Anda di halaman 1dari 6

I.

PENDAHULUAN

A. Judul
Rute Pemberian Obat pada Kelinci dan Mencit (Mus musculus)
B. Tujuan:
1. Mengetahui efek dan kecepatan absorbdi obat Diazepam pada hewan
uji mencit (Mus musculus).
2. Mengetahui efek pemberian obat secara topikal pada kelinci pada
interval 1 jam, 24 jam, dan 48 jam.
II. TINJAUAN PUSTAKA

Terdapat berbagai macam jalur obat yang dapat diberikan pada hewan uji
seperti jalur oral dimana obat diberikan ke mulut hingga melewati saluran
perncernaan dan akan diserap oleh gastrointestinal (GI). Kelebihannya terletak
pada jalur yang digunakan lebih aman dan termasuk metode yang mudah
dilakukan pada hewan uji. Kelemahannya adalah jika melalui jalur ini, maka
memiliki bioavailabilitas yang rendah dibanding obat jalur lain karena melewati
first pass metabolism, serta dapat saja membuat gastrointestinal (GI) teriritasi
serta obatnya harus dibuat tahan asam agar tidak cepat terdegradasi asam lambung
(HCl) (Nebendahl, 2000).
Intraperitoneal adalah pemberian obat melalui saluran peritoneal yaitu
memasukan obat ke pembuluh mesentrik lalu obat tersebut melewati hati dan akan
diabsorbsi. Kelemahannya adalah jika salah memasukan injeksi dapat
menyebabkan ginjal mencit terkena jarum, Selain itu sensivitas jaringan mencit
terbatas sehingga menimbulkan iritasi. Kelebihan obat ini adalah karena mencit
memiliki luas permukaan rongga perut yang besar, pemberian cara ini paling
sering dilakukan serta kecepatan absorbsinya tergolong tinggi dibandingkan rute
pemberian obat intravena (Turner dkk., 2011).
Injeksi subkutan adalah pemberian obat melalui jaringan subkutan
(jaringan di bawah kulit) yang selanjutnya diabsorbsi sirkulasi sistemik.
Kelebihannya karena tidak melewati jalur gastrointestinal maka
bioavailabilitasnya lebih tingi dari jalur oral serta obat dapat masuk ke dalam
aliran darah (Larson, 2016). Kelemahannya adalah hewan uji merasakan sakit
serta karena menggunakan jarum dan memiliki bioavailabilitas lebih rendah
dibandingkan injeksi intraperitoneal (Suckow dkk., 2000).
Topikal (pemberian obat melalui kulit) dilakukan dengan maksud adanya
absorbsi obat di membran mukosa sehingga obat masuk ke dalam tubuh.
Kelebihannya adalah absorbsi langsung ke jaringan sirkulasi sistemik, bersifat
spesifik penyakit infeksi kulit serta lebih tertahan lama absorbsi obatnya.
Kelemahannya adalah dapat terjilat hewan uji, harus dilakukan pembersihan bulu
terlebih dahulu pada area pemberian obat serta obat harus dilarutkan dalam pelarut
volatil terlebih dahulu (Nebendahl, 2000).
Rute pemberian dibagi menjadi 2 yaitu parenteral (injeksi, infusi, topikal,
dan inhalasi) dan enteral (oral, rektum, dan intragastric). Setelah itu akan terjadi
absorpsi, distribusi, metabolisme obat, dan ekskresi dari obat itu sendiri
(farmakokinetik obat). Pada rute parenteral, obat akan langsung ke sirkulasi
sistemik, paru-paru, kulit, dan pada akhirnya ke endotelium vaskuler sedangkan
pada rute enteral, obat masuk ke dalam saluran pencernaan dan mengalami efek
pertama (first pass effect) pada hati dan gastrointestinal (GI) yang dapat
berpengaruh bagi tempat obat memberikan efeknya (Pond dan Tozer, 1984).
Terdapat rentan waktu antara saat obat diberikan hingga kerja obat mulai
terasa / memberikan efek dimana rentan waktu ini disebut waktu onset. Ada juga
yang disebut waktu durasi yaitu jangka / lamanya waktu dimana obat
menghasilkan suatu efek terapi. Baik waktu onset maupun waktu durasi
tergantung pada rute pemberian dan farmakokinetik obat (Gunawan, 2009).
Diazepam adalah turunan dari benzodiazepin yang bersifat long acting
dengan waktu paruh >24 jam dan berfungsi sebagai anksiolitis, relaksasi otot,
hiptonik dan sedativa serta antikonvulsi dan digunakan dengan bentuk injeksi
intravena atau penggunaan oral. Diazepam sendiri adalah bahan kandungan yang
terdapat pada beberapa obat dan sering digunakan dalam obat penenang dan obat
anti kecemasan dimana memiliki efek kelebihan dosis berupa kantuk, pingsan,
koma, depresi pernafasan dan hipotensi. Dosis diazepam berbeda tergantung usia
dan pemakaiannya seperti orang dewasa adalan 5-30 mg (per hari) untuk
kecemasan atau gangguan mental, 5-15 untuk insomnia dan pengendalian kejang
otot sedangkan untuk anak-anak adalah 0,12 – 0,8 mg/kg sehari yang dibagi
dalam 3 atau 4 dosis (Tjay dan Rahardja, 2007).
Salep adalah sediaan setengah padat ditujukan untuk pemakaian topikal
pada kulit (dengan atau tanpa penggosokan) atau selaput. Bedak merupakan salah
satu kosmetik berupa bubuk yang dipakai pada permukaan kulit. Lotion
merupakan salah satu kosmetik yang dapat dipakai sebagai pelembab kulitatau
perlindungn terhadap cahaya matahari (Rositha dan Ismawati, 2014).
Produk-produk tersebut memiliki bahan dasar yang dapat saja merupakan
senyawa iritan seperti bubuk talc, fragrance sintetik, dan asam salisilat. Menurut
Loux (2008) bubuk talc dapat menyebabkan iritasi akibat efek kering, bersifat
karsinogen serta dapat menimbulkan iritasi paru-paru. Menurut Fischer (2011),
penggunaan fragrance sintetik dapat menyebabkan sensivitas berupa kontak alergi
dermatitis di muka beserta iritasi. Menurut (Bolognia dkk., 2012), senyawa asam
salisilat dapat menyebabkan iritasi, kemerahan, dan alergi seperti pembengkakan,
serta toksik neurologi dan gastrointestinal.
Terdapat dua jenis dermatitis kontak, yaitu dermatitis kontak iritan (DKI)
dan dermatitis kontak alergik (DKA). DKI (Irritant Contact Dermatitis) dapat
terjadi karena penggunaan berlebih dari produk kosmetik sehingga merusak kulit.
Reaksi gejalanya berupa sensasi terbakar pada kulit, gatal-gatal, dan kemerahan
pada kulit. Sedangkan DKA (Allergic Contact Dermatitis) adalah karena adanya
alergi terhadap komposisi dari produk kosmetik yang digunakan seperti terdapat
fragrance (keharuman) dimana memiliki reaksi gejala hampir sama dengan iritasi,
namun gejala alergi dapat berupa bengkak dan perih (Bennet dkk., 2007).
Mencit digunakan sebagai hewan uji karena memiliki kesamaan dalam hal
anatomi, fisiologi maupun genetik. Selain itu reproduksinya cepat, berharga
murah, dan mudah dikontrol untuk penelitian (Nguyen dan Xu, 2008). Kelinci
digunakan sebagai hewan uji karena tidak agresif, cepat berkembang biak dan
secara filogenetik dapat menggambarkan kesamaan dengan manusia sehingga
digunakan sebagai hewan uji dalam segala percobaan pengujian obat maupun
implant (Mapara dkk., 2012).
CTM (chlorfeniramin maleat) termasuk golongan antihistamin yang
mengandung Chlorpheniramini maleas 4 mg dan digunakan untuk meredakan
gejala alergi, demam, dan flu biasa. Efeknya dapat berupa Kantuk, pusing, sakit
kepala, sembelit, sakit perut, penglihatan kabur. Dosis untuk obat CTM yaitu pada
anak-anak (6 - 12 tahun) sebanyak 0.5 dosis dewasa, anak-anak (1 - 6 tahun)
adalah 0.25 dosis dewasa sedangkan orang dewasa sendiri adalah 3 - 4 kali sehari
(0.5 - 1 tablet) (Aryani dan Martodihardjo, 2014).
DAFTAR PUSTAKA

Bennet, J. V., Brachman, P. S., dan Jarvis, W. R. 2007. Bennett and Brachman’s
Hospital Infections. Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia.
Bolognia, J. L., Jorizzo, J. L., dan Schaffer, J. V. 2012. Dermatology. Elsevier
Health Sciences, New York.
Fischer, K. 2011. The Healthy Skin Diet: Your Complete Guide to Beautifull Skin
in Just 8 Weeks. Rodale, London.
Gunawan, G. S. 2009. Farmakologi dan Terapi Edisi Kelima. Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.
Larson, D. 2016. Clinical Chemistry: Fundamentals and Laboratory Techniques.
Elsevier Health Sciences, New York.
Loux, R. 2008. Easy Green Living: The Ultimate Guide to Simple, Eco Friendly
Choices for You and Your Home. Rodale, London.
Nebendhal, K. 2000. The Laboratory Rat. Academic Press, London.
Nguyen, D., dan Xu, T. 2008. The expanding role of mouse genetics for
understanding human biology and disease. Disease Model and Mechanism
1 (1): 56-66.
Pond, S. M., dan Tozer, T. N. 1984. First-pass elimination basic concepts and
clinical consequences. Journal of Clinical Pharmacokinetic 9 (1): 1-25.
Rositha dan Ismawati, D. A. 2014. Pengaruh basis salap hidrokarbon, serap dan
kombinasi terhadap sifat fisik salep ekstrak maserasi daun pepaya (Folium
papaya). Jurnal PoliTeknik Tegal 2 (3): 1-3.
Suckow, M. A., Danneman, P., dan Brayton, C. 2000. The Laboratory Mouse.
CRC Press, London.
Tjay, T. H., dan Rahardja, K. 2007. Obat-obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan
Efek-efek Sampingnya Edisi Keenam Cetakan Pertama. PT Elex Media
Komputindo, Jakarta.
Turner, P. V., Brabb, T., Pekow, C., dan Vasbinder, M. A. 2011. Administration
of substances to laboratory animals: routes of administration and factors to
consider. Journal of Laboratory Science Animal 50 (5): 600-613.
Mapara, M., Thomas, B. S., dan Bhat, K. M. 2012. Rabbit as an Animal Model for
Experimental Research. Dental Research Journal 9 (1): 111-118.
Aryani, N. L. dan Martodihardjo, S. 2014. Uji permeabilitas intrinsik dan
termodinamika difusi piroksikam secara in vitro. Jurnal Farmasi
Indonesia 2 (3): 103-111.

Anda mungkin juga menyukai