6 8 Jevon Benedicto Umbu Pundi
6 8 Jevon Benedicto Umbu Pundi
FARMAKOTERAPI
ACARA VI
Disusun oleh:
NIM : 20/455276/KH/10438
Kelompok :8
DEPARTEMEN FARMAKOLOGI
2022
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Obat – obat tersedia dalam berbagai bentuk, sediaan, serta dosis. Perbedaan bentuk
dan sediaan obat ada agar obat masuk ke tubuh secara efisien sehingga obat bekerja
secara optimal. Ada berbagai cara atau rute yang dapat digunakan untuk pemberian
obat. Berbagai perbedaan rute pemberian obat berfungsi untuk memaksimalkan daya
serap obat dan meminimalisasi efek samping. Oleh karena itu, dokter hewan yang
memahami dan menguasai setiap rute pemberian obat akan membantu pemilihan jalur
pemberian obat yang tepat sehingga pengobatan menjadi lebih efektif sesuai dengan
fungsinya
B. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui nasib obat di dalam tubuh
2. Mengetahui arti dari onset kerja obat
3. Mengetahui macam – macam jalur pemberian obat serta urutan onset kerja obat
pada jalur pemberian
2. SUB CUTAN
Area injeksi subcutan interscapular dan bagian flank karena kulit longgar.
Cubit kulit punggung sehingga membentuk lipatan kemudian dipegang dengan jari
jempol dan telunjuk lalu tusukkan jarum suntik di bawah kulit di dasar lipatan atau
“tent” (Fox et al., 2007). Injeksi subkutan didefiniskan sebagai metode injeksi obat
ke dalam jaringan lemak dengan sudut 45- 90° yang diabsorpsi secara perlahan
karena pembuluh darah lemak lebih sedikit (Kee dan Hayes, 1994).
3. INTRAPERITONEAL
Pemberian obat dengan cara menyuntikkan obat ke dalam rongga
peritoneum dan diserap ke sirkulasi darah. Penyuntikan dengan posisi kepala lebih
rendah dari abdomen (Novieastri et al., 2020). Absorbsi secara intra peritoneal
relatif cepat karena banyak vaskularissi pada daerah abdomen (Hsu, 2008).
Gambar injeksi IP (Hedrich, 2012)
Kelebihan dari jalur ini adalah dapat menggunakan obat yang mengiritasi
(Romich, 2020), dan absorbs cepat (Hsu, 2008). Kekurangannya dapat
menyebabkan peritonitis dan terbatas pada obat yang bersifat isotonis (Hsu, 2008).
Contoh obat:
- Acepromazine, obat sedative tranquilizer golongan phenotiazine dapat
menenangkan (Klugh, 2010).
BAHAN
1. Mencit sebagai objek uji
2. Ketamine sebagai obat yang akan
diinjeksikan
= 0,44 ml
𝐷 𝑥𝑦𝑙𝑎𝑧𝑖𝑛𝑒 𝑥 𝐵𝐵
V xylazine =
𝑀 𝑥𝑦𝑙𝑎𝑧𝑖𝑛𝑒
𝑚𝑔
50 𝑥 0,038 𝑘𝑔
𝑘𝑔
= 𝑚𝑔
10
𝑚𝑙
= 0,19 ml
= 0,455 ml
𝐷 𝑥𝑦𝑙𝑎𝑧𝑖𝑛𝑒 𝑥 𝐵𝐵
V xylazine =
𝑀 𝑥𝑦𝑙𝑎𝑧𝑖𝑛𝑒
𝑚𝑔
50 𝑥 0,039 𝑘𝑔
𝑘𝑔
= 𝑚𝑔
10
𝑚𝑙
= 0,195 ml
= 0,46 ml
𝐷 𝑥𝑦𝑙𝑎𝑧𝑖𝑛𝑒 𝑥 𝐵𝐵
V xylazine =
𝑀 𝑥𝑦𝑙𝑎𝑧𝑖𝑛𝑒
𝑚𝑔
50 𝑥 0,04 𝑘𝑔
𝑘𝑔
= 𝑚𝑔
10
𝑚𝑙
= 0,2 ml
B. ONSET KERJA OBAT
NO GAMBAR JALUR GAMBAR ONSET KETERANGAN
PEMBERIAN OBAT KERJA OBAT (sesuai hasil
kelompokmu di tabel
hasil praktikum)
1. Intramuscular Onset konvulsi = 245
detik.
Onset mati = 710 detik.
D. HASIL SPSS
- Normality Test
Interpretasi: Jumlah sampel yang digunakan 18 sampel (< 50) sehingga dilihat hasil
dari nilai signifikansi (sig.) pada bagian Shapiro-Wilk.
1. Onset konvulsi
Nilai signifikansi (sig.) pada onset konvulsi dengan perlakuan IM (0,483),
SC (0,761) atau IP (0,310) yang diperoleh > 0,05 disimpulkan bahwa data
berdistribusi normal. Oleh karena itu, selanjutnya dilkukan Anova test karena data
berdistribusi normal dan menggunakan variable lebih dari 2.
Pada uji Anova, nilai signifikansi (sig.) onset konvulsi adalah 0,00 (< 0,05),
yang menunjukan hasil bahwa H0 ditolak dan H1 diterima. Hasil tersebut
menunjukan adanya pengaruh jalur pemberian obat terhadap lama onset konvulsi.
2. Onset mati
Nilai signifikansi (sig.) pada onset mati dengan perlakuan IM (0,636), SC
(0,863) atau IP (0,538) yang diperoleh > 0,05 disimpulkan bahwa data berdistribusi
normal. Oleh karena itu, selanjutnya dilkukan Anova test karena data berdistribusi
normal dan menggunakan variable lebih dari 2.
Pada uji Anova, nilai signifikansi (sig.) onset mati adalah 0,00 (< 0,05),
yang menunjukan hasil bahwa H0 ditolak dan H1 diterima. Hasil tersebut
menunjukan adanya pengaruh jalur pemberian obat terhadap lama onset mati.
E. Latihan Soal
1. Toto akan melakukan praktikum Onset Kerja pada Beberapa Jalur Pemberian Obat
di Departemen Farmakologi FKH UGM. Mencit kelompok Toto akan diberikan
perlakuan secara subcutan sebanyak 3 ml. Berapakah berat badan tikus kelompok
Toto dalam g, jika Xyla yang diberikan memiliki konsentrasi 0,1% dan dosis 10
mg/kg BB?
D = 10 mg/kg
V = 3 ml
𝐷 𝑥 𝐵𝐵
Jawab: V =
𝑀
𝑚𝑔
10 𝑥 𝐵𝐵
𝑘𝑔
3 ml = 𝑚𝑔
1
𝑚𝑙
𝑚𝑔
3 𝑚𝑙 𝑥 1
𝑚𝑙
BB = 𝑚𝑔
10
𝑘𝑔
2. drh. Yuki akan memberikan obat kepada seekor anjing dengan berat badan 10 kg.
Kucing tersebut memerlukan dosis obat sebanyak 36 mg sedangkan tablet obat
yang tersedia memiliki dosis 3 mg. Berapa jumlah tablet obat yang dibutuhkan oleh
drh. Yuki?
Diketahui: BB = 10 kg
D diperlukan = 36 mg
D tersedia = 3 mg
Ditanya: jumlah tablet yang dibutuhkan?
dosis diperlukan
Jawab: jumlah tablet dibutuhkan = x tablet tersedia
𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑑𝑖𝑎
36 mg
= x 1 tablet
3 𝑚𝑔
= 12 tablet
Jadi jumlah tablet yang dibutuhkan oleh drh. Yuki sebanyak 12 tablet
Diketahui: V2 = 5 ml
M1 = 20%
Jawab: V1 x M1 = V2 x M2
V1 x 20% = 5 ml x 10%
5 ml x 10%
V1 = 20%
= 2,5 ml
= 5 ml – 2,5 ml
= 2,5 ml
Jadi volume aquades yang perlu ditambah untuk mendapat konsentrasi dan volume
yang diinginkan adalah sebanyak 2,5 ml
V. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, dilakukan percobaan untuk mengetahui onset kerja obat di
berbagai jalur pemberian obat. Untuk praktikum kali ini, jalur pemberian obat yang
digunakan ada 3 yaitu, intramuskular (IM), subcutan (SC), dan intraperitoneal (IP). Obat
diinjeksikan sesuai jalurnya lalu dihitung waktunya hingga konvulsi dan mati untuk
mengetahui onset kerja obat. Pada percobaan kelompok 8 didapatkan hasil urutan onset
konvulsi dari yang tercepat hingga terlambat adalah tikus IP dengan waktu 156 detik
selanjutnya disusul oleh tikus IM dengan waktu 245 detik. Tikus SC pada kelompok 8 tidak
mengalami konvulsi melainkan langsung menuju stadium akhir anestetika. Lalu untuk
onset mati didapati hasil yang tercepat tikus IP dengan waktu 190 detik, selanjutnya tikus
SC dengan waktu 305 detik, dan terakhir tikus IM dengan waktu 710 detik. Urutan ini tidak
sesuai dengan literatur Romich (2020), yang menyatakan bahwa urutan absorbsi dan onset
kerja obat dari yang tercepat hingga terlambat adalah intravena, intraperitoneal,
intramuscular, sub cutan dan per oral. Sehingga seharusnya urutan yang benar sesuai
literatur adalah tikus IP, lalu tikus IM, dan yang terakhir tikus SC.
Pemberian obat intraperitoneal menurut Novieastri et al. (2020), dengan cara
menyuntikkan obat ke dalam rongga peritoneum dan diserap ke sirkulasi darah.
Penyuntikan dengan posisi kepala lebih rendah dari abdomen. Absorbsi secara
intraperitoneal relatif cepat karena banyak vaskularissi pada daerah abdomen (Hsu, 2008).
Hal ini dapat menjelaskan mengapa tikus IP pada percobaan di kelompok 8 memiliki hasil
onset kerja paling cepat pada onset konvulsi serta onset mati.
Untuk injeksi intramuscular, Romich (2020), menyatakan bahwa obat yang diinjeksi
secara intramuscular akan terdesposisi dalam cairan yang mengelilingi sel dan berdifusi
melalui cairan untuk mencapai kapiler. Proses-proses yang harus dilalui oleh obat ini
membuat injeksi intramuscular lebih butuh waktu ketimbang injeksi intraperitoneal. Hal
ini dapat menjelaskan mengapa tikus IM memiliki onset kerja yang lebih lama ketimbang
tikus IP.
Menurut literatur Romich (2020), seharusnya injeksi subcutan memiliki onset kerja
yang lebih lama ketimbang intramuscular karena pada area subcutan, permukaanya lebih
lambat meabsorbsi obat ketimbang intramuscular. Stevens et al. (1999), menambahkan
bahwa pemberian obat secara subcutan dilakukan terutama pada obat-obatan yang harus
menyebar dan diserap oleh tubuh secara perlahan-lahan. Namun, hasil yang didapat di
kelompok 8 berbeda dengan literatur. Pada hasil percobaan didapatkan hasil bahwa tikus
SC tidak mengalami konvulsi dan onset matinya lebih cepat ketimbang tikus IM. Hal ini
mungkin terjadi karena adanya kesalahan injeksi pada saat praktikum. Fox et al. (2007),
menyatakan bahwa injeksi subcutan dilakukan dengan mencubit kulit punggung sehingga
membentuk lipatan kemudian dipegang dengan jari jempol dan telunjuk lalu tusukkan
jarum suntik di bawah kulit di dasar lipatan atau “tent”. Injeksi subkutan didefiniskan
sebagai metode injeksi obat ke dalam jaringan lemak dengan sudut 45- 90° yang diabsorpsi
secara perlahan karena pembuluh darah lemak lebih sedikit (Kee dan Hayes, 1994). Pada
percobaan kelompok 8 terjadi kesalahan injeksi yang bahkan menyebabkan keluarnya
darah dari area injeksi.
Hasil data yang diperoleh diolah menggunakan aplikasi SPSS. Jumlah sampel yang
digunakan adalah 36 sampel hingga dampel data <50 sehingga data signifikansi Shapiro-
Wilk yang menurut litertur Suardi (2019) mengatakan bahwa sample berjumlah <50 akan
dilakukan uji Shapiro-Wilk. Lalu didapatkan pula hasil di mana P>0.005. Menurut Wijaya
et al. (2018), syarat data terdistribusi normal adalah P>0.05. Ini berarti hasil terdistribusi
dengan normal dan akan dilanjutkan uji One Way Anova karena variabel yang digunakan
lebih dari 2 dan data terdistribusi secara normal.
Hasil signifikasni yang muncul pada onset konvulsi dan onset mati pun <0.05. Menurut
Adi dan Marsruri (2017), nilai signifkansi >0.05 menunjukkan tidak adanya perbedaan
antara perlakuan, sedangkan nilai signifikansi sebesar <0.05 menunjukkan adanya
perbedaan antar perlakuan. Dengan itu, dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak and H1
diterima dan terdapat pengaruh antara jalur pemberian obat dengan onset mati maupun
onset konvulsinya. Hal ini sudah sesuai dengan pernyataan Noviani dan Nurilawati (2017),
bahwa onset adalh waktu dari saat obat diberikan hingga obat terasa bekerja yang sangat
bergantung pada rute pemberian dan farmkokinetik obat.
VI. KESIMPULAN
1. Nasib obat dalam tubuh dapat mengalami fase farmasetik, farmakinetik, dan
farmakodinamik lalu menimbulkan efek farmakologis.
2. Onset kerja obat merupakan rentang waktu dari pemberian obat hingga timbulnya efek.
3. Jalur pemberian obat dapat diberikan secara peroral atau parenteral melalui intravena,
intraperitoneal, intramuscular, dan subcutan. Jalur pemberian obat dari onset kerja
tercepat hingga terlambat yaitu intrevena, intraperitoneal, intramuscular, subcutan, dan
peroral.
VII. DAFTAR PUSTAKA (minimal 3 buku tahun bebas dan 2 jurnal minimal tahun 2013)
Adi, D. P., & Masruri, M. S. (2017). Keefektifan Pendekatan Saintifik Model Problem
Based Learning, Problem Solving, dan Inquiry dalam Pembelajaran IPS. Harmoni
Adva Care Pharma. (2022). Amoxicillin Injection | AdvaCare Pharma. Diakses pada 29
https://www.advacarepharma.com/en/veterinary/amoxicillin-
injection#:~:text=This%20antibiotic%20therapy%20is%20indicated
Adva Care Pharma. (2022). Atropine Sulfate Injection | AdvaCare Pharma. Diakses pada
Adva Care Pharma. (2022). Dipyrone Injection | AdvaCare Pharma. Diakses pada 29
https://www.advacarepharma.com/en/veterinary/dipyrone-injection
Anief, M. (2007). Apa yang Perlu Diketahui Tentang Obat. Yogyakarta: UGM Press.
Erwin, Rusli, Zuraidawai, dan Irwansyah, F. (2014). Efek Profonol terhadap Onset dan
Sedasi pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Diabetes Melitus. Jurnal Medika
Veterinaria, 8(2): 138-140.
Fox, J.G., Barthold, S.W., Davisson, M.T., Newcomer, C.E., Quimby, F.W., dan Smith,
A.L. (2007). The Mouse in Biomedical Research Disease Second Edition. USA:
Elsevier.
Gunawan, S.G. (2007). Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi
Kee, J.L., dan Hayes, E.R. (1994). Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan.
Muthahar, Y.F., Fitrianingsih, S.P., dan Mulqie, L. (2017). Uji Aktivitas Antikovulsan
Ekstrak Etanol Herba Inggu (Ruta Angustifolia [L.] Pers.) terhadap Mencit yang
Noviani, N., dan Nurilawati, V. (2017). Bahan Ajar Keperawatan Gigi: Farmakologi.
Novieastri, E., Ibrahim, K., Deswani, dan Ramdaniati, S. (2020). Dasar – Dasar
Stevens, P. J. M., Bordui, F., dan Weyde, J. A. G. (1999). Ilmu Keperawatan. Jakarta :
Suardi. (2019). Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Pegawai Pada PT Bank
Mandiri, Tbk Kantor Cabang Pontianak. JBEE : Journal Business Economics and
Entrepreneurship, 1(2), 9–18.
Temanc. (2016). Ketosol-100. Diakses pada 29 September 2022, dari
http://www.temanc.com/produk/ketosol-100
Tjay, T.H., dan Rahardja, K. (2015). Obat – Obat Penting Edisi VII: Khasiat, Penggunaan,
Wanamaker, B.P., dan Massey, K.L. (2015). Applied Pharmacology for Veterinary
Widyawati, R., & Ayomi, B. D. S. (2015). The Comparison of Ketamine, Xylazine and
Wijaya, C., Sukohar, A., dann Soleha, T. U. (2018). Pengaruh Pemberian Dosis
Tidur Mencit yang Diinduksi Fenobarbita. Majority Journal. 7(2), 117 – 121.
4(2): 1-4.
VIII. LAMPIRAN