/KH/10438

Kelompok :8

Asisten : Mirza Nur Fadilla

DEPARTEMEN FARMAKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

2022
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Obat – obat tersedia dalam berbagai bentuk, sediaan, serta dosis. Perbedaan bentuk
dan sediaan obat ada agar obat masuk ke tubuh secara efisien sehingga obat bekerja
secara optimal. Ada berbagai cara atau rute yang dapat digunakan untuk pemberian
obat. Berbagai perbedaan rute pemberian obat berfungsi untuk memaksimalkan daya
serap obat dan meminimalisasi efek samping. Oleh karena itu, dokter hewan yang
memahami dan menguasai setiap rute pemberian obat akan membantu pemilihan jalur
pemberian obat yang tepat sehingga pengobatan menjadi lebih efektif sesuai dengan
fungsinya
B. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui nasib obat di dalam tubuh
2. Mengetahui arti dari onset kerja obat
3. Mengetahui macam – macam jalur pemberian obat serta urutan onset kerja obat
pada jalur pemberian

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. ONSET KERJA OBAT
Onset merupakan waktu dari obat diberikan hingga menimbulkan efek yang
bergantung dengan rute pemberian dan farmakokinetik obat (Noviani dan Nurilawati,
2017). Menurut Fitrah et al., (2017) onset didefiniskan durasi waktu dari obat diberikan
hingga timbul efek.
1. ONSET KONVULSI
Menurut Muthahar et al., (2017), onset konvulsi merupakan waktu dari obat
diinjeksikan hingga timbul perubahan perilaku kejang akibat eksitasi berlebihan
dari populasi neuron sehinga menggangu fungsi normal. Onset konvulsi juga
didefiniskan sebagai durasi yang diperlukan obat untuk menimbulkan gejala kejang
yang terhitung dari obat diberikan (Erwin et al., 2014).
2. ONSET MATI
Onset kematian adalah interval waktu dari pemberian obat hingga hewan
mengalami kematian (Anief, 2007). Menurut Gunawan (2007), onset mati
didefinisikan sebagai rentang waktu antara pemberian obat hingga menyebabkan
kematian hewan.

B. NASIB OBAT DI DALAM TUBUH


1. FASE FARMASETIK
Menurut Kee dan Hayes (1994), fase farmasetika obat diberikan lewat
peroral yang akan diubah menjadi bentuk larutan agar dapat menembus membrane
biologis dan jika pemberian melalui rute subkutan, intramuscular, atau intravena
tidak terjadi fase farmasetika.
Disintegrasi merupakan pemecahan obat dalam bentuk sediaan padat seperti
tablet atau pil menjadi partikel - partikel yang lebih kecil atau proses lepasnya obat
dari molekul pembawanya (Kee dan Hayes, 1994). Sedangkan disolusi adalah
proses melarutnya pratikel – partikel yang lebih kecil dalam cairan tubuh seperti
gastrointestinal untuk diabsropsi (Kee dan Hayes, 1994).
2. FASE FARMAKOKINETIK
Fase farmakokinetika didefiniskan sebagai setiap proses yang dilakukan tubuh
terhadap obat meliputi absorbs, distribusi, metabolism, dan eksresi/eliminasi (Tjay
dan Rahardja, 2015).
a. Absorbsi
Proses masuknya obat menuju system srikulasi melalui absorpsi pasif,
absorpsi aktif, atau pinositosis. Obat – obat yang larut dalam lemak dan tidak
bermuatan diabsorpsi lebih cepat daripada obat yang larut dalam air dan
bermuatan. Absorpsi dipengaruhi oleh aliran darah, sress, makanan, dan pH.
Beberapa obat tidak langsung masuk ke dalam sirkulasi sitemik setelah
absorbpsi, tetapi melwati lumen usus masuk ke hati melalui vena porta (Kee
dan Hayes, 1994).
b. Distribusi
Proses obat menuju keluar ke intrastitial atau berada dalam cairan tubuh dan
jaringan tubuh. Distribusi obat dipengaruhi oleh aliran darah, afinitas terhadap
jaringan, dan efek pengikatan dengan protein. Obat berdistribusi dalam plasma
sebagian besar berikatan dengan protein terutama albumin. Hanya obat – obat
bebas yang tidak berikatan dengan protein berifat aktif dan dapat menimbulkan
respons farmakologik (Kee dan Hayes, 1994).
c. Metabolisme
Metabolisme atau biotransformasi yaitu proses perubahan struktur obat
yang dikatalis oleh enzim dalam tubuh agar obat mudah dieskresikan/
dikeluarkan dari tubuh (Anief, 2007). Metabolisme juga didefinisikan sebagai
mengubah komposisi obat sehingga mudah larut ait untuk dibuang keluar tubuh
(Noviani dan Nurilawati, 2017).
Organ utama yang bekerja dalam proses metabolism adalah hati karena
kebanyakan obat diinaktifkan oleh enzim di hati dan diubah oleh enzim hati
mnejadi metabolit inaktif yang terlatur dalam air untuk dieskresikan (Kee dan
Hayes, 1994).
Perubahan yang terjadi karena reaksi enzim sehingga digolongkan menjadi
2 fase. Fase pertama yaitu proses molekul obat diubah menjadi tidak aktif
dengan oksidasi, reduksi, dan hidrolisis, dan bersifat polar sehingga obat lebih
mudah dieksresikan. Fase kedua merupakan reaksi konjugasi atau sintetik yaitu
obat mengalami biotransformasi dengan penambahan gugus menjadi metabolit
yang reaktif sehingga dapat memperbesar aktivitas dan toksisitas obat tersebut
(Windiarti, 2019).
d. Ekskresi
Ekskresi atau eliminasi merupakan pembuangan obat dari tubuh oleh ginjal
melalui tubuh (Noviani dan Nurilawati, 2017). Macam – macam jalur eksresi
obat melalui paru – paru, eksokrin (keringat, saliva, payudara), dan kulit
(Noviani dan Nurilawati, 2017). Rute lain seperti empedu dan feses (Kee dan
Hayes, 1994).
3. FASE FARMAKODINAMIK
Farmakodinamika merupakan efek obat terhadap fisiologi tubuh dan
mekanisme kerja dari obat atau respons obat dapat menyebabkan efek fisiologis
tubuh (Kee dan Hayes, 1994). Menurut Noviani dan Nurilawati (2017), fase
farmakodinamik yaitu proses mekanisme kerja obat dalam memberikan efek efek
dalam tubuh dari segi fisiologi maupun biokimia serta.
C. JALUR PEMBERIAN OBAT
1. INTRAMUSCULAR
Pemberian obat dengan jalur intramuscular dilakukan dengan
menginjeksikan obat ke otot paha mencit dengan volume yang tidak lebih dari 0.05
ml. Ujung jarum harus diarahkan menjauh dari os femur dan saraf siatik. Ujung
jarum dimasukkan melalui kulit dan ke dalam otot dan aspirasi singkat dengan
jarum suntik sebelum injeksi (Hedrich, 2012).

Gambar injeksi IM (Hedrich, 2012)


Kekurangan dari jalur ini adalah sebenarnya jalur ini harus dihindari untuk
perlakuan kepada mencit, karena mencit memiliki otot yang kecil tidak sebesar
hewan-hewan besar lainnya. Selain itu penggunaan obat juga terbatas karena ada
obat yang bisa mengiritasi. Keuntungan dari jalur ini adalah onset kerjanya cukup
cepat (biasanya 10-15 menit, tetapi bisa juga sampai 30 menit), durasi kerjanya bisa
lebih lama dari pada IV (intravena), dan cocok diterapkan pada hewan yang penakut
karena mudah dan nyaman.
(Hedrich, 2012; Romich, 2020)
Contoh obat:
- Injeksi Dipyrone, untuk mengurangi demam, antipiretic, analgesic, dan
obat anti-inflamasi (Adva Care Pharma, 2022).
Gambar Dipyrone Injection (Adva Care Pharma, 2022)
- Injeksi Amoxicare atau Amoxcillin, penicillin spektrum luas dengan
efek bakterisidal terhadap bakteri gram-negatif dan gram-positif (Adva
Care Pharma, 2022).

Gambar Amoxicillin Injection (Adva Care Pharma, 2022)

2. SUB CUTAN
Area injeksi subcutan interscapular dan bagian flank karena kulit longgar.
Cubit kulit punggung sehingga membentuk lipatan kemudian dipegang dengan jari
jempol dan telunjuk lalu tusukkan jarum suntik di bawah kulit di dasar lipatan atau
“tent” (Fox et al., 2007). Injeksi subkutan didefiniskan sebagai metode injeksi obat
ke dalam jaringan lemak dengan sudut 45- 90° yang diabsorpsi secara perlahan
karena pembuluh darah lemak lebih sedikit (Kee dan Hayes, 1994).

Gambar injeksi SC (Hedrich, 2012)


Kelebihan dari jalur ini adalah durasi aksi lebih lama daripada IM, obat
tidak mengiritasi karena tidak dapat digunakan untuk irritating solutions, (Romich,
2020) dan memberikan efek sistemik (Anief, 2007). Kekurangan jalur ini adalah
aksi onset lebih lambat daripada IM, lebih sedikit pembuluh darah daripada IV dan
IM (Romich, 2020), dan memberikan rasa nyeri pada lokasi injeksi (Nasution,
2017).
Contoh obat:
- Ketoprofen (Ketosol®), analgetika non narkotika memiliki efek yang
sama seperti aspirin yang dapat meringankan rasa sakit tanpa
menimbulkan efek adiksi dan menurunkan kesadaran (Kee dan Hayes,
1994).

Gambar Ketosol-100 (Temanc, 2016)


- Injeksi Atropine Sulfate, sebagai parasimpatolitik pada kuda dan sapi,
penangkal parsial untuk keracunan organofosfat, pengurangan sekresi
saliva dan bronkial, pencegahan efek kolinergik pada jantung (Adva
Care Pharma, 2022).

Gambar Atropine Sulfate Injection (Adva Care Pharma, 2022)

3. INTRAPERITONEAL
Pemberian obat dengan cara menyuntikkan obat ke dalam rongga
peritoneum dan diserap ke sirkulasi darah. Penyuntikan dengan posisi kepala lebih
rendah dari abdomen (Novieastri et al., 2020). Absorbsi secara intra peritoneal
relatif cepat karena banyak vaskularissi pada daerah abdomen (Hsu, 2008).
Gambar injeksi IP (Hedrich, 2012)
Kelebihan dari jalur ini adalah dapat menggunakan obat yang mengiritasi
(Romich, 2020), dan absorbs cepat (Hsu, 2008). Kekurangannya dapat
menyebabkan peritonitis dan terbatas pada obat yang bersifat isotonis (Hsu, 2008).
Contoh obat:
- Acepromazine, obat sedative tranquilizer golongan phenotiazine dapat
menenangkan (Klugh, 2010).

Gambar Acepromazine (Klugh, 2010)


- Diazepam, obat sedative hipnotika golongan benzodiazepine juga
memberi efek mengantuk bahkan dapat menghilangkan kesadaran
(Klugh, 2010).

Gambar Diazepam (Klugh, 2010)

D. KETAMINE & XYLAZINE


Ketamine diklasifikasikan sebagai antagonis reseptor anestesi disosiatif/N methyl-
D-aspartate (NMDA). Reseptor NMDA terlibat dalam menyampaikan infromasi nyeri
ke otak (Wanamaker dan Massey, 2015). Ketamin menghasilkan pengaruh anestesi
melalui mekanisme yang bekerja pada reseptor N-methyl-D aspartate. Afinitas ketamin
sangat kuat pada reseptor NMDA, sehingga menghasilkan pengaruh analgesic yang
sangat kuat (Widyawati et al., 2015).
Xylazine merupakan α-2 agonis dengan sifat sedativa, analgetika dan dapat
relaksasi muskulus (Wanamaker dan Massey, 2015). Xyalzine bekerja melalui
mekanisme yang menghambat tonus simpatik karena xylazine mengaktivasi reseptor
post-sinap α2- adrenoreseptor sehingga menyebabkan relaksasi otot, penurunan denyut
jantung, penurunan peristaltik, relaksasi saluran cerna dan sedasi (Widyawati et al.,
2015)
Kedua obat ini sering dikombinasikan karena dapat menghasilkan anestesi yang
lebih baik dan mempunyai efek analgesia yang lebih baik dan mempunyai efek
analgesia yang sangat kuat serta menghasilkan sedasi dan hipnotik serta durasi anestesi
yang panjang pada anjing (Widyawati et al., 2015).

III. MATERI DAN METODE


A. ALAT DAN BAHAN
NO. GAMBAR FUNGSI
ALAT
1. Timbangan untuk menimbang berat
badan mencit sehingga bisa
menghitung volume obat

2. Kawat Ram untuk membantu restrain


mencit
3. Gelas beker sebagai wadah mencit

4. Jam tangan untuk menghitung waktu


/ onset kerja obat

5. Spuit untuk menginjeksikan obat


kepada mencit

BAHAN
1. Mencit sebagai objek uji
2. Ketamine sebagai obat yang akan
diinjeksikan

3. Xylazine sebagai obat yang akan


diinjeksikan

B. METODE (secara skematis)


1. Perlakuan intramuscular
Mencit ditimbang → dihitung volume ketamin dan xylazine yang dibutuhkan dan
disiapkan pada spuit → mencit direstrain → salah satu kaki belakang mencit
ditahan → dilakukan injeksi pada otot paha mencit dengan sudut injeksi 90º satu
persatu → diamati dan dihitung onset kerja obatnya
2. Perlakuan sub cutan
Mencit ditimbang → dihitung volume ketamin dan xylazine yang dibutuhkan dan
disiapkan pada spuit → mencit direstrain → kulit punggung mencit dicubit → jarum
suntik ditusukkan di bawah kulit di dasar lipatan dengan sudut 45º dan obat
diinjeksikan → diamati dan dihitung onset kerja obatnya
3. Perlakuan intraperitoneal
Mencit ditimbang → dihitung volume ketamin dan xylazine yang dibutuhkan dan
disiapkan pada spuit → mencit direstrain → menyuntikkan obat ke dalam rongga
peritoneum satu persatu → diamati dan dihitung onset kerja obatnya

4. *Metode restrain mencit*


1/3 ujung ekor mencit dipegang, diangkat, dan diletakkan diatas ram → ekor mencit
ditarik ke belakang secara perlahan dan pangkal ekor ditekan → daerah subcutan
dijepit dengan jari jempol dan telunjuk → ekor dijepit dengan kelingking

IV. HASIL PRAKTIKUM


A. PENGHITUNGAN VOLUME OBAT (sesuai kelompok masing- masing)
- Ketamin: D = 350 mg/kg; M = 30 mg/ml
- Xylazine: D = 50 mg/kg; M = 10 mg/ml
1. Mencit 1 (Obat diberi secara intramuskular) BB = 38 gr → 0,038 kg
𝐷 𝑘𝑒𝑡𝑎𝑚𝑖𝑛 𝑥 𝐵𝐵
V ketamin =
𝑀 𝑘𝑒𝑡𝑎𝑚𝑖𝑛
𝑚𝑔
350 𝑥 0,038 𝑘𝑔
𝑘𝑔
= 𝑚𝑔
30
𝑚𝑙

= 0,44 ml
𝐷 𝑥𝑦𝑙𝑎𝑧𝑖𝑛𝑒 𝑥 𝐵𝐵
V xylazine =
𝑀 𝑥𝑦𝑙𝑎𝑧𝑖𝑛𝑒
𝑚𝑔
50 𝑥 0,038 𝑘𝑔
𝑘𝑔
= 𝑚𝑔
10
𝑚𝑙

= 0,19 ml

2. Mencit 2 (Obat diberi secara subkutan) BB = 39 gr → 0,039 kg


𝐷 𝑘𝑒𝑡𝑎𝑚𝑖𝑛 𝑥 𝐵𝐵
V ketamin =
𝑀 𝑘𝑒𝑡𝑎𝑚𝑖𝑛
𝑚𝑔
350 𝑥 0,039 𝑘𝑔
𝑘𝑔
= 𝑚𝑔
30
𝑚𝑙

= 0,455 ml
𝐷 𝑥𝑦𝑙𝑎𝑧𝑖𝑛𝑒 𝑥 𝐵𝐵
V xylazine =
𝑀 𝑥𝑦𝑙𝑎𝑧𝑖𝑛𝑒
𝑚𝑔
50 𝑥 0,039 𝑘𝑔
𝑘𝑔
= 𝑚𝑔
10
𝑚𝑙

= 0,195 ml

3. Mencit 3 (Obat diberi secara intraperitoneal) BB = 40,5 gr → 0,04 kg


𝐷 𝑘𝑒𝑡𝑎𝑚𝑖𝑛 𝑥 𝐵𝐵
V ketamin =
𝑀 𝑘𝑒𝑡𝑎𝑚𝑖𝑛
𝑚𝑔
350 𝑥 0,04 𝑘𝑔
𝑘𝑔
= 𝑚𝑔
30
𝑚𝑙

= 0,46 ml
𝐷 𝑥𝑦𝑙𝑎𝑧𝑖𝑛𝑒 𝑥 𝐵𝐵
V xylazine =
𝑀 𝑥𝑦𝑙𝑎𝑧𝑖𝑛𝑒
𝑚𝑔
50 𝑥 0,04 𝑘𝑔
𝑘𝑔
= 𝑚𝑔
10
𝑚𝑙

= 0,2 ml
B. ONSET KERJA OBAT
NO GAMBAR JALUR GAMBAR ONSET KETERANGAN
PEMBERIAN OBAT KERJA OBAT (sesuai hasil
kelompokmu di tabel
hasil praktikum)
1. Intramuscular Onset konvulsi = 245
detik.
Onset mati = 710 detik.

2. Sub Cutan Onset konvulsi = - (tidak


mengalami konvulsi)
Onset mati = 305 detik.
3. Intraperitoneal Onset konvulsi = 156
detik.
Onset mati = 190 detik.

C. TABEL LATIHAN (UNTUK SPSS)


GRUP ONSET KONVULSI (DETIK) ONSET MATI (DETIK)
IM SC IP IM SC IP
1 55 96 42 77 122 58
2 59 127 52 72 141 67
3 70 101 44 68 112 57
4 87 132 69 90 145 88
5 66 115 55 79 130 76
6 52 110 46 76 129 68

D. HASIL SPSS

- Normality Test

Interpretasi: Jumlah sampel yang digunakan 18 sampel (< 50) sehingga dilihat hasil
dari nilai signifikansi (sig.) pada bagian Shapiro-Wilk.
1. Onset konvulsi
Nilai signifikansi (sig.) pada onset konvulsi dengan perlakuan IM (0,483),
SC (0,761) atau IP (0,310) yang diperoleh > 0,05 disimpulkan bahwa data
berdistribusi normal. Oleh karena itu, selanjutnya dilkukan Anova test karena data
berdistribusi normal dan menggunakan variable lebih dari 2.

Pada uji Anova, nilai signifikansi (sig.) onset konvulsi adalah 0,00 (< 0,05),
yang menunjukan hasil bahwa H0 ditolak dan H1 diterima. Hasil tersebut
menunjukan adanya pengaruh jalur pemberian obat terhadap lama onset konvulsi.

2. Onset mati
Nilai signifikansi (sig.) pada onset mati dengan perlakuan IM (0,636), SC
(0,863) atau IP (0,538) yang diperoleh > 0,05 disimpulkan bahwa data berdistribusi
normal. Oleh karena itu, selanjutnya dilkukan Anova test karena data berdistribusi
normal dan menggunakan variable lebih dari 2.

Pada uji Anova, nilai signifikansi (sig.) onset mati adalah 0,00 (< 0,05),
yang menunjukan hasil bahwa H0 ditolak dan H1 diterima. Hasil tersebut
menunjukan adanya pengaruh jalur pemberian obat terhadap lama onset mati.
E. Latihan Soal

1. Toto akan melakukan praktikum Onset Kerja pada Beberapa Jalur Pemberian Obat
di Departemen Farmakologi FKH UGM. Mencit kelompok Toto akan diberikan
perlakuan secara subcutan sebanyak 3 ml. Berapakah berat badan tikus kelompok
Toto dalam g, jika Xyla yang diberikan memiliki konsentrasi 0,1% dan dosis 10
mg/kg BB?

Diketahui: M = 0,1 % → 1 mg/ml

D = 10 mg/kg

V = 3 ml

Ditanya: berat badan tikus = ?

𝐷 𝑥 𝐵𝐵
Jawab: V =
𝑀
𝑚𝑔
10 𝑥 𝐵𝐵
𝑘𝑔
3 ml = 𝑚𝑔
1
𝑚𝑙
𝑚𝑔
3 𝑚𝑙 𝑥 1
𝑚𝑙
BB = 𝑚𝑔
10
𝑘𝑔

= 0,3 kg → 300 gram


Jadi berat badan tikus kelompok Toto adalah 300 gram

2. drh. Yuki akan memberikan obat kepada seekor anjing dengan berat badan 10 kg.
Kucing tersebut memerlukan dosis obat sebanyak 36 mg sedangkan tablet obat
yang tersedia memiliki dosis 3 mg. Berapa jumlah tablet obat yang dibutuhkan oleh
drh. Yuki?

Diketahui: BB = 10 kg

D diperlukan = 36 mg

D tersedia = 3 mg
Ditanya: jumlah tablet yang dibutuhkan?

dosis diperlukan
Jawab: jumlah tablet dibutuhkan = x tablet tersedia
𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑑𝑖𝑎
36 mg
= x 1 tablet
3 𝑚𝑔

= 12 tablet
Jadi jumlah tablet yang dibutuhkan oleh drh. Yuki sebanyak 12 tablet

3. Norris membutuhkan ketamine sebanyak 5 mL dengan konsentrasi 100 mg/ml


untuk menguji onset kerja obat. Sediaan ketamine yang tersedia memiliki
konsentrasi 20%. Berapa volume aquades yang perlu ditambahkan?

Diketahui: V2 = 5 ml

M2 = 100 mg/ml → 10%

M1 = 20%

Ditanya: volume aquades yang perlu ditambah?

Jawab: V1 x M1 = V2 x M2

V1 x 20% = 5 ml x 10%

5 ml x 10%
V1 = 20%

= 2,5 ml

Volume aquades yang perlu ditambah = V2-V1

= 5 ml – 2,5 ml

= 2,5 ml

Jadi volume aquades yang perlu ditambah untuk mendapat konsentrasi dan volume
yang diinginkan adalah sebanyak 2,5 ml
V. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, dilakukan percobaan untuk mengetahui onset kerja obat di
berbagai jalur pemberian obat. Untuk praktikum kali ini, jalur pemberian obat yang
digunakan ada 3 yaitu, intramuskular (IM), subcutan (SC), dan intraperitoneal (IP). Obat
diinjeksikan sesuai jalurnya lalu dihitung waktunya hingga konvulsi dan mati untuk
mengetahui onset kerja obat. Pada percobaan kelompok 8 didapatkan hasil urutan onset
konvulsi dari yang tercepat hingga terlambat adalah tikus IP dengan waktu 156 detik
selanjutnya disusul oleh tikus IM dengan waktu 245 detik. Tikus SC pada kelompok 8 tidak
mengalami konvulsi melainkan langsung menuju stadium akhir anestetika. Lalu untuk
onset mati didapati hasil yang tercepat tikus IP dengan waktu 190 detik, selanjutnya tikus
SC dengan waktu 305 detik, dan terakhir tikus IM dengan waktu 710 detik. Urutan ini tidak
sesuai dengan literatur Romich (2020), yang menyatakan bahwa urutan absorbsi dan onset
kerja obat dari yang tercepat hingga terlambat adalah intravena, intraperitoneal,
intramuscular, sub cutan dan per oral. Sehingga seharusnya urutan yang benar sesuai
literatur adalah tikus IP, lalu tikus IM, dan yang terakhir tikus SC.
Pemberian obat intraperitoneal menurut Novieastri et al. (2020), dengan cara
menyuntikkan obat ke dalam rongga peritoneum dan diserap ke sirkulasi darah.
Penyuntikan dengan posisi kepala lebih rendah dari abdomen. Absorbsi secara
intraperitoneal relatif cepat karena banyak vaskularissi pada daerah abdomen (Hsu, 2008).
Hal ini dapat menjelaskan mengapa tikus IP pada percobaan di kelompok 8 memiliki hasil
onset kerja paling cepat pada onset konvulsi serta onset mati.
Untuk injeksi intramuscular, Romich (2020), menyatakan bahwa obat yang diinjeksi
secara intramuscular akan terdesposisi dalam cairan yang mengelilingi sel dan berdifusi
melalui cairan untuk mencapai kapiler. Proses-proses yang harus dilalui oleh obat ini
membuat injeksi intramuscular lebih butuh waktu ketimbang injeksi intraperitoneal. Hal
ini dapat menjelaskan mengapa tikus IM memiliki onset kerja yang lebih lama ketimbang
tikus IP.
Menurut literatur Romich (2020), seharusnya injeksi subcutan memiliki onset kerja
yang lebih lama ketimbang intramuscular karena pada area subcutan, permukaanya lebih
lambat meabsorbsi obat ketimbang intramuscular. Stevens et al. (1999), menambahkan
bahwa pemberian obat secara subcutan dilakukan terutama pada obat-obatan yang harus
menyebar dan diserap oleh tubuh secara perlahan-lahan. Namun, hasil yang didapat di
kelompok 8 berbeda dengan literatur. Pada hasil percobaan didapatkan hasil bahwa tikus
SC tidak mengalami konvulsi dan onset matinya lebih cepat ketimbang tikus IM. Hal ini
mungkin terjadi karena adanya kesalahan injeksi pada saat praktikum. Fox et al. (2007),
menyatakan bahwa injeksi subcutan dilakukan dengan mencubit kulit punggung sehingga
membentuk lipatan kemudian dipegang dengan jari jempol dan telunjuk lalu tusukkan
jarum suntik di bawah kulit di dasar lipatan atau “tent”. Injeksi subkutan didefiniskan
sebagai metode injeksi obat ke dalam jaringan lemak dengan sudut 45- 90° yang diabsorpsi
secara perlahan karena pembuluh darah lemak lebih sedikit (Kee dan Hayes, 1994). Pada
percobaan kelompok 8 terjadi kesalahan injeksi yang bahkan menyebabkan keluarnya
darah dari area injeksi.
Hasil data yang diperoleh diolah menggunakan aplikasi SPSS. Jumlah sampel yang
digunakan adalah 36 sampel hingga dampel data <50 sehingga data signifikansi Shapiro-
Wilk yang menurut litertur Suardi (2019) mengatakan bahwa sample berjumlah <50 akan
dilakukan uji Shapiro-Wilk. Lalu didapatkan pula hasil di mana P>0.005. Menurut Wijaya
et al. (2018), syarat data terdistribusi normal adalah P>0.05. Ini berarti hasil terdistribusi
dengan normal dan akan dilanjutkan uji One Way Anova karena variabel yang digunakan
lebih dari 2 dan data terdistribusi secara normal.
Hasil signifikasni yang muncul pada onset konvulsi dan onset mati pun <0.05. Menurut
Adi dan Marsruri (2017), nilai signifkansi >0.05 menunjukkan tidak adanya perbedaan
antara perlakuan, sedangkan nilai signifikansi sebesar <0.05 menunjukkan adanya
perbedaan antar perlakuan. Dengan itu, dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak and H1
diterima dan terdapat pengaruh antara jalur pemberian obat dengan onset mati maupun
onset konvulsinya. Hal ini sudah sesuai dengan pernyataan Noviani dan Nurilawati (2017),
bahwa onset adalh waktu dari saat obat diberikan hingga obat terasa bekerja yang sangat
bergantung pada rute pemberian dan farmkokinetik obat.
VI. KESIMPULAN
1. Nasib obat dalam tubuh dapat mengalami fase farmasetik, farmakinetik, dan
farmakodinamik lalu menimbulkan efek farmakologis.
2. Onset kerja obat merupakan rentang waktu dari pemberian obat hingga timbulnya efek.
3. Jalur pemberian obat dapat diberikan secara peroral atau parenteral melalui intravena,
intraperitoneal, intramuscular, dan subcutan. Jalur pemberian obat dari onset kerja
tercepat hingga terlambat yaitu intrevena, intraperitoneal, intramuscular, subcutan, dan
peroral.

VII. DAFTAR PUSTAKA (minimal 3 buku tahun bebas dan 2 jurnal minimal tahun 2013)

Adi, D. P., & Masruri, M. S. (2017). Keefektifan Pendekatan Saintifik Model Problem

Based Learning, Problem Solving, dan Inquiry dalam Pembelajaran IPS. Harmoni

Sosial: Jurnal Pendidikan IPS, 4(2), 142–152.

Adva Care Pharma. (2022). Amoxicillin Injection | AdvaCare Pharma. Diakses pada 29

September 2022, dari Adva Care Pharma USA website:

https://www.advacarepharma.com/en/veterinary/amoxicillin-

injection#:~:text=This%20antibiotic%20therapy%20is%20indicated

Adva Care Pharma. (2022). Atropine Sulfate Injection | AdvaCare Pharma. Diakses pada

29 September 2022, dari Adva Care Pharma USA website:


https://www.advacarepharma.com/en/veterinary/atropine-sulfate-injection

Adva Care Pharma. (2022). Dipyrone Injection | AdvaCare Pharma. Diakses pada 29

September 2022, dari Adva Care Pharma USA website:

https://www.advacarepharma.com/en/veterinary/dipyrone-injection

Anief, M. (2007). Apa yang Perlu Diketahui Tentang Obat. Yogyakarta: UGM Press.

Erwin, Rusli, Zuraidawai, dan Irwansyah, F. (2014). Efek Profonol terhadap Onset dan

Sedasi pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Diabetes Melitus. Jurnal Medika
Veterinaria, 8(2): 138-140.
Fox, J.G., Barthold, S.W., Davisson, M.T., Newcomer, C.E., Quimby, F.W., dan Smith,

A.L. (2007). The Mouse in Biomedical Research Disease Second Edition. USA:

Elsevier.

Gunawan, S.G. (2007). Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi

dan Teraupetik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Hedrich, H. J. (2012). The Laboratory Mouse. San Diego: Elsevier.

Hsu, W.H. (2008). Handbook of Veterinary Pharmacology. USA: Wiley-Blackwell

Kee, J.L., dan Hayes, E.R. (1994). Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan.

Jakarta: Kedokteran ECG

Klugh, D.O. (2010). Principles of Equine Dentistry. Florida: CRC Press

Muthahar, Y.F., Fitrianingsih, S.P., dan Mulqie, L. (2017). Uji Aktivitas Antikovulsan

Ekstrak Etanol Herba Inggu (Ruta Angustifolia [L.] Pers.) terhadap Mencit yang

Diinduksi Strikhnin. Prosding Farmasi, 2: 606-611.

Nasution, R.E.P. (2017). Panduan Singkat Farmakologi Klinis bagi Mahasiswa

Kedokteran. Yogyakarta: Deepublsih

Noviani, N., dan Nurilawati, V. (2017). Bahan Ajar Keperawatan Gigi: Farmakologi.

Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan

Novieastri, E., Ibrahim, K., Deswani, dan Ramdaniati, S. (2020). Dasar – Dasar

Keperawatan Edisi 9. Singapore: Elsevier

Romich, J.A., (2020). Fundamentals of Pharmacology for Veterinary Technicians Third

Edition. USA: Cengage.

Stevens, P. J. M., Bordui, F., dan Weyde, J. A. G. (1999). Ilmu Keperawatan. Jakarta :

Penerbit Buku Kedokteran EGC

Suardi. (2019). Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Pegawai Pada PT Bank

Mandiri, Tbk Kantor Cabang Pontianak. JBEE : Journal Business Economics and
Entrepreneurship, 1(2), 9–18.
Temanc. (2016). Ketosol-100. Diakses pada 29 September 2022, dari

http://www.temanc.com/produk/ketosol-100

Tjay, T.H., dan Rahardja, K. (2015). Obat – Obat Penting Edisi VII: Khasiat, Penggunaan,

dan Efek – Efek Sampingnya. Jakarta: Elex Media Komputindo

Wanamaker, B.P., dan Massey, K.L. (2015). Applied Pharmacology for Veterinary

Technicians Fifth Edition. Missouri: Elsevier

Widyawati, R., & Ayomi, B. D. S. (2015). The Comparison of Ketamine, Xylazine and

Ketamine-Xylazine Combination to Rat (Rattus norvegicus). VITEK-Bidang

Kedokteran Hewan, 5(10), 1–5.

Wijaya, C., Sukohar, A., dann Soleha, T. U. (2018). Pengaruh Pemberian Dosis

Bertingkat Konsentrat Tart Cherry (Prunus cerasus) terhadap Perpanjangan Waktu

Tidur Mencit yang Diinduksi Fenobarbita. Majority Journal. 7(2), 117 – 121.

Windiarti, H. (2019). Metabolisme Obat pada Penyakit Kardiovaskuler. Jurnal Kedokteran

4(2): 1-4.
VIII. LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai